• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - PENGARUH KEBERSYUKURAN TERHADAP SUBJECTIVE WELL BEING ORANG TUA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH LUAR BIASA YAYASAN KESEJAHTERAAN USAHA TAMA (SLB YAKUT) PURWOKERTO - repository perpustakaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - PENGARUH KEBERSYUKURAN TERHADAP SUBJECTIVE WELL BEING ORANG TUA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH LUAR BIASA YAYASAN KESEJAHTERAAN USAHA TAMA (SLB YAKUT) PURWOKERTO - repository perpustakaan"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan tidak pernah lepas dari kehidupan individu, sebab hakekat

pendidikan adalah membimbing individu dalam meningkatkan martabatnya,

baik melalui jalur pendidikan persekolahan ataupun pendidikan luar sekolah.

Tujuan pendidikan adalah terwujudnya individu ideal atau individu yang

dicita-citakan sesuai nilai-nilai dan norma-norma yang dianut (Suyitno, 2009).

Keluarga, khususnya orangtua mempunyai peran pertama dan utama

dalam menyiapkan pendidikan anak, seperti tercantum dalam Undang-Undang

Sistem Pendidikan Nasional, yaitu UU SPN No. 20 Tahun 2003 pasal 1 dan

pasal 7. Pasal 1 menyatakan bahwa “Sumberdaya pendidikan adalah segala sesuatu yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan yang meliputi

tenaga kependidikan, masyarakat, dana, sarana dan prasarana“. Kata

masyarakat dalam pasal ini, di dalamnya adalah keluarga, baik terlibat

langsung maupun tidak langsung dalam penyelenggaraan pendidikan.

Pasal 7 ayat (1) “Orangtua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan

pendidikan anaknya”. Pada ayat (2) “Orangtua dari anak usia wajib belajar

(2)

tanggung jawab pelaksanaan pendidikan baik dalam persiapan, proses, dan

pelaksanaan dalam berbagai aspek (Purwanta, 2005).

Pemenuhan hak-hak anak termasuk dalam bidang pendidikan harus

diupayakan oleh orangtua, tidak terkecuali bagi anak-anak yang memiliki

kebutuhan khusus karena masa depan anak yang berkebutuhan khusus sangat

tergantung pada orangtua. Hal tersebut membuat orangtua memiliki peran

yang sangat penting dan utama bagi anak berkebutuhan khusus.

Orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus mempunyai

kewajiban memberikan fasilitas dalam menghadapi masa depan termasuk

bidang pendidikan, seperti di dalam pasal 5 Undang-undang No. 2 tahun 1989

tentang sistem pendidikan nasional menyatakan bahwa setiap warga negara

mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan (Ginintasasi,

2009).

Orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus sebaiknya

mengetahui kemampuan dan karakteristik anak sehingga dapat memilih

lingkungan sekolah yang tepat. Sigit (2009) menyatakan bahwa anak-anak

berkebutuhan khusus memerlukan layanan pendidikan spesifik yang berbeda

dengan anak-anak pada umumnya, yakni disesuaikan dengan hambatan

belajar dan hambatan perkembangan oleh masing-masing anak salah satunya

adalah sekolah luar biasa (SLB).

Di Purwokerto, terdapat SLB Yayasan Kesejahteraan Usaha Tama

(3)

Tunarungu dan SLB C Bagian Tunagrahita. Berdasarkan data yang diperoleh

dari bagian Tata Usaha, jumlah siswa anak berkbutuhan khusus tahun

pelajaran 2012/2013 di SLB B sejumlah 79 siswa dan di SLB C sejumlah 105

siswa.

Geniofam (2010) mengemukakan, anak berkebutuhan khusus adalah

anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya

tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik,

yang termasuk kedalam anak berkebutuhan khusus antara lain : tunanetra,

tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan

perilaku, anak berbakat dan anak dengan gangguan kesehatan, autis dan

ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorders). Hal ini menunjukkan

bahwa tidak semua individu dilahirkan sesuai keinginan dan harapan

orangtua, sehingga memiliki akan dampak tersendiri bagi orangtua yang

memiliki anak berkebutuhan khusus.

