• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Non Penal Dalam Upaya Pencegahan Dan Perlindungan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafiking) (Studi Kasus Provinsi Sumatera Utara)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kebijakan Non Penal Dalam Upaya Pencegahan Dan Perlindungan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafiking) (Studi Kasus Provinsi Sumatera Utara)"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hakekat lahirnya UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Perdagangan Orang adalah untuk melindungi para korban dimana para pelaku

dapat dihukum secara maksimal. Maksimal dalam hal ini diharapkan, proses hukum

melalui lembaga peradilan mampu memberikan efek jera bagi para pelakunya.1

Tingkat pemahaman dan daya tangkal masyarakat (perempuan dan anak),

tidak mampu menghempang indikasi upaya-upaya para pihak yang tega

memanfaatkan sisi kedangkalan pengetahuan dan keluguan dari ketidakmampuan Namun seiring perkembangan waktu, permasalahan isu perdagangan orang

(khususnya perempuan dan anak) dari waktu ke waktu belum mampu terpecahkan

sampai saat ini.

1

(2)

ekonomi para target, meskipun secara kasat mata itu bisa dipastikan oleh pemangku

Negara dan pelaku bisa menyebabkan kesengsaraan dan kenestapaan pada setiap

orang yang akan melewati dan menjalani perekrutan dan ajakan terhadap pencarian

tenaga kerja tersebut.

Perdagangan orang kerap terjadi dalam lingkup jejaring kejahatan terorganisir,

baik dalam negeri maupun luar negeri. Dampak dari kejahatannya, telah menjadi

ancaman bagi masyarakat, bangsa dan negara. Semakin hari jumlah korban semakin

besar jumlahnya2, meskipun dalam beberapa pemberitaan dan media on line atau

jejaring sosial3

Kejahatan perdagangan orang atau yang di kenal dengan istilah “Human

Trafficking”

selama ini kerap menghiasi mass media atau media elektronik,

pemahaman dan kewaspadaan dalam diri masyarakat belum mampu memberikan

keyakinan akan dampak pemberitaan.

4

2 Unicef for every child Health, Education, Equality, Protection Advance humanity, “Lembar

Fakta tentang Eksploitasi Seks Komersial Seks dan Perdagangan Anak” merupakan satu bentuk kejahatan tindak pidana yang sangat sulit

diberantas dan dalam kesepakatan internasional, bentuk kejahatan ini dikenal dengan

sebutan “perbudakan modern” dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Bentuk

diakses pada tanggal 17 Februari 2014, pukul 15.07 wib.

3

Sindo news.com, Polisi Bongkar Penjualan Orang Melalui Dunia Maya/Jumat, 7 Desember 2012

4

(3)

kejahatan ini terus menerus berkembang secara nasional maupun internasional. Mulai

dari perkembangan modus operandinya, baik dengan cara membujuk, merekrut,

mengirim, menampung dan tidak jarang juga dilakukan dengan cara kekerasan,

pemaksaan, serta teror sampai dengan cara penculikan. Bentuk pemaksaan lainya

juga kerap dilakukan dengan menyalagunakan kekuasaan terhadap kedudukan yang

rentan atau dengan perjanjian utang sampai dengan tujuan pelacuran.

Berdasarkan “Victims of Trafficking and Violence Protection Act 2000” yang

dikeluarkan oleh pemerintah Amerika Serikat, Indonesia pernah dikategorikan dalam

posisi Tier-2 (sebelumnya Tier-3)5

Penyadaran dalam media sosialisasi dilakukan, dengan titik penyadaran

dampak dan akibat langsung sebagai upaya menggugah tanggungjawab bersama agar

dapat menurunkan angka calon korban yang bisa saja mengalami penderitaan fisik . Artinya pemerintah Indonesia meskipun telah

meratifikasi beberapa Konvensi yang di keluarkan oleh PBB, namun masih dianggap

sebagai negara yang tidak peduli dan tidak memiliki komitmen yang memadai dalam

mengatasi permasalahan perdagangan orang (trafiking). Dan perkembangan isu

kejahatannya, dalam Protokol PBB-Palermo yang ditanda tangani di Sisilia-Italia,

mendeklarasikan perdagangan orang (Trafiking) merupakan kejahatan dengan nilai

keuntungan terbesar ke-3 (tiga) setelah kejahatan senjata dan peredaran narkotika,

menitiktekankan secara politik bagi negara yang menghormati kesepakatan

Internasional itu bertanggung jawab melaksanakan kewajibannya.

5

Sulistyowati Irianto, dkk, “Perdagangan Perempuan dalam Jaringan Pengedaran

(4)

seperti cacat, kerusakan organ tubuh, gangguan reproduksi, HIV/ AIDS dan penyakit

menular seksual (PMS) bahkan sampai kepada kematian6, secara mental dan pisikhis

korban juga kerap mengalami depresi, trauma dan goncangan yang fase

penyembuhannya membutuhkan waktu yang cukup lama.7

Rekam jejak data terhadap kasus perdagangan orang, tercatat 70% modus

perdagangan orang dilakukan lewat penempatan tenaga kerja yang illegal (kedalam

dan luar negeri) dan 20% menjadi korban tindak pidana perdagangan orang dimana

penyebabnya adalah factor kemiskinan.

Penyebab pola tingkat kejahatan perdagangan orang semakin marak dan

subur itu disebabkan karena faktor kemiskinan, lapangan kerja terbatas, tingkat

pendidikan yang rendah, pola hidup yang instan atau konsumtif serta faktor budaya

yakni perkawinan dini, dan ditambah lemahnya sistem penegakan hukum, sehingga

melanggengkan makin tingginya kejahatan itu.

8

6 International Organization for Migration (IOM) Indonesia, Database Counter-Traffi cking & Labour Migration Unit, (Maret 2005 – Juni 2011): Data tersebutmenggambarkan fakta-fakta kekerasan yang dialami oleh korban baik secara fisik, psikis, dan medis: Terkait dengan data medis, dari keseluruhan korban sebanyak 3,943 orang, terdapat 1,431 ditemukan mengidap infeksi menular seksual (PMS), 41 orang terkena HIV positive, 115 terkena Hepatitis B.

