• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah M Natsir - Makalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Makalah M Natsir - Makalah"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Penulisan skripsi ini menfokuskan kajian penelitian pada pemikiran politik

Mohammad Natsir (selanjutnya disebut Natsir) tentang agama dalam hal ini

agama Islam sebagai ideologi negara dan beberapa aspek pemikirannya yang

mengundang kontroversi. Pemikiran Politik1

1

Pemikiran Politik dalam Islam adalah pemikiran yang berhubungan dalam urusan umat manusia dimana nantinya adanya pengaturan dan pemeliharan. Pemikiran politik dalam Islam menggunakan Aqidah Islam yang mengandung sebuah aqidah politik dan spiritual artinya hukum-hukum dan pemikiran menekankan pada urusan dunia dan akhirat pada titik pandang yang sama. Aqidah Islam mengatur pola hubungan manusia dengan tuhannya, berkaitang dengan pemerintah, ekonomi, hubungan sosial, pendidikan, politik dalam dan luar negeri, hubungan antara rakyat dan penguasa, hubungan antar Negara, dan lainnya. Abdullah Qodim Zallum, Pemikiran Politik Islam, Bangil : Al-Izzah, 2001, hal., 5-10.

yang dimaksud disini adalah upaya

pencarian landasan intelektual bagi konsep negara atau pemerintahan sebagai

faktor instrumental untuk memenuhi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat,

baik lahiriah maupun bathiniah. Pemikiran politik Natsir dalam hal ini, merupakan

ijtihad politik Natsir dalam rangka menemukan nilai-nilai Islam dalam konteks

sistem bernegara.

Kajian ini juga dilakukan guna menemukan penyebab dan faktor-faktor

yang mengakibatkan timbulnya pemikiran politik Natsir tentang Negara Islam,

konsep negara Islam dan implikasi serta proyeksi ke depan pemikiran tersebut.

Selain itu untuk menjelaskan aspek-aspek yang menjadi kontroversi dalam

(2)

Hubungan agama dan negara2

2

Machiavelli mengatakan bahwa agama memiliki nilai politis yang dapat digunakan dalam kehidupan bernegara, Numa Pompilius seorang pemimpin Romawi berhasil mengkontruksikan agama menjadi sebuah parameter baik dan buruknya seorang manusia. Sehingga agama mernurut Machiavelli berguna membangun dan membentuk sikap manusia menjadi tulus, taat, setia, patuh, dan bersatu. J.H. Rapar, Filsafat Politik,,Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001,. hal., 467-470.

selalu menjadi wacana menarik sebagai

bahan kajian, sejak dahulunya banyak pertarungan pemikiran antara para pemikir

yang mengemukakan bahwa agama harus digabungkan dalam keselurahan

aktivitas kehidupan dan pemikir-pemikir yang mengemukakan pemisahan antara

agama dan kehidupan politik misalnya. Setiap orang memiliki hak untuk

mengungkapkan idenya dalam rangka membangun masyarakat yang

dicita-citakannya. Kepedulian seorang tokoh terhadap tanah kelahirannya dapat dilihat

dari pemikiran, perjuangan dan tindakannya dalam mengartikulasikan ide-idenya.

Ide-idenya itu dipaparkan secara komprehensif dan meyakinkan.

Argumen-argumen yang dibangunnya disampaikan, mulai dari filosopis sampai

praktisnya. Sehingga ide-idenya tidak saja memperkaya wacana, namun dapat

dijabarkan secara operasional. Hal itu dimungkinkan karena kapasitasnya sebagai

intelektual dan negarawan.

Alangkah repotnya memahami sejarah perjuangan bangsa Indonesia tanpa

mengenal Natsir. Dan adalah perbuatan yang sia-sia mengabaikan peran Natsir

apalagi menutupi dengan sengaja maupun tersembunyi. Karena seperti kata orang

(3)

Natsir memang telah tiada, namun ia telah mewariskan ide dan gagasan

pemikiran yang mahal dan langka. Semuanya telah tertuang dalam beberapa

artikel yang jumlahnya tak terhitung.3

Tujuan perjuangan Natsir adalah berlakunya syariat ilahi untuk pribadi dan

masyarakat yang tak bisa ditawar. Adapun negara hanyalah alat untuk

terwujudnya suasana masyarakat tersebut. Dengan demikian negara hanyalah alat.

