• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA PASIEN DEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA PASIEN DEN"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI, LAPORAN KASUS 1 PERAWATAN INTENSIF DAN MANAJEMEN NYERI SEPTEMBER 2017 FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA PASIEN DENGAN

ASMA BRONKIAL YANG MENJALANI PROSEDUR

OPERASI SEKSIO SESAREA

Oleh : M. Akbar Ali P

Pembimbing : Dr. Wahyudi, Sp.An-KA

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS

PPDS-1 DEPARTEMEN ILMU ANESTESI, PERAWATAN INTENSIF, DAN MANAJEMEN NYERI

(2)

PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA PASIEN DENGAN

ASMA BRONKIAL YANG MENJALANI PROSEDUR

OPERASI SEKSIO SESAREA

I. PENDAHULUAN

Asma bronkial merupakan kelainan yang banyak terjadi pada 5-7% populasi. Jenisnya berupa inflamasi dan hiperaktivitas bronkus sebagai respon terhadap berbagai macam stimulasi. Secara klinis, asma dimanifestasikan sebagai episode serangan sesak napas yang reversibel akibat kontraksi otot polos bronkus,

edema dan peningkatan sekresi. 1

Asma merupakan salah satu masalah medis yang serius pada kehamilan. Asma merupakan faktor resiko terjadinya komplikasi pada ibu hamil dan janin. Ibu hamil dengan asma meningkatkan resiko komplikasi perinatal seperti

preeklampsia, bayi dengan berat lahir rendah dan kelahiran prematur.2

Prevalensi asma bronkhial pada penderita dewasa yang terdiagnosa di Amerika Serikat tahun 2009 mencapai 8,2% dari jumlah penduduk, Insiden asma dalam kehamilan antara 4%-8% dari seluruh kehamilan, sedangkan di Inggris pada tahun yang sama didapatkan angka 12%. Prevalensi global diperkirakan

sekitar 4-8%. 1,2

Insiden perioperatif bronkospasme pada pasien asma bronkial yang menjalani operasi kurang dari 2% jika pengobatannya rutin. Frekuensi komplikasi meningkat pada pasien usia lebih dari 50 tahun serta pasien asma yang tidak terkontrol baik (gejala yang nyata, sering kambuh atau sering dirawat di rumah sakit) beresiko dalam masalah pernapasan perioperatif (bronkhospasme, retensi sputum, atelektasis, infeksi, dan gagal napas). Insiden terjadinya kondisi yang

(3)

II. LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

Nama : Ny. Rosmawati

Jenis kelamin : Perempuan

Tanggal lahir / Umur : 12-7-1985 / 32 tahun

RM : 350602

Agama : Islam

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

BB/TB : 52 kg / 155 cm

IMT : 21,64 kg/m2

B. Diagnosis

G1P0A0 gravid 39 minggu 3 hari inpartu kala I Fase aktif + Asma Bronkial

(4)

D. Anamnesis

a. Keluhan utama:

Keluar darah disertai lendir dari jalan lahir b. Riwayat penyakit saat ini:

Keluar darah disertai pelepasan lendir dari jalan lahir dialami sejak subuh hari SMRS

c. Riwayat operasi sebelumnya: Tidak ada

d. Riwayat penyakit penyerta:

Pasien menderita penyakit asma dialami sejak umur usia 3 tahun, serangan terakhir 1 hari yang lalu, dipicu oleh cuaca dingin dan apabila pasien kelelahan. Pasien mendapat terapi dengan salbutamol inhaler

e. Riwayat alergi:

Pasien alergi udang dan kepiting.

E. Pemeriksaan Fisik a. Keadaan Umum :

(5)

b. Tanda vital :

Bunyi jantung I/II murni, regular, bunyi tambahan (-) - Abdomen :

Perut distended, teraba fundus uteri 1 cm dibawah proc.xiphoideus, DJJ 138x/menit,

- Urogenital :

Urin perkateter, produksi 50cc/jam, warna kuning jernih - Esktremitas :

Pemeriksaan tulang belakang : tidak ada kelainan

(6)

Hematokrit

6. Injeksi antibiotik profilaksis Ceftriaxone 1 gr/iv 1 jam sebelum operasi 

skin test

7. Injeksi Dexamethasone 10 mg/iv 1 jam sebelum operasi

(7)

Pada pasien tersebut dilakukan penatalaksanaan anestesi dengan teknik Spinal anestesi blok dengan menggunakan agen Bupivacain spinal 0.5% hiperbarik 10 mg + Fentanyl 25mcg. Maintenance :O2 via nasal kanul 2 lpm dan Cairan : IVFD RL 480 cc/jam.