7 Ibid: Terkait dengan psikis korban, 30% korban dari total korban mengalami Post-trauma

stess symtoms, 73% mengalami Depression symtoms seperti merasa bersalah, sulit tidur, berat badan

menurun drastis, dan tidak tertarik untuk melakukan kegiatan apapun dll. 8

Sambutan Menteri Pemberdayaan Perempuan dalam Rakornas Perlindungan perempuan dan anak Tgl 21 July 2013 (Denpasar-Bali)

Dampak praktek pelanggengan tindak

kejahatan perdagangan orang semakin marak dan berkembang, diyakini dan

(5)

sindikat berjaringan, bertujuan untuk mengeksploitasi korban demi keuntungan

pelaku.9

Nasional

Konsep kebijakan hukum (criminal policy), terhadap isu perdagangan orang

(trafiking) secara tegas, Negara telah menyusun komitmennya dalam berbagai

kebijakan tertulis guna melakukan perlindungan, pencegahan dan penegakan hukum

dalam semua lini, niat baik dan komitmen itu tertuang dalam beberapa kebijakan

yaitu :

Tabel. 1

Acuan Kebijakan Hukum Dalam Pencegahan dan Perlindungan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lokal

UU No. 2 Tahun 1999 tentang Pers Perda Sumut No. 6 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak10

UU No. 2 Tahun 2007 Tentang Kepolisian11

Pergubsu No. 24 Tahun 2005 Tentang RAP Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak

UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban12

Pergubsu No. 53 Tahun 2010 ttg RAP Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang

UU No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Trafiking13

Pergubsu No. 54 Tahun 2010 ttg Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang Provsu

UU No. 14 Tahun 2009 tentang Pergubsu No. 20 Tahun 2012 tentang

9

Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Bahan dalam Rapat Kerja Komite III DPD RI, (Jakarta: 18 Mei 2010), hal 7

10 Pasal 4-14 Bab III Pencegahan Trafiking (Izin bekerja), Pemberian suart jalan dan surat

pindah, pembentukan gugus tugas task force trafiking

11

Pasal 13, “Tugas pokok Kepolisian RI (Memelihara keamanan, 2. Menegakan Hukum 3

Memberikan Perlindungan dan Pengayoman dan Pelayanan Kepada Masyarakat” 12

Pasal 3 (titik point hak yang diterima korban dan calon korban perdagangan untuk

memperoleh penghargaan atas harkat dan martabat, rasa aman, keadilan, tidak diskriminasi dan kepastian hukum”)

13

Pasal 56-63 Bab VI-VII (Pencegahan dan Penanganan, KerjasamaInternasional dan

(6)

Ratifikasi Protokol Palermo untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, terutama Perempuan dan Anak-anak melengkapi Konvensi PBB menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisir

PSO Pelayanan Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Khususnya Perempuan dan Anak di Provsu

PP No. 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

Putusan Hakim Pengadilan Negeri

Medan Reg No. 1554/Pid.B/2012/PN.Mdn sebagai bukti

penegakan hukum terhadap pelaku

perdagangan orang dalam memaksimalkan putusan pengadilan

Pepres No. 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas

Penanggulangan kejahatan pada sisi penegakan hukum (penal policy),

memiliki keterbatasan hanya accidental semata, sifatnya mengurangi gejala kejahatan

sementara saja (kurrien am symptom), tidak sebagai obat dalam penyelesaian

penyakit masyarakat. Artinya kedudukan hukum pidana (penal policy) hanya

dibutuhkan setelah kejadian terjadi yang bisa saja, saat proses penanganan dan

penegakan hukum dalam upaya pencarian keadilan, korban merasa tidak puas dan

tidak tuntas.

Frekuensi perkembangan kasus kejahatan perdagangan orang dari waktu

kewaktu, khususnya di Sumatera Utara dalam setiap tahun, perkembangannya

meningkat secara tajam. Hal ini dimungkinkan secara geografis Sumatera Utara

merupakan satu wilayah strategis sebagai tempat “penyalur, tujuan dan transit”

dalam proses perdagangan orang. Hasil temuan perkembangan data kejahatan

(7)

Tabel. 1

Rekapitulasi Data Kejahatan Perdangan Orang dalam 5 Tahun Terkhir Polda/Sej

Bagi beberapa korban yang mengalami tindak pidana perdagangan orang

diatas, hukum tidak lebih dari setumpuk aturan yang dibingkai dengan perpaduan

serta alunan kata-kata yang indah. Yang syarat dengan bahasa para dewa namun

miskin makna ketika dibenturkan dengan realitas dalam penegakan hukumnya.

Hukum dipandang seakan kehilangan ruhnya, jika harus bertatap muka dengan

segelintir malaikat pencabut nyawa yang diberi oleh title penguasa atau kekuasaan,

akan tergilas hingga rasa keadilan bagi para korban kerap terabaikan sebut saja,

seperti pantauan penegakan hukum terhadap beberapa korban dalam table di 2 (dua)

tahun terakhir mengalami beberapa kendala yakni :

a. Diawal 2012, terhadap nasib seorang Pembantu Rumah Tangga asal Jawa Tengah yang telah diperbudak selama 25 tahun.14

14 Harian Media Indonesia, tanggal 14 Maret 2012, Hal. 10

Dengan modus pengangkatan anak, namun diperlakukan layaknya pembantu rumah tangga. Hampir 7 bulan lamanya nasibnya terombang-ambing dalam upaya pencarian jati diri dan keluarganya serta keadilan yang diharapkannya. Hingga akhirnya saat korban telah menemukan jati diri keluarga yang sebenarnya. Pengharapan