Jadi, tak jadi soal apa pun namanya.

Islam jelas berpengaruh dalam fikiran dan

perjuangannya.

4

Bagaimanakah pandangan Natsir tentang

agama? Apakah dengan menjadikan agama sebagai ideologi berarti sama saja

dengan mendirikan negara teokrasi? Apakah dengan menggunakan ideologi

agama, maka akan menghianati Pancasila? Gagalkah Natsir dalam

perjuangannya?

Pertanyaan-pertanyaan di ataslah yang melatarbelakangi penulis sehingga

menjadikan tokoh Natsir sebagai hal yang sangat pantas dan menarik untuk

diteliti. Alasan ini pula yang mendorong penulis, untuk menjawab pertanyaan

seputar pemikiran Natsir terhadap persoalan agama, ideologi, dan negara

sekaligus juga berusaha untuk memperluas pemikiran-pemikiran positif dari tokoh

yang piawai dengan ke-Islaman dan ke-Indonesiaan.

3

Kumpulan artikel Mohammad Natsir dalam Capita Selekta, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

4

(4)

1.1.1. Biografi Singkat Mohammad Natsir

Natsir adalah pribadi yang penuh pesona. Ia ibarat mata air yang tak

pernah kering meskipun kemarau datang berkepanjangan. Sejak ia muda,

bersekolah di Bandung dan terlibat dalam berbagai polemik intelektual di bidang

keagamaan dan politik, ia selalu menjadi fokus perhatian orang.5

Seorang tokoh yang menghasilkan pemikiran yang luar biasa tentang

Islam. Ia juga dengan sangat berani mengemukakan gagasannya yang sangat

bertentangan dengan pemikir lain salah satunya adalah Presiden Soekarno.

6

Natsir lahir di Minangkabau, Alahan Panjang, Sumatra Barat 17 Juli 1908,

dan wafat di Jakarta 5 Februari 1993.7 Ayahnya, Sutan Saripado adalah seorang pegawai pemerintahan di sana, ibunya, Khadijah adalah ibu rumah tangga yang

bijaksana8

Ketika kecil, Natsir belajar di Holland Inlandse School (HIS) Solok serta

di sekolah agama Islam yang dipimpin oleh para pengikut Haji Rasul. Tahun

1923-1927 Natsir mendapat beasiswa untuk sekolah di Meer Uitgebreid Lager

Onderwijs (MULO), dan kemudian melanjutkan ke Algemene Middelbare Schol

(AMS) Bandung hingga tamat pada tahun 1930. Di Bandung, Natsir berinteraksi

dengan para aktivis pergerakan nasional antara lain Syafruddin Prawiranegara,

Mohammad Roem dan Sutan Syahrir. dan kakeknya seorang ulama.

9

5

Ibid, hal. 1.

6

Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia,, 1981. hal., 7.

7

Mohammad Natsir (b), World Of Islam Festival dalam perspektif sejarah, Jakarta: Yayasan Idayu, 1976. hal., 51.

8

Mohammad Natsir, (d) Op.cit., hal., 8.

9

(5)

Ia diakui sebagai tokoh handal sebagai Pemikir, Intelektual, Pujangga, dan

Negarawan. Ia tdak hanya terampil menuangkan ide dan gagasannya dalam

bentuk tulisan, namun ia juga bertindak secara nyata. Buktinya selain pernah

mengetuai Jong Islamiten Bond (JIB) Bandung, 1928-1932, Natsir pernah pula

aktif di Partai Islam Indonesia (PII) dan PERSIS. Di dunia pendidikan, Natsir

sempat mendirikan Pendidikan Islam (Pendis) di Bandung, sebuah bentuk

pendidikan Islam modern yang bernafas agama. Di Pendis ini, Natsir menjadi

direktur selama 10 tahun, sejak 1932.10

Walaupun Natsir selalu ’menghendaki’ agama sebagai ideologi negara,

akan tetapi ia berusaha menampilkan semangat ke-Islaman-nya dengan wajah

terbuka dan lebih luwes. Ia adalah seorang politisi profesional diantara banyak

pemikir.11

Namun dibalik temperamennya yang lemah lembut dan mudah tersenyum

itu, sosok pribadi Natsir ialah ibarat batu karang yang kokoh. Ia termasuk seorang

