• Tidak ada hasil yang ditemukan

Representasi ketradisionalan dalam iklan obat dan jamu di televisi : studi kasus pada iklan Tolak Angin, Diapet, Jesscool, Obat batuk cap Ibu dan Anak serta OBH Combi batuk berdahak jahe - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Representasi ketradisionalan dalam iklan obat dan jamu di televisi : studi kasus pada iklan Tolak Angin, Diapet, Jesscool, Obat batuk cap Ibu dan Anak serta OBH Combi batuk berdahak jahe - USD Repository"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

REPRESENTASI KETRADISIONALAN DALAM IKLAN OBAT DAN

JAMU DI TELEVISI

Studi Kasus Pada Iklan Tolak Angin, Diapet, Jesscool, Obat Batuk Cap

Ibu dan Anak serta OBH Combi Batuk Berdahak Jahe

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar

Magister Humaniora (M. Hum) pada Program Magister Ilmu Religi dan

Budaya

Oleh:

Theresia Mutia Hintan E 076322003

Pembimbing: 1. Dr. ST. Sunardi 2.Dr. Katrin Bandel

Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

Kata Pengantar

Terima kasih pada Tuhan Yesus akhirnya thesis ini bisa selesai

juga. Terima kasih pada Bunda Maria yang selalu menemani. Meski

sempat berganti-ganti topik penelitian sebanyak empat kali namun

Syukur Kepada Allah akhirnya thesis berjudul Representasi Ketradisionalan

dalam Iklan Obat dan Jamu: Studi Kasus pada Iklan Tolak Angin, Diapet, OBH

Combi Batuk Berdahak Jahe,Obat Batuk Cap Ibu dan Anak dan Jesscool akhirnya

bisa saya selesaikan guna melengkapi syarat untuk memperoleh gelar

M,Hum di Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta.

Terima Kasih saya ucapkan kepada Suami saya Bima Baransa,

Kedua orang tua saya yang tak pernah lelah member semangat dan doa,

mertua dan juga anak saya Nikola Renata yang sangat pengertian melihat

ibunya sibuk mengerjakan thesis,juga Yudith, Danti,Vega yang membantu

dalam proses editing, dan Tito yang juga ikut membantu saya mendonlot

iklan. Terima Kasih juga saya ucapkan pada Pak Nardi, Bu Katrin dan Bu

Devi yang telah membimbing saya dalam pengerjaan thesis ini,

Rm.Bambang Pr. Dan Rm. Nano Sj yang selalu bertanya kapan lulus. Tak

lupa saya juga mengucapkan banyak Terima Kasih pada Mba Henkie,

Mba Wiwin Sutimmy dan teman-teman diskusi saya Boy Nugroho,

Anzib, Arta,Via, Novel, Yeshi dan Endah J‟bol, Eddy Koh,Rizky Hasan

juga Danu Primanto.Terima Kasih atas semangat dan Doa yang kalian

berikan.

Harapan saya karya ilmiah ini dapat menambah khasanah dalam

(7)

ABSTRAKSI

Kecenderungan masyarakat untuk kembali pada yang alami atau back to nature ternyata dimanfaatkan oleh para produsen obat dan jamu untuk membuat iklan yang di dalamnya merepresentasikan ketradisionalan. Penelitian ini ingin melihat bagaimana iklan obat dan jamu yang ditayangkan di TV merepresentasikan ketradisionalannya, dan teknik apa yang dilakukan untuk merepresentasikan ketradsionalan dalam iklan.

Penelitian ini melihat tujuh iklan obat dan jamu yang ditayangkan baik itu di televisi lokal maupun nasional. Ketujuh iklan itu adalah: 1) Tolak Angin Versi Trully Indonesia, 2) Tolak Angin Versi Indonesia Memang Hebat, 3) Diapet Versi Rebus Daun Jambu Biji, 4). Diapet Versi Pematung Bali, 5) Jesscool, 6) Obat Batuk Cap Ibu dan Anak dan terakhir 7) OBH Combi Batuk Berdahak Jahe.

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kealamian dan kepraktisan produk selalu ditonjolkan dalam iklan guna menarik khalayak. Sedangkan representasi ketradisionalan ditampilkan dalam berbagai teknik, mulai dari busana hingga menyetarakan produk jamu dan obat tersebut dengan jamu tradisional. Ketujuh iklan yang dianalisis dalam penelitian ini semuanya terkesan menanamkan kecintaan pada tradisi pengobatan nenek moyang di benak pemirsa/khalayak dengan harapan pemirsa/khalayak akan terbujuk untuk membeli produk mereka. Sehingga di sini bukan lagi sekedar membeli obat yang meringankan

suatu gejala penyakit, namun juga citra diri sebagai “nasionalis” atau

(8)

ABSTRACT

Society‟s tendency to go natural or back to nature apparently is used

by the producer of drugs and herbs to make a commercial that presents traditionality. This research is trying to see how drugs and herbs advertisements on TV present its traditionality, and what techniques are used in presenting it.

This research observes seven drugs and herbs advertisements aired on local or national TV. Those seven advertisements are: 1) Tolak Angin Version of Trully Indonesia, 2) Tolak Angin Version of Indonesia Memang Hebat, 3) Diapet Version of Rebus Daun Jambu Biji, 4). Diapet Version of Pematung Bali, 5) Jesscool, 6) Cough Medicine Ibu dan Anak Brand, and last one 7)OBH Combi Batuk Berdahak Jahe.

From the result of research, it can be concluded that naturality and practicality of the product are always emphasized on the advertisement to persuade the people. Meanwhile the representation of traditionality is performed in various of techniques, starting from the clothing to a way in equalizing those drugs and herbs products with the traditional herbs. Seven advertisements analyzed in this research have impression in loving

the tradition of the ancient treatment in the people‟s mind with

expectation so that people will be persuaded to buy their products. So

(9)

Daftar Isi

Persetujuan Pembimbing……… i

Pengesahan ………. ii

Pernyataan ………. iii

Persetujuan Publikasi ……… iv

Kata Pengantar……… v

Abstraksi………. vi

Abstract ……….. vii

Daftar Isi……….. viii

Bab I Pendahuluan……… 1

1. Latar Belakang……… 1

2. Rumusan Masalah……… 7

3. Tujuan Penelitian……….. 7

4. Manfaat Penelitian……… 8

5. Studi Pustaka………. 8

6. Kerangka Pikir……… 19

7. Metode Penelitian……….. 25

8. Sistematika Penulisan ……….. 29

Bab II Potret Industri Farmasi dan Jamu di Indonesia ……….. 31

1. Perkembangan Sejarah Obat Sebagai Pendahuluan ………. 31

1.1. Obat Nabati ……… 31

1.2. Munculnya Obat Kimiawi ………..………. 32

2. Perkembangan Industri Farmasi di Indonesia ………..………. 33

3. Konimex Pelopor Industri Farmasi dari Solo ……….………. 36

(10)

4. Perkembangan Industri Jamu di Indonesia……….. 39

Bab III Analisis Visual Terhadap Tujuh Iklan Obat dan Jamu…… 54

1. Merasakan Kembali Apa yang dilihat dalam Iklan……… 54

2. Membangkitkan Nasionalisme dan Kebanggaan akan Kesenian Daerah………. 55

3. Menampilkan Keindonesiaan Sebagai Daya Tarik Iklan………... 61

4. Menawarkan Kepraktisan dalam Jamu yang dikemas Secara Modern ……… 68

5. Lokal yang Modern ……… 70

6. Ketradisionalan yang dikemas Secara Praktis dan Modern………. 72

7. Kepraktisan yang Mempesona ………. 76

8. Ramuan Tradisional Dalam Kemasan Modern ………. 78

9. Penutup ……….. 80

Bab IV Menguak Mitos Ketradisionalan Dalam Tujuh Iklan Obat dan Jamu……… 81

1. Simbol-Simbol Dominan yang dipakai Dalam Iklan ……… 83

1.1. Busana yang dikenakan Para Tokoh Dalam Iklan……… 84

1.2. Tari-Tarian Tradisional ……… 85

1.3. Hasil dari Seni Tradisional ……….. 85

2. Teknik Representasi ……….. 87

(11)

iii

4. Kesimpulan……….. 96

Bab V Penutup……… 98 Daftar Pustaka………. 102

Lampiran

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Perubahan gaya hidup masyarakat modern untuk kembali pada

yang alami ternyata membawa perubahan bagi pasar obat herbal

(tradisional). Obat-obat kimia yang diproduksi dengan teknologi tinggi1

diyakini memiliki dampak negatif bagi kesehatan terlebih jika dikonsumsi

untuk jangka waktu yang panjang. Karenanya akhir-akhir ini ada

kecenderungan bagi masyarakat untuk beralih ke produk-produk herbal

yang dinilai relatif lebih aman. Hal ini karena obat herbal tidak

mengandung bahan kimia. Tidak mengherankan jika pasar obat herbal

mengalami lonjakan yang cukup signifikan.