(8)

bisa berkumpul dan bertemu kembali terkendala karena urusan prosedur penyidikan dan proses pemberkasan yang belum selesai, yang hingga akhirnya setelah 7 bulan menunggu korban kembali kekampung halamnnya, hingga saat ini, setelah 2 (tahun) proses pengaduan pintu keadilan atas perlakuan majikan yang diterimanya kerap tidak kunjung bisa terbuka (Polresta melakukan SP3 laporan korban Tersangka meninggal dunia); 15

b. Pertengahan tahun 2012 lalu, 7 (tujuh) gadis belia, asal NTT yang bermaksud mencoba mengadu nasib, karena tawaran yang mengaku pengusaha asal Medan untuk bekerja di Medan dan Malaysia yang ditawarkan bekerja sebagai penjaga Toko dan Pembantu Rumah Tangga. Namun kesepakatan yang ditetapkan antara pencari kerja dan pengusaha tidak sesuai dengan yang dijanjikan, akhirnya para calon tenaga kerja berusaha melarikan diri dan meminta perlindungan PPA Polresta Medan. Namun perjuangan dalam upaya pengharapan perlindungan, yang mereka terima sedikit panjang dan rumit, bahkan berliku-liku ketika mereka telah memasuki ranah dalam pemeriksaan sebagai korban dari pihak Polresta Medan, hingga mereka berhasil dipulangkan ke kampung asal pengaduan tidak pernah ditindak lanjuti16;

c. Sama halnya pada pertengahan 2013 lalu, 6 (enam) perempuan pencari kerja yang berasal dari berbagai Provinsi di Pulau Jawa dan Sumatera. Mereka terpaksa harus melewati rintangan, saat berupaya menyelematkan diri dari sekapan majikan yang ingin mempekerjakan mereka tanpa kesepekatan awal. Mereka telah ditawarkan dan diiming-imingi disalah satu Toko Pemilik Yayasan Tenaga Kerja, meskipun penolakan dan juga ketidak mauan korban, dikarenakan tidak sesuai dengan pekerjaan yang telah dijanjikan, mereka justru mendapatkan penyiksaan dari sang majikan hendak mengurungkan niatnya meminta pulang. Saat mereka tetap komit melakukan penolakan tidak bersedia bekerja perlakukan kasar dan bahkan penyekapan dalam ruang isolasipun tak terelakan para korban, tanpa diberi makan dan minum hingga berhari-hari. Akhirnya saat memiliki kesempatan mereka berhasil melarikan diri dari tempat penampungan dan berupaya mencari keadilan di Polresta Medan, hingga kini kasus tidak mampu diproses secara hukum oleh pihak aparat17;

d. Awal tahun 2014, 5 (lima) korban yang merupakan gadis belia yang hendak diperdagangkan ke negri jiran tetangga. Pihak imigrasi Tanjung Balai berhasil menggagalkan penyeludupan saat hendak melakukan penyebrangan, guna meminta perlindungan dan penegakan hukum para korban mencari keadilan di

15

Dokumen P2TP2A Sumut Tahun 2012 16

Dokumen Pusaka Indonesia Tahun 2012 17

(9)

Renakta Polda Sumatera Utara, proses perekrutan hingga proses pengiriman ke Malaysia dengan passport resmi yang dikeluarkan merupakan jaringan yang luar biasa yang mampu mulus dalam pengurusan berbagai persyaratan pengiriman TKI illegal. Guna kemaksimalan dalam pengungkapan sindikat serta treatment dalam upaya efek jera, pengaduan tertulis dilakukan di Renakta Poldasu, setelah 3 bulan lebih pengajuan pengaduan proses pemeriksaan masih seputaran pemeriksaan saksi belum masuk dalam tahap pemeriksaan yang lebih maju di Renakta Polda Sumut (Tersangka tidak diketahui keberadaannya);18

e. Akhir Februari 2014, terungkapnya penyekapan terhadap 22 orang korban (pekerja Walet dan Rumah Tangga) asal NTT di Kompleks Family No. 77-79 Jl. Brigjend Katamso, Kelurahan Titi Kuning Kecamatan Medan Johor, sebagai bukti adanya perbudakan modern yang dilakukan warga Medan selama 3-4 tahun lamanya terhadap pekerjanya. Mereka dipekerjakan dalam dunia usaha sang majikan dan disisi lainnya mereka juga dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga tanpa pernah di beri upah. Kasus terungkap setelah jatuhnya salah satu korban yang sengaja dikembalikan oleh majikan ke tempat asal, karena merasa keberatan akan perlakuan yang mereka terima pihak keluarga melaporkan kebiadaban dari majikan tersebut, peristiwa ini membuktikan pelegalan perbudakan yang berada ditengah-tengah masyarakat Medan;19

Berangkat dari kasus-kasus tersebut diatas upaya pencegahan dan

perlindungan hukum dari pihak penegak hukum atau institusi pemerintah, terkesan

tidak menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya secara maksimal”. Artinya hakikat

hukum dan tujuan hukum dalam penegakan hukum bagi para korban perdagangan

orang (penal) tidak tercapai

20

Sebagaimana diharapkan dalam konteks penindakan dalam penegakan hukum

dalam memberi efek penjeraan setiap pelaku. Jeratan pasal dalam pemenuhan unsur

tindak pidana Perdagangan Orang (Trafiking) cendrung tidak mampu terpenuhi, .