Hardman (dalam Hidayati, 2011) menyebutkan bahwa memiliki anak

yang berkebutuhan khusus mempengaruhi ibu, ayah, dan semua anggota

keluarga dengan cara yang bervariasi. Rentang dan dinamika emosi yang

terjadi juga bermacam-macam. Tidak ada yang lebih terkena dampak dari

adanya seorang anak berkebutuhan khusus daripada keluarganya sendiri (Fine

& Simpson; Turnbull & Turnbull, dalam Handayani, 2011).

Selain mempunyai tugas dan tanggung jawab yang harus dipenuhi

(4)

berkebutuhan khusus juga mempunyai beban psikologis tersendiri. Somantri

(2006) menguraikan beban psikologis yang dirasakan oleh para orangtua anak

berkebutuhan khusus berupa beban emosional, perasaan kasihan yang

berlebihan, perasaan bersalah, kurang percaya diri, perasaan berdosa, bingung,

dan malu serta masih banyak beban psikologis yang lain.

Seringkali orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus

mempunyai emosi yang negatif. Safaria (2005) mengungkapkan beberapa

reaksi emosi yang sering dialami oleh para orangtua ketika mengetahui

anaknya memiliki kekhususan, seperti shock, penyangkalan dan merasa tidak

percaya, sedih, terlalu melindungi atau kecemasan, menolak keadaan,

perasaan tidak mampu dan malu, marah, perasaan bersalah serta berdosa, dan

ada pula yang merasa bahwa perlu untuk melangkah setahap demi setahap dan

menganggap perjuangan belum berakhir.

Ketika individu merasa memiliki kehidupan yang sejahtera maka

individu akan lebih optimis dalam menyelesaikan masalah-masalah yang

dihadapi. Bentuk kesejahteraan yang dirasakan oleh individu itu sendiri dapat

diistilahkan dengan subjective well being (Compton, 2005). Senada dengan

teori yang dikemukakan Seligman (2005), bahwa ditengah

ketidakberdayaannya, individu dipandang sebagai makhluk yang bisa bangkit

dari segala ketidakberdayaan dan memaksimalkan potensi diri sehingga

dengan berbagai latar belakangnya, individu mampu meraih subjective well

(5)

Subjective well being merupakan evaluasi individu terhadap

kehidupannya sendiri, baik secara afektif maupun kognitif. Individu yang

merasakan subjective well being yang melimpah adalah ketika mengalami

perasaan nyaman yang melimpah dan hanya sedikit perasaan tidak nyaman,

ketika terlibat dalam kegiatan yang menarik dan ketika merasakan banyak

kesenangan dan sedikit rasa sakit, dan ketika puas dengan hidup. Diener

(2000) menambahkan, individu yang memiliki subjective well-being pada

umumnya memiliki sejumlah kualitas hidup yang mengagumkan karena

individu ini akan lebih mampu mengontrol emosinya dan menghadapi

berbagai peristiwa dalam hidup dengan lebih baik.

Penelitian yang dilakukan oleh Putri dan Sutarmanto (2009)

menunjukkan bahwa individu yang memiliki tingkat well being yang tinggi,

dipengaruhi oleh agama, kemakmuran, kepribadian, penerimaan diri,

pengakuan, penerimaan sosial, dan tujuan hidup. Penelitian Erlangga (2012)

mengenai subjective well being pada lanjut usia penghuni panti jompo

memberikan hasil penelitian bahwa subjective well being penting bagi para

lanjut usia karena dengan seseorang memiliki penilaian yang lebih tinggi

tentang kebahagiaan dan kepuasan hidup maka mereka cenderung bersikap

lebih bahagia dan lebih puas.

Berbagai penelitian mengenai subjective well being menemukan

(6)

kepuasan hidup yang lebih besar juga cenderung berperilaku sebagai individu

yang berbahagia dan lebih puas dalam kehidupannya. Orang lain pun,

mempersepsikan individu yang memiliki subjective well being lebih bahagia

dan lebih puas (Ahmad, 2012).

