• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKSEPSI KOMPETENSI RELATIF DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PERADILAN AGAMA. Drs. H. Masrum M Noor, M.H EKSEPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EKSEPSI KOMPETENSI RELATIF DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PERADILAN AGAMA. Drs. H. Masrum M Noor, M.H EKSEPSI"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

EKSEPSI KOMPETENSI RELATIF

DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PERADILAN AGAMA Drs. H. Masrum M Noor, M.H

I EKSEPSI

Eksepsi (Indonesia) atau exceptie (Belanda) atau exception (Inggris) dalam istilah hukum acara adalah tangkisan atau bantahan Tergugat terhadap suatu gugatan dalam persidangan di pengadilan sebagai jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara, tetapi mengenai formalitas gugatan. Eksepsi diajukan oleh Tergugat dengan harapan Hakim tidak akan melanjutkan pemeriksaan terhadap pokok perkara dan menjatuhkan putusan tidak berwenang mengadili atau tidak dapat menerima gugatan (Niet Onvankelijk Verklaard).

Secara garis besar eksepsi dapat dibedakan menjadi dua macam:

1. Eksepsi kompetensi: yaitu eksepsi Tergugat yang berhubungan dengan kewenangan mengadili. Eksepsi kewenangan ini terdiri dari dua macam: a. Eksepsi kompetensi absolut;

b. Eksepsi kewenangan relative.

2. Eksepsi prosessual (non kompetensi): yaitu eksepsi Tergugat yang berhubungan dengan proses beracara di pengadilan, seperti: eksepsi terhadap surat kuasa yang tidak sah, eksepsi terhadap gugatan yang cacat formal karena error in persona, ne bis in idem, obscuur libel dan lain-lain.

Eksepsi kompetensi absolut dapat diajukan oleh Tergugat kapan saja selama proses pemeriksaan di Pengadilan Agama masih berlangsug dan sebelum putusan dijatuhkan, sesuai sebagaimana ketentuan dalam Pasal 134 HIR yang menyatakan: “Jika suatu perkara itu tidak masuk kekuasaan Pengadilan Negeri (baca Pengadilan Agama), maka pada setiap waktu dalam pemeriksaan perkara itu dapat diminta supaya

(2)

Hakim manyatakan dirinya tidak berkuasa dan Hakimpun wajib pula mengikutinya karena jabatannya”

Bahkan andaipun Tergugat tidak mengajukan eksepsi terhadap kompetensi absolut, tetapi apabila Hakim mengetahui, bahwa jenis perkara yang sedang diperiksa nyata-nyata bukan termasuk dalam kewenangannya, maka menurut pasal tersebut Hakim karena jabatannya (ex-officio) juga harus menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili. Hal tersebut secara tegas juga dinyatakan dalam Pasal 132 Rv (Hukum Acara Perdata bagi orang Eropa dan Timur Asing yang berada di Indonesia): “Dalam hal Hakim tidak berwenang karena jenis perkaranya, maka ia meskipun tidak diajukan tangkisan tentang ketidak wenangannya, karena jabatannya wajib menyatakan dirinya tidak berwenang”.

Sedangkan eksepsi kompetensi relative dan eksepsi prosessual harus diajukan pada sidang pertama bersamaan pada saat mengajukan jawaban pertama terhadap materi pokok perkara. Apabila eksepsi tersebut (eksepsi selain eksepsi kompetensi absolut) tidak diajukan bersamaan pada saat mengajukan jawaban, maka Tergugat tidak mempuntai hak lagi untuk mengajukan eksepsi dimaksud. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan di dalam Pasal 125 ayat (2) dan Pasal 133 HIR yang berbunyi sebagai berikut: - Pasal 125 ayat (2) HIR: “Akan tetapi jika Tergugat di dalam surat jawabannya yang tersebut pada pasal 121 mengemukakan perlawanan (exsepstie), bahwa Pengadilan Negeri tidak kuasa memeriksa perkaranya, maka meskipun ia sendiri atau wakilnya tidak hadir, Ketua Pengadilan Negeri wajib memberi kaputusan tentang perlawanan itu, sesudah didengarnya Penggugat dan hanya jika perlawanan itu tidak diterima, maka Ketua Pengadilan Negeri memutuskan tentang perkara itu”.