yang teguh memegang prinsip, walau dalam berhubungan dengan orang-orang

lain, ia terkesan terbuka dan malahan cenderung kompromistik, sejauh Kiprah Natsir sebagai seorang tokoh intelektual, politikus, pemimpin

negara maupun tokoh dunia Islam yang terkemuka di abad ini tak pernah selesai

menjadi buah pembicaraan. Padahal dari segi asal-usul dan fisiknya, Natsir

hanyalah orang biasa, dengan temperamen yang lemah lembut, bicara penuh

sopan santun, dan kadang-kadang gemar bercanda dengan siapa saja yang menjadi

teman bicaranya.

10

Lihat dalam pengantar Abibullah Djaini dalam Anwar Harjono, et. al., Op.cit.

11

(6)

kemungkinan kompromi-kompromi itu memang dapat dicapai tanpa

mengorbankan prinsip-prinsip yang diyakininya.12

Yang dituju oleh Islam ialah agar agama hidup dalam kehidupan tiap-tiap

orang, hingga meresap dalam kehidupan masyarakat, ketatanegaraan, pemerintah

dan perundang-undangan. Tapi adalah ajaran Islam juga, bahwa dalam soal-soal

keduniawian, orang diberi kemerdekaan mengemukakan pendirian dan suaranya

dalam musyawarah bersama

1.1.2. Selintas Pemikiran Politik Mohammad Natsir

Agama, menurut menurut Natsir harus dijadikan pondasi dalam mendirikan

suatu negara. Agama, bukanlah semata-mata suatu sistem peribadatan antara

makhluk dengan Tuhan Yang Maha Esa. Islam itu adalah lebih dari sebuah sistem

peribadatan. Ia adalah satu kebudayaan/peradaban yang lengkap dan sempurna.

13

, seperti dalam firman Allah SWT.: “Dan hendaklah

urusan mereka diputuslan dengan musyawarah!”.14

12

Anwar Harjono, et. al., Op.cit., hal.,. 1.

13

Anwar Harjono, et. al., Op.cit., hal., 139.

14

QS. Asy-syura (26): 38.

Natsir memang mencoba menjawab kesulitan-kesulitan yang dihadapi

masyarakat Islam, dengan dasar pemikiran, bahwa ajaran Islam sangat dinamis

untuk diterapkan pada setiap waktu dan zaman. Dari sudut ini, ia jauh melampaui

pemikiran Maududi atupun Ibu Khaldun yang melihat sistem pemerintahan Nabi

Muhammad SAW dan khalifah yang empat, sebagai satu-satunya alternatif sistem

(7)

Kedinamisan pemikiran-pemikirannya itu dituangkan dalam beberapa

periode. Setidaknya ada tiga periode pemikiran yang menjadi pokok utama

pemikiran Natsir. Yaitu periode 1930-1940, periode pasca kemerdekaan, dan

periode konstituante.15

Maka di dalam menyusun suatu UUD bagi negara, dan untuk mencapai

hasil yang memuaskan, perlulah bertolak dari pokok pikiran yang pasti, yakni

UUD bagi negara Indonesia harus menempatkan negara dalam hubungan yang

seerat-eratnya dengan masyarakat yang hidup di negeri ini. Tegasnya, UUD

negara itu haruslah berurat dan berakar dalam kalbu, yakni berurat berakar dalam

akal pikiran, alam perasaan dan alam kepercayaan serta falsafah hidup dari rakyat

dalam negeri ini. Dasar negara yang tidak memenuhi syarat yang demikian itu,

tentulah menempatkan negara terombang-ambing, labil dan tidak duduk di atas

sendi-sendi yang pokok.

