• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN - NILAI ESTETIKA DALAM LEGENDA WADU NTANDA RAHI KARYA ALAN MALINGI DAN KAITANNYA DENGAN PEMBELAJARAN MUATAN LOKAL DI SMP - Repository UNRAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN - NILAI ESTETIKA DALAM LEGENDA WADU NTANDA RAHI KARYA ALAN MALINGI DAN KAITANNYA DENGAN PEMBELAJARAN MUATAN LOKAL DI SMP - Repository UNRAM"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu media untuk mengkomunikasikan personal adalah sastra. Sastra merupakan sebuah bentuk penciptaan yang diawali dengan kesenangan dan diakhiri dengan kebijaksanaan. Penciptaan yang melibatkan perasaan secara dalam dengan imajinasi yang meluap-luap. Karya sastra diukir dengan kata-kata yang lahir dari benci, rindu, amarah, syukur, keangkuhan, hormat, kebijaksanaan, penolakan, penerimaan, dan semuanya berkaitan dengan cinta kasih.

(2)

Legenda (Latin legere) adalah cerita prosa rakyat yang dianggap sesuatu yang benar-benar terjadi oleh masyarakat setempat. Oleh karena itu, legenda sering kali dianggap sebagai "sejarah" kolektif (folk history). Legenda “Wadu Ntanda Rahi” merupakan cerita yang dianggap benar-benar terjadi oleh masyarakat Bima. Cerita tentang kesetian seorang perempuan, kesetiaan yang tiada tara, perempuan yang rela menunggu kekasihnya sampai dia menjadi batu. Batu tersebut dikenal dengan nama Wadu Ntanda Rahi yang berarti batu yang menatap suaminya.

Legenda ini ditulis dengan bahasa yang indah. Berisi pantun sebagai tradisi masyarakat Bima ketika musim berladang tiba. Penderitaan dan kasmaran disampaikan oleh pengarang dengan kata-kata bernuansa puitis, sehingga pembaca terlena dan seolah masuk ke dalam cerita tersebut. Wadu Ntanda Rahi bisa diibaratkan seperti sebuah kotak yang berisi budaya dan tradisi masyarakat Bima. Alan Malingi dalam karyanya ini memaparkan dengan sempurna tentang bagaimana tradisi itu dilaksanakan, seperti tata cara bergaul antara pemuda dan pemudi yang belum ada ikatan pernikahan, upacara pernikahan dan bahkan menguraikan tentang tata cara bergaul setelah menikah.

(3)

Wadu Ntanda Rahi, Alan mengemas kisah cinta klasik yang terjadi di tanah Mbojo (Bima) dengan sangat indah. Kisah yang dianggap benar-benar terjadi oleh masyarakat Bima ini bertutur tentang kesetiaan seorang istri menanti suaminya yang merantau demi sebuah cita-cita, yaitu masa depan yang lebih baik untuk kampung halamannya. Penantian yang dilewati bertahun-tahun dengan penuh kesetiaan oleh sang istri, dia menanti sampai dia menjadi batu. Hal-hal yang menarik inilah yang termasuk dalam unsur-unsur estetika.

Estetika merupakan jiwa dalam sebuah karya sastra. Tidak ada satupun karya sastra atau karya seni yang tidak mengandung estetika, nilai keindahan, baik dari segi bahasa maupun budaya yang dipaparkan pengarang dalam karyanya. Setiap aspek kebudayaan, setiap aspek kehidupan manusia menampilkan ciri-ciri keindahan. Sikap, tingkah laku, dan perbuatan sehari-hari menampilkan berbagai macam keindahan. Lambaian tangan, kerdipan mata, dan anggukan kepala, apabila dilakukan dengan mempertimbangkan aspek keindahan, maka akan memberikan kenikmatan pada diri sendiri dan dengan sendirinya pada orang lain. Hidup ini singkat seperti laron, lahir hanya untuk menanggalkan bulu, kemudian berubah ke dalam bentuk yang lain. Menghargai keindahan berarti menghargai kebesaran Tuhan. Menghargai keindahan berarti memupuk rasa rendah hati, bukan rendah diri (Ratna, 2007: 18, 19)

(4)

sampulnya tidak bagus maka pembaca tidak akan tertarik. Tidak bisa dipungkiri bahwa kemasan, bungkusan, tampilan novel dan jenis karya sastra lainya mempengaruhi minat konsumen sastra. Semua bagian dalam sebuah karya harus mempertimbangkan aspek estetika. Begitu juga manusia dalam melakoni hidup. Apabila seseorang mampu meninggalkan efek estetis pada seseorang yang lainya maka orang itu akan dianggap baik, sebab keindahan merupakan kebaikan.

Setiap ucapan dan perbuatan yang dilakukan dengan mempertimbangkan aspek estetika, maka ucapan dan perbuataan itu akan mengandung efek estetis. Efek estetis inilah yang akan berperan penting terhadap diri seseorang. Orang yang menyaksikan efek estetis ini juga akan mengalami suatu kesan yang berpengaruh bagi dirinya. Misalnya, katakanlah dua orang perempuan berjalan dari arah yang berlawanan, dua perempuan ini bernama si A dan si B. Si A berpakaian seadanya dan si B memakai gaun yang lembut dan rapi. Ketika si A memperhatikan penampilan anggun dari si B, maka si A akan merasa kagum dengan penampilan si B. Rasa kagum ini merupakan efek dari estetika. Kekaguman inilah yang mampu merubah keadaan awal pada diri seseorang. Si A pasti ingin berpenampilan seperti si B, ingin terlihat anggun, ingin telihat indah. Dengan demikian efek estetis bisa menimbulkan keinginan pada seseorang untuk lebih baik, untuk bisa seperti yang lain bahkan melebihi yang lain.

(5)

karya seni dapat berperan dalam menopang masyarakat manusia untuk menuju kemajuan. Ukuran karya seni dengan demikian bukan derajat penularannya, melainkan intensifikasi dan pencerahan terhadap budi manusia. Begitu pula efek estetis dalam karya sastra, bukan hanya mampu menularkan kesan-kesan terhadap pembaca, tetapi juga memberikan intensifikasi dan pencerahan terhadap membaca. Dengan demikian pembaca akan mampu mengoreksi diri dan menjadikan karya sastra itu senagai cermin untuk lebih baik. Jadi, jelas bahwa kajian tentang nilai estetika ini bisa diarahkan sebagai media pembelajaran. Khususnya pembelajaran muatan lokal di SMP, supaya siswa terdidik budinya menuju kemajuan. Kajian estetika juga mengarahkan siswa untuk melatih merangkai kata-kata seperti yang terurai dalam legenda.

(6)

mampu merangkai ide-ide menarik menjadi hal-hal menarik dari dongeng dan menjadikannya sebuah cerita baru. (2) Menunjukkan relevansi isi dongeng yang diperdengarkan dengan situasi sekarang (relevansi nilai moral, budaya, estetika), dengan indikator Mampu menentukan pokok-pokok cerita, mampu merangkai pokok-pokok cerita menjadi urutan cerita yang baik dan menarik, mampu bercerita dengan urutan yang baik, suara, lafal, intonasi, gestur, dan mimik yang tepat.

Sebagai anak bangsa, sudah selayaknya mengetahui bagaimana asal muasal atau sejarah bangsa tempat ia dilahirkan. Memahami peristiwa zaman dahulu sehingga bisa dijadikan pelajaran bagi kehidupan sekarang, tidak hanya membiarkan anak bangsa berkerumun dengan cerita-cerita fiktif di masa sekarang dan beranggapan bahwa cerita rakyat hanya sebuah dongeng yang ”norak”. Pada hal legenda merupakan karya sastra yang penuh dengan nilai-nilai yang bisa dijadikan cermin untuk lebih baik, salah satunya adalah nilai estetika. Legenda atau cerita rakyat merupakan wujud dari jati diri suatu bangsa yang perlu mendapat apresiasi. Maka penelitian ini mengangkat permasalahan ”Nilai Estetika dalam Legenda Wadu Ntanda Rahi Karya Alan Malingi dan Kaitannya dengan Pembelajaran Muatan Lokal di SMP”.

B. Rumusan Masalah

(7)

1. Nilai-nilai estetika apa sajakah yang terkandung dalam legenda ” Wadu Ntanda Rahi” karya Alan Malingi?

2. Bagaimanakah struktur dalam legenda ”Wadu Ntanda Rahi” karya Alan Malingi?

3. Bagaimanakah hubungan nilai estetika dan struktur dalam legenda ”Wadu Ntanda Rahi” karya Alan Malingi dengan pembelajaran muatan lokal di SMP?

