BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hakekat lahirnya UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang adalah untuk melindungi para korban dimana para pelaku
dapat dihukum secara maksimal. Maksimal dalam hal ini diharapkan, proses hukum
melalui lembaga peradilan mampu memberikan efek jera bagi para pelakunya.1
Tingkat pemahaman dan daya tangkal masyarakat (perempuan dan anak),
tidak mampu menghempang indikasi upaya-upaya para pihak yang tega
memanfaatkan sisi kedangkalan pengetahuan dan keluguan dari ketidakmampuan Namun seiring perkembangan waktu, permasalahan isu perdagangan orang
(khususnya perempuan dan anak) dari waktu ke waktu belum mampu terpecahkan
sampai saat ini.
1
ekonomi para target, meskipun secara kasat mata itu bisa dipastikan oleh pemangku
Negara dan pelaku bisa menyebabkan kesengsaraan dan kenestapaan pada setiap
orang yang akan melewati dan menjalani perekrutan dan ajakan terhadap pencarian
tenaga kerja tersebut.
Perdagangan orang kerap terjadi dalam lingkup jejaring kejahatan terorganisir,
baik dalam negeri maupun luar negeri. Dampak dari kejahatannya, telah menjadi
ancaman bagi masyarakat, bangsa dan negara. Semakin hari jumlah korban semakin
besar jumlahnya2, meskipun dalam beberapa pemberitaan dan media on line atau
jejaring sosial3
Kejahatan perdagangan orang atau yang di kenal dengan istilah “Human
Trafficking”
selama ini kerap menghiasi mass media atau media elektronik,
pemahaman dan kewaspadaan dalam diri masyarakat belum mampu memberikan
keyakinan akan dampak pemberitaan.
4
2 Unicef for every child Health, Education, Equality, Protection Advance humanity, “Lembar
Fakta tentang Eksploitasi Seks Komersial Seks dan Perdagangan Anak” merupakan satu bentuk kejahatan tindak pidana yang sangat sulit
diberantas dan dalam kesepakatan internasional, bentuk kejahatan ini dikenal dengan
sebutan “perbudakan modern” dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Bentuk
diakses pada tanggal 17 Februari 2014, pukul 15.07 wib.
3
Sindo news.com, Polisi Bongkar Penjualan Orang Melalui Dunia Maya/Jumat, 7 Desember 2012
4
kejahatan ini terus menerus berkembang secara nasional maupun internasional. Mulai
dari perkembangan modus operandinya, baik dengan cara membujuk, merekrut,
mengirim, menampung dan tidak jarang juga dilakukan dengan cara kekerasan,
pemaksaan, serta teror sampai dengan cara penculikan. Bentuk pemaksaan lainya
juga kerap dilakukan dengan menyalagunakan kekuasaan terhadap kedudukan yang
rentan atau dengan perjanjian utang sampai dengan tujuan pelacuran.
Berdasarkan “Victims of Trafficking and Violence Protection Act 2000” yang
dikeluarkan oleh pemerintah Amerika Serikat, Indonesia pernah dikategorikan dalam
posisi Tier-2 (sebelumnya Tier-3)5
Penyadaran dalam media sosialisasi dilakukan, dengan titik penyadaran
dampak dan akibat langsung sebagai upaya menggugah tanggungjawab bersama agar
dapat menurunkan angka calon korban yang bisa saja mengalami penderitaan fisik . Artinya pemerintah Indonesia meskipun telah
meratifikasi beberapa Konvensi yang di keluarkan oleh PBB, namun masih dianggap
sebagai negara yang tidak peduli dan tidak memiliki komitmen yang memadai dalam
mengatasi permasalahan perdagangan orang (trafiking). Dan perkembangan isu
kejahatannya, dalam Protokol PBB-Palermo yang ditanda tangani di Sisilia-Italia,
mendeklarasikan perdagangan orang (Trafiking) merupakan kejahatan dengan nilai
keuntungan terbesar ke-3 (tiga) setelah kejahatan senjata dan peredaran narkotika,
menitiktekankan secara politik bagi negara yang menghormati kesepakatan
Internasional itu bertanggung jawab melaksanakan kewajibannya.
5
Sulistyowati Irianto, dkk, “Perdagangan Perempuan dalam Jaringan Pengedaran
seperti cacat, kerusakan organ tubuh, gangguan reproduksi, HIV/ AIDS dan penyakit
menular seksual (PMS) bahkan sampai kepada kematian6, secara mental dan pisikhis
korban juga kerap mengalami depresi, trauma dan goncangan yang fase
penyembuhannya membutuhkan waktu yang cukup lama.7
Rekam jejak data terhadap kasus perdagangan orang, tercatat 70% modus
perdagangan orang dilakukan lewat penempatan tenaga kerja yang illegal (kedalam
dan luar negeri) dan 20% menjadi korban tindak pidana perdagangan orang dimana
penyebabnya adalah factor kemiskinan.
Penyebab pola tingkat kejahatan perdagangan orang semakin marak dan
subur itu disebabkan karena faktor kemiskinan, lapangan kerja terbatas, tingkat
pendidikan yang rendah, pola hidup yang instan atau konsumtif serta faktor budaya
yakni perkawinan dini, dan ditambah lemahnya sistem penegakan hukum, sehingga
melanggengkan makin tingginya kejahatan itu.
8
6 International Organization for Migration (IOM) Indonesia, Database Counter-Traffi cking & Labour Migration Unit, (Maret 2005 – Juni 2011): Data tersebutmenggambarkan fakta-fakta kekerasan yang dialami oleh korban baik secara fisik, psikis, dan medis: Terkait dengan data medis, dari keseluruhan korban sebanyak 3,943 orang, terdapat 1,431 ditemukan mengidap infeksi menular seksual (PMS), 41 orang terkena HIV positive, 115 terkena Hepatitis B.