18

P2TP2A Sumut, Op.cit 2014 19

Dokumen Polresta Medan, Tahun 2014

20 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicial

(10)

dalam mempermudah para penegak hukum terhadap pemenuhan unsur, dibeberapa

kesempatan pembekalan telah tersosialisasi skematis yang digambarkan seperti

dibawah ini 21:

Skema. 1

Pemenuhan Unsur Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang Pasal 2, ayat (1) UU No. 21 Tahun 2007

Kedudukan pencegahan dalam arti penegakan hukum (penal policy) adalah

untuk menjamin upaya perlindungan para korban perdagangan orang tidak terlepas

dari kemauan dan keinginan para alat-alat Negara yang berwenang dalam

menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki para korban. Diperkirakan

21 Pasal 2 ayat 1 UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan

Orang

Unsur Sabjektif : Setiap Orang

Unsur Objektif

(11)

kemauan dan keinginan dari para pemangku kebijakan itu telah mampu melakukan

upaya pencegahan dan perlindungan dapat dilihat dari wujud dan hasil keputusan

yang diambil ditengah-tengah masyarakat22

Temuan kasus diatas upaya “preventive” yakni :

(pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum terjadi akan sangat membantu

dalam memperkecil jumlah korban. Artinya konsep kebijakan penanggulangan

kejahatan dalam upaya non-penal harus memiliki kedudukan yang strategis dan . Hukum bukan merupakan kaidah yang

bebas nilai, manfaat dan mudharatnya semata-mata tergantung kepada manusia yang

menjadi pelaksananya.

Satjipto Raharjo mengemukakan, bahwa hukum tidak berjalan sendiri-sendiri,

karena hukum dan manusia tidak bisa dipisahkan karena manusialah yang

menjalankan hukum (cara manusia berhukum). Hukum tidak ada untuk diri dan

keperluannya sendiri, melainkan untuk manusia, khususnya kebahagian manusia.

Singkatnya hukum memiliki logika sendiri, tujuan sendiri dan kehendak sendiri dan

hukum membutuhkan kehadiran manusia untuk mewujudkannya.

Penanggulangan kejahatan lewat jalur kebijakan “non penal” bertindak

sebelum terjadinya kejahatan dimana sasaran utamanya adalah penangan terhadap

factor-faktor penyebab terjadinya kejahatan berpusat pada masalah-masalah atau

kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan

atau menumbuh suburkan kejahatan perdagangan orang tersebut.

(12)

tujuan bersama sehingga efektifitas dan intensitas dalam pengurangan korban

meningkat.

Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Perdagangan Orang, Pasal 56 menyebutkan bahwa pencegahan tindak pidana

perdagangan orang bertujuan dalam pencegahan sedini mungkin terjadinya tindak

pidana perdagangan orang dalam Pasal 57 disebutkan bahwa (1) Pemerintah,

Pemerintah daerah, masyarakat, dan keluarga wajib mencegah terjadinya tindak

pidana perdagangan orang. (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membuat

kebijakan, program, kegiatan dan mengalokasikan anggaran untuk pencegahan dan

penanganan masalah perdagangan orang.

Berdasarkan data dan fakta rujukan aspek filosofis, yuridis dan sosiologis,

dari UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang berupaya komit untuk

melibatkan semua unsur dalam pencegahan. Meskipun dalam praktek sehari-hari

upaya pelibatan semua pihak itu cendrung melemah dan tidak maksimal berjalan.

Pelibatan semua lini atau masyarakat dari tatanan kebiasaan masyarakat, sebagai

modal besar dimana masih kuat menjunjung filosofi nilai-nilai budaya, yang bisa

dijadikan kekuatan dan tolok ukur dalam mendorong masyarakat untuk berpartisipasi

dan peran serta dalam pencegahan kejahatan. Misalnya konteks tradisi batak yang

(13)

natolu23

Begitu pula konsep adat minang. Kearifan lokal yang tertanam sebagai norma

yang berlaku di masyarakat yang diyakini kebenarannya sebagai acuan dalam

bertindak dan berprilaku sehari-hari dan merupakan entitas dalam penentuan harkat

dan martabat komunitasnya dalam adat minang yakni : “adat basandi sarak, sarak

basandi kitabullah”

(somba marhula-hula, elek marboru dan manat mardongan tubu) dimana

jika dimaksudkan makna dalam konsep yang tertanam “anak mu merupakan anak ku

dan anak ku merupakan anak mu”. Secara kasat mata konsep rasa memiliki bersama

atas keselamatan dan perlindungan dilakukan secara bersama-sama.

24

23

Kebijakan Pencegahan Perdagangan Orang melalui pendekatan kearifan local (Deputi Bidang Perlindungan Perempuan-Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak, Tahun 2012 hal 26

24 Ibid, hal 14

yang dipandang mampu melakukan upaya pencegahan dalam

pengendalian sikap dan prilaku bagi para anak dan remaja dalam pergaulan

sehari-harinya.

Gambaran pola kerja pencegahan dan perlindungan UU No. 21 Tahun 2007

dalam upaya merangkul semua lini untuk terlibat dalam pencegahan sedini mungkin

(14)

Skema diatas cukup jelas menggambarkan adanya proses pelibatan berbagai

pihak, guna sinergitas yang diharapkan dalam kebijakan secara integral, dalam upaya

pencegahan kejahatan. Secara luas kalau di hubungkan dalam konteks ”politik

sosial” adanya pemenuhan keterlibatan peran serta masyarakat. Keterlibatan

masyarakat dibutuhkan sebagai pihak yang terdepan, yang dapat mengetahui

keberadaan atau terjadinya kejahatan pidana, khususnya perdagangan orang tersebut.

Meningkatnya tingkat kejahatan merupakan satu persoalan yang berdimensi

sosial dan kemanusiaan, dimana penyebabnya juga timbul dari berbagai multi

kompleks permasalahan, penangannya juga melibatkan penanganan diluar dari

Pola

(15)

jangkauan hukum pidana. Hukum pidana tidak akan mampu melihat secara dalam

tentang akar masalah terjadinya kejahatan di masyarakat. Pendekatan sosial atau

sosiologis sebagai ilmu bantu dalam memadukan keampuhan hukum pidana tersebut.