- Pasal 133 HIR: “Jika Tergugat dipenggil menghadap Pengadilan Negeri sedang ia menurut aturan Pasal 118 tidak usah menghadap Hakim maka ia dapat meminta pada Hakim, jika hal itu dimajukan sebelum sidang pertama, supaya Hakim menyatakan bahwa ia tidak berkuasa; surat gugat itu tidak akan diperhatikan lagi, jika Tergugat telah melahirkan sesuatu perlawanan lain”.

(3)

Adapun cara menyelesaikan eksepsi kompetensi (absolut dan relatif) adalah diperiksa dan diputus sebelum memeriksa pokok perkara. Jika eksepsi ditolak dituangkan dalam putusan sela yang amarnya berbunyi sebagai berikut:

1. Menolak eksepsi Tergugat;

2. Menyatakan Pengadilan Agama berwenag mengadili perkara tersebut; 3. Memerintahkan kedua belah pihak melanjutkan perkaranya;

4. Menangguhkan tentang biaya perkara hingga putusan akhir.

Sedangkan apabila eksepsi dikabulkan, maka dituangkan dalam putusan akhir yang amarnya berbunyi sebagai berikuit:

1. Mengabulkan eksepsi Tergugat;

2. Menyatakan Pengadilan Agama tidak berwenang mengadili perkara tersebut; 3. Membebankan biaya perkara kepada pihak berperkara.

II

KOMPETENSI PENGADILAN AGAMA

Kompetensi (Indonesia) atau competentie (Belanda) ialah kewenangan atau kekuasaan Pngadilan dalam menerima, memeriksa dan mengadili perkara untuk menegakkan hukum dan keadilan. Pengadilan Agama memiliki dua kompetensi; yakni kompetensi absolut dan kompetensi relative.

A. Kompetensi absolut Pengadilan Agama:

Yang dimaksud kompetensi absolut Pengadilan Agama ialah kewenangan Pengadilan Agama tentang jenis dan macam perkara apa saja yang boleh diterima, diperiksa dan diadili. Kompetensi absolut atau juga disebut kewenangan mutlak Pengadilan Agama telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, sebagai berikut:

(4)

“Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam dibidang:

a. Perkawinan;

b. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum islam;

c. Wakaf dan shadaqah”.

2) Pasal 49 UU Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan penjelasannya:

“Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang: a. Perkawinan; b. Waris; c. Wasiat; d. Hibah; e. Wakaf; f. Zakat; g. Infaq; h. Shadaqah; dan i. Ekonomi syari’ah”.

3) Pasal 52 A UU Nomor 3 Tahun 2006:

“Pengadilan Agama memberikan itsbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun hijriyah”.

4) Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 junto Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 junto Pasal 32 KHI. tentang penetapan adlolnya wali nikah serta penunjukan wali hakim.

5) Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah: a. Pasal 24 ayat (2):

“Dalam hal suami menolak untuk membacakan dan menandatangani sighat taklik, isteri dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan agar dilakukan Sighat Taklik”;

(5)

“Perubahan yang menyangkut biodata suami, isteri ataupun wali harus berdasarkan kepada putusan Pengadilan pada wilayah yang bersangkutan”. B. Kompetensi Relatif Pengadilan Agama:

Kompetensi relative Pengadilan Agama adalah kewenangan (kekuasaan) mengadili antar sesama Pengadilan Agama berdasarkan wilayah hukumnya. Wilayah hukum atau yurisdiksi Pengadilan Agama sama dengan wilayah Kabupaten atau Kota dimana Pengadilan Agama tersebut berada. Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989 jo Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 2006 menyatakan: “Pengadilan Agama berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/Kota”. Kompetensi relative ini sangat penting bagi pencari keadilan (yustisiabelen) untuk dapat menentukan secara benar di Pengadilan Agama mana perkaranya atau gugatannya harus diajukan dan untuk menentukan Pengadilan Agama manakah yang berwenang mengadili suatu perkara, Apakah Pengadilan Agama tempat tinggal Penggugat ataukah Pengadilan Agama tempat tinggal Tergugat.

Prinsip kompetensi relative dalam perkara perdata secara umum diatur dalam Pasal 118 HIR, dengan asas: “yang berwenang mengadili adalah Pengadilan Tempat tinggal atau tempat kediaman Tergugat”. Asas ini dalam bahasa latin disebut “Actor Sequitur Forum Rei”. Yang dimaksud tempat tinggal adalah di mana seseorang menempatkan pusat kediamannya. Tempat tinggal seseorang dapat dilihat pada alamat yang tercantum dalam Kartu Tanda Penduduk. Sedangkan yang dimaksud tempat kediaman adalah di mana seseorang berdiam senyatanya (Pasal 17 B.W). Apabila seseorang pindah dan tidak meninggalkan alamat barunya dan tempat tinggal atau tempat kediamannya tidak diketahui, maka dia digugat pada Pengadilan tempat tinggalnya yang terakhir.

Namun demikian, dalam asas actor sequitur forum rei ini mengandung perincian sebagaimana tersebut di dalam pasal 118 ayat (2), (3) dan (4) HIR yang singkatnya dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Jika Tergugat lebih dari satu orang, sedang mereka tidak tinggal dalam satu wilayah, gugatan diajukan di pengadilan di tempat tinggal salah seorang dari tempat itu;

(6)

2. Apabila tempat diam dari Tergugat tidak dikenal, lagi pula tempat sebetulnya tidak diketaui, atau jika Tergugat tidak dikenal, maka gugatan diajukan kepada pengadilan di tempat tinggal Penggugat atau salah seorang dari Penggugat

3. Bila dengan surat sah dipilih dan ditentukan suatu tempat berkedudukan, maka penggugat jika ia suka dapat mengajukan gugatan ke pengadilan dalam daerah hukum siapa terletak tempat kedudukan yang dipilih itu.

Sedangkan dalam perkara perceraian, kompetensi relative atau tentang pengadilan mana yang berwenang mengadili perkara perceraian diatur sebagai beriut:

1. Bagi orang-orang yang beragama non islam atau suami-isteri yang nikahnya dilaksanakan tidak di hadapan PPN/KUA, berlaku ketentuan Pasal 20 ayat (1) PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; yakni baik perkara ijin ikrar talak maupun cerai gugat harus diajukan di Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal Tergugat. Artinya jika suami yang mengajukan cerai, maka yang berwenang mengadili secara relative adalah Pengadilan Negeri tempat tinggal isteri dan jika isteri yang mengajukan cerai, maka yang berwenang mengadili secara relative adalah Pengadilan Negeri tempat tinggal suami. 2. Bagi orang-orang yang beragama islam atau suami-isteri yang nikahnya

dilaksananakan di depan PPN/KUA, berlaku ketentuan Pasal 66 ayat (2) dan Pasal 73 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama; yakni untuk perkara ijin ikrar talak harus diajukan di Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal Termohon, sedangkan untuk perkara gugat cerai harus diajukan di Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal Penggugat . Artinya baik perkara ijin ikrar talak maupun perkara cerai gugat yang berwenang mengadili secara relative adalah Pengadilan Agama tempat tinggal isteri.

III

EKSEPSI KOMPETENSI RELATIF DALAM PERKARA PERCERAIAN Khusus dalam perkara perceraian, eksepsi kompetensi absolut memang hampir tidak ada masalah, sebab apabila perkara perceraian tersebut diajukan oleh suami/isteri

(7)

yang beragama islam yang perkawinannya dilakukan di hadapan PPN/KUA dengan bukti memiliki akta nikah yang diterbitkan oleh KUA, pastilah perkara perceraian tersebut menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama. Demikian juga apabila perkara perceraian diajukan oleh suami/isteri yang perkawinannya dilakukan tidak dihadapan PPN/KUA, sehingga ia tidak memiliki akta nikah produk KUA, pastilah Pengadilan Agama akan secara ex-officio menyatakan dirinya tidak berwenang, walaupun tidak ada eksepsi dari Tergugat.