7 Ibid: Terkait dengan psikis korban, 30% korban dari total korban mengalami Post-trauma
stess symtoms, 73% mengalami Depression symtoms seperti merasa bersalah, sulit tidur, berat badan
menurun drastis, dan tidak tertarik untuk melakukan kegiatan apapun dll. 8
Sambutan Menteri Pemberdayaan Perempuan dalam Rakornas Perlindungan perempuan dan anak Tgl 21 July 2013 (Denpasar-Bali)
Dampak praktek pelanggengan tindak
kejahatan perdagangan orang semakin marak dan berkembang, diyakini dan
sindikat berjaringan, bertujuan untuk mengeksploitasi korban demi keuntungan
pelaku.9
Nasional
Konsep kebijakan hukum (criminal policy), terhadap isu perdagangan orang
(trafiking) secara tegas, Negara telah menyusun komitmennya dalam berbagai
kebijakan tertulis guna melakukan perlindungan, pencegahan dan penegakan hukum
dalam semua lini, niat baik dan komitmen itu tertuang dalam beberapa kebijakan
yaitu :
Tabel. 1
Acuan Kebijakan Hukum Dalam Pencegahan dan Perlindungan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
Lokal
UU No. 2 Tahun 1999 tentang Pers Perda Sumut No. 6 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak10
UU No. 2 Tahun 2007 Tentang Kepolisian11
Pergubsu No. 24 Tahun 2005 Tentang RAP Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak
UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban12
Pergubsu No. 53 Tahun 2010 ttg RAP Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang
UU No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Trafiking13
Pergubsu No. 54 Tahun 2010 ttg Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang Provsu
UU No. 14 Tahun 2009 tentang Pergubsu No. 20 Tahun 2012 tentang
9
Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Bahan dalam Rapat Kerja Komite III DPD RI, (Jakarta: 18 Mei 2010), hal 7
10 Pasal 4-14 Bab III Pencegahan Trafiking (Izin bekerja), Pemberian suart jalan dan surat
pindah, pembentukan gugus tugas task force trafiking
11
Pasal 13, “Tugas pokok Kepolisian RI (Memelihara keamanan, 2. Menegakan Hukum 3
Memberikan Perlindungan dan Pengayoman dan Pelayanan Kepada Masyarakat” 12
Pasal 3 (titik point hak yang diterima korban dan calon korban perdagangan untuk
memperoleh penghargaan atas harkat dan martabat, rasa aman, keadilan, tidak diskriminasi dan kepastian hukum”)
13
Pasal 56-63 Bab VI-VII (Pencegahan dan Penanganan, KerjasamaInternasional dan
Ratifikasi Protokol Palermo untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, terutama Perempuan dan Anak-anak melengkapi Konvensi PBB menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisir
PSO Pelayanan Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Khususnya Perempuan dan Anak di Provsu
PP No. 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
Putusan Hakim Pengadilan Negeri
Medan Reg No. 1554/Pid.B/2012/PN.Mdn sebagai bukti
penegakan hukum terhadap pelaku
perdagangan orang dalam memaksimalkan putusan pengadilan
Pepres No. 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas
Penanggulangan kejahatan pada sisi penegakan hukum (penal policy),
memiliki keterbatasan hanya accidental semata, sifatnya mengurangi gejala kejahatan
sementara saja (kurrien am symptom), tidak sebagai obat dalam penyelesaian
penyakit masyarakat. Artinya kedudukan hukum pidana (penal policy) hanya
dibutuhkan setelah kejadian terjadi yang bisa saja, saat proses penanganan dan
penegakan hukum dalam upaya pencarian keadilan, korban merasa tidak puas dan
tidak tuntas.
Frekuensi perkembangan kasus kejahatan perdagangan orang dari waktu
kewaktu, khususnya di Sumatera Utara dalam setiap tahun, perkembangannya
meningkat secara tajam. Hal ini dimungkinkan secara geografis Sumatera Utara
merupakan satu wilayah strategis sebagai tempat “penyalur, tujuan dan transit”
dalam proses perdagangan orang. Hasil temuan perkembangan data kejahatan
Tabel. 1
Rekapitulasi Data Kejahatan Perdangan Orang dalam 5 Tahun Terkhir Polda/Sej
Bagi beberapa korban yang mengalami tindak pidana perdagangan orang
diatas, hukum tidak lebih dari setumpuk aturan yang dibingkai dengan perpaduan
serta alunan kata-kata yang indah. Yang syarat dengan bahasa para dewa namun
miskin makna ketika dibenturkan dengan realitas dalam penegakan hukumnya.