K. Tindakan Operasi Seksio sesarea

(8)

A. Definisi

Asma bronkial merupakan penyakit yang kronis dan umum, dapat menyerang siapa saja, juga dapat menyerang ibu hamil. Asma bronkial adalah penyakit obstruksi jalan napas yang reversibel disebabkan oleh proses peradangan di jalan napas, konstriksi otot polos bronkus, edema dan peningkatan sekret. Asma bronkhial merupakan penyakit inflamasi kronik yang melibatkan berbagai sel dan elemen sel. Inflamasi kronik ini menyebabkan hipereaktifitas saluran nafas yang ditandai oleh episode berulang berbagai gejala seperti wheezing, batuk, sesak nafas dan dada terasa penuh, terutama pada malam hari atau dini hari. Episode serangan asma bronkial biasanya berhubungan dengan obstruksi aliran udara pernafasan yang bervariasi derajatnya dan umumnya reversibel, baik secara

spontan maupun dengan pengobatan.3,4,6

Pada penelitian didapatkan ibu hamil dengan asma akan menimbulkan resiko pada bayinya. Pengelolaan asma pada ibu hamil agak berbeda, karena pengobatan harus juga memikirkan efek samping pada bayi dalam

kandungan.3

Tujuan utama pengelolaan dari ibu hamil dengan asma adalah selain untuk keselamatan ibunya juga untuk bayi yang dikandung. Harus memperhatikan

obat-obat yang dipakai apakah mempengaruhi janin.3

(9)

- NSAID: aspirin, indometasin, asam mefenamat, ibuprofen, fenoprofen, asam flufenamic, naproxen, phenilbutason

- Zat pewarna: tartrazin, β adrenergik antagonis dan sulfiting agen.

 Lingkungan dan polusi udara: biasa terjadi pada daerah industri

 Faktor lingkungan kerja ; tukang kayu, buruh bangunan

 Infeksi: infeksi saluran napas

 Latihan: pekerjaan fisik yang berat

 Stres: emosi, pembedahan

Proses inflamasi pada penyakit ini sangat kompleks dan melibatkan faktor genetik, faktor lingkungan, sel radang, mediator inflamasi, serta interaksi berbagai sel. Elemen seluler yang berperan terutama mast cell, eosinofil,

limfosit T, makrofag, netrofil dan sel-sel epitel.4,5

Insiden terjadinya kondisi yang mengancam jiwa selama anestesi 0,17-4,2%. Tujuan ahli anestesi adalah meminimalkan resiko terjadinya

bronkhospasme dan menghindari faktor pencetus.6

C. Patofisiologi

Tanda patofisiologi asma bronkial adalah pengurangan diameter jalan nafas yang disebabkan kontraksi otot polos bronkus, kongesti pembuluh darah, edema dinding bronkus dan sekret kental yang pada akhirnya menyebabkan

peningkatan resistensi jalan nafas, penurunan FEV1 dan kecepatan aliran udara,

hiperinflasi paru dan dada, peningkatan kerja pernafasan, perubahan pada fungsi

otot saluran napas, ketidaksesuaian ventilasi/perfusi dan perubahan gas darah. 6

(10)

Bronkospasme terprovokasi ketika agen tertentu menstimulasi reseptor

trakeobronkial. 7

Asma bronkial akibat alergi bergantung pada respon IgE yang dikendalikan oleh limfosit T dan B serta diaktifkan oleh interaksi antara antigen dan molekul IgE yang berikatan dengan sel mast lalu diikuti pembentukan dan pelepasan mediator-mediator. Mekanisme inflamasi pada asma dapat terjadi secara akut, subakut atau kronik dan edema jalan nafas serta sekresi mukus turut memberikan kontribusi untuk terjadinya obstruksi jalan nafas serta reaktifitas bronkhus. Bermacam derajat dari mononuklear sel dan infiltrasi eosinofil,

hipersekresi mukus, deskuamasi epitelium, hiperplasia smooth muscle dan

remodeling jalan nafas muncul. 6,7

Gambar 1. Asma bronchiale 8

(11)

mukosa dan submukosa bronkus sehingga kapiler (edema jalan nafas), dan sekresi yang banyak serta kental, sehingga menimbulkan rekreasi inflamasi yang intensif. Infiltrasi sel-sel radang seperti eosinofil, netrofil menimbulkan kerusakan epitel saluran nafas sehingga terjadi pengeluaran mediator dan penebalan serta edema

mukosa dan submukosa. 6,7

Obstruksi jalan nafas merupakan akibat akumulasi 6 :

1. Spasme dan hipertrofi otot polos jalan nafas 2. Inflamasi dan edema mukosa bronkus 3. Sekret yang banyak dan kental

D. Perubahan Sistem Pernapasan Selama Kehamilan

1. Perubahan hormonal

Tidal volume meningkat 45% sehingga terjadi peningkatan ventilasi permenit. Peningkatan tidal volume diduga disebabkan karena pengaruh progesteron terhadap resistensi saluran napas dan meningkatkan sensititas pusat

pernapasan terhadap karbondioksida. 2,3

2. Faktor mekanik

Dengan bertambahnya usia kehamilan, abdomen juga bertambah besar terutama trimester kedua. Dengan bertambah besarnya abdomen akan menekan diafragma, mengakibatkan turunnya kapasitas residual fungsional. Pola pernapasan juga akan berubah dari pernapasan abdomen menjadi pernapasan torakal sehingga kebutuhan oksigen maternal meningkat.