Prosentase pertumbuhan obat herbal dari tahun ke tahun terus

meningkat dan berada di atas rata-rata pertumbuhan obat modern.

Mengutip data GP 2Farmasi tahun 2003 misalnya, pasar obat modern

sebesar tujuh trilyun rupiah, sedangkan obat herbal dua trilyun rupiah.

Pada tahun 2005, pasar obat modern meningkat pada angka Rp. 21, 3

trilyun atau naik 25%, sedangkan obat herbal mencapai Rp.2,9 trilyun,

atau naik sebesar 45%. Tahun 2009 pasar obat modern tumbuh hanya 7%

1

Selanjutnya disebut dengan istilah obat modern

2

(13)

dibandingkan tahun 2008 menjadi Rp.30 trilyun, sedangkan obat herbal

mampu tumbuh 20% menjadi Rp. 5,2 trilyun3.

Pengobatan secara tradisional secara sekilas bisa dikelompokkan

menjadi; 1) Pengobatan tradisional dengan bahan-bahan herbal, 2)

Pengobatan tradisional dengan bahan-bahan yang berasal dari hewan

seperti madu, susu kuda liar, penis harimau, kelelawar dan masih banyak

lagi, dan 3) Pengobatan tradisional dengan kemampuan supranatural.Ada

tiga jenis obat tradisional herbal yang beredar di pasaran saat ini; 1) Jamu:

jamu adalah obat yang diolah secara tradisional, baik dalam bentuk

serbuk, seduhan, pil maupun cairan yang berisi seluruh bagian tanaman.

Pada umumnya jamu dibuat berdasarkan resep peninggalan leluhur. 2)

Bahan Ekstrak Alami, adalah obat tradisional yang dibuat dari ekstrak

atau penyarian bahan alami yang dapat berupa tanaman obat, binatang

maupun mineral. Biasanya sudah dilakukan penelitian ilmiah untuk

meneliti khasiatnya. 3) Fitofarmaka, merupakan bentuk obat tradisional

dari bahan alami yang dapat disejajarkan dengan obat modern karena

proses pembuatannya yang telah distandardisasi, bukti ilmiah, sampai

dengan uji klinis pada manusia.4

Obat dan jamu yang iklannya dipakai sebagai objek dalam

penelitian ini masuk ke dalam kategori fitofarmaka. Di mana obat dan

jamu tersebut sudah dibuat secara terstandar, dan diproduksi di pabrik

3

http://bataviase.co.id/node/17962 tgl.14 Feb 2010 pukul 09.00 wib.

4

(14)

Standar GMP (Good Manufacturing Practice), dan juga telah melalui uji

toksisitas subkronik5 dan uji khasiat.

Namun jika kita cermati ternyata ada beberapa produsen obat

herbal (jamu) yang nakal, yang mencampur bahan kimia pada produk

jamunya. Sepanjang tahun 2008 Dinas Kesehatan (Dinkes) Jawa Timur

menemukan 16 jenis obat tradisional yang mengandung bahan kimia, di

antaranya adalah ramuan asam urat Kuda Jantan produksi UD6 Mulia

Abadi Blitar, Jamu Ginseng Prakoso produksi Jamu Iboe Surabaya.

Menurut Kepala Seksi Obat Tradisional dan Kosmetika Dinkes Jawa

Timur, Husin Rayesh Malleleng, M. Kes Apt, ada tujuh macam bahan obat

kimia yang ditemukan, yakni: antalgin, paracetamol, sildenafilsitrat,

kafein, deksametason, prednison dan fenilbutosan.7

Fenomena jamu Cilacap yang merebak beberapa waktu lalu 8 juga

turut mencoreng wajah obat herbal, di mana ditemukan jamu buatan

Cilacap yang ternyata dicampur dengan tepung obat keras (berbahan

kimia) seperti CTM9, antalgin, paracetamol, phenilbutason dan Vitamin

5

Uji toksisitas subkronis adalah uji ketoksikan suatu senyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu, selama kurang dari tiga bulan. Uji ini ditujukan untuk mengungkapkan spectrum efek toksik senyawa uji serta untuk memperlihatkan apakah spectrum efek toksik itu berkaitan dengan takaran dosis”. http://habib.blog.ugm.ac.id/kuliah/toksikologi-subkronis/

6

Usaha Dagang

7

http://ylpkjawa Timur.com/berita/jamu-tradisional-berbahan-kimia-masih-banyak-beredar/ tgl 17 Februari 2010 pukul 10.15 wib.

8

Sekitar tiga tahun yang lalu (pada tahun 2008)

http://www.suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailberitacetak&id_be ritacetak=23081

9

(15)

B11. Berdasarkan data dari Badan POM10 tak kurang dari 55 merek jamu

yang beredar di pasaran terbukti dicampur dengan obat-obat kimia.

Banyak orang berpandangan bahwa obat herbal (jamu) yang asli

tanpa campuran obat-obatan kimia dipercaya memiliki manfaat yang

besar bagi kesehatan,tidak memiliki efek samping, serta mudah dicerna

oleh tubuh, oleh karenanya banyak perusahaan farmasi yang

memodifikasi obat-obatan herbal dalam bentuk kapsul, serbuk, cair dan

tablet.

Saat ini banyak perusahaan farmasi yang mengeluarkan

produk-produk obat herbal di samping obat kimia. Bahkan banyak obat produk-produk

perusahaan farmasi yang mengunggulkan kandungan bahan herbal di

dalamnya. Sepertinya hal ini dilakukan untuk menarik minat konsumen

agar menggunakan atau memilih produk obatnya, mengingat masyarakat

sekarang yang cenderung untuk memilih gaya hidup back to nature.

Kecenderungan ini bisa kita lihat dari banyaknya iklan obat dan jamu

yang ditayangkan di televisi.

Iklan merupakan salah satu alat promosi yang penting dalam

aktivitas pemasaran. Secara sederhana iklan dapat dikatakan sebagai

bentuk komunikasi non personal, yang dilakukan dengan media bayaran

dengan sponsor yang jelas (Kotler, 1988:279). Di tengah ramainya

persaingan dan kemajuan dalam industri pengobatan dan farmasi, sangat

susah bagi sebuah produk farmasi untuk mendapatkan perhatian dari

10

(16)

masyarakat tanpa kehadiran iklan. Awalnya11iklan hanya dikenal melalui

pengumuman-pengumunan yang disampaikan secara lisan yang berarti

dilaksanakan melalui komunikasi verbal. Karena disampaikan secara lisan

tanpa tatap muka, maka daya jangkaunya sempit. Untuk ukuran pada

awal perkembangannya saat itu, iklan yang demikian sudah dianggap

efektif (Kasali, 1992:3). Pada era globalisasi dan industrialisasi seperti

sekarang ini, model seperti di atas dianggap sudah ketinggalan zaman

dan tidak efektif lagi untuk menjangkau ratusan ribu bahkan jutaan

masyarakat.

Tanpa kita sadari mulai dari kita bangun pagi, melakukan aktivitas

seharian hingga malam untuk kembali beristirahat iklan merupakan suatu

hal yang tidak terpisahkan dari kehidupan kita. Ketika mendengarkan

radio kita mendengarkan iklan, menonton TV, membaca koran dan

majalahpun, bahkan ketika kita di jalan kita selalu disuguhi oleh berbagai

macam iklan. Bisa dibilang tanpa kita sadari iklan sudah menjadi bagian

dari kehidupan masyarakat kita.

11

Sebelum Guttenberg menemukan sistem percetakan pada tahun 1450, iklan sudah dikenal peradaban manusia dalam bentuk pesan berantai. Dunia pemasaran menyebut pesan berantai itu

sebagai the word of mouth.Selangkah lebih maju dari peradaban lisan, manusia mulai

(17)

Sebagai salah satu bentuk komunikasi iklan memberikan informasi,

mengingatkan dan mempengaruhi khalayak untuk berperilaku

sebagaimana yang diharapkan oleh produsen sebagai komunikator. Hal

ini sesuai dengan tujuan iklan itu sendiri yaitu menginformasikan tentang

adanya suatu produk/jasa (to inform), mengingatkan konsumen tentang

produk/ jasa tersebut (to remind) dan membujuk/mempengaruhi

konsumen untuk melakukan tindakan pembelian (to persuade) (Kotler,

1988:282). Menurut Kasali, karena kegiatan menyampaikan informasi,

mengingatkan dan mempengaruhi masyarakat ini dilakukan oleh pesan

maka unsur penting pada sebuah iklan adalah pesan yang disampaikan

yang pada dasarnya memiliki struktur pesan yang hampir sama (Kasali

1992:82).

