• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fonologi Bahasa Gayo: Suatu Analisis Fonologi Generatif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Fonologi Bahasa Gayo: Suatu Analisis Fonologi Generatif"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Bangsa Indonesia terdiri atas suku bangsa yang beragam dan memiliki

bahasa yang beragam pula. Walaupun telah ada bahasa Indonesia sebagai bahasa

nasional, bahasa daerah yang beragam itu masih tetap dipakai sebagai alat

komunikasi di daerah, bahkan bahasa daerah itu dipelihara oleh Negara seperti

tercantum dalam UUD 1945, Bab XV, pasal 36 yang menyatakan bahwa bahasa

daerah yang masih dipakai sebagai alat perhubungan oleh masyarakat bahasa

setempat, dibina dan dipelihara oleh negara. Bahasa daerah yang tersebar di

seluruh tanah air merupakan salah satu kekayaan budaya bangsa. Pembinaan dan

pengembangan bahasa-bahasa daerah sangatlah penting dalam memperkaya

kebudayaan nasional. Itulah sebabnya bahasa-bahasa daerah harus dipelihara dan

dilestarikan agar tetap menjadi wadah pengekspresian budaya masyarakat.

Bahasa Gayo adalah salah satu diantara bahasa-bahasa daerah yang ada di

Indonesia. Bahasa Gayo dapat mencerminkan adat-istiadat dari budaya

masyarakat Gayo. Pilar bahasa Gayo inilah yang membina masyarakat Gayo

untuk bersikap dan bertutur kata sebagaimana layaknya seseorang yang beradat,

berbudaya dan tradisi yang sudah disepakati secara konvensional.

Penelitian terhadap bahasa Gayo sudah banyak dilakukan, akan tetapi

(2)

maksimal. Kalaupun ada bukan dalam kapasitas sebagai bahasa Gayo sebagai

bahasa, melainkan sebagai pelengkap sejarah tentang masyarakat Aceh. Bahasa

Gayo bukan merupakan dialek dari bahasa Aceh, tetapi merupakan bahasa

tersendiri.

Bahasa Gayo adalah bahasa daerah yang digunakan di Kabupaten Aceh

Tengah yaitu salah satu Kabupaten yang berada di Provinsi Aceh. Bahasa Gayo

adalah salah satu bahasa yang termasuk ke dalam kelompok Melayu-Polynesia

yang merupakan cabang dari beberapa bahasa Austronesia kecil yang sudah

semakin banyak terdokumentasikan. Menurut hasil kajian UNESCO bahasa itu

berpenutur kurang dari 500.000 orang (Laporan Penduduk bulan Desember 2011

Kabupaten Aceh Tengah 55% dari 210.000 jiwa, Kabupaten Gayo Lues 80% dari

56.000, Kabupaten Bener Meriah 60% dari 86.000 jiwa dan Kecamatan Lukup

Serbe Jadi (Kabupaten Aceh Timur 10%), yang sebagian besar bertempat tinggal

di Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Bener Meriah, dan

sebagaian kecil penutur bertempat tinggal di Kecamatan Lukup Serbe Jadi

Kabupaten Aceh Timur (Shaumiwaty, 2009 : 6). Menurut peneliti senior Badan

Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional bahwa

bahasa yang penuturnya kurang dari 1000 orang terancam punah atau habis

(Sugono, 2011 : 5). Dengan demikian bahasa Gayo adalah salah satu di antara

bahasa yang terancam punah.

Dalam pergaulan sehari-hari peranan bahasa Gayo sangat fungsional.

Pemakaiannya tidak saja terbatas pada suku Gayo, tetapi juga oleh suku

(3)

juga bahasa Gayo, terlebih-lebih kalau lawan bicaranya itu adalah orang Gayo

atau orang yang mengetahui bahasa tersebut. Bila pegawai pemerintahan dalam

tugasnya memberi penerangan ataupun bimbingan kepada masyarakat di

desa-desa, mereka biasanya menggunakan bahasa Gayo.