E. Derajat Asma

Menurut National Asthma Education Program (NAEP), pembagian asma adalah2,3 :

1. Asma Ringan

Gejala singkat kurang dari 1 jam, eksaserbasi biasanya terjadi kurang dari dua kali dalam satu minggu. Apabila aliran oksigen/udara kurang dari 80% tidak akan menimbulkan bahaya.

(12)

Gejala asma kambuh lebih dari dua kali dalam seminggu, dan terjadi gangguan aktifitas. Kadang seminggu kambuhnya sampai berhari-hari. Kemampuan volume ekspirasi berkisar 60-80%.

3. Asma berat

Gejala terus menerus sehingga menganggu aktifitas sehari-hari. Kemampuan volume ekspirasi kurang dari 60%, diperlukan terapi kortikosteroid untuk menghilangkan gejala.

F. Evaluasi Perioperatif

Evaluasi pasien asma yang akan menjalani tindakan anestesi dan pembedahan penting dilakukan untuk mencegah dan mengendalikan kejadian bronkospasme baik intra operatif atau post operatif. Data-data yang diperlukan pada evaluasi penderita meliputi riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium, pemeriksaan fungsi paru dan analisa gas darah, Rontgen thorax.10,11

1. Riwayat penyakit

Data penting pada riwayat penyakit meliputi lama penyakitnya, frekuensi serangan, hebat/lamanya serangan, keluhan/gejala penyakit, faktor- faktor yang mempengaruhi serangan, riwayat penggunaan obat- obatan dan hasilnya, riwayat perawatan di rumah sakit, riwayat serangan terakhir, beratnya dan

pengobatannya.12

2. Pemeriksaan fisik

Tanda- tanda serangan asma tergantung dari derajat obstruksi jalan napas yang terjadi.Dari inspeksi : penderita dalam keadaan sesak, wheezing, sianosis, ekspirasi memanjang, berkeringat. Palpasi : takikardi. Perkusi : hipersonor.

Auskultasi : wheezing, ronki basah.12 Tanda- tanda serangan asma yang berat

meliputi penggunaan otot- otot pernapasan tambahan, tidak mampu berhenti napas yang panjang saat bicara, sianosis, sedikit atau tidak ada wheezing (jalan napas

tertutup, sedikit gerakan udara, dan penurunan wheezing).11

(13)

Pada asma pemeriksaan darah tampak eosinofil meningkat,leukositosis, kadar immunoglobulin meningkat ( Ig G, Ig E ).Pada pemeriksaan sputum

didapatkan eosinifil.12

4. Pemeriksaan Rontgen thorax

Pada umumnya hasilnya normal atau hiperinflasi. Pemeriksaan tersebut umumnya dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi saluran napas dan bila ada kecurigaan adanya proses patologi di paru atau adanya komplikasi asma seperti pneumothorax, pneumomediastinum, atelektasis, pneumonia,dan

lain- lain.11 Kadang didapatkan gambaran air trapping, diafragma datar karena

hiperinflasi, jantung mengecil dan lapangan paru yang hiperluscen.11

5. Pemeriksaan fungsi paru (Spirometri)

Untuk menentukan derajat obstruksi dan mengevaluasi hasil pengobatan. Untuk mengetahui kondisi klinis pasien asma perlu dilakukan pengukuran aliran udara ekspirasi yaitu volume ekspirasi paksa detik pertama (FEV1) dan arus puncak ekspirasi (PEFR). Lebih bagus lagi bila dibandingkan dengan hasil pengukuran sebelumnya. Normalnya nilai volume ekspirasi paksa (FEV1) untuk laki- laki adalah lebih dari 3 liter dan lebih 2 liter untuk wanita. Nilai normal arus puncak ekspirasi ( PEFR ) adalah lebih dari 200 lt/ mnt ( pada laki- laki dewasa muda bisa lebih dari 500 lt/mnt). Nilai PEFR kurang dari 200 lt/mnt pada pria (< 150 lt/mnt pada wanita) menunjukkan gangguan efektifitas batuk dan akan meningkatkan komplikasi pasca bedah. Hasil FEV1 atau PEFR < 50 % menunjukkan asma sedang – berat. Nilai PEFR < 120 lt/mnt atau FEV1 1liter

menunjukkan adanya obstruksi berat.12

Pemeriksaan ini juga memprediksi terhadap resiko komplikasi paru postoperatif, memprediksi kebutuhan bantuan ventilasi dan menilai respon

pengobatan ( contoh bronkodilator preoperatif )15

6. Pemeriksaan analisa gas darah

Pemeriksaan analisa gas darah biasanya dilakukan pada penderita dengan serangan asma yang berat. Pada fase awal serangan, terjadi hipoksemia dan