Hukum dipandang seakan kehilangan ruhnya, jika harus bertatap muka dengan
segelintir malaikat pencabut nyawa yang diberi oleh title penguasa atau kekuasaan,
akan tergilas hingga rasa keadilan bagi para korban kerap terabaikan sebut saja,
seperti pantauan penegakan hukum terhadap beberapa korban dalam table di 2 (dua)
tahun terakhir mengalami beberapa kendala yakni :
a. Diawal 2012, terhadap nasib seorang Pembantu Rumah Tangga asal Jawa Tengah yang telah diperbudak selama 25 tahun.14
14 Harian Media Indonesia, tanggal 14 Maret 2012, Hal. 10
Dengan modus pengangkatan anak, namun diperlakukan layaknya pembantu rumah tangga. Hampir 7 bulan lamanya nasibnya terombang-ambing dalam upaya pencarian jati diri dan keluarganya serta keadilan yang diharapkannya. Hingga akhirnya saat korban telah menemukan jati diri keluarga yang sebenarnya. Pengharapan
bisa berkumpul dan bertemu kembali terkendala karena urusan prosedur penyidikan dan proses pemberkasan yang belum selesai, yang hingga akhirnya setelah 7 bulan menunggu korban kembali kekampung halamnnya, hingga saat ini, setelah 2 (tahun) proses pengaduan pintu keadilan atas perlakuan majikan yang diterimanya kerap tidak kunjung bisa terbuka (Polresta melakukan SP3 laporan korban Tersangka meninggal dunia); 15
b. Pertengahan tahun 2012 lalu, 7 (tujuh) gadis belia, asal NTT yang bermaksud mencoba mengadu nasib, karena tawaran yang mengaku pengusaha asal Medan untuk bekerja di Medan dan Malaysia yang ditawarkan bekerja sebagai penjaga Toko dan Pembantu Rumah Tangga. Namun kesepakatan yang ditetapkan antara pencari kerja dan pengusaha tidak sesuai dengan yang dijanjikan, akhirnya para calon tenaga kerja berusaha melarikan diri dan meminta perlindungan PPA Polresta Medan. Namun perjuangan dalam upaya pengharapan perlindungan, yang mereka terima sedikit panjang dan rumit, bahkan berliku-liku ketika mereka telah memasuki ranah dalam pemeriksaan sebagai korban dari pihak Polresta Medan, hingga mereka berhasil dipulangkan ke kampung asal pengaduan tidak pernah ditindak lanjuti16;
c. Sama halnya pada pertengahan 2013 lalu, 6 (enam) perempuan pencari kerja yang berasal dari berbagai Provinsi di Pulau Jawa dan Sumatera. Mereka terpaksa harus melewati rintangan, saat berupaya menyelematkan diri dari sekapan majikan yang ingin mempekerjakan mereka tanpa kesepekatan awal. Mereka telah ditawarkan dan diiming-imingi disalah satu Toko Pemilik Yayasan Tenaga Kerja, meskipun penolakan dan juga ketidak mauan korban, dikarenakan tidak sesuai dengan pekerjaan yang telah dijanjikan, mereka justru mendapatkan penyiksaan dari sang majikan hendak mengurungkan niatnya meminta pulang. Saat mereka tetap komit melakukan penolakan tidak bersedia bekerja perlakukan kasar dan bahkan penyekapan dalam ruang isolasipun tak terelakan para korban, tanpa diberi makan dan minum hingga berhari-hari. Akhirnya saat memiliki kesempatan mereka berhasil melarikan diri dari tempat penampungan dan berupaya mencari keadilan di Polresta Medan, hingga kini kasus tidak mampu diproses secara hukum oleh pihak aparat17;
d. Awal tahun 2014, 5 (lima) korban yang merupakan gadis belia yang hendak diperdagangkan ke negri jiran tetangga. Pihak imigrasi Tanjung Balai berhasil menggagalkan penyeludupan saat hendak melakukan penyebrangan, guna meminta perlindungan dan penegakan hukum para korban mencari keadilan di
15
Dokumen P2TP2A Sumut Tahun 2012 16
Dokumen Pusaka Indonesia Tahun 2012 17
Renakta Polda Sumatera Utara, proses perekrutan hingga proses pengiriman ke Malaysia dengan passport resmi yang dikeluarkan merupakan jaringan yang luar biasa yang mampu mulus dalam pengurusan berbagai persyaratan pengiriman TKI illegal. Guna kemaksimalan dalam pengungkapan sindikat serta treatment dalam upaya efek jera, pengaduan tertulis dilakukan di Renakta Poldasu, setelah 3 bulan lebih pengajuan pengaduan proses pemeriksaan masih seputaran pemeriksaan saksi belum masuk dalam tahap pemeriksaan yang lebih maju di Renakta Polda Sumut (Tersangka tidak diketahui keberadaannya);18
e. Akhir Februari 2014, terungkapnya penyekapan terhadap 22 orang korban (pekerja Walet dan Rumah Tangga) asal NTT di Kompleks Family No. 77-79 Jl. Brigjend Katamso, Kelurahan Titi Kuning Kecamatan Medan Johor, sebagai bukti adanya perbudakan modern yang dilakukan warga Medan selama 3-4 tahun lamanya terhadap pekerjanya. Mereka dipekerjakan dalam dunia usaha sang majikan dan disisi lainnya mereka juga dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga tanpa pernah di beri upah. Kasus terungkap setelah jatuhnya salah satu korban yang sengaja dikembalikan oleh majikan ke tempat asal, karena merasa keberatan akan perlakuan yang mereka terima pihak keluarga melaporkan kebiadaban dari majikan tersebut, peristiwa ini membuktikan pelegalan perbudakan yang berada ditengah-tengah masyarakat Medan;19
Berangkat dari kasus-kasus tersebut diatas upaya pencegahan dan
perlindungan hukum dari pihak penegak hukum atau institusi pemerintah, terkesan
tidak menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya secara maksimal”. Artinya hakikat
hukum dan tujuan hukum dalam penegakan hukum bagi para korban perdagangan
orang (penal) tidak tercapai
20
Sebagaimana diharapkan dalam konteks penindakan dalam penegakan hukum
dalam memberi efek penjeraan setiap pelaku. Jeratan pasal dalam pemenuhan unsur
tindak pidana Perdagangan Orang (Trafiking) cendrung tidak mampu terpenuhi, .