Menurut Klepper, yang dikutip oleh Alo Liliweri, iklan atau

advertising berasal dari bahasa latin, ad-vere: mengoperkan pikiran dan

gagasan kepada pihak lain.12 Sedangkan menurut Spriegel yang juga

dikutip oleh Alo Liliweri, mengatakan bahwa iklan merupakan setiap

penyampaian informasi tentang barang ataupun gagasan yang

menggunakan media non personal yang dibayar.13Dalam bukunya

Dasar-Dasar Komunikasi Periklanan, Alo Liliweri juga mengutip John Wright,

yang mengemukakan bahwa iklan merupakan suatu proses komunikasi

yang mempunyai kekuatan yang sangat penting sebagai alat pemasaran

12

Liliwri Alo, Dasar-dasar komunikasih periklanan (hal 17), PT. Citra Aditya Bandung,1992.

13

(18)

yang membantu menjual barang, memberikan layanan serta gagasan atau

ide-ide melalui saluran tertentu, dalam bentuk informasi yang persuasif.14

Dengan kekuatan iklan para produsen obat dan jamu bersaing

untuk merebut hati konsumennya, salah satu caranya adalah

menampilkan ketradisionalan dalam bahan obatnya guna memberikan

kesan aman pada produknya, sehingga masyarakat saat ini yang

cenderung untuk kembali pada yang alami memilih produknya.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas penelitian ini berusaha untuk

menjawab persoalan mengenai representasi ketradisionalan dalam iklan

komersial obat dan jamu yang ditayangkan di televisi. Pertanyaan yang

ingin dijawab dalam penelitian ini:

1. Khasiat apa saja yang ditawarkan/ dijanjikan lewat iklan Jesscool,

Obat Batuk Cap Ibu dan Anak, OBH Combi Jahe, Tolak Angin dan

Diapet?

2. Simbol ketradisionalan apa saja yang dipakai dalam iklan dan

bagaimana teknik representasi ketradisionalan itu dibangun?

3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah; mendokumentasikan iklan

komersial Jesscool, OBH Combi Jahe, Obat Batuk Cap Ibu dan Anak, Diapet

dan Tolak Angin yang di tayangkan televisi

14

(19)

Menarasikan serta mendeskripsikan simbol ketradisionalan yang

dipakai iklan tersebut, serta menganalisa teknik-teknik representasi

ketradisionalan yang dibangun dalam iklan.

4. Manfaat Penelitian:

- Menambah pengetahuan, pengalaman dan wawasan dalam

ilmu pengetahuan khususnya mengenai kajian semiotika dalam

periklanan.

- Dapat dijadikan bahan perbandingan dari penelitian-penelitian

yeng berkaitan dengan kajian semiotika dalam iklan yang sudah

ada sebelumnya.

5. Studi Pustaka

Dalam era majunya dunia pengobatan dan ketatnya persaingan di

kancah bisnis obat, membuat para produsen obat berlomba-lomba

menawarkan produknya, dan salah satu sarana yang cukup banyak

dipilih adalah melalui iklan komersial yang ditayangkan televisi.

Peni Adji, dalam modulnya Iklan Dalam Media menyatakan bahwa

sebagai media audiovisual yang canggih televisi memiliki dua kekuatan

sekaligus, yaitu sinergi antara audio dan visual. Sebuah tayangan 60 detik

dapat disaksikan serentak oleh puluhan bahkan ribuan juta pasang mata

di seluruh dunia. Televisi merupakan media audiovisual sehingga estetika

yang dituntut menyangkut indera pendengaran dan penglihatan.

Sebagai media audio visual televisi membuka kesempatan bagi

(20)

maksimal. Menurut Peni Adji iklan televisi memiliki tiga karakteristik; 1)

Pesan dari produk dapat dikomunikasihkan secara total yaitu : audio,

visual, dan gerak, 2) Iklan televisi memiliki sarana paling lengkap untuk

eksekusi, 3) Iklan ditayangkan secara sekelebat (untuk itu iklan perlu

ditayangkan berkali-kali).

Iklan televisi juga memiliki kekuatan dan kelemahan. Adapun

kekuatan dari iklan televisi adalah; 1) Televisi mempunyai pengaruh dan

dampak komunikasi yang kuat karena mengandalkan audio, visual, dan

gerak. Bagi khalayak sasaran, iklan televisi mempunyai kemampuan yang

kuat untuk mempengaruhi persepsi mereka, 2) Iklan televisi mempunyai

efisiensi dalam hal biaya. Hal ini didasarkan pada jutaan penonton televisi

yang secara teratur menonton iklan komersial. Jangkauan massal ini

menimbulkan efisiensi biaya untuk menjangkau setiap kepala. Sedangkan

kelemahan yang dimiliki oleh iklan televisi adalah; 1) Biaya yang absolut

dan besar untuk memproduksi dan menyiarkan iklan komersial.

Meskipun biaya untuk menjangkau tiap kepala rendah, namun biaya

absolut dapat membatasi niat pengiklan. 2) Khalayak penonton televisi

tidak selektif dibandingkan surat kabar dan majalah yang segmentasinya

lebih tajam 15.

15

(21)

Menurut Rhenald Kasali dalam bukunya yang berjudul Manajemen

Periklanan: Konsep dan Aplikasihnya di Indonesia, televisi selain memiliki

kekuatan juga memiliki kelemahan. Adapun Kekuatan dari televisi yaitu :

1) Efisiensi Biaya.

Banyak pengiklan yang memandang televisi sebagai media yang

paling efektif untuk menyampaikan pesan-pesan komersialnya.

Salah satu keunggulannya adalah kemampuan menjangkau

khalayak sasaran yang sangat luas.

2) Dampak yang kuat

Keunggulan lainnya adalah kemampuannya menimbulkan

dampak yang kuat terhadap konsumen, dengan tekanan pada

sekaligus dua indera; penglihatan dan pendengaran. Televisi juga

mampu menciptakan kelenturan bagi pekerjaan-pekerjaan kreatif

dengan mengombinasikan gerakan, kecantikan, suara, warna dan

humor.

3) Pengaruh yang kuat

Akhirnya, televisi mempunyai kemampuan yang kuat untuk

mempengaruhi persepsi khalayak sasaran. Kebanyakan masyarakat

meluangkan waktunya di muka televisi, sebagai sumber berita,

hiburan, dan sarana pendidikan. Kebanyakan calon pembeli lebih

”percaya” pada perusahaan yang mengiklankan produknya di

televisi daripada yang tidak sama sekali. Ini merupakan cerminan

(22)

Tiga kelemahan televisi menurut Rhenald Kasali ialah:

1) Biaya Besar

Kelemahan yang paling serius dalam beriklan di televisi adalah

biaya absolut yang sangat ekstrem untuk memproduksi dan

menyiarkan siaran komersial.

2) Khalayak Tidak Selektif

Sekalipun berbagai teknologi telah diperkenalkan untuk

menjangkau sasaran yang lebih efektif, televisi tetap sebuah

media yang tidak selektif, segmentasinya tidak setajam surat

kabar atau majalah. Jadi iklan-iklan yang disiarkan di televisi

memiliki kemungkinan menjangkau pasar tidak tepat.

3) Kesulitan teknis

Media ini juga tidak luwes dalam pengaturan teknis. Iklan-iklan

yang telah dibuat tidak dapat diubah begitu saja jadwalnya,

apalagi menjelang jam-jam penyiarannya.

Keberadaan iklan televisi tidak dapat dipisahkan dari

perkembangan dan kekuatan televisi. Freddy H. Istanto dalam

penelitiannya tentang Peran Televisi dalam Masyarakat Citraan Dewasa ini,

menyatakan bahwa kedasyatan televisi tidak dapat dilepaskan

keterkaitannya dengan situasi dan kondisi masyarakat sekarang.

Menurutnya kapitalismelah yang mengantar televisi menjadi bagian yang

(23)

kekuatannya televisi mampu membangun opini masyarakat lewat

tayangan berkali-kali.

Istanto menyatakan, bahwa televisi telah mengambil posisi jaring

laba-laba yang menjaring apa saja yang ada untuk ditampilkan, serta

menjaring konsumen dalam lapis apa saja, sehingga televisi mampu

menawarkan gaya hidup baru, bahkan perilaku-perilaku baru yang

sebelumnya tidak dikenal masyarakat lapisan tertentu. Trik-trik dalam

televisi mampu menciptakan efek-efek yang luar biasa yang mampu

mempengaruhi pikiran dan perilaku pemirsanya. Hal ini menjadikan

televisi sebagai panggung yang menarik tempat iklan yang cukup efektif.

Tanpa disadari oleh pemirsanya, telah terjadi suatu indoktrinasi oleh

televisi melalui iklan yang ditayangkannya.16

Arthur Kroker dan David Cook yang dikutip oleh Istanto

menyatakan bahwa sifat totalitas televisi telah menjadikannya sebagai

satu bentuk kekuasaan dalam suatu komunitas. Citra-citra yang

ditawarkan televisi telah membentuk ketidaksadaran massal bahwa

terjadi pembentukan diri melalui televisi. Kesimpulan dari penelitian

Istanto, bahwa masyarakat kita saat ini adalah masyarakat yang selalu

haus akan tayangan. Pada saat yang sama masyarakat kita juga adalah

masyarakat konsumeristis, budaya konsumerisme ini merupakan suatu

panggung yang di dalamnya produk-produk konsumer menjadi satu

16

Freddy H. Istanto,Peran Televisi Dalam Masyarakat Citraan Dewasa Ini

Sejarah, Perkembangan Dan Pengaruhnya,

(24)

media pembentukan-pembentukan individu, gaya, dan citra. Televisi kini

hadir hampir di sebagian besar rumah tangga di Indonesia. Televisi

sebagai panduan di ruang keluarga Indonesia sedikit banyak juga

membawa pengaruh bagi masyarakat Indonesia dalam hal gaya dan cara

hidup.