Berbicara tentang negara, Natsir berpendapat bahwa negara adalah suatu

‘institution’ yang mempunyai hak, tugas dan tujuan yang khusus. Institution

adalah suatu badan, organisasi yang mempunyai tujuan khusus dan dilengkapi

oleh alat-alat material dan peraturan-peraturan tersendiri serta diakui oleh umum.

Negara harus mempunyai akar yang langsung tertanam dalam masyarakat.

Karena itu, dasar pun harus sesuatu faham yang hidup, yang dijalankan

sehari-hari, yang terang dan dapat dimengerti dalam menyusun hidup sehari-sehari-hari, yang

terang dan dapat dimengerti dalam menyusun hidup sehari-hari rakyat perorangan

maupun kolektif.

16

15

Mohammad Natsir (d), Op.cit.., hal., 13-14.

16

(8)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalahnya

”Bagaimanakah Pandangan Mohammad Natsir mengenai, wacana tentang Islam

sebagai ideologi negara?”

1.3. Pembatasan Masalah

Masalah penelitian ini akan dibatasi pada salah satu bidang pemikiran

Natsir yaitu:

”Pandangan Mohammad Natsir mengenai Islam sebagai ideologi negara”

1.4. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Di sini dijelaskan tujuan penelitian yang merupakan sasaran progmatisnya

(bukan kegunaan menurut isi),taraf kemajuan dan kebaruan yang ingin dicapai

dengan penelitian tersebut.

1.4.1. Tujuan penelitian

a. Ingin mempelajari karya pemikiran Natsir lebih mendalam tentang

hubungan Islam sebagai agama dalam bernegara dan menjelaskan

pandangan yang dikemukakan oleh Natsir tentang masalah-masalah yang

diusungnya secara terperinci dan alternatif pilihan jalan yang

dituangkannya dalam aksi-aksi politiknya

b. Mengkritisi secara objektif terhadap pemikiran tokoh, ketepatan dan

kesalahannya dengan kondisi realitas masyarakat saat ini dan menggali

sejarah perkembangan pemikiran politik di Indonesia pada awal

(9)

1.4.2. Manfaat Penelitan

a. Menjadikan salah satu acuan dalam menjalankan kehidupan bernegara

bagi masyarakat khususnya umat Islam.

b. Memperkaya wawasan tentang pemikir-pemikir Islam yang jarang dibahas

secara teoritis baik dikampus atau di forum-forum resmi.

c. Menjadi bahan rujukan bagi almamater, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik, Jurusan Ilmu Politik.

d. Memahami bagaimana Natsir medudukkan Islam sebagai ideologi dalam

kehidupan bernegara dan mengetahui pertarungan pemikiran antara

golongan pada awal kemerdekaan dalam penentuan ideologi negara.

1.5. Tinjauan Pustaka

Menurut Yusril Ihza Mahendra agama yang diterjemahkan Natsir

cenderung penafsiran doktrin sosial politik Islam secara elastis dan fleksibel,

karena doktirn memberikan pemahaman yang bersifat umum dan tidak secara

terperinci maka ijtihad harus digalakkan. Setiap zaman berbeda maka ijtihad

ulama dahulu dapat diperbaharui sesuai tuntutan zaman, Natsir menyimpulkan

bahwa Islam merupakan aliran pemikiran Theistic Democracy yaitu demokrasi

yang berlandaskan ketuhanan dimana keputusan mayoritas rakyat harus

berdasarkan nilai-nilai ketuhanan.17

17

Yusril Ihza Mahendra “Mohammad Natsir dan Sayyid Abul A’ala Maududi, Telaah Tentang Dinamik Islam dan Transformasinya ke Dalam Ideologi Sosial Politik”. Anwar Harjono, et. al.,

(10)