Akan tetapi berbeda dengan eksepsi kompetensi relative dalam perkara perceraian. Pada umumnya untuk menentukan apakah suatu Pengadilan Agama memiliki kompetensi secara relative terhadap suatu perkara perceraian, ada yang masih menerapkan Pasal 125 ayat (2) dan Pasal 133 HIR, yakni bahwa Pengadilan Agama manapun harus menyatakan dirinya berwenang mengadili apabila tidak ada eksepsi dari Termohon/Tergugat. Artinya eksepsi kompetensi relative dalam perkara perceraian tetap harus ada dan harus diajukan oleh Tergugat dalam sidang pertama bersamaan pada saat jawaban pertama. Apabila Termohon/Tergugat tidak mengajukan eksepsi atau eksepsi tersebut tidak diajukan bersamaan dengan jawaban pertama, maka Pengadilan Agama harus tetap menganggap dirinya berwenang mengadili.

Sedangkan sebagian Hakim Pengadilan Agama yang lain dalam menentukan kompetensi relative dalam perkara perceraian, tidak lagi menerapkan Pasal 125 ayat (2) dan Pasal 133 HIR, tetapi menerapkan ketentuan Pasal 66 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 1989 untuk perkara Ijin Ikrar Talak atau cerai talak dan Pasal 73 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989 untuk perkara perceraian atau gugat cerai, yakni bahwa dalam perkara perceraian tidak diperlukan adanya eksepsi kompetensi relatif. Apabila perkara cerai talak diajukan di Pengadilan Agama tempat tinggal Pemohon, tanpa ada alasan “Termohon meninggalkan tempat tinggal kediaman bersama tanpa ijin Pemohon”, maka Pengadilan Agama tersebut secara ex-officio harus menyatakan dirinya tidak berwenag mengadili. Dekimian juga apabila perkara cerai gugat diajukan di Pengadilan Agama tempat tinggal Tergugat tanpa ada alasan “Penggugat meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa ijin Tergugat”, maka Pengadilan Agama tersebut secara ex-officio harus menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili. Tanpa harus ada eksepsi dari Termohon atau Tergugat.

(8)

Beberapa permasalahan eksepsi kompetensi relative dalam perkara perceraian yang sering terjadi di Pengadilan Agama antara lain dapat disimulasikan sebagai berikut:

1. Suami mengajukan permohonan cerai talak di Pengadilan Agama tempat tinggal Pemohon (sebut saja Pengadilan Agama “A”). sedangkan alamat atau tempat kediaman Termohon diketahui dengan jelas berada di wilayah Pengadilan Agama lain (sebut saja Pengadilan Agama “B”). Dengan alasan tidak ada eksepsi dari Termohon, maka Pengadilan Agama “A” menyatakan dirinya berwenang mengadili perkara cerai talak tersebut.

2. Isteri mengajukan gugatan cerai di Pengadilan Agama tempat tinggal isteri (sebut saja Pengadilan Agama “A”), padahal isteri tersebut yang meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa ijin suaminya (Tergugat) yang berada di wilayah Pengadilan Agama Lain (sebut saja Pengadilan Agama “B”). Dengan alasan tidak ada eksepsi dari Tergugat, Pengadilan Agama “A” menyatakan berwenang mengadili perkara gugat cerai tersebut.

3. Ada pasangan suami-isteri yang telah pisah tempat tinggal kediaman bersama dalam waktu yang cukup lama. Suami tinggal di serang, sedang isteri tinggal di Tangerang. Suami mengajukan permohonan cerai talak di Pengadilan Agama Serang. Pada saat sidang pertama, Hakim meminta persetujuan kepada isteri (Termohon) untuk mengadili perkaranya tersebut di Pengadilan Agama Serang. Berdasarkan persetujuan Termohon, Hakim menyatakan berwenang mengadili perkara tersebut.

4. Dalam kasus angka 3 di atas, Termohon (isteri) datang dalam persidangan tahab mediasi (Perma No. 1 Tahun 2008, sidang tersebut tidak dihitung sebagai tahapan sidang pemeriksaan perkara). Kemudian dalam sidang tahap jawaban (sidang pertama), Termohon tidak pernah datang lagi hingga sidang pembacaan putusan. Berdasarkan alasan Termohon tidak mengajukan eksepsi pada saat hadir di persidangan mediasi, Hakim Pengadilan Agama Serang menyatakan berwenang mengadili perkara tersebut.

Dalam Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, edisi revisi 2013, halaman 67-68, huruf (d) angka 2) dan 3) menegaskan:

(9)

“2) Jika Tergugat pada hari sidang pertama tidak mengajukan tangkisan (eksepsi) tentang kewenangan mengadili secara relatif, Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah tidak beleh menyatakan dirinya tidak berwenang (Pasal 133 HIR/159 R.Bg).

3) eksepsi mengenai kewenangan relative harus diajukan pada sidang pertama”.

Memang benar, tetapi harus difahami, bahwa yang dimaksud oleh Buku II tersebut adalah ketentuan menganai kompetensi relative dalam perkara perdata secara umum (perkara non perceraian), sedangkan tentang kompetensi relatif dalam perkara perceraian telah diatur secara spesifik di dalam Pasal 66 ayat (2) dan Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 66 ayat (2): “Permohonan sebagaimana yang dimaksud ayat (1) diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman

Termohon, kecuali apabila Termohon dengan sengaja

meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa ijin Pemohon”.

Pasal 73 ayat (1): “Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman

Penggugat, kecuali apabila Penggugat dengan sengaja

meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa ijin Tergugat”. Kedua pasal tersebut telah secara tegas dan limitative menetapkan, bahwa baik perkara cerai talak maupun perkara cerai gugat adalah wewenang Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri (Termohon/Penggugat) kecuali isteri tersebut dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa ijin suaminya (minggat/kabur). Apabila isteri tidak kabur atau tidak minggat atau perginya meninggalkan tempat kediaman bersama atas ijin suaminya, maka baik perkara ijin ikrar talak maupun perkara cerai gugat harus diajukan di Pengadilan Agama tempat tinggal isteri. Dengan demikian Pengadilan Agama tempat tinggal suami harus menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili terhadap perkara yang diajukan kepadanya tanpa ada

(10)

alasan isteri kabur atau minggat. Jika tidak demikian berarti Pengadilan Agama tersebut telah mengadili perkara yang bukan berada dibawah kewengannya.

Menurut hemat Penulis, Pasal 66 ayat (2) dan Pasal 73 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 adalah acara yang secara khusus dan merupakan leg spicialis dari ketentuan umum tentang eksepsi kompetensi relative. Dalam perkara perceraian, Pengadilan Agama semestinya tidak perlu menunggu terlebih dahulu ada atau tidaknya eksepsi dari pihak Tergugat/Termohon. jika ada perkara permohonan ikrar talak yang diajukan oleh suami di Pengadilan Agama tempat tinggalnya sendiri, padahal menurut Pasal 66 ayat (2) seharusnya perkara tersebut diajukan di Pengadilan Agama tempat kediaman isterinya, maka secara ex-officio Pengadilan Agama tersebut harus menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili. Demikian juga apabila ada perkara gugat cerai diajukan oleh isteri di Pengadilan Agama tempat tinggal suaminya, padahal menurut Pasal 73 Ayat (1) seharusnya perkara tersebut diajukan di Pengadilan Agama tempat kediamannya sendiri, maka secara ex-officio Pengadilan Agama tersebut juga harus menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili.

Keharusan adanya eksepsi terhadap kompetensi relative berdasarkan Pasal 125 (2) dan Pasal 133 HIR adalah merupakan ketentuan dalam hukum acara perdata pada umumnya diluar perkara perceraian. Sedangkan untuk perkara perceraian kiranya ketentuan tersebut telah diganti dengan klausula: “kecuali apabila Termohon sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa ijin Pemohon” yang terdapat dalam Pasal 66 ayat (2) UUPA dan kalusula : “Kecuali apabila Penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin Tergugat” yang terdapat dalam Pasal 73 ayat (1) UUPA, sehingga untuk menentukan apakah suatu Pengadilan Agama berwenang atau tidak berwenang mengadili secara relative dalam perkara perceraian, tidaklah tergantung dengan ada atau tidaknya eksepsi, tetapi apakah terpenuhi unsur-unsur dari klausula tersebut.

Tegasnya, apabila ada suami mengajukan ijin ikrar talak di Pengadilan Agama bukan tempat kediaman isterinya (Termohon), maka suami dalam surat permohonannya harus mempunyai alasan, bahwa isterinya meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa seijin dirinya. Demikian pula jika ada isteri yang menggugat cerai di Pengadilan Agama bukan Tempat kediamannya sendiri (Penggugat), maka isteri tersebut harus

(11)

mempunyai alasan, bahwa dirinya telah meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa ijin suaminya. Hakim tidak dibenarkan serta merta menyatakan berwenang mengadili dengan alasan tidak ada eksepsi dari Termohon/Tergugat, karena dalam perkara perceraian tidak diperlukan eksepsi.

Persoalan bagaimana jika suami dan isteri sepakat atau tidak keberatan terhadap perkara perceraiannya diselesaikan di Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau isteri berdasarkan ketentuan dalam Pasal 118 ayat 4 HIR yang berbunyi: “Bila dengan surat sah dipilih dan ditentukan suatu tempat berkedudukan, maka Penggugat, jika ia suka dapat memasukkan surat gugat itu kepada Ketua Pengadilan Negeri (baca Pengadilan Agama) dalam daerah hukum siapa terletak tempat kedudukan yang dipilih itu” juga harus difahami, bahwa ketentuan ini adalah ketentuan umum, sedangkan untuk perkara perceraian di Pengadilan Agama harus diberlakukan ketentuan Pasal 66 ayat (2) dan Pasal 73 ayat (1).

Dalam masalah kompetensi relative ini harus diperhatikan apa yang disebut dengan tauliyah fil qadla’. Teori ini menjelaskan bahwa Hakim hanya dapat menjalankan tugasnya sebagai hakim berdasarkan pelimpahan wewenang dari Kepala Negara atau Undang-Undang. Negara melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah memberi tauliyah dalam hal kompetensi relative dalam perkara perceraian sebagaimana ketentuan dalam Pasal 66 ayat (2) dan Pasal 73 ayat (1) sebagaimana tersebut di atas. Maka semestinyalah Hakim teguh menerapkan pasal-pasal tersebut. Hakim Pengadilan Agama yang tidak melaksanakan Pasal 66 ayat (2) atau Pasal 73 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 tentu dapat dianggap melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang dan dapat dianggap sebagai telah mengadili perkara diluar kewenangannya. Sehingga putusannya tidak sah dan batal demi hukum.

IV KESIMPULAN

(12)

1. Pasal 66 ayat (2) dan Pasal 73 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 adalah merupakan ketentuan khusus dalam menentukan Pengadilan Agama mana yang memiliki kompetensi relatif dalam perkara perceraian;

2. Pengadilan Agama secara ex-officio harus menyatakan tidak berwenang mengadili, jika tidak terpenui ketentuan Pasal 66 ayat (2) atau Pasal 73 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989, tanpa harus ada eksepsi dari Termohon (isteri) atau Tergugat (suami).

REFERENSI

M Yahya Harahap, S.H, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, VIII, Jakarta. 2008; ---, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, edisi

ke II, Sinar Grafika, III, Jakarta, 2003;

Retnowulan Sutanto, S.H, Hukum Acara Perdata dam Teori dan Praktek, Mandar Maju, X, 2005, Bandung;

A Mukti Arto, Mencari Keadilan , Pustaka Pelajar, I, 2001, Yogyakarta;

Mahkamah Agung, Ditjen Badilag, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama (Buku II), edisi revisi, 2013.

Referensi

Dokumen terkait