• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Metode Multifactor Evaluation Process (MFEP) dan Metode Elimination et choix Traduisant la Realite (ELECTRE) pada Sistem Pendukung Keputusan untuk Memilih Tabungan Syariah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Implementasi Metode Multifactor Evaluation Process (MFEP) dan Metode Elimination et choix Traduisant la Realite (ELECTRE) pada Sistem Pendukung Keputusan untuk Memilih Tabungan Syariah"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bank Syariah

Berdirinya bank syariah di Indonesia diawali oleh adanya beberapa fatwa dari organisasi keislaman di Indonesia tentang bunga bank. Diantaranya adalah fatwa organisasi Muhammadiyah melalui hasil keputusan Tarjih tahun 1968 dan 1972,

fatwa Nahdlatul „Ulama melalui hasil keputusan Lajnah Bahsul Masa‟il tahun 1982,

fatwa MUI No.1 tahun 2004 tentang bunga bank dan fatwa terbaru hasil keputusan Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah No.8 tahun 2006 yang juga mendorong tumbuh kembangnya perbankan syariah di Indonesia (Pratikto, Heri. 2011).

Perbankan syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah (Salviana, Resvi. 2014). Tujuan dan fungsi perbankan syariah dalam perekomomian adalah: kemakmuran ekonomi yang meluas, tingkat kerja penuh dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang optimum, keadilan sosial ekonomi dan distribusi pendapatan serta kekayaan yang merata, stabilitas nilai uang, mobilisasi dan investasi tabungan yang menjamin adanya pengembalian yang adil, serta pelayanan yang efektif (Ulfah, Maria. 2010).

2.2. Bank Syariah vs Bank Konvensional

(2)

Tabel 2.1. Perbedaan Bank Syariah dengan Bank Konvensional

No. Bank Syariah Bank Konvensional

1. Melakukan investasi yang halal saja

Investasi yang halal dan haram 2. Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual

beli, atau sewa

Memakai perangkat bunga 3. Profit dan falah (keuntungan

duniawi dan kebahagiaan akhirat)

oriented

Profit Oriented

4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan

Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kreditur-debitur

5. Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan Fatwa Dewan Pengawas Syariah

Tidak terdapat dewan sejenis

Adapun perbedaan antara Bunga Bank dengan system Bagi Hasil dapat dilihat pada tabel 2.2.

Tabel 2.2. Perbedaan Bunga Bank dengan “Bagi Hasil” *)

No. Bunga Bagi Hasil berpedoman pada kemungkinan untung rugi.

2. Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan.

Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh.

3. Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.

Bagi hasil tergantung pada keutungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.

4. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau kedaan

ekonomi sedang “booming”.

Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.

5.. Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama termasuk Islam.

Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.

(3)

2.3. Sistem Pendukung Keputusan

2.3.1. Pengertian Sistem Pendukung Keputusan

Sistem pendukung keputusan didefinisikan sebagai sebuah sistem yang dimaksudkan untuk mendukung para pengambil keputusan manajerial dalam situasi situasi tertentu. Sistem pendukung keputusan dimaksudkan untuk menjadi alat bantu bagi para pengambil keputusan untuk memperluas kapabilitas mereka, namun tidak untuk menggantikan penilaian mereka (Turban, 2005).

Menurut Keen dan Morton (dalam Turban, 2005), Sistem Pendukung Keputusan merupakan penggabungan sumber-sumber kecerdasan individu dengan kemampuan komponen untuk memperbaiki kualitas keputusan. Sistem pendukung keputusan juga merupakan sistem informasi berbasis komputer untuk manajemen pengambilan keputusan yang menangani masalah-masalah semi terstruktur. Sedangkan menurut Little (dalam Turban, 2005), Sistem pendukung keputusan adalah sekumpulan prosedur berbasis model untuk data pemrosesan dan penilaian guna membantu para manajer mengambil keputusan.

Menurut Bonczek (dalam Turban, 2005), Sistem pendukung keputusan didefinisikan sebagai sistem berbasis komputer yang terdiri dari tiga komponen yang saling berinteraksi, yaitu : sistem bahasa (mekanisme untuk memberikan komunikasi antara pengguna dan komponen SPK yang lain), sistem pengetahuan (repositori pengetahuan domain masalah yang ada pada SPK baik sebagai data maupun sebagai prosedur), dan sistem pemrosesan masalah (hubungan antara dua komponen lainnya, terdiri dari satu atau lebih kapabilitas manipulasi masalah umum yang diperlukan untuk pengambilan keputusan).

