• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. remaja, yakni masa perkembangan sifat tergantung (dependence) terhadap orang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. remaja, yakni masa perkembangan sifat tergantung (dependence) terhadap orang"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.

Istilah pubertas maupun adolescensia sering dimaknai dengan masa remaja, yakni masa perkembangan sifat tergantung (dependence) terhadap orang tua ke arah kemandirian (independence), minat-minat seksual, perenungan diri, perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral. Sedangkan menurut Harold Alberty, remaja merupakan masa peralihan antara masa anak dan masa dewasa yakni berlangsung 11-13 tahun sampai 18-20 tahun menurut umur kalender kelahiran seseorang.1

Sejauh mana remaja dapat mengamalkan nilai-nilai yang dianutnya dan yang telah dicontohkan kepada mereka? Salah satu tugas perkembangan yang harus dilakukukan remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompoknya lalu menyesuaikan tingkah lakunya dengan harapan sosial tanpa bimbingan, pengawasan, motivasi, dan ancaman sebagaimana sewaktu kecil.2 Dia

1 Abin Syamsuddin Makmun, Psikologi Kependidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), 94.

2 Menurut Robert J. Havighurst dalam (Adam & Gullota, 1983: 165), mengartikan tugas perkembangan sebagai berikut: A developmental task is a task which aries at or about a certain period in the life of the individual, successful achievement of which leads to his happiness and to success whith later task, while failure leads to unhappiness in the individual, disapproval by society, and difficulty whith later task. Maksudnya, bahwa tugas perkembangan itu merupakan suatu tugas yang muncul pad periode tertentu dalam rentang kehidupan individu, yang apabila tugas itu dapat berhasil di tuntaskan akan membawa kebahagiaan dan kesuksesan dalam menuntaskan tugas berikutnya: sementara jika gagal, maka akan menyebabkan ketidakbahagiaan pada diri individu yang bersangkutan, sehingga bisa menimbulkan penolakan masyarakat, kesulitan-kesulitan dalam

(2)

juga dituntut mampu mengendalikan tingkah lakunya karena dia bukan lagi tanggung jawab orang tua atau guru.

Berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan Kohlberg pada tahun 1958, sekaligus menjadi disertasi doktornya dengan judul The Developmental of Model of Moral Think and Choice in the Years 10 to 16. menyebutkan bahwa tahap-tahap perkembangan moral pada individu dapat di bagi, sebagai berikut:3 1. Tingkat Prakonvensional

Pada tingkat ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan terhadap ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Akan tetapi, hal ini semata-mata ditafsirkan dari segi sebab akibat fisik atau kenikmatan perbuatan (hukuman, keuntungan, pertukaran dan kebaikan). 2. Tingkat Konvensional

Pada tingkat ini, anak hanya menurut harapan keluarga, kelompok atau bangsa. Ia memandang bahwa hal tersebut bernilai bagi dirinya sendiri, tanpa mengindahkan akibat yang segera dan nyata.

3. Tingkat Pasca-konvensional

Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral yang dimiliki keabsahan dan dapat diterapkan, terlepas

menuntaskan tugas-tugas berikutnya. Lihat: Elfi Yuliana Rochmah, Psikologi Perkembangan (Yogyakarta: Teras, 2005), 62.

3 Enung Fatimah, Psikologi Perkembangan; Perkembangan Peserta Didik (Bandung: Pustaka Setia, 2006), 122-123.

(3)

dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan terlepas pula dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut.

Piaget menyebutkan bahwa masa remaja sudah mencapai tahap pelaksanan formal dalam kemampuan kognitif.4 Dia mampu mempertimbangkan segala kemungkinan untuk mengatasi suatu masalah dari beberapa sudut pandang dan berani mempertanggung jawabkan.

