• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR RISIKO KEJADIAN SCABIES DI RUMAH SAKIT UMUM ANUTAPURA PALU (RISK FACTORS SCABIES AT GENERAL HOSPITAL ANUTAPURA PALU) | Arifuddin | Medika Tadulako: Jurnal Ilmiah Kedokteran Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan 9274 30292 1 PB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "FAKTOR RISIKO KEJADIAN SCABIES DI RUMAH SAKIT UMUM ANUTAPURA PALU (RISK FACTORS SCABIES AT GENERAL HOSPITAL ANUTAPURA PALU) | Arifuddin | Medika Tadulako: Jurnal Ilmiah Kedokteran Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan 9274 30292 1 PB"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

40 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ... FAKTOR RISIKO KEJADIAN SCABIES DI RUMAH SAKIT

UMUM ANUTAPURA PALU

(RISK FACTORS SCABIES AT GENERAL HOSPITAL ANUTAPURA PALU)

Adhar Arifuddin*,Herman Kurniawan**, Fitriani***

* Bagian Epidemiologi, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu kesehatan ** Bagian Promosi Kesehatan, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu

kesehatan Universitas Tadulako, Jl. Soekarno Hatta KM 9, Palu, 94116, Indonesia. E-mail: fitrianiapril1304@gmail.com

*** Bagian Epidemiologi, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu kesehatan

ABSTRACT

Scabies is a contagious skin disease caused by sarcoptes scabiei and can cause skin irritation. Globally, every year there are 300 million cases of scabies and in Indonesia 4.60% - 12.95% ranks three of the 12 most skin diseases. This study aimed to determine the incidence of risk factors Scabies at General Hospital Anutapura Palu. The research method uses analytic observational case control approach. Scabies is a case of patient samples and control samples is not Scabies patients with a ratio of 1: 2. The number of samples is 174 consisting of 58 sample cases and 116 control samples. Sampling with accidental sampling. Data were analyzed by OR the significance limit (α = 5%). The results showed gender (OR = 1.879 at 95%, CI 0.987 to 3.576), knowledge (OR = 1.358 at 95%, CI 0.661 to 2.791), personal hygiene (OR = 2.275 at 95%, CI 1.107 to 4.676) and contact history (OR = 7.291 at 95%, CI 2.904 to 18.307) Scabies is a risk factor with OR> 1. Men are expected to be able to prevent the transmission of scabies , to the public in order to increase knowledge about Scabies , improving personal hygiene and avoid contact with the patient so as to prevent the occurrence Scabies Scabies.

(2)

41 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ... ABSTRAK

Scabies merupakan penyakit kulit menular yang disebabkan oleh sarcoptes scabiei dan dapat menyebabkan iritasi kulit. Secara global setiap tahun terdapat 300 juta kasus Scabies dan di Indonesia 4,60% - 12,95% menduduki urutan ke tiga dari 12 penyakit kulit terbanyak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko kejadian Scabies di Rumah Sakit Umum Anutapura Palu. Metode penelitian menggunakan observasional analitik dengan pendekatan case control. Sampel kasus adalah penderita Scabies dan sampel kontrol adalah bukan penderita Scabies dengan perbandingan 1:2. Jumlah sampel yaitu 174 yang terdiri dari 58 sampel kasus dan 116 sampel kontrol. Pengambilan sampel dengan accidental sampling. Data dianalisis dengan uji OR pada batas kemaknaan (α=5%). Hasil penelitian menunjukan jenis kelamin (OR = 1,879 pada 95%, CI 0,987-3,576), pengetahuan (OR = 1,358 pada 95%, CI 0,661-2,791), personal hygiene (OR = 2,275 pada 95%, CI 1,107-4,676) dan riwayat kontak (OR = 7,291 pada 95%, CI 2,904-18,307) merupakan faktor risiko kejadian Scabies dengan nilai OR>1. Diharapkan laki-laki untuk dapat mencegah penularan Scabies, kepada masyarakat untuk dapat meningkatkan pengetahuan tentang Scabies, meningkatkan personal hygiene dan menghindari kontak dengan penderita Scabies sehingga dapat mencegah kejadian Scabies.

Kata Kunci : Scabies, Faktor Risiko

PENDAHULUAN

Scabies merupakan penyakit kulit

menular yang disebabkan oleh sarcoptes

scabiei dan dapat menyebabkan iritasi

kulit. Parasit ini menggali parit-parit di

dalam epidermis sehingga menimbulkan

gata-gatal dan merusak kulit penderita.

Penyakit Scabies pada umumnya

menyerang individu yang hidup

berkelompok seperti masyarakat yang

tinggal ditempat padat penduduknya[1].

Tingginya kepadatan hunian dan

kontak fisik antar individu memudahkan

transmisi dan investasi tungau Scabies.

Oleh karena itu, prevalensi Scabies tinggi

umumnya ditemukan di lingkungan

dengan kepadatan penghuni dan kontak

interpersonal tinggi seperti penjara, panti

asuhan, dan pondok pesantren. Namun,

Scabies sering diabaikan karena tidak

mengancam jiwa sehingga prioritas

penanganannya rendah, sebenarnya

Scabies kronis dan berat dapat

menimbulkan komplikasi berbahaya.

Scabies banyak menyerang masyarakat di

negara berkembang. Faktor yang

berperan tingginya prevalensi Scabies di

(3)

42 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ...

kemiskinan, rendahnya tingkat

kebersihan, akses air sulit dan kepadatan

hunian[2].

Badan Kesehatan Dunia menganggap

penyakit Scabies sebagai pengganggu dan

perusak kesehatan. Scabies bukan hanya

sekedar penyakitnya orang miskin karena

penyakit Scabies masa kini telah merebak

menjadi penyakit kosmopolit yang

menyerang semua tingkat sosial. Scabies

merupakan satu dari enam penyakit kulit

terbesar yang lazim pada penduduk

miskin, seperti dilaporkan dalam Buletin

Organisasi Kesehatan Dunia pada bulan

Februari 2009, angka kejadian tertinggi

terdapat pada suku-suku asli di Australia,

Afrika, Amerika Selatan dan negara

berkembang lainnya di dunia[3].