(4)

tersebut, sehingga keputusan yang dibuat merupakan keputusan yang terbaik (Jauhari, Jaidan. 2014).

2.3.2. Tujuan Sistem Pendukung Keputusan

Menurut Jaidan Jauhari (2014) tujuan dari sistem pendukung keputusan, yaitu: 1. Membantu manajer dalam pengambilan keputusan atas masalah semi terstruktur. 2. Memberikan dukungan atas pertimbangan manajer dan bukannya dimaksudkan

untuk menggantikan fungsi manajer.

3. Meningkatkan efektivitas keputusan yang diambil manajer lebih daripada perbaikan efisiensinya.

4. Kecepatan komputasi. Komputer memungkinkan para pengambil keputusan untuk melakukan banyak komputasi secara cepat dengan biaya yang rendah.

5. Peningkatan produktivitas dan dukungan kualitas. Komputer bisa meningkatkan kualitas keputusan yang dibuat.

6. Berdaya saing. Tekanan persaingan menyebabkan tugas pengambilan keputusan menjadi sulit. Persaingan didasarkan tidak hanya pada harga, tetapi juga pada kualitas, kecepatan, kustomasi produk, dan dukungan pelanggan.

7. Mengatasi keterbatasan kognitif dalam pemrosesan dan penyimpanan.

Menurut Simon (dalam Kusrini, 2007), Otak manusia memiliki kemampuan yang terbatas untuk memproses dan menyimpan informasi. Orang-orang kadang sulit mengingat dan menggunakan sebuah informasi dengan cara yang bebas dari kesalahan. Karena keterbatasan itulah maka dibutuhkan sebuah sistem yang mampu membantu dan melengkapi kekurangan dari fungsi kerja otak manusia.

2.3.3. Komponen Sistem Pendukung Keputusan

(5)

Gambar 2.1. Komponen Utama Sistem Pendukung Keputusan (Nasution, L.F. 2009)

2.4. Metode MFEP

Menurut Dahria, dkk (2014) dalam MFEP, seluruh kriteria yang menjadi faktor penting dalam melakukan pertimbangan diberikan pembobotan (weighting) yang sesuai. Langkah yang sama juga dilakukan terhadap alternatif-alternatif yang akan dipilih, yang kemudian dapat dievaluasi berkaitan dengan faktor-faktor pertimbangan tersebut.

Multifactor Evaluation Process banyak digunakan dengan alasan: konsepnya sederhana dan mudah dipahami, komputasinya efisien, dan memiliki kemampuan untuk mengukur kinerja relatif dan alternatif-alternatif keputusan dalam bentuk matematis yang sederhana.

2.4.1. Langkah – langkah Metode MFEP

Menurut Dahria, dkk (2014) dalam metode MFEP, pengambilan keputusan dilakukan dengan memberikan pertimbangan subyektif dan intuitif terhadap faktor yang dianggap penting. Pertimbangan-pertimbangan tersebut berupa pemberian bobot

Lingkungan Tugas

Basis Data Basis Model

Pemakai Manajemen

Basis Data

Manajemen Basis Model Manajemen Penyelenggaraan

(6)

(weighting system) atas multifactor yang terlibat dan dianggap penting tersebut. Dalam MFEP seluruh kriteria yang menjadi faktor penting dalam melakukan pertimbangan diberikan pembobotan (weighting) yang sesuai.

Dalam MFEP, hal yang harus dilakukan pertama kali adalah penentuan faktor yang dianggap penting. Langkah selanjutnya adalah membandingkan faktor-faktor tersebut untuk mendapatkan faktor-faktor mana yang paling penting, kedua terpenting, dan seterusnya. Langkah selanjutnya adalah memberikan pembobotan kepada faktor-faktor yang digunakan dimana total pembobotan harus sama dengan 1.

Langkah selanjutnya adalah mengisikan nilai untuk setiap faktor yang mempengaruhi dalam pengambilan keputusan. Dari data-data yang akan diproses, nilai yang dimasukkan dalam proses pengambilan keputusan merupakan nilai objektif, yaitu antara 0-1. Dari hasil perhitungan, Metode MFEP menentukan bahwa alternatif dengan nilai tertinggi adalah solusi terbaik berdasarkan kriteria yang telah di pilih.