Bahasa Gayo dipergunakan bukan saja pada situasi yang tidak resmi,

seperti di dalam rumah tangga, tetapi juga kadang kala pada hal yang resmi,

seperti dalam pidato adat dan yang lainnya. Namun seiring dengan perkembangan

zaman dan banyaknya pengaruh kebudayaan dari luar bahasa Gayo saat ini

tidaklah lagi dipakai sebagai alat komunikasi seperti disebutkan di atas. Bahasa

Gayo saat ini sudah mulai kehilangan jati dirinya. Dahulu berfungsi sebagai alat

komunikasi, pendukung kebudayaan, dan lambang identitas masyarakat Gayo.

Tetapi, saat ini ketiga fungsi itu tidak lagi terealisasi dengan baik terutama dalam

kegiatan-kegiatan anggota masyarakat ketika mereka berkomunikasi sesama

mereka. Hal ini disebabkan beberapa hal seperti (1) urang Gayo yang menganut

sistem perkawinan patrilokal/eksogami atau kawin juwelen yang melarang

pernikahan dalam satu belah/klen/marga, sehingga pemuda/pemudi Gayo mencari

istrinya dari suku lain, (2) orientasi nilai budaya dalam mata pencaharian hidup

orang gayo memilih sebagai petani dan tidak memiliki naluri berdagang,

akibatnya masuklah etnis lain seperti Padang, Aceh pesisir dan Karo, (3) adanya

kecendrungan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu, antara lain

lingkungan sosial yang heterogen atau antar etnis.

Terkait dengan hal itu, Kridalaksana (1996 :1) menyebutkan bahwa

(4)

sentrifungal. Daya sentripetal merupakan usaha penutur bahasa untuk

mempertahankan bahasanya karena bahasa Gayo itu merupakan ciri identitas

”urang Gayo” di Provinsi Aceh. Daya sentrifungal merupakan usaha akomodasi

bahasa tersebut dalam perkembanganya sebagai alat komunikasi di dalam

pergaulan intraetnis dan antaretnis. Dalam hal ini pengaruh bahasa lain terutama

bahasa Aceh sebagai bahasa mayoritas di Aceh serta bahasa-bahasa lain yang ada

serta bahasa Indonesia sebagai nasional di Indonesia tidak bisa dihindari.

Haugen (1972 : 327) mengatakan, bahwa kehidupan sebuah bahasa di

lingkungan bahasa-bahasa lainya tidak bisa menghindarkan diri dari terjadinya

pengaruh unsur-unsur kebahasaan. Situasi kebahasaan yang terkait dengan orang

yang diajak bicara, topik pembicaraan, dan dorongan dari dalam diri pembicara,

seperti dorongan untuk diterima dalam penggunaan bahasa oleh penutur bahasa

lain merupakan alasan sosial-kebahasaan seseorang menggunakan unsur bahasa

lain. Selain itu, faktor kesiapan atau kemudahan pengucapan unsur bahasa tertentu

merupakan faktor kebahasaan seseorang menggunakan unsur bahasa lainnya.

Kajian bahasa Gayo menjadi semakin menarik karena bahasa itu memiliki

ciri dalam bahasa tersendiri yang membedakannya dengan bahasa daerah yang

lain di Indonesia, serta keberadaan bahasa Gayo sebagai bahasa minoritas di

lingkungan bahasa mayoritas (bahasa Aceh) menyebabkan bahasa ini berinteraksi

secara ekstralingual. Sehingga kadang-kadang sulit membedakan mana segmen

konsonan dan segmen vokal bahasa Gayo yang sebenarnya. Karena ketika kedua

suku tersebut saling berkomunikasi (Aceh–Gayo) sering terdengar keduanya

(5)

/b฀h/ [b฀h] dalam bahasa Gayo berarti “ya” dan kata /bh/ [bh] dalam bahasa

Aceh berarti ‘ya”

Dengan fenomena seperti di atas kajian bidang fonologi bahasa Gayo perlu

mendapat prioritas. Hal itu karena kenyataan di lapangan sampai dengan saat ini

masyarakat Gayo belum mengenal sistem tulisan tersendiri, kalaupun ada mereka

hanya mengenal tulis latin dan huruf Arab Jawi sebagai sistem tulisannya, maka

hasil kajian ini nantinya dapat dijadikan dasar untuk membuat sistem tulisan

bahasa Gayo.