Peneliti melakukan studi pendahuluan dengan melakukan wawancara

terhadap beberapa orangtua anak berkebutuhan khusus di SLB YAKUT

Purwokerto. Subjek melakukan wawancara kepada tiga subjek yakni subjek P,

subjek U, dan subjek M.

Wawancara dilakukan kepada subjek P dilakukan dua kali pada

tanggal 15 Oktober 2012 dan 12 November 2012 di ruang tunggu orangtua

SLB C YAKUT. Perasaan subjek saat pertama kali mengetahui anak subjek

berkebutuhan khusus adalah subjek merasa malu, kasihan, tidak percaya diri,

dan nelangsa. Seiring berjalannya waktu, subjek dapat menerima kondisi anak

subjek, terlebih lagi saat mengingat perjuangan subjek mempertahankan anak

subjek yang sudah dinyatakan meninggal. Namun subjek tetap percaya bahwa

anak subjek belum meninggal, kemudian subjek membawa anak subjek ke

banyak dokter dan rumah sakit hingga sebuah mukzizat anak subjek dapat

hidup kembali pada saat akan dimakamkan. Pengalaman tersebut membuat

subjek menyadari bahwa anak subjek istimewa dan merupakan karunia dari

Allah SWT sehingga harus dijaga dengan baik. Subjek menyadari bahwa

masih ada yang lebih kurang beruntung dari subjek dan sudah sepatutnya bagi

(7)

oleh subjek, subjek menemani anak subjek sekolah sambil berdagang sayuran.

Setelah itu subjek harus melanjutkan pekerjaannya sebagai pembantu rumah

tangga hingga petang. Subjek mengatakan bahwa rutinitas tersebut memang

membuatnya lelah, namun dukungan dari suami subjek dan berkumpul

dengan teman-teman subjek menjadi sumber kekuatan bagi subjek dan

membuat subjek merasa senang.

Kebahagiaan subjek terletak pada kedua anaknya yang spesial bagi

subjek, ada satu momen yang paling disukai subjek dimana membuatnya

merasa senang yaitu pada saat sore hari di hari Minggu dimana keluarganya

berkumpul untuk menonton televisi. Subjek mengatakan meskipun dengan

kondisi saat ini yang serba kekurangan, subjek akan selalu semangat dan tidak

putus asa dalam menjalani kehidupan.

Wawancara dilakukan terhadap subjek U pada tanggal 15 Oktober

2012 bertempat di ruang tamu SLB B YAKUT. Subjek U mengetahui

anaknya berkebutuhan khusus berdasarkan diagnosa dokter pada saat anaknya

berusia dua tahun. Saat pertama kali subjek mengetahui bekebutuhan khusus,

subjek sangat tidak menyangka, subjek merasa sedih, kaget dan bingung

dengan kondisi anaknya. Subjek mengatakan bahwa subjek tidak mengetahui

kesalahan apa yang telah diperbuatnya dahulu sehingga subjek mendapat

cobaan yang berat bagi subjek oleh Tuhan sedangkan yang lain tidak.

Subjek berusaha untuk menuruti semua keinginan anak subjek, jika

(8)

melempar semua barang yang berada di sekitarnya. Ketika subjek tidak

memahami maksud anak subjek, subjek merasa merasa sedih, menyesal, dan

hatinya sakit melihat kondisi buah hatinya. Subjek sering mengeluh kepada

Tuhan apa yang harus subjek lakukan.

Wawancara dilakukan pada tanggal 15 Oktober 2012 dan 23

November 2012 di depan ruang kelas SLB C YAKUT pada subjek M. Subjek

M mengatakan awal anak subjek menjadi seperti sekarang ini adalah dahulu

anak subjek jatuh dari sepeda dan kepala bagian belakang terbentur. Saat

didiagnosis bahwa anak subjek menjadi berkebutuhan khusus, subjek merasa

sedih dan terpukul, subjek menyesali kejadian saat anak subjek jatuh dari

sepeda. Sampai saat ini, subjek masih berusaha menerima keadaan saat ini,

subjek tidak menyangka karena awalnya anak subjek baik-baik saja. Subjek

mengatakan bahwa subjek terkadang menjadi tidak sabar, apalagi ketika

subjek tidak mengetahui keinginan anak subjek. Ketika subjek sedang tidak

sabar, subjek mengatakan bahwa subjek seringkali memarahi anak subjek

maupun orang di rumah.