(14)

justru mendekati normal sampai normo-kapnia. Selanjutnya pada asma yang

sangat berat terjadi hiperkapnia ( PaCO2 ≥ 45 mmHg), hipoksemia, dan asidosis

respiratorik. Kondisi yang berat akan meningkatkan resiko komplikasi paru-paru.12

7. Persiapan Preoperatif

Pada pasien asma persiapan preoperatif bertujuan untuk meningkatkan

kondisi pasien agar gangguan paru yang ada bisa reversibel.15 Kondisi optimal

penderita asma adalah bebas gejala dyspnea, batuk maupun mengi atau gejala tersebut minimal. Operasi elektif pada pasien asma yang dalam kondisi kambuh (eksaserbasi akut) harus dihindari, dan pengobatan bronkodilator harus

dilanjutkan sampai saat operasi.13 Pasien dengan bronkospasme yang akut atau

kronis harus diobati dengan preparat bronkodilator yang berisi ß2- adrenergic agonis, dosis terapi teopillin dan kotikosteroid. Sumber lain menganjurkan untuk

dilakukan tambahan latihan napas dan fisioterapi dada.13,14

Pasien asma dengan serangan bronkospasme aktif yang akan menjalani pembedahan emergensi harus dilakukan perawatan intensif bila memungkinkan. Pemberian oksigenasi, aminofilin intravena, glukokortikoid dan ß2- agonis aerosol dapat secara cepat meningkatkan fungsi paru dalam beberapa jam. Analisa gas darah mungkin bermanfaat pada kasus berat. Hypoxaemia dan hypokapnia sering terjadi pada serangan asma sedang dan berat, bahkan hyperkapnia ringan menunjukkan adanya air traping berat dan dapat merupakan indikasi ancaman

gagal napas.2 Adanya infeksi pada saluran napas harus diobati dengan antibiotik.

Berdasar patofisiologinya, pengobatan asma terdiri atas kortikosteroid untuk mencegah gejala, menurunkan hiperaktifitas bronkus dan menurunkan eksaserbasi, dan bronkodilator yang berfungsi memperbaiki fungsi paru dan mengurangi beratnya gejala. Pengobatan terbaru menganjurkan pemakaian kortikosteroid sedini mungkin pada pasien yang menggunakan agonis ß2 inhalasi. Terapi kombinasi solmeterol 50 mg dan flutikason dalam satu sediaan terbukti

(15)

Pasien asma perlu diberikan latihan napas dalam dan upaya batuk yang kuat pada masa paska bedah, bertujuan untuk meningkatkan pengembangan paru

dan pembersihan sekresi lendir.10

G. Penatalaksanaan Farmakologi

1. Kortikosteroid sering digunakan pada pasien asma. Terutama bentuk parenteral yang digunakan untuk terapi serangan asma berat. Mekanisme kerja obat ini melalui pengurangan Udem mukosa, stabilisasi membran sel mast. Sebagai anti inflamasi, kortikosteroid bekerja melalui mekanisme antara lain:1

- menghambat metabolisme asam arakidonat sehingga mempengaruhi

leukotrin dan prostaglandin.

- Mengurangi kebocoran mikrovaskuler.

- Mencegah migrasi langsung sel-sel inflamasi

- Menghambat produksi cytokins

- Meningkatkan kepekaan reseptor beta pada otot polos bronkus.

Kortikoksteroid yang diberikan secara sistemik dalam jangka panjang dapat menimbulkan efek samping, oleh karena itu dianjurkan pemberian obat

secara inhalasi.1 (Kortikosteroid inhalasi yang dapat digunakan misalnya

budesonide, beclometasone) dengan dosis maksimal 2000 mcg, sangat efektif

dalam pengendalian gejala asma dan dalam mencegah eksaserbasi.12 Bila

pemberian secara inhalasi belum bisa mengontrol serangan asma, maka dianjurkan pemberian secara parenteral. Kortikosteroid parenteral yang biasa digunakan adalah (1-2 mg/kg) hydrocortisone 100 mg IV per 8 jam dan methyl prednisolone 40-80 mg IV per 4-6 jam, atau 80 mg IV per 8 jam, atau