Sehingga Kohlberg juga berpendapat bahwa perkembangan moral ketiga, moralitas pasca-konvensional harus dicapai selama masa remaja. Sejumlah prinsip diterimanya melalui dua tahap; pertama menyakini bahwa dalam keyakinan moral harus ada fleksibilitas sehingga memungkinkan dilakukan perbaikan dan perubahan standar moral bila menguntungkan semua anggota kelompok; kedua menyesuaikan diri dengan standar sosial dan ideal untuk menjauhi hukuman sosial terhadap dirinya sendiri, sehingga perkembangan moralnya tidak lagi atas dasar keinginan pribadi, tatapi menghormati orang lain.5

Akan tetapi pada kenyataan banyak ditemukan remaja yang belum bisa mencapai tahap pasca-konvensional, dan juga pernah di temukan remaja yang baru mencapai tahap prakonvensional.

4 Menurut Piaget (Sarlito, 1991: 81) perkembangan kognitif seseorang melalui tahapan berikut: a. Masa Sensori motorik (0, 0-2, 5). Masa ini adalah masa ketika bayi menggunakan system pengindraan dan aktivitas motorik untuk mengenal lingkungannya, b. Masa Praoperasional (2, 0-7, 0). Ciri khas masa ini adalah kemampuan anak dalam menggunakan symbol yang mewakili suatu konsep, c. Masa konkreto prarasional (7, 0-11, 0). Pada tahap ini, anak sudah dapat melakukan berbagai tugas yang konkret, d. masa operasional (11, 0-dewasa). Pada usia remaja dan seterusnya, seseorang akan mampu berpikir abstrak dan hipotetis. Lihat: Enung Fatimah, Psikologi Perkembangan; Perkembangan Peserta Didik (Bandung: Pustaka Setia, 2006), 24-25.

5 Muhammad Al-Mighwar, Psikologi Remaja; Petunjuk bagi guru dan orang tua (Bandung: Pustaka Setia, 2006), 136.

(4)

Fenomena tersebut banyak dijumpai pada remaja yang pada umumnya mereka masih duduk di bangku SMA/SMK (sekitar umur 16-18 tahun), seperti:6 1. Berperangi tidak terpuji, meremehkan peraturan dan disiplin sekolah.

2. Mentaati peraturan sekolah karena takut pada hukuman.

3. Dan tidak jarang kita mendengar perkelahian terjadi antar remaja yang tidak jelas sebabnya.

Bahkan perkelahian dapat meningkat menjadi permusuhan kelompok, yang menimbulkan korban pada kedua belah pihak. Bila ditanyakan kepada mereka, apa yang menyebabkan mereka berbuat kekerasan sesama remaja, dan apa masalahnya sehingga peristiwa yang memalukan tersebut terjadi, banyak yang menjawab bahwa mereka tidak sadar mengapa mereka secepat itu menjadi marah dan ikut berkelahi.7

Fenomena di atas menggambarkan bahwa upaya remaja untuk mencapai moralitas dewasa; mengganti konsep moral khusus dengan konsep moral umum, merumuskan konsep yang baru dikembangkan ke dalam kode moral sebagai pedoman tingkah laku, dan mengendalikan tingkah laku sendiri, merupakan upaya yang tidak mudah bagi mayoritas remaja.

Menurut Rice (1999), masa remaja adalah masa peralihan, ketika individu yang memiliki kematangan. Pada masa tersebut, ada dua hal penting

6 Hasil observasi awal di SMK PGRI 2 PONOROGO. Pada senin, 1-30 November 2007, pukul. 07.30 WIB-12.45 WIB.

7 Hasil wawancara dengan Pak Didik (Salah satu satpam di SMK PGRI 2 Ponorogo) pada Senin , 26 November 2007, pukul. 12.30 WIB-12.45 WIB.

(5)

menyebabkan remaja perlu melakukan pengendalian diri. Dua hal tersebut adalah, pertama hal yang bersifat eksternal, yaitu adanya perubahan lingkungan. Pada saat ini, masyarakat dunia sedang mengalami banyak perubahan begitu cepat yang membawa berabagai dampak, baik positif maupun negatif bagi remaja. Dan kedua adalah hal yang bersifat internal, yaitu karakteristik di dalam diri remaja yang membuat relatif lebih bergejolak dibandingkan dengan masa perkembangan lainnya (storm and stress period).8

Agar remaja yang sedang mengalami perubahan cepat dalam tubuhnya itu mampu menyesuaikan diri dengan keadaan perubahan tersebut, maka berbagai usaha baik dari pihak orang tua, guru maupun orang dewasa lainnya, amat diperlukan.