18
P2TP2A Sumut, Op.cit 2014 19
Dokumen Polresta Medan, Tahun 2014
20 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicial
dalam mempermudah para penegak hukum terhadap pemenuhan unsur, dibeberapa
kesempatan pembekalan telah tersosialisasi skematis yang digambarkan seperti
dibawah ini 21:
Skema. 1
Pemenuhan Unsur Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang Pasal 2, ayat (1) UU No. 21 Tahun 2007
Kedudukan pencegahan dalam arti penegakan hukum (penal policy) adalah
untuk menjamin upaya perlindungan para korban perdagangan orang tidak terlepas
dari kemauan dan keinginan para alat-alat Negara yang berwenang dalam
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki para korban. Diperkirakan
21 Pasal 2 ayat 1 UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang
Unsur Sabjektif : Setiap Orang
Unsur Objektif
kemauan dan keinginan dari para pemangku kebijakan itu telah mampu melakukan
upaya pencegahan dan perlindungan dapat dilihat dari wujud dan hasil keputusan
yang diambil ditengah-tengah masyarakat22
Temuan kasus diatas upaya “preventive” yakni :
(pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum terjadi akan sangat membantu
dalam memperkecil jumlah korban. Artinya konsep kebijakan penanggulangan
kejahatan dalam upaya non-penal harus memiliki kedudukan yang strategis dan . Hukum bukan merupakan kaidah yang
bebas nilai, manfaat dan mudharatnya semata-mata tergantung kepada manusia yang
menjadi pelaksananya.
Satjipto Raharjo mengemukakan, bahwa hukum tidak berjalan sendiri-sendiri,
karena hukum dan manusia tidak bisa dipisahkan karena manusialah yang
menjalankan hukum (cara manusia berhukum). Hukum tidak ada untuk diri dan
keperluannya sendiri, melainkan untuk manusia, khususnya kebahagian manusia.
Singkatnya hukum memiliki logika sendiri, tujuan sendiri dan kehendak sendiri dan
hukum membutuhkan kehadiran manusia untuk mewujudkannya.
Penanggulangan kejahatan lewat jalur kebijakan “non penal” bertindak
sebelum terjadinya kejahatan dimana sasaran utamanya adalah penangan terhadap
factor-faktor penyebab terjadinya kejahatan berpusat pada masalah-masalah atau
kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan
atau menumbuh suburkan kejahatan perdagangan orang tersebut.
tujuan bersama sehingga efektifitas dan intensitas dalam pengurangan korban
meningkat.
Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang, Pasal 56 menyebutkan bahwa pencegahan tindak pidana
perdagangan orang bertujuan dalam pencegahan sedini mungkin terjadinya tindak
pidana perdagangan orang dalam Pasal 57 disebutkan bahwa (1) Pemerintah,
Pemerintah daerah, masyarakat, dan keluarga wajib mencegah terjadinya tindak
pidana perdagangan orang. (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membuat
kebijakan, program, kegiatan dan mengalokasikan anggaran untuk pencegahan dan
penanganan masalah perdagangan orang.
Berdasarkan data dan fakta rujukan aspek filosofis, yuridis dan sosiologis,
dari UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang berupaya komit untuk
melibatkan semua unsur dalam pencegahan. Meskipun dalam praktek sehari-hari
upaya pelibatan semua pihak itu cendrung melemah dan tidak maksimal berjalan.
Pelibatan semua lini atau masyarakat dari tatanan kebiasaan masyarakat, sebagai
modal besar dimana masih kuat menjunjung filosofi nilai-nilai budaya, yang bisa
dijadikan kekuatan dan tolok ukur dalam mendorong masyarakat untuk berpartisipasi
dan peran serta dalam pencegahan kejahatan. Misalnya konteks tradisi batak yang
natolu23
Begitu pula konsep adat minang. Kearifan lokal yang tertanam sebagai norma
yang berlaku di masyarakat yang diyakini kebenarannya sebagai acuan dalam
bertindak dan berprilaku sehari-hari dan merupakan entitas dalam penentuan harkat
dan martabat komunitasnya dalam adat minang yakni : “adat basandi sarak, sarak
basandi kitabullah”
(somba marhula-hula, elek marboru dan manat mardongan tubu) dimana
jika dimaksudkan makna dalam konsep yang tertanam “anak mu merupakan anak ku
dan anak ku merupakan anak mu”. Secara kasat mata konsep rasa memiliki bersama
atas keselamatan dan perlindungan dilakukan secara bersama-sama.
24
23
Kebijakan Pencegahan Perdagangan Orang melalui pendekatan kearifan local (Deputi Bidang Perlindungan Perempuan-Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak, Tahun 2012 hal 26
24 Ibid, hal 14
yang dipandang mampu melakukan upaya pencegahan dalam
pengendalian sikap dan prilaku bagi para anak dan remaja dalam pergaulan
sehari-harinya.
Gambaran pola kerja pencegahan dan perlindungan UU No. 21 Tahun 2007
dalam upaya merangkul semua lini untuk terlibat dalam pencegahan sedini mungkin
Skema diatas cukup jelas menggambarkan adanya proses pelibatan berbagai
pihak, guna sinergitas yang diharapkan dalam kebijakan secara integral, dalam upaya
pencegahan kejahatan. Secara luas kalau di hubungkan dalam konteks ”politik
sosial” adanya pemenuhan keterlibatan peran serta masyarakat. Keterlibatan
masyarakat dibutuhkan sebagai pihak yang terdepan, yang dapat mengetahui
keberadaan atau terjadinya kejahatan pidana, khususnya perdagangan orang tersebut.
Meningkatnya tingkat kejahatan merupakan satu persoalan yang berdimensi
sosial dan kemanusiaan, dimana penyebabnya juga timbul dari berbagai multi
kompleks permasalahan, penangannya juga melibatkan penanganan diluar dari
Pola
jangkauan hukum pidana. Hukum pidana tidak akan mampu melihat secara dalam
tentang akar masalah terjadinya kejahatan di masyarakat. Pendekatan sosial atau
sosiologis sebagai ilmu bantu dalam memadukan keampuhan hukum pidana tersebut.