0,8 mg/kg.10

(16)

otot polos bronchus.15 Obat-obat ini juga menghambat pelepasan histamin dan

juga neurotransmitter kholinergik.2,15

a. Obat-obat dengan campuran efek β1 dan β2 termasuk epinefrine

(adrenaline), isoproterenol (Isuprel), dan Isoetharine (bronkosol). Efek samping takikardi dan arithmogenik obat ini membahayakan pada

penderita penyakit jantung.2,15

b. Obat-obat dengan selektif β2 termasuk albuterol (Ventolin), terbutaline

(Brethine) dan metaproterenol (Alupent). Umumnya obat-obat ini

diberikan secara inhaler.14 Agonis β

2 inhalasi sampai saat ini merupakan

bronkodilator yang paling efektif dan paling banyak dipakai. Ada 2 jenis sediaan bronkodilator inhalasi yaitu agonis β2 aksi pendek dan aksi

panjang. Agonis β2 aksi pendek seperti salbutamol,fenoterol dan

terbutaline ini sangat efektif, cepat dan aman untuk mengobati serangan

asma akut. Agonis β2 aksi panjang adalah salmeterol dan formoterol.2

3. Phosphodiesterase inhibitor (Teofilin), obat ini menyebabkan bronkodilatasi dengan cara meningkatkan kadar cAMP intraseluler yang menghambat kerja ensim phosphodiesterase. Selain bekerja sebagai inhibitor phosphodiesterase, teofilin juga bekerja sebagai antagonis prostaglandin, inhibitor transport kalsium, meningkatkan clearans mucosiliare dan meningkatkan kerja diafragma.2,15

Loading dose aminophylline adalah 5-6 mg/kg BB lebih dari 30 menit diikuti infus kontinyu 0,4-0,9 mg/kg BB. Kadar theophylline dalam darah perlu diperiksa dan dosisnya disesuaikan untuk menjaga kadar terapi yang sempit antara 10-20 μg/dl. Penggunaan obat ini perlu dilanjutkan sampai pagi menjelang operasi. Level obat di atas 20 μg/dl sering menyebabkan tanda--tanda toxic berupa mual, muntah, headache, cemas, takikardia, arithmia dan kejang.15

(17)

digunakan pada anak untuk mencegah efek samping kortikosteroid pada

pertumbuhan anak.1

5. Antikolinergik, mempunyai efek langsung berupa bronkodilatasi dengan menghambat pembentukan cGMP. Atropine sulphat sebagai obat antikholinergik mempunyai efek samping takikardia, sehingga jarang digunakan. Glycopyrolate digunakan dengan nebulizer dosis 0,4-0,8 mg. Ipratoprium bromide adalah turunan atropin dan bekerja sebagai antikholinergik. Pada serangan asma akutdapat memperbesar efek bronkodilatasi dari beta-agonis dengan dosis 0,25-0,5 mg secara metered dose inhaler.

6. Antileukotrien, obat golongan ini bekerja dengan menghambat enzim yang mensintesa leukotrin atau mempengaruhi ikatannya pada reseptor. Termasuk antagonis reseptor leukotrin antara lain “zafirlukast, pranlukast dan montelukast”. Zafirlukast dapat digunakan sebagai pcngganti kortikosteroid

inhalasi.1 Termasuk inhibitor 5-lipooxygenase adalah “Zilueton”. Obat-obat

antileukotrin ini biasa digunakan untuk terapi asma kronik.

H. Teknik Anestesi

Pilihan teknik anestesi bisa regional atau general anestesi atau kombinasi keduanya. Pada suatu situasi dapat digunakan regional anestesi saja, dengan pasien tetap sadar, mampu mengontrol sistem nafasnya sendiri, dan pada situasi lain diperlukan kombinasi general anestesi dengan regional anestesi, karena

pertimbangan pembedahannya atau untuk mengendalikan nyeri postoperasi.13

1. Regional Anestesi

Dapat menjadi pilihan teknik anestesi terbaik bagi pasien dengan penyakit paru, dimana tempat operasinya di bagian abdomen atau

extremitas.15

Pada teknik anestesi spinal dan epidural akan mengurangi level

katekolamin serta mengurangi konsumsi oksigen.3 Pasien dengan asma berarti

(18)

memperburuk kondisi jika hambatan motorik menurunkan FRC, mengurangi kemampuan pasien untuk batuk dan membersihkan lendir, atau memicu gangguan respirasi atau bahkan gagal nafas.15 Para klinisi percaya bahwa spinal tinggi atau epidural anestesi dapat memperburuk bronkokonstriksi dengan terjadinya hambatan tonus simpatis pada jalan nafas bagian bawah

dan menyebabkan aktivitas parasimpatis tak terhambat.6 Kombinasi teknik

epidural dan anestesi umum dapat menjamin kontrol jalan nafas, memberikan ventilasi adekuat, mencegah hipoksemia dan atelektasis.

2. Anestesi Umum

Teknik anestesi umum jika terdapat kontraindikasi dilakukan anestesi regional. Obat-obat anestesi inhalasi memberikan bronkodilatasi sebanding kedalaman anestesi untuk menurunkan hiperreaktifitas airway yang sensitif.