Penggunaan metode MFEP dapat direalisasikan dengan contoh berikut: Nbe = Nbf x Nef

Tne = Nbe1+Nbe2+Nbe3,…

Keterangan :

Nbe : Nilai Bobot Evaluasi Nef : Nilai Evaluasi Faktor Nbf : Nilai Bobot Faktor Tne : Total Nilai Evaluasi

2.5. Metode ELECTRE

ELimination Et Choix Traduisant la RealitE (ELECTRE) adalah suatu metode

(7)

menyebabkan kekuatan dan kelemahan dari suatu alternatif tidak dapat diidentifikasikan secara langsung dan hasil serta dampak tidak akan langsung diverifikasi (Konidari & Mavrakis. 2007). ELECTRE telah digunakan dalam masalah transportasi, ekonomi, pengelolaan air, energy dan lingkungan. Seperti pada metode-metode sistem pendukung keputusan lainnya, ELECTRE juga membutuhkan ketidakjelasan dan ketidakpastian dimana banyak aplikasi yang memerlukan hal tersebut (Mark V. & Hester P.T. 2013).

Menurut Janko dan Bernoider (2005), ELECTRE merupakan salah satu metode pengambilan keputusan multikriteria berdasarkan pada konsep outranking dengan menggunakan perbandingan berpasangan dari alternatif-alternatif berdasarkan setiap kriteria yang sesuai. Metode ELECTRE digunakan pada kondisi dimana alternatif yang kurang sesuai dengan kriteria dieliminasi, dan alternatif yang sesuai dapat dihasilkan. Dengan kata lain, electre digunakan untuk kasus-kasus dengan banyak alternatif namun hanya sedikit kriteria yang dilibatkan (Setiyawati, dkk. 2014).

Suatu alternatif dikatakan mendominasi alternatif yang lainnya jika satu atau lebih kriterianya melebihi (dibandingkan dengan kriteria dari alternatif yang lain) dan sama dengan kriteria lain yang tersisa (Kusumadewi, dkk. 2006).

2.5.1. Langkah – langkah Metode ELECTRE

Langkah-langkah yang dilakukan dalam penyelesaian masalah menggunakan metode ELECTRE adalah sebagai berikut (Kusumo, 2013):

Langkah 1: Normalisasi matriks keputusan

Setiap atribut diubah menjadi nilai yang compareable. Setiap normalisasi rij dapat

dilakukan dengan persamaan (2.1):

√∑

i = 1,2,3, m dan j = 1,2,3, n (2.1)

Sehingga didapat matriks R hasil normalisasi.

[

(8)

Keterangan:

R: normalized decision matrix (matriks yang telah dinormalisasi) m: alternatif

n:kriteria

rij: normalisasi pengukuran pilihan dari alternatif ke-i dalam hubungannya dengan

kriteria ke-j.

Langkah 2: Pembobotan pada matriks yang telah dinormalisasi

Setelah dinormalisasi, setiap kolom dari matriks R dikalikan dengan bobot-bobot (Wj). Sehingga, weighted normalized matrix ditulis dalam persamaan (2.2):

[

Wj: bobot-bobot yang ditentukan oleh pembuat keputusan

V: weighted normalized matrix

Langkah 3: Menentukan concordance dan discordance set

Kumpulan kriteria J dibagi menjadi dua subsets, yaitu concordance dan discordance. Bilamana sebuah kriteria dalam suatu alternatif termasuk concordance adalah:

Ckl = { } (2.3)

Sebaliknya, komplementer dari subset ini adalah

Dkl = { } (2.4)

Keterangan:

k dan l : pasangan alternatif dimana k,l=1,2,3,…,m dan k1 Langkah 4: Hitung matriks concordance dan discordance

a. Concordance

(9)

Ckl = ∑ (2.5)

Sehingga matriks concordance yang dihasilkan adalah:

[

Untuk menentukan nilai dari elemen-elemen pada matriks discordance adalah dengan membagi maksimum selisih nilai kriteria yang termasuk dalam subset discordance dengan maksimum selisih nilai seluruh kriteria yang ada, secara matematisnya adalah sebagai berikut:

dkl =

{ }

{ } (2.6)

Selanjutnya diperoleh matriks discordance:

[

]

Langkah 5: Menentukan matriks dominan concordance dan discordance

a. Concordance

Matriks dominan concordance dapat dibangun dengan bantuan nilai threshold, yaitu dengan membandingkan setiap nilai elemen matriks concordance dengan nilai threshold.

ckl c (2.7)

Dengan nilai threshold c adalah:

c

=

∑ ∑

(2.8)

Nilai setiap elemen matriks F sebagai matriks dominan concordance ditentukan sebagai berikut:

(10)

b. Discordance

Untuk membangun matriks dominan discordance juga menggunakan bantuan nilai

threshold, yaitu: d = ∑ ∑

(2.10)

Nilai setiap elemen untuk matriks G sebagai matiks dominan discordance

ditentukan sebagai berikut:

gkl = 1, jika dkl d dan gkl = 0, jika dkl  d (2.11)