Dari kebijakan kriminal (criminal policy) khususnya kebijakan non penal sebagai
upaya pencegahan dan penanganan dengan melibatkan masyarakat serta kerjasama
terfokus baik Pusat, Daerah dan juga Internasional merupakan satu cara dan kunci
yang tepat guna memperkecil tingkat kejahatan terjadi, apabila efektif dan sinergis
berjalan penangan dan jumlah korban dapat berkurang dan tertangani.25
Kebijakan kriminal yang baik bagaimana kebijakan itu mampu mengatur
keselarasan dan ketertiban masyarakat. Melihat konteks kebijakan kriminal non penal
lebih memberikan ruang sinergitas dari berbagai kepentingan dari kelompok
masyarakat akan lebih memudahkan pencapaian tujuan kesejahteraan sebagai mana
yang telah dirumuskan dalam RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang)
26
Berdasarkan uraian dan fakta tersebut diatas, sangatlah penting dan menarik
untuk menggali, mengkaji dan membahas tentang potensi-potensi Criminal Policy
dalam kajian tesis yang khusus membahas “Kebijakan Non Penal Dalam Upaya
Pencegahan dan Perlindungan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Trafiking)” (Studi Kasus Provinsi Sumatera Utara).
sebagai sasaran fokus utama Negara dalam penurunan angka kemiskinan,
peningkatan ekonomi rakyat dan terbukanya lapanganan kerja seluas-luasnya.
25 Lihat UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ,
Bab VII Kerjasama dan Peran Serta Masyarakat Pasal 59-63.
26
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka penulis
membuat rumusan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini sebagai
berikut:
1. Bagaimana Kebijakan Non Penal dalam regulasi secara Nasional dan Lokal
khususnya Sumatera Utara terkait pencegahan dan perlindungan korban
perdagangan orang (trafiking) ;
2. Bagaimana upaya penguatan Kebijakan Non Penal dalam upaya pencegahan
tindak pidana perdagangan orang di Sumatera Utara;
3. Apa kelemahan dan kendala implementasi Kebijakan Non Penal dalam upaya
pencegahan dan melindungi korban tindak pidana perdagangan orang
(trafiking) di Sumatera Utara?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas maka tujuan
yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis bentuk Kebijakan Non Penal dalam
regulasi secara Nasional dan Lokal (Sumatera Utara) terkait upaya
pencegahan dan perlindungan korban perdagangan manusia (trafiking);
2. Untuk mengetahui upaya penguatan Kebijakan Non Penal dalam pencegahan
3. Untuk mengetahui kelemahan dan kendala implementasi Kebijakan Non
Penal dalam upaya pencegahan dan melindungi korban tindak pidana
perdagangan orang (trafiking) di Sumatera Utara.
D. Manfaat Penelitian
Diharapkan hasil penelitian dapat memberi manfaat secara teori dan praktek
yaitu :
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan akan memperkaya hukum
pidana, khususnya tentang satu bentuk kejahatan terorganisir yang popular
dengan nama “human trafficking”.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai
kerangka acuan dan bahan masukan bagi individu-individu maupun pihak lain
yang berkepentingan, khususnya aparat penegak hukum, pemerintah provinsi,
pemerhati masalah perdagangan orang, dalam upaya pencegahan sedini
mungkin dalam mewujudkan upaya perlindungan korban dan antisipasi dini
dalam tindak pidana perdagangan orang (trafiking).
E. Keaslian Penulisan
Berdasarkan informasi, pengamatan dan penelusuran yang telah dilakukan
terhadap hasil-hasil penelitian sebelumnya terkait dengan penelitian yang telah
dilakukan dengan penelitian mengenai : “Kebijakan Non Penal Dalam Upaya
(Studi Kasus Provinsi Sumatera Utara)” ini, belum pernah dilakukan dalam topik dan
permasalahan yang sama. Sehingga penelitian ini dapat dikategorikan sebagai
penelitian yang baru dan keasliannya dapat dipertanggungjawabkan, karena dilakukan
dengan nuansa keilmuan, kejujuran, rasional, objektif dan terbuka serta dapat
dipertanggungjawakan secara keilmuan akademis.
Hasil penelusuran kepustakaan Universitas Sumatera Utara (USU), ada
beberapa judul yang berkaitan dengan permasalahan pencegahan isu perdagangan
orang (trafiking) seperti :
1. Rosmaida Feriana, 2008, Upaya Kepolisian Daerah Sumatera Utara dalam Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafiking); 2. Bambang Haris Samosir, 2007, Analisis Yuridis Penegakan Hukum
Pidana Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang setelah keluarnya UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Study Kasus Pengadilan Negeri Medan);
3. Hotlarasida Girsang, 2009, Penanggulangan Kejahatan Trafiking melalui UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;
4. Saptono, 2009, Analisis Yuridis Peran Polri dalam Penanggulangan Tindak Pidana Trafiking in person sebagai transnational crime;
5. Daniel Mario H. Sigalingging, 2004 Pertanggung jawaban PJTKI dalam kasus human trafiking;
6. Rauli Siahaan, 2007, Wewenang Penyidik Polri dalam Menanggulangi Kejahatan Trafiking;
7. Wawan Irawan, 2008, Analisis Yuridis Tindak Pidana Human Trafiking Sebagai Kejahatan Extra Ordinary Crime.
Hasil rekap penelusuran diatas dipastikan bahwa penelitian proposal ini memiliki
perbedaan subtansi penelitian yang hendak diteliti dan sudah tentu keaslian penelitian
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
Pencapaian tujuan penelitian dan dalam rangka menjawab permasalahan,
diperlukan beberapa teori dan konsep untuk menganalisis tanggung jawab pemerintah
dalam mewujudkan kebijakan non penal dalam upaya mencegah lebih banyaknya
korban tindak pidana dan keterlibatan peran serta masyarakat sebagai wujud
partisipasi dalam pengurangan tindak kejahatan perdagangan orang (trafiking).