Dari paparan di atas jelas terlihat bahwa iklan yang di tayangkan di

televisi ternyata cukup efektif dan juga banyak dipilih oleh produsen

(pengiklan) untuk mempromosikan produknya. Begitu juga para

produsen obat dan jamu, mereka juga cukup banyak melirik media

televisi guna mempromosikan produk farmasinya. Namun ternyata

banyak iklan obat yang masih menyalahi peraturan. Menurut Kepala

Badan POM, Sampurno untuk tahun 2003 tim evaluasi BP POM telah

mengevaluasi 536 iklan obat bebas, 535 iklan suplemen makanan dan 309

iklan obat tradisional.. Hasilnya sekitar 15 persen iklan obat tradisional

ditolak karena konsep iklan yang tidak sesuai dengan kandungannya.17

Sementara itu menurut data yang dihimpun KOMPAS sekitar 20

persen iklan promosi obat bebas yang disampaikan melalui berbagai

media tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Pelanggaran umumnya

berupa penayangan iklan yang tidak sesuai dengan draf rancangan iklan

yang didaftarkan ke BPOM atau iklan yang tidak didaftarkan ke BPOM.

Menurut aturan iklan mengenai obat, seharusnya memberikan informasi

17

(25)

yang obyektif, lengkap, tidak menyesatkan, tidak menggunakan kata yang

berlebihan, tidak menjanjikan pemberian hadiah berupa uang/jasa, dan

tidak memberikan kesan penggunaan obat yang bersangkutan atas

anjuran tenaga kesehatan. Promosi obat yang tidak benar akan membuat

masyarakat sebagai konsumen tidak mendapatkan informasi akurat

mengenai produk obat yang mereka beli dan konsumsi. Hal itu, dapat

menimbulkan kesalahan dalam penggunaan obat yang beresiko

mengakibatkan gangguan kesehatan. "Obat akan menjadi racun

berbahaya bila tidak rasional, tak tepat alamat dan salah

menggunakannya," kata praktisi kesehatan dr.Handrawan Nadesul.18

Data lain menurut anggota Komisi IX DPR-RI Zuber Safawi,

banyak iklan obat yang tidak memenuhi standar (TMS) sehingga

menyesatkan. Berdasarkan pro-review yang dilakukan POM Jakarta, dari

234 iklan obat yang dipantau, 24% tidak memenuhi standar. Di samping

itu, dari 242 iklan obat tradisional, 28 atau 20% juga menyesatkan dan dari

114 iklan produk suplemen makanan yang beredar, ditemukan

pelanggaran 17 buah (15%), serta dari 710 iklan produk pangan yang

dipantau ditemukan 184 (25,91%) masih belum memenuhi ketentuan. 19

Menurut Kepala Pusat Studi Farmakologi Klinik dan Kebijakan

Obat (FKKO) UGM, Dr Sri Suryawati, hampir semua iklan obat, terutama

18

http://kesehatan.kompas.com/read/2009/07/30/15202428/20.Persen.Iklan.Obat.Sala hi.Aturan...tgl 15 maret 2010...jam 1015

19

(26)

yang ditayangkan di televisi sebenarnya menyalahi aturan Permenkes

yang telah ditetapkan sejak 1994. Unsur promotifnya sangat

mendominasi. Masyarakat perlu kritis saat memilih jenis obat yang akan

dikonsumsi.

Berdasarkan permenkes, staf peneliti FKKO UGM Dra Chairun

Wiedyaningsih Apt MKes MAppSc menambahkan. sedikitnya ada 18

persyaratan berkaitan dengan iklan obat. "Selain harus mencantumkan

efek samping dan kontraindikasi, tidak boleh juga menjanjikan efek

segera, menggambarkan suasana laboratorium, menampilkan dokter atau

orang lain yang seolah-olah mencitrakan seorang dokter, dan lain-lain,"

kata dia bahwa juga dilarang menampilkan anak-anak tanpa supervisi

orangtua.20

Penelitian ini hendak melihat iklan yang merupakan salah satu

faktor kebudayaan yang penting saat ini dengan eksistensinya yang

begitu besar yang bisa dilihat dari bertebarannya iklan di mana-mana,

baik itu di jalan, radio, televisi, koran dan majalah. Berada diberbagai

media membuat iklan tampak sangat kuat dan memiliki pengaruh yang

besar pada masyarakat kita.

Iklan adalah media yang betujuan untuk membujuk orang supaya

membeli atau memilih barang yang ditawarkan oleh iklan tersebut.

20

(27)

Menurut Alo Liliweri, iklan sebagai sebuah teknik penyampaian pesan

dalam bidang bisnis yang sifatnya non personal secara teoritik

melaksanakan fungsi-fungsi yang diemban media massa lainnya. Hal ini

disebabkan karena pesan-pesan itu mengandung fungsi informasi,

pendidikan, fungsi menghibur, dan fungsi mempengaruhi sikap terntetu

oleh karena itu bisa dibilang bahwa sifat iklan adalah persuasive.21

Menurut Judith Williamson kita hanya dapat memahami apa yang

dimaksud iklan-iklan dengan cara menyelidiki bagaimana iklan

dimaksudkan, serta menganalisis cara kerjanya. Apa yang dikatakan

sebuah iklan adalah semata-mata apa yang iklan klaim sudah dikatakan.

Inilah mitologi yang menipu dari periklanan yang percaya bahwa iklan

hanyalah wahana transparan bagi suatu „pesan‟ dibaliknya22.

Berikut ini merupakan kajian semiotika terhadap tujuh iklan obat dan

jamu yang di tayangkan di televisi.

Semiotik secara harafiah berati „ilmu tentang tanda. Saussure

berpendapat bahwa semiotika dapat digunakan untuk mengalisis

sejumlah besar “sistem tanda”, dan bahwa tidak ada alasan tidak bisa

diterapkan pada bentuk media atau bentuk kultur apapun. Semiotika

adalah sebentuk hermeneutika yaitu makna klasik untuk studi mengenai

penafsiran sastra. Maka jika makna sesuatu adalah yang ingin dikaji,

21

Liliwri Alo, Dasar-dasar komunikasih periklanan PT. Citra Aditya Bandung,1992

22

(28)

khususnya dalam media visual, semiotika dapat dijadikan sebagai

pendekatan yang baik. 23

Saat ini iklan-iklan yang beredar di masyarakat hampir semuanya

dibuat oleh orang-orang yang sangat memahami semiotika. Pengetahuan

yang baik dan mendalam mengenai kode linguistic dan visual sangatlah

penting untuk mengembangkan semua jenis strategi periklanan.

Esai pendek Barthes dalam bukunya Image, Musik, Text

menerapkan teori analisis semiotik yang dikembangkan oleh Saussure

(bagi kajian bahasa) untuk studi tentang citra. Barthes memilih untuk

menganalisis sebuah iklan karena sifat kesengajaan , atau persuasi, yang

dikandung dalam pesan-pesan iklan. Iklan yang dipilih berasal dari

majalah Perancis untuk suatu merk mkanan Italia dengan nama produk

“Panzini”.

Barthes menarik keluar beragam makna iklan tersebut,

pertama-tama mencari makna literalnya atau denotasi, lalu makna konotasinya.

Barthes meneliti hubungan antara kode linguistic kata-kata yang ditulis

dalam ilan itu dan produknya dengan citra atau gambarnya. Bagi Barthes

citra bersifat polisemik mereka memiliki beragam makna dan terbuka bagi

beragam penafsiran. Namun, Barthes juga menyatakan bahwa citra jarang

disajikan kepada kita tanpa sejenis kata-kata yang mendampingi mereka,

dan bahwa kode linguistic yang menyertai ini berfungsi untuk membatasi

23

(29)

makna-makna potensial teks tersebut. Barthes memperlihatkan bahwa

bahasa yang digunakan , kata-kata, mempersempit makna-makna

potensial dari citra tersebut. Esai Barthes ini menunjukkan adanya

hubungan antara kode analisis denotatife dan konotatif, antara yang

diperlihatkan dan yang diterapkan. 24

Sedangkan Judith Williamson pernah melakukan analisis beberapa

iklan majalah-majalah perempuan. Analisis Wiliamson dilandasi oleh

posisi ideologis yang kritis terhadap kapitalisme dan benar-benar sebuah

produk yang mewakili masanya. Pendekatan semiotika yang digunakan

Williamson memiliki kontibusi yang besar pada perkembangan semiotika

sekarang. Saat ini semiotika merupakan bagian dari proses kreatif

periklanan, oleh karenanya iklan merupakan subjek yang sangat bagus

untuk analisis semiotika.25

Semiotika visual pada dasarnya merupakan salah satu biang studi

semiotika yang secara khusus menaruh minat pada penelitian terhadap

segala jenis makna yang disampaikan melalui sarana indera pengelihatan.