Taufik Abdullah berpendapat bahwa sosok Natsir seorang idealis dalam

arti bukan pemimpi, akan tetapi idealis dalam pengertian filosofis, yakin dalam

kesadaran iman dan tauhid. Karena itu dia mengatakan peneguhan iman, aqidah

dan lainnya, penguatan inilah yang menjadi dasar masyarakat dalam kehidupan

bernegara.18

Menurut penggiat Masyumi Zainal Abidin Ahmad, Natsir memandang

keterlibatannya secara langsung dalam kekuasaan negara sebagai salah satu jalan

untuk mewujudkan tujuan-tujuannya. Melalui cara demikian hukum-hukum Allah

tidak hanya keluar dari mulut para alim ulama di mimbar mesjid, akan tetapi juga

keluar dari pegawai pemerintahan dalam bentuk undang-undang.19

Tarmizi Taher juga menyatakan bahwa Natsir merupakan sedikit diantara

manusia Indonesia yang multi dimensional dan begitu kompleks. Natsir muslim

yang mampu secara intelektual memiliki warisan pemikir Islam, dia mampu

mengamalkan nilai-nilai ke-Islamannya dan memadukan dengan wacana

pemikiran timur dan barat. Meskipun secara politis Natsir kalah dalam

memperjuangkan Islam sebagai ideologi negara secara konstitusional, dia

menerimanya dengan lapang dada dan sebaliknya dengan ikhlas menerima

Pancasila sebagai ideologi. Disini Natsir nampaknya sampai kesimpulan, tidak

ada pertentangan antara Islam dengan Pancasila, sila-sila yang ada didalamnya

selaras. Karena itu tidak perlu dipertentangkan lagi, kegigihan Natsir membela

dan menjelaskan Pancasila kepada masyarakat Internasional disetiap kunjungan

mancanegaranya merupakan bukti nyatanya.

20

18

Taufik Abdullah. “Diskusi Tentang Agama dan Kebangsaan”, ibid, hal., 45.

19

Ahmad Zainal Abidin, Masjoemi: Partji Politiek Islam Indonesia, Pematang Siantar, 1946, hal 15-16.

20

(11)

Sedangkan menurut Miriam Budiardjo tentang pola hubungan agama dan

negara juga sangat penting sebab apapun pendapat para ilmuwan Islam atau ulama

mengenai hubungan sistem ketatanegaraan dengan Islam, apakah dalam Islam

diajarkan atau dituntut agar mendirikan negara atau tidak, pada kenyataannya

uamat Islam membutuhkan sebuah sistem ketatanegaraan yang Islami. Untuk

mengamankan suatu kebijaksanaan dipertukan suatu kekuatan (institusi politik),

dalam menegakkan keadilan dan memelihara perdamaian misalnya, diperlukan

suatu kekuasaan apakah itu organisasi politik atau negara. Jika kebijaksanaan itu

mengacu pada penegakan ajaran Islam maka perangakat pengaturannya

keamanannya seharusnya yang Islami pula, alangkah kurang tepatnya jika dalam

menegakkan prinsip-prinsip Islam tetapi menggunakan sistem non-islami.21

Berbeda dengan Ahmad Wahid yang mengatakan aturan itu bukan mutlak

adanya, yang pokoknya dalam Islam adalah bagaimana seorang muslim bisa

menjadikan Islam sebagai nafas pribadinya. Kumpulan pribadi ini nantinya akan

menjadi suatu kelompok yang membawa ideologi dan meluaskannya sampai batas

agama.

22

Penerjemahan dalam melakukan tujuan perjuangan tidaklah sesempit

terciptanya negara Islam, terciptanya negara Islam tanpa adanya internalisasi

nilai-nilai Islam itu sendiri menjadikan suatu kontradiksi dalam menjalankan

kehidupan sosial. Internalisasi nilai inilah yang terpenting daripada terbentuknya

suatu negara, internalisasi nilai sering dimaknai dengan iman yaitu diucapkan

dengan kata-kata, dipahami secara jelas adalam diri, dan dilakukan dengan

perbuatan.

21

Miriam Budiardjo, Dasar- dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia,1983.

