• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH AIK STUDI AL QURAN TINGKAT TINGK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH AIK STUDI AL QURAN TINGKAT TINGK"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH AIK STUDI AL-QUR’AN

“TINGKAT-TINGKAT KEBENARAN HADIST”

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah : AIK Studi Al-Qur’an

Dosen Pengampu : Siti Hajar, M.Ag

Disusun Oleh :

WAROATUN NISSA (150621009) GHINA NADHIVA (150621011)

PROGAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH CIREBON

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis limpahkan kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan rahmat, hidayah, kasih sayang serta pertolongan-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktu yang telah direncanakan sebelumnya. Tak lupa sholawat serta salam Penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat, semoga selalu dapat menuntun Penulis pada ruang dan waktu yang lain.

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah AIK Studi Al-qur’an di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Cirebon, yang berjudul Tingkat-Tingkat Kebenaran Hadist.

Untuk menyelesaikan makalah ini adalah suatu hal yang mustahil apabila Penulis tidak mendapatkan bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini Penulis menyampaikan terima kasih kepada dosen pembimbing dan teman-teman yang telah memberi dukungan dalam menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pihak dan bila terdapat kekurangan dalam pembuatan laporan ini Penulis mohon maaf, karena Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.

Cirebon, 9 April 2017

(3)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi... ii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 1

1.3 Tujuan Penulisan... 2

1.4 Metode Penulisan ... 2

BAB II PEMBAHASAN... 3

2.1 Pembagian Hadist Berdasarkan Tingkatnya... 3

2.2 Hadist Shahih ... 3

2.3 Hadist Hasan... 10

2.4 Hadist Dha’if ... 13

2.5 Hadist Maudhu’... 18

BAB III PENUTUP... 22

3.1 Kesimpulan ... 22

(4)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Hadist atau Sunnah adalah sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alqur’an. Dimana keduanya merupakan pedoman dan pengontrol segala tingkah laku dan perbuatan manusia. Untuk Alqur’an semua periwayatan ayat-ayatnya mempunyai kedudukan sebagai suatu yang mutlak kebenaran beritanya sedangkan hadis Nabi belum dapat dipertanggung jawabkan periwayatannya berasal dari Nabi atau tidak.

Namun demikian hadis memiliki peranan dalam menjelaskan setiap ayat-ayat Alqur’an yang turun baik yang bersifat Muhkamat maupun Mutasabihat. Sehingga hadis ini sangat perlu untuk dijadikan sebagai sandaran umat Islam dalam menguasai inti-inti ajaran Islam.

Dalam kondisi faktualnya terdapat hadis-hadis yang dalam periwatannya yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk diterimanya sebagai sebuah hadis atau yang dikenal dengan hadis maqbul(diterima); Shahih dan hasan. Namun disisi lain terdapat hadis-hadis yang dalam periwayatannya tidak memenuhi kriteria-kriteria tertentu atau lebih dikenal dengan istilah hadis mardud (ditolak); dhaif atau bahkan ada yang palsu (maudhu’), hal ini dihasilkan setelah adanya upaya penelitian kritik Sanad maupun Matan oleh para ulama untuk yang memiliki komitmen tinggi terhadap sunnah.

Hal ini terjadi disebabkan keragaman orang yang menerima maupun meriwayatkan hadis Rasulullah. Berbagai macam hadis yang menimbulkan kontraversi dari berbagai kalangan. berbagai analisis atas kesahihan sebuah hadis baik dari segi putusnya Sanaddan tumpah tindihnya makna dari Matan pun bermunculan untuk menentukan kualitas sebuah hadis.

Dari uraian diatas maka perlu mengetahui dan menindaklanjuti metode-metode yang digunakan oleh para ulama hadis dalam menentukan kualitas sebuah hadis, sehingga kita dapat membedakan mana hadissahih, hasan, dhaif danmaudhu’ serta dapat mengetahui permasalahan-permasalahannya.

1.2 Rumusan Masalah

(5)

1.2.4 Bagaimana yang dimaksud dengan hadist dha’if ? 1.2.5 Bagaimana yang dimaksud dengan hadit maudhu’ ?

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Untuk mengetahui bagaimana pembagian hadist berdasarkan tingkatnya. 1.3.2 Untuk mengetahui hadist shahih.

1.3.3 Untuk mengetahui hadist hasan. 1.3.4 Untuk mengetahui hadist dha’if. 1.3.5 Untuk mengetahui hadist maudhu’.

1.4 Metode Penulisan

(6)

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pembagian Hadist Berdasarkan Tingkatnya.