Langkah 6: Menentukan aggregate dominance matrix

Langkah selanjutnya adalah menentukan aggregate dominance matrix sebagai matriks E, yang setiap elemennya merupakan perkalian antara elemen matriks F dengan elemen matriks G, sebagai berikut:

ekl = fkl x gkl (2.12)

Langkah 7: Eliminasi alternatif yang less favorable

Matriks E memberikan urutan pilihan dari setiap alternatif, yaitu bila ekl = 1 maka

alternatif Ak merupakan pilihan yang lebih baik daripada Al sehingga baris dalam

matriks E yang memiliki jumlah Ekl = 1 paling sedikit dapat dieliminasi. Dengan

demikian alternatif terbaik adalah yang mendominasi alternatif lainnya.

2.6. Analisis Algoritma

Menurut Adelina Pinem (2014), algoritma yang baik harus mampu menghasilkan hasil yang optimal. Dalam pemilihan algoritma ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan yaitu:

1. Algoritma haruslah benar. Algoritma harus bisa memberikan hasil sesuai dengan yang dikehendaki dari sejumlah masukan yang diberikan.

2. Seberapa baik hasil yang dicapai. Artinya algoritma yang baik harus mampu memberikan hasil yang sedekat mungkin dengan nilai sebenarnya.

(11)

b. Efisiensi memori. Semakin banyak memori yang dibutuhkan sebuah algoritma untuk memecahkan suatu masalah maka makin buruklah algoritma itu (Siang, 2006).

Dalam penelitian ini, efisiensi waktu lebih diutamakan daripada efisiensi memori. Hal - hal yang berhubungan dengan kompleksitas waktu eksekusi yang digunakan oleh sebuah algoritma adalah:

1. Analisis. Memberikan evaluasi kinerja algoritma terhadap permasalahan yang dibeikan (Purwanto, 2008).

2. Perancangan. Yang termasuk dalam bagian perancangan adalah:

a. Deskripsi algoritma pada suatu tingkatan yang memiliki arti bahasa semu (pseudo).

b. Pembuktian kebenaran bahwa sebuah algoritma bisa menyelesaikan masalah yang diberikan.

2.6.1. Defenisi Analisis Algoritma

Algoritma tidak selalu memberikan hasil terbaik yang mungkin diperoleh, maka diharapkan adanya suatu evaluasi mutu hasil dari algoritma tersebut. Sekali sebuah algoritma diberikan kepada sebuah permasalahan dan dijamin akan memberikan hasil yang diharapkan, maka langkah penting selanjutnya adalah menentukan besar biaya yang diperlukan algoritma tersebut untuk memeroleh hasil itu. Proses inilah yang disebut dengan analisis algoritma (Putra. 2014).

Ukuran biaya eksekusi suatu algoritma yang paling sering digunakan adalah lamanya waktu diperlukan. Namun juga masih ada ukuran-ukuran lainnya, misalnya besarnya memori yang diperlukan untuk mengeksekusi algoritma tersebut. Maksud dilakukannya analisis algoritma adalah untuk :

1. Memenuhi aktivitas intelektual

2. Meramalkan suatu hal yang akan terjadi atau yang akan didapat algoritma tersebut.

(12)

2.7. Kompleksitas Algoritma

Secara informal algoritma adalah suatu prosedur komputasi yang terdefenisi dengan baik yang mengambil beberapa nilai atau sekumpulan nilai sebagai input dan menghasilkan beberapa nilai atau sekumpulan nilai sebagai output. Dengan demikian algoritma adalah suatu urutan langkah-langkah komputasi yang mentransformasikan

input menjadi output (Cormen et all, 2009).

Dalam Ilmu Komputer suatu algoritma tidak hanya dilihat apakah algoritma tersebut benar atau dapat memecahkan masalah, tetapi juga harus efektif. Keefektifan suatu algoritma biasanya diukur dari seberapa besar jumlah waktu dan ruang (space) memori yang dibutuhkan untuk menjalankannya. Algoritma yang efesien adalah algoritma yang meminimumkan kebutuhan waktu dan ruang dimana semakin minim waktu dan ruang yang dibutuhkan, maka semakin efektif pula algoritma tersebut. Untuk menerangkan model abstrak pengukuran waktu dan ruang maka digunakan suatu fungsi yang menjelaskan bagaimana ukuran masukan data (n) mempengaruhi perfomansi algoritma yang disebut sebagai kompleksitas algoritma.