Scabies merupakan masalah

kesehatan secara global, karena 300 juta

kasus terjadi setiap tahunnya di dunia.

World Health Organization (WHO)

menyatakan Scabies merupakan salah

satu dari enam penyakit parasit epidermal

kulit yang angka kejadiannya terbesar di

dunia. Insiden di Amerika hampir

mencapai 1 juta kasus per tahun.

Rata-rata prevalensi kejadian Scabies di

Inggris adalah 2,27 per 1000 orang

(laki-laki) dan 2,81 per 1000 orang

(perempuan), dimana 1 dari 1000 orang

datang ke pusat-pusat kesehatan dengan

keluhan gatal yang menetap[4].

Scabies merupakan penyakit kulit

endemis di wilayah beriklim tropis dan

subtropis, seperti Afrika, Amerika

selatan, Karibia, Australia tengah,

Australia selatan dan Asia. Prevalensi

Scabies pada anak berusia 6 tahun di

daerah kumuh Bangladesh adalah

23-29% dan Kamboja 43%. Studi di rumah

kesejahteraan Malaysia tahun 2010

menunjukkan prevalensi Scabies 30%

dan Timor Leste prevalensi Scabies

17,3%[2]. Prevalensi Scabies di Brazil

dibandingkan anak perempuan (16%)[5].

Indonesia mempunyai prevalensi

Scabies cukup tinggi dan cenderung

tinggi pada anak-anak sampai dewasa[6].

Menurut data Departemen Kesehatan

Republik Indonesia prevalensi Scabies di

puskesmas seluruh Indonesia pada tahun

(4)

43 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ... menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit

kulit tersering[7].

Berdasarkan data Departemen

Kesehatan kasus Scabies di Indonesia

tahun 2012 sebesar 4,60-12,95% dan

Scabies menduduki urutan ke tiga dari 12

penyakit kulit terbanyak. Masalah ini

dominan terjadi pada anak-anak, karena

individu tersebut belum mampu secara

mandiri melakukan kebersihan diri dan

kebersihan lingkungan. Anak-anak

senang bermain dengan teman-temannya

tanpa memperhatikan kebersihan diri,

sehingga memungkinkan terjadinya

penularan penyakit melalui kontak

langsung seperti berjabat tangan,

kurangnya perhatian dalam hal

membersihkan diri atau mandi, serta

bermain di area yang kurang bersih[3].

Kasus Scabies di Sulawesi Tengah

Tengah yaitu 3779 kasus dan berdasarkan

tabel lampiran profil dinas kesehatan

Propinsi Sulawesi Tengah telah terjadi

Kejadian Luar Biasa (KLB) Scabies di

desa Silondoa dengan 52 orang, desa

Kayulompa terdapat 29 orang, Puskesmas

Batui/Bugis, Batui, Tolando, Balantang

dengan 88 orang penderita, Lawanga,

Kasintuwu, Bonesompe, Tegal Rejo dan

Madale terdapat 200 orang penderita[9].

Prevalensi penyakit Scabies di kota

Palu pada tahun 2012 yaitu 1066 kasus.

Kasus pada laki-laki yaitu 53% lebih

tinggi dibanding perempuan 47%. Tahun

2013 kasus Scabies meningkat menjadi

2293, lebih tinggi pada laki-laki yaitu

51% dibanding perempuan 49%. Pada

tahun 2014 kasus Scabies yaitu 2527

kasus, pada laki-laki lebih tinggi yaitu

53% dibanding perempuan yaitu 47%[10].

Berdasarkan survei pendahuluan

yang dilakukan di Rumah Sakit Umum

Anutapura Palu, menunjukan bahwa

Scabies merupakan salah satu penyakit

yang masuk 10 besar di bagian Poliklinik

Kulit dan Kelamin. Scabies selalu

menduduki urutan pertama dari tahun

2012 sampai dengan tahun 2014. Jumlah

kasus Scabies pada tahun 2012 yaitu 236

kasus (32,8%), tahun 2013 yaitu 327

kasus (47,2%) dan tahun 2014 yaitu 290

(5)

44 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ... Scabies berhubungan dengan jenis

kelamin, yaitu prevalensinya lebih tinggi

pada laki-laki dan laki-laki lebih berisiko

terinvestasi Scabies dibandingkan

perempuan. Prevalensi Scabies pada

laki-laki (57,4%) lebih tinggi dibandingkan

perempuan (42,9%)[2]. Pengetahuan

merupakan salah satu faktor penyebab

Scabies, terutama seseorang yang

memiliki pengetahuan kurang. Hasil

penelitian Setyowati (2014),

menunjukkan bahwa responden yang

memiliki pengetahuan kurang tentang

penyakit Scabies yaitu sebanyak 74,5%,

sedangkan yang memiliki pengetahuan

baik sebanyak 19,7%.

Personal hygiene merupakan faktor

yang berperan dalam penularan Scabies.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan

oleh Ria (2014) menunjukkan bahwa

terdapat 58,7% orang memiliki personal

hygiene kurang dan 41,3% orang dengan

personal hygiene cukup. Terdapat 37

orang dengan hygiene perorangan kurang

yang menderita Scabies sebanyak 49,2%

dan tidak menderita Scabies sebanyak

9,5%, dari 26 orang dengan hygiene

perorangan cukup menderita Scabies

sebanyak 20,6% dan tidak menderita

Scabies sebanyak 20,6%.