C. Tujuan Penelitian

Permasalahan di atas merumuska tujuan dari penelitian ini, tujuan tersebut adalah:

1. Mendeskripsikan nilai estetika dalam legenda ”Wadu Ntanda Rahi” karya Alan Malingi.

2. Mendeskripsikan struktur dalam legenda ”Wadu Ntanda Rahi” karya Alan Malingi.

3. Mendeskripsikan hubungan nilai estetika dan struktur dalam legenda ”Wadu Ntanda Rahi” karya Alan Malingi dengan pembelajaran muatan lokal di SMP.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberi manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis. Sebagaimana diuraikan di bawah ini:

(8)

a. Menambah pemahaman peneliti terhadap nilai-nialai estetika yang terdapat dalam legenda ”Wadu Ntanda Rahi” karya Alan Malingi.

b. Guru dan siswa memahami nilai estetika dalam karya sastra umumnya, khususnya legenda ”Wadu Ntanda Rahi” karya Alan Malingi.

c. Bagi pembaca yang mencintai sastra, penelitian ini dapat menambah khazanah penelitian sastra Indonesia, khususnya tentang nilai estetika sehingga bermanfaat bagi perkembangan karya sastra Indonesia.

2. Manfaat praktis

a. Guru dapat memilih dan menentukan karya sastra untuk dijadikan bahan ajar yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan.

b. Siswa dapat meneliti nilai estetika dalam karya sastra pada umumnya, khususnya legenda.

c. Bagi pembaca dapat membantu meningkatkan daya apresiasi terhadap karya sastra khususnya legenda Wadu Ntanda Rahi.

(9)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A.

Penelitian Terdahulu

Penelitian yang relevan dengan penelitian ini, yakni Kajian Estetika dalam Kumpulan Puisi Deru Campur Debu Karya Chairil Anwar oleh Syahabuddin pada tahun 2007. Dalam penelitiannya, Syahabuddin membahas mengenai estetika dari aspek penciptaan, aspek makna dan aspek amanat atau pesan yang terkandung dalam puisi Deru Campur Debu karya Chairil Anwar. Searah dengan pembahasan dalam penelitian ini, penelitian nilai estetika dalam legenda Wadu Ntanda Rahi kanya Alan Malingi ini pun membahas mengenai struktur dari aspek gaya bahasa, setting (latar), aspek pesan atau amanat, serta aspek budaya yang digunakan Alan Malingi untuk memperindah karyanya yaitu legenda Wadu Ntanda Rahi.

(10)
(11)
(12)

dilakukan Sobbah mengkaitkan dengan pembelajaran sasrta di SMA maka dalam penelitian ini dikaitkan dengan pembelajaran muatan lokal di SMP.

Penelitian selanjutnya adalah penelitian tentang Nilai Sosial Budaya dalam Novel Saraswati Karya AA. Navis yang dilakukan oleh Baiq Leli Febriana pada tahun 2009. Baiq leli dalam penelitian tersebut bembahas masalah budaya, jadi relevan dengan penelitian Nilai Estetika dalam Legenda Wadu Ntanda Rahi Karya Alan Malingi dan Kaitannya dengan Pembelajaran

Muatan Lokal di SMP yang juga mebahas aspek budaya.

B. Landasan Teori 1. Estetika

Secara sederhana, estetika merupakan sebuah cabang ilmu yang mempelajari keindahan. Dari sisi historis, estetika termasuk dalam bagian filsafat (keindahan). Estetika yang dalam bahasa Yunani dibaca aisthetike ini pertama kali digunakan oleh seorang filsuf bernama Alexander Gottlieb Baumgarten pada tahun 1750. Baumgarten kemudian membawa estetika menjadi ilmu yang berdiri sendiri dengan alasan bahwa karya sastra didominasi oleh aspek-aspek keindahan sedangkan tolok ukur keindahan adalah estetika (http://eka. web.id/ pengertian-estetika.html).

(13)

halnya nilai moral, nilai ekonomi, nilai pendidikan, dan sebagainya. Nilai yang berhubungan dengan segala sesuatu yang tercakup dalam pengertian keindaham disebut nilai estetik.

(14)

indah. Ratna menambahkan bahwa setiap aspek kebudayaan, setiap aspek kehidupan manusia menampilkan ciri-ciri keindahan. Sikap, tingkah laku, dan perbuatan sehari-hari menampilkan berbagai macam keindahan. Lambaian tangan, kerdipan mata, dan anggukan kepala, apabila dilakukan dengan mempertimbangkan aspek keindahan, maka akan memberikan kenikmatan pada diri sendiri dan dengan sendirinya pada orang lain (Ratna, 2007: 18, 19).

Berdasarkan pendapat Mustofa dan Ratna di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan nilai estetika dalam penelitian Nilai Estetika dalam Legenda Wadu Ntanda Rahi Karya Alan Malingi adalah segala hal yang murni, bersifat alamiah yang terkandung dalam legenda tersebut, terutama dalam penguraian tentang ciri dan watak tokoh, juga tentang keadaan alam yang merupakan ciptaan Tuhan. Oleh karena itu, sumber utama keindahan adalah Tuhan, dan segala ciptaan Tuhan berbentuk indah, terutama yang masih alami, yang belum tersentuh oleh budaya luar.

2. Struktur

(15)

Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2010: 36) mengatakan bahwa sebuah karya sastra atau fiksi menurut kaum strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur pembangunnya. Di satu pihak, struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah.

Struktur di sini berarti susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan timbal balik, saling menentukan. Jadi, kesatuan unsur-unsur dalam sastra bukan hanya berupa kumpulan hal-hal atau benda-benda yang berdiri sendiri, melainkan hal-hal itu saling terikat, saling berkaitan, dan saling bergantung. Adapun hubungan antara unsur-unsur tersebut dengan objek kajiannya yaitu legenda, dalam legenda tersebut dapat dikaji gaya bahasanya, setting (latar), pesan, dan dalam legenda itu pula terdapat banyak pemaparan tentang tradisi seperti upacara pernikan yang bisa dikaji unsur budayanya. Kemudian hal-hal yang alamiah seperti alam dan kecantikan termasuk dalam kajian estetika.

(16)

Dengan memperhatikan pengertian struktural yang meliputi unsur-unsur karya sastra tersebut dapat disimpulkan bahwa analisis struktural berarti menyelidiki atau menganalisis karya sastra dengan mengungkapkan unsur-unsur yang ada di dalamnya, yaitu unsur-unsur-unsur-unsur yang membangun keutuhan struktur itu seperti unsur instrinsik dan ekstrinsik.

A. Unsur Instrinsik 1. Gaya Bahasa

Bahasa merupakan media yang digunakan pengarang untuk mengekspresikan pengalaman batin dan memperkenalkan kepribadiannya, dengan mengetahui gaya bahasa berarti kita akan lebih mudah memahami isi karya sastra (Badrun, 1983: 111). Unsur-unsur bahasa yang dapat membangun atau menciptakan teknik bercerita yang khas dinamakan gaya bahasa. Aminuddin (2010: 72) mengemukakan bahwa “istilah gaya berasal dari bahasa Inggris ‘style’ yaitu ragam, cara, kebiasaan dalam menulis. Gaya adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca”.

(17)

perasaan. Cara khas itu dapat berupa kalimat-kalimat yang dihasilkannya menjadi hidup (http://2011/01/20/gaya-bahasa/).

Gaya bahasa dalam karya sastra umumnya disebut diksi yang berarti pemilihan kata. Kata-kata yang digunakan dalam karya sastra bukanlah seperti perkataan sehari-hari, kata-kata ini dipilih pengarang atau penulis dengan mempertimbangkan efek, salah satunya adalah efek estetis. Dalam legenda Wadu Ntanda Rahi terdapat banyak syair dan pantun yang ditulis dengan menggunakan bahasa yang berefek estetis.

Dale (dalam Tarigan, 2009: 4) menerangkan bahwa gaya bahasa adalah bahasa indah yang digunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta membandingkan suatu benda atau hal tertetu dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Secara singkat penggunaan gaya bahasa tertentu dapat mengubah serta menimbulkan konotasi tertentu.

(18)

2. Setting (latar)

Setting atau tempat kejadian cerita sering pula disebut latar cerita. Latar biasanya meliputi tiga dimensi yaitu tempat, ruang, dan waktu. Latar adalah keterangan yang mengenai waktu, ruang, dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra (KBBI, 2003: 501). Setting waktu juga berarti apakah lakon terjadi di waktu siang, pagi, sore dan malam hari. Stanton (2007: 35) mengemukakan bahwa “latar adalah lingkungan yang meliputi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung”.

Penggambaran setting atau tempat kejadian dalam cerita fiksi harus jelas dan mampu membawa pembaca dalam mengikuti cerita. Penggambaran setting atau tempat kejadian secara jelas merupakan hal yang sangat penting karena setting atau tempat kejadian harus seolah-olah nyata.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu yang meliputi sebuah peristiwa dalam cerita.