1. Kerangka Teori
Kerangka teori dalam penulisan ilmiah ini sangat penting, sebagai pisau
analisis bagi peneliti guna memecahkan permasalahan-permasalahan yang telah
dirumuskan. Proses upaya pencegahan diberbagai tataran aparatur pemerintah
masing-masing memiliki satu kebutuhan khusus namun terkadang upaya dan
sasarannya memiliki perbedaan satu dengan yang lain. Sama halnya dalam konteks
hukum, yang dipandang memiliki banyak wajah, dikalangan ilmuwan hukum yang
akhirnya tidak memiliki persepsi yang sama terhadap pengertiannya,27
27 Sulistyowati Irianto dan Shidarta, “Metode Penelitian Hukum konstelasi dan Refleksi” (Yayasan Obor, 2011), hal 173
cendrung
menjustifikasi kendala dan kelemahan gerakan dalam upaya
pencegahan/penanggulangan kejahatan (politik kriminal) yang tidak maksimal
berperan di masyarakat. Dimana hal itu menunjukan sering sekali konteks teori dan
prakteknya, tidak mampu menjawab satu permasalahan yang terjadi khususnya yang
Teori Kebijakan Kriminal sebagaimana di kemukakan oleh G. Peter
Hoefnagles bahwa Kebijakan Kriminal adalah28
a. Criminal policy is the science of responses “kebijakan kriminal merupakan ilmu tanggapan”.
“satu usaha yang rasional dari
pemerintah dan masyarakat dalam melakukan penanggulangan dilakukan melalui :
b. Criminal policy is the science of crime prevention “kebijakan kriminal merupakan ilmu pencegahan”.
c. Criminal Policy is a policy of designating human behavior as crime “kebijakan criminal merupakan kebijakan yang dapat merubah prilaku manusia untuk berbuat lebih baik”.
d. Criminal Policy is a rational total of the responses to crime “kebijakan criminal merupakan tanggapan dari seluruh pemangku kebijakan terhadap dampak satu kejahatan”.
Konsep tersebut untuk memudahkan kita memahami teori kebijakan kriminal diatas,
dirangkai dan digambarkan secara khusus dalam skema yaitu29 :
28
Barda Nawawi Arief, “Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana”, (Kencana Perdana Media group), 2011, hal 45
29
Uraian konsep diatas menjelaskan bahwa akhir dari tujuan kebijakan kriminal
bagaimana memampukan antara kebijakan sosial dalam upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat (sosial welfare) dengan upaya perlindungan (sosial
Science Allied Science
DISCIPLINES
Penology (Gen, theory of punishment, sentencing and
effect of sentence)
Gen Theory of crime process
Social Work Theory
Crime Policy Soc policy
Influencing views of society on crime and
i
Crim law application (practical criminology)
Prevention without punistment
Adm of crim justice in narrow sence (Crim legislation, crim jurisprudence, crim process in wide sense-Judicial, physical scientife, social scientife) Forensict psychiatry and psicology
Forensic social work
Crime, sentence execution and notice statice
Soc Policy
Community planning menthal healt
Nat menthal healt soc work child welfare
defence) yang dikaitkan juga dengan kemaksimalan dalam kebijakan kriminal (penal
dan non penal) sebagai mana diungkapkan bahwa kebijakan kriminal meliputi :30
Sinergitas teori pencegahan diatas diakaitkan dengan rumusan latar belakang
pola alur kinerja dari UU No. No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang, erat kaitanya dengan konsep teori yang digambarkan G.
Peter Hofnagels bagaimana semua disiplin ilmu menjadi bagian dari kebijakan
kriminal sebagai upaya pencegahan kejahatannya yang ditempuh lewat:
“criminal policy as a science of policy is part of a larger policy the law enforcement policy. This makes it understandable that administrative and civil law occupy the same place in the diagram as non criminal legal crime prevention. The legislative and enforcement policy is in part of sosial policy”
(Kebijakan kriminal merupakan bagian dari ilmu kebijakan yang lebih luas dari kebijakan penegakan hukum. Dimana terdiri dari hukum administrasi dan perdata yang juga merupakan bagian yang sama dalam upaya pencegahan kejahatan di luar hukum pidana, sedangkan kebijakan legislatife dan kebijakan penegakan hukum merupakan bagian penting dari pelaksanaan kebijakan sosial “diterjemahkan oleh penulis).
a. Penerapan hukum pidana (criminal law application) secara penal;
b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment) secara non
penal
c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanaan lewat media massa (influencing views of society on crime and
punistment/mass media) yang juga merupakan pendekatan non penal.
Kebijakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan dari konsep diatas
menekankan upaya pendekatan penanganan terhadap penyebab kejahatan itu terjadi
30
sebagai bagian masalah sosial secara langsung dan tidak langsung dapat
menimbulkan tumbuh suburnya kejahatan sehingga dimungkinkan pencegahan non
penal ini mempunyai kedudukan yang penting jika difungsikan dan diefektifkan
dalam mengurangi korban perdagangan orang lebih banyak lagi.
Sebagaimana dalam upaya peran media massa dalam melakukan pengaruh
terhadap pandangan masyarakat sebagai bagian dalam pendekatan non penal, tidak
secara mendalam penulis bahas dalam bagian penelitian ini. Harapannya bisa
dilakukan penelitian khusus dikesempatan lain guna pembahasan yang lebih
mendalam lagi untuk melengkapi penelitian tesis ini.