Riwayat kontak merupakan salah

satu variabel yang mempengaruhi

kejadian Scabies, dimana pada kelompok

kasus, 96,2% diantaranya pernah kontak

dengan penderita Scabies dan 3,8% orang

tidak pernah kontak dengan penderita

Scabies, tetapi menderita Scabies. Kontak

dengan penderita Scabies berisiko tertular

Scabies 48 kali dibandingkan mereka

yang tidak ada kontak dengan

penderita[14]. Berdasarkan data kejadian

penyakit Scabies yang masih tinggi maka

penulis tertarik untuk melakukan

penelitian di Rumah Sakit Umum

Anutapura Palu.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan

dalam penelitian ini adalah penelitian

epidemiologi observasional analitik

dengan pendekatan case control study

(Kasus kontrol). Penelitian ini

dilaksanakan di bagian Poliklinik Kulit

dan Kelamin Rumah Sakit Umum

Anutapura Palu pada bulan Mei sampai

dengan Juni tahun 2015. Populasi dalam

(6)

45 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ...

jalan yang berkunjung di bagian

Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah

Sakit Umum Anutapura Palu. Besar

sampel minimal pada penelitian ini

adalah sebanyak 58 reponden untuk

kelompok kasus dan 116 responden untuk

kelompok kontrol dengan perbandingan 1

: 2 dan total keseluruhan 174 responden.

Teknik pengambilan sampel dilakukan

secara sampling Aksidental (accidental

sampling) yaitu siapa saja yang secara

kebetulan bertemu dengan peneliti, dapat

digunakan sebagai sampel, bila

dipandang orang yang kebetulan ditemui

cocok sebagai sumber data. Setiap sampel

dipilih berdasarkan umur sebagai

matching, dengan umur yang ditentukan,

sampai besar sampel dibutuhkan

terpenuhi.

HASIL PENELITIAN

Risiko Jenis Kelamin TerhadapScabies

Berdasarkan hasil analisis bivariat

pada tabel 1 diperoleh responden laki-laki

lebih banyak pada kelompok kasus yaitu

36 responden (62,1%) dibanding pada

kelompok kontrol yaitu 54 responden

(46,6%). Responden perempuan pada

kelompok kasus lebih sedikit yaitu 22

responden (37,9%) dibanding kelompok

kontrol yaitu 62 responden (53,4%).

Hasil uji statistik didapat nilai OR yaitu

1,879 pada CI 95% (0,987-3,576), artinya

risiko jenis kelamin laki-laki untuk

menderita Scabies adalah 1,879 kali lebih

besar dibanding dengan perempuan,

namun tidak signifikan.

Risiko Pengetahuan Terhadap Scabies

Berdasarkan hasil analisis bivariat

pada tabel 1 diperoleh responden yang

mempunyai pengetahuan kurang lebih

banyak pada kelompok kasus yaitu 44

responden (75,9%) dibanding pada

kelompok kontrol yaitu 81 responden

(69,8%). Responden yang mempunyai

pengetahuan cukup lebih sedikit pada

kelompok kasus yaitu 14 responden

(24,1%) dibanding kelompok kontrol

yaitu 35 responden (30,2%). Hasil uji

statistik didapat nilai OR yaitu 1,358

pada CI 95% (0,661-2,791), artinya risiko

responden dengan pengetahuan kurang

untuk menderita Scabies adalah 1,358

kali lebih besar dibanding responden

dengan pengetahuannya cukup, namun

(7)

46 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ... Risiko Personal Hygiene Terhadap

Scabies

Berdasarkan hasil analisis bivariat

pada tabel 1, diperoleh responden yang

mempunyai personal hygiene kurang,

lebih banyak pada kelompok kasus yaitu

45 responden (77,6%) dibanding

kelompok kontrol yaitu 70 responden

(60,3%). Responden yang mempunyai

personal hygiene cukup lebih sedikit

pada kelompok kasus yaitu 13 responden

(22,4%) dibanding kelompok kontrol

yaitu 46 responden (39,7%). Hasil uji

statistik didapat nilai OR yaitu 2,275

pada CI 95% (1,107-4676), artinya risiko

responden dengan personal hygiene

kurang untuk menderita Scabies adalah

2,275 kali lebih besar dibanding

responden dengan personal hygiene

cukup dan signifikan.

Risiko Riwayat Kontak Terhadap

Scabies

Berdasarkan hasil analisis bivariat

pada tabel 1, diperoleh responden yang

mempunyai riwayat kontak lebih banyak

pada kelompok kasus yaitu 52 responden

(89,7%) dibanding kelompok kontrol

yaitu 63 responden (54,3%). Responden

yang tidak mempunyai riwayat kontak

lebih sedikit pada kelompok kasus yaitu 6

responden (10,3%) dibanding kelompok

kontrol yaitu 53 responden (45,7%).

Hasil uji statistik didapat nilai OR yaitu

7,291 pada CI 95% (2,904-18,307),

artinya risiko responden dengan riwayat

kontak untuk menderita Scabies adalah

7,291 kali lebih besar dibanding dengan

responden yang tidak mempunyai riwayat

kontak dan signifikan.

PEMBAHASAN

Risiko Jenis Kelamin Terhadap

Scabies

Jenis kelamin merupakan salah satu

determinan yang mempengaruhi kejadian

Scabies. Hasil uji statistik diperoleh nilai

Odds Ratio (OR) yaitu 1,879 lebih besar

dari 1, hal ini menunjukan bahwa jenis

kelamin merupakan faktor risiko kejadian

Scabies atau laki-laki berisiko 1,879 kali

lebih besar menderita Scabies

dibandingkan perempuan. Nilai lower

(8)

47 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ... upper limit yaitu 3,576, karena nilai

lower limit <1 maka hasil analisis tidak

signifikan. Variabel jenis kelamin tidak

signifikan, karena dari tingkat

pengetahuan tidak terlalu terlihat

perbedaan antara responden laki-laki dan

perempuan. Terdapat 36,2% laki-laki dan

35,6% perempuan mempunyai

pengetahuan kurang, dimana 21,3%

laki-laki dan 23% perempuan tidak

mengetahui bagian tubuh yang sering

tertular Scabies, 29,3% laki-laki dan

30,5% tidak mengetahui bahwa dengan

saling bertukar pakaian dapat tertular

Scabies, 25,3% laki-laki dan 24,7%

perempuan tidak mengetahui cara

mencegah penyakit Scabies. Selain itu,

responden laki-laki dan perempuan

hampir sama mempunyai personal

hygiene kurang. Terdapat 35,1% laki-laki

dan 31% perempuan mempunyai

personal hygiene kurang, dimana 24,7%

laki-laki dan 23% perempuan pernah

memakai pakaian temannya dan 37,9%

laki-laki dan 36,2% perempuan

mengganti pakaian setelah berkeringat.

Hasil penelitian ini sejalan dengan

Ratnasari (2014), menunjukan ada

hubungan antara jenis kelamin dengan

kejadian Scabies dengan nilai chi-square

p = 0,048. Laki-laki lebih berisiko

terinvestasi Scabies dibandingkan

perempuan. Hal ini disebabkan responden

perempuan lebih memperhatikan

kesehatan kulit dibandingkan laki-laki,

karena responden laki-laki mempunyai

tingkat pendidikan rendah, sehingga

memiliki kesadaran rendah mengenai

pentingnya hygiene pribadi. Hygiene

pribadi yang buruk berperan penting

dalam penularan penyakit Scabies.

Penelitian lain yang sejalan yaitu

penelitian Al Audhah (2012), secara

statistik laki-laki lebih berisiko 24 kali

lebih besar dibanding perempuan,

disebabkan karena kebanyakan laki-laki

menggunakan air berasal dari irigasi yang

tidak diolah dengan baik. Namun,

penelitian ini tidak sejalan dengan

Admadinata (2014), hasil analisis

diperoleh nilai uji chi-square dengan p

value = 0,607 artinya tidak ada hubungan

antara jenis kelamin dengan kejadian

Scabies, dimana laki-laki dan perempuan

tidak terlalu terlihat perbedaan dalam hal

personal hygiene.

Scabies lebih berisiko pada

(9)

48 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ...

laki-laki Scabies biasanya terdapat pada

area genitalia. Area genitalia merupakan

lokasi lesi tersering, karena tungau

Scabies lebih mudah membuat

terowongan pada stratum korneum yang

lembab dan tersembunyi. Salah satu

bentuk Scabies yaitu Scabies noduler.

Scabies yang sering terdapat pada daerah

tertutup, terutama pada genitalia laki-laki,

inguinal dan aksila.

Berdasarkan hasil penelitian ini dari

90 responden berisiko tinggi, terdapat 36

responden (62,1%) yang menderita

Scabies. Hal ini disebabkan karena

kurangnya pengetahuan dari responden

mengenai Scabies, dimana terdapat

51,7% responden tidak mengetahui

penyebab Scabies, 36,1% tidak

mengetahui gejala Scabies dan 37,9%

tidak mengetahui cara penularan Scabies.

Selain itu, responden cenderung kurang

memperhatikan kebersihan diri, dimana

terdapat 39,7% responden melakukan

kebiasaan berganti-gantian menggunakan

sabun dengan keluarga, 50% pernah

menggunakan sabun mandi temannya,

37,9% pernah bertukar pakaian dengan

temannya dan 39,7% melakukan

kebiasaan meminjamkan pakaian kepada

temannya, 58,6% menggunakan handuk

bersama keluarga dan 39,7%

meminjamkan handuk kepada temannya.

Praktik tukar menukar barang atau benda

akan memudahkan penularan Scabies

secara tidak langsung antara penderita

Scabies dengan yang tidak menderita

Scabies. Benda atau barang yang

digunakan menjadi media transmisi

tungau sarcoptes scabiei untuk berpindah

tempat[15]. Responden yang mempunyai

keluarga penderita Scabies sebanyak 26

responden (59,1%) dan teman penderita

Scabies sebanyak 23 responden (52,3%).

Responden yang pernah tidur bersama

dengan keluarganya penderita Scabies

sebanyak 43,1%, pernah bersentuhan

kulit dengan keluarganya penderita

Scabies sebanyak 50% dan pernah

bersentuhan kulit dengan temannya

penderita Scabies sebanyak 48,3%.

Sesuai dengan teori yang diungkapkan

Handoko (2007), bahwa transmisi tungau

biasanya terjadi melalui kontak langsung

misalnya tidur bersama dan bersentuhan

kulit dengan penderita Scabies.

Responden risiko tinggi, namun

tidak menderita Scabies berjumlah 54

(10)

49 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ...

52,8% responden berusia dewasa

sehingga tidak mudah terpapar Scabies.

Scabies merupakan penyakit yang

menyerang semua kelompok umur namun

umumnya lebih sering menyerang usia

anak-anak dan remaja.

Kasus Scabies pada responden

risiko rendah berjumlah 22 responden

(37,9%). Kurangnya personal hygiene

dari responden merupakan salah satu

penyebabnya, dimana terdapat 25,9%

perempuan menggunakan sabun secara

bergantian dengan keluarganya, 25,9%

meminjamkan pakaian kepada temannya,

22,4% pernah memakai pakaian

temannya, 36,2% menggunakan handuk

bergantian dengan keluarga dan 24,1%

meminjamkan handuk kepada temannya.

Sering berganti-gantian menggunakan

benda yang sama dengan penderita

memudahkan penularan kutu sarcoptes

scabiei secara tidak langsung. Selain itu,

penularan Scabies bisa melalui kontak

langsung yaitu terdapat 19 responden

(86,4%) mempunyai keluarga penderita

Scabies dan 12 responden (54,5%)

mempunyai teman penderita Scabies.

Responden perempuan yang kontak

dengan penderita Scabies yaitu

melakukan kebiasaan tidur bersama

dengan keluarganya sebanyak 25,9%,

tidur bersama temannya sebanyak 24,1%,

pernah bersentuhan kulit dengan

keluarganya sebanyak 32,8% dan 20,7%

responden pernah bersentuhan kulit

dengan temannya.

Risiko Pengetahuan Terhadap Scabies

Pengetahuan merupakan determinan

yang mempengaruhi kejadian Scabies.

Hasil uji statistik diperoleh nilai Odds

Ratio (OR) yaitu 2,791 lebih besar dari 1,

hal ini menunjukan bahwa pengetahuan

merupakan faktor risiko kejadian Scabies,

atau responden dengan pengetahuan

kurang 2,791 kali lebih besar menderita

Scabies dibandingkan responden dengan

pengetahuan cukup. Nilai lower limit dari

uji statistik yaitu 0,661 dan upper limit

yaitu 2,791, karena nilai lower limit <1

maka hasil analisis tidak signifikan.

Variabel pengetahuan tidak signifikan

karena responden laki-laki dan

perempuan hampir sama mempunyai

pengetahuan kurang mengenai Scabies

yaitu sebanyak 36,2% pada laki-laki dan

35,6% perempuan. 21,3% responden

(11)

50 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ... mengetahui bagian tubuh yang sering

tertular Scabies, 29,3% laki-laki dan

30,5% tidak mengetahui bahwa dengan

saling bertukar pakaian dapat tertular

Scabies, 25,3% laki-laki dan 24,7%

perempuan tidak mengetahui cara

mencegah penyakit Scabies.

Hasil analisis penelitian ini sejalan

dengan penelitian Aminah (2015),

hubungan antara tingkat pengetahuan

dengan kejadian Scabies. Responden

yang memiliki tingkat pengetahuan baik

tidak satupun menderita Scabies. Hasil uji

statistik diperoleh nilai p = 0,001 maka

dapat disimpulkan bahwa terdapat

hubungan antara tingkat pengetahuan

dengan kejadian Scabies, karena

masyarakat tidak mengetahui bahwa

kejadian Scabies dipengaruhi oleh kontak

langsung yaitu dari faktor kebersihan

kulit, tangan dan kuku, rambut dan

kebersihan badan serta dipengaruhi oleh

kontak tidak langsung yaitu kelembaban,

suhu, penyediaan air dan pajanan sinar

matahari.

Penelitian lain yang sejalan yaitu

penelitian Ria (2014), hasil uji chi-square

diperoleh nilai p = 0,022 berarti kurang

dari α = 0,05, bahwa ada hubungan antara

pengetahuan dengan kejadian Scabies.

Hal ini disebabkan karena sebagian

responden tidak memahami apa saja yang

berkaitan dengan penyakit Scabies, baik

kondisi lingkungan tempat berkembang

biak kutu sarcoptes scabiei, cara

penularan dan pencegahannya. Sejalan

dengan penelitian Anggraeni (2014),

bahwa ada hubungan antara tingkat

pengetahuan responden dengan kejadian

Scabies, diperoleh nilai p = 0,013 dan

nilai OR= 3,182, disebabkan karena

responden kurang mengetahui dan

memahami penyakit Scabies, cara

penularannya dan cara pencegahannya.

Namun, tidak sejalan dengan penelitian

Lathifa (2014), sebagian responden

mengalami suspect Scabies memiliki

pengetahuan tinggi yaitu sebesar 75%,

sedangkan hasil uji statistik didapatkan

p-value sebesar 0,762 (p>0,05), artinya pada α = 5% didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan

dengan suspect Scabies, karena mereka

selalu berusaha mencari tahu hal-hal

mengenai Scabies.

Tingkat pengetahuan berpengaruh

terhadap sikap dan perilaku sehari-hari

(12)

51 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ...

seseorang yang memiliki tingkat

pengetahuan rendah cenderung tidak

memperhatikan personal hygiene.

Scabies merupakan penyakit yang sangat

terkait dengan kebersihan diri, karena

kurangnya pengetahuan masyarakat

mengenai faktor penyebab dan bahaya

penyakit Scabies, mereka menganggap

bahwa Scabies tidak membahayakan

jiwa. Selain itu rendahnya pengetahuan

masyarakat tentang cara penyebaran dan

pencegahan Scabies menyebabkan angka

kejadian Scabies tinggi pada kelompok

masyarakat[17].

Penelitian ini menunjukan bahwa

dari 125 responden berisiko tinggi,

terdapat 44 responden (75,9%) penderita

Scabies. Hal ini disebabkan karena

kurangnya pengetahuan responden

tentang Scabies, dimana 63,8%

responden tidak mengetahui penyebab

dari Scabies, 41,4% tidak mengetahui

gejala Scabies, 29,3% tidak mengetahui

bagian tubuh yang sering tertular Scabies,

51,7% tidak mengetahui cara penularan

Scabies, 53,4% tidak mengetahui saling

bertukar pakaian dengan penderita

Scabies dapat tertular dan 50% tidak

mengetahui cara mencegah Scabies. Hal

ini sesuai dengan teori Muzakir (2008),

kurangnya pengetahuan mengenai

Scabies dapat menyebabkan cepatnya

penularan Scabies di masyarakat.

Responden risiko tinggi, namun tidak

menderita Scabies berjumlah 81

responden (69,8%). Hal ini disebabkan

karena kebanyakan responden berjenis

kelamin perempuan yaitu sebanyak

55,8%. Responden mempunyai personal

hygiene baik, dimana terdapat 45,7%

responden tidak berganti-gantian

menggunakan sabun, 43,5% tidak

berganti-gantian menggunakan pakaian

sama dengan keluarganya dan 45,7%

responden tidak pernah meminjamkan

pakaian sama temannya.

Kasus Scabies pada responden risiko

rendah dalam penelitian ini berjumlah 14

responden (24,1%), disebabkan karena

kurangnya personal hygiene dari

responden. Terdapat 17,2% responden

sering berganti-gantian menggunakan

sabun dengan keluarganya, 20,7% pernah

menggunakan sabun temannya, 19%

responden pernah meminjamkan pakaian

kepada temannya dan 17,2% pernah

meminjamkan handuk kepada temannya.

(13)

52 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ... atau benda yang sama akan memudahkan

untuk tertular penyakit Scabies.

Risiko Personal Hygiene Terhadap

Scabies

Personal hygiene adalah suatu

tindakan memelihara kebersihan dan

kesehatan seseorang untuk kesejahteraan

fisik dan psikis. Hasil uji statistik

diperoleh nilai Odds Ratio (OR) yaitu

2,275 lebih besar dari 1, hal ini

menunjukan bahwa personal hygiene

merupakan faktor risiko kejadian Scabies

atau responden dengan personal hygiene

kurang 2,275 kali lebih besar menderita

Scabies dibandingkan responden dengan

personal hygiene cukup. Nilai lower limit

dari uji statistik yaitu 1,107 dan upper

limit yaitu 4,676, karena nilai lower limit

<1 maka hasil analisis signifikan. Hal ini

disebabkan karena responden yang

mempunyai personal hygiene kurang

lebih banyak yaitu 66,1% dibanding

responden personal hygiene cukup yaitu

sebanyak 33,9%.