Saat paling kritis bagi pasien asma yang menjalani operasi adalah waktu instrumentasi jalan nafas. Nyeri, stress, emosi, atau stimulasi pada anestesi umum yang dangkal dapat mencetuskan bronkospasme.

a. Premedikasi

Pada pasien asma premedikasi bertujuan untuk mengurangi segala bentuk stimulasi yang dapat memicu terjadinya serangan asma. Midazolam mengurangi kecemasan dan seringkali amnesia retrogade, dapat diberikan intravena (0,05-0,1 mg/kgbb) atau peroral pada anak (0,5-1 mg/kgbb, dengan dosis maksimum 15 mg). Atropin adalah obat antikolinergik yang mampu menurunkan resistensi jalan nafas, menurunkan kemungkinan reaktifitas jalan nafas yang ditimbulkan oleh sekresi. Difenhidramin adalah pemblokade reseptor H1, yang mampu menghambat bronkokonstriksi yang dimediasi histamin dan sedikit efek sedatif.

Droperidol dapat menurunkan resistensi jalan nafas dengan blokade -adrenergik.

(19)

Obat 2 agonis, kromolyn, maupun steroid sebaiknya terus dilanjutkan sampai

saat pembedahan. 4,7

Pada pasien asma yang tergantung steroid seharusnya diberikan terapi perioperatif untuk mencegah terjadinya insufisiensi adrenal selama operasi. Pasien ini juga mempunyai resiko terjadinya miopati ketika mendapat pemberian obat

pelumpuh otot secara berulang. 4,7

b. Induksi

Tujuan utama induksi adalah menumpulkan refleks jalan nafas sebelum laringoskopi dan intubasi, relaksasi otot polos jalan nafas, dan pencegahan pelepasan mediator biokimia. Sebelum induksi anestesia dapat diberikan dua atau tiga semprotan albuterol dan inhaler. Semprotan lidokain endotrakeal topikal melalui perangkat anestesia laringotrakeal atau pemberian lidokain intravena dapat digunakan sebelum induksi untuk mencegah refleks batuk bila anestesia

yang didapatkan tergolong ringan. 4,7

Kemudian diberikan oksigen serta penggunaan agen inhalasi yang paten seperti halotan, sevofluran, atau isofluran diberikan dengan masker dapat membantu untuk mencapai kedalaman anestesia yang cukup sebelum intubasi endotrakeal. 4,7

Obat-obat induksi yang sering dipakai antara lain :

 Thiopental (3-5 mg/kgbb iv) ternyata dapat merangsang pelepasan

histamin pada sel mast manusia. Thiopental sendiri sesungguhnya tidak menyebabkan bronkospasme, tetapi karena anestesia yang dihasilkan hanya dangkal, instrumentasi pada jalan nafas dengan thiopental saja dapat memicu bronkospasme. Karena itu tetap dapat digunakan pada pasien asma asalkan kedalaman anestesia yang adekuat dapat dicapai sebelum dilakukan stimulasi jalan nafas. 4,7

 Propofol (1-2,5 mg/kgbb iv) dapat menjadi agen induksi terpilih untuk

(20)

propofol 2,5 mg/kgbb dengan hasil insiden wheezing yang secara signifikan lebih rendah bila dibandingkan dengan induksi dengan 5 mg/kgbb thiopental. Angka kejadian wheezing berturut-turut adalah 0% (0/17), 45% (23/67), dan 26% pada pasien yang mendapat propofol, tiobarbiturat, dan oksibarbiturat. Penelitian lain menemukan bahwa pada pasien yang tidak terseleksi, propofol menghasilkan angka yang secara signifikan lebih rendah dalam hal resistensi respirasi setelah intubasi

trakeal dibanding induksi dengan thiopental atau etomidat. 4,7

 Etomidat (0,2-0,5 mg/kgbb iv) tidak mendepresi fungsi miokardial.

Karena itu, obat ini menyediakan stabilitas hemodinamik pada pasien yang sakit kritis. Walaupun disebut sebagai obat ideal untuk pasien asma, hanya sedikit bukti yang mendukung klaim tersebut, kecuali bahwa etomidat tidak memicu pelepasan histamin. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa baik etomidat maupun tiopental tidak mencegah terjadinya wheezing

setelah intubasi, berlawanan dengan proteksi menonjol dari propofol. 4,7

 Ketamin (1-2 mg/kgbb iv) menghasilkan bronkodilatasi baik secara

langsung maupun melalui pelepasan ketekolamin. Pada pasien dengan wheezing aktif, ketamin merupakan agen induksi terpilih, khususnya bila

hemodinamiknya tidak stabil. 4.7

c. Pelumpuh Otot

Tergantung dari tipe reseptor muskarinik yang digunakan, peningkatan atau penurunan tonus bronkus dan reaktifitas dapat diperkirakan, dimana pelumpuh otot yang berikatan dengan reseptor M2 lebih banyak daripada yang berikatan dengan reseptor M3 (gallamin, pipecuronium, rapacuronium) dapat menyebabkan bronkokonstriksi. Sebaliknya pelumpuh otot yang lebih banyak berikatan dengan reseptor M3 (vecuronium, rocuronium, cisatracrium,

pancuronium) tidak menyebabkan bronkospasme. 4,7

Atracurium dan mivacurium melepaskan histamin tergantung dosis yang

digunakan dan telah diindentifikasi sebagai pencentus bronkokonstriksi. 4,7

(21)

Lidokain intravena, 1-1,5 mg/kgbb, dapat diberikan 1-2 menit sebelum intubasi untuk mencegah terjadinya bronkospasme yang diinduksi oleh reflek. Semprotan lidokain topikal harus digunakan dengan hati-hati karena dapat memicu reflek bronkokonstriksi jika kedalaman anestesia yang adekuat belum tercapai. 4,7

Pada pasien darurat yang memerlukan pembedahan dan intubasi cepat, semua perhatian dalam pencegahan aspirasi isi lambung dan serangan asma perlu dilakukan secara simultan. Lambung yang penuh sebaiknya dikosongkan dengan pemasangan pipa nasogastrik. Induksi sekuensial cepat dan intubasi trakeal menggunakan propofol, thiopental atau suksinilkolin penting perannya dalam pencegahan aspirasi. Ketamin mungkin merupakan agen induksi terpilih pada pasien asma non kardial, karena ketamin meningkatkan pelepasan katekolamin dengan resultan berupa bronkodilatasi. Pasien juga perlu di-denitrogenasi dengan masker O2 100%. Jika pasien mengalami serangan wheezing sebelum anestesia, inhalasi obat simpatomimetik seperti albuterol dapat digunakan sebagai terapi lini

pertama untuk serangan akut asma. 4,7

d. Maintenance

Rumatan anestesi dapat digunakan agen secara intravena seperti propofol (50-200 mg/kgbb/min) atau agen inhalasi seperti halotan, isofluran dan sevofluran merupakan bronkodilator yang poten. Agen tersebut lebih efektif dalam mengurangi tonus bronkomotor dibanding dietil eter dan ketamin yang menghasilkan pelepasan katekolamin medulla adrenal yang tidak bergantung dosis. Sevofluran, enfluran, dan isofluran lebih disukai daripada halotan, karena halotan mensensitisasi miokardium terhadap efek aritmia dari katekolamin

tersirkulasi dibanding ketiga agen tersebut. 4,7

Komponen bronkodilatasi utama yang ditimbulkan oleh halotan dimediasi

melalui stimulasi reseptor -adrenergik, yang menurun oleh agen blokade . Efek

-agonis bekerja melalui dua mekanisme intraseluler. Yang pertama adalah

(22)

negatif. Mekanisme kedua dapat timbul melalui mekanisme pertama, yaitu saat peningkatan kadar cAMP tampak mengurangi produksi enzim yang dimediasi antigen-antibodi dan pelepasan histamin dari lekosit. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa mekanisme aksinya adalah melalui depresi refleks jalan

nafas dan efek langsung pada otot polos jalan nafas. 4,7

I. Perawatan Pasca Bedah

1. Penghilang nyeri adalah penting terutama pada operasi didaerah abdomen dan

dada. Pemberian opioid paling sering digunakan meskipun pemberian analgetik epidural paling baik.

2. NSAID bisa memicu terjadinya bronkospasme kurang lebih pada 8-20% pada

pasien asma dewasa. Penggunaan NSAID dihindari bila asma tidak terkontrol.

3. Terapi nebuliser dan fisioterapi napas dilanjutkan.

4. Pertimbangkan dosis dan rute pemberian dari steroid.

5. Jika terjadi wheezing dan sesak yang memberat setelah operasi, evaluasi

kemungkinan penyebab lain seperti gagal jantung, emboli paru, kelebihan

cairan dan pneumothorak. 7,9

J. RINGKASAN

- Asma adalah penyakit paru dengan karakteristik :

1. Obstruksi saluran napas yang reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan.

2. Peradangan saluran napas.

3. Peningkatan respon saluran napas terhadap berbagai rangsangan hipereaktivitas).

- Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin, umur pasien, faktor keturunan, serta faktor lingkungan.

(23)

- Tindakan anestesi pada penderita asma perlu pemahaman tentang patofisiologi, sehingga dapat dilakukan evaluasi penyakit, peningkatan kondisi seoptimal mungkin, persiapan operasi, persiapan tindakan darurat, premedikasi dan penanganan anestesi dengan sebaik- baiknya untuk mencegah terjadinya serangan asma/ bronkospasme dan mengobatinya bila terjadi serangan asma.