22

(12)

Apakah dan bagaimanakah ide seorang muslim itu? Amat luas dan lebar

keterangannya kalau ingin dijabarkan. Tetapi dapat disimpulkan dalam satu

kalimah dalam Al-Quran yang artinya: ”tidaklah aku jadikan jin dan manusia,

hanyalah untuk mengabdi kepadaku”.23

23

QS. Addazarijat (51): 56

Jadi, seorang hidup di dunia ini adalah

dengan menjadi hamba Allah dengan yang arti yang sepenuhnya, mencapai

kejayaan di dunia dan di akherat. Dunia dan akhirat ini sekali-kali tidak mungkin

di pisahkan oleh seorang muslim dari ideologinya.

Perbedaan antara konsep negara Islam dan konsep tatanan masyarakat

Islam adalah jika dalam konsep negara Islam, politik dan agama adalah

bagian-bagian dari suatu totalitas Islam. Sedangkan dalam konsep tatanan masyarakat

Islam, politik hanyalah pengungkapan sampingan daripada semangat Islam. Jadi

konsep negara Islam lebih Islami dibanding konsep tatanan masyarakat Islam.

Natsir lebih menyukai negara Islam, karena menurutnya untuk menyusun

suatu tatanan masyarakat dibutuhkan suatu negara. Disebut apa kepala negara

Islam itu tidaklah menjadi persoalan, yang lebih penting adalah adanya hak rakyat

untuk mendaulatnya, bahkan dengan kekerasan bila memang diperlukan. Kepala

Negara harus bermusyawarah dengan ’mereka yang patut diajak bermusyawarah’.

Bagaimana bentuk sistem permusyawaratannya, itu urusan rakyat yang

bersangkutan. Bisa saja permusyawaratan itu dengan segala orang atau dengan

suatu parlemen yang terdiri dari wakil-wakil partai. Walaupun begitu, Natsir

merasa bahwa sistem parlemen barat tidaklah cocok untuk negara-negara yang

(13)

Dia bertanya ’Apakah Islam itu demokrasi?’, dijawabnya sendiri, ’Islam

bukan seratus persen demokrasi, dan Islam bukan pula seratus persen otokrasi.

Islam adalah Islam. Sebuah negara Islam akan melarang semua yang dilarang oleh

Al-Quran: minuman keras, perjudian, pencurian, pelacuran, tahyul dan syirik.24 Dengan demikian Islam menjadi tujuan dan negara adalah alat untuk

mewujudkan ajaran Islam. Natsir berkeyakinan, negara sebagai kekuatan

eksekutif mempunyai kekuatan dan kekuasaan untuk menjalankan hukum-hukum

dan menjamin terbentuknya masyarakat yang adil dan makmur sesuai dengan

yang dicita-citakan Islam. Di sini negara berfungsi sebagai alat untuk menerapkan

hukum- hukum yang telah ada. Tanpa adanya negara sulit diharapkan adanya

ketaatan pada hukum-hukum itu. Dengan demikian pendekatan Natsir terhadap

pelaksanaan syariat atau hukum-hukum Islam dalam masyarakat menekankan

pada pendekatan legal formal. Artinya ia menganggap perlu adanya kekuasaan

pemaksa yang sah dan diakui keberadaannya yang diperlukan untuk, dalam

batas-batas tertentu, memaksa individu untuk patuh dan taat pada hukum-hukum yang

telah ditetapkan.25

Masyarakat dalam melakukan aktivitas sehari-hari banyak menggunakan

otoritas ketuhanan yang diturunkan dalam agama melalui al-qur’an dan hadis.

Orang melakukan pencurian misalnya bukan takut kepada hukum-hukum pidana, Islam menanamkan nilai-nilai kebaikan sampai membentuk suatu akar

yang kuat dari keseluruhan ajarannya bersumber kepada tauhid. Tauhid yang

memiliki makna keyakinan terhadap Tuhanlah yang memiliki otoritas kedaulatan

yang dominan diatas kedaulatan-kedaulatan lainnya.

24

G. H. Jansen, Op.cit., hal., 250-252.

25

(14)

karena jelas masyarakat banyak yang tidak paham akan hukum pidana tersebut.