Subjek menambahkan sebenarnya subjek tidak menginginkan subjek

menjadi suka marah, subjek kasihan dengan kondisi anak subjek namun

subjek tidak tahu harus berbuat apa karena subjek merasa tidak ada yang

dapat dilakukan untuk merubah kondisi kehidupan subjek. Subjek terkadang

mengeluh kepada Tuhan mengapa merubah hidup subjek, subjek berharap

(9)

Berdasarkan hasil studi pendahuluan melalui wawancara terhadap tiga

orang subjek, dapat diketahui gambaran subjective well being masing-masing

subjek yang berbeda. Diener dan Larsen (Erlangga, 2012), menjelaskan

bahwa individu dapat dikatakan memiliki subjective well being yang tinggi

jika individu tersebut seringkali merasakan emosi yang positif seperti penuh

perhatian, tertarik, waspada, bersemangat, antusias, terinspirasi, bangga, kuat

dan aktif. Sesuai dengan teori tersebut subjek P dalam menjalani kehidupan

dengan penuh semangat, selalu merasa senang, dan bahagia.

Subjek U dan subjek M terlihat sering merasakan emosi negatif dan

tidak puas dalam menjalani kehidupannya. Kondisi kehidupan subjek U dan

subjek M lebih sesuai dengan teori yag dikemukakan Cotter dan Fouad

(2011), bahwa individu yang memiliki subjective well being rendah

menunjukan ketidakpuasan terhadap hidup dan lebih sering merasakan emosi

yang negatif seperti sedih, bermusuhan, mudah marah-marah, takut, malu,

bersalah, dan gelisah.

Pada dasarnya subjective well being dipengaruhi oleh berbagai faktor,

baik termasuk faktor demografis atau faktor internal dan faktor lingkungan

atau faktor eksternal (Eddington & Shuman, 2005). Kebersyukuran dapat

dilihat sebagai salah satu faktor internal yang mempunyai nilai positif bagi

individu. Kebersyukuran merupakan karakter atau kekuatan yang sering

muncul, dominan, dan menonjol dibanding kekuatan lainnya (Arbiyah, dkk,

(10)

Kebersyukuran didefinisikan sebagai rasa berterima kasih dan bahagia

sebagai respon penerimaan karunia, baik karunia tersebut merupakan

keuntungan yang terlihat dari orang lain atau pun momen kedamaian yang

ditimbulkan oleh keindahan alamiah (Emmos, 2007). Data di dalam studi

pendahuluan menunjukkan subjek P menganggap anak subjek dan kehidupan

subjek adalah anugrah Tuhan, subjek selalu berterima kasih terhadap Tuhan

atas kehidupan subjek. Sedangkan subjek U dan subjek M yang masih belum

dapat menerima takdir yang diberikan Tuhan atas kehidupan subjek dan selalu

mengeluh kepada Tuhan.

Kebersyukuran merupakan emosi positif yang dapat membuat individu

merasakan hal-hal positif dalam kehidupan, seperti pada penelitian-penelitian

yang telah dilakukan sebelumnya. Penelitian dilakukan oleh Bartlett dan

DeSteno (2006) pada 70 subjek wanita dalam tiga studi memberikan hasil

bahwa kebersyukuran mempunyai kemampuan untuk membentuk perilaku

prososial.

Sedangkan penelitian Wood (2008) yang dilakukan mengenai

kebersyukuran menghasilkan enam kesimpulan. Pertama, individu yang

bersyukur menilai bantuan yang diterima dalam kehidupan sehari-hari lebih

berharga. Kedua, kebersyukuran melibatkan kebiasaan dalam menghargai hal

positif dalam kehidupan. Ketiga, kebersyukuran menunjukkan keterkaitan

dalam menilai kepuasan hidup. Keempat, kebersyukuran dapat menurunkan

(11)

lingkungan. Kelima, individu yang bersyukur menggunakan strategi koping

yang lebih adaptif, ditandai dengan mencari bantuan orang lain dan secara

aktif memilih mengatasi masalah daripada menghindari masalah. Terakhir,

individu yang bersyukur memiliki kualitas tidur yang lebih baik.