- Pencegahan terhadap serangan bronkospasme durante operasi penting dilakukan terutama pada saat manipulasi jalan napas, obat- obatan dan tindakan yang potensial menyebabkan serangan asma atau bronkospasme perlu dihindari agar hal tersebut tidak terjadi.

- Pemilihan dan penyiapan obat- obat anestesi yang benar dapat mencegah terjadinya serangan asma.

- Rencana tindakan/ pengobatan dan obat- obatan untuk serangan bronkospasme harus disiapkan, agar bila terjadi serangan bronkospasme kondisi reveresibel dapat dicapai.

(24)

Daftar Pustaka

1. Kevin C. Dennehy and Kenneth E. Shepherd, 2002 : Specifik Consideration with Pulmonary Disease in Clinical Anaesthesia Prosedures of the Massachusetts General Hospital, six edition Lippincott Williams & Wilkins page : 33-41

2. Suresh, Maya et al. 2013: Ashma in Pregnancy in Shnider and levinson’s. Anesthesia for Obstetri. Fifth Edition Lippincott Williams & Wilkins page : 524-537

3. Bisri, Tatang, dkk . 2013. Asma pada kehamilan . Anestesi Obstetri. KATI hal 107-116

4. Silverman RA, osborn H, Runge J, et al: IV Magnesium Sulfate in the treatment of Acute Severe Asthma. Chest 2002 ; 122 : 489 – 497.

5. Packer M,; Reactive Airway Disease in Anaesthesia Secret 2nd 2000; 212-217.

6. Morgan GE, Mikhail MS, Anesthesia for Patient with Respiratory Disease in

Clinical Anesthesiology, 2nd ed Lange medical book 1996; 441-444.

7. Fun Sun Yao, Asthma-Cronic Obstuktive Pulmonary Disease in Anesthesiology Problem Oriented Patient Management in Anesthesiology, Lippicott William & Wilkins, New York, page 1-28.

8. Hansen J., 2011, Asthma Bronciale, available from www.britannica.com/EBchecked/topic/39778/Asthma

(25)

10. Thomas J.G., 1996 : Bronchospasme in Complication of Anaesthesia, 2nd ed., Lippin Catt-Raven, page: 67, 199-209, 246.

11. Oberoi G., Phillips G., 2000 : Management of Some Medical Emergency Situations, Mc Graw Hill, page: 315-318

12. Karnen B., 1990 : Asma Bronkiale dalam Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, hal : 21 -39.

13. Nunn J.F., 1990 : Anaesthesia for Patients with Respiratory Disease in

General Anaesthesia, 5th ed., Butterworth International, page: 699-702.

14. Deepthi A., 1992 : Anaesthesia in Respiratory Disease in a Handbook of Anaesthesia, Colombo, Srilangka, page : 58.

15.Epstein P.L., 1999 : Spesific Consideration with pulmonary Disease in

Clinical Anaesthesia Procedures of Massachussetts General Hospital, 6th ed,

Gambar

Gambar 1. Asma bronchiale 8

Referensi

Dokumen terkait

Seba- liknya, oksiden- talisme sebagai disiplin ilmu harus diartikan tidak lain sebagai “pengetahuan akademik tentang budaya, bahasa, dan bangsa-bangsa Barat.” Karena asumsinya

3.11.1 Mendeskripsikan sifat-sifat cahaya. 3.11.2 Mengidentifikasi proses pembentukan bayangan pada cermin datar dan lengkung 3.11.3 Mengidentifikasi proses pembentukan

Dalam suatu riwaya t disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Umar bin Abd Aziz, tidak ditemukan lagi masyarakat yang layak untuk menerima zakat, karena semua

Buku Laporan Akhir merupakan hasil penelitian dan pengembangan yang telah dibahas dengan Tim Pakar dan Tim Teknis yang dibentuk oleh Kepala Kantor Litbang dan Statistik

1910 yılının Ağustos ayında hizmete giren 66 numaralı Boğaziçi vapuru ise 52 yıl süren uzun hizmet döneminden sonra 1962 yılında onarılıp, yenilendiI. 1981 yılında

Maraming iskolar ang nagkakaroon ng mataas na interes sa pag-aaral ng mga panitikan ng Mindanao. Ito ay dahil sa tila kakaunting impluwensiya ng maka-Kanlurang kultura dito. Dahil

Macam-macam cara sterilisasi dengan pemanasan yaitu pemanasan dalam nyala api, pemanasan dengan udara panas (dry heat oven), merendam dalam air mendidih (menggodog),

1) Memberikan perawatan secara langsung berdasarkan proses keperawatan dengan sentuhan kasih sayang. 2) Melaksanakan tindakan perawatan yang telah disususun. 3)