Apabila kita konsisten mengikuti pengertian ini, maka semiotika visual

tidak lagi terbatas pada pengkajian seni rupa, dan arsitektur semata-mata

24

Stokes, Jane, How To Do Media and Cultural Studies: Panduan untuk Melaksanakan Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya (hal 77), PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta, 2006.

25

(30)

teapi juga segala macam tanda visual lain yang kerap bukan dianggap

sebagai karya seni. 26

Dari pengertian di atas saya rasa iklan dan film dapat juga kita

masukan menjadi objek penelitian yang menarik dalam bidang kajian

semiotika visual.

Penelitian ini akan mencoba untuk membongkar makna yang

terselubung dalam iklan obat dan jamu yang ditayangkan di televisi.

Penelitian ini akan melihat lebih dalam mengenai Representasi

Ketradisionalan dalam Iklan Obat dan Jamu (Studi Kasus Pada Iklan

Komersial Televisi: Jesscool, OBH Combi Jahe, Obat Batuk Cap Ibu dan

Anak, Diapet dan Tolak Angin). Iklan yang dipilih merupakan iklan dari

obat yang populer di masyarakat, mudah diperolah dan digunakan untuk

mengobati penyakit-penyakit ringan.

Penelitian ini tidak tidak hendak mengukur pengaruh iklan, karena

hal tersebut akan memerlukan riset tersendiri. Penelitian ini hanya akan

menganalisis apa yang dapat dilihat dari iklan, khususnya dalam iklan

obat dan jamu yang di tayangkan di televisi.

6. Kerangka Pikir

Penelitian ini menggunakan kajian semiotika. Semiotika sendiri

merupakan teori dan studi tentang tanda-tanda dan simbol-simbol

khususnya sebagai elemen dari bahasa dan sistem-sistem komunikasi lain

serta menggabungkan semantik, pragmatik dan sintagmatik. Kerangka

26

(31)

Konseptual dan kerangka teori penelitian ini menggunakan teori

semiotika tentang iklan. Teori semacam ini antara lain dikembangkan

dalam teori tentang mitos, yang dikembangkan oleh Barthes lewat teori

mitosnya. Teori ini dipilih karena bisa memberikan atau menyediakan

kerangka analisis atas data iklan namun juga bisa dipakai untuk

mengenali kekuatan-kekuatan ideologis yang muncul dalam iklan.

Roland Barthes adalah salah satu pengikut Saussure yang pertama

kali menyusun model sistematik untuk menganalisis negosiasi dan

gagasan makna interaktif (cara tanda-tanda di dalam teks berinteraksi

dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya) Inti dari Teori

Barthes adalah gagasan tentang dua tatanan pertandaan. Tatanan

pertandaan pertama adalah landasan kerja Saussure. Tatanan ini

menggambarkan relasi antara penanda (signifier) dan petanda (signified) di

dalam tanda (sign), dan antara tanda dengan referennya dalam realitas

eksternal yang disebut Barthes sebagai denotasi. Dalam semiotikanya

Barthes membedakan dua macam tanda tersebut karena Barthes akan

mencari batasan antara pesan denotatif dan pesan konotatif ( Fiske, Jhon.

117-118:2007).

Jika kita melihat sebuah foto atau gambar, maka kita dapat melihat

dua gejala tanda yang tidak dapat dipisahkan; foto secara keseluruhan

dan ”isi” foto yang terdiri dari berbagai unsur di dalamnya ( Sunardi.

141:2004). Untuk menciptakan suatu semiotika konotasi gambar, kedua

(32)

sistem konotasi sebagai sistem semiotik tingkat kedua dibangun di atas

sistem denotatif. Dalam sebuah gambar atau foto, sebuah pesan denotasi

adalah yang disampaikan oleh gambar secara keseluruhan. Sedangkan

pesan konotasi adalah pesan yang dihasilkan oleh unsur-unsur di dalam

gambar atau foto tersebut.

Pendekatan semiotik Roland Barthes secara khusus tertuju pada

sejenis tuturan (speech) yang disebutnya sebagai mitos (myth). Menurut

Barthes bahasa membutuhkan kondisi tertentu untuk menjadi mitos, yaitu

yang secara semiotis dicirikan oleh hadirnya tatanan signifikasi yang

disebut sebagai sistem semiologis tingkat ke dua (Second order semiological

sistem). Maksudnya pada tataran bahasa atau sistem semiologi tingkat

pertama (The first order semiological system), penanda-penanda

berhubungan dengan petanda-petanda hingga menghasilkan tanda.

Selanjutnya tanda-tanda pada tatanan pertama ini hanya akan menjadi

penanda-penanda yang berhubungan pula dengan petanda-petanda pada

tatanan kedua. Pada tatanan tingkat kedua inilah mitos muncul (Kris

Budiman hal 63: 2004).

Mitos merupakan suatu signification yang merupakan kesatuan

antara bentuk dan konsep. Strukturnya sama dengan tanda yang

merupakan kesatuan antara signifier dan signified. Analisis mitos harus

meliputi identifikasi ketiganya, melihat hubungan antar ketiganya dan

melihat hubungan antara sistem semiotik tingkat pertama dan tingkat ke

(33)

dan konsep cukup jelas,tidak disembunyikan. Artinya tidak perlu mencari

makna yang seolah-olah disembunyikan. 2) Dalam mitos konsep

mendeformasi makna. 3) mitos merupakan sistem ganda (St. Sunardi, hal

104-105:2004).

Menurut Barthes,aspek material mitos, yaitu penanda-penanda

pada the second order semiological sistem itu, dapat disebut sebagai retorik

atau konotator-konotator, yang tersusun dari tanda-tanda pada sistem

pertama; sementara petanda-petandanya sendiri dapat dinamakan

sebagai fragmen ideologi( Kris Budiman hal 63-64:2004).

1. Di dalam tataran bahasa (language), yaitu sistem semiologis lapis

pertama, penanda-penanda berhubungan dengan petanda-petanda

sedemikian rupa sehingga menghasilkan tanda.

2. Selanjutnya di dalam tataran mitos , yakni sistem semiologis lapis

kedua, tanda-tanda pada tataran pertama tadi menjadi

penanda-penanda yang berhubungan lagi dengan petanda-petanda.

Penelitian ini akan memfokuskan pada sistem semiotik tingkat dua.

Hal ini menjadi tidak sederhana karena apa yang kita lihat, baca dan

dengar adalah sistem semiotik tingkat pertama, oleh karenanya analisis

mitos harus kita fokuskan pada sistem signification pada tingkat konotasi.

I) Pemaknaan Tingkat Pertama (First Order of Signification)

Menggambarkan hubungan antara signifier dan signified

dalam suatu tanda dengan realitas eksternal yang ditujunya,

(34)

tanda yang terlihat jelas. Denotasi merupakan penandaan

primer (suatu penandaan tingkat pertama) yang merupakan

penujukan arti literatur atau yang eksplisit dari gambar,

kata-kata dan fenomena yang lain. Denotasi menjadi

landasan dari tahap ke dua (konotasi) (Fiske: 117-118: 2007).

II) Pemaknaan Tingkat ke dua (Second Order of Signification)

Pada tingkat kedua ini, sistem penandanya disebut konotasi.

Konotasi menggambarkan hubungan yang terjadi ketika

suatu tanda dilihat dengan perasaan/ emosi penggunanya

lengkap dengan nilai-nilai budaya mereka. Konotasi

melibatkan simbol-simbol, sejarah dan hal-hal yang

berhubungan dengan emosi. Makna konotasi oleh Barhtes

disebut mitos, yaitu makna yang didapat seseorang berdasar

referensi kultural yang dimilikinya. Makna konotasi juga

disebut makna ideologis yang berfungsi untuk memberikan

legitimasi kepada yang berkuasa. Konotasi menjadi

instrumen bagi ideologi untuk menyampaikan pesannya

(Fiske: 117-118: 2007).