Kerangka teori lainnya, sebagai bagian yang cukup penting dalam
memberikan kemungkinan pada asumsi dan fakta dalam sinergitas upaya pencapaian
kebijakan non penal dalam pencegahan tindak pidana perdagangan orang adalah
pendapat dari Jhon Baldoni yang dikemukakan oleh Achmad Ali, tentang
optimalisasi pencapaian tujuan hukum terletak pada factor model kepemimpinan dan
komunikasi. Komunikasi yang optimal bagian elemen yang cukup penting yang dapat
membangun “trust” atau kepercayaan sub elemen yang satu dengan sub elemen yang
lain, agar dapat bergerak sinergi dalam pencapaian sistem hukum tersebut.31
2. Kerangka Konsepsi
Guna memberikan gambaran yang lebih jelas serta menghindari penafsiran
ganda terhadap penelitian ini, maka perlulah dibuat kerangka konsep agar tidak
31 Achmad Ali, dikutip secara tidak langsung “Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori
Peradilan (Judiciao Peradilan) termasuk interpretasi UU (Legisprudence) Vol. I, (Kencana Prenada
terjadi pemaknaan ganda dalam penelitian. Guna memberikan pemahaman yang sama
atas istilah yang berhubungan dengan penelitian ini, untuk itu diberikan pengertian
operasional terhadap istilah-istilah tersebut, yaitu :
1. Kebijakan adalah : Rangkaian konsep dan asas sebagai dasar rencana dalam
melaksanakan suatu program, kegiatan, kepemimpinan, serta cara bertindak
(dalam organisasi, pemerintahan)32
2. Kebijakan Non Penal adalah : Upaya pencegahan tindak pidana diluar hukum
pidana, yang lebih menitik beratkan pada upaya “preventive” (Pencegahan,
penangkalan dan pengendalian) sebelum kejahatan itu terjadi .
33
Dari defenisi diatas Kebijakan Non Penal yang dimaksudkan penulis juga
meliputi upaya pencegahan diluar hukum pidana dari seluruh institusi yang
bertujuan melakukan pencegahan dan perlindungan bagi korban dengan menitik
beratkan kepada upaya-upaya preventif sehingga kejahatan itu tidak terjadi dan
terulang kembali.
.
3. Upaya adalah : usaha untuk mencapai suatu maksud atau tujuan, dalam
memecahkan satu persoalan guna mencari solusi atau jalan keluar34
32
.
tanggal 16 Juli 2014, pukul 18.30
33 Dikutip secara tidak langsung dari Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum
Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru” Kencana Prenada Media Group, 2011. hal
46 34
4. Pencegahan adalah : proses yang bertujuan menanggulangi, dimana penangannya
berpusat kepada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara
langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan kejahatan.
5. Perlindungan adalah : Proses atau cara yang di lakukan guna penyelamatan dari
bahaya atau kejahatan35
Perlindungan yang coba didalami penulis berdasarkan defenisi diatas adalah :
Segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa
aman kepada korban sesuai dengan PSO TPPO (Prosedur Standart Oprasional
Tindak Pidana Perdagangan Orang) berupa (Rehabilitasi, Reintegrasi,
Pemulangan dan Bantuan Hukum). .
6. Korban adalah : orang yang menderita, luka atau mati karena suatu kejadian atau
peristiwa, perbuatan jahat36
Selain pengertian tersebut diatas yang dimaksud penulis Korban juga adalah :
Orang yang mencari keadilan dikarenakan penderitaan pisikis, mental, fisik,
seksual, ekonomi, dan/atau sosial akibat dari tindak pidana perdagangan orang.
7. Tindak Pidana adalah : Setiap perbuatan atau tindakan yang berakibat merugikan
korban yang telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana perdagangan orang.
8. Perdagangan Orang adalah setiap tindakan atau perbuatan yang telah memenuhi
unsur proses “perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,
35
tanggal 16 Juli 2014 36
pemindahan, dengan cara atau jalan “penerimaan, pengancaman, penggunaan
kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau
manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali
atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar
negara, untuk tujuan prostitusi, pornografi, kekerasan seksual, kerja paksa,
perbudakan atau praktek serupa yang mengakibatkan orang tereksploitasi.
G. Metode Penelitian
Dalam penulisan karya ilmiah, metode penelitian merupakan suatu unsur
penting dan mutlak dilakukan guna menjawab permasalahan yang telah dikemukakan
dalam tesis ini.37
1. Jenis dan Sifat penelitian
Penelitian ini menekankan pada prosedur penelitian kwalitatif
secara utuh dengan mengambil model sampel terhadap pemikiran tentang kebijakan
non penal dalam pencegahan tindak pidana perdagangan orang sebagai konsistensi
kebijakan tertulis dan tidak tertulis dalam masyarakat. Adapun beberapa langkah
yang digunakan dalam metode penelitian ini :
Jenis penelitian yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian
yuridis normatif dan yuridis empiris, yang bersifat deskriptif analitis. Penelitian
yuridis normatif digunakan untuk menggambarkan dan menganalisa pelaksanaan
konsep-konsep hukum, norma-norma hukum dan nilai-nilai keadilan yang erat
kaitannya dengan pokok bahasan tesis ini, sejauh mana para pemangku kebijakan
37
menerapkannya38. Penelitian yuridis normatif mempergunakan bahan-bahan hukum
yang mengikat sebagai bagian data sekunder, dari beberapa sudut kekuatan mengikat
dapat digolongkan ke dalam (Bahan hukum primer, hukum sekunder dan hukum
tertier).39
Sedangkan penelitian yuridis empiris adalah suatu penelitian guna mengukur
efektivitas hukum yang mampu dipahami dan di operasikan di kalangan aparatur
sebagai pemangku kebijakan dan juga para tokoh masyarakat yang dianggap layak
dan tepat dalam memahaminya. Pada prinsip dalam metode ini ingin melihat sejauh
mana niat dan tujuan para inisiator pembuat kebijakan itu, baik ditataran SKPD
terkait, Kepolisian, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, LSM dan Pers yang memilki
persepsi yang sama sewaktu kebijakan tersebut diundangkan, melalui pengujian
konsep-konsep tertulis yang telah dianggap sebagai wacana doktrin terhadap
hukum.
40
2. Sumber Data Penelitian
Dimana dalam penulisan ini akan menguraikan mekanisme regulasi hukum
dan sosial yang telah dihasilkan, sebagai bagian dari pelayanan masyarakat untuk
melakukan pencegahan tindak pidana perdagangan orang.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian yuridis normatif digolongkan
kedalam 3 (tiga) bagian yang diperoleh dari :
38
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Penerbit Universitas Indonesia-Jakarta,
1986), hal 50
a. Bahan hukum primer terdiri dari UU No. 44 Tahun 1999 tentang Pers, UU
No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian, UU No. 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, UU No. 21 Tahun 2007 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, PP No. 9 Tahun 2008
Tentang Tata cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan/atau
Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang, Peraturan Presiden No. 69 Tahun
2008 tentang Gugus Tugas dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan
Orang, Perda Sumut No. 6 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Perdagangan
(Trafiking) Perempuan dan Anak, Pergubsu No. 24 Tahun 2005 Tentang RAP
Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak, Pergubsu No. 53
Tahun 2010 Tentang RAP Penanganan Tindak Pudana Perdagangan Orang,
Pergubsu No. 54 Tahun 2010 Tentang Gugus Tugas Pencegahan dan
Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang Provsu, Pergubsu No. 20
Tahun 2012 Tentang PSO (Prosedur Standart Pelayanan) Terhadap Korban
TPPO khususnya Perempuan dan Anak di Provsu serta Putusan Pengadilan
Negeri Medan No. 1554/Pid.B/2012/PN.Mdn tentang Kasus pengabulan Hak
Restitusi terhadap korban tindak pidana perdagangan orang.
b. Bahan hukum sekunder, seperti : Hasil-hasil penelitian, laporan-laporan,
artikel, majalah dan jurnal ilmiah, hasil-hasil seminar dan pertemuan ilmiah
lainnya yang relevan dengan penelitian ini.
c. Bahan hukum Tertier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan
primer dan sekunder di luar bidang hukum yang relevan digunakan untuk
melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian ini.41
Sedangkan bahan hukum dalam penelitian yuridis empiris berasal dari hasil
observasi, wawancara mendalam (in-depth interview), dengan menggunakan
pedoman wawancara (interview guide) kepada informan yang dianggap layak
khususnya para pemangku kebijakan dan khususnya inisiator yang melahirkan
kebijakan daerah dalam permasalahan isu yang dibahas. Dan jika dimungkinkan akan
diperdalam lagi dengan focus group diskusi kepada para informan yang akan
dijadikan sumber informasi.
3. Teknik Pengumpulan Bahan
Seluruh data sekunder dikumpulkan dengan menggunakan teknik study
kepustakaan (library research) dan studi dokumen dari berbagai sumber yang
dianggap relevan. Selanjutnya pengumpulan data primer yang dilakukan melalui
wawancara melalui studi lapangan (field research) terhadap pihak yang terlibat dalam
mekanisme kebijakan non penal dalam pencegahan perdagangan orang yaitu :
Kepolisian (Unit Sub Dit Renakta Polda Sumut dan PPA Polresta Medan), Biro PP,
Anak dan KB setda Provsu, Dinas Sosial Provsu, Dinas Kesehatan Provsu, Dinas
Tenaga Kerja Provsu, Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara, Rumah Sakit Polda
Bhayangkara Sumut dan Organisasi Sosial (LSM) sebagai unit yang dianggap penting
penanggung jawab dalam upaya penyadaran dan pencegahan tindak pidana
perdagangan orang.
Guna pengujian dan pengukuran kesadaran sikap dan pencapaian dari
mekanisme regulasi yang ada, akan dikembangkan lebih lanjut sebagai tolok ukur
dari kempauan pemahaman kelompok-kelompok penting yaitu tokoh masyarakat,
agama dan adat, pihak jurnalis sebagai pihak yang dianggap cukup penting dalam
peningkatan pemahan dari pencapaian media masa yang bertujuan pencegahan
perdagangan orang secara non penal.
4. Analisis Data
Seluruh data yang diperoleh dianalisis secara kwalitatif yang dilakukan mulai
dari proses pengumpulan data, identifikasi dan analisis dari bahan hukum sekunder
terkait pencegahan dan penangan isu perdagangan orang secara nasional dan lokal.
Lalu dilakukan study lapangan untuk melakukan identifikasi dan analisis bagaimana
hukum dan kebijakan pencegahan itu bekerja dan diupayakan hingga berimplikasi
kepada tujuan pencegahan yang diharapkan. Selanjutnya untuk mendapatkan data
empirik tentang pengalaman makna dari tujuan hukum atau kebijakan terhadap
otoritas dan tanggung jawab masing-masing pihak sehingga dapat diuraikan secara
sistematis hubungan akar masalah dan strategi dalam membangun pendekatan
sinergitas, dalam menemukan solusi terhadap permasalahan yang dimaksud. Studi
lapangan ini dilakukan di lingkup institusi Pemerintahan baik Kepolisian dan SKPD
terkait, serta organisasi sosial sebagai penggiat kemanusian dan tokoh masyarakat