3. Aspek Pesan atau Amanat

(19)

konsep dan perasaan yang disampaikan pembicara untuk dimengerti dan diterima pendengar atau pembaca. Disebutkan juga bahwa amanat adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca (KBBI, 1996: 30).

B. Unsur Ekstrinsik

1. Pengertian Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berbeda di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Atau, lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Walaupun demikian, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh terhadap totalitas bangun cerita yang dihasilkan. Oleh karena itu, unsur ekstrinsik sebuah novel haruslah tetap dipandang sebagai sesuatu yang penting (Nurgiyantoro, 2010: 23-24).

(20)

ditulisnya. Pendek kata, unsur biografi pengarang akan turut menentukan corak karya yang dihasilkan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa unsur ekstrinsik adalah unsur yang mendukung kompleksitas karya sastra seperti legenda dari luar yang mampu memperkuat nilai karya sastra tersebut. Unsur ekstrinsik seperti nilai sosial dan moral, nilai pendidikan, dan lainnya tidak dibahas dalam penelitian ini. Yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah nilai budaya.

2. Aspek Budaya

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia (http:// id.wikipedia.org/wiki/Budaya).

(21)

sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari (http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya).

Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia (http://id.wikipedia.org/wiki/ Budaya).

Menurut J.J. Hoenigman (dalam Wikipedia), wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan artefak.

 Gagasan

(22)

tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.

 Aktivitas

Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.

 Artefak

(23)

Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.

3. Legenda

Legenda atau cerita rakyat merupakan kisah yang dianggap pernah terjadi oleh masyarakat setempat. Legenda biasanya berisi tentang kultur budaya dimana kisah atau cerita itu berlangsung. Dalam legenda dipaparkan asal muasal, sejarah masing-masing bangsa. Seperti dikemukakan dalam KBBI edisi ke-II (1996) legenda adalah cerita rakyat pada zaman dahulu yang ada hubungannya dengan peristiwa sejarah (KBBI, 1996: 576).

(24)

Legenda merupakan salah satu karya sastra. Karya sastra dibangun oleh dua unsur yakni unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun sebuah karya sastra dari dalam secara intern. Unsur-unsur tersebut adalah tema, plot, amanat, perwatakan, latar, pusat pengisahan atau sudut pandang, dan gaya bahasa. Namun yang akan dibahas dalam penelitian ini hanya gaya bahasa, amanat atau pesan, dan makna. Selanjutnya, unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar teks yang berpengaruh terhadap teks itu sendiri. Unsur-unsur tersebut antara lain nilai pendidikan, nilai moral, nilai sosial,nilai estetika dan biografi pengarang. Namun dalam penelitian ini yang akan dibahasa hanya nilai estetika dan budaya.

4. Pembelajaran Muatan Lokal

(25)
(26)

pendidikan kesenian, dan pendidikan keterampilan. Demikian pula, sebagai bahan kajian tambahan dari bahan kajian yang telah ada atau sebagai satu atau lebih pokok bahasan dapat diberikan alokasi waktu. Tetapi muatan lokal sebagai bahan kajian yang merupakan penjabaran yang lebih mendalam dari pokok bahasan atau sub pokok bahasan yang telah ada sukar untuk diberikan alokasi jam pelajaran. Bahkan muatan lokal berupa disiplin di sekolah, sopan santun berbuat dan berbicara, kebersihan serta keindahan sangat sukar bahkan tidak mungkin diberikan alokasi waktu (http://massofa.wordpress.com/ 2008/07/29/fungsi-dan-kedudukan-muatan-lokal-dalam-kurkulum/).

Pembelajaran muatan lokal berdasarkan uraian di atas dapat dijadikan bahan kajian dari mata pelajaran yang sudah ada, katakanlah mata pelajaran bahasa Indonesia. Tiap-tiap satuan pendidikan berhak menjadikan muatan lokal sebagai bahan kajian mata pelajaran apapun yang telah ada, oleh karena itu di sekolah-sekolah sekarang terdapat muatan lokal bahasa Indonesia, muatan lokal bahasa Inggris, dan sebagainya.

(27)

lingkungannya. Hal ini dapat dikaitkan dengan peranan legenda sebagai penambah wawasan siswa tentang sejarah lingkungan tempat sisawa itu berada. Kajian Nilai Estetika dalam Legenda Wadu Ntanda Rahi dapat meningkatkan apresiasi siswa terhadap lingkungannya.

2. Fungsi Integrasi: Murid merupakan bagian integral dari masyarakat, karena itu muatan lokal merupakan program pendidikan yang berfungsi untuk mendidik pribadi-pribadi yang akan memberikan sumbangan kepada masyarakat atau berfungsi untuk membentuk dan mengintegrasikan pribadi kepada masyarakat. Dengan kajian Nilai Estetika dalam Legenda Wadu Ntanda Rahi siswa dapat meningkatkan integritas dalam kehidupan bermasyarakat. Siswa bisa bergaul dengan mempertimbangkan nilai-nilai ataupun norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.

(28)

berupa motivasi kepada siswa untuk mempelajari adat dan tradisi dalam masyrakat kemudian mengaplikasikannya dalam kehidupan

(http://massofa.wordpress.com/2008/07/29/fungsi-dan-kedudukan-muatan-lokal-dalam-kurkulum/).

6. Tujuan Muatan Lokal

Sofa dalam artikelnya yang berjudul Fungsi dan Kedudukan Muatan Lokal dalam Kurikulum memaparkan secara umum tujuan program pendidikan muatan lokal adalah mempersiapkan murid agar mereka memiliki wawasan yang mantap tentang lingkungannya serta sikap dan perilaku bersedia melestarikan dan mengembangkan sumber daya alam ,kualitas sosial, dan kebudayaan yang mendukung pembangunan nasional maupun pembangunan setempat (http://massofa.wordpress.com/2008/07 /29/fungsi-dan-kedudukan- muatan-lokal-dalam-kurkulum/).

(29)

a. Tujuan Langsung

1. Bahan pengajaran lebih mudah diserap oleh siswa;

2. Sumber belajar di daerah dapat lebih dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan;

3. Siswa dapat menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari untuk memecahkan masalah yang ditemukan di sekitarnya;

4. Siswa lebih mengenal kondisi alam, lingkungan sosial dan lingkungan budaya yang terdapat di daerahnya.

b. Tujuan Tidak Langsung

1. Siswa dapat meningkatkan pengetahuan mengenai daerahnya; 2. Siswa diharapkan dapat menolong orang tuanya dan menolong

dirinya sendiri dalam rangka memenuhi kebutuhannya;

3. Siswa menjadi akrab dengan lingkungannya dan terhindar dari keterasingan terhadap lingkungannya sendiri.

(30)

tangkap tersendiri bagi seorang anak. Jean Piaget (dalam Sofa, 2010) telah mengatakan bahwa makin banyak seorang anak melihat dan mendengar, makin ingin ia melihat dan mendengar. Lingkungan secara keseluruhan mempunyai pengaruh terhadap cara belajar seseorang. Benyamin S. Bloom (dalam Sofa, 2010) menegaskan bahwa lingkungan sebagai kondisi, daya dan dorongan eksternal dapat memberikan suatu situasi “kerja” di sekitar murid. Karena itu, lingkungan secara keseluruhan dapat berfungsi sebagai daya untuk membentuk dan memberi kekuatan atau dorongan untuk belajar pada seseorang.

(31)

METODE PENELITIAN

A. Sasaran Penelitian

Nilai estetika dalam legenda wadu Ntanda Rahi dan kaitannya dengan pembelajaran Muatan Lokal di SMP merupakan sasaran dari penelitian ini. Penelitian ini bersifat analisis kualitatif, yaitu penelitian yang tidak mengadakan perhitungan.

Data dalam penelitian ini berwujud kata-kata, kalimat-kalimat, dan teks yang terdapat dalam Legenda Wadu Ntanda Rahi karya Alam Malingi. Legenda ini lahir dalam bentuk buku pada tahun 2007, merupakan cetakan kedua pada bulan juli oleh penerbit CV. Mahani Persada.

B. Data dan Sumber Data 1. Data Penelitian

(32)

Malingi pada tahun 2007, merupakan cetakan kedua pada bulan juli oleh penerbit CV. Mahani Persada.

2. Sumber Data

Sumber data penelitian ini menggunakan sumber data primer. Sumber data primer adalah sumber data asli yang langsung dan segera diperoleh. Data primer adalah data yang berasal dari sumber asli atau pertama (http:// www.scribd.com/doc/18003036/Data-Sekunder-Dan-Primer). Sumber

data primer dalam penelitian ini yaitu legenda Wadu Ntanda Rahi yang diterbitkan pada tahun 2007, merupakan cetakan kedua pada bulan juli oleh penerbit CV. Mahani Persada dengan tebal 273 halaman.

C. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan teknik pustaka, dan catat. Teknik pustaka adalah pengumpulan data yang menggunakan sumber data tertulis untuk memperoleh data. Teknik pustaka dilanjutkan dengan teknik catat yakni mencatat data yang diperoleh dari sumber data tertulis. Sumber data tertulis di sini adalah Legenda Wadu Ntanda Rahi.

3. Teknik Analisis Data

(33)

lambang tertentu maka diperlukan metode yang menyajikan data sebenarnya tanpa melalui rekayasa.

Metode yang digunakan dalam analisis data ini adalah metode deskriptif analitik. Metode deskriptif analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Secara etimologis deskripsi dan analisis berarti menguraikan (Ratna, 2010: 53).

Metode deskriptif analitik merupakan gabungan dari dua metode yakni metode deskriptif dan metode analitik. Menurut Hadari Nawawi (dalam siswantoro, 2005: 56) metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.

Metode analitik digunakan dalam rangka menganalisis data dalam penelitian ini. Analisis berasal dari bahasa Yunani, “analyein” (‘ana’= atas, ‘lyein’=lepas, urai), telah diberikan arti tambahan, tidak semat-mata menguraikan melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya (Ratna, 2010: 53).

(34)

berdasarkan urutan cerita. Kegiatan deskripsi data ini hanya sekadar membaca dan memaparkan data apa adanya, tanpa penafsiran dan analisis (Suroso, 2008: 61).

Selanjutnya tahap analisis, yakni tahap menguraikan data. Karya sastra merupakan struktur yang kompleks, maka untuk memahaminya perlu adanya analisis, yaitu menguraikan bagian-bagian atau unsur-unsurnya. Sesungguhnya analisis merupakan salah satu sarana penafsiran atau interpretasi.

Tujuan metode deskriptif analitik yaitu untuk mendeskripsikan nilai estetika dan struktur dari aspek gaya bahasa, setting (lattar), pesan atau amanat, dan aspek budaya dalam legenda Wadu Ntanda Rahi, yang di dalamnya terdapat upaya mengklasifikasikan data, mendeskripsikan, dan menganalis kondisi yang terkandung dalam legenda tersebut.

(35)

estetika dan strukturnya dengan cara menampilkan kutipan-kutipan kalimat atau paragraf dalam legenda Wadu Ntanda Rahi untuk menghasilkan analisis yang total. Dalam tahap analisis juga dijelaskan pelajaran-pelajaran yang bisa di petik dari tiap fragmen yang deksripsikan. Terakhir yakni mengaitkan hasil analisis dengan pembelajaran muatan lokal di SMP.

Untuk mengaitkan nilai estetika dan struktur dalam legenda Wadu Ntanda Rahi karya Alan Malingi dengan pembelajaran muatan lokal di SMP digunakan metode intuitif. Metode intuitif dianggap sebagai kemampuan dasar manusia dalam upaya memahami unsur-unsur kebudayaan. Manusia memahami kebudayaan jelas dengan pikiran dan perasaannya, yaitu dengan intuisi, penafsiran, unsur-unsur, sebab akibat, dan seterusnya. Ciri khas metode intuitif adalah kontemplasi, pemahaman terhadap gejala-gejala kultural dengan mempertimbangkan keseimbangan antara individu dengan alam semesta (Ratna, 2010: 43-44).

(36)
(37)

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Estetika

Estetika atau lebih dikenal dengan keindahan merupakan jiwa dalam sebuah karya sastra. Keindahan berasal dari kata indah, artinya bagus, permai, cantik, elok, molek, dan sebagainya. Benda yang mempunyai sifat indah ialah semua hasil seni, (meskipun tidak semua hasil seni indah), pemandangan alam (pantai, pegunungan, danau, bunga-bunga di lereng gunung), manusia (wajah, mata, bibir, hidung, rambut, kaki, tubuh), rumah (halaman, tatanan, perabot rumah tangga), suara, warna, dan sebagainya.

Hasil Seni

“Sayup-sayup terdengar pula nyanyian yang diiringi alunan Sarone (serunai khas Bima) yang terbuat dari daun lontar. Sesekali terdengar petikan dan pukulan gendang berukuran kecil yang terbuat dari potongan bambu besar. Orang-orang menyebutnya Ta’a Tumba.” (Malingi, 2007: 11).

(38)

Fragmen pertama menggambarkan kreasi seni tradisional yang sederhana. Serunai dari daun lontar dan gendang berukuran kecil. Kemudian yang ke dua menguraikan hasil kerajinan tangan dari masyarakat Bima pada saat itu. Kerajinan tangan tersebut berupa Niru, Bakul, Terompah, serta Tikar yang terbuat dari kulit binatang seperti kerbau, rusa, dan kuda. Kerajinan tradisional seperti ini perlu untuk dikembangkan dengan cara diajarkan dalam mata pelajaran yang menekankan keterampilan siswa seperti Muatan Lokal. Meski hasil kerajinan tangan pada masa cerita Wadu Ntanda Rahi masih sangat sederhana dan bahan bakunya sulit diperoleh di masa sekarang, namun para guru bisa mengalihkan bahan pokok pembuatan kerajianan itu ke bahan-bahan yang mudah diperoleh dan dijangkau di masa sekarang. Seperti tikar dari daun pandan dan sebagainya.

Pemandangan Alam

Fragmen berikut menggambarkan keadaan alam yang lestari, tempat kisah dalam legenda ini dimulai.

“Antara gesekan rumpun bambu dan gemercik air dari sungai Samporo yang berliku, segar dan jernih. Di ujung kampung Bedi yang rimbun menghijau. Lahir seorang anak manusia pada sebuah zaman” (Malingi,2007: 1-2).

(39)

“Sementara ayam-ayam hutan mulai mengepak-ngepakkan sayapnya, lalu berkokok panjang. Satu sama lain saling membalas, saling menyaingi. Seakan mempersembahkan pula syair lagu keluguan dan kedamaian lembah yang dilalui” (Malingi, 2007: 10).

Fragmen di atas menggambarkan tentang keadaan alam pada masa itu. Masa ketika legenda ini belum menjadi legenda. Keadaan alam yang masih alami. Pada masa itu segala bentuk makanan bersumber dari alam dan masih dalam bentuk yang alami. Ayam-ayam hutan, rusa, tidak sulit untuk didapatkan. Masyarakat pada saat itu merasa damai dan bahagia hidup bersatu padu dengan alam, dengan merawat alam meraka juga mendapat keuntungan berupa tersedianya bahan makanan yang sangat mempermudah kehidupan mereka. Hal ini mengajarkan kepada kita untuk senantiasa menjaga keindahan dan kelestarian alam, sehingga kita pun dapat merasakan manfaat yang banyak dari alam seperti sumber air yang jernih, hutan yang hijau sebagai tempat binatang liar. Kehidupan seperti in dapat dilihat pada fragmen berikut:

(40)

Gambaran tentang kondisi hidup dan tempat tinggal juga terdapat dalam fragmen berikut:

“Gubuk bambu di tengah ladang jagung itu tampak bersahaja. Atapnya dibuat dari daun alang-alang yang dirajut tebal dan tertata rapi. Sengaja dibuat menjorok ke depan untuk bersantai sekaligus menerima tamu. Karena di depan gubuk itu terdapat sebuah balai bamboo berukuran dua kali dua meter. Di atasnya dialasi kulit rusa, kerbau, kambing dan sapi yang telah dikeringkan. Karena pada masa itu kulit-kulit binatang itulah yang dijadikan sebagai tikar.” (Malingi. 2007: 89).

Manusia

Manusia di sini meliputi wajah, mata, bibir, hidung rambut, kaki, tubuh, tidak lupa pula watak, sifat dan tingkah laku. Berikut fragmen yang menggambarkan hal tersebut.

“La Nggusu. Sebuah nama anugerah alam. Titipan sebuah peradaban untuk generasinya. Sebagai lambang keluhuran budi. Kesempurnaan, keuletan dan keperkasaan pemuda dana Mbojo” (Malingi, 2007: 2).

“…La Nggini. Seorang dara ciptaan keindahan alam. Titipan keluguan dan kesederhanaan peradaban untuk generasi-generasinya. Berwajah bulat, putih bersih, padat dan bersisi, dengan rambut hitam panjang dan terurai.” (Malingi, 2007: 26).

(41)

yang menjadi contoh bagi pemuda lain di dana Mbojo (tanah Bima), memiliki budi yang luhur ulet dan perkasa. Selanjutnya adalah La Nggini, gadis yang akan menjadi istri La Nggusu. Sosok La Nggini digambarkan sebagai perwakilan keelokan gadis desa. Cantik alami tanpa dipoles make-up. Gadis sederhana yang membuat laki-laki terpesona.