Salah satu peran guru adalah sebagai pembimbing dalam tugasnya yaitu mendidik, guru harus membantu murid-muridnya agar mencapai kedewasaan secara optimal. Artinya kedewasaan yang sempurna (sesuai dengan kodrat yang di punyai murid) Dalam peranan ini guru harus memperhatikan aspek-aspek pribadi setiap murid antara lain kematangan, kebutuhan, kemampuan, kecakapannya dan sebagainya agar mereka (murid) dapat mencapai tingkat perkembangan dan kedewasaan yang optimal.9

Untuk itu di samping orang tua guru di sekolah juga mempunyai peranan penting dalam membantu remaja untuk mengatasi kesulitanya, keterbukaan hati

8 Singgih D. Gunarsa, Bunga Rampai Psikologi Perkembangan; Dari Anak Sampai Usia Lanjut (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), 262.

(6)

guru dalam membantu kesulitan remaja, akan menjadikan remaja sadar akan sikap dan tingkah lakunya yang kurang baik.

Usaha yang terpenting guru adalah memberikan peranan pada akal dalam memahami dan menerima kebenaran agama termasuk mencoba memahami hikmah dan fungsi ajaran agama.10

Guru agama yang bijaksana dan mengerti perkembangan perasaan remaja yang tidak menentu, dapat menggugahnya kepada petunjuk agama tentang pertumbuhan dan perkembangan seseorang yang sedang memasuki masa baligh (puber). Salah satu ketentuan, misalnya dengan memberikan pengertian tentang berbagai ibadah yang dulu telah dilakukan remaja, seperti shalat, puasa dan sebagainya, sekarang diberikan hikmah dan makna psikologis bagi ibadahya tersebut, misalnya makna shalat bagi kesehatan mentalnya. Ia dapat mengungkapkan perasaan yang galau kepada Allah dan ia dapat berdo’a memohon ampun atas kekeliuannya, ia boleh minta dan mengajukan berbagai harapan dan keinginan kepada Allah yang Maha Mengerti dan Maha Penyayang kepada hamban-Nya.11

10 Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar (Jakarta: Rinneka Cipta, 1996), 76-77.

11 Zakiah Daradjat, Remaja Harapan Dan Tantangan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), 79-80.

(7)

Dengan pemahaman baru tentang makna dan hikmah ajaran agama bagi kesehatan mental, dan kepentingan hidup pada umumnya, remaja akan mampu mengatasi kesulitannya, dan mampu mengendalikan diri.12

Dengan kemampuan pengendalian diri (self control) yang baik, remaja diharapkan mampu mengendalikan dan menahan tingkah laku yang bersifat menyakiti dan merugikan orang lain atau mampu mengendalikan serta menahan tingkah laku yang bertentangan dengan norma-norma sosial yang berlaku sesuai dengan nilai-nilai agama yang diajarkan oleh guru. Remaja juga diharapkan dapat mengantisipasi akibat-akibat negatif yang ditimbulkan pada masa storm and stress period.13

Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Kahfi ayat 10 dan 13: 14 øŒÎ) “uρr& èπu‹÷FÏø9$# ’n<Î) É#ôγs3ø9$# (#θä9$s)sù !$uΖ−/u‘ $uΖÏ?#u ÏΒ y7Ρà$©! ZπtΗôqy‘ ø⋅Äh÷yδuρ $oΨs9 ôÏΒ $tΡ̍øΒr& #Y‰x©u‘ ∩⊇⊃∪

Artinya: (ingatlah) tatkala Para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: "Wahai Tuhan Kami, berikanlah rahmat kepada Kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi Kami petunjuk yang Lurus dalam urusan Kami (ini).15