Ketakutan mereka untuk tidak melakukan itu dikarenakan ketauhidan yang

mereka miliki dimana ketika itu dilakukan maka akan melanggar hukum-hukum

Allah. Inilah mengapa Natsir bersikeras mengemukakan Islam sebagai Ideologi,

jika tidak ada yang membatasi secara jelas mana haram dan halal mungkin suatu

negara akan hancur secara perlahan-lahan.

Batasan wilayah yang besar, jumlah penduduk yang beragam akan

memperumit aparat pemerintah dalam menegakkan hukum-hukum yang ada.

Sedangkan dengan ketauhidan masyarakat akan tersadarkan sendiri dalam pola

tingkah laku kesehariannya, berdampak pada keharmonisan dalam kehidupan

bermasyarakat. Sehingga pada titik ketauhidan yang tinggi tidak perlu adanya

negara, sementara dalam mengawali perjuangan mencapainya peran negara

sebagai lembaga formal masih diperlukan. Atas landasan inilah Natsir melakukan

perjuangan politik secara kelembagaan dengan memakai nilai-nilai ketauhidan.26

1.6. Metodologi Penelitian

Salah satu jenis penelitian pemikiran Islam adalah (penelitian biorafi atau

studi tokoh) yaitu penelitian terhadap kehidupan seseorang tokoh dalam

hubungannya dengan masyarakat, sifat-sifat, watak, pemikiran dan ide serta

pengaruh pemikirannya dan idenya dalam perkembangan sejarah.

26

(15)

1.7. Jenis Penelitian

Penelitian studi tokoh, seperti yang dikatakan Arief Furchan dan Agus

Maimun, dikategorikan ke dalam jenis penelitian kualitatif,27

Pada umumnya, penelitian kualitaif ini tidak mempergunakan angka atau

nomor dalam mengolah data yang diperlukan. Data kualitatif terdiri dari

kutipan-kutipan orang dan deskripsi keadaan, kejadian, interaksi, dan kegiatan. Dengan

menggunakan jenis data kualitatif, memungkinkan peneliti mendekati data

sehingga mampu mengembangkan komponen-komponen keterangan yang

analitis, konseptual dan kategoris dari data itu sendiri.

yaitu suatu

penelitian yang membahas tentang konsep-konsep, ide dan pemikiran dari suatu

masalah yang akan di bahas.

28

27

Arief Furchan dan Agus Maimun, Studi Tokoh, Metode Penelitian Tokoh, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hal., 16.

28

Bruce A. Chodwick, Social Science Research Methods, terj. Sulistia (dkk), Metode Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Semarang: IKIP Semarang Press, 1991, hal., 234-243.

1.8. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian studi tokoh dimulai dengan

mengumpulkan kepustakaan:

1.8.1. Inventarisasi (data primer)

Mengumpulkan karya-karya seorang tokoh yang akan diteliti, baik secara

pribadi maupun karya bersama (antologi) mengenai topik yang sedang dititi

(sebagai data primer). Kemudian dibaca dan ditelusuri karya-karya lain yang

dihasilkan tokoh tersebut, mengenai bidang lain. Sebab biasanya seorang tokoh

pemikir mempunyai pemikiran yang memiliki hubungan organik antara satu

(16)

1.8.2. Data sekunder

Menelusuri karya-karya pemikir yang lain mengenai Natsir atau mengenai

topik bahasan yang diteliti. Data sekunder ini dicari dalam ensiklopedi, buku

sistematis dan tematis. Sebab dalam buku itu biasanya ditunjukkan pustaka yang

lebih luas.

1.9. Metode Analisis Data

Beberapa metode yang digunakan dalam analisis data penelitian tokoh.

1.9.1. Interpretasi

Interpretasi dimaksudkan sebagai upaya tercapainya pemahaman yang

benar terhadap fakta, data dan gejala. Interpretasi merupakan landasan bagi

hermeneutika.29 Zygmunt Bauman menjelaskan bahwa hermeneutik adalah upaya

menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan dan

tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang, dan kontradiksi, sehingga

menimbulkan keraguan dan kebingungan pendengar atau pembaca.30

29

Hasan Sutanto, Hermeneutik, Prinsip, dan Metode Penafsiran al-Kitab, (Malang: Seminari al-Kitab Asia Tenggara, Malang, 1989), kata ini merujuk pada dewa Hermes yang bertugas menyampaikan berita (pesan) dari sang Maha Dewa kepada manusia.