Dari kebijakan kriminal (criminal policy) khususnya kebijakan non penal sebagai

upaya pencegahan dan penanganan dengan melibatkan masyarakat serta kerjasama

terfokus baik Pusat, Daerah dan juga Internasional merupakan satu cara dan kunci

yang tepat guna memperkecil tingkat kejahatan terjadi, apabila efektif dan sinergis

berjalan penangan dan jumlah korban dapat berkurang dan tertangani.25

Kebijakan kriminal yang baik bagaimana kebijakan itu mampu mengatur

keselarasan dan ketertiban masyarakat. Melihat konteks kebijakan kriminal non penal

lebih memberikan ruang sinergitas dari berbagai kepentingan dari kelompok

masyarakat akan lebih memudahkan pencapaian tujuan kesejahteraan sebagai mana

yang telah dirumuskan dalam RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang)

26

Berdasarkan uraian dan fakta tersebut diatas, sangatlah penting dan menarik

untuk menggali, mengkaji dan membahas tentang potensi-potensi Criminal Policy

dalam kajian tesis yang khusus membahas “Kebijakan Non Penal Dalam Upaya

Pencegahan dan Perlindungan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

(Trafiking)” (Studi Kasus Provinsi Sumatera Utara).

sebagai sasaran fokus utama Negara dalam penurunan angka kemiskinan,

peningkatan ekonomi rakyat dan terbukanya lapanganan kerja seluas-luasnya.

25 Lihat UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ,

Bab VII Kerjasama dan Peran Serta Masyarakat Pasal 59-63.

26

(16)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka penulis

membuat rumusan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini sebagai

berikut:

1. Bagaimana Kebijakan Non Penal dalam regulasi secara Nasional dan Lokal

khususnya Sumatera Utara terkait pencegahan dan perlindungan korban

perdagangan orang (trafiking) ;

2. Bagaimana upaya penguatan Kebijakan Non Penal dalam upaya pencegahan

tindak pidana perdagangan orang di Sumatera Utara;

3. Apa kelemahan dan kendala implementasi Kebijakan Non Penal dalam upaya

pencegahan dan melindungi korban tindak pidana perdagangan orang

(trafiking) di Sumatera Utara?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas maka tujuan

yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis bentuk Kebijakan Non Penal dalam

regulasi secara Nasional dan Lokal (Sumatera Utara) terkait upaya

pencegahan dan perlindungan korban perdagangan manusia (trafiking);

2. Untuk mengetahui upaya penguatan Kebijakan Non Penal dalam pencegahan

(17)

3. Untuk mengetahui kelemahan dan kendala implementasi Kebijakan Non

Penal dalam upaya pencegahan dan melindungi korban tindak pidana

perdagangan orang (trafiking) di Sumatera Utara.

D. Manfaat Penelitian

Diharapkan hasil penelitian dapat memberi manfaat secara teori dan praktek

yaitu :

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan akan memperkaya hukum

pidana, khususnya tentang satu bentuk kejahatan terorganisir yang popular

dengan nama “human trafficking”.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai

kerangka acuan dan bahan masukan bagi individu-individu maupun pihak lain

yang berkepentingan, khususnya aparat penegak hukum, pemerintah provinsi,

pemerhati masalah perdagangan orang, dalam upaya pencegahan sedini

mungkin dalam mewujudkan upaya perlindungan korban dan antisipasi dini

dalam tindak pidana perdagangan orang (trafiking).

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan informasi, pengamatan dan penelusuran yang telah dilakukan

terhadap hasil-hasil penelitian sebelumnya terkait dengan penelitian yang telah

dilakukan dengan penelitian mengenai : “Kebijakan Non Penal Dalam Upaya

(18)

(Studi Kasus Provinsi Sumatera Utara)” ini, belum pernah dilakukan dalam topik dan

permasalahan yang sama. Sehingga penelitian ini dapat dikategorikan sebagai

penelitian yang baru dan keasliannya dapat dipertanggungjawabkan, karena dilakukan

dengan nuansa keilmuan, kejujuran, rasional, objektif dan terbuka serta dapat

dipertanggungjawakan secara keilmuan akademis.

Hasil penelusuran kepustakaan Universitas Sumatera Utara (USU), ada

beberapa judul yang berkaitan dengan permasalahan pencegahan isu perdagangan

orang (trafiking) seperti :

1. Rosmaida Feriana, 2008, Upaya Kepolisian Daerah Sumatera Utara dalam Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafiking); 2. Bambang Haris Samosir, 2007, Analisis Yuridis Penegakan Hukum

Pidana Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang setelah keluarnya UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Study Kasus Pengadilan Negeri Medan);

3. Hotlarasida Girsang, 2009, Penanggulangan Kejahatan Trafiking melalui UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;

4. Saptono, 2009, Analisis Yuridis Peran Polri dalam Penanggulangan Tindak Pidana Trafiking in person sebagai transnational crime;

5. Daniel Mario H. Sigalingging, 2004 Pertanggung jawaban PJTKI dalam kasus human trafiking;

6. Rauli Siahaan, 2007, Wewenang Penyidik Polri dalam Menanggulangi Kejahatan Trafiking;

7. Wawan Irawan, 2008, Analisis Yuridis Tindak Pidana Human Trafiking Sebagai Kejahatan Extra Ordinary Crime.

Hasil rekap penelusuran diatas dipastikan bahwa penelitian proposal ini memiliki

perbedaan subtansi penelitian yang hendak diteliti dan sudah tentu keaslian penelitian

(19)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

Pencapaian tujuan penelitian dan dalam rangka menjawab permasalahan,

diperlukan beberapa teori dan konsep untuk menganalisis tanggung jawab pemerintah

dalam mewujudkan kebijakan non penal dalam upaya mencegah lebih banyaknya

korban tindak pidana dan keterlibatan peran serta masyarakat sebagai wujud

partisipasi dalam pengurangan tindak kejahatan perdagangan orang (trafiking).

