• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA EVOLUSI SOSIAL BUDAYA MA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA EVOLUSI SOSIAL BUDAYA MA"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN I.a. Latar belakang

Arkeologi merupakan cabang ilmu pengetahuan tentang manusia (dan alam) yang berusaha mempelajari kronologi, corak(bentuk) dan proses kehidupan manusia yang pernah berlangsung disuatu tempat, beserta gambaran lingkungan hidupnya, melalui sisa sisa kehidupan dan aktivitas yang ditinggalkannya. Sisa-sisa tersebut dipakai sebagai data primer untuk mengungkap berbagai aspek kehidupan yang pernah ada termasuk bentuk-bentuk keterkaitan antar masing-masing aspek tersebut.( J.S.E. Yuwono, 2013:1)

Pada hakikatnya arkeologi memiliki sifat umum meliputi: 1. Rekonstruksi sejarah budaya/cultural history 2. Rekonstruksi cara hidup

3. Penggambaran proses budaya(cultural proses

(2)

Sebagai upaya merekonstruksi ke-3 hal diatas, David L. Clarke mengemukakan empat paradigma meliputi ( Clarke 1972 dan Tanudirjo 1992):

1. Paradigma Morfologis

Mengkaji data arkeologis sebagai data itu sendiri. Kajian utamanya berupa tingkatan data beserta hubungannya masing-masing. Paradigma seperti ini menghasilkan klasifikasi, tipologi dan seriasi data

2. Paradigma Antropologis

Mengkaji hubungan antara data arkeologis, pola, dan atau keragamannya dengan pola keragaman aspek sosial-budaya yang melatar belakangi keberadaan tersebut.

3. Paradigma Ekologis

Mengkaji hubungan antara data arkeologis, terutama yang berhubungan dengan lingkungan seperti sisa flora dan fauna, dengan lingkungan pembentuknya. Paradigma ini lebih menekankan pada aspek-aspek adaptasi manusia atau masyarakat terhadap lingkungan tempat hidupnya, baik lingkungan abiotik maupun biotik.

4. Paradigma Geografis

Lebih memusatkan perhatiannya pada kajian keruangan dalam kaitannya dengan pola aktivitas didalam atau di antara situs-situs dalam suatu bentang lahan tertentu, seperti pola distribusi data dan situs.

(3)

kebudayaan. Kita tidak dapat membicarakan dimensi spasial tanpa tahu persebaran yang menjadi lingkup kajian itu sendiri. Dalam keempat paradigma diatas banyak menyebutkan aspek aspek lingkungan baik abiotik dan biotik yang menjadi bahasan arkeologi. Lingkungan dan cara hidup manusia yang menjadi objek kajian arkeologi saling mempengaruhi satu sama lain dan terjadi hubungan timbal balik keduanya, dari hubungan itu dapat diketahui bagaimana deskripsi tentang perubahan konteks fisik dan bilogis dari kehadiran manusia . Untuk itu, perlu adanya studi mengenai lingkungan masa lalu dalam aspek arkeologi. Tujuannya sudah jelas bahwa kajian arkeologi tidak dapat berdiri sendiri, dan pendekatan dari berbagai cabang ilmu lain sangat berperan.

Studi arkeologi lingkungan coba merekonstruksi bagaimana gambaran masalalu. Termasuk juga di dalamnya mengenai, hubungan timbal balik antara lingkungan dan manusia. Studi ini juga membahas tentang cara manusia menggunakan lingkungan masalalu. Lingkungan yang dimaksud merupakan gambaran lingkungan secara fisik beserta hewan dan tumbuhan sebagai komponen biotik yang ikut mendukung proses berlangsungnya kehidupan manusia. Dalam bahasan yang lebih mendalam lagi, arkeologi lingkungan membahas pula tentang zooarkeologi, botani arkeologi, dan arkeologi permukiman. Sumber untuk mengkaji arkeologi lingkungan adalah semua data arkeologi, termasuk juga 3 basic data : artefak, ekofak, fitur.

(4)

Sebelah Utara: Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Gresik; Sebelah Timur: Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Pasuruan; Sebelah Selatan : Kabupaten Malang; Sebelah Barat : Kabupaten Jombang. Disamping itu wilayah Kabupaten Mojokerto juga mengitari wilayah Kota Mojokerto yang terletak ditengah-tengah wilayah Kabupaten Mojokerto. Topografi wilayah Kabupaten Mojokerto cenderung di tengah dan tinggi di bagian selatan dan utara. Bagian selatan merupakan wilayah pegunungan yang subur, meliputi Kecamatan Pacet, trawas, Gondang dan jatirejo. Bagian tengah merupakan wilayah dataran, sedangkan bagian utara merupakan daerah perbukitan kapur yang kurang subur. Mojokerto dilalui empat aliran sungai yang cukup potensial yakni; sungai brantas, brankal, sadar, gedeg. Dengan lingkungan fisik yang demikian, cukup memberikan gambaran mengenai banyaknya potensi situs arkeologi di sekitaran wilayah Mojokerto. Seperti di daerah trowulan yang merupakan kipas aluvial yang dikelilingi gunung api dan sungai, sehingga potensi situs di daerah ini cukup beragam. Latar belakang pemilihan Mojokerto sebagai kajian arkeologi lingkungan didasarkan pada, Temuan arkeologis di daerah Mojokerto cukup beragam dan melimpah. Selain itu, daerah ini memiliki tinggalan arkeologis yang dapat menunjukkan tahapan perkembangan atau sejarah budaya manusia masa lampau. Dan, latar belakang lingkungan yang beragam di daerah ini mempengaruhi karakter budaya dalam tiap tahapan budaya.

I.b. Rumusan masalah

(5)

 Adakah perubahan yang terjadi pada konteks fisik dan bilogis dengan berlangsungnya kehidupan manusia?

 Adakah keterkaitan antara lingkungan dan manusia pada proses perubahan budaya?

I.c. Tujuan

Merekonstruksi bentuk, temporal dan spasial perubahan konteks fisik dan biologis lingkungan masalalu berkaitan dengan berlangsungnya kehidupan manusia dan hasil budayanya.

BAB II

(6)

II. a. Lingkungan

Gambaran lingkungan wilayah Mojokerto secara umum dibagi berdasarkan periodisasi, yakni Mojokerto masa Purba, Pra-Majapahit, Majapahit, Kolonial dan Islam. Periodesasi ini dibuat berdasarkan pembabakan umum dalam arkeologi dengan sedikit catatan pembeda pada masa klasik dengan penyebutan masa Majapahit dan Pra-Majapahit berdasarkan pertimbangan wilayah Mojokerto yang dipercaya sebagai pusat pemerintahan kerajaan Majapahit yang memiliki karakter data Arkeologi beragam dan kompleks. Secara fisik, gambaran lingkungan Mojokerto masa purba berupa daerah ber-iklim agak panas dan lembab. Pada masa ini lingkungan Mojokerto berupa daerah padang rumput yang berada pada sekitar aliran sungai dan delta sungai, lingkungan bakau (pohon mangrove) disepanjang pantai, rawa-rawa sepanjang sungai dan vegetasi hutan pegunungan. Hutan di daerah Mojokerto berupa hutan tropic musiman (Ripley, 1979 : 20-21) dengan flora peralihan yang dapat dikonsumsi buahnya, karena hutan ini merupakan transisi antara hutan hujan tropic dengan padang rumput (Daud T, 1985: 76). Wilayah Mojokerto purba juga dilewati aliran sungai brantas yang menjadi penyokong kehidupan pada masa itu yang di huni oleh Homo modjokertensis dan fauna seperti Hippopotamus namadicus, Buffalus Bubalusvar, Sondaicus, Sus Brachygnathus (babi ).

(7)

mengindikasikan bahwa sudah ada domestikasi hewan seperti sapi atau kerbau untuk membajak sawah, juga hewan peternakan lainnya. Selain itu, adanya pengelolaan lahan sawah dan pemukiman menunjukan adanya ubahan lahan untuk irigasi atau perairan.

Masa kerajaan majapahit sekitar (13- 16M), beberapa temuan seperti tulang gigi kerbau, ayam dan anjing semakin menghindikasikan adanya domestikasi fauna. Flora pada masa ini berupa hasil bercocok tanam, yakni padi, pala wija dan buah-buahan. Lingkungan kerajaan Majapahit ini masuk kedalam daerah Mojokerto yang terbentuk dari depresi fluvio-vulkanik dengan karakter yang terbentuk pada ujung kipas aluvial. Bentuk lahannya tersusun tersusun atas endapan vulkanik dari gunung welirang, anjasmoro dan sekitarnya sedangkan bentuklahan fluvial terbentuk dari sedimentasi aliran sungai (Sutikno, 1992). Temuan monumental yang terbuat dari bata merah menunjukan kandungan tanah lempung yang berlimpah dan mampu memenuhi kebutuhan untuk membuat bangunan arsitektural.

Peta Lokasi Trowulan yang Terletak Diujung Kipas Fluvio-vulkanik Jatirejo (Repro: Yuwono, 2009)

(8)

mulai muncul bangunan asisten residen dan bupati dengan segala kelengkapan seperti bangunan ibadah, penjara, gedung sekolah dan pabrik gula milik belanda. Jalan jalan dan jaringan rel kereta dibangun melewati perkebunan dan toko toko utama serta alun alun. Beberapa wilayah diberi batas antara pribumi dan kaum koloni. Flora masa iniyang dominan berupa hasil perkebunan seperti tebu.

Masa islam, islam di Mojokerto sudah dikenal sejak masa majapahit, sehingga gambaran fisik tidak jauh berbeda pada masa majapahit dan masa selanjutnya yakni kolonial, namun secara umum, pada masa islam ini perkembangan lingkungannya mengarah pada perdagangan didaerah pesisir dan pelabuhan. Pada daerah tersebut banyak bermunculan tempat tinggal muslim. Flora yang ada berupa hasil pertanian dan perkebunan komoditi ekspor. Fauna yang dominan berupa hewan domestikasi seperti ayam dan sapi.

Gambaran paleogeografi Perning, Mojokerto (Repro: Huffman & Zaim, 2003)

II. b. Data Arkeologis yang Ditemukan

(9)

sekitar aliran sungai, sehingga ia kemudian mati dan fosilnya terendapkan di sekitaraliran Sungai Brantas. Selain itu, mereka juga manjelajah hutan untuk mencari makan sehingga sudah sewajarnya Homo modjokertensis mampu menciptakan alat bantu kehidupan walaupun masih sederhana. Temuan arkeologis yang lain berupa fragmen-fragmen tulang atau bagian dari tulang tertentu, seperti tanduk dan gigi.

Masa Pra- Majapahit, masa ini data arkeologis yang ada berkaitan dengan munculnya kerajaan singasari dengan temuan prasasti yakni : Prasasti Hara-Hara (Trowulan VII)-888 Saka/966 M, Alasantan (936 M), Prasasti Kamban (863 Saka/941 M) yg kesemuanya berisi tentang penetapan tanah Sima untuk bangunan suci dan sawah pada suatu wanua (desa). Penyebutan wanua mengindikasikan adanya pola hunian terpusat dengan pembagian wilayah berupa wanua (desa) dan watak (kota), sehingga daerah administratifnya tersusun atas kota sebagai pusat pemerintahan dan desa sebagai daerah penyokong. Dari prasasti Wulig (934 M) menyebutkan peresmian 3 buah bendungan di Kahulunan, Wuatan Wulas dan Wuatan Tamya, bahwa ketiga bendungan ini merupakan bendungan desa yang kemungkinan dibangun untuk mengatur air sungai pada masing-masing desa, mungkin juga salah satunya bertujuan untuk mendukung pertanian masyarakat. Hal ini tentu berbeda dengan bendungan di Waringin Pitu yang memang bertujuan untuk memperlancar jalur perdagangan sungai sampai ke hilir pada masa Dharmawangsa Airlangga (lihat: Pras. Waringin Pitu 959 Saka).

(10)

dalam kitab negara kertagama atau dikeanl juga desa warnanana. Kitab Negarakertagama merupakan salah satu bukti tertulis yang isinya menceritakan bagaimana hubungan keluarga raja, para pembesar negara, jalannya pemerintahan, adat istiadat, candi, desa-desa perdikan, keadaan ibu kota, keadaan desa-desa, wilayah kerajaan Majapahit pada 1359 masehi di Kerajaan Majapahit. Dari uraian kitab Negarakertagama inilah kita dapat mengetahui seluk beluk kerajaan majapahit dari sisi sosial ekonomi, budaya, politik luar negeri, bahkan mengenai arsitektural.

(11)

Masa kolonial, pada masa ini daerah Mojokerto tunduk dibawah pemerintah kolonial. Perkembangan kota mojokerto diatur sepenuhnya oleh pemerintah koloni. Jalan jalan dan rel tram atau kereta banyak dibangun sebagai sarana mobilitas transportasi. Sebagai wujud pendudukan kolonial, di beberapa daerah mojokerto merupakan kawasan yang tidak boleh dimasuki warga pribumi. Bangunan pemerintahan didirikan selama 60 tahun yakni tahun 1830-1893, rumah-rumah yang mengelilingi lapangan, termasuk rumah asisten residen dan bupati, gedung sekolah, masjid dan penjara dan alun alun. Dikarenakan kondisi lingkungan yang cukup subur maka perkembangan perkebunan tebu dan juga pertanian padi sangat pesat di Mojokerto pada masa kolonial. Banyaknya pabrik gula yang ada di berbagai distrik wilayah Mojokerto menyebabkan tersedianya lapangan kerja yang memungkinkan penduduk untuk mencari mata pencaharian sebagai pekerja pabrik. Pada masa ini juga hewan ternak merupakan salah satu harta yang cukup mahal bagi penduduk. Terdapat tempat pemotongan hewan yang nantinya daging hasil pemotongan akan dijual. Para pedagang-pedagang kecil berdagang di jalan umum dan di dalam taman Kota Praja.

(12)

megindikasikan bahwa para pemahat batu nisan merupakan pemahat lokal yang belum mengenal islam lebih dalam. Pada masa islam Majapahit ini perdagangan cukup berkembang sehingga lokasi hunian banyak berkembang di area pelabuhan dan beberapa daerah dagang.

Gapura Jedong (abad 10 M) di Kec. Ngoro Mojokerto

(dok. penulis)

(13)

III. a. Rekonstruksi Cara Hidup dan Sejarah Budaya Mojokerto A. Pola Okupasi

Okupasi adalah area atau luasan wilayah hunian maupun daya jelajah manusia, istilah ini sering dikaitkan dengan ilmu arkeologi yang kaitannya dengan budaya manusia masa lalu. Untuk pola okupasi manusia pada masa Prasejarah di Mojokerto bisa dijelaskan bahwa lingkungan hunian Homo modjokertensis berupa daerah padang rumput yang berada pada sekitar aliran sungai dan delta sungai, lingkungan bakau disepanjang pantai, rawa-rawa sepanjang sungai dan vegetasi hutan pegunungan (Sartono, 1981), hutan di daerah Mojokerto (secara umum Jawa Timur) berupa hutan tropic musiman (Ripley, 1979 : 20-21), karena hutan ini merupakan transisi antara hutan hujan tropik dengan padang rumput (Daud T, 1985: 76).

(14)

Pengkhususan dalam hal ini sepertinya terjadi pada masa raja Dharmawangsa Airlangga (abad ke-11 M) yang kemungkinan besar pusat kerajaannya (Kahuripan) berada di wilayah Mojokerto (desaWotan mas kec. Ngoro) yang disebut dalam prasasti Terep (954 Saka/1032 M) sebagai ibukota kerajaan (Boechari, 1976), hal ini juga didukung dengan beberapa temuan arkeologis antara lain gapura Jedong, situs Pasren, dan beberapa prasasti di kec. Ngoro. Jika hal ini memang demikian maka bisa dibayangkan pola okupasi dari masyarakat pada waktu itu yang memiliki pola hunian seperti perkotaan sbg pusat pemerintahan dengan didukung oleh daerah sekitarnya sebagai daerah penyangga. Untuk kepadatan penduduk pada masa ini bisa diperkirakan bahwa populasinya relatif padat, dilihat dari sebaran benda arkeologis yang mewakili masa ini dan data penting yaitu penyebutan wanua sekitar daerah yang ditetapkan menjadi Sima.

(15)

Keterangan mengenai masyarakat muslim pada masa islam Mojokerto bisa dilihat pada bukti makam Troloyo yang masih berada pada wilayah kota Majapahit, jadi bisa dianggap bahwa mereka menetap pada pusat Majapahit. Selain di pusat Majapahit mereka juga menetap di daerah pesisir dan beberapa kota pelabuhan, seperti Tuban dan Gresik (ingat nisan Fatimah Maimun yang berangka tahun 1102 M), jika diperkirakan bahwa jalur perdagangan awal yang juga melalui pelabuhan-pelabuhan daerah utara jawa bisa dimungkinkan bahwa kelompok-kelompok muslim sudah tinggal di wilayah ini sejak beberapa abad sebelum Majapahit muncul bahkan bisa berlanjut hingga masa Majapahit (13-15 M).

Telah diterangkan bahwa wilayah Mojokerto berada di delta sungai Brantas yang keadaannya cukup subur untuk budidaya padi dan tebu, secara umum tanah di Mojokerto banyak mengandung air (becek). Pada masa selanjutnya yaitu masa Kolonialisme hal ini juga sangat berpengaruh pada perkembangan permukiman dan okupasi di Mojokerto. Pemukiman pada tahun 1830an dengan bangunan-bangunan yang belum permanen, dikatakan oleh van Gelder bahwa tidak terdapat rumah batu satupun di Mojokerto pada tahun tersebut. Kemudian pembangunan selama 60 tahun (1830-1893) di Mojokerto menghasilkan rumah-rumah yang mengelilingi lapangan, termasuk rumah asisten residen dan bupati, gedung sekolah, masjid dan penjara, juga Pembangunan jaringan jalan di Mojokerto megikuti struktur drainase yang ada, informasi mengenai adanya jalur-jalur drainase ini berhubungan dengan perkebunan tembakau dan tebu di sekitar wilayah Mojokerto utara. Jalan trem/kereta api yang digunakan untuk pengangkutan tebu dan gula juga dibangun dan jalurnya melewati jalan pertokoan utama dan alun-alun sehingga memudahkan sistem produksi. Pemukiman atau kampung warga pribumi juga diatur atau diberi batas garis lurus seperti ketentuan pemerintah.

(16)

masa ini. Penduduk bumi banyak yang menghuni wilayah sekitar perekebunan tebu dan tembakau di sekitar wilayah utara dan selatan pusat kota sebagai pendukung usaha pemerintah kolonial di sektor ini.

B. Subsistensi

Dilihat dari Subsistensinya atau cara manusia awal Mojokerto untuk bertahan hidup dimungkinkan manusia Homo modjokertensis mengkonsumsi fauna-fauna yang berhabitat di padang rumput. Contohnya Hippopotamus namadicus, Buffalus Bubalusvar, Sondaicus, Sus Brachygnathus (babi). Interpretasi ini muncul dari temuan tulang-tulang fauna yang tidak utuh, berupa fragmen-fragmen tulang atau bagian dari tulang tertentu, seperti tanduk dan gigi (Noegroho, 1988, Huffman and Zaim, 2003). Homo modjokertensis juga dimungkinkan mengkonsumsi buah-buahan dari pohon di daerah peralihan (antara daerah padang rumput dengan hutan) dan buah dari pohon mangrove. Dengan keadaan lingkungan fauna yang sangat mendukung untuk dijadikan sumber konsumsi, sudah sewajarnya Homo modjokertensis mampu menciptakan alat bantu kehidupan walaupun masih sederhana untuk mendukung usaha perburuan dan mengumpulkan makanan.

(17)

Mangibil yang meresmikan 3 buah bendungan di Khulunan, Wuatan Wulas dan wuatan Tamya (Budiati, 1985), bahwa ketiga bendungan ini merupakan bendungan desa yang kemungkinan dibangun untuk mengatur air sungai pada masing-masing desa, mungkin juga salah satunya bertujuan untuk mendukung pertanian masyarakat. Hal ini tentu berbeda dengan bendungan di Waringin Pitu yang memang bertujuan untuk memperlancar jalur perdagangan dari sungai sampai ke hilir pada masa Dharmawangsa Airlangga (lihat Pras. Waringin Pitu 959 Saka).

Majapahit dikenal sebagai kerajaan yang menggantungkan ekonominya pada sektor pertanian dan perdagangan, dari beberapa bukti artefaktual yang berhubungan dengan pertanian dapat dianggap bahwa pada masa ini masyarakat memiliki sistem subsistensi dengan cara bercocok tanam tanaman pokok seperti padi, buah dan palawija. Sistem pertanian pada masa ini juga sudah teratur dan mendapat dukungan penuh dari penguasa masa itu. Dari data temuan tulang binatang di kawasan situs Trowulan yang antara lain berupa sisa tulang/gigi Bovidae/kerbau, Gallidae/ayam, Canidae/anjing hal ini bisa mengindikasikan bahwa masyarakat Majapahit juga bersubsistensi dengan memakan daging hewan (Wirasanti, 2008 lap. PATI I) yang kemungkinan besar dengan cara membakar. Hal ini terlihat dari temuan sisa-sisa temuan tulang binatang yang memperlihatkan gejala dibakar. Di dalam prasasti jawa kuno, sering disebut pada upacara penetapan sima dengan menyediakan bermacam-macam hidangan yang salah satunya dimasak dengan cara dipanggang (Haran-haran pd beberapa prasasti). Gambaran mengenai pengolahan daging yang dibakar pada masa jawa kuno ini dilengkapi dengan adanya spesialisasi pekerjaan pembuatan arang dan didalam prasasti disebut menghareng (Haryono, 1994 dalam Wirasanti, 2008)

(18)

memungkinkan penduduk untuk mencari mata pencaharian sebagai pekerja pabrik. Pada masa ini juga hewan ternak merupakan salah satu harta yang cukup mahal bagi penduduk, buktinya muncul tempat pemotongan hewan yang nantinya daging hasil pemotongan akan dijual untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging. Penjualan minuman keras juga terdapat di Mojokerto tentunya dengan kebijakan-kebijakan yang sudah diatur oleh pemerintah dan diawasi. Juga muncul keterangan bahwa terdapat para pedagang-pedagang kecil berdagang di jalan umum dan di dalam taman Kota Praja, seperti pasar Gede/pasar Tanjung, dan pasar kliwon yang berada di pusat kota sebagai pusat ekonomi dalam pemenuhan konsumsi masyarakat pada waktu itu.

III. b. Analisis Proses Budaya

(19)

atau bukti arkeologis yang mereka temukan. Tujuan besar dari penelitian arkeologi adalah tiga paradigm arkeologi yang dijadikan sebagai landasan kerja arkeologi, Dengan adanya paradigma, arkeologi memiliki khasanah tujuan, persoalan, dan pola pikir dengan segala perangkat dan tata caranya untuk mencapai tujuan dan memecahkan persoalan yang ada. Di dalamnya termasuk dalil, teori, dan metodologi (Tanudirjo 1992 dalam Yuwono, rev 2013).

Ketiga paradigma itu antara lain adalah rekonstruksi cara hidup, rekonstruksi sejarah budaya dan penggamabaran proses budaya (lihat: Sharer and Ashmore, 1992). Bahasan dalam sub bab ini akan menguraikan mengenai analisis proses budaya yang terjadi di wilayah Mojokerto yaitu upaya mengurutkan data arkeologis dan perilaku pendukungnya secara temporal, serta mencoba menjelaskan faktor-faktor yang bertanggungjawab atas proses perubahan budaya antar masing-masing tahap kehidupan. Paradigma ini berhubungan dengan pertanyaan mengenai proses (why). A. Aspek-aspek Penting yang Berpengaruh Terhadap Proses Budaya

Faktor Alam

Faktor alam merupakan aspek penting dalam kajian kebudayaan, lingkungan alam dianggap sebagai faktor penting yang sangat berpengaruh terhadap munculnya sebuah bentuk kebudayaan pada sutu masyarakat tertentu, hal ini banyak disetujui oleh para ahli. Bahkan kebudayaan muncul sebagai akibat dari pengaruh alam yang menjadikan manusia membentuk sebuah perilaku tertentu dalam menghadapi /menyiasati alam dan lingkungan sekitar mereka, demikian juga peradaban muncul sebagai tanggapan atas tantangan (Challenge), sebagai contoh peradaban mesir muncul karena ada tanggapan terhadap tantangan lembah dan hutan belantara sungai Nil.

(20)

jarang juga memberikan pengaruh pada kebudayaan yang menampilkan sebuah proses budaya dalam kehidupan manusia. Hubungan lain antara arkeologi dan lingkungannya pada kajian arkeologi lingkungan dalam tulisan Elizabeth J. Reitz dalam Case Studies of environmental Archaeology, second edition (2008), pada bagian awal menyebutkan bahwa lingkungan budaya dan non-budaya adalah faktor signifikan dalam formasi sebuah situs arkeologi. Sungguhpun kebanyakan kajian lingkungan melihat ekologi dalam sebuah situs arkeologi sebagai bahan interpretasi arkeologi lingkungan dalam mengkaji perilaku manusia pada lingkungannya baik dari segi sosial, spasial, temporal, fisik maupun dari parameter biotik (Reitz, 2008).

Di atas telah diuraikan bahwa salah satu dari paradigm yang populer dalam arkeologi adalah penggambaran proses budaya, dari kasus wilayah Mojokerto ini faktor lingkungan/alam menjadi faktor yang tidak boleh dikesampingkan jika dilihat dari pola subsistensi dan okupasi manusia yang mendiami wilayah ini dari masa awal prasejarah, periode klasik hingga kolonial. Berubahnya pola okupasi dan sistem subsistensi yang terlihat dari masing-masing periode pada wilayah ini sangat mungkin mayoritas diakibatkan oleh perubahan lingkungan yang terjadi berangsur-angsur pada setiap periode dilihat dari latar belakang lingkungannya. Okupasi manusia awal yaitu Homo Mojokertensis yang memanfaatkan daerah delta sungai brantas purba pada masa Pleistosen yang tepatnya sekitar ujung pegunungan kendeng yang tidak dijadikan sebagai tempat okupasi pada masa selanjutnya, yaitu periode klasik sampai kolonial, karena pada masa ini daerah ini sudah berubah menjadi dataran yang mengakibatkan pendangkalan laut yang berdampak pada meluasnya garis pantai pada daerah utara jawa yang terjadi sekitar masa akhir pleistosen sampai Holosen. Contoh diatas sepertinya bisa menjadi sedikit argument yang mendukung bahwa faktor alam merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh terhap proses budaya yang secara khusus terjadi pada wilayah ini.

(21)

Seperti yang sudah diuraikan pada uraian diatas bahwa paradigm proses budaya yaitu upaya mengurutkan data arkeologis dan perilaku pendukungnya secara temporal, serta mencoba menjelaskan faktor-faktor yang bertanggungjawab atas proses perubahan budaya antar masing-masing tahap kehidupan. Faktor budaya sebagai salah satu faktor penting dalam mengkaji proses budaya yang terjadi dilihat dari kasus hubungan antara lingkungan dengan budaya yang ada di wilayah Mojokerto ini bisa dijelaskan dari data-data arkeologi dari masing-masing periodesasi yang tentunya memilki karakter dan ciri yang spesifik.

Budaya prasejarah di wilayah Mojokerto dengan karakter pola okupasi dan subsistensi yang berbeda jika dibandingkan dengan periode setelahnya memang diakibatkan oleh faktor pengaruh budaya yang masuk di Nusantara pada umumnya. Tinggalan-tinggalan budaya pengaruh Hindu-Budha di Nusantara telah diketahui berasal dari India, budaya yang berbeda dari masa sebelum munculnya pengaruh dari India ini mengakibatkan perbedaan karakter budaya nusantara yang menunjukkan proses budaya yang terjadi pada budaya nusantara.

Faktor Teknologi

(22)

ditemukan. Kemungkinan ketika budaya megalitik mulai muncul di kawasan sekitar Mojokerto, di daerah Mojokerto sendiri juga memiliki hasil budaya yang serupa dengan wilayah di sekitarnya. Konsep mengenai pemanfaatan bukit sebagai tempat suci dapat ditemukan di Selatan Mojokerto (Dataran tinggi Welirang).

Masa klasik di Mojokerto aspek teknologi dapat dilihat dari prasasti Silet dan Wulig yang berisi tentang bendungan. Melihat pada subsistensi tersebut dapat dikatakan mada masa itu sudah dikenal adanya sistem pengaturan air dan juga teknologinya yang kemungkinan digunakan sebagai pengairan sawah. Kemudian pada data pra-Majapahit ada yang menyebutkan jika pada masa itu juga memanfaatkan aliran sungai sebagai sarana transportasi. Hal ini mengindikasikan bahwa pada masa pra-Majapahit sudah mengenal teknologi pembuatan perahu atau alat transportasi air sejenisnya, dan kemungkinan semakin berkembang pada masa kerajaan Majapahit. Teknologi pembuatan perahu pada masa Majapahit berkembang disebabkan oleh terjadinya akulturasi kedatangan para saudagar Cina, India dan Arab. Sehingga Majapahit memiliki armada laut yang kuat dengan perahu-perahu yang memiliki kualitas (Ambarawati, 2013). Selain itu perkembangan teknologi pertanian juga tidak lepas dari sistem pertanian yang berkembang pada masa Majapahit. Perkembangan teknologi pertanian pada masa itu kemungkinan tidak jauh berbeda dengan pertanian tradisional pada masa sekarang, misanya dengan menggunakan cangkul, ani-ani, bajak (luku) dan alat pengolah padi seperti lesung, dll. Dari data yang didapat juga disebutkan jika subsistensi pada masa itu adalah bercocok tanam dan kerajaan sangat bergantung pada pertanian dan juga perdagangan. Kemudian melihat dari candi-candi dan bangunan lain yang dibuat dengan bahan bata bisa dikatakan bahwa pada masa klasik di Mojokerto sudah benar-benar bisa memanfaatkan kondisi lingkungan di sana dikarenakan bahan baku yang tersedia cukup melimpah. Mengenal teknik penambangan dan pembakaran tanah liat untuk dijadikan bata yang kemudian dijadikan sebagai bahan bangunan seperti candi, petirtaan, dan pemukiman.

(23)

melihat potensi kawasan yang cukup bagus sebagai lahan tebu dan padi. Orang-orang Eropa mulai mengembangkan perkebunan tebu dan pada akhirnya membuat pabrik gula guna mengolah hasil perkebunan yang mereka kembangkan. Mereka mengenal teknologi pengelolaan perkebunan tebu mulai dari penyiapan lahan sampai dengan masa panennya. Selanjutnya melakukan pemasangan tram kereta api sebagai jalur untuk menyalurkan dan mendistribusikan hasil perkebunan dan gula dari pabrik-pabrik yang ada. Jalur tersebut mempermudah distribusi sehingga menjadikan mojokerto sebagai salah satu pusat dari perkebunan dan industri gula di Jawa Timur. Jadi dengan kata lain perkembangan teknologi dalam perkebunan juga mempengaruhi tata kota dengan adanya jalur kereta, sebaran perkebunan dan keletakan pabrik.

Faktor Politik

(24)

supaya tetap ada hubungan dengan daerah tersebut. Hal ini dapat berkaitan dengan pola okupasi dimana pihak kerajaan Majapahit mencoba untuk memperluas daerah kekuasaan mereka di luar daerah Mojokerto. Salah satu yang tidak berhasil adalah politik perkawinan yang coba dilakukan oleh Gajah Mada atas putri dari Pajajaran yang berakhir dengan Perang Bubat. Kemudian yang paling terlihat adalah pada masa-masa setelah wafatnya Hayam Wuruk, dimana terjadi pergolakan politik dalam intern keluarga kerajaan yang menyebabkan adanya kekosongan pemerintahan di kerajaan Majapahit pada masa itu. Perang yang disebut Paregreg itu menyebabkan wilayah-wilayah maritim Majapahit mundur sehingga tidak dapat menguasai wilayah-wilayah luar Jawa secara efektif. Pemerintahan raja dengan sistem politik yang lemah setelah masa Hayam Wuruk dan Gajah Mada dapat diindikasikan sebagai masa-masa awal dari kemunduran kerajaan Majapahit itu sendiri. Hal tersebut yang membuat daerah-daerah penopang kerajaan melepaskan diri dari pusatnya Majapahit terutama daerah-daerah pesisir yang penguasanya kemudian memeluk agama Islam.

(25)

aturan yang dibuat oleh pemerintah setempat. Datangnya orang-orang Eropa dengan sistem politik dan pemerintahannya membuat kehidupan masyarakat di Mojokerto semakin kompleks.

Faktor Religi

Sama seperti pada aspek teknologi, aspek religi mulai terlihat pada masa prasejarah dimulai di sekitar kawasan Mojokerto. Adanya bangunan punden berundak dengan teras yang berjumlah lima, dimana konsep punden berundak sendiri merupakan bangunan yang sering digunakan untuk kegiatan-kegiatan upacara dalam hubungannya dengan pemujaan arwah nenek moyang. Dan di teras paling atas dari punden berundak tersebut terdapat sebuah menhir. Dengan ini sudah terlihat jelas bahwa sudah mulai muncul sistem kepercayaan yaitu pemujaan terhadap nenek moyang di daerah sekitaran Mojokerto.

Kemudian memasuki masa klasik aspek religi sangat jelas telihat dengan banyaknya bangunan candi di kawasan Mojokerto khususnya daerah Trowulan dalam kaitannya dengan Kerajaan Majapahit. Seperti yang dikatakan oleh Soekmono, candi sudah menjadi peranan kuil, dan oleh karenanya menjadi tempat orang melakukan kebaktiannya untuk menyembah para dewa. Dewa yang diwujudkan ke dalam bentuk patung dan sekaligus menggambarkan sang raja yang telah mencapai moksa (Soekmono,1874:218). Bangunan candi yang terdapat di Mojokerto (Trowulan) terdiri dari bangunan Candi Hindu dan Budha. Dari hal tersebut bisa terlihat adanya toleransi antara dua agama yang ada pada masa itu dimana agama Hindu dan Budha bisa berjalan secara beriringan.

(26)

Ada indikasi bahwa masuknya Islam merupakan salah satu faktor dari kemerosotan kerajaan Majapahit itu sendiri.

III. c. Hubungan timbal balik evolusi sosial, budaya lingkunganPopulasi

Mojokerto Purba

Pada periode ini jumlah manusia prasejarah masih sedikit dibuktikan dengan sedikitnya temuan fosil Homo modjokertensis yang merupakan 1fosil tengkorak kanak-kanak, jika diasumsikan kemungkinan ada satu generasi atau bahkan lebih yang sempat menghuni wilayah ini. Jika dilihat dari kondisi lingkungan pada masa ini, daerah okupasi manusia Homo Mojokertensis yang merupakan daerah delta sungai pada garis pantai pada pegunungan yang disebut pegunungan kendeng bisa diasumsikan bahwa daerah ini dulunya merupakan dataran di sebelah utara dengan daerah laut di selatan dan utara daerah ini. Untuk wilayah Perning ini asumsi bahwa area atau wilayah ini merupakan jalur dari usaha perpindahan atau migrasi manusia awal sangat mungkin, hal ini juga didukung oleh kurang beragamnya/kompleksifitas temuan fosil maupun bukti subsistensi yang menunjukkan daerah ini merupakan daerah hunian. Pada masa ini juga mereka dipastikan masih hidup dengan cara berburu dan mengumpulkan makanan, mereka memiliki daya jelajah yang tinggi dan hidup nomaden hal ini mengakibatkan berkurangnya kesempatan untuk memiliki keturunan. Ketika mereka sudah mulai hidup secara menetap jumlah populasi manusia meningkat, hal ini diakibatkan oleh berkurangnya daya jelajah sehingga kesempatan untuk memiliki keturunan menjadi lebih tinggi.

Mojokerto Pra-Majapahit

(27)

mengenal sistem kerajaan dan masyarakat pada saat itu sudah mengenal sistem pernikahan. Selain itu kepadatan populasi ini juga disebabkan oleh kedatangan warga Negara asing ke wilayah ini. Pertumbuhan pembangunan juga berpengaruh pada pertambahan populasi. Factor penempatan lingkungan sebagai pusat pemerintahan juga berpengaruh terhadap kedatangan masyarakat yang semakin meningkatkan populasi wilayah pusat kerajaan. Dari semakin padatnya populasi, sangat mungkin terjadi sebuah perubahan lingkungan sekitar seperti penebangan pohon pada daerah atas sebagai bahan baku perumahan dan bahan baker pembuatan bata pada bekas ibukota Majapahit di Trowulan. Jadi populasi memungkinkan terjadinya hubungan timbale balik antara aspek lingkungan dan sosial budaya manusia pada masa ini.

Mojokerto Masa Majapahit

Populasi meningkat dibandingkan periode mojokerto pra-majapahit dikarenakan meningkatnya pembangunan di pusat kerajaan Majapahit sehingga semakin banyak orang yang datang ke Trowulan . Selain itu peningkatan populasi juga disebabkan oleh kedatangan pedagang dan warga asing ke Majapahit. Pernikahan dengan warga asing juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan populasi.

Mojokerto Masa Islam

Pada periode ini populasi meningkat dibanding periode sebelumnya, peningkatan ini disebabkan oleh kedatangan pedagang dan asing ke Mojokerto.

(28)

Populasi mojokerto masa kolonial lebih tinggi dibandingkan dengan populasi mojokerto masa islam hal ini dikarenakan kedatangan bangsa Belanda ke Mojokerto. Selain itu populasi meningkat karena adanya perpindahan masyarakat dari Surabaya.

Permukiman

Mojokerto Purba

Homo modjokertensis bermukim di daerah padang rumput yang berada di sekitar aliran sungai dan delta sungai, lingkungan bakau disepanjang pantai, rawa-rawa disepanjang sungai, dan vegetasi hutan pegunungan. Mereka bermukim di daerah tersebut karena dekat dengan sumber air dan tanahnya cocok untuk dijadikan lahan bercocok tanam

Mojokerto Pra-Majapahit

Karena pada periode ini telah mengenal sistem kerajaan, maka pola hunian pada periode ini diatur oleh penguasa pusat dengan pembagian wilayah menjadi wanua/desa dan watak/daerah yang lebih besar semacam kabupaten atau kota.

Mojokerto Masa Majapahit

Pada periode ini permukiman lebih terkonsentrasi di ibukota Majapahit, Trowulan dilihat dari banyaknya struktur bangunan di Trowulan.

Mojokerto Masa Islam

(29)

Permukiman di pesisir dan kota pelabuhan muncul untuk memudahkan keperluan dagang.

Mojokerto Masa Kolonial

Pada periode ini permukiman semakin kompleks karena kehadiran bangsa Belanda yang mengadakan pembangunan selama 60 tahun (1830-1893). Pembangunan selama 60 tahun tersebut menghasilkan rumah-rumah yang mengelilingi lapangan termasuk rumah asisten residen dan bupati, gedung sekolah, masjid, penjara dan pabrik gula.

Pengolahan Sumber Daya Lingkungan

Untuk menjelaskan mengenai hubungan timbal balik evolusi social, budaya, dan lingkungan yang berupa pengolahan sumber daya lingkungan dapat kita lihat pada pola okupasi dan subsistensi pada masing-masing periodesasi (Mojokerto Purba, Mojokerto Pra Majapahit, Mojokerto Masa Majapahit, Mojokerto Masa Islam, dan Mojokerto Kolonial). Pada pola okupasi dan subsistensi tersebut factor lingkungan menjadi hal yang sangat menentukan. Pada periode Mojokerto purba, okupasi nya berupa penjelajahan dan eksplorasi daerah padang rumput di tepian sungai serta subsistensi dengan mengkonsumsi buah serta daging dari buruan yang di dapat. Hal ini menunjukan bagaimana Homo modjokertensis berusaha mengolah keadaan lingkungan di sektitar mereka agar kehidupan mereka terus berlangsung.

(30)

aman) belum sepenuhnya terjadi pada periode Mojokerto Purba. Semisalpun ada, Homo modjokertensis bermukim pada daerah terbuka dan sangat rawan akan ancamana bencana dan karnivora.

Temuan fosil Homo modjokertensis yang berada di daerah Perning yang dahulu merupakan daerah Delta Sungai Brantas sekali lagi membuktikan bahwa aktifitas pengolahan Homo modjokertensis berkisar pada daerah aliran sungai Brantas. Walaupun banyak pendapat yang menyatakan bahwa fosil tersebut tererosi oleh aliran Sungai Brantas hingga sampai ke darah tersebut. Namun, ini juga menunjukan bahwa aktifitas Homo modjokertensis berada di daerah lembah sungai.

Mengenai pola konsumsi berburu dan mengumpulkan makanan Washburn menyinggung bahwa kegiatan berburu hewan menjadi dasar semakin jauhnya jelajah manusia. Homo modjokertensis yang tidak ditemukan in situ di Perning menunjukan bagaimana daya jelajah Homo modjokertensis berada di daerah lembah aliran sungai Brantas yang dimungkinkan mengikuti naluri karnivor mereka. (S. L. Washburn & V. Avis, 1958)

Perubahan dari kala pleistosen menuju ke holosen menyebabkan banyak perubahan pada fisik kepulauan Nusantara. Perubahan ini paling besar dampaknya pada kondisi iklim global. Dimana ditandai dengan dua peristiwa yaitu glasiasi dan interglasial. Glasiasi yaitu perubahan temperature bumi menjadi dingin. Hal ini menyebabkan pembekuan air laut, sehingga permukaan air laut turun dan daratan yang dahulu tergenang air terlihat kembali. Masa ini berlangsung pada sekitar 18.000 tahun yang lalu.

(31)

sekarang. Perubahan-perubahan yang terjadi seperti tersebut yang mengakibatkan berubahnya fisik lingkungan dan pola adaptasi manusia. (Bellwodd, 2000: 45-50).

Lingkungan alam yang dahulu berupa dasar laut, oleh karena proses glasiasi dan pengangkatan perlahan mulai berupa daratan rawa dan pada proses selanjutnya berubah menjadi daratan kering dengan pola-pola aliran sungainya. Oleh karena proses interglasial, gumpalan-gumpalan es di kutub mencair dan permukaan air laut mengalami kenaikan. Daratan yang dahulu berupa padang rumput dengan sungai kembali terendam oleh air. Begitulah seterusnya sampai masa sekarang.

Proses ini juga berakibat pada pola pengolahan sumber daya lingkungan manusia. Daratan yang sudah meulai stabil pada masa holosen. Menjadikan jaminan bagi manusia untuk lebih banyak melakukan eksplorasi terhadap alam. Walaupun proses-proses seperti erosi sungai dan sedimentasi serta letusan gunung masih sering berlangsung. Hal tersebut dapat dikelola dengan baik oleh manusia modern. Lembah-lembah sungai yang rawan banjir mulai dimanfaatkan untuk daerah pemukiman. Contohnya pada masyarakat penghuni lembah sungai Indus. Mereka memanfaatkan keadan lembah sungai Indus yang sangat rawan akan banjir sebagai daerah permukiman. Namun, mereka tidak serta-merta meninggali daerah tersebut tanpa cara-cara adaptasi. Mereka membangun jaringan drainase, dan tembok / benteng sebagai upaya preventif terhadap banjir.

Begitu juga dengan beberapa kebudayaan besar di Nusantara, seperti Sriwijaya, Mataram kuno, dan yang paling dapat kita lihat adalah Majapahit. Kerjaan-kerajaan tersebut mampu mengolah sumber daya lingkungan mereka dengan cukup baik. Dapat dibuktikan dengan sawah-sawah terutama pada daerah Jawa, kanal-kanal air, jalur irigasi, pelabuhan, dan teknologi pelayaran (kapal penjelajah samudra)

(32)

yang melintasi wilayah Mojokerto). Selain Sungai Brantas, terdapat juga sungai Brangkal (dibagian Barat) dan Sungai Gunting (dibagian Timur) Trowulan. Kedua sungai ini berhulu di Pegunungan Arjuna. Kedua sungai ini menyumbang pasokan air serta tanah hasil erosi yang cukup besar bagi Trowulan. Sehingga di beberapa daerah Trowulan, tanahnya mengandung air yang cukup tinggi. Selain itu terdapat juga fenomena kipas alluvial, dimana Trowulan terletak hamper di ujung kipas alluvial dari pegunungan Arjuna. Hal juga memebrikan dampak berupa kandungan air yang cukup tinggi pada tanah di Trowulan.

Keadaan tersebut mampu dikelola dengan baik oleh raja-raja (pemerintah) baik itu sebelum Majapahit maupun sesudah Majapahit. Antara lain dengan memanfaatkannya sebagai lahan pertanian (sawah). Dapat dilihat pada beberapa Prasasti yang berisi tentang penetapan sawah sebagai sima. Prasasti tersebut diantaranya Prasasti Hara-Hara (Trowulan VII)-888 Saka/ 966 M, Alasantan (936 M), Prasasti kamban (863 Saka/ 941 M).

Sungai Brantas, dengan alirannya yang tenang dan cukup lebar memberikan keuntungan berupa dapat dimanfaatkan sebagai jalur transportasi untuk menuju daerah pesisir. Terutama dimanfaatkan untuk bidang perdagangan. Pada daerah muara terutama delta Sungai Brantas didirikanlah pelabuhan sebagai penunjang aktifitas perdagangan dan pelayaran (Cangu). Namun, karena sedimentasi yang cukup massif terjadi di Sungai Brantas sungai mengalami pendangkalan dan hal ini berdampak pada semakin melebarnya delta. Daerah pelabuhan yang tadinya merupakan tempat yang strategis, oleh karena sedimentasi sungai yang masif lokasi pelabuhan menjadi bagian dari delta itu sendiri. Faktor alam seperti pendangkalan sungai memang belum dapat diperkirakan dan selanjutnya ditanggulangi pada masa itu (pra dan pasca Majapahit).

(33)

dibawa oleh erosi sungai sungai juga membawa dampak positif yaitu tanah yang memiliki kualitas cukup baik untuk dijadikan batu bata. Pemanfaatan tanah hasil dari sedimentasi sebagai batu bata mungkin juga telah terjadi pada masa pra Majapahit. Ini dibuktikan dengan pemakaian batu bata pada bangunan rumah. Namun, interpretasi ini masih lemah karena ada kemungkinan bahan baku untuk membuat batu bata tersebut diambil dari tempat lain, didukung dengan tidak ditemukannya bekas galian / lubang sisa darin penambangan tanah untuk batu bata. Seperti yang terjadi pada masa sekarang, dimana banyak lubang bekas penambangan batu bata di beberapa tempat di Trowulan.

Penebangan hutan untuk mendapatkan kayu yang kemudian dimanfaatkan sebagai bahan membuat rumah yang berakibat pada menurunnya kekuatan tanah menampung air mungkin menjadi salah satu penyebab sedimentasi tanah pada daerah Trowulan dan pelabuhan di daerah delta sungai.

Pada periode selanjutnya , setelah Belanda mulai melakukan eksplorasi pada wilayah Mojokerto pada tahun 1830 pengolahan sumber daya lingkungan masih sekitar area lembah Sungai Brantas. Pendangkalan yang terus menerus terjadi pada aliran Sungai Brantas memberikan keuntungan berupa tanah yang subur sehingga dapat dimanfaatkan sebagai daerah pertanian dan juga perkebunan. Tanaman kebu menjadi perhatian pihak Belanda karena kebutuhan akan gula di pasar semakin tinggi. Bendungan juga dibuat sebagia upaya pengolahan debit sungai Brantas yang sangat besar. Bendungan di sini selain untuk irigasi juga dibangun untuk upaya mencegah banjir di wilayah hilir Sungai Brantas. Pada Prasasti Wringin pitu disebutkan tentang pembangunan bendungan pada Sungai Brantas untuk tujuan irigasi dan bendungan. Prasasti ini berangka tahun 1037 M (959 Saka masa Airlangga). Ini menunjukan bahwa upaya untuk melakukan pengolahan aliran Sungai Brantas sudah dilakukan sejak masa Airlangga.

(34)

Mengenai point degradasi lingkungan, penyakit dan pencemaran pada kasus evolusi lingkungan di Mojokerto dapat dilihat pada perkembangan populasi penduduknya. Pada awal pengnhunian, wilayah Mojokerto kebanyakan berupa daerah sawah Sima (Prasasti Hara-Hara (Trowulan VII)-888 Saka/ 966 M, Alasantan (936 M), Prasasti kamban (863 Saka/ 941 M). Degradasi lingkungan mulai terjadi sejak dipilihnya wilayah Trowulan sebagai kota pada masa Majapahit. Dengan semakin banyaknya penduduk yang bermukim di wilayah Trowulan semakin banyak pula bahan-bahan pokok pembuat bangunan yang digunakan (seperti kayu dan batu bata). Kayu-kayu yang diambil dari wilayah hutan pegunungan di Selatan Trowulan menyebabkan daerah resapan semakin berkurang sehingga erosi tanah oleh aliran sungai tidak dapat dihindarkan. Erosi tanah oleh aliran sungai ini menyebabkan sedimentasi di wilayah Trowulan. Hal ini dapat dibuktikan dengan terpendamnya sebagian besar bangunan rumah dan komponen pendukung rumah masa Majapahit (contohnya sumuran).

Selain itu, bnentuk sumuran (jobong) yang bertingkat juga membuktikan bahwa dahulu pernah terjadi sedimentasi yang cukup intensif sehingga berakibat pada terkuburnya sumur. Sesuai dengan konsep dasar bahwa proses fisikal dan hukum-hukumnya yang bekerja / berlangsung saat sekarang juga telah bekerja sepabjang zaman geologi meskipun intensitasnya tidak perlu sama dengan zaman sekarang. Pada masa selanjutnya, tanah bekas sumur tersebut digali lagi dan disambung dengan bangunan sumuran yang baru. Hal ini juga berlaku pada situs lantai segi enam. Dimana terlihat ada lapisan tanah dari hasil sedimentasi yang mengubur struktur banguna tersebut. Pada masa selanjutnya tepat di atasnya dibangun kembali struktur baru untuk tempat tinggal.

(35)

Mengenai masalah pencemaran, kemungkinan besar mulai terjadi pada masa kolonial Belanda. Dimana di didirikan pabrik gula untuk memenuhi kebutuhan gula pada masa tersebut. Limbah hasil olahan tebu yang dibuang di sungai sangat mungkin menyebabkan pencemaran. Tetapi, pencemaran yang berdampak besar pada periode Mojokerto Purba, pra Majapahit, masa Majapahit, dan masa Islam belum diketahui secara pasti.

Jadi secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa semakin intensif upaya manusia untuk mengolah lingkungan semakin besar eksplorasi dan inovasi manusia terhadap sumber daya lingkungan. Hal ini disertai dengan degradasi lingkungan baik itu pencemaran dan munculnya wabah penyakit. Antara pengolahan sumber daya lingkungan dan degradasi (baik itu degradasi lingkungan, pencemaran dan munculnya wabah penyakit) tidak dapat dipisahkan karena pengolahan sumber daya lingkungan oleh manusia secara tidak langsung mengakibatkan degradasi pada lingkungan itu sendiri.

(36)

Wilayah Mojokerto Jawa Timur merupakan daerah dengan karakter kondisi lingkungan beragam dan merupakan daerah dengan bukti hunian manusia yang panjang dimulai dari masa Prasejarah hingga pada masa kolonial. Bentang budaya wilayah Mojokerto bisa dilihat dari bukti-bukti arkeologis yang tersebar di wilayah ini. Tujuan makalah ini yang mencoba mencari hubungan antara budaya manusia yang dilihat dari hubungan timbal balik antara sosial budaya manusia dengan lingkungannya telah menghasilkan gambaaran mengenai masalah ini secara runtut dan bertahap berdasarkan data temuan arkeologis dan analisis hubungannya dengan lingkungan masa lalu maupun masa kini. Pembahasan yang dilakukan adalah pembahasan dengan sudut pandang paradigma arkeologi yang menjelaskan tentang rekonstruksi cara hidup dan sejarah budaya dengan rekonstruksi proses budaya pada wilayah Mojokerto ini, termasuk aspek-aspek yang berpengaruh terhadap proses budaya di wilayah ini.

Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa semakin intensif upaya manusia untuk mengolah lingkungan semakin besar eksplorasi dan inovasi manusia terhadap sumber daya lingkungan. Hal ini disertai dengan degradasi lingkungan baik itu pencemaran dan munculnya wabah penyakit. Antara pengolahan sumber daya lingkungan dan degradasi (baik itu degradasi lingkungan, pencemaran dan munculnya wabah penyakit) tidak dapat dipisahkan karena pengolahan sumber daya lingkungan oleh manusia secara tidak langsung mengakibatkan degradasi pada lingkungan itu sendiri.

Juga dalam sebuah lingkungan, pengaruh kebudayaan maupun sebaliknya bisa mengakibatkan apa yang disebut hubungan atau keterkaitan diantara keduanya. Perubahan lingkungan setidaknya bisa mengakibatkan perubahan pada budaya, sebaliknya perkembangan budaya bisa berdampak pada lingkungan sekitarnya berkaitan dengan modifikasi lingkungan.

(37)

Budiati, Tinia. 1985. Prasasti-prasasti Masa Sindok Sampai Airlangga: Sebuah Kajian Unsur Penanggalan. Skripsi. Depok: FIB UI.

Sartono, S. Semah, F. Astadirejo KAS. Sukendarmono, M. Djubiantoro, T. 1981. Revisi Umur Modjokertensis dalam Amerta, Berkala Arkeologi, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Huffman, O. F and Zaim. (2003). Mojokerto Delta, East Jawa : Paleoenviroment of Homo modjokertensis – First Results. Submitted to Journal of Mineral Technology, v.10, n.2. The Faculty of Earth Sciences and Mineral Technology, Institute Technology, Bandung.

Heekeren, H.R. Van. 1958. The Bronze-Iron Age of Indonesia. Gravenhage Martinus Nijhoff.

Djafar, Hasan. 2009. Masa Akhir Majapahit : Girindrawardhana dan Masalahanya.Komunitas Bambu : Jakarta

Berita Penelitian Arkeologi no 8. 1999. Relief Flora dan Fauna Tinggalan Masa Majapahit.

Pinardi, Slamet dan Winston S.D. Mambo. 1993. Perdagangan Pada Masa Majapahit. dalam 700 tahun Majapahit, suatu bunga rampai. Surabaya: Pemprov Jatim. Reitz, Elizabeth J.,et. al. 2008. Introduction to Environmental Archaeology. dalam

Case Studies in Environmental Archaeology second edition. Springer free. Sutikno. 1993. Kondisi Geografis Keraton Majapahit. dalam 700 tahun Majapahit,

suatu bunga rampai. Surabaya: Pemprov Jatim.

Munandar, Agus Aris. 2011. Catuspatha Arkeologi Majapahit. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

________& JSE Yuwono. 2009. Setelah PIM Trowulan dihentikan, Bagaimana Selanjutnya? . harian KOMPAS.

Tim Penulis. 2011. Laporan Penelitian Arkeologi Terpadu Indonesia I. Depok: FIB UI.

Yulianingsih, Wiwik. Hariyono. Hudiyanto, Reza. Sejarah Kota Mojokerto (1918-1942).

(38)

Daud Aris, T. 1985. Budaya Sampung Sebagai Budaya Transisi Masa Berburu dan Mengumpulkan Makanan Tingkat Lanjut ke Masa Bercocok Tanam .Skripsi Sarjana Jurusan Arkeologi, Fak. IlmuBudaya UGM, Yogyakarta dalam Berkala Arkeologi tahun IX Nomor 2, September 1988.Yogyakarta :Balai Arkeologi Yogyakarta

Noegroho, Anggit. 1988. Sumber Daya Fauna, Aktivitas Perburuan dan Pemanfaatan Binatang Pada Kala Pasca Pleistosen Di Jawa Timur dalam Berkala Arkeologi tahun IX Nomor 2, September 1988.Yogyakarta :Balai Arkeologi Yogyakarta

Ripley, S. Dillon. 1983. Alam danMargasatwa Asia Tropik. a.b. Banu Iskandar. Jakarta :Tira Pustaka dalam Berkala Arkeologi tahun IX Nomor 2, September 1988. Yogyakarta :Balai Arkeologi Yogyakarta

Yuwono, J. Susetyo Edy. 2013. Paradigma dan Karakter Data Arkeologi. tidak diterbitkan.

HUBUNGAN ANTARA EVOLUSI SOSIAL, BUDAYA MANUSIA DAN LINGKUNGANNYA : STUDI KASUS WILAYAH MOJOKERTO, JAWA TIMUR

(39)

Disusun oleh : Kelompok 1

Aloysius Wahyu W 11/3128659/SA/16161 Denny Prabawa 11/312428/SA/15786 Luthfi Eka B 12/334969SA/16511 Ruth Sylvia 11/318424/SA/15959 Yogi Pradana 11/318516/SA/16046

JURUSAN ARKEOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA

Referensi

Dokumen terkait

Setiap contoh hijauan pakan yang dikirim ke laboratorium untuk dianalisis secara kimiawi pada umumnya dalam keadaan basah (segar), sedangkan analisis proksimat kadar air (KA),

Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) adalah semua kegiatan kulikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa praktikan, sebagai pelatihan penerapan teori yang diperoleh dalam

Gejala klinis depresi lanjut usia sedikit berbeda dengan usia yang lebih muda, sering hanya gangguan emosi berupa apatis, penarikan diri dari aktivitas sosial, dan gangguan

Untuk dapat mengetahui bagaimana surat kabar Media Indonesia dan Republikan dalam membingkai berita Gayus Tambunan, peneliti mengambil objek penelitian pada berita Gayus Tambunan

Tet apidal am per kembangannya kemudi an,bahasa I ndonesi asel al umener i maunsurser apandar imanasaj aunt ukper ubahandan kemaj uannya.Ter nyat aunsurser apanyangmasukbukansaj

Puji syukur Alhamdulillah saya ucapkan kepeda kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmatnya dan hidayah-Nya, sehingga dengan izin-Nya saya dapat menyusun dan

Pendeteksian pada penelitian ini juga dapat menghasilkan jumlah clusters yang lebih sedikit dengan akurasi RI yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil

Berbagai penelitian menggunakan size KAP sebagai variabel determinan yang berpengaruh terhadap kualitas audit dengan alasan bahwa jika KAP berukuran besar, maka ia