Gambaran semua karakter yang tertera di atas memberika pelajaran pada kita bahwa cantik dan dikagumi itu bukan semata-mata karena make-up melainkan karena kemurnia budi dan juga kesederhanaan. Bagi remaja atau lebih tepetnya siswa yang beranjak ke usia dewasa (siswa SMP) sangat penting untuk memahami arti kecantikan alami. Mereka dapat menjadikan sosok La Nggini (bagi siswi) sebagai model untuk mempelajari hal demikian.

“Semilir angin berhembus memberi kesejukan. Menghembuskan desahan kebahagiaan. Terpancar dari setiap raut wajah yang mulai mencangkul, menggali dan merapikan pagar-pagar di sekeliling ladang.” (Malingi, 2007: 10).

“Dari arah berlainan terdengar gelak tawa, canda riang dari bibir-bibir manis gadis desa. Berjalan beriring-iringan sambil saling mendorong. Ada yang menjunjung bakul, pundi-pundi air dan makanan serta buah-buahan untuk bahan rujak.” (Malingi, 2007: 11).

(42)

senang hati. Hal ini juga merupakan pelajaran yang sangat berarti. Siswa diajarkan untuk melakukan segala sesuatu dengan lapang dada, dengan begitu apapun pekerjaan yang akan dikerjakan senantiasa membuat hati riang. Pelajaran ini juga dijumpai dalam fragmen berikut: “Dengan senang hati Langgusu bersama rekan-rekannya bekerja di ladang itu. Sementara para gadis menyiapkan makanan dan minuman. Salah seorang pemuda berpantun dan bersyair, terkadang bernyanyi sambil menyindir untuk menunggu

balasan dari para gadis.” (Malingi, 2007: 28).

Ada juga fragmen yang menandakan peran mata, bibir, serta anggukan kepala dalam merespon perasaan. Hal ini penting diketahui siswa, bahwa ketika mereka mulai menyukai seseorang maka mereka harus belajar mengontrol perasaan. Hubungan asmara yang terjalin ketika parasaan suka dan kagum tumbuh dijalani dengan cara yang sopan oleh tokoh La Nggini dan La Nggusu dalam cerita ini. Siswa dapat menjadikan ini sebagai modal untuk menanggapi perasaan mereka ketika hal seperti ini mereka alami. guru harus pintar dalam mengajarkan hal ini kepada siswa sehingga siswa tidak menganggap bahwa hal ini “norak” atau kampungan. Beberapa fragmen berikut menggambarkan hal demikian:

(43)

“Kembali dua pasang mata itu saling bertatapan. Seakan menghadirkan cahaya. Cahaya bulan yang akan menaungi malam yang dihiasi segala lamunan. Lamunan cinta pertama yang mulai bersemi.” (Malingi, 2007: 43).

“Berdebarlah jantung La Nggusu mendengar suara lembut dari bibir manis merekah itu.” (Malingi, 2007:38).

“La Nggusu hanya menganggukan kepalanya. Sebagai tanda terimanya atas ajakan itu… tak satupun kata yang dapat dia ucapkan. Sebab lukisan kebahagiaan telah membungkam mulutnya.” (Malingi, 2007: 38).

Seperti yang dijelaskan di latar belakang bahwa indah itu tergantung bagaimana tanggapan orang. Jika orang akan merespon baik terhadap kita, maka kita sudah memancarkan efek estetis sebab keindahan itu adalah kebaikan, dan kebaikan adalah keindahan. berikut fragmen yang memuat bagaimana tanggapan tokoh yang satu terhadap tokoh lainya.

“La Nggini bagiku adalah teman dalam suka dan duka. Dia sangat taat dan penurut.” (Malingi, 2007: 41).

“yah.. maksudku La Nggusu adalah nama yang baik. Sungguh tepat dengan tabiat dan bentuk tubuhmu.” (Malingi, 2007:39).

(44)

Fragmen di atas mengajarkan kepada siswa bahwa baik buruknya kita dapat dilihat dari penilaian orang lain terhadap diri kita. Jadi, sangat penting untuk menampilkan hal yang baik-baik saja kepada orang lain.

B. Strukturalisme 1. Gaya bahasa

Seperti yang dikemukakan di depan bahwa gaya bahasa merupakan cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. Adapun gaya bahasa yang digunakan Alan Malingi dalam legenda Wadu Ntanda Rahi, sebagai berikut: a. Klimaks: semacam gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan

pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya. Seperti yang terlihat pada fragmen berikut: “Jika kau ingin membangun sebuah gubuk pilihlah jenis kayu yang baik agar tetap tahan lama. Panggillah Panggita

(seseorang yang memiliki kesaktian dalam masalah pembangunan rumah. Ia sangat sakti dalam meletakan pondasi rumah dan

(45)

yang akan memberikanmu kesejukan hidup bersama anak cucumu.” (Malingi, 2007: 15).

b. Antitesis: sebuah gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan, dengan mempergunakan kata-kata atau kelompok kata yang berlawanan. Gaya ini timbul dari kalimat yang berimbang. Seperti terlihat pada fragmen berikut: “Tua-muda, laki-perempuan, bahkan anak-anak bahu membahu membantu sesama.” (Malingi, 2007: 4).

c. Repetisi: perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Dapat dilihat pada fragmen berikut: “Mata hati ternyata sangat tajam menerobos kegelapan malam yang dihiasi segala lamunan. Mata hati dapat melihat barang yang

tidak dapat dilihat oleh orang lain.” (Malingi, 2007: 58)

“Sungguh indah pesona alam telluk Bima malam itu. Teluk yang tenang dan damai.” (Malingi, 2007: 100).

(46)

d. Aliterasi: semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama. Biasanya dipergunakan dalam puisi, kadang-kadang dalam prosa, untuk perhiasan atau untuk penekanan. Gaya bahasa ini dapat dilihat pada fragmen berikut: “Akekumone madawara suru, ma lao di so ra sera, ma kanggihi fare, ba ne’e fou ana fari (inilah pemuda yang tidak pernah surut bertani dan berladang. Tiada lain adalah untuk dipersembahkan kepada

bidadariku).” (Malingi, 2007: 30-31).

“Wunga maru keseku di wawo kaso (sedang tidur sendiri di atas kasur).” (Malingi, 2007: 31-32).

“Warasi La Were mamai wunga taroa wura (dikalau datang pujaanku saat bulan purnama)…” (Malingi, 2007: 34).

“…sura sabua raumpa di tu’u di wawo sarei (hanya satu saja yang berdiri tegak di halaman kita)…” (Malingi, 2007: 35-36). “Nggara ndedesi di rahomu di nahu dou di rahi (kalau memang demikian keinginan adinda).” (Malingi, 2007: 36).

(47)

berikut: “…ngupa ta mada ba ita amania (kakanda mencari daku).” (Malingi, 2007: 31).

“…amancawaku mamaci sarome bune wua sarume (adindaku yang tersenyum manis)…” (Malingi, 2007: 32).

“Santikana warampa nggahi ra eli mada doho ma lao lu’u (jika hasrat kami bisa diterima)…” (Malingi, 2007: 66- 67).

f. Hiperbola: gaya bahasa yang mengandung suatu peryataan yang berlebihan. Seperti terlihat pada fragmen berikut: “Debaran jantung La Nggusu semakin cepat dan kuat ketika tatapan membalas dan tertuju padanya.” (Malingi, 2007: 17).

“ ’Bisikkan kepadanya, bahwa di atas punyak bukit ini, istrinya tetap setia menanti kedatangannya sampai titik darah penghabisan.’ ” (Malingi, 2007: 152-153).

(48)

“Dipeluknya erat-erat, lalu ia mencium keningnya.” (Malingi, 2007: 127).

“Lentera-lentera dari dalam gubuk menjadi padam. Suasana menjadi semakin gelap dan mencekam.” (Malingi, 2007: 132).

“Para pemuda desa mulai menyusuri jalan-jalan setapak menuju ke ladangnya masing-masing. Mereka bersiul dan bernyanyi.” (Malingi, 2007: 141).

h. Simile: langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Untuk itu, ia memerlukan upaya secara eksplisit menunjukan kesamaan itu, yaitu kata-kata: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya. Gaya ini ditemukan dalam fragmen berikut: “…rambut panjang bagai mayang terurai, putih bersih laksana bidadari yang turun dari kayangan.” (Malingi, 2007: 17).

“Dari kejauhan anak-anak gembala mulai menuntun gembalaannya ke padang rumput menghijau bagai hamparan permadani.” (Malingi, 2007: 11).