Individu yang bersyukur adalah individu yang menerima sebuah

karunia dan sebuah penghargaan, serta mengenali nilai dari karunia tersebut.

Individu yang bersyukur mengidentifikasi diri sebagai individu yang sadar

dan berterima kasih atas anugerah Tuhan, pemberian orang lain, dan

menyediakan waktu untuk mengekspresikan rasa terima kasih (Ahmad, 2012).

Penelitian-penelitian tersebut membuktikan bahwa dengan bersyukur,

individu akan mendapatkan keuntungan secara emosi dan interpersonal. Hal

tersebut dikarenakan kebersyukuran dapat menimbulkan emosi yang positif

seperti ketenangan batin, hubungan interpersonal yang lebih nyaman, dan juga

kebahagiaan. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut

mengenai kebersyukuran dan subjective well being dengan mengadakan

penelitian dalam bentuk skripsi yang dituangkan dalam bentuk judul,

“Pengaruh Kebersyukuran Terhadap Subjective Well Being Orangtua Anak

Berkebutuhan Khusus di Sekolah Luar Biasa (SLB) YAKUT Purwokerto”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah tersebut, adapun

(12)

“Apakah ada pengaruh kebersyukuran terhadap subjective well being orangtua

anak berkebutuhan khusus di Sekolah Luar Biasa (SLB) YAKUT

Purwokerto?”.

C. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui secara

empiris pengaruh kebersyukuran terhadap subjective well being orangtua anak

berkebutuhan khusus di Sekolah Luar Biasa (SLB) YAKUT Purwokerto.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis yaitu menambah khasanah ilmu pengetahuan baru dalam

ilmu psikologi klinis khususnya mengenai kebersyukuran maupun

subjective well being.

2. Manfaat praktis :

a. Bagi SLB YAKUT Purwokerto, diharapkan hasil penelitian dapat

dijadikan sebagai salah satu landasan bagi sekolah untuk mengadakan

kegiatan sebagai sarana dalam memberikan informasi kepada orangtua

anak berkebutuhan khusus SLB YAKUT Purwokerto mengenai

pentingnya meningkatkan subjective well being dan kebersyukuran.

b. Orang Tua Anak Berkebutuhan Khusus, diharapkan hasil penelitian ini

dapat memberikan informasi sehingga orang tua anak berkebutuhan

khusus senantiasa meningkatkan kebersyukuran dan subjective well

(13)

c. Peneliti, melalui penelitian ini peneliti dapat menerapkan ilmu yang

telah didapat selama pendidikan serta dapat meningkatkan

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dibuat suatu komposit dari bahan limbah hasil pertanian, yakni dengan mensintesis silika dari abu sekam padi yang termodifikasi

dasar hukum perbedaan pendapat masing- masing mazhab terkait bentuk-bentuk syirkah , merupakan persoalan yang menarik untuk diteliti sebelum diterapkan dalam konteks

Objek penelitian dipilih member facebook alumni SMA Stella Duce 1 Yogyakarta angkatan 2009, karena memang sesuai dengan target yang disasar, yaitu perempuan yang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi terbaik hidrolisis enzim yaitu pada konsentrasi enzim selulase 5% v/v selama 12 jam pada hidrolisat asam sulfat 1%

Berdasarkan tabel perbandingan indeks produktivitas diatas, model pengukuran marvin e mundel menunjukan terjadinya penurunan indeks produktivitas pada input metal

Penelitian ini ditujukan untuk memperoleh informasih mutu kesegaran ikan roa atau julung-julung yang digunakan sebagai bahan baku ikan asap.. METODE PENELITIAN Tempat

pelatihan sebanyak 20 orang yang terdiri atas pria dan wanita. Kegiatan pengabdian mereka didukung oleh Kecamatan Kraton Kota Yogyakarta dan Dinas Sosial Kota

Data tahap prasiklus, secara terperinci motivasi siswa pada tahap prasiklus (sebelum ada tindakan) dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial dengan materi perkembangan