12 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 103. 13

Menurut pandangan Konfusius, self control (kontrol diri) adalah kualitas diri (self-sufficiency) dan keteraturan diri (self-regulation). Sedangkan self regulation adalah kemampuan individu untuk menahan dorongan-dorongan dan kemampuan individu untuk mengendalikan tingkah lakunya pada saat tidak adanya kontrol dari lingkungan. Sedangkan self-regulation yang baik merupakan kriteria dari self-control yang baik pula. Lihat: Gunarsa, Bunga Rampai Psikologi Perkembangan; Dari Anak Sampai Usia Lanjut (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), 254-256.

14 Al-Qur’an, 18: 10; 18: 13.

(8)

ßøtªΥ Èà)tΡ y7ø‹n=tã Νèδr't7tΡ Èd,ysø9$$Î/ 4 öΝåκ¨ΞÎ) îπu‹÷FÏù (#θãΖtΒ#u óΟÎγÎn/tÎ/ óΟßγ≈tΡ÷ŠÎ—uρ “W‰èδ ∩⊇⊂∪

Artinya: Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk.16

Berangkat dari kerangka di atas maka peneliti mengambil judul:

“ Pengembangan Self Control Siswa di SMK PGRI 2 Ponorogo Melalui Penanaman Nilai-nilai Agama. ”

B. Fokus Penelitian

Penelitian ini difokuskan pada penanaman nilai-nilai agama melalui Pendidikan Agama Islam, yang akan menjadi pedoman pengendali tingkah laku (self controlling) bagi siswa di SMK PGRI 2 Ponorogo yang menginjak usia remaja.

Dari penjajakan awal di lapangan. SMK PGRI 2 Ponorogo ini sangat memperhatikan kegiatan-kegiatan keagamaan khususnya dalam Pendidikan Agama Islam, seperti rutinitas shalat dhuhur dan a’shar secara berjama’ah, membaca al-Qur’an setiap habis shalat dan lain-lain, maka penulis akan mengkaji lebih mendalam tentang:

16 Ibid. , 235.

(9)

a. Kegiatan-kegiatan Guru Pendidikan Agama dalam mengembangkan self control siswa di SMK PGRI 2 Ponorogo melalui penanaman nilai-nilai agama.

b. Hasil yang di capai dan difokuskan pada perkembangan self control aktifis rohis di SMK PGRI 2 Ponorogo.

c. Faktor pendukung dan penghambat dalam pengembangan self control peserta didik melalui penanaman nilai-nilai agama.

C. Rumusan Masalah.

Berdasarkan latar belakang masalah dan fokus penelitian, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah cara pengembangan self control siswa di SMK PGRI 2 Ponorogo melalui penanaman nilai-nilai agama?

2. Bagaimanakah perkembangan self control siswa di SMK PGRI 2 Ponorogo melalui penanaman nilai-nilai agama?

3. Apa faktor pendukung dan penghambat dalam pengembangan self control siswa di SMK PGRI 2 Ponorogo melalui penanaman nilai-nilai agama?

D. Tujuan Penelitian.

Berdasarkan latar belakang masalah dan fokus penelitian, maka Tujuan Penelitian yang ingin di capai adalah:

(10)

1. Untuk mendiskripsikan dan menjelaskan cara pengembangan self control siswa di SMK PGRI 2 Ponorogo melalui penanaman nilai-nilai agama.

2. Untuk mendiskripsikan dan menjelaskan perkembangan self control siswa di SMK PGRI 2 ponorogo melalui penanaman nilai-nilai agama.

3. Untuk mendiskripsikan dan menjelaskan faktor pendukung dan penghambat dalam pengembangan self control siswa di SMK PGRI 2 melalui penanaman nilai-nilai agama.

E. Manfaat Penelitian. 1. Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan bahwa pendidikan agama dan keagamaan yang dilakukan oleh Guru Pendidikan Agama Islam di SMK PGRI 2 Ponorogo dapat membentuk self control siswa.