30

Zygmunt Bauman, Hermeneutics and Social Science, New York: Calubia University Press, 1978, hal., 7.

Hermeneutika yang dimaksud penulis di sini adalah understanding process

of understanding (Proses pemahaman terhadap sebuah pemahaman).

Hermeneutika dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut: Pertama,

menyelidiki setiap detail proses interpretasi. Kedua, mengukur seberapa jauh

dicampur subjektifitas terhadapi interpretasi objektif yang diharapkan, dan Ketiga,

(17)

Dalam suatu interpretasi, penulis menggunakan Emik dan Etik. Emik

adalah data-data, kalimat-kalimat dan teks, sebagaimana dipahami pemikir yang

merupakan perumusan kalimat seorang tokoh terhadap masalah yang

dipahaminya. Sedangkan Etik adalah pemahaman penulis sendiri terhadap

pemikiran (data, kalimat, teks dan rumusan)31 tokoh yang diteliti.

1.9.2. Induksi dan deduksi

Pada setiap penelitian terdapat penggunaan induksi dan deduksi. Induksi

secara umum dapat diartikan sebagai generalisasi kasus-kasus dan unsur-unsur

pemikiran tokoh dianalisis, kemudian pemahaman yang ditemukan di dalamnya

dirumuskan dalam statemen umum (generalisasi). Sedangkan deduksi dipahami

sebagai upaya eksplisitasi dan penerapan pikiran-pikiran seorang tokoh yang

bersifat umum.

1.9.3. Koherensi intern

Agar pemikiran tokoh dapat dipahami secara tepat, maka seluruh konsep

dan aspek-aspek pemikirannya dilihat menurut keselarasannya satu dengan yang

lain. Selain itu ditetapkan pula inti pikirannya yang paling mendasar dan

topik-topik yang paling sentral. Demikian juga diteliti susunan logis sistematis dalam

pemikiranya agar ditemukan muatan pemikirannya yang paling substansial.

31

(18)

1.9.4. Kesinambungan historis

Dalam melakukan analisis dilihat benang merah yang menghubungkan

pemikiran-pemikirannya, baik lingkungan historis dan pengaruh-pengaruh yang

dialaminya maupun perjalanan hidupnya sendiri, karena seorang tokoh adalah

anak zamannya. Untuk melihat latar belakang internal, diperiksa riwayat hidup

tokoh, penddikannya, pengaruh yang diterimanya, relasi dengan pemikir-pemikir

sezamannya, dan segala macam yang membentuk pengalamannya. Demikian juga

diperhatikan perkembangan intern dalam tahap-tahap pemikirannya. Untuk

melihat latar belakang eksternal, diselidiki keadaan khusus zaman yang dialami

tokoh, dari segi ekonomi politik budaya dan intelektual.32

32

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

♦ Perubahan sosial adalah segala perubahan padsa lembaga2 kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi system sosialnya, termasuk di dalamnya nilai2,2. sikap2 dan

• Transfusi darah atau komponen darah yang cukup dalam jangka waktu < 24 jam untuk mengganti. seluruh

(1) Tanah gambut atau tanah organik adalah tanah yang berasal dari bahan induk organik seperti dari hutan rawa atau rumput rawa, dengan ciri dan sifat: tidak

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gap kualitas pelayanan antara persepsi dan harapan konsumen Bengkel Mobil Suzuki Nusantara Jaya

Dari penelitian tentang kemampuan generik pada pembelajaran Biologi yang dilakukan oleh Rahman (2008) diperoleh hasil bahwa Program Pembelajaran Praktikum Berbasis Kemampuan

Akan tetapi pada jangka waktu (masa) pembiayaan tidak mustahil terjadi suatu kondisi pembiayaan yaitu adanya suatu penyimpangan utama dalam hal pembayaran kembali