Secara garis besar tingkatan hadits dibagi dua yaitu: shahih dan dha’if. Namun, tingkatan yang sudah banyak dikenal di dalam masyarakat kita selain dua tingkatan tersebut adalah hasan dan maudhu’. Shohih ( حيحصصصلا ), yaitu hadits yang telah dapat dibuktikan secara sah kebenarannya berasal dari Nabi saw. Hasan ( نسحلا ), yaitu hadits yang kurang pantas dinilai shahih, tetapi tidak layak juga bila dinilai dha’if, Dha’if ( فيعصصصصصصصصصضلا ), yaitu hadits yang tidak memenuhi persyaratan hadits shahih atau hasan, Hadits maudhu’adalah hadits yangdikemukakan oleh periwayat yang dusta dan bohong atas nama Nabi SAW secara sengaja. Ada beberapa persyaratan untuk sebuah hadits mencapai tingkatan shahih, diantaranya adalah Yang adil (orang tersebut haruslah muslim, yang berakal,baligh dll), Yang kuat, yang cermat yaitu, orang yang kuat/cermat tentang apa yang ia riwayatkan, dan hafal didalam hadits yang dapat ia keluarkan kapan saja diperlukan dengan betul, serta ia seorang yang ‘alim (mengetahui) tentang apa yang ia riwayatkan, Yang bersambung yaitu, sanadnya tidak terputus dari awal sampai akhir, tidak ada yang menyalahi aturan dalam penyampaian dan tidak ada cacat atau kekurangan di dalam hadits tersebut. Oleh karena itu hadits shahih dan hasan dapat dijadikan sebagai dalil dalam sebuah perkara agama. Namun, untuk hadits dha’if dan maudhu’ itu tidak boleh dijadikan dalil ( kecuali untuk hadits dhai’f yang tidak berstatus dha’if berat, menurut beberapa ulama maka boleh dijadikan sebagai nasihat ) dan ini yang menyebabkan kesalahpahaman banyak orang memahami perkara agama. 2.2 Hadist Shahih

2.2.1 Pengertian hadist shahih

Shahih merupakan kalimat musytaq dari kalimat shahha – yashihhu – suhhan wa sihhatan yang artiya sembuh, sehat, selamat dari cacat, benar. Sedangkan secara istilah yaitu :

(7)

" Apa yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, dhobit ( memiliki hafalan yang kuat) dari awal sampai akhir sanad dengan tanpa syadz dan tidak pula cacat."

Imam Al-Suyuti mendifinisikan hadits shahih dengan hadits yang bersambung sanadnya, dfiriwayatkan oleh perowi yang adil dan dhobit, tidak syadz dan tidak ber’ilat.

Definisi hadits shahih secara konkrit baru muncul setelah Imam Syafi’i memberikan penjelasan tentang riwayat yang dapat dijadikan hujah, yaitu:

1. apabila diriwayatkan oleh para perawi yang dapat dipercaya pengamalan agamanya, dikenal sebagai orang yang jujur memahami hadits yang diriwayatkan dengan baik, mengetahui perubahan arti hadits bila terjadi perubahan lafadnya; mampu meriwayatkan hadits secara lafad, terpelihara hafalannya bila meriwayatkan hadits secara lafad, bunyi hadits yang Dia riwayatkan sama dengan hadits yang diriwayatkan orang lain dan terlepas dari tadlis (penyembuyian cacat).

2. rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi SAW. atau dapat juga tidak sampai kepada Nabi.

2.2.2 Syarat-syarat hadist shahih.

1. Sanadnya bersambung.

(8)

2. Perawinya Adil.

Seseorang dikatakan adil apabila ada padanya sifat-sifat yang dapat mendorong terpeliharanya ketaqwaan, yaitu senantiasa melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan, dan terjaganya sifat Muru’ah, yaitu senantiasa berakhlak baik dalam segala tingkah laku dan hal-hal lain yang dapt merusak harga dirinya.

3. Perawinya Dhabit.

Seorang perawi dikatakan dhabit apabila perawi tersebut memilki daya ingat yang sempurna terhadap hadist yang diriwayatkannya.

Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, perawi yang dhabit adalah mereka yang kuat hafalannya terhadap apa yang pernah didengarnya, kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut kapan saja manakala diperlukan. Ini artinya, bahwa orang yang disebut dhabit harus mendengar secara utuh apa yang diterima atau didengarnya, kemudian mampu menyampaikannya kepada orang lain atau meriwayatkannya sebagaimana aslinya.

4. Tidak Syadz.

Syadz (janggal/rancu) atau syudzuz adalah hadits yang bertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat atau lebih tsiqqah perawinya. Maksudnya, suatu kondisi di mana seorang perawi berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya. Kondisi ini dianggap syadz karena bila ia berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya, baik dari segi kekuatan daya hafalannya atau jumlah mereka lebih banyak, maka para rawi yang lain itu harus diunggulkan, dan ia sendiri disebut syadz. Maka timbullah penilaian negatif terhadap periwayatan hadits yang bersangkutan.

5. Tidak Ber’illat.

(9)

hadits. Dikatakan samar-samar, karena jika dilihat dari segi zahirnya, hadits tersebut terlihat shahih. Adanya kesamaran pada hadits tersebut, mengakibatkan nilai kualitasnya menjadi tidak shahih. Dengan demikian, yang dimaksud hadits tidak ber’illat, ialah hadits yang di dalamnya tidak terdapat kesamaran atau keragu-raguan. ‘Illat hadits dapat terjadi baik pada sanad mapun pada matan atau pada keduanya secara bersama-sama. Namun demikian, ‘illat yang paling banyak terjadi adalah pada sanad. Adapun contoh hadits yang shahih adalah sebagai berikut;

َلاصصَق ِهْيِبَأ ْنَع ِمِعْطُم ِنْب ِرْيَبُج ِنْب ِدَمَحُم ْنَع ٍباَهِش ِنْبا ِنَع ٌكِلاَم اَنَرَبْخَأ َلاَق َفُس ْوُي ُنْب ِاُدْبَع اَنَثَدَح (يراخبلا هاور)" ِرْوُطلاِب ِبِرْغَمْلا يِف َأَرَق م.ص ِا َلْوُسَر ُتْعِمَس

" Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf ia berkata: telah mengkhabarkan kepada kami malik dari ibnu syihab dari Muhammad bin jubair bin math'ami dari ayahnya ia berkata: aku pernah mendengar rasulullah saw membaca dalam shalat maghrib surat at-thur" (HR. Bukhari, Kitab Adzan).

Analisis terhadap hadits tersebut:

1. Sanadnya bersambung karena semua rawi dari hadits tersebut mendengar dari gurunya.

2. Semua rawi pada hadits tersebut dhobit, adapun sifat-sifat para rawi hadits tersebut menurut para ulama aj-jarhu wa ta'dil sebagai berikut : a. Abdullah bin yusuf = tsiqat muttaqin.

b. Malik bin Annas = imam hafidz.

c. Ibnu Syihab Aj-Juhri = Ahli fiqih dan Hafidz. d. Muhammad bin Jubair = Tsiqat.

e. Jubair bin muth'imi = Sahabat.

(10)

2.2.3 Pembagian Hadis Shahih

Para ulama hadis membagi hadis shahih menjadi dua macam:

1. Shahih li Dzatihi, yaitu hadis yang mencakup semua syarat-syarat atau sifat-sifat hadis maqbul secara sempurna, dinamakan “shahih li Dzatihi” karena telah memenuhi semua syarat shahih,dan tidak butuh dengan riwayat yang lain untuk sampai pada puncak keshahihan, keshahihannya telah tercapai dengan sendirinya. Untuk lebih jelasnya, berikut penulis kemukakan contoh hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari:

Hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah diatas, adalah salah satu hadis shahih yang tidak terdapat ke-syaz-an maupun illat.

(11)

Namun keshahihan hadis tersebut didukung oleh adanya hadis lain, yang lebih tinggi derajatnya sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari A’raj dari Abu Hurairah (pada contoh hadis shahih li dzatihi). Dari sini dapat kita ketahui bahwa martabat hadis shahih ini tergantung kepada ke-dhabit-an dan ke-adil-an para perawinya. Semakin dhabit dan semakin adil si perawi, makin tinggi pula tingkatan kualitas hadis yang diriwayatkannya.yang diistilah oleh para muhaddisin sebagai ashahhul asanid.

Ashahhul Asanid, yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya, al-Khatib mengemukakan, bahwa dikalangan ulama terdapat perbedaan pendapat mengenai ashahhul asanid, ada yang mengatakan:

1. Riwayat Ibn Syihab az-Zuhry dari Salim Ibn Abdillah ibn Umar dari Ibn Umar.

2. Sebagian lagi mengatakan: ashahhul asanid adalah riwayat Sulaiman al-A’masy dari Ibrahim an-Nakha’iy dari Alqamah Ibn Qais dari Abdullah ibn Mas’ud.

3. Imam Bukhari dan yang lain mengatakan, ashahhul asanid adalah riwayat imam Malik ibn Anas dari Nafi’ maula Ibn Umar dari ibn Umar. Dan karena imam Syafi’i merupakan orang yang paling utama yang meriwayatkan hadis dari Imam Malik dan Imam Ahmad merupakan orang yang paling utama yang meriwayatkan dari Imam Syafi’i, maka sebagian ulama muta’akhirin cenderung menilai bahwa ashahhul asanid adalah riwayat Imam Ahmad dari Imam Syafi’i dari Imam Malik dari Nafi’ dari Ibn Umar r.a. inilah yang disebut silsilah ad-dzahab (mata rantai emas).

2.2.4 Kehujahan Hadits Shahih.

Hadits yang telah memenuhi persyaratan hadits shahih wajib diamalkan sebagai hujah atau dalil syara’ sesuai ijma’ para uluma hadits dan sebagian ulama ushul dan fikih. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah.

(12)

2.2.5 Tingkatan Hadits Shahih

Perlu diketahui bahwa martabat hadits shahih itu tergantung tinggi dan rendahnya kepada ke-dhabit-an dan keadilan para perowinya. Berdasarkan martabat seperti ini, para muhaditsin membagi tingkatan sanad menjadi tiga yaitu: Pertama, ashah al-asanid yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya. seperti periwayatan sanad dari Imam Malik bin Anas dari Nafi’ mawla (mawla = budak yang telah dimerdekakan) dari Ibnu Umar. Kedua, ahsan al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadits yang yang tingkatannya dibawash tingkat pertama diatas. Seperti periwayatan sanad dari Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas. Ketiga, ad’af al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadits yang tingkatannya lebih rendah dari tingkatan kedua. seperti periwayatan Suhail bin Abu Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah.

Dari segi persyaratan shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi tujuh tingkatan, yang secara berurutan sebagai berikut:

1. Hadits yang disepakati oleh bukhari dan muslim (muttafaq ‘alaih), 2. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori saja,

3. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim saja,

4. Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan AL-Bukhari dan Muslim,

5. Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari saja, 6. Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja, 7. Hadits yang dinilai shahih menurut ulama hadits selain Al-Bukhari dan

Muslim dan tidak mengikuti persyratan keduanya, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain.

2.2.6 Kitab-kitab yang memuat Hadis Shahih.

Manna’ Khalil al-Qatthan dalam Mabahits Fi ‘Ulum al-Hadis, mengemukakan bahwa diantara kitab-kitab yang memuat hadis shahih adalah :

1. Shahih Bukhari 2. Shahih Muslim 3. Mustadrak al-Hakim

(13)

Sedangkan menurut Ajjaj al-Khatib bahwa kitab-kitab yang memuat hadis-hadis shahih adalah:

1. Shahih Bukhari 2. Shahih Muslim 3. Sunan Abu Daud 4. Sunan at-Tirmidzi

5. Sunan an-Nasa’i 6. Sunan Ibn Majah

7. Musnad Ahmad ibn Hanbal

Nuruddin ‘Itr didalam kitabnya Manhaj an-Naqd Fi ‘Ulum al-Hadis mengemukakan bahwa kitab-kitab yang memuat hadis-hadis shahih antara lain:

1. al-Muwattha’ 2. Shahih Bukhari

3. Shahih Muslim

4. Shahih Ibn Khuzaimah 5. Shahih Ibn Hibban 6. Al-Mukhtarah

2.3 Hadist Hasan

2.3.1 Pengertian hadist hasan.

Hasan secara bahasa adalah sifat yang menyerupai dari kalimat “al-husna” artinya indah, cantik. Akan tetapi secara istilah yang dimaksud dengan Hadits Hasan menurut Ibnu Hajar Al-Atsqalani yaitu:

(14)

Pada dasarnya, hadits hasan dengan hadits shahih tidak ada perbedaan, kecuali hanya dibidang hafalannya. Pada hadits hasan, hafalan perawinya ada yang kurang meskipun sedikit. Adapun untuk syarat-syarat lainnya, antara hadits hasan dengan hadits shahih adalah sama.

2.3.2 Syarat-syarat hadist hasan.

Adapun syarat-syarat hadist hasan antara lain: 1. Sanad hadis harus bersambung. 2. Perawinya adil

3. Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih

4. Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz

5. Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah)

Contoh hadits hasan adalah sebagai berikut:

: َلاصصَق ْيِرَع ْصصشَ ْل ا ي َصصسْوُم يِبَأ ِنْب ِرصصْكَب يِبَأ ْنَع يِنْوَجْلا ِناَرْمِع ْيِبَأ ْنَع يِعَبُضلا َناَمْيَلُس ُنْب ُرَفْعَج اَنَثَدَح ُةَبْيَتُق اَنَثَدح ثيدحلا ... ِف ْوُيُسلا ِلَلِظ َت ْحَت ِةَنَجْلا َباَوْبَأ َنِإ : م ص ِا ُلْوُسَر َلاَق : ُلْوُقَي ّ وُدَعلا ِةَرْضَحِب يِبَأ ُتْعِمَس "

(15)

2.3.3 Pembagian hadist hasan.

Para ulama hadis membagi hadis shahih menjadi dua macam: 1. Hadits Hasan li-Dzatih

Hadits yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, dhabit meskipun tidak sempurna, dari awal sanad hingga akhir sanad tanpa ada kejanggalan (syadz) dan cacat (‘Illat) yang merusak hadits.

2. Hadits Hasan li-Ghairih

Hadits yang pada sanadnya ada perawi yang tidak diketahui keahliannya, tetapi dia bukanlah orang yang terlalu benyak kesalahan dalam meriwayatkan hadits, kemudian ada riwayat dengan sanad lain yang bersesuaian dengan maknanya. Jumhur ulama muhaddisin memeberikan definisi tentang haditst hasan li-Ghairihi sebagai berikut:

نتم نوصصكيو ,قصصسفم ببصصس هصصنم رصصهظلو ءاصصطخلا ريصصثك .لفغم يلو هصصتيلهأ قصصقحتت مل روتصصسم نم هدانسإولخيلام رخآ هجو نم هوحن وأ هلثم ةتيورب افورعم ثيدحلا

Yaitu hadits hasan yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur (tak nyata keahliannya), bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang menjadikan fasik dan matan haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan yang semisal dan semakna dari sesuatu segi yang lain.

Haditst hasan li-Ghairihi pada dasarnya adalah hadits dha’if. Kemudian ada petunjuk lain yang menolongnya, sehingga ia meningkat menjadi hadits hasan. Jadi, sekiranya tidak ada yang menolong, maka hadits tersebut akan tetap berkualitas dha’if.

2.3.4 Kehujjahan hadist hasan.

(16)

2.3.5 Kitab-kitab yang memuat hadist hasan.

Ulama yang mula-mula membagi hadis sebagai hadis shahih, hasan dan dha’if adalah Imam at-Tirmidzy, sehingga wajar jika Imam at-Tirmidzy memiliki peran dalam menghimpun hadis-hadis hasan. Diantara kitab-kitab yang memuat hadis hasan adalah:

Dha’if menurut bahasa adalah lawan dari kuat. Hadis dhaif menurut istilah adalah hadis yang didalamnya tidak didapati syarat hadis shahih dan tidak pula didapati syarat hadis hasan. Diantara para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam mendefinisikan hadis dhaif ini, akan tetapi pada dasarnya isi dan maksudnya sama.

Menurut An-Nawwawi hadist dhaif adalah hadis yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadist shahih dan syarat-syarat hadis hasan. Sedangkan menurut As-Suyuthi hadis dhaif adalah hadist yang hilang salah satu syarat atau keseluruhan dari syarat-syarat hadis maqbul, atau dengan kata lain hadis yang tidak terpenuhi didalamnya syarat-syarat hadis maqbul.

Dengan demikian, jika hilang salah satu kriteria saja, maka hadits itu menjadi tidak shahih atau tidak hasan. Lebih-lebih jika yang hilang itu sampai dua atau tiga syarat maka hadits tersebut dapat dinyatakan sebagai hadits dhai’if yang sangat lemah. Karena kualitasnya dha’if, maka sebagian ulama tidak menjadikannya sebagai dasar hukum.

2.4.2 Pembagian hadist dha’if.

1. Dha’if disebabkan karena tidak memenuhi syarat bersambungnya sanad. Dha’if jenis ini dibagi lagi menjadi:

a. Hadits Munqathi

(17)

b. Hadits Mu’allaq

Hadits yang rawinya digugurkan seorang atau lebih dari awal sanadnya secara berturut-turut.

c. Hadits Mursal

Hadits yang gugur sanadnya setelah tabi’in. Yang dimaksud dengan gugur di sini, ialah nama sanad terakhir tidak disebutkan. Padahal sahabat adalah orang yang pertama menerima hadits dari Rasul saw. Hadist mursal dibagi menjadi dua:

1. Mursal al-Jali

Hadits yang tidak disebutkannya (gugur) nama sahabat dilakukan oleh tabi’in besar.

2. Mursal al-Khafi

Pengguguran nama sahabat dilakukan oleh tabi’in yang masih kecil. Hal ini terjadi karena hadits yang diriwayatkan oleh tabi’in tersebut meskipun ia hidup sezaman dengan sahabat, tetapi ia tidak pernah mendengar sebuah hadits.

Dha’if karena tiadanya syarat adil

d. Hadits Mu’dhal

Hadits yang gugur rawinya, dua orang atau lebih, berturut-turut, baik sahabat bersama tabi'i, tabi'i bersama tabi' al-tabi'in maupun dua orang sebelum shahabiy dan tabi'iy.

e. Hadits Mudallas

Yaitu hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadits itu tidak terdapat cacat.

(18)

Dha’if jenis ini dibagi menjadi: a. Hadits al-Maudhu’

Hadits yang dibuat-buat oleh seorang (pendusta) yang ciptaannya dinisbatkan kepada Rasulullah secara paksa dan dusta, baik sengaja maupun tidak.

b. Hadits Matruk dan Hadits Munkar

Hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh dusta (terhadap hadits yang diriwayatkannya), atau tanpak kefasikannya, baik pada perbuatan ataupun perkataannya, atau orang yang banyak lupa maupun ragu.

4. Dha’if karena tiadanya dhabit. Dha’if jenis ini dibagi:

a. Hadits Mudraj

hadits yang menampilkan (redaksi) tambahan, padahal bukan (bagian dari) hadits

b. Hadits Maqlub

hadits yang lafaz matannya terukur pada salah seorang perawi, atau sanadnya. Kemudian didahulukan pada penyebutannya, yang seharusnya disebutkan belakangan, atau mengakhirkan penyebutan, yang seharusnya didahulukan, atau dengan diletakkannya sesuatu pada tempat yang lain. c. Hadits Mudhtharib

hadits yang diriwayatkan dengan bentuk yang berbeda padahal dari satu perawi dua atau lebih, atau dari dua perawi atau lebih yang berdekatan tidak bisa ditarjih.

d. Hadits Mushahhaf dan Muharraf

Hadits Mushahhaf yaitu hadits yang perbedaannya dengan hadits riwayat lain terjadi karena perubahan titik kata, sedangkan bentuk tulisannya tidak berubah. Hadits Muharraf yaitu hadits yang perbedaannya terjadi disebabkan karena perubahan syakal kata sedangkan bentuk tulisannya tidak berubah.

5. Dha’if karena kejanggalan dan kecacatan. Dha’if jenis ini dibagi:

(19)

Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang maqbul, akan tetapi bertentangan (matannya) dengan periwayatan dari orang yang kualitasnya lebih utama.

b. Hadits Mu’allal

Hadits yang diketahui ‘Illatnya setelah dilakukan penelitian dan penyelidikan meskipun pada lahirnya tampak selamat dari cacat.

6. Dha’if dari segi matan Dha’if jenis ini dibagi: a. Hadits Mauquf

Hadits yang diriwayatkan dari para sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrirnya. Periwayatannya, baik sanadnya bersambung maupun terputus.

b. Hadits Maqthu

Hadits yang diriwayatkan dari tabi’in dan disandarkan kepadanya, baik perkataan maupun perbuatannya. Dengan kata lain, hadits maqthu adalah perkataaan atau perbuatan tabi’in.

2.4.3 Kehujjahan hadist dha’if.

Khusus hadits dhaif, maka para ulama hadits kelas berat semacam Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh digunakan, dengan beberapa syarat:

1. Level Kedhaifannya Tidak Parah.

Ternyata yang namanya hadits dhaif itu sangat banyak jenisnya dan banyak jenjangnya. Dari yang paling parah sampai yang mendekati shahih atau hasan.

(20)

2. Berada di bawah Nash Lain yang Shahih.

Maksudnya hadits yang dhaif itu kalau mau dijadikan sebagai dasar dalam fadhailul a’mal, harus didampingi dengan hadits lainnya. Bahkan hadits lainnya itu harus shahih. Maka tidak boleh hadits dha’if jadi pokok, tetapi dia harus berada di bawah nash yang sudah shahih.

3. Ketika Mengamalkannya, Tidak Boleh Meyakini Ke-Tsabit-annya.

Maksudnya, ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita tidak boleh meyakini sepenuhnya bahwa ini merupakan sabda Rasululah SAW atau perbuatan beliau. Tetapi yang kita lakukan adalah bahwa kita masih menduga atas kepastian datangnya informasi ini dari Rasulullah SAW.

2.4.4 Pengamalan hadist dha’if.

Hadis dhaif pada dasarnya adalah tertolak dan tidak boleh diamalkan, bila dibandingkan dengan hadis shahih dan hadis hasan. Namun para ulama melakukan pengkajian terhadap kemungkinan dipakai dan diamalkannya hadis dhaif, sehingga terjadi perbedaan pendapat diantara mereka.

Ada tiga pendapat dikalangan ulama mengenai penggunaan hadis dhaif:

1. Hadis dhaif tidak bisa diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadhail a’mal maupun ahkam. pendapat ini diperpegangi oleh Yahya bin Ma’in, Bukhari dan Muslim, Ibnu Hazm, Abu Bakar ibn Araby.

2. Hadis dhaif bisa digunakan secara mutlak, pendapat ini dinisbatkan kepada Abu Daud dan Imam Ahmad. Keduanya berpendapat bahwa hadis dhaif lebih kuat dari ra’yu perorangan.

3. Sebagian ulama berpendapat bahwa Hadis dhaif bisa digunakan dalam masalah fadhail mawa’iz atau yang sejenis bila memenuhi beberapa syarat. Ulama-ulama yang mempergunakan hadis dhaif dalam fadhilah amal, mensyaratkan kebolehan mengambilnya dengan tiga syarat:

(21)

2. Apa yang ditunjukkan hadis itu juga ditunjukkan oleh dasar lain yang dapat diperpegangi, dengan arti bahwa memeganginya tidak berlawanan dengan suatu dasar hukum yang sudah dibenarkan.