1. Kerangka Teori

Kerangka teori dalam penulisan ilmiah ini sangat penting, sebagai pisau

analisis bagi peneliti guna memecahkan permasalahan-permasalahan yang telah

dirumuskan. Proses upaya pencegahan diberbagai tataran aparatur pemerintah

masing-masing memiliki satu kebutuhan khusus namun terkadang upaya dan

sasarannya memiliki perbedaan satu dengan yang lain. Sama halnya dalam konteks

hukum, yang dipandang memiliki banyak wajah, dikalangan ilmuwan hukum yang

akhirnya tidak memiliki persepsi yang sama terhadap pengertiannya,27

27 Sulistyowati Irianto dan Shidarta, “Metode Penelitian Hukum konstelasi dan Refleksi” (Yayasan Obor, 2011), hal 173

cendrung

menjustifikasi kendala dan kelemahan gerakan dalam upaya

pencegahan/penanggulangan kejahatan (politik kriminal) yang tidak maksimal

berperan di masyarakat. Dimana hal itu menunjukan sering sekali konteks teori dan

prakteknya, tidak mampu menjawab satu permasalahan yang terjadi khususnya yang

(20)

Teori Kebijakan Kriminal sebagaimana di kemukakan oleh G. Peter

Hoefnagles bahwa Kebijakan Kriminal adalah28

a. Criminal policy is the science of responses “kebijakan kriminal merupakan ilmu tanggapan”.

“satu usaha yang rasional dari

pemerintah dan masyarakat dalam melakukan penanggulangan dilakukan melalui :

b. Criminal policy is the science of crime prevention “kebijakan kriminal merupakan ilmu pencegahan”.

c. Criminal Policy is a policy of designating human behavior as crime “kebijakan criminal merupakan kebijakan yang dapat merubah prilaku manusia untuk berbuat lebih baik”.

d. Criminal Policy is a rational total of the responses to crime “kebijakan criminal merupakan tanggapan dari seluruh pemangku kebijakan terhadap dampak satu kejahatan”.

Konsep tersebut untuk memudahkan kita memahami teori kebijakan kriminal diatas,

dirangkai dan digambarkan secara khusus dalam skema yaitu29 :

28

Barda Nawawi Arief, “Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana”, (Kencana Perdana Media group), 2011, hal 45

29

(21)

Uraian konsep diatas menjelaskan bahwa akhir dari tujuan kebijakan kriminal

bagaimana memampukan antara kebijakan sosial dalam upaya peningkatan

kesejahteraan masyarakat (sosial welfare) dengan upaya perlindungan (sosial

Science Allied Science

DISCIPLINES

Penology (Gen, theory of punishment, sentencing and

effect of sentence)

Gen Theory of crime process

Social Work Theory

Crime Policy Soc policy

Influencing views of society on crime and

i

Crim law application (practical criminology)

Prevention without punistment

Adm of crim justice in narrow sence (Crim legislation, crim jurisprudence, crim process in wide sense-Judicial, physical scientife, social scientife) Forensict psychiatry and psicology

Forensic social work

Crime, sentence execution and notice statice

Soc Policy

Community planning menthal healt

Nat menthal healt soc work child welfare

(22)

defence) yang dikaitkan juga dengan kemaksimalan dalam kebijakan kriminal (penal

dan non penal) sebagai mana diungkapkan bahwa kebijakan kriminal meliputi :30

Sinergitas teori pencegahan diatas diakaitkan dengan rumusan latar belakang

pola alur kinerja dari UU No. No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Perdagangan Orang, erat kaitanya dengan konsep teori yang digambarkan G.

Peter Hofnagels bagaimana semua disiplin ilmu menjadi bagian dari kebijakan

kriminal sebagai upaya pencegahan kejahatannya yang ditempuh lewat:

“criminal policy as a science of policy is part of a larger policy the law enforcement policy. This makes it understandable that administrative and civil law occupy the same place in the diagram as non criminal legal crime prevention. The legislative and enforcement policy is in part of sosial policy”

(Kebijakan kriminal merupakan bagian dari ilmu kebijakan yang lebih luas dari kebijakan penegakan hukum. Dimana terdiri dari hukum administrasi dan perdata yang juga merupakan bagian yang sama dalam upaya pencegahan kejahatan di luar hukum pidana, sedangkan kebijakan legislatife dan kebijakan penegakan hukum merupakan bagian penting dari pelaksanaan kebijakan sosial “diterjemahkan oleh penulis).

a. Penerapan hukum pidana (criminal law application) secara penal;

b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment) secara non

penal

c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan

pemidanaan lewat media massa (influencing views of society on crime and

punistment/mass media) yang juga merupakan pendekatan non penal.

Kebijakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan dari konsep diatas

menekankan upaya pendekatan penanganan terhadap penyebab kejahatan itu terjadi

30

(23)

sebagai bagian masalah sosial secara langsung dan tidak langsung dapat

menimbulkan tumbuh suburnya kejahatan sehingga dimungkinkan pencegahan non

penal ini mempunyai kedudukan yang penting jika difungsikan dan diefektifkan

dalam mengurangi korban perdagangan orang lebih banyak lagi.

Sebagaimana dalam upaya peran media massa dalam melakukan pengaruh

terhadap pandangan masyarakat sebagai bagian dalam pendekatan non penal, tidak

secara mendalam penulis bahas dalam bagian penelitian ini. Harapannya bisa

dilakukan penelitian khusus dikesempatan lain guna pembahasan yang lebih

mendalam lagi untuk melengkapi penelitian tesis ini.