Secara umum, kompleksitas algoritma terdiri dari dua macam yaitu kompleksitas waktu (time complexity) dan kompleksitas ruang (space complexity). Sehingga, dengan diketahuinya fungsi kompleksitas suatu algoritma, maka dapat ditentukan laju pertumbuhan waktu (ruang) yang diperlukan seiring dengan meningkatnya ukuran masukan (n) data. Dengan demikian, informasi pertumbungan fungsi kompleksitas (growth rates) dapat digunakan untuk membandingkan dua atau lebih algoritma dengan mengambil pangkat tertinggi (highest order) fungsi kompleksitas yang diekspresikan dengan notasi Big O. Hal ini disebabkan karena nilai konstant pada fungsi kompleksitas tidak akan terlalu dominan bila dibandingkan dengan order

tertinggi yang mungkin meledak untuk input yang semakin besar.

Pada saat penentuan kompleksitas algoritma, ada beberapa istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan kinerja suatu algoritma untuk ukuran input n, yaitu

(13)

algoritma. Namun, pada prakteknya penentuan nilai pasti untuk setiap case tersebut sulit dilakukan. Jadi, yang dilakukan hanyalah analisis asimtotik dari suatu algoritma, yaitu bagaimana pertumbuhan fungsi (growth of function) suatu algoritma dipengaruhi oleh input n yang semakin membesar menuju ke tak terhingga (infinity).

Dalam analisis asimtotik, ada beberapa notasi yang sering digunakan untuk menunjukkan batas-batas fungsi asimtot, yaitu notasi Big Theta yang menunjukkan batas ketat (tight bound) dari fungsi asimtot.

1.Big Theta (θ)

Defenisi ketiga dalam pengukuran kompleksitas suatu masalah adalah Big Theta.

Definisi :

Didefinisikan bahwa f(n) merupakan Big Theta dari g(n) dan dinotasikan f(n) =

θ(g(n)), jika dan hanya jika terdapat tiga konstanta positif c1, c2 dan n0 dimana f(n) = O(g(n)) dan f(n) = Ω(g(n)) sedemikian hingga C1 g(n) ≤ f(n) ≤ C2 g(n), saat n ≥n0.

Secara geometri f(n)= θ(g(n)) dapat digambarkan sebagai berikut (Telaumbanua, P. 2011).

Gambar 2.2. Grafik Fungsi f(n)= θ(g(n))

(14)

2.7.1. Kompleksitas Waktu Algoritma dan Masalah

Dua buah algoritma yang berbeda dapat digunakan memecahkan masalah yang sama dan mungkin saja mempunyai kompleksitas waktu (time complexity) yang sangat berbeda. Kompleksitas waktu algoritma terbaik untuk memecahkan masalah tersebut dinamakan sebagai kompleksitas waktu (time complexity of problem).

2.8. Database (Basis Data)

Gambar

Tabel 2.1. Perbedaan Bank Syariah dengan Bank Konvensional
Gambar 2.1. Komponen Utama Sistem Pendukung Keputusan (Nasution, L.F. 2009)
Gambar 2.2. Grafik Fungsi f(n)= θ(g(n))

Referensi

Dokumen terkait

Nilai terprediksi salah (FNV) adalah rasio orang yang mengalami status gizi X, namun model keputusan memutuskan orang- orang tersebut tidak mengalami status gizi X

menunjukkan bahwa sebagian besar responden adalah balita dengan status gizi baik dan memiliki perkembangan yang normal yaitu sebanyak 15 orang (39,5%) sedangkan responden yang

Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan di desa Sukolilo Kabupaten Lamongan dapat disimpulkan bahwa desa tersebut memiliki banyak potensi-potensi yang dapat

Hal ini dimaksdukan agar aparat kepolisian dapat meminta bantuan kepada para pihak yang dilibatkan tersebut, dalam melakukan pengawasan apakah jalan keluar yang

Semua responden memperoleh skor yang hampir sama iaitu sisihan piawaiannya adalah 0.709 dan semua skor berhampiran dengan nilai min, maka pemilihan jawapan responden

Gambar 1.3 Skema Penyusunan RPIJM Bidang Cipta Karya Berdasarkan RTRW dan RPJMD Kabupaten/ Kota

markkinointipalveluita, konsultti- ja henkilöstöpalveluita sekä tutkimus- ja kehittämispalveluita (esim.. Liike-elämän asiantuntijapalveluita tuottavat niihin erikoistuneiden

Memperhatikan kondisi saat fase kehamilan sangatlah penting dengan gizi yang cukup dan seimbang, oleh karena itu bagi ibu-ibu yang hamil hendaklah mempersiapkan persalinan dengan