3. Jangan diyakini kala menggunakannya bahwa hadis itu benar dari nabi. Ia hanya dipergunakan sebagai ganti memegangi pendapat yang tidak berdasarkan pada nash sama sekali.

2.5 Hadist Maudhu’

2.5.1 Pengertian hadist maudhu’.

Maudhu’ menurut bahasa artinya sesuatu yang diletakkan, sedangkan menurut istilah adalah sesuatu yang diciptakan dan dibuat-buat lalu dinisbatkan kepada rasulullah SAW secara dusta.

Hadis ini adalah yang paling buruk dan jelek diantara hadis-hadis dhaif lainnya. Selain ulama membagi hadis menjadi empat bagian: shahih, hasan, dhaif dan maudhu’. Maka maudhu menjadii satu bagian tersendiri. Hadis maudhu adalah seburuk-buruk hadis dhaif, hadis maudhu’ dinamakan juga hadis musqath, hadis matruk, mukhtalaq dan muftara.

2.5.2 Motivasi-motivasi munculnya hadis maudhu’.

Hadis maudhu’ tidaklah bertambah kecuali bertambahnya bid’ah dan pertikaian. Berdasarkan data sejarah, pemalsuan hadis tidak hanya dilakukan oleh orang-orang islam, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang non islam.

Ada beberapa motif yang mendorong mereka membuat hadis palsu, antara lain: 1. Pertentangan Politik

Perpecahan umat islam terjadi akibat permasalahan politik yang terjadi pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib, membawa pengaruh besar terhadap munculnya hadis-hadis palsu. Masing-masing golongan berusaha mengalahkan lawannya dan berusaha mempengaruhi orang-orang tertentu, salah satu usahanya adalah dengan membuat hadis palsu.

(22)

Kaum Zindiq adalah golongan yang membenci islam, baik sebagai agama maupun sebagai dasar pemerintahan. Mereka merasa tidak mungkin dapat memalsukan Alqur’an sehingga mereka beralih melakukan upaya pemalsuan hadis. Dengan tujuan ingin menghancurkan islam dari dalam.

3. Sikap Fanatik Buta

Salah satu faktor upaya pembuatan hadis palsu adalah adanya sifat ego dan fanatik buta tehadap suku, bangsa, negeri dan pimpinan

4. Mempengaruhi Kaum Awam Dengan Kisah dan Nasehat

Kelompok yang melakukan pemalsuan hadis ini bertujuan untuk memmperoleh simpati dari pendengarnya sehingga mereka kagum melihat kemampuannya. Hadis yang mereka katakan terlalu berlebih-lebihan.

5. Perselisihan dalam fiqhi dan ilmu kalam

Munculnya hadis palsu dalam masalah fiqhi dan ilmu kalam, berasal dari para pengikut madzhab. Mereka melakukan pemalsuan hadis karena ingin menguatkan madzhabnya masing-masing.

2.5.3 Kaidah-kaidah untuk mengetahui hadis maudhu’.

Para ulama hadis menetapkan kaidah-kaidah untuk memudahkan melacak keberadaan hadis maudhu’, sehingga hadis maudhu’ dapat diketahui dengan beberapa hal, antar lain:

i. Pengakuan dari orang yang memalsukan hadis: seperti pengakuan Abi ‘Ismat Nuh bin Abi Maryam, yang digelari Nuh al-Jami’, bahwa dia telah memalsukan hadis atas Ibnu Abbas tentang keutamaan-keutamaan al-Qur’an surah persurah.

ii. Adanya indikasi pada perawi yang menunjukkan akan kepalsuannya: misalnya seorang perawi yang Rafidhah dan hadisnya tentang keutamaan ahlul bait. iii. Adanya indikasi pada isi hadis, seperti: isinya bertentangan dengan akal sehat,

(23)

2.5.4 Hukum meriwayatkan hadis maudhu’.

Para ulama sepakat bahwanya diharamkan meriwayatkan hadis maudhu’dari orang yang mengetahui kepalsuannya dalam bentuk apapun, kecuali disertai dengan penjelasan akan kemaudhu’annya, berdasarkan sabda Nabi saw:

“Barang siapa yang menceritakan hadis dariku sedangkan dia mengetahui bahwa itu dusta, maka dia termasuk para pendusta.”(HR.Muslim)

2.5.5 Cara-cara mengetahui suatu hadist bersifat maudhu’

Beberapa cara agar kita mengetahui bahwa suatu hadist berstatus maudhu’ adalah: 1. Kepalsuan sanad:

a. Periwayatnya dikenal pembohong, dapat terlihat dari biodatanya.

b. Pemalsu hadits mengaku sendiri, seperti pengakuan Abdul Karim ibn al-Awja’ yang telah memalsukan tidak kurang 4000 hadits.

c. Terdapat indikasi yang menunjukkan bahwa seorang periwayat adalah pembohong. Misalnya, Ma’mun ibn Ahmad al-Halawi mengaku pernah memperoleh hadits dari Hisyam ibn ‘Ammar. Kemudian ditanya oleh Ibn Hibban, “kapan engkau bertemu dia di Siria?” Ia menjawab, “tahun dua ratus lima puluh.” Kemudian Ibn Hibban mengatakan, “Hisyam yang kau sebut itu meninggal pada tahun dua ratus empat puluh lima.”