Kerangka teori lainnya, sebagai bagian yang cukup penting dalam

memberikan kemungkinan pada asumsi dan fakta dalam sinergitas upaya pencapaian

kebijakan non penal dalam pencegahan tindak pidana perdagangan orang adalah

pendapat dari Jhon Baldoni yang dikemukakan oleh Achmad Ali, tentang

optimalisasi pencapaian tujuan hukum terletak pada factor model kepemimpinan dan

komunikasi. Komunikasi yang optimal bagian elemen yang cukup penting yang dapat

membangun “trust” atau kepercayaan sub elemen yang satu dengan sub elemen yang

lain, agar dapat bergerak sinergi dalam pencapaian sistem hukum tersebut.31

2. Kerangka Konsepsi

Guna memberikan gambaran yang lebih jelas serta menghindari penafsiran

ganda terhadap penelitian ini, maka perlulah dibuat kerangka konsep agar tidak

31 Achmad Ali, dikutip secara tidak langsung “Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori

Peradilan (Judiciao Peradilan) termasuk interpretasi UU (Legisprudence) Vol. I, (Kencana Prenada

(24)

terjadi pemaknaan ganda dalam penelitian. Guna memberikan pemahaman yang sama

atas istilah yang berhubungan dengan penelitian ini, untuk itu diberikan pengertian

operasional terhadap istilah-istilah tersebut, yaitu :

1. Kebijakan adalah : Rangkaian konsep dan asas sebagai dasar rencana dalam

melaksanakan suatu program, kegiatan, kepemimpinan, serta cara bertindak

(dalam organisasi, pemerintahan)32

2. Kebijakan Non Penal adalah : Upaya pencegahan tindak pidana diluar hukum

pidana, yang lebih menitik beratkan pada upaya “preventive” (Pencegahan,

penangkalan dan pengendalian) sebelum kejahatan itu terjadi .

33

Dari defenisi diatas Kebijakan Non Penal yang dimaksudkan penulis juga

meliputi upaya pencegahan diluar hukum pidana dari seluruh institusi yang

bertujuan melakukan pencegahan dan perlindungan bagi korban dengan menitik

beratkan kepada upaya-upaya preventif sehingga kejahatan itu tidak terjadi dan

terulang kembali.

.

3. Upaya adalah : usaha untuk mencapai suatu maksud atau tujuan, dalam

memecahkan satu persoalan guna mencari solusi atau jalan keluar34

32

.

tanggal 16 Juli 2014, pukul 18.30

33 Dikutip secara tidak langsung dari Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum

Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru” Kencana Prenada Media Group, 2011. hal

46 34

(25)

4. Pencegahan adalah : proses yang bertujuan menanggulangi, dimana penangannya

berpusat kepada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara

langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan kejahatan.

5. Perlindungan adalah : Proses atau cara yang di lakukan guna penyelamatan dari

bahaya atau kejahatan35

Perlindungan yang coba didalami penulis berdasarkan defenisi diatas adalah :

Segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa

aman kepada korban sesuai dengan PSO TPPO (Prosedur Standart Oprasional

Tindak Pidana Perdagangan Orang) berupa (Rehabilitasi, Reintegrasi,

Pemulangan dan Bantuan Hukum). .

6. Korban adalah : orang yang menderita, luka atau mati karena suatu kejadian atau

peristiwa, perbuatan jahat36

Selain pengertian tersebut diatas yang dimaksud penulis Korban juga adalah :

Orang yang mencari keadilan dikarenakan penderitaan pisikis, mental, fisik,

seksual, ekonomi, dan/atau sosial akibat dari tindak pidana perdagangan orang.

7. Tindak Pidana adalah : Setiap perbuatan atau tindakan yang berakibat merugikan

korban yang telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana perdagangan orang.

8. Perdagangan Orang adalah setiap tindakan atau perbuatan yang telah memenuhi

unsur proses “perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,

35

tanggal 16 Juli 2014 36

(26)

pemindahan, dengan cara atau jalan “penerimaan, pengancaman, penggunaan

kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan

kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau

manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali

atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar

negara, untuk tujuan prostitusi, pornografi, kekerasan seksual, kerja paksa,

perbudakan atau praktek serupa yang mengakibatkan orang tereksploitasi.

G. Metode Penelitian

Dalam penulisan karya ilmiah, metode penelitian merupakan suatu unsur

penting dan mutlak dilakukan guna menjawab permasalahan yang telah dikemukakan

dalam tesis ini.37

1. Jenis dan Sifat penelitian

Penelitian ini menekankan pada prosedur penelitian kwalitatif

secara utuh dengan mengambil model sampel terhadap pemikiran tentang kebijakan

non penal dalam pencegahan tindak pidana perdagangan orang sebagai konsistensi

kebijakan tertulis dan tidak tertulis dalam masyarakat. Adapun beberapa langkah

yang digunakan dalam metode penelitian ini :

Jenis penelitian yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian

yuridis normatif dan yuridis empiris, yang bersifat deskriptif analitis. Penelitian

yuridis normatif digunakan untuk menggambarkan dan menganalisa pelaksanaan

konsep-konsep hukum, norma-norma hukum dan nilai-nilai keadilan yang erat

kaitannya dengan pokok bahasan tesis ini, sejauh mana para pemangku kebijakan

37

(27)

menerapkannya38. Penelitian yuridis normatif mempergunakan bahan-bahan hukum

yang mengikat sebagai bagian data sekunder, dari beberapa sudut kekuatan mengikat

dapat digolongkan ke dalam (Bahan hukum primer, hukum sekunder dan hukum

tertier).39

Sedangkan penelitian yuridis empiris adalah suatu penelitian guna mengukur

efektivitas hukum yang mampu dipahami dan di operasikan di kalangan aparatur

sebagai pemangku kebijakan dan juga para tokoh masyarakat yang dianggap layak

dan tepat dalam memahaminya. Pada prinsip dalam metode ini ingin melihat sejauh

mana niat dan tujuan para inisiator pembuat kebijakan itu, baik ditataran SKPD

terkait, Kepolisian, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, LSM dan Pers yang memilki

persepsi yang sama sewaktu kebijakan tersebut diundangkan, melalui pengujian

konsep-konsep tertulis yang telah dianggap sebagai wacana doktrin terhadap

hukum.