Penelitian ini sejalan dengan Putri

(2011), menunjukan bahwa ada hubungan

bermakna antara hygiene perseorangan

dengan kejadian Scabies dengan nilai p

sebesar 0,001 (p < 0,05). Hygiene

perseorangan merupakan salah satu usaha

untuk mencegah kejadian Scabies, karena

media transmisi tungau sarcoptes scabiei

berpindah tempat melalui penularan

secara langsung maupun tak langsung.

Pada hygiene perseorangan kurang

penularan Scabies lebih mudah terjadi.

Melakukan kebiasaan seperti kebiasaan

mencuci tangan, mandi menggunakan

sabun, menganti pakaian dan pakaian

dalam, tidak saling bertukar pakaian,

kebiasaan keramas menggunakan

shampo, tidak saling bertukar handuk dan

kebiasaan memotong kuku, dapat

mengurangi risiko tertular Scabies.

Penelitian lain yang sejalan yaitu

penelitian Anggraeni (2014), ada

hubungan antara hygiene perorangan

dengan kejadian Scabies, dimana

diperoleh nilai p-value = 0,024 dan OR

= 2,829 kali, hal ini disebabkan karena

kebiasaan responden tidur bersama

penderita Scabies, saling meminjam

pakaian, memakai handuk secara bersama

dan tidak adanya perbedaan mencuci

pakaian penderita Scabies dengan yang

bukan pederita Scabies. Namun,

(14)

53 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ... Audhah (2012) yaitu tidak terdapat

hubungan antara personal hygiene

dengan kejadian Scabies didapatkan nilai

OR= 3,3 dengan CI 95%

(0,83<OR<13,25). Tidak terdapat

hubungan antara personal hygiene

dengan kejadian Scabies, karena

dipengaruhi oleh faktor lain yaitu faktor

lingkungan, dimana air yang digunakan

untuk mandi dan mencuci bukan

merupakan air yang diolah menjadi air

bersih. Selain itu, dipengaruhi oleh

tingkat sosial ekonomi responden rendah.

Penelitian lain yang tidak sejalan yaitu

penelitian Desmawati (2015),

berdasarkan hasil uji statistik chi-square

didapatkan p value = 0.781 > (0.05),

berarti Ho ditolak sehingga tidak ada

hubungan antara personal hygiene

dengan kejadian Scabies. Banyak faktor

yang dapat mempengaruhi timbulnya

Scabies, dan faktor lain adalah tingkat

pendidikan.

Penelitian ini menunjukan bahwa

dari 115 responden berisiko tinggi,

terdapat 45 responden (77,6%) menderita

Scabies. Hal ini disebabkan karena

kurangnya pengetahuan responden

mengenai personal hygiene. Terdapat

48,3% responden menggunakan sabun

yang sama dengan keluarganya, 67,2%

pernah menggunakan sabun temannya,

51,7% pernah menggunakan pakaian

sama dengan keluarganya, 58,6% pernah

meminjamkan pakaian kepada temannya,

41,4% pernah memakai pakaian

temannya, 76% menggunakan handuk

sama dengan keluarganya dan 55,2%

pernah meminjamkan handuk kepada

temannya. Kebiasaan menggunakan

barang sama dengan penderita akan

memudahkan tertular penyakit Scabies

melalui kontak tak langsung, sesuai

dengan teori yang diungkapkan Mansyur

(2007), penularan Scabies secara tidak

langsung dapat melalui perlengkapan

tidur, pakaian atau handuk, alat mandi

yang digunakan bergantian dengan

penderita Scabies.

Responden risiko tinggi, namun tidak

menderita Scabies berjumlah 70

responden (60,3%), disebabkan karena

responden dalam penelitian ini lebih

banyak jenis kelamin perempuan yaitu

52,9%. Terdapat 38,8% responden tidak

bergantian menggunakan sabun dengan

keluarganya dan 36,2% responden tidak

(15)

54 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ...

Kasus Scabies risiko rendah

berjumlah 13 responden (22,4%),

disebabkan karena pengetahuan

responden masih kurang mengenai

Scabies dan adanya riwayat kontak

dengan penderita, dimana terdapat 19%

responden tidak mengetahui penyebab

Scabies, 17,2% tidak mengetahui cara

penularan Scabies, 15,5% tidak

mengetahui cara memutus rantai

penularan Scabies dan 13,8 tidak

mengetahui cara mencegah Scabies.

Responden yang mempunyai keluarga

dan teman penderita Scabies sebanyak 9

orang (15,5%), dimana 17,2% responden

tidur bersama keluarganya penderita

Scabies, 15,5% responden pernah tidur

bersama temannya penderita Scabies,

17,2% responden bersentuhan kulit

dengan keluarganya penderita Scabies

dan 19% responden pernah bersentuhan

kulit dengan temannya penderita

Scabies.

Risiko Riwayat Kontak Terhadap Scabies

Penularan Scabies melalui kontak

langsung yaitu dengan cara tidur

bersama, berjabat tangan dan bersentuhan

kulit dengan penderita Scabies. Hasil uji

statistik diperoleh nilai Odds Ratio (OR)

yaitu 7,291 lebih besar dari 1, hal ini

menunjukan bahwa riwayat kontak

merupakan faktor risiko kejadian Scabies

atau responden yang mempunyai riwayat

kontak dengan penderita Scabies 7,291

kali lebih besar menderita Scabies

dibandingkan responden yang tidak

mempunyai riwayat kontak. Nilai lower

limit dari uji statistik yaitu 2,904 dan

upper limit yaitu 18,307, karena nilai

lower limit <1 maka hasil analisis

signifikan, karena lebih banyak

responden yang pernah kontak dengan

penderita yaitu 66,1% dibanding yang

tidak pernah kontak dengan penderita

yaitu 33,9%.