(49)

i. Personifikasi: semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang tidak bernyawa seolah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Gaya ini dapat dilihat dari fragmen berikut: “Karena matahari baru saja menghilang dari pandangan…” (Malingi, 2007: 122).

“Sementara dari langit timur, purnama masih samar-samar pucat…” (Malingi, 2007: 122).

“Semakin tengah malam, angin semakin mengamuk. Menerbangkan atap alang-alang gubuk-gubuk penduduk.” (Malingi, 2007: 131).

Secara umum gaya bahasa di atas dapat dipergunakan sebagai salah satu teknik pengembangan kosa kata. Di samping sebagai salah satu teknik pengembangan kosa kata, jelas bahwa gaya bahasa pun merupakan sarana penting dalam: (a) menunjang keterampilan menulis, (b) menunjang keterampilan membaca, (c) menunjang keterampilan berbicara, (d) menunjang keterampilan menyimak, dan (e) menunjang pemakaian dan penghayatan karya sastra. (Tarigan, 2009: 3).

2. Setting (latar)

(50)

peristiwa atau kejadian-kejadian yang dapat mewujudkan watak tokoh cerita. Jadi penggambaran mengenai lingkungan fisik, tempat, ruang, dan masa inilah yang dimaksud dengan latar atau setting dalam cerita. Dalam legenda Wadu Ntanda Rahi terdapat beberpa seting atau latar tempat, seperti terlihat pada fragmen berikut:

”Dengan senang hati La Nggusu bersama rekan-rekannya bekerja di ladang itu. Sementara para gadis menyiapkan makanan dan minuman. Salah seorang pemuda perpantun dan bersyair, terkadang bernyanyi sambil menyindir untuk menunggu balasan dari para gadis. Gadis-gadis itu dengan senang hati membalas pantun dan syair dengan sindiran pula” (Malingi, 2007: 28).

Fragmen di atas mengandung latar tempat yakni di ladang. Peristiwa yang terjadi di ladang ini adalah balas membalas pantun antara pemuda dengan pemudi. Sementara fragmen yang menandakan tempat kediaman seperti berikut:

”Ternyata di balai-balai depan gubuknya, La Nggusu menunggu kepulangan ayah bundanya dari kampung seberang.” (Malingi, 2007: 56).

”Dari luar pagar bambu yang mengelilingi gubuk itu muncullah beberapa gadis remaja.” (Malingi, 2007: 27).

(51)

”...di depan gubuk itu terdapat balai-balai bambu berukuran dua kali dua meter.” (Malingi, 2007: 89).

”Kemilau sinarnya memantul dari atas telaga di samping gubuk La Nggusu.” (Malingi, 2007: 43).

”Sementara itu di dalam gubuk peraduan, La Nggusu dan La Nggini duduk berdampingan.” (Malingi, 2007: 87).

Ada juga fragmen yang menandakan latar tempat seperti di sebuah teluk, di kaki sebuah bukit, di teluk bima, sebagai berikut:

”Di tepi sebuah teluk yang indah, tenang dan damai.” (Malingi, 2007: 1).

”Di kaki sebuah bukit mereka mendaki sampai ke puncaknya.” (Malingi, 2007: 126).

”Malam itu suasana sekitar teluk Bima cukup ramai. Perahu-perahu nelayan hilir mudik di tengah laut mencari ikan.” (Malingi, 2007: 100).

(52)

Fragmen yang terakhir di atar menguraikan latar yang berpindah-pindah dalam satu peristiwa, yakni dipinggir kampung menuju pinggir pantai dan sampai di pinggir pelabuhan. Hal ini terjadi karena si tokoh sedang melakukan perjalanan.

Dalam cerita ini juga menyebutkan tanah Gowa, yaitu sebutan lama dari Makasar. Seperti yang tergambar dalam fragmen berikut:

”Di pelabuhan Gowa ia bertemu dengan La Mone. Sahabat lamanya yang baru saja tiba di Gowa.” (Malingi, 2007: 233).

”Ketika La Nggusu menginjakan kakinya di tanah Gowa. Waktu itu Bice memang sedah beranjak remaja.” (Malingi, 2007: 231).

”Di sebuah rumah panggung dua belas tiang yang terletak di dekat pelabuhan Gowa, Bice duduk termenung di dekat jendela yang langsung menghadap ke laut.” (Malingi, 2007: 240).

”Dari kejauhan masi terlihat lampu-lampu di pelabuhan Gowa.” (Malingi, 2007: 247).

Selanjutnya yang menyatakan latar waktu seperti di malam hari, pagi, sore, dan sebagainya terlihat dalam fragmen berikut:

(53)

”Pada malam harinya, La Nggini dimandikan dengan berbagai macam bunga-bunga.” (Malingi, 2007: 87).

”Pada suatu malam, untuk kesekian kalinya La Nggusu berkeinginan untuk mencari ikan di laut.” (Malingi, 2007: 99).

”Malam itu seasana sekitar teluk Bima cukup ramai.” (Malingi, 2007: 100).

”Malam itu bulan tidak tampak. Hanya beberapa bintang yang tetap berkelap-kelip di angkasa.” (Malingi, 2007: 131).

”Malam itu warga mendatangi rumah kepala kampung untuk melaporkan tentang kabar yang sangat santer itu.” (Malingi, 2007: 179).

”Semakin tengah malam, angin semakin mengamuk.” (malingi, 2007: 131).

”Pagi itu tidak seperti biasanya, sinar matahari terhalang mendung yang menyelimuti seluruh penjuru langit.” (Maliingi, 2007: 107).

”Pada suatu pagi yang cerah La Nggusu bersama ayah bundanya mempersiapkan diri untuk pergi ke ladang.” (malingi, 2007: 9).

(54)

”Sore itu cuaca bersahabat. Langit membiru dan hampir tiada titik awan hitam.” (Malingi, 2007: 74).

”Langit masih menyisahkan sinar kemerah-merahan. Karena matahari baru saja menghilang dari pandangandi balik gunung Soromandi. Gunung tertinggi yang terletak di sebelah barat teluk Bima.” (Malingi, 2007: 122).

Fragmen terakhir di atas menandakan waktu sore menjelang magrib. Sebab dijelaskan yang tertinggal hanya sinar kemera-merahan yang berati di senja hari. Ada pula latar waktu yang meyebutkan keesokan harinya seperti pada fragmen berikut:

”Keesokan harinya, badaipun reda. Orang-orang berdatangan ke tempat itu.” (Malingi, 2007: 133).

Selanjutnya dalam legenda Wadu Ntanda Rahi terdapat keterangan tentang latar waktu yang menunjukan bulan maupun tahun. Perhatikan fragmen berikut:

”Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Genaplah enam tahun La Nggusu meninggalkan Bima.” (Malingi, 2007:135).

(55)

Kedua fragmen di atas merupakan usaha penyingkatan waktu yang dipakai pengarang untuk mepersingkat jalan cerita. Biasanya untuk menyingkat peristiwa dalam seminggu, sebulan, bahkan bertahun-tahun seperti yang tertera di atas. Ada juga penyingkatan waktu dalam hitungan jam dan hari, seperti terlihat di fragmen berikut: ”Beberapa saat kemudian, ia berlari menuju sebuah bukit bersama nafasnya yang semakin tak menentu.” (Malingi, 2007: 162).

”Beberapa hari kemudian, berangkatlah La Nggini dan La Bandi di pelabuhan Bima.” (Malingi, 2007: 162).

3. Pesan atau Amanat

Pesan merupakan maksud atau tujuan pengarang dalam membuat karya sastra. Secara umum legenda Wadu Ntanda Rahi mengungkapkan tentang kesetian seorang perempuan dalam menanti suaminya yang tengah merantau di negeri Gowa. Sebelum berpisah mereka berjanji untuk selalu setia dalam keadaan apapun lengkap dengan resiko yang akan ditanggung jika timbul keraguan di antara mereka. Seperti yang terlihat pada beberapa fragmen berikut:

” ’Kakanda. Sumpah yang akan kita ucapkan ini tetap selalu menjadi pegangan kita dimanapun kita berada.’

(56)

Lalu La Nggusupun memulai kata-kata sumpahnya.

’Aku bersumpah, jika sebiji zarahpun aku meragukan cinta dan kesetiaanmu selama aku pergi, badai dan ombak di samudera yang luas akan melaknat diriku. Dan jika kelak aku pulang dan hanya menemukan pusaramu aku akan bermunajat kehadirat Tuhan maha pencipta untuk bersamamu menuju kehariban-Nya.’