40

2. Sumber Data Penelitian

Dimana dalam penulisan ini akan menguraikan mekanisme regulasi hukum

dan sosial yang telah dihasilkan, sebagai bagian dari pelayanan masyarakat untuk

melakukan pencegahan tindak pidana perdagangan orang.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian yuridis normatif digolongkan

kedalam 3 (tiga) bagian yang diperoleh dari :

38

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Penerbit Universitas Indonesia-Jakarta,

1986), hal 50

(28)

a. Bahan hukum primer terdiri dari UU No. 44 Tahun 1999 tentang Pers, UU

No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian, UU No. 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban, UU No. 21 Tahun 2007 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, PP No. 9 Tahun 2008

Tentang Tata cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan/atau

Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang, Peraturan Presiden No. 69 Tahun

2008 tentang Gugus Tugas dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan

Orang, Perda Sumut No. 6 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Perdagangan

(Trafiking) Perempuan dan Anak, Pergubsu No. 24 Tahun 2005 Tentang RAP

Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak, Pergubsu No. 53

Tahun 2010 Tentang RAP Penanganan Tindak Pudana Perdagangan Orang,

Pergubsu No. 54 Tahun 2010 Tentang Gugus Tugas Pencegahan dan

Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang Provsu, Pergubsu No. 20

Tahun 2012 Tentang PSO (Prosedur Standart Pelayanan) Terhadap Korban

TPPO khususnya Perempuan dan Anak di Provsu serta Putusan Pengadilan

Negeri Medan No. 1554/Pid.B/2012/PN.Mdn tentang Kasus pengabulan Hak

Restitusi terhadap korban tindak pidana perdagangan orang.

b. Bahan hukum sekunder, seperti : Hasil-hasil penelitian, laporan-laporan,

artikel, majalah dan jurnal ilmiah, hasil-hasil seminar dan pertemuan ilmiah

lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

c. Bahan hukum Tertier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan

(29)

primer dan sekunder di luar bidang hukum yang relevan digunakan untuk

melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian ini.41

Sedangkan bahan hukum dalam penelitian yuridis empiris berasal dari hasil

observasi, wawancara mendalam (in-depth interview), dengan menggunakan

pedoman wawancara (interview guide) kepada informan yang dianggap layak

khususnya para pemangku kebijakan dan khususnya inisiator yang melahirkan

kebijakan daerah dalam permasalahan isu yang dibahas. Dan jika dimungkinkan akan

diperdalam lagi dengan focus group diskusi kepada para informan yang akan

dijadikan sumber informasi.

3. Teknik Pengumpulan Bahan

Seluruh data sekunder dikumpulkan dengan menggunakan teknik study

kepustakaan (library research) dan studi dokumen dari berbagai sumber yang

dianggap relevan. Selanjutnya pengumpulan data primer yang dilakukan melalui

wawancara melalui studi lapangan (field research) terhadap pihak yang terlibat dalam

mekanisme kebijakan non penal dalam pencegahan perdagangan orang yaitu :

Kepolisian (Unit Sub Dit Renakta Polda Sumut dan PPA Polresta Medan), Biro PP,

Anak dan KB setda Provsu, Dinas Sosial Provsu, Dinas Kesehatan Provsu, Dinas

Tenaga Kerja Provsu, Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara, Rumah Sakit Polda

Bhayangkara Sumut dan Organisasi Sosial (LSM) sebagai unit yang dianggap penting

(30)

penanggung jawab dalam upaya penyadaran dan pencegahan tindak pidana

perdagangan orang.

Guna pengujian dan pengukuran kesadaran sikap dan pencapaian dari

mekanisme regulasi yang ada, akan dikembangkan lebih lanjut sebagai tolok ukur

dari kempauan pemahaman kelompok-kelompok penting yaitu tokoh masyarakat,

agama dan adat, pihak jurnalis sebagai pihak yang dianggap cukup penting dalam

peningkatan pemahan dari pencapaian media masa yang bertujuan pencegahan

perdagangan orang secara non penal.

4. Analisis Data

Seluruh data yang diperoleh dianalisis secara kwalitatif yang dilakukan mulai

dari proses pengumpulan data, identifikasi dan analisis dari bahan hukum sekunder

terkait pencegahan dan penangan isu perdagangan orang secara nasional dan lokal.

Lalu dilakukan study lapangan untuk melakukan identifikasi dan analisis bagaimana

hukum dan kebijakan pencegahan itu bekerja dan diupayakan hingga berimplikasi

kepada tujuan pencegahan yang diharapkan. Selanjutnya untuk mendapatkan data

empirik tentang pengalaman makna dari tujuan hukum atau kebijakan terhadap

otoritas dan tanggung jawab masing-masing pihak sehingga dapat diuraikan secara

sistematis hubungan akar masalah dan strategi dalam membangun pendekatan

sinergitas, dalam menemukan solusi terhadap permasalahan yang dimaksud. Studi

lapangan ini dilakukan di lingkup institusi Pemerintahan baik Kepolisian dan SKPD

terkait, serta organisasi sosial sebagai penggiat kemanusian dan tokoh masyarakat

Gambar

Tabel. 1 Acuan Kebijakan Hukum Dalam Pencegahan dan Perlindungan Korban
Tabel. 1 Rekapitulasi Data Kejahatan Perdangan Orang dalam 5 Tahun Terkhir

Referensi

Dokumen terkait

The objective is to combine the benefits of case study method of teaching with online discussion forum to enhance the quality of learning while making this an assessment component

[r]

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Bupati Bantul tentang Pembentukan Tim Penyusun Profil

wajib pajak, sanksi perpajakan, pelayanan fiskus, dan sikap rasional berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi yang terdaftar di KPP

[r]

Microsoft Visual Basic 6.0 merupakan suatu bahasa pemrograman yang bekerja dalam lingkup Ms.Windows dan memanfaatkan Ms.Windows itu sendiri secara optimal yang kemudian dapat

Adobe Premiere 6.5 memberikan keleluasaan pengguna untuk berkreasi tanpa dibatasi oleh aturan dimana kita dapat menempatkan banyak klip-klip, efek, memotong dan menyambung, bahkan

[r]