Penelitian ini sejalan dengan Al

Audhah (2012), responden yang pernah

kontak dengan penderita Scabies

sebanyak 109 orang (48,2%) dan 117

orang (51,8%) tidak pernah kontak serta

2 orang (3,8%) tidak pernah kontak

dengan penderita Scabies tetapi

menderita Scabies. Pada kelompok

kontrol 115 orang (66,1%) diantaranya

tidak pernah kontak dengan penderita

(16)

55 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ... ada 59 orang (33,9%) pernah kontak

dengan penderita Scabies dan tidak

menderita Scabies. Kontak dengan

penderita Scabies berisiko tertular

Scabies 48 kali dibandingkan mereka

yang tidak pernah kontak dengan

penderita. Hal ini menunjukan ada

hubungan antara riwayat kontak dengan

kejadian Scabies didapatkan nilai OR =

48,7 (CI 95% = 11,5<OR<207,3). Hal ini

karena kebiasaan responden mandi

bersama, bermain bersama, tidur bersama

secara statistik bermakna terhadap

penularan Scabies.

Penularan Scabies melalui kontak

fisik dengan penderita Scabies. Seringkali

berpegangan tangan dalam waktu sangat

lama merupakan penyebab umum

terjadinya penyebaran penyakit ini. Tidur

bersama dan berhimpitan dengan

penderita Scabies memberikan

kesempatan untuk kontak langsung

maupun tidak langsung dengan penderita

Scabies. Penularan Scabies melalui

kontak langsung terjadi ketika penderita

bersentuhan kulit dengan anggota

keluarganya, akibat tidur berhimpitan

tungau sarcoptes scabiei yang ada pada

permukaan kulit penderita Scabies akan

berpindah ke kulit keluarganya.

Penularan secara tidak langsung yaitu

pada saat tidur bersama dan berhimpitan

dengan penderita Scabies dapat menular

melalui alas tidur dan selimut yang

digunakan secara bersama-sama[22].

Penelitian ini menunjukan bahwa

dari 115 responden berisiko tinggi,

terdapat 52 responden (89,7%) menderita

Scabies. Hal ini karena 45 orang (77,6%)

mempunyai keluarga penderita Scabies

dan 29 orang (50%) mempunyai teman

penderita Scabies, dimana 69%

responden tidur bersama keluarganya

penderita Scabies, 67,2% responden

pernah tidur dengan temannya penderita

Scabies, 79,3% responden bersentuhan

kulit dengan keluarganya penderita

Scabies dan 62,1% responden pernah

bersentuhan kulit dengan temannya

penderita Scabies. Sesuai dengan teori

menyebutkan bahwa transmisi tungau

Scabies biasanya terjadi melalui kontak

langsung misalnya tidur bersama dan

bersentuhan kulit dengan penderita

Scabies[16].

Responden risiko tinggi, namun tidak

menderita Scabies dalam penelitian ini

(17)

56 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ... disebabkan karena 41,4% responden

tidak pernah tidur bersama dalam waktu

lama dengan temannya penderita Scabies

dan 29,3% responden tidak bersentuhan

kulit dengan temannya penderita Scabies.

Selain itu, dipengaruhi oleh pengetahuan

responden yang cukup yaitu 33,6%

responden mengetahui cara penularan

Scabies dan 35,5% responden

mengetahui cara memutus rantai

penularan Scabies.

Kasus Scabies risiko rendah terdapat

6 responden (10,3%), karena kurangnya

pengetahuan mengenai Scabies. Terdapat

10,3% responden tidak mengetahui

bahwa dengan saling menukar pakaian

dapat tertular penyakit Scabies, 8,6%

responden tidak mengetahui cara

memutus rantai penularan Scabies dan

8,6% responden tidak mengetahui cara

mencegah penyakit Scabies. Hal ini

sesuai dengan teori Anggaraeni (2014),

tingkat pengetahuan yang rendah tentang

Scabies, cara penularan dan

pencegahannya berisiko menderita

Scabies dibandingkan dengan tingkat

pengetahuan cukup.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang

dilakukan di Rumah Sakit Umum

Anutapura Palu, didapatkan kesimpulan

sebagai berikut:

1. Jenis kelamin merupakan faktor risiko

kejadian Scabies di Rumah Sakit

Umum Anutapura Palu. Laki-laki

mempunyai risiko 1,879 lebih besar

menderita Scabies dibanding

perempuan.

2. Pengetahuan merupakan faktor risiko

kejadian Scabies di Rumah Sakit

Umum Anutapura Palu. Pengetahuan

kurang mempunyai risiko 1,358 lebih

besar menderita Scabies dibanding

pengetahuan cukup.

3. Personal hygiene merupakan faktor

risiko kejadian Scabies di Rumah

Sakit Umum Anutapura Palu.

Personal hygiene kurang mempunyai

risiko 2,275 lebih besar menderita

Scabies dibanding personal hygiene

cukup.

4. Riwayat kontak merupakan faktor

risiko kejadian Scabies di Rumah

Sakit Umum Anutapura Palu. Pernah

kontak langsung dengan penderita

(18)

57 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ...

menderita Scabies dibanding tidak

pernah kontak dengan penderita.

SARAN

1. Diharapkan kepada laki-laki agar

dapat mencegah penularan Scabies

dengan meningkatkan Personal

hygiene.

2. Perlunya dilaksanakan penyuluhan

kesehatan tentang Scabies untuk

meningkatkan pengetahuan

masyarakat terutama penyebab

Scabies, cara penularannya,

gejala-gejala yang timbul dan cara

pencegahannya.

3. Diharapkan kepada seluruh

masyarakat agar selalu meningkatkan

kebersihan diri dengan tidak

berganti-gantian menggunakan barang atau

benda yang sama dengan penderita

Scabies untuk mencegah penularan

penyakit Scabies.

4. Diharapkan kepada masyarakat agar

dapat menghindari kontak langsung

yaitu dengan tidak bersentuhan kulit

dan tidur bersama penderita Scabies.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rahariyani, Dwi, Loetfia, 2008. Buku

Ajar Asuhan Keperawatan Klien

Gangguan System Integumen.

Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Jakarta.

2. Ratnasari, F.A, Saleha, Sungkar.

2014. Prevalensi Scabies dan

Faktor-Faktor Yang Berhubungan di

Pesantren X, Jakarta Timur. Jurnal

Fkui Vol. 2, No. 1, Hal 251-256.

3. Anggraeni, Reni. 2014. Hubungan

Pengetahuan dan Hygiene Perorangan

Dengan Kejadian Scabies Di Desa

Wombo Mpanau Kecamatan

Tanantovea Kabupaten Donggala.

Karya Tulis Ilmiah Jurusan

Kesehatan Lingkungan Poltekkes

Kemenkes Palu.

4. Griana, Pramesti. 2013. Scabies :

Penyebab, Penanganan Dan

Pencegahannya. El-Hayah Vol. 4,

No.1, Hal. 37-46.

5. Sistri, Yulia. 2013. Hubungan

Personal hygiene dengan Kejadian

Scabies di Pondok Pesantren

As-Salam Surakarta 2013. Skripsi

Fakultas Kedokteran Universitas

(19)

58 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ...

6. Akmal, C.S, Rima.S & Gayatri. 2013.

Hubungan Personal Hygiene dengan

Kejadian Scabies Di Pondok

Pendidikan Islam Darul Ulum,

Palarik Air Pacah, Kecamatan Koto

Tangah Padang Tahun 2013. Jurnal

Kesehatan Andalas. 2013; 2(3).

7. Azizah, N.I, Widyah,Setiyowati.

2011. Hubungan Tingkat

Pengetahuan Ibu Pemulung Tentang

Personal Hygiene Dengan Kejadian

Scabies Pada Balita Di Tempat

Pembuangan Akhir Kota Semarang.

Jurnal Akademi Kebidanan Abdi

Husada Semarang, Vol.1/ No.1.

8. Anshayari. 2012. Profil Dinas

Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah.

UPT Surveilans Data dan Informasi

Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi

Tengah. Palu.

9. , 2013. Profil Dinas

Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah.

UPT Surveilans Data dan Informasi

Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi

Tengah. Palu.

10.Fitri, 2015. Data Penyakit Dinas

Kesehatan Kota Palu. Pengelola

SP2TP. Palu.

11.Lamadjido, Reni. 2015. Profil RSU

Anutapura. Rekam medik RSU

Anutapura. Palu.

12.Setyowati, D., & Wahyuni. 2014.

Hubungan Pengetahuan Santriwati

Tentang Penyakit Scabies Dengan

Perilaku Pencegahan Penyakit

Scabies di Pondok Pesantren. Gaster

pondok pesantren Darul Hijrah,

kelurahan Cindai Alus, kecamatan

Martapura, kabupaten Banjar,

provinsi Kalimantan Selatan). Jurnal

epidemiologi dan penyakit bersumber

binatang, Vol. 4 No.1, Hal 14-22.

15.Harahap, Marwali. 2000. Ilmu

Penyakit Kulit. Hipokrates. Jakarta.

16.Handoko RP. Scabies. Dalam:

Djuanda A, Hamzah A, Aisah S,

editor. 2007. Ilmu Penyakit Kulit

(20)

59 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ...

Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Jakarta.

17.Aminah, Hendra & Maya. 2015.

Hubungan Tingkat Pengetahuan

dengan Kejadian Scabies. Artikel

Penelitian J MAJORITY, Volume 4

Nomor 5, Hal. 54-59.

18.Lathifa, Mushallina. 2014.

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan

Suspect Scabies Pada Santriwati

Pondok Pesantren Modern Diniyyah

Pasia, Kecamatan Ampek Angkek,

Kab. Agam, Sumatera Barat Tahun

2014. Skripsi FKIK UIN

Hidayahtullah. Jakarta.

19.Muzakir. 2008. Faktor yang

Berhubungan dengan Kejadian

Penyakit Scabies Pada Pesantren di

Kabupaten Aceh Besar Tahun 2007.

Tesis Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatra Utara Medan.

20.Putri, Ardana S.S.B, & Ani,

Margawati. 2011. Hubungan Higiene

Perseorangan, Sanitasi Lingkungan

Dan Status Gizi Terhadap Kejadian

Scabies Pada Anak. Artikel Penelitian

Karya Tulis Ilmiah Fk UNDIP.

Semarang.

21.Desmawati, Ari, P.D . & Oswati, H.

2015. Hubungan Personal Hygiene

Dan Sanitasi Lingkungan Dengan

Kejadian Scabies Di Pondok

Pesantren Al-Kautsar Pekanbaru.

JOM Vol 2 No 1, Hal. 628-637.

22.Aina, F.A.I, Ibrohim, & Endang

Suarsini. 2013. Hubungan Antara

Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat

(PHBS) Dengan Timbulnya Penyakit

Skabies Di Wilayah Kecamatan

Tlanakan Kabupaten Pamekasan.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian POC limbah industri tahu berpengaruh nyata pada parameter tinggi bibit, jumlah daun, panjang akar, berat basah dan berat

Hasil karakteristik dari simplisia buah buncis (Phaseolus vulgaris) yang diperoleh dari tiga lokasi berbeda, secara organoleptis berupa serbuk berwarna hijau

Perintah SBB akan mengurangkan nilai Tujuan dengan Asal dengan cara yang sama seperti perintah SUB, kemudian hasil yang didapat dikurangi lagi dengan Carry

Tugas pokok KPP Pratama Jakarta Tanah Abang Satu adalah melaksanakan pelayanan, pengawasan administratif, dan pemeriksaan sederhana terhadap Wajib Pajak di bidang

Faktor pertama yang mempengaruhi kinerja pada karyawan adalah

Since most metals cannot withstand temperatures above about 600°C, the reheat cycle is often used to prevent liquid droplet formation: the steam passing through the turbine

15 Christian Novandinata Setijo SMP Kristen Petra Kediri Kota Kediri 56 Passing Grade 15.. 16 Matthew Osvaldo Liman SMP Kristen

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol Buah Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) dapat di formulasikan sebagai sediaan krim dan pada