Menurut Baihaqi dkk, (1981 : 1) bahwa suku Gayo terbagi menjadi:

1. Gayo Lut, yang mendiami daerah sekitar Danau Laut Tawar

2. Gayo Deret, yang mendiami daerah Kecamatan Linge

3. Gayo Lues, yang mendiami daerah Belang Kejeren

4. Gayo Lukup Serbejadi, yang mendiami daerah Kecamatan Serbejadi Aceh

Timur

5. Gayo Kalul, yang mendiami daerah bagian Timur kabupaten Aceh Timur.

Kelima kelompok suku bangsa Gayo, baik Gayo Lut, Gayo Deret, Gayo

Lues, Gayo Serbejadi, dan Gayo Kalul dalam percakapan sehari-harinya

sama-sama menggunakan bahasa Gayo. Namun karena isolasi masing-masing

kelompok tadi telah menyebabkan mereka mengembangkan variasi bahasa dalam

wujud dialek-dialek.

Perbedaan itu juga timbul karena perbedaan intensitas hubungan mereka

(6)

dalam dua dialek, yaitu dialek Gayo Lut yang dipakai oleh orang Gayo Lut dan

Gayo Deret. Dialek Gayo Lues dipakai oleh orang-orang Gayo Lues, Serbejadi,

Lukup dan Tampur. Lukup dan Tampur ini termasuk ke dalam subkelompok

Gayo Kalul. Melalatoa (1995 : 277), menyebutkan adanya tiga sub dialek Gayo,

yaitu Sub Dialek Deret, Sub dialek Bukit dan Sub dialek Cik.

Upaya penelitian tentang bahasa Gayo sebenarnya telah mulai dirintis oleh

beberapa peneliti terdahulu. Pada zaman penjajahan Belanda pernah juga

dilakukan terhadap bahasa Gayo. Sebagaimana yang diungkapkan oleh

Voorhaeve (1955 : 8) bahwa tiga penulis yang pernah melakukan penelitian

adalah, Snouck Hurgronje (1903) dengan tulisan berjudul, Deblauwe in het

Gayomeer, G.A.J Hazeu (1907), menyusun Kamus Gajosh Register, W.Pde Haass

(1954) menulis tentang The Semantic Spectrum of Moisture in Arabic with some

Indonesia Analogies.

Setelah zaman penjajahan berakhir hampir tidak ada dilakukan penelitian

tentang bahasa Gayo. Tetapi pada tahun 1976 bahasa Gayo telah mulai diteliti

kembali oleh tim peneliti Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Daerah

Istimewa Aceh. Di antaranya, Struktur Umum Bahasa Gayo (1976/1978),

Morfologi dan Sintaksis Bahasa Gayo (1977/1978), Morfologi Kata Kerja Bahasa

Gayo (1977/1978), dan Sistem Perulangan Bahasa Gayo (1977/1980). Deskripsi

Etnografi dan Linguistik tentang Suku Bangsa dan Bahasa Gayo (Melalatoa dkk,

1977), Tata Fonem Bahasa Gayo Lut (Kridalaksana dkk: 1980), Bahasa Gayo

(Baihaqi dkk, 1981), Morfologi Bahasa Gayo (Banta, 1977), Kata Tugas Bahasa

(7)

1985), Kamus Gayo-Indonesia (Melalatoa dkk, 1985), Kamus Bahasa

Indonesia-Bahasa Gayo (Thantawy dkk, 1996), Pedoman Ejaan Bahasa Gayo (Hasan dkk,

1997), Sistem Nominalisasi Bahasa Gayo (Zainuddin, 2001), Sistem Morfologi

Verba Bahasa Gayo Dialek Gayo Lut (Husna, 2003). The Morfological Process of

Prefixes in Gayo Language (Handayana, 2007). dan Dardanila (2004) dengan

judul Pronomina dalam Bahasa Gayo.

Dalam kajian ini, variasi bahasa Gayo bukanlah sebagai dialek dari bahasa

Aceh melainkan bahasa Gayo merupakan bahasa tersendiri. Hal ini didasarkan

pada berbagai hal berikut. Pertama, berdasarkan fakta sejarah etnis Gayo berasal

dari kerajaan Linge. Dari kerajaan Linge ini keturunan mereka menyebar ke

daerah-daerah sekitarnya. Bahkan menurut sejarah Raja Aceh yang sangat

terkenal yaitu Sultan Iskandar Muda merupakan salah satu dari putra Reje Linge.

Kedua, etnis Gayo memiliki sistem budaya yang berbeda dengan etnis lain yang

tersebar di Aceh. Dengan sistem budaya yang berbeda-beda maka setiap etnis

wajar mempunyai bahasa sendiri-sendiri. Ketiga, penutur bahasa Gayo tidak

memahami dan tidak dapat menggunakan bahasa Aceh ketika mereka bertemu

dan berbicara, demikian pula sebaliknya penutur bahasa Aceh tidak dapat

memahami dan menggunakan bahasa Gayo ketika mereka bertemu dan berbicara.

Keempat, bahasa Gayo memiliki tekanan dalam kalimat. Peranan tekanan kalimat

dalam pengucapan bahasa Gayo sangat penting. Kelima, bahasa Gayo yang

digunakan dalam kajian ini adalah bahasa Gayo yang berkembang di masyarakat

(8)

Berdasarkan pengamatan, bahasa Gayo memiliki empat macam pola suku

kata. Masing-masing suku kata disertai sebuah vokal, baik sebagai pembuka atau

pengiring konsonan. Tetapi ada juga sebuah suku kata yang hanya terdiri satu

vokal saja. Selain itu bahasa Gayo juga banyak menerima unsur-unsur serapan

dari bahasa lain seperti dari bahasa Arab dan bahasa Belanda (Akbar, 1985 : 33).

Dengan fenomena seperti di atas ditambah lagi bahasa Gayo tidak

mengenal sistem tulis, maka aspek fonologi bahasa Gayo perlu diteliti dengan

tujuan untuk menemukan sistem bunyi yang nantinya dapat dijadikan dasar untuk

membuat sistem tulisan bahasa Gayo.

Namun penelitian tentang Fonologi bahasa-bahasa di Indonesia masih

sedikit dilakukan jika dibandingkan dengan penelitian bidang sintaksis. Penelitian

Fonologi Generatif berawal dari tulisan Chomsky dan Halle (1968) dengan judul

The Sounds Patterns of English. Namun, Fonologi Generatif untuk bahasa

Indonesia sampai saat ini baru dilakukan oleh satu orang yaitu Hans Lapoliwa

(1981) Fonologi Bahasa Indonesia: Suatu Pendekatan Generatif. Dari ratusan

bahasa daerah di Indonesia, masih sangat sedikit penelitian fonologi generatif

bahasa daerah yang dilakukan, yaitu oleh: Pastika (Bahasa Bali, 1990), Lagousi

(Bahasa Bugis, 1992), Adnyana (Bahasa Bajo, 1995), Berkanis (Bahasa Tetum

Dili, 1996), Sudana (Bahasa Bima, 1997), Mulyani (Bahasa Melayu Dialek Deli

Medan, 1998), Marthini (Bahasa Osing, 1999), Hendrina (Bahasa Sumba, 2001),

(9)

1.2 Masalah Penelitian

Masalah yang diteliti dan dikaji dalan penelitian ini adalah

1. Bagaimanakah realisasi segmen asal dari morfem-morfem bahasa Gayo,

baik pada tataran fonemis maupun pada tataran fonetis?

2. Bagaimanakah ciri-ciri pembeda dan kaidah segmen-segmen

berlimpah(redundansi) bahasa Gayo?