2. Kepalsuan matan :

a. Jika seorang yang benar-benar memahami makna dalam ungkapan bahasa Arab berkesimpulan bahwa ada kata-kata atau kalimat yang tertera dalam suatu hadits tidak mungkin diucapkan oleh orang yang fasih, terlebih oleh Rasulullah saw.

b. Jika hadits tersebut bertentangan dengan temuan rasional, tanpa ada kemungkinan takwil

Contohnya : Sebuah hadits “Sesungguhnya kapal Nabi Nuh itu melakukan thawaf di ka’bah tujuh kali dan shalat di Maqam Ibrahim dua raka’at.” c. Jika hadits tersebut bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits mutawattir

Contohnya : Sebuah hadits “Usia dunia itu tujuh ribu tahun lagi.

(24)

e. Jika sebuah hadits bertentangan dengan bukti-bukti sejarah.

Contohnya : Sebuah hadits menyebutkan bahwa Nabi mewajibkan membayar Jizyah atas penduduk khaibar dan membebaskan mereka dari usaha dengan persaksian Sa’ad ibn Mu’adz.

Ada 2 fakta yang salah dari hadits tersebut :

 Sa’ad ibn Mu’adz telah wafat sebelum peristiwa Khaibar, yaitu pada Perang Khandaq.

(25)

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.1.1 Pembagian hadist secara tingkatnya Secara garis besar dibagi dua yaitu: shahih dan dha’if. Namun, tingkatan yang sudah banyak dikenal di dalam masyarakat kita selain dua tingkatan tersebut adalah hasan dan maudhu’.

3.1.2 Hadist Shahih merupakan kalimat musytaq dari kalimat shahha – yashihhu – suhhan wa sihhatan yang artiya sembuh, sehat, selamat dari cacat, benar. Syarat-syarat hadist shahih diantaranya sanadnya bersambung, perawinya adil, perawinya dhabit, tidak ada syadz, dan tidak ber’illat. Pembagian hadist shahih dibagi dua yakni shahih li dzatihi dan shahih li ghairihi. Kehujjahan Hadits yang telah memenuhi persyaratan hadits shahih wajib diamalkan sebagai hujah atau dalil syara’ sesuai ijma’ para uluma hadits dan sebagian ulama ushul dan fikih. Tingkatan hadist shahih dibagi tiga yakni : ashah al-asanid, ahsan al-asanid, dan ad’af al-asanid. Kitab-kitab yang memuat hadist shahih diantaranya shahih bukhari dan shahih muslim.

3.1.3

3.2 Saran

(26)

DAFTAR PUSTAKA

As-Shiddieqy, Hasby. 1987. Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadist. Jakarta: PT.Bulan Bintang.

Sulaiman, Mughni. 2013. Makalah Hadist Shahih, Hasan, dan Dha’if dan contohnya. (http://mugnisulaeman.blogspot.co.id/2013/03/makalah-hadits-shahih-hasan-dan-dhaif.html) diakses tanggal 9 Maret 2017.

Al Jauzaa, Abu. 2007. Ilmu Hadist: Definisi Hadist Shahih.

Referensi

Dokumen terkait

Pemeriksaan ini pada penyakit kusta merupakan hal yang mutlak dilakukan, karena berguna untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, penunjang penentuan klasifikasi atau tipe

Penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul tersebut karena melihat fenomena disintermediasi perbankan yang terjadi pasca krisis memiliki pengaruh yang besar

11) memberi kesempatan kepada mahasiswa PPM prodi lain untuk praktik pembelajaran pada kelas yang bersangkutan dan memberikan penilaian. 12) hadir dalam evaluasi akhir dan

Dari hasil penelitian terhadap zat besi (Fe) menggunakan pemeriksaan SI (Serum Iron) yang dilakukan di Laboratorium Klinik Prodia terhadap 13 orang ibu hamil dengan

 Frasa “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu...” dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

Sama dengan fakta sosial kepercayaan tentang roh, analisis data yang dilakukan sebelumnya menunjukkan pula bahwa tokoh Suhubudi merupakan salah satu subjek

Pada saat pulse pengapian sejajar dengan pic up magnet, pulse kehilangan arus sehingga arus dari CDI ke kumparan primer terputus. akibatnya kumparan primer coil