’Akupun bersumpah, aku akan menjadi batu juka sebiji zarahpun pendirianku bimbang dan goyah. Dan jika kakanda tidak kembali untuk selama-lamanya, biarlah dunia akan berbicara dan bercerita. Biarlah bumi ini yang akan jadi saksi apapun yang akan aku lakukan sebagai wujud cinta dan kesetiaanku padamu.’ ” (Malingi, 2007: 116-117).

(57)

”Pada suatu malam badai yang sangat besar menghantam kapal kami hingga terbalik dan pecah, penumpang berenang dan berjuang menyelamatkan diri. La Nggusu pun demikian, ia berusaha sekuat tenaga untuk meraih sebuah sapu tangan kuning yang masih terapung di laut. Setelah ia dapatkan dicium dan dipeluknya erat-erat. Aku meraih sebuah papan kayu dan berusaha mendekat ke arahnya. Namun semakin aku mendekat, ia semakin jauh dan perlahan-lahan tangannya melemah. Di tengah-tengah gulungan ombak sayup-sayup ku dengar teriakannya memanggil namamu. Hingga akhirnya ia menghilang dari pandanganku.” (Malingi, 2007: 268).

”... tiap pasang mata mencari La Nggini, namun mereka tak menemukan wanita itu. Yang mereka temui hanyalah batu besar laksana seorang manusia yang duduk di tepi puncak bukit. Orang-orang terhenyak. La Ngiini telah menjadi batu.” (Malingi, 2007: 272).

Di samping pesan secara umun di atas, ada pula pesan atau amanat yang terkandung di beberapa alinea dalam cerita ini. Seperti petuah orang tua kepada anak, larangan adat, dan sebagainya.

Petuah atau pesan orang tua kepada anak dapat dilihat pada beberapa fragmen berikut:

(58)

” ’ Nggusu! Aku ingin menyampaikan beberapa hal kepadamu. Sebagai bekal untuk mengarungi samudera hidupmu yang masih panjang...’

’Utarakan Ompu, semua nasehat dan petuah akan anakda terima dengan hati lapang.’

’Pegang tegulah palsafah hidup Maja Labo Dahu (malu dan takut kepada Tuhan. Malu dan takut untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan adat-adat, moral dan etika).’ ” (Malingi, 2007: 12-13).

Sebagai anak yang baik hendaklah kita seperti sikapnya La Nggusu pada fragmen di atas. Ketika orang tua sedang menyampaikan nasehat maka dengarkanlah dengan lapang dada, simak dan pahamilah, supaya kita menjadi anak yang berguna bagi diri sendiri dan orang lain.

Selanjutnya petuah atau nasehat dari orang tua kepada anak yang bisa kita jadikan pelajaran terlihat pada fragmen berikut:

” ’Jika engkau ingin hidup berumah tangga, pilihlah sosok yang wanita yang sabar, taat dan setia. Karena itulah kekuatan dan kekayaanmu dalam mengarungi bahtera rumah tangga.’ ’’ (Malingi, 2007: 14).

(59)

’Jangan sampai kita bangun tidur setelah ayam jantan berkokok. Sebab tidur lebih awal dan bangun lebih awal akan membuat orang sehat, kaya dan bijaksana.’ ” (Malingi, 2007: 15).

Ada juga petuah orang tua (Ina Male dan Ompu Nggaro) untuk anaknya La Nggusu yang akan meninggalkan kampung halaman, merantau ke negeri orang (Gowa) demi meraih impiannya. Petuah ini ditulis dalam bahasa Bima, biasa disampaikan kepada sang anak yang hendak berpergian jauh meninggalkan kampung halaman. Petuah semacam ini masih dijumpai sampai sekarang sebagai tradisi masyarakat Bima ketika melepas kepergian anaknya. Berikut fragmennya:

” ’Nggara malaosi di dana na’e kalau. Kawara ro samada to’i pu samena na nami ma midi. Kani ra kaco’i pu nggahi ra eli dou matua ma ulu. Mbei to’i pu risumu ade wi’i paki kai mu rasa.’

’Mune’e si ra loa, ade lao kaimu di dana na’e kalau. Pata ra paresa ulu wa’upu dou mantau dana ro rasa. Ntaupu ila ade kadale kaimu nggahi ra eli. Aina turu rewo wati si wara di rawi.’

(60)

’Ntaupu kananu ngupa ngaha ra nono. Ai na ntuwu ngango ra ngora bai ba iha ngara. Bai ba ingi anga basupu da awa angi. Ka tadapu ca’u ra ne’e mu di tando dou ma na’e.’

’Aina ndonta ro pehe mpoamu, nggahi rawi pahu. Maja labo dahupu karawi di tando dou mariwu. Naloa ku ra woju rowaha di ru’u ba dou sara’a. Na loa to’i ku ra sana, mori ndaita sanai-nai.’

’Dula ra mbali roci to’i pu di ncai mambala.’ ’Dula ro mbali di rasa, kai sarumbu ma raso.’ ’Dula ra mbalisi, mai to’i pu labo moci ra moi.’ ’Dula ra mbali to’i pu di ruma kai saronco sarome.’

Terjemahan: Jikalau engakau merantau ke negeri yang jauh, ingatlah selalu kami yang ditinggalkan. Hormati dan hargailah petuah orang-orang tua. Pegang teguhlah semua itu selma petualanganmu.

Jika ingin menimba ilmu dan pengalaman di rantauana, periksa dan telitilah tabiat orang di bumi yang kau pijak, jagalah segala tutur katamu dan jagalah setiap deret langkahmu.

Sebagai insan yang naif, kita perlu menengadahkan tangan memohon kepada Sang Pencipta. Malu dan takutkah untuk berbuat yang tidak benar jika ingin maju. Dan janganlah terlalu berlebuhan di dlama hidup ini, pikirkanlah masak-masak dlama mencari penghidupan agar nama baik tetap terjaga. Tunjukanlah rasa suka citamu setiap saat.

(61)

Kembalilah ke jalan yang lurus, kembalilah di kampung halaman dalam keadaan bersih lahir dan batin. Kembalilah tanpa meninggalkan kesan yang tidak baik dari rantauan. Jika engkau mati kembalilah kehadirat-Nya dengan tersenyum.’ ” (Malingi, 2007: 119-122).

Selanjutnya adalah pesan atau amanat dari seorang sahabat ditunjukan oleh fragmen berikut:

” ’Engkau masih muda sahabatku. Perjalanan hidupmu masih panjang. Dan dunia tidaklah sempit dan sekejam seperti yang engkau kira. Karena dalam duka pasti ada suka. Tidak selamanya mendung itu kelabu. Suatu saat pasti engkau akan menemukan seberkas sinar terang dicelah-celah kemendungan itu.’ ” (Malingi, 2007: 161).

” ’Berpikirlah jauh ke depan, masih banyak jalan yang harus kita tempuh untuk sedikit demi sedikit melupakan kedukaanmu.’ ” (Malingi, 2007: 161).

(62)

Di samping setia kawan, ada juga penghianatan seorang sahabat. Pelakunya masih sama, yakni La Bandi terhadap La Nggini. Hal ini juga dijadikan pelajaran buat para pelajar dan kita semua, bukan diajarkan untuk ditiru akan tetapi untuk dihindari. Perhatikan fragmen berikut:

”Mendengar ucapan itu, merahlah muka La Bandi seketika... sejurus kemudian timbulah akal busuknya. Ia berbalik arah untuk kembali menuju ke kampung. Dari setiap orang yang ditemuinya ia menyebar berita bahwa La Nggini telah berbuat sorong dengan seorang saudagar kaya dari makasar. Dan bukan hanya itu saja, ia menyebarkan fitnah bahwa La Nggini ke pelabuhan Bima adalah untuk menjual diri dan menjadi wanita penghibur para pelaut dan saudagar-saudagar. Karena ia tidak dapat menajan gejolak birahinya akibat ditinggal La Nggusu.” (Malingi, 2007: 178-179).

(63)

”...perasaan La Bandi semakin tak menentu. Membuktikan bahwa ia semakin dipojokan oleh seluruh masyarakat. Semua pergunjingan gadis-gadis itu meskipun agak jauh dari tempat pesembunyiannya, namun begitu nyaring terdengar sampai ke telinganya. Ia hanya dapat menangis. Menyesali apa yang telah ia lakukan terhadap saudagar maupun sahabat karibnya La Nggini.” (Malingi, 2007: 211).

”Keesokan harinya, terjadi peristiwa menghebohkan. Salah seorang warga menemukan mayat wanita muda yang tergantung di ranting pohon itu. Dengan mata yang masih terbelalak dan lidah yang masih menjulur orang-orang menghampiri tempat itu. Mayat itu adalah mayat La Bandi yang telah mengakhiri hidupnya secara tidak wajar.” (Malingi, 2007: 218).

Sungguh mengerikan nasib yang dialami La Bandi. Dia menerima hukuman akibat perbuatannya yang telah memfitnah sahabatnya sendiri. Sangat tidak patut dicontoh. Hal ini dapat dijadikan pelajaran kepada para pelajar untuk menjauhi perilaku fitnah.

4. Aspek Budaya

(64)

artefak. Maka penelitian ini menganalisis aspek budaya berdasarkan ketiga wujud kebudayaan tersebut.

 Gagasan: kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan seperti ini dapat dilihat pada beberapa fragmen berikut:

“Pegang teguhlah falsafah hidup Maja Labo Dahu (malu dan takut…).” (Malingi, 2007: 13).

“Menurut pengalaman beberapa tahun yang lalu, tanaman yang cocok untuk ditanami saat ini masih tetap padi dan jagung.” (Malingi, 2007: 8).

“…panggilah Panggita (seseorang yang memiliki kesaktian dalam masalah pembangunan rumah. Ia sangat sakti dalam meletakkan pondasi rumah dan mengatur tata tempatnya. Sehingga rumah itu akan kuat dan terlindung dari bencana serta gangguan mahluk halus).” (Malingi, 2007: 14).

(65)

“ ‘Manis jangan lekas ditelan, pahit jangan lekas dimuntahkan, hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri.’ ” (Malingi, 2007: 236). Fragmen-fragmen di atas mengandung wujud kebudayaan berupa ide dan gagasan-gagasan yang dijalani dalam kehidupan bermasyarakat. Ada pula yang berwujud norma atau peraturan serta sanksi adat yang terdapat dalam legenda ini, seperti terlihat pada fragmen berikut:

“ ‘Tiada jalan lain. Dia harus mendapat sanksi adat di BAJA (sanksi yang diberikan kepada seseorang yang telah melanggar ketentuan adat, yaitu diarak keliling kampung disertai umpatan dan caci maki) atau dibuang.” (Malingi, 2007: 206-207).

(66)

“Suasana gotong royong merupakan pemandangan yang cukup menarik dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.” (Malingi, 2007: 4).

Fragmen di atas menunjukan tradisi masyarakat yakni gotong royong. Gotong royong sangatlah penting dilakukan, di samping untuk meringankan bebab juga bermanfaat untuk mempererat tali silaturrahmi. Dengan begitu hubungan sosial akan semakin harmonis.

Selanjutnya fragmen yang menunjukan tingkah laku pemuda dan pemudi dalam bergaul. Dalam legenda ini para remaja saling mengenal dengan berbalas pantun. Pantun-pantun itu seperti terlihat pada fragmen berikut:

“ Pemuda: ‘Na wa’ura wancu, ama ncawaku ma su’u wonca. Lampa di ele, mada wara nggahi ra eli. Kili salaho sarompi, mada hengga kone Rimpu. Ntika lo’o langga bune douma lenggo (aduhai cantiknya adikku yang menjunjung bakul, jalan kesana kemari tanpa tegur sapa. Memungut kayu bakar tanpa membuka Rimpu. Lenggak lenggok seperti penari).’

(67)

berkalungkan handuk di leher. Janganlah terlalu banyak keluyuran, kalau terus keluyuran lebih baik turun ke ladang).’ ” (Malingi, 2007: 28-30).

Tingkah laku lain dalam legenda ini adalah tahapan-tahapan pernikahan sebagai suatu proses adat, mulai dengan proses menanyakan perihal lamaran ke pihak si gadis oleh pihak lelaki, sampai resmi menjadi suami istri. Hal ini terlihat pada beberapa fragmen berikut:

“Proses adat diawal ketika Ompu Nggaro dan Ina Male berkunjung ke rumah La Wila. Dalam kebiasaan masyarakat Bima diawali dengan La Lose Ro La Ludi atau Nuntu Nari Ra Mpida… tidak lain adalah untuk menanyakan apakah putrinya belum dilamar oleh orang lain atau sudah.” (Malingi, 2007: 50).

Proses selanjutnya adalah Lao Kakaro Labo Ampa Sonco. Hal ini ditunjukan oleh fragmen berikut:

“Setiap kunjungan mereka selalu membawa buah tangan. Kadang berupa buah mangga yang sudah masak… kunjungan ini disebut Lao Kakaro Labo Ampa Sonco.” (Malingi, 2007: 58-59).

(68)

adalah orang-orang yang pandai berbicara seperti pemuka masyarakat dan tetua-tetua adat. Begitupun di pihak perempuan, menyiapkan orang-orang yang pintar merangkai kata untuk menyambut utusan pihak lelaki. Kedua utusan ini akan berbicara dengan menggunakan bahasa yang indah atau bahasa syair. Proses ini disebut Lao Wi’i Nggahi atau Pita Nggahi. Contoh dialog dari kedua utusan terlihat pada fragmen berikut:

“La hase (utusan lelaki): ‘Mboto-mboto kangampu ade ndiha ra nggari kai mai dou Ompu Nggaro mada doho ma mai raka sowo ita doho douta siwe. Ba ne’e mai katada isi ade tando ita doho sa’udu. Ina mpu’u walina ba ne’eku lu’u ade la wili ndai Ompu Wila (ijinkanlah kami menyampaikan permohonan maaf kepada tuan-tuan, kkami datang hendak bernaung di bawah paying tuan-tuan untuk menyampaikan hasrat yang selama ini terpendam yaitu bernaung di dada Ompu Wila).’

(69)

Proses-proses selanjutnya dijelaskan secara berurutan sesuai urutan frragmen berikut:

“Wa’a Mama adalah pengantaran sirih pinang disertai berbagai macam kue ke rumah si gadis. Kemudian oleh orang tua si gadi membagikan kepada keluarganya, sebagai pengumuman atau undangan bahwa anak gadisnya telah dipinang.” (Malingi, 2007: 70).

(70)

“…lalu ia diusung oleh empat orang pemuda yang berbadan kekar. Dan dibawa ke gubuk yang baru saja dibangun oleh La Nggusu. Proses ini disebut Kalondo Wei (menjemput istri dari rumah orang tuanya dan diantar ke rumah yang disediakan oleh penganten laki untuk dirias). Rumah itu disebut Uma Ruka.” (Malingi, 2007: 85).

“Pada malam harinya, La Nggini dimandikan dengan berbagai macam bunga-bunga. Dalam adat Bima disebut Sangongo atau mandi uap. Dilanjutkan dengan acara Boho oi Mbaru atau siraman sebagai tanda bahwa si gadis telah melepas masa lajangnya dan siap menempuh hidup baru.” (Malingi, 2007: 85).

“Sementara ibu-ibudan para gadis sibuk membersihkan, menata dan merias bilik La Nggini. Acara ini dikenal dengan Cafi Hambu Maru Kai…” (Malingi, 2007: 85). “La Nggini mengenakan baju kebesaranya. Ibu-ibu dan para gadis merias wajahnya agar tampak cantik dan indah dipandang mata (Na ambi ra ntika ku di ntanda ba dou ma mboto). Tujuh orang ibu bergiliran meletakkan lumatan daun pacar pada telapak kakai dan tangannya. Lalu muncullah warna merah sebagai tanda bahwa dia akan menjadi milik orang. Proses ini desebut Kapanca.” (Malingi, 2007: 86).

(71)

Orang-orang berdatangan memberikan do’a restu kepada keduanya,” (Malingi, 2007: 87).

Terakhir adalah proses Boho Oi Ndeu. Berikut fragmennya: “Proses ini disebut Boho Oi Ndeu. Prosesi memandikan penganten dengan air do’a yang suci. Terbesit pengharapan semoga mereka tetap suci bersih sebagai mana

mereka lahir ke dunia.” (Malingi, 2007: 88).

 Artefak: wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan. Wujud kebudayaan ini dapat dilihat pada fragmen-fragmen berikut:

“Sayup-sayup terdengar pula nyanyian yang diiringi alunan Sarone (serunai khas Bima) yang terbuat dari daun lontar. Sesekali terdengar petikan dan pukulan gendang berukuran kecil yang terbuat dari potongan bambu besar. Orang-orang menyebutnya Ta’a Tumba.” (Malingi, 2007: 11).

(72)

Dan artefak atau benda sejarah yang paling urgen yang ditunjukan oleh legenda ini adalah Batu. Batu seorang perempuan yang menatap suaminya di atas bukit yang bisu. Terlihat dalam fragmen berikut:

“ ‘Wadu!’ jerit seseorang.

‘Ntanda Rahi…’ yang lainpun menyambung.

Tempat itu dikenal “Wadu Ntanda Rahi” hingga kini. (Batu yang terus mengenang dan menatap suaminya).” (Malingi, 2007: 272).

A. Hasil Analisis Nilai Estetika dan Kaitannya dengan Pembelajaran Muatan Lokal di SMP

Referensi

Dokumen terkait