3. Bagaimanakah pola kanonik suku kata dan syarat struktur morfem bahasa

Gayo?

4. Bagaimanakah proses dan kaidah fonologis dalam bahasa Gayo?

5. Bagaimanakah penetapan ortografi bahasa Gayo?

1.3 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab empat hal yang menjadi masalah, yaitu

1. Untuk menjelaskan realisasi segmen asal dari morfem-morfem bahasa

Gayo, baik pada tataran fonemis maupun pada tataran fonetis,

2. Untuk mendeskripsikan ciri-ciri pembeda dan kaidah segmen-segmen

berlimpah (redundansi) bahasa Gayo?

3. Untuk mendeskripsikan pola kanonik suku kata dan syarat stuktur morfem

bahasa gayo

4. Untuk memformulasikan proses dan kaidah fonologis bahasa Gayo.

(10)

1.4 Manfaat Penelitian

Kajian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam beberapa bidang

berikut ini:

(1) Secara Teoretis

Dalam bidang linguistik teoretis, kajian ini bermanfaat dalam bidang

fonologi. Kajian fonologi ini menerapkan berbagai konsep yang bersifat ragam

maupun yang bersifat semesta. Pengembangan konsep yang bersifat ragam terlihat

pada penemuan ciri-ciri fonologis yang unik pada bahasa Gayo. Pengembangan

konsep yang bersifat semesta terlihat pada kajian ciri-ciri fonologi bahasa Gayo

yang bersifat universal. Berbagai ragam temuan tersebut tentu sangat bermanfaat

kerena merupakan sumbangan yang bermanfaat dan dapat manjadi acuan bagi

model penelitian sejenis, terutama bagi bahasa-bahasa yang belum pernah diteliti

dari bidang fonologinya.

Selanjutnya, teori fonologi generatif terus mengalami perkembangan dari

waktu ke waktu, jika kajian ini hanya terbatas pada kajian leksikal saja tentu

masih banyak yang harus dikerjakan berhubungan dengan perkembangan teori

fonologi dimaksud misalnya, kajian tentang fonologi autosegmental, fonologi

prosodi dan kajian posleksikal masih perlu mendapat prioritas bagi penelitian

(11)

(2) Secara Praktis

Selain manfaat tersebut, temuan kajian ini bermanfaat bagi pengajaran

bahasa, terutama bahasa Gayo. Hasil kajian fonologi ini dapat menjadi bahan

untuk penyusunan pedoman bagi penutur bahasa Gayo dalam pemakaian lafalnya.

Pemakaian lafal-lafal yang benar sangat ditentukan oleh pengetahuan penutur

bahasa tentang kaidah-kaidah bunyi yang berlaku pada bahasanya. Hal ini penting

agar dalam upaya pelestarian dan pengembangan bahasa Gayo ke depan dapat

Referensi

Dokumen terkait

Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2015 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi/ Komisi Independen Pemilihan Aceh dan Komisi

Pemborong bertanggung jawab atas keamanan seluruh pekerjaan termasuk bahan-bahan bangunan dan perlengkapan instalasi di tapak, hingga kontrak selesai dan diterima

apabila yang bersangkutan mengundurkan diri dan masa penawarannya masih berlaku dengan alasan yang tidak dapat diterima secara obyektif oleh Panitia Pengadaan Barang

[r]

apabila yang bersangkutan mengundurkan diri dan masa penawarannya masih berlaku dengan alasan yang tidak dapat diterima secara obyektif oleh Panitia Pengadaan Barang

Billing internet ini diharapkan dapat memberikan kemudahan bagi administrator dalam mengelola warung internet dan juga bagi user sehingga terjadi penghitungan biaya yang tepat

Diharapkan kehadiran saudara dengan membawa stempel perusahaan, dan bila saudara berhalangan hadir kemudian diwakilkan agar membuat surat kuasa yang ditandatangani diatas kertas

Dengan menggunakan aplikasi ini, pengguna diharapkan dapat mengakses kamus Inggris â Indonesia yang selalu ter-update karena pengelolaan database kosakata yang dilakukan secara