Suatu mitos dapat dipakai karena ia memiliki nilai, dapat

dibandingkan dengan mitos lain yang ada dalam suatu masyarakat, oleh

karenanya kita harus mengetahui sistem mitos yang ada di dalam

masyarakat bersangkutan serta ideologi-ideologi yang ada. Menurut

(35)

Barthes menggunakan mitos sebagai orang yang percaya, dalam artian

yang orisinil. Mitos adalah cerita yang digunakan suatu kebudayaan

untuk menjelaskan atau memahami beberapa aspek dari realitas atau

alam. Bagi Barthes mitos merupakan cara berpikir suatu kebudayaan

tentang suatu cara untuk mengkonseptualisasikan atau memahami

sesuatu. Barthes memikirkan mitos sebagai mata rantai dari

konsep-konsep terkait (Fiske 120-121:2007)

Pengertian mitos di sini tidaklah menunjuk pada mitologi dalam

pengertian sehari-hari seperti halnya cerita-cerita tradisional melainkan

sebuah cara pemaknaan; dalam bahasa Barthes: tipe wicara. Pada

dasarnya semua hal dapat menjadi mitos; satu mitos timbul untuk

sementara waktu dan tenggelam untuk waktu yang lain karena

digantikan oleh berbagai mitos lain. Mitos menjadi pegangan atas

tanda-tanda yang hadir dan menciptakan fungsinya sebagai penanda pada

tingkatan yang lain. Mitos oleh karenanya bukanlah tanda yang tak

berdosa, netral; melainkan menjadi penanda untuk memainkan

pesan-pesan tertentu yang boleh jadi berbeda sama sekali dengan makna

asalnya. Meski demikian, kandungan makna mitologis tidaklah dinilai

sebagai sesuatu yang salah („mitos‟ diperlawankan dengan „kebenaran‟);

cukuplah dikatakan bahwa praktik penandaan seringkali memproduksi

mitos. Produksi mitos dalam teks membantu pembaca untuk

menggambarkan situasi sosial budaya, mungkin juga politik yang ada

(36)

yang disebut naturalisasi. Melaluinya sistem makna menjadi masuk akal

dan diterima apa adanya pada suatu masa, dan mungkin tidak untuk

masa yang lain.27

Teori mitos Barthes dapat digunakan untuk meneliti iklan, hal ini

karena iklan mengambil bentuk sistem mitos karena iklan menggunakan

sistem tanda tingkat pertama (gambar, musik, kata-kata, dan gerak-gerik)

sebagai landasan untuk pembentukan sistem semiotik tingkat ke dua

(Sunardi 112:2004).

Makna dan isi dari iklan hanya dapat kita ketahui dengan jalan

meneliti bagaimana iklan tersebut dimaksudkan , serta menganalisis cara

kerjanya. Teori semiotika Barthes di atas akan digunakan untuk meneliti

apa makna yang tersembunyi dibalik iklan obat dan jamu yang

ditayangkan di televisi.

7. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan kajian teks budaya iklan. Penelitian ini

akan menggunakan metode semiotika. Semiotika digunakan untuk

melihat apa yang dijanjikan oleh iklan obat dan jamu. Penelitian ini akan

mencoba untuk menggunakan paradigma kritis. Dalam paradigma kritis ,

iklan tidak hanya dipandang sebagai suatu alat komunikasi bagi kaum

kapitalis tetapi iklan juga digunakan untuk mengkomunikasikan berbagai

macam ide-ide atau ideologi-ideologi tertentu oleh pihak-pihak tertentu.

27

(37)

1) Semiotika sebagai Metode

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah semiotika

Roland Barthes. Semiotika Roland Barthes memberikan rancangan model

yang sistematis terhadap penganalisaan makna suatu tanda, yaitu melalui

dua tahap pemaknaan (two order of signification).Tahap I disebut denotasi,

sedangkan tahap kedua disebut konotasi.

Menurut Barthes, konotasi sebagai second order of signification

berkaitan dengan aspek mitos (myth) yang merupakan ideologi yang

dominan dalam masyarakat. Kombinasi signifikasih antara denotasi dan

konotasi mereproduksi suatu ideologi. Mitos muncul dalam berbagai

objek atau pun materi dengan demikian suatu mitos dapat berupa tulisan

(Sunardi,104:2004).

2) Objek Penelitian :

Objek dalam penelitian ini adalah iklan-iklan visual OBH Combi

Jahe , Obat Batuk Cap Ibu dan Anak, Diapet, Jesscool dan Tolak Angin.

Kelima obat di atas dipilih karena merupakan:

1) Obat yang cukup populer,

2) Mudah didapat tanpa harus menggunakan resep dokter,

3) digunakan untuk mengobati penyakit-penyakit ringan.

3) Teknik Pengumpulan Data:

Mengumpulkan data primer yang berupa iklan obat dan jamu

(38)

sebagai objek penelitian, sedangkan data sekunder berasal dari

buku-buku, artikel-artikel dan juga penelitian-penelitian terdahulu.

Jenis data yang dibutuhkan:

1) Data Primer: teks-teks iklan Jesscool, OBH Combi Jahe, Obat Batuk

Cap Ibu dan Anak, Diapet dan Tolak Angin. Data primer

dikumpulkan dengan cara merekam iklan obat dan jamu yang

ditayangkan di televisi.

2) Data sekunder: Tulisan-tulisan yang berhubungan dengan

kajian budaya iklan. Data sekunder dikumpulkan dengan jalan

studi pustaka.

4) Pengolahan Data:

1).Pengumpulan Data: dalam melakukan penelitian, saya

mengumpulkan terlebih dahulu data-data yang diperlukan, baik

itu data-data primer, maupun data-data sekunder.

2). Melakukan Analisis Data: Analisis data menggunakan metode

pemaknaan tanda menurut Barthes, untuk singkatnya

(39)

1. Signifier 2. Signified

3. Sign

I. Signifier II. Signified

III. Sign

GAMBAR SEMIOTIKA 2 TAHAP 28

Pemaknaan di sini langsung dua tahap, signifier dan signified pada

tingkat yang pertama akan menghasilkan sebuah sign yang akan menjadi

landasan dalam melakukan analisis second order signification. Sign tersebut

kemudian menghasilkan signifier yang kemudian akan terjadi proses

signifikansi berikutnya hingga menghasilkan sign lagi, yang pada level ini

merupakan mitos atau ideologi yang dicari.

Pemaknaan tingkat pertama (first order of signification) disebut

sebagai denotasi. Denotasi merupakan makna tanda yang terlihat jelas.

Dalam analisis data denotasi dilakukan dengan mendeskripsikan gambar,

tulisan atau visual secara jelas dan menguraikan makna eksplisit dalam

iklan visual OBH Combi Jahe , Obat Batuk Cap Ibu dan Anak, Jesscool,

Diapet, dan Tolak Angin.

28

(40)

Pemaknaan tingkat kedua atau yang disebut juga konotasi,

menggambarkan hubungan yang terjadi ketika suatu tanda dilihat dengan

budaya mereka. Dalam penelitian ini, analisis konotasi tidak hanya

dilakukan dengan perasaan penulis tapi dihubungkan dengan interteks

yang berupa artikel, dan bacaan lain. Dalam analisis konotasi ini akan

diungkap makna-makna implisit yang terdapat dalam iklan visual OBH

Combi Jahe , Obat Batuk Cap Ibu dan Anak, Jesscool, Diapet dan Tolak Angin.

Makna konotasi oleh Barthes disebut sebagai mitos yaitu makna

yang didapat seseorang berdasar referensi kultural yang dimilikinya.

Konotasi sebagai second order of signification berkaitan dengan aspek myth

yang merupakan ideologi dominan masyarakat. Kombinasi signifikasi

antara denotasi dan konotasi mereproduksi suatu ideologi. Langkah

terakhir dari penelitian ini adalah membuat kesimpulan.

8. Sistematika Penulisan:

- Bab I berisi latar belakang penelitian,rumusan masalah, tujuan

penelitian,studi pustaka,kerangka pemikiran,metode penelitian

dan sistematika penulisan.

- Bab II berisi mengenai sejarah dan perkembangan indutri

farmasi dan jamu di Indonesia.

- Bab III berisi mengenai eksposisi atau penggambaran detail dari

(41)

- Bab IV berisi analisis mengenai representasi ketradisionalan

dari ketujuh iklan TV yang menjadi objek dalam penelitian ini.

(42)

BAB II

POTRET INDUSTRI FARMASI DAN JAMU DI INDONESIA

Pada bab II ini saya akan membahas tentang potret industri farmasi

dan jamu di Indonesia. Dalam bab II ini saya mencoba untuk menyajikan

informasi yang berisikan tentang sejarah dan perkembangan industri obat

dan jamu di Indonesia. Data saya kumpulkan dari berbagai sumber

seperti majalah, web resmi perusahaan jamu, serta sumber-sumber

literatur lain.

1. Perkembangan Sejarah Obat sebagai Pendahuluan

Menurut Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, dalam bukunya

yeng berjudul Obat-obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek Samping obat

merupakan semua zat baik itu kimiawi, hewani maupun nabati yang

dalam dosis layak dapat menyembuhkan, meringankan atau mencegah

penyakit berikut gejalanya.

1.1. Obat Nabati

Kebanyakan obat yang digunakan di masa lalu adalah obat yang

berasal dari tanaman. Dengan cara mencoba-coba orang purba

mendapatkan pengalaman dengan berbagai macam daun, buah, bunga

dan akar tumbuhan untuk mengobati penyakit. Pengetahuan ini secara

(43)

pengobatan rakyat, sebagaimana pengobatan tradisional jamu di

Indonesia29.

Selain untuk menyembuhkan dan mencegah penyakit ternyata ada

juga obat nabati yang memang digunakan sebagai racun. 30 Rebusan atau

ekstrak obat nabati ini akan memiliki dampak yang berbeda-beda

tergantung dari asal tanaman dan cara pembuatannya. Hal inilah yang

mendorong para ahli kimia mulai mencoba mengisolasi zat-zat aktif yang

terkandung di dalamnya.

Hasil dari penelitian ini beberapa merupakan serangkaian zat

kimia yang terkenal diantaranya adalah efedrin dari tanaman Ma Huang

(Ephedra vulgaris), kinin dari kulit pohon kina, atropin dari atropa

belladonna, morfin dari candu (papaver somniferum).

1.2. Munculnya Obat Kimiawi

Awal abad ke-20, mulai muncul obat-obat kimia sintetis. Hal ini

ditandai dengan ditemukannya obat-obatan yang melegenda seperti

Salvarsan dan Aspirin sebagai pelopor, yang kemudian disusl dengan

kehadiran sejumlah obat lain. Pada tahun 1935 sulfanilamid dan pada

tahun 1940 penisilin ditemukan .

Sebetulnya sudah lebih dari dua ribu tahun diketahui bahwa borok

bernanah dapat disembuhkan dengan menutupi luka dengan

29

Tan Han Tjay, Drs & Kirana Rahardja, Drs. Judul Obat-obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek Samping. 2002. PT. Elex Media Komputindo: Jakarta. Hal 3

30

(44)

kapang tertentu, namun baru pada tahun 1928 khasiat ini diselidiki secara

ilmiah oleh penemu penisilin Dr. Alexander Fleming.

Sejak tahun 1945 ilmu kimia, fisika dan kedokteran berkembang

pesat. Banyak sekali zat-zat sintetis baru ditemukan, rata-rata bisa

mencapai 500 zat per tahun-nya, hal inilah yang mendorong

perkambangan revolusioner dibidang farmakoterapi.31 Setelah masa itu

kebanyakan obat tradisional yang dinilai kuno mulai ditinggalkan dan

diganti dengan obat-obat modern.

2. Perkembangan Industri Farmasi di Indonesia

Sejarah industri farmasi di Indonesia diawali dengan berdirinya

pabrik farmasi pertama yang didirikan di Hindia Timur pada tahun

1817, yaitu NV. Chemicalien Rathkamp & Co dan NV.

Pharmaceutische Handel Vereneging J. Van Gorkom & Co.,pada tahun

1865.

Sedangkan Industri farmasi modern pertama kali di Indonesia

adalah pabrik kina di Bandung yang didirikan pada tahun 1896.

Perkembangan selanjutnya, pada tahun 1957-1959 setelah perang

kemerdekaan usai perusahaan –perusahaan farmasi milik Belanda yaitu

Bovasta Bandoengsche Kinine Fabriek yang memproduksi pil kina dan

Onderneming Jodium yang memproduksi Iodium dinasionalisasi oleh

31

(45)

pemerintah Indonesia yang pada perkembangan selanjutnya menjadi PT.

Kimia Farma (Persero). Sementara pabrik pembuat salep dan kasa,

Centrale Burgelijke Ziekeninrichring yang berdiri pada tahun 1918

menjadi perum Indofarma yang saat ini menjadi PT. Indofarma persero.32

Pada tahun 1967 pemerintah mengeluarkan UU Penanaman Modal

Asing (PMA) dan setahun berikutnya pada tahun 1968 pemerintah juga

mengeluarkan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Hal inilah

yang kiranya menjadi pendorong geliat industri farmasi di Indonesia.

Dewasa ini, industri farmasi di Indonesia merupakan salah satu

industri yang berkembang cukup pesat dengan pasar yang terus

berkembang dan merupakan pasar farmasi terbedar di kawasan ASEAN.

Dari data Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI, 2005),

pertumbuhan industri farmasi Indonesia rata-rata mencapai 14,10% per

tahun lebih tinggi dari angka pertumbuhan nasional yang hanya

mencapai 5-6% per tahun. Total angka penjualan tahun 2004 mencapai

lebih kurang Rp 20 triliun (untuk tahun 2005 sebesar Rp 22,8 triliun, dan

tahun 2006 sebesar Rp 26 triliun). Namun jika dilihat dari omzet penjualan

secra global (all over the world), pasar farmasi Indonesia tidak lebih dari

0,44% dari total pasar farmasi dunia.Demikian pula jika dilihat dari angka

konsumsi obat per kapita yang hanya mencapai kurang dari US$ 7,2 per

kapita/tahun (IMS, 2004) dan merupakan salah satu angka terendah di

32

(46)

kawasan ASEAN (sedikit di atas Vietnam). Konsumsi obat tertinggi

adalah Singapura, disusul oleh Thailand, dan Malaysia.33

Demikian pula jika dilihat dari angka konsumsi obat per kapita

yang hanya mencapai kurang dari US$ 7,2 per kapita/tahun (IMS, 2004)

dan merupakan salah satu angka terendah di kawasan ASEAN (sedikit di

atas Vietnam). Konsumsi obat tertinggi adalah Singapura, disusul oleh

Thailand, Malaysia, dan Filipina.

Pasar farmasi Indonesia merupakan pasar yang terbesar di ASEAN.

Ke depan pasar farmasi Indonesia diprediksikan masih mempunyai

pertumbuhan yang cukup tinggi mengingat konsumsi obat per kapita

Indonesia paling rendah di antara negara-negara ASEAN. Rendahnya

konsumsi obat per kapita Indonesia tidak hanya disebabkan karena

rendahnya daya beli tapi juga pola konsumsi obat di Indoneisa berbeda

dengan di negara-negara ASEAN lainnya. Di Malaysia misalnya, pola

penggunaan obat lebih mengarah pada obat paten. Harga obat paten jauh

lebih mahal dibandingkan dengan harga obat branded generic34.

Ekspor obat Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan

peningkatan meskipun nilainya relatif belum besar yaitu sekitar 5% dari

total penjualan industri farmasi Indonesia. Dengan diberlakukannya

harmonisasi regulasi farmasi ASEAN selambat-lambatnya tahun 2010

33

http://moko31.wordpress.com/2009/05/24/potret-industri-farmasi-di-Indonesia// 22/4/2010 .13.05 wib

34

(47)

maka akan tercipta pasar tunggal ASEAN di bidang farmasi, dalam arti

tidak ada lagi hambatan tarif maupun nontarif dalam perdagangan

farmasi di wilayah ASEAN. Ini berarti terbuka peluang bagi industri

farmasi untuk mengembangkan ekspor di pasar ASEAN, tetapi pada saat

yang sama pasar domestik Indonesia akan terancam masuknya

produk-produk farmasi ASEAN dengan lebih leluasa di Indonesia.35

Dari data BPOM RI tahun 2005 menyebutkan bahwa terdapat 205

industri farmasi di Indonesia. Tetapi yang aktif hanya sekitar 188 industri

saja yang terdiri dari 4 BUMN, 30 PMA dan 154 industri farmasi swasta

Nasional.

3. Konimex Pelopor Industri Farmasi dari Solo

Kita tentu tidak asing lagi dengan merk-merk farmasi Konidin,

Jesscool36, Paramex dan Inza. Obat-obat tersebut selain banyak muncul

dalam iklan baik itu di televisi, media cetak maupun billboard, merk-merk

tersebut juga cukup laris di masyarakat karena harga obatnya yang relatif

murah dan barangnya yang mudah didapatkan. Produsen dari

merk-merk farmasi tersebut adalah PT. Konimex Pharmaceutical Laboratoris

yang berbasis di Solo, Jawa Tengah.

35

http://www.facebook.com/topic.php?uid=211398500124&topic=9834 jam 11.05…15//3/2010

36

(48)

PT. Konimex Pharmaceutical Laboratoris berawal dari usaha

Djoenaedi Joesoef. Diawali menjadi asisten ayahnya yang memiliki toko

obat Eng Thay Hoo di Jalan Ketandan, Solo, Djoen muda terbiasa

berkeliling menjajakan obat dengan sepeda keluar masuk kampung dan

pasar. Terkadang oleh Sang ayah ia juga diminta untuk kulakan obat di

Glodok, Jakarta.

Setelah menikah pada pertengahan tahun 1950-an Djoenaedi

bersama istrinya Juniati mendirikan perusahaan di bidang usaha

pedagang farmasi dengan nama PT. Kondang Sewu, perusahaan ini

menjual obat dan alat-alat kesehatan. Tidak puas hanya menjadi

distributor obat dan alat-alat kesehatan Djoenaedi mendapat ide untuk

membuat obat sendiri.37

Pada tahun 1967 Djoenaedi mengubah nama perusahaannya dari

PT. Kondang Sewu menjadi PT. Kondang Impor-Ekspor (Konimex).

Produk pertama yang diluncurkan Konimex ialah Mexaquin ( obat anti

malaria ), sulfa dan kapsul tetrasiklin. Kemudian pada tahun 1969 lahir

Konidin yang hingga kini masih menjadi andalan dan cukup laris di

masyarakat. Pada tahun 1974 PT. Konimex mulai memproduksi obat

influenza dengan merk dagang Inza. Produk-produk Konimex dikenal

memiliki basis pasar kuat di segmen masyarakat bawah dan pedesaan.

Dengan mempelopori lahirnya kemasan-kemasan kecil, tablet isi empat

37

(49)

pil dengan harga yang jauh lebih murah. Sebelumnya kemasan obat hanya

ada yang berisi 10 dan 20 tablet.

Sejak awal, manajemen konimex sangat sadar akan pentingnya

branding38. Hal ini membedakan Konimex dari pemain daerah lain yang

biasanya hanya mengandalkan Flanking strategy 39yang mulai merambah

melalui daerah-daerah pinggiran. Sedangkan Konimex senantiasa

menghadirkan iklannya secara nasional. Konimex termasuk perusahaan

daerah yang tidak pelit dalam menggelontorkan dananya untuk beriklan.

Menurut Nielsen Media Research yang dikutip majalah SWAsembada hal

ini bisa dilihat dari belanja iklan Paramex tahun 2003 yang mencapai

Rp14,6 milyar, kemudian Hexos, Inza dan Konidin masing-masing sekitar

Rp.5 milyar serta Konicare minyak telon dan minyak kayu putih Rp 10

milyar. Sedangkan sepanjang tahun 2003 total belanja iklan Konidin

mencapai Rp 8,13 miliar. Pada januari-juli 2004, jumlahnya mencapai Rp 5,

36 milyar.

Dalam melakukan branding, manajemen Konimex termasuk

pemasar yang menganggap corporate branding amatlah penting. Hal ini

bisa kita lihat dalam setiap akhir penggalan promosi selalu disebutkan

“Produksi Konimex”. Selain dimaksudkan untuk mengangkat citra

produk baru yang dipasarkan agar cepat diterima konsumen, model

promosi semacam ini juga dimaksudkan untuk terus menyadarkan

38

Memperkuat merk di benak konsumen.

39

Menghindar, tapi membuat sesuatu yang tidak langsung menyerang. Bagaimana membuat

market leader tidak "merasa" diserang.

(50)

konsumen bahwa Konimex adalah produsen obat ternama. Gaya

pengembangan merk serupa juga digunakan oleh perusahaan-perusahaan

besar seperti Mayora, Bintang Toedjoe dan Indofood.

4. Perkembangan Industri Jamu di Indonesia

Sampai saat ini belum dapat dipastikan sejak kapan tradisi meracik

dan meminum jamu muncul. Tapi diyakini tradisi ini telah berjalan

ratusan bahkan ribuan tahun. Tradisi meracik dan meminum jamu sudah

membudaya pada periode kerajaan Hindu-Jawa. Hal ini dibuktikan

dengan adanya Prasasti Madhawapura dari jaman Majapahit yang

menyebut adanya profesi „tukang meracik jamu‟ yang disebut Acaraki.40

Bagi masyarakat Indonesia, jamu adalah resep turun-temurun dari

leluhur, bahan-bahan jamu adalah bahan herbal baik itu bunga, daun,

akar, kulit kayu ataupun rimpang. Leluhur kita menggunakan resep yang

terbuat dari daun, akar dan umbi-umbian untuk mendapatkan kesehatan

dan menyembuhkan berbagai penyakit, serta persiapan-persiapan lain

yang menyediakan perawatan kecantikan muka dan tubuh yang lengkap.

Campuran tanaman obat traditional ini dikenal sebagai Jamu. Indonesia

dikenal sebagai negara nomor dua dengan tanaman obat tradisional

setelah Brazilia.41

40

http://jamu-herbal.com/sejarah-jamu.html...jam 14.40

41

(51)

Sampai pada awal abad ke-20 produksi industri jamu tidak cukup

memuaskan bisa jadi hal ini diakibatkan dari pengepakan satu paket dari

bahan kering atau butiran seperti rimpang (seperti Jahe,kunyit dan

kencur) dalam jumlah besar. Pada saat itu, sebelum antibiotik dan

obat-obatan sintetik diperkenalkan, kebanyakan obat Eropa (barat)

dipersiapkan dengan cara yang sederhana, hampir mirip seperti jamu

yang berbahan dasar tumbuh-tumbuhan. Situasi ini berubah pada sekitar

tahun 1930-an saat obat paten dari Barat diimpor. Obat paten ini sangat

praktis dan modern untuk ukuran saat itu karena bisa langsung ditelan

tanpa harus diseduh dahulu seperti kebanyakan obat yang beredar pada

saat itu. Untuk mengimbangi keadaan ini perusahaan jamu mulai

memproduksi jamu bubuk yang murah dan relatif mudah dibuat karena

merupakan produk instan.

Setelah kemunculannya, jamu bubuk sangat sukses di Indonesia.

Perkembangan Industri jamu Indonesia begitu pesatnya sehingga pada

tahun 1963 jamu secara legal disebut sebagai obat asli Indonesia. Dengan

label baru jamu sebagai obat asli Indonesia mendorong berkembang

pesatnya Industri jamu pada saat itu. Jamu kemudian diproduksi secara

masal dan modern dalam berbagai bentuk, baik itu bubuk, pil maupun

kaplet, krim,serta tonik.42. Setelah itu jamu menjadi industri yang maju

dengan omset miliaran dolar di Indonesia.

42

(52)

Di Indonesia potensi pasar produk tumbuhan obat antara lain

dapat dilihat dari terus bertambahnya jumlah perusahaan pembuat obat

tradisional (OT) dari tahun ke tahun. Data IKOT (Industri Kecil Obat

Tradisional ) sampai dengan 1990 yang mendapat izin usaha mencapai

259 industri kecil, sampai pada tahun 1997 ( pada masa awal krisis

moneter) telah mencapai 458 buah, sedangkan menginjak tahun 2000

sudah mencapai 853 buah, pada tahun 2003 berkisar 905 buah, dan hingga

akhir tahun 2005 jumlah Industri kecil obat tradisional sudah mencapai

jumlah 1037 buah. Sementara itu untuk IOT (Industri Obat Tradisional)

sampai tahun 1996 ada sekitar 61 buah, tahun 1998 menjadi 79 buah, pada

tahun 2000 mengalami peningkatan lagi meskipun tidak terlalu signifikan

menjadi 87 buah, pada tahun 2003 meningkat menjadi 97 buah, dan akhir

tahun 2005 meningkat lagi menjadi 129 buah. Jadi total IKOT dan IOT

pada akhir tahun 2005 ada 1166 buah.43

5. Bisnis Tanaman Obat di Indonesia

Tanaman jenis rimpang44 seperti Jahe,kunyit, kencur dan juga

temulawak merupakan tanaman asli Indonesia dan sangat mudah untuk

tumbuh di iklim tropis, sehingga mudah didapat dan harganya pun

murah, serta tidak sulit untuk dibudidayakan di Indonesia. Jenis-jenis

tanaman rimpang seperti yang disebutkan dipercaya memiliki khasiat

43 Panduan Seminar Nasional . Kelompok kerja Nasional’ Tumbuhan Obat Indonesia” USD,

Yogyakarta 13-14 Mei 2009.

44

(53)

untuk menyembuhkan penyakit, sehingga banyak digunakan sebagai

bahan baku utama dalam pembuatan jamu.

Produk yang dihasilkan dari tanaman kunyit Jahe, kencur, kunyit

dan temulawak adalah produk setengah jadi45. Arah pengembangan

tanaman obat sampai dengan tahun 2010 masih diarahkan ke lokasi di

mana industri obat tradisional berkembang yaitu di Pulau Jawa dengan

target luas areal 1.276 ha untuk temulawak, 1.527 ha kunyit,dan kencur

7.124 ha.46

Dalam hal bahan baku industri jamu hampir tidak memiliki

ketergantungan impor. Menurut hasil riset Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia (LIPI), Indonesia memiliki 30.000 spesies tumbuhan obat dari

total 40.000 spesies obat yang ada di seluruh dunia. Ini membuat

Indonesia menduduki peringkat kedua sebagai negara yang memiliki

tumbuhan obat terlengkap setelah Brazil. Indonesia sendiri hingga

sekarang baru memanfaatkan sekitar 180 spesies sebagai bahan baku obat

tradisional.47 Meski memiliki bahan baku yang melimpah ruah namun hal

ini tidak membuat Indonesia dapat dengan leluasa mengekspor tanaman

obatnya, karena terganjal standardisasi bahan baku untuk jamu atau

tumbuh-tumbuhan obat.

Gambar

gambar atau foto tersebut.
GAMBAR SEMIOTIKA 2 TAHAP 28
Tabel 2 : Tolak angin Indonesia memang hebat
Tabel 3 : DIAPET
+4

Referensi

Dokumen terkait