• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN. No. Kabupaten/Wilayah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN. No. Kabupaten/Wilayah"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Pemerintah Provinsi Jawa Barat memiliki kebijakan untuk mengalokasikan wilayah daratannya seluas 45% sebagai kawasan berfungsi lindung pada tahun 2010 melalui Peraturan Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2003 (Bappeda Provinsi Jawa Barat, 2003). Kebijakan tersebut ditandaskan kembali pada RPJM Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2008 – 2013 melalui Peraturan Gubernur Nomor 54 Tahun 2008. Berdasarkan kebijakan tersebut maka setiap RTRW Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat harus menyesuaikan dengan arahan RTRWP Jawa Barat dengan mengalokasikan sebagian kawasannya untuk kawasan berfungsi lindung, sesuai dengan persyaratan. Berdasarkan hasil kajian Bappeda Propinsi Jawa Barat (2003), dalam penyesuaian dengan Perda tersebut, alokasi kawasan berfungsi lindung di setiap kabupaten/wilayah seperti terlihat pada tabel berikut.

Tabel 1. Penyebaran Luas Kawasan Lindung Dalam Memenuhi Perda No.2/ 2003 Propinsi Jawa Barat

No. Kabupaten/Wilayah Luas Daratan (ha) Luas Kws Lindung (ha) Persentase (%) 1 Bogor 309041 131838 43 2 Bekasi 128282 13481 11 3 Sukabumi 422507 295541 70 4 Cianjur 358609 232073 65 5 Bandung 328086 177359 54 6 Purwakarta 96842 39306 41 7 Karawang 191036 25212 13 8 Subang 215657 56026 26 9 Sumedang 156057 106625 68 10 Garut 308989 261837 85 11 Tasikmalaya 288615 193379 67 12 Ciamis 295668 63467 21 13 Kuningan 122417 63818 52 14 Majalengka 131903 40269 31 15 Cirebon 105078 4814 5 16 Indramayu 210156 6478 3 Jumlah 3668943 1711523 47

Sumber: Bappeda Propinsi Jawa Barat (2003) dalam Setiobudi (2005)

Berdasarkan hasil evaluasi Pemerintah Provinsi Jawa Barat tahun 2008 atas pencapaian kebijakan kawasan lindung 45%, kawasan lindung yang sesuai

(2)

sebesar 27,5% (11,3% dari kawasan hutan dan 16,2% dari luar kawasan hutan), yang kurang sesuai sebesar 14,8% dan yang tidak sesuai sebesar 6,6%. Penyimpangan pemanfaatan ruang tersebut ditunjukan dengan tingginya alih fungsi lahan produktif yang disebabkan oleh pengaruh kegiatan ekonomi, perkembangan penduduk maupun kondisi sosisal budaya. Alih fungsi yang terjadi umumnya mengabaikan rencana tata ruang yang telah direncanakan.

Penyimpangan pemanfaatan ruang tersebut disebabkan juga oleh tidak jelasnya bentuk kompensasi atas dampak perubahan penggunaan lahan budidaya menjadi kawasan lindung. Dengan pengalokasian kawasan berfungsi lindung dalam memenuhi ketentuan Perda No. 2/2003 sebesar 45%, maka di setiap kabupaten memerlukan perubahan guna lahan dari guna lahan budidaya menjadi kawasan yang berfungsi lindung. Dampak bagi kabupaten yang sebagian besar wilayahnya menjadi kawasan berfungsi lindung adalah upaya pembangunan ekonominya menjadi terbatas. Selain itu, juga berdampak bagi pemilik lahan yakni apabila ada kerugian akibat pengaturan rencana tata ruang maka akan ditanggung oleh pemilik lahan itu sendiri. Hal ini didasarkan aturan bahwa rencana tat ruang yang sudah diundangkan memiliki kekuatan hukum untuk ditaati bagi warga negaranya.

Dengan terbitnya UU No. 26 Tahun 2007 kompensasi atas kerugian tersebut telah diakomodasi. Menurut Pasal 60 huruf c dari undang-undang tersebut, setiap orang berhak untuk memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang. Oleh karena itu menurut Sadyohutomo (2008), untuk menuju azas keadilan sesama warga negara maka (1) setiap kerugian akibat rencana tata ruang harus ada kompensasi. Kompensasi dapat berbentuk uang tunai, insentif, subsidi, tranfer of development right/bentuk pembangunan lain, atau bentuk-bentuk kompensasi lainnya, dan (2) yang membayar kompensasi adalah publik yang diuntungkan oleh adanya rencana, sedangkan pemerintah bertindak sebagai agen/pengelola/mediator. Prosedur penentuan, bentuk dan perhitungan besarnya kompensasi perlu dituangkan dalam kebijaksanaan pemerintah dalam bentuk peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan hal ini, maka dalam menentukan bentuk dan besaran kompensasi akibat pengaturan tata ruang perlu dikaji model insentif sebagai

(3)

model kompensasi atas perubahan penggunaan lahan, dengan mengadopsi model cost-benefit sharing principles. Dalam mengkaji prinsip tersebut akan dilakukan melalui studi kasus di Kawasan Bandung Utara (KBU).

KBU ini yang secara resmi disebut sebagai Wilayah Inti Bandung Raya Bagian Utara terletak di Bagian Utara Kota Bandung, dimana secara administratif pemerintahan mencakup Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat (pecahan Kabupaten Bandung sejak tahun 2008) dan Kota Cimahi. Mengingat kawasan ini berada pada ketinggian 750 m dpl ke atas dan merupakan daerah perbukitan dan pegunungan dan merupakan daerah resapan air untuk daerah bawahannya khususnya Kota Bandung, maka sejak tahun 1982 melalui SK Gubernur Jawa Barat No. 181/1982 tentang Peruntukan Lahan di Wilayah Inti Bandung Raya Bagian Utara, dari seluas 38.800 ha telah ditetapkan sebesar 68,69% sebagai kawasan lindung dan sisanya 31,31% sebagai kawasan budidaya. Kemudian berdasarkan RUTR KBU Tahun 1998 telah ditetapkan kawasan lindung sebesar 72,44% dan sisanya sebesar 17,56% sebagai kawasan budidaya. Sedangkan berdasarkan kajian oleh Dinas Tata Ruang dan Permukiman Propinsi Jawa Barat (2004) dalam menyesuaikan dengan Perda No.2 Tahun 2003, menunjukkan bahwa kawasan konservasi potensial sangat tinggi dan tinggi mencapai 87% dari luas KBU.

Namun disisi lain, KBU memiliki karakter alamnya yang cukup nyaman dengan suasana desa pertanian pegunungan dan landscape yang indah sehingga banyak diminati para pemukim dari Kota Bandung. Selain telah berkembangnya permukiman, di KBU juga telah berkembang prasarana dan sarana kegiatan pariwisata dan pendidikan seperti perhotelan dan sekolah kedinasan dan tempat penelitian. Permintaan akan permukiman, sarana dan prasarana pariwisata dan pendidikan tersebut telah meningkatkan harga lahan, yang mendorong terjadinya penjualan lahan pertanian (sawah maupun lahan kering) untuk dibangun perumahan, perhotelan dan tempat pendidikan. Perubahan penggunaan lahan tersebut pada akhirnya menyebabkan terjadinya fragmentasi landscape pertanian dan kawasan lindung yang luas yang dibutuhkan untuk mendukung usaha pertanian, DAS Citarum yang sehat, maupun tanaman dan hewan asli setempat.

Perkembangan yang terjadi di KBU tersebut telah menimbulkan dampak terhadap kondisi kawasan yang mempunyai fungsi lindung ini, khususnya

(4)

keseimbangan sistem air bumi cekungan Bandung. Menurut Sugiarto (1995), di Kota Bandung, dimana air bumi telah terabstraksi sebesar 161,10 juta m3/tahun, sedangkan estimasi masukan dari air hujan hanya sekitar 54,59 juta m3/tahun ditambah masukan dari samping, maka keseimbangan airbumi lokal di Kota Bandung pada tahun 1995 defisit sebesar 16,98 juta m3/tahun, dengan nisbah masukan/keluaran sebesar 89,46%. Dengan demikian kondisi keseimbangan airbumi khususnya Kota Bandung sangat kritis.

Berdasarkan phenomena di atas, di KBU telah terjadi ketidak-konsistenan dalam implementasi rencana tata ruang yang disebabkan oleh produk rencana tata ruang yang belum dipakai sebagai acuan dalam penyusunan program pembangunan daerah. Kondisi ini lebih disebabkan oleh Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 (sebagai dasar dalam penyusunan kebijakan tata ruang KBU di atas) yang belum ditunjang oleh perangkat-perangkat penunjang operasional Implementasi RTRW diantaranya perangkat pemanfaatan dan pengendalian ruang yang meliputi zoning regulation, insentif dan disinsentif, mekanisme perijinan yang efektif, serta sistem informasi tata ruang. Kurang efektifnya pengendalian pemanfaatan ruang KBU melalui mekanisme perijinan pembangunan dewasa ini disebabkan lahan KBU sebagian besar merupakan lahan milik (54%), sehingga implementasi regulasi khususnya dalam mengarahkan pengguna lahan (land user) untuk tidak melakukan konversi guna lahan berfungsi lindung maupun untuk berperilaku konservasi dalam pengelolaan lahannya, tidak berjalan.

Menurut Zhang dan Laband (2004), seperti halnya upaya-upaya reforestasi lahan milik di Amerika Serikat, tidak efektifnya pengendalian pemanfaata ruang lebih disebabkan karena regulasi yang terkait dengan upaya-upaya konservasi di lahan milik (seperti menanam pohon) seringkaili hanya berupa proses administrasi dan penegakan yang legalistik. Regulasi kawasan lindung cenderung berbentuk command and control dalam mengarahkan perilaku pengguna lahan, sehingga siapa yang diatur harus mengikuti regulasi dan sekaligus ia membayar pengeluaran (biaya transaksi seperti kertas kerja dan inspeksi, dan biaya penghijauan). Pada akhirnya regulasi tersebut berimplikasi pada pemilik lahan dalam mempertimbangkan kelayakan finansial dalam penggunaan lahannya.

Dampak ekonomi dari regulasi kawasan lindung ini terutama terkait dengan perubahan keuntungan ekonomi bagi pemilik lahan baik margin intensif

(5)

maupun margin extensif pada operasi penggunaan lahannya. Kedua margin inilah yang sebenarnya mendorong keputusan pengguna lahan untuk merubah penggunaan lahannya. Margin extensive akan mengarahkan lahan ditransfer dari penggunaan lahan dengan nilai terendah ke penggunaan lahan dengan nilai tertinggi. Sementara margin intensive akan mengarahkan penggunaan lahan ke penggunaan yang memiliki biaya terendah. Akibatnya implementasi regulasi kawasan lindung ini menjadi tidak efektif.

Kedua konsep margin tersebut mengarahkan pada konsep rente lahan., yang mana perbedaan kapasitas rent-paying atau perbedaan kelas lahan seringkali digambarkan dalam terma perbedaan lokasi atau perbedaan kualitas lahan. Hal pertama yang menjadi ukurannya adalah kedekatannya terhadap air, infrastruktur, fasilitas-fasilitas, dan pusat budaya; berikutnya adalah tipe tanah atau faktor yang berkaitan dengan iklim dan buatan manusia. Oleh karena itu sumberdaya lahan biasanya dibayar pada harga tertinggi ketika digunakan untuk tujuan komersil atau industri dibanding penggunaan lainnya. Dalam daftar urutan sederhana berikutnya mulai dari yang tertinggi sampai terendah adalah permukiman, lahan pertanian, perumputan atau tujuan kehutanan (Barlowe, 1986, dalam Hubacek dan Vazquez, 2002) dan kawasan konservasi. Nilai yang lebih tinggi dan penggunaan lebih produktif secara ekonomi mengambil lahan terbaik untuk tujuannya; sedangkan sisa areal prioritas terendah untuk penggunaan lainnya.

Berdasarkan konsep di atas, maka persoalan ketidak-konsistenan penggunaan lahan di KBU, lebih disebabkan oleh faktor lokasi KBU sendiri yang memiliki kedekatan terhadap pusat-pusat pertumbuhan, sehingga keputusan penggunaan lahan oleh pemilik lahan milik cenderung pada harga tertinggi yakni permukiman. Dari struktur kota, KBU merupakan bagian dari zona penggunaan lahan kota, dengan orde pertama yakni Kota Bandung. Konsekwensi sebagai bagian zona penggunaan lahan kota, maka berkembang pusat-pusat pertumbuhan.

Karena kedekatan lokasi KBU dengan pusat perekonomian, maka mekanisme insentif bagi pemilik lahan harus menggunakan pendekatan yang bersifat voluntary (sukarela). Model yang mulai banyak diterapkan di berbagai negara adalah model Purchace of Development Right (PDR) dan model Payment Environment Service (PES). Model ini didasarkan pada prinsip kesukarelaan pengguna lahan dalam memberlakukan lahannya baik untuk mempertahankan

(6)

sebagai tempat bekerja maupun dalam upaya-upaya konservasi, melalui mekanisme penjualan hak membangun maupun penjualan jasa lingkungan lahan di lahan tempat mereka bekerja. Model ini pada akhirnya juga dapat digunakan untuk mengatasi keseimbangan dan guna mengurangi konflik antara masyarakat di upland - yang dituduh penyebab mahalnya biaya eksternalitas – dan masyarakat di lowland – yang memikul biaya.

B. Maksud dan Tujuan Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk menentukan nilai besaran insentif dan disinsentif ekonomi dalam upaya peningkatan efektivitas pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana amanat UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya terkait dengan mengendalian penggunaan lahan berfungsi lindung di KBU. Model yang digunakan adalah PDR dan PES.

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk merumuskan konsep PDR dan PES dalam mengarahkan pemilik lahan dalam menggunakan lahannya, dengan mempertimbangkan hirarki kota dan sistem perkotaan di KBU. Secara khusus, penelitian ini dijabarkan ke dalam tujuan-tujuan berikut

1. Mengetahui struktur ruang KBU terutama terkait dengan hirarki kota dan sistem perkotaan, sistem penggunaan lahan kota dan diferensiasi perubahan penggunaan lahan dari guna lahan kota sampai ke guna lahan kedesaan. 2. Mengatahui tingkat transformasi struktur penggunaan lahan sebagai dasar

pemberian insentif dan disinsentif.

3. Menghitung besaran nilai lahan menggunakan pendekatan NJOP, harga jual setempat dan nilai harapan tanah.

4. Menghitung besaran PDR dan PES, dengan mempertimbangkan tingkat

transformasi struktur penggunaan lahan, khususnya untuk penggunaan lahan pertanian dan kehutanan.

5. Merumuskan konsep penerapan PES dan PDR dalam mencegah terjadinya perubahan penggunaan lahan akibat perbedaan rente lahan antara penggunaan lahan untuk kawasan berfungsi lindung dan hutan dengan penggunaan lahan lainnya.

(7)

C. Kegunaan Penelitian

Perancangan kota (urban design) merupakan suatu hasil perpaduan kegiatan antara profesi perencana kota, arsitektur, rekayasa sipil, dan transportasi dalam wujud fisik dalam dua bentuk umum yaitu ruang kota (urban space) dan ruang terbuka (open space). Ruang kota disediakan untuk melayani jasa bagi kehidupan manusia dan ruang terbuka sebagai pelengkap dan pengontras bentuk urban, serta menyediakan tanah untuk penggunaan di masa depan. Akibatnya kota menjadi suatu utilitas eksklusif dan tidak merasa perlu terkait dengan ruang tidak produktif dan di luar kota, khususnya daerah hinterland dan desa di sekitarnya. Dipihak lain, perencanaan dan pengelolaan kawasan lindung, khususnya hutan lindung dan konservasi, lebih memperhatikan bagaimana perlindungan dan pengelolaan habitat dan kawasan dapat berjalan tanpa memperhatikan perkembangan kebutuhan lahan akibat pertumbuhan demografi dan ekonomi di masa depan.

Persoalan kawasan ini muncul ketika permintaan lahan menjadi tinggi untuk kegiatan perumahan dan kegiatan perkotaan lainnya, dan menjadi persoalan yang serius ketika pertimbangan produktivitas menjadi ukuran, yang pada akhirnya mendorong perubahan penggunaan lahan dari kawasan lindung menjadi kawasan produktif. Sejalan dengan itu, terjadi persoalan lingkungan di daerah kota yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan di luar ruang kota akibat terjadi pengusiran lahan (expulsing) berfungsi lindung menjadi kawasan budidaya.

Melalui penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan dalam dua kubu perencana di atas, yakni perencana kota dan perencana kawasan lindung dan kawasan konservasi, agar dapat mewujudkan sebuah kota dan kehidupan berkelanjutan. Mekanisme insentif dan disinsentif ekonomi ini diharapkan mengatasi keseimbangan dan guna mengurangi konflik antara masyarakat di perdesaan yang dituduh menghambat perkembangan kota – dan masyarakat kota – yang memikul biaya.

D. Kerangka Penelitian

Menurut Bappeda Provinsi Jawa Barat (1998), perkembangan KBU tidak dapat dilepaskan dari perkembangan Kota Bandung. Kota Bandung lahir tahun 1906, dengan konsep “Garden City” yang pertama kali diformulasikan oleh

(8)

Ebenezer Howard kemudian diterapkan oleh Thomas Karsten dalam mendesain Kota Bandung. Sebagai Kota awal abad 20-an, yang dipengaruhi oleh konsep Kota di Eropa dan Amerika abad 19, Kota Bandung memiliki satu pusat kota (monocentric). Permukiman berada di luar zona pusat kota, dan di luar zona permukiman adalah zona pertanian, perkebunan dan kemudian diikuti zona lahan hutan sebagai pen-supply makanan dan serat ke kota. Zona pertanian dan kawasan hutan merupakan KBU dewasa ini.

Sejalan dengan pertumbuhan kota, maka zona permukiman dan pusat-pusat pertumbuhan kota berkembang ke luar dan bergerak ke arah KBU. Kecenderungan ini mulanya diawali pembangunan hotel-restoran Bumi Sangkuriang serta perluasan Kampus ITB, kemudian diikuti oleh perkembangan kawasan-kawasan permukiman berskala cukup besar dan fasilitas perkotaan lainnya. Kemudian kondisi ini secara legal formal didukung oleh penataan ruang yang mengarahkan beberapa kawasan menjadi pusat pertumbuhan di KBU.

Berdasarkan kondisi tersebut, maka Kota Bandung tidak lagi monocentric yang berpusat di Kota Bandung (sekitar Alun-Alun Bandung), namun telah berkembang menjadi multicentric, termasuk di KBU yang dalam konsep kota lama sebagai lahan pertanian dan lahan hutan, yang mana dewasa ini di KBU telah berkembang pusat-pusat pertumbuhan. Berdasarkan model Von Thünen’s, penggunaan lahan (land use) akan tergantung jarak dari pusat kota (pertumbuhan). Jarak ini mencerminkan biaya transportasi, semakin jauh dari pusat-pusat pertumbuhan (kota), maka akan semakin mahal biayanya. Jarak dari pusat kota juga akan mempengaruhi harga sewa tanah atau harga tanah, semakin dekat dengan pusat kota, maka harga sewa tanah atau harga tanah akan semakin mahal.

Berdasarkan karakter kekotaannya, maka kurva bid-rent di setiap pusat pertumbuhan KBU diperkirakan akan mengikuti kurva pada Gambar 1 (bagian 1). Berdasarkan gambar tersebut, guna lahan ditentukan oleh kemampuan pengguna lahan membayar sewa lahan pada fungsi ekonomi yang berbeda seperti pasar eceran, industri dan permukiman. Lokasi optimal berada di distrik pusat bisnis (CBD) karena memiliki aksesibilitas tertinggi. Dengan asumsi kondisi ruang adalah isotropik, maka penggabungan (overlapping) kurva bid rent (bagian 2 Gambar 1) dari semua aktivitas ekonomi perkotaan dalam suatu pola guna lahan memusat (concentric) menghasilkan peruntukan lahan bagi pasar eceran di CBD,

(9)

industri/ komersil pada ring berikutnya, apartemen dan kemudian rumah tunggal biasa di ring terakhir. Pada dunia nyata keadaan seperti psiografi (perbukitan), sejarah dan sosial akan mempengaruhi kurva bid rent tersebut.

Gambar 1. Kurva Bid-Rent Penggunaan Lahan Sampai Batas Pusat Pertumbuhan Ketika kota tumbuh dan berkembang, lokasi yang lebih jauh dari pusat kota akan digunakan, membuat biaya sewa untuk lahan yang memiliki aksesibilitas tinggi menjadi meningkat, sehingga terjadi peningkatan kepadatan dan produktivitas. Keadaan ini secara umum menggambarkan di wilayah tersebut terjadi pengusiran (expulsing) berbagai aktivitas yang kurang produktif ke luar pusat kota oleh aktivitas yang lebih produktif. Hal ini diperkirakan terjadi di setiap pusat pertumbuhan KBU, sehingga secara agregat akan mendorong permukiman meng-okupasi guna lahan pertanian dan kawasan lindung di seluruh KBU. Pergeseran penggunaan lahan tersebut disebabkan karena terjadi pergeseran margin intensif dan margin extensive lahan.

Bentuk regulasi arahan pengendalian penggunaan lahan berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 terdiri atas peraturan zonasi, perizinan, insentif dan disinsentif, dan pemberian sanksi. Mekanisme insentif dan disinsentif dimaksudkan sebagai bentuk pengaturan untuk mendorong pemanfaatan ruang yang sejalan dengan tata ruang dan pengendalian pembangunan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang. Namun demikian pengaturan tersebut sering bersifat

Rente Lahan

A-Pasareceran

Jarak dari pusat Kota Pusat kota Rente Lahan B- Industri C-Apartemen D- Rumah tinggal biasa

(10)

command and control, sehingga sering terjebak pada mekanisme administratif yang pada akhirnya juga menjadi tidak efektif.

Dalam menahan pergeseran margin intensif dan ekstensif tersebut melalui mekanisme kompensasi yakni mekanisme transfer of development right/bentuk pembangunan lain atau melalui dengan peniadaan hak membangun melalui pembelian hak membangun dari pemilik atau pengguna lahan (model PDR), atau menjual jasa lingkungan dari lahannya (model PES.) Dalam konsep PDR dan PES, maka pemilik lahan dapat menjual hak membangunnya secara sukarela baik dari segi luas arealnya maupun lamanya, sehingga pada luasan dan waktu tertentu dia atas lahan tersebut tidak dilakukan pembangunan atau konversi menjadi areal permukiman atau menjual jasa lingkungan dari aktivitas konservasi di lahannya.

Berdasarkan mekanisme tersebut, diharapkan RTRWP Jawa Barat dapat diimplementasikan di KBU yakni dengan mengalokasikan kawasan KBU sebagai kawasan lindung 87%. Sebagai ukuran kinerja implementasi tata ruang di KBU tersebut adalah terjaminnya fungsi lindung KBU terutama dalam pengaturan tata air dan hidrologi. Oleh karena itu tingkat efektivitas penerapan PDR dan PES diukur dari nilai manfaat hidrologi. Secara skematis kerangka penelitian yang direncanakan sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 2.

E. Kebaruan (Novelty)

1. Kebaruan (fokus penelitian) dalam mengungkap besarnya nilai PDR dan PES sebagai model pemberian insentif dalam mencegah terjadinya perubahan penggunaan lahan dan mendorong terjadinya perilaku konservasi dari pengguna lahan sesuai dengan arahan RTRW Provinsi sebagai kawasan lindung dengan mempertimbangkan struktur ruang kota yang meliputi hirarki, sistem penggunaan lahan kota, diferensiasi penggunaan lahan dan tingkat transformasi penggunaan lahan.

2. Kebaruan keilmuan terkini (advance) karena fokus penelitian, berdasarkan review hasil-hasil penelitian sebelumnya, menghasilkan fakta belum adanya penelitian mengenai penentuan besarnya nilai hak membangun (development right) dalam mekanisme PDR dan besarnya harga sewa bagi penanam pohon dalam mekanisme PES dengan mempertimbangkan struktur ruang kota dalam konteks penentuan besarnya insentif pengendalian pemanfaatan ruang.

(11)

Gambar 2. Kerangka Penelitian BARAT TAHUN 2003: - 45 % KL - 55 % KB PENYESUAIAN RTRW KBU DENGAN RTRW P JAWA BARAT Zona Guna Lahan Kajian Nilai Lahan di KBU Milik Penetapan Nilai PDR Kajian Struktur Ruang KBU Hirarki Kota KBU Pola Ruang KBU Diferensiasi Guna Lahan Kawasan Lindung Kawasan Hutan produksi Kajian Manfaat Hidrologia di KBU Lahan Publik Nilai Harapan Tanah Pertanian Nilai Harapan Tanah Hutan Daur Optimum Penetapan Nilai PES Surplus

konsumen Nilai Jasa hidrologi

NPV Jasa Hidrologi Efektivitas Implementasi RTRWP Jawa Barat di KBU

Gambar

Tabel 1. Penyebaran Luas Kawasan Lindung Dalam Memenuhi Perda No.2/ 2003  Propinsi Jawa Barat
Gambar 1. Kurva Bid-Rent Penggunaan Lahan Sampai Batas Pusat Pertumbuhan   Ketika  kota  tumbuh  dan  berkembang,  lokasi  yang  lebih  jauh  dari  pusat  kota  akan  digunakan,  membuat  biaya  sewa  untuk  lahan  yang  memiliki  aksesibilitas  tinggi  me
Gambar 2. Kerangka Penelitian BARAT  TAHUN 2003: -  45 % KL -  55 % KB PENYESUAIAN RTRW KBU DENGAN  RTRW P JAWA BARAT  Zona  Guna  Lahan Kajian Nilai Lahan di KBU Milik  Penetapan  Nilai PDR   Kajian Struktur Ruang KBU Hirarki Kota KBU Pola Ruang KBU Difer

Referensi

Dokumen terkait

Penggunaan lahan yang bersifat dinamis serta pertumbuhan jumlah penduduk baik secara alamiah maupun migrasi mendorong untuk dilakukan perencanaan dan pemantauan pemanfaatan

Menemukan faktor utama yang mempengaruhi terjadinya kesenjangan antarwilayah di Kabupaten Bojonegoro

keagamaan sertakelompok binaan dan mitra kerja serta pemberian pelatihan dan keterampilan bagi masyarakat. Distribusi aset tersebut mampu meningkatkan dan menumbuhkan

Keterbatasan lahan pada saat ini mendorong pembangunan perumahan tidak memperhatikan lahan yang akan di dirikan suatu bangunan layak atau tidak, bagus ataupun sebaliknya,

terjadinya degradasi lahan karena pemanfaatan lahan yang tidak seharusnya. Berikut data pertumubuhan penduduk pada dua kecamatan yang ada di

pengaruh perubahan tataguna lahan terhadap debit kawasan yang dapat menyebabkan terjadinya limpasan permukaan yang akan menjadi bencana banjir di Aceh Utara. Partisipasi

Besarnya pemberian kredit dan jaminan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada individu/kelompok usaha yang terkait dengan bank telah mendorong tingginya resiko kredit

Adapun untuk fokus atau batasan-batasan materi dalam penelitian ini adalah menganalisa mengenai persebaran guna lahan dan potensi wilayah serta sektor basis di bagian