2. Praktis

Penelitian ini dapat berguna sebagai masukan dalam menentukan kebijakan lebih lanjut bagi SMK PGRI 2 Ponorogo mengenai peranan Guru Pendidikan Agana Islam dalam membantu siswa siswa membentuk self control yang baik.

F. Landasan Teori Dan/Atau Telaah Pustaka

Untuk memperkuat masalah yang akan di teliti maka penulis mengadakan tela’ah pustaka dengan cara mencari dan menemukan teori-teori yang akan di jadikan landasan penelitian, yaitu:

(11)

• Self Control (kontrol diri) adalah kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri; kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri; kemampuan untuk menekan atau merintangi impuls-impuls atau tingkah laku impulsif. 17

• Averill menyebut kontrol diri dengan sebutan kontrol personal, yang terdiri dari tiga jenis kontrol, yaitu: 18

1. Behavior Control (kontrol perilaku), yang terdiri dari dua komponen, yaitu kemampuan mengatur pelaksanaan (regulated administration) dan kemampuan memodifikasi stimulus (stimulus modifiability)

2. Cognitive control (kontrol kognitif), yang terdiri dari dua komponen, yaitu memperoleh informasi (information gain) dan melakukan penilaian (appraisal).

3. Decasional Control merupakan kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya, kontrol diri dalam menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan.

• Untuk mengukur kontrol diri digunakan aspek-aspek sebagai berikut:19

17 Kartini Kartono, dalam Kamus Lengkap Psikologi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), 38.

18

Zulkarnain.digitized by USU digital library 13 b, 2002.

http://cc.msnscache.com/cache.aspx?q=72947682205551&mkt=en-ID&lang=en-ID&w=b55ac2e6&FORM=CVRE

(12)

a. Kemampuan mengontrol perilaku b. Kemampuan mengontrol stimulus

c. Kemampuan mengantisipasi suatu peristiwa atau kejadian d. Kemampuan menafsirkan peristiwa atau kejadian.

e. Kemampuan mengambil keputusan.

• Pendidikan agama Islam hendaknya dapat mewarnai kepribadian anak, sehingga agama Islam itu, benar-benar menjadi bagian dari pribadinya yang akan menjadi pengendali (controlling) dalam hidupnya di kemudian hari. Untuk tujuan pembinaan pribadi itu, maka pendidikan agama hendaknya diberikan oleh guru yang benar-benar tercermin agama itu dalam sikap, tingkah laku, gerak-gerik, cara berpakaian, cara berbicara, cara menghadapi persoalan dan dalam keseluruhan pribadinya. Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa Pendidikan Agama akan sukses, apabila ajaran agama itu hidup dan tercermin dalam pribadi guru. 20

• Tiga langkah orang dewasa dalam membangun kontrol diri pada anak, yaitu:21 1. Langkah pertama adalah memperbaiki perilaku anda, sehingga dapat

memberi contoh control diri yang baik bagi anak dan menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan prioritas.

19

M. Nur Ghufron. “Hubungan Kontrol diri, persepsi remaja terhadap penerapan disiplin orang tua dengan prokrastinasi akademik.” Tesis Ilmu Psikologi UGM Yogyakarta,2003.

http://www.damandiri.or.id/file/mnurgufronugmbab2.pdf

20 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 128.

21 Michele Borba, Membangun Kecerdasan Moral; Tujuh Kebajikan Utama Agar Anak Bermoral Tinggi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 107-125.

(13)

2. Langkah kedua adalah membantu anak menumbuhkan sistem regulasi internal sehingga dapat menjadi motivator bagi diri mereka sendiri.

3. Langkah ketiga mengajarkan cara membantu anak menggunakan kontrol diri ketika menghadapi godaan dan stres, mengajarkan untuk berfikir sebelum bertindak sehingga mereka akan memilih sesuatu yang aman dan baik.

Berdasarkan uraian tersebut maka penelitian ini terkait dengan tela’ah pustaka terdahulu yang berusaha mengupas pembahasan tentang:

1. Imroatul Husna, tahun 2003, yang berjudul: Peranan Aktifitas Kerohanian Islam ”Al-Kausar” dalam menanamkan nilai-nilai agama pada siswa SMU Negeri 1 Ponorogo. Menghasilkan temuan tentang nilai-nilai agama Islam di Sekolah, meliputi sholat dhuha, sholat jama’ah dan membaca Al-qur’an melalui kegiatan ekstra kulikuler keagamaan lainnya di bawah naungan kerohanian Islam ” Al-Kausar.”

2. M. Nur Ghufron, tahun 2003, yang berjudul: Hubungan Kontrol diri, persepsi remaja terhadap penerapan disiplin orang tua dengan prokrastinasi akademik. Menghasilkan temuan tentang:

1) Ada hubungan negatif antara kontrol diri dengan prokrastinasi akademik.

2) Ada hubungan negatif antara persepsi remaja terhadap penerapan disiplinotoriter orang tua dengan prokrastinasi akademik

(14)

3) Ada hubungan negatif antara persepsi remaja terhadap penerapan disiplin demokrasi orang tua dengan prokrastinasi akademik.

4) Ada hubungan positif antara persepsi remaja terhadap penerapan disiplin permisif orang tua dengan prokrastinasi akademik.

Berdasarkan judul skripsi yang mereka angkat, maka penulis akan mengadakan penelitian, sehingga sampai saat ini gagasan penelitian muncul dan belum ditemukan penelitian yang membahas tentang: Pengembangan Self Control Remaja di SMK PGRI 2 Ponorogo Melalui Penanman Nilai-nilai Agama, hal ini sebagai bentuk betapa urgennya self control bagi anak SMK yang dibina melalui penanaman nilai-nilai agama.

G. Metodologi Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan Metodologi dengan pendekatan kualitatif, yang memiliki karakteristik alami (natural setting) sebagai sumber data langsung, deskriptif, proses lebih dipentingkan dari pada hasil, analisis dalam penelitian kualitatif cenderung dilakukan secara analisa induktif dan makna merupakan hal yang esensial.22

22 Pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat dialami. Lihat dalam Lexy Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002), 3.

(15)

Ada 6 (enam) macam metodologi penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu: etnografis, studi kasus, grounded theory, interaktif, partisipatories, dan penelitian tindakan kelas.

Dalam hal ini penelitian yang digunakan adalah penelitian studi kasus (case study), yaitu: suatu penelitian yang dilakukan untuk mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan sekarang, dan interaksi lingkungan suatu unit sosial: individu, kelompok, lembaga, atau masyarakat.23

2. Kehadiran Peneliti

Ciri khas penelitian kualitatif tidak dapat dipisahkan dari pengamatan berperan serta, sebab peranan penelitilah yang menentukan keseluruhan skenarionya.24

Untuk itu, dalam hal ini peneliti adalah sebagai instrumen kunci, partisipasi penuh sekaligus pengumpul data.

Penelitian berlangsung sekitar bulan Pebruari sampai bulan April. Dengan kehadiran di lapangan setiap minggunya tiga kali, yaitu hari: Selasa, Kamis dan Jum ‘at. Mulai jam 07.30 sampai 15.00 WIB.

Sedangkan instrumen yang lain, seperti catatan dokumen dan foto adalah sebagai penunjang.

23 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), 22. 24 Pengamatan berperan serta adalah sebagai penelitian yang bercirikan interaksi-sosial yang memakan waktu cukup lama antara peneliti dengan subyek dalam lingkungan subyek. Dan selama itu data dalam bentuk catatan lapangan dikumpulkan secara sistematis dan catatan tersebut berlaku tanpa gangguan. Lihat Lexy Moleong. Metodologi Pernelitian Kualitatif, 117.

(16)

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlokasi di SMK PGRI 2 Ponorogo karena di dasarkan pada beberapa pertimbangan:

• SMK adalah Sekolah Menengah Kejuruan yang memiliki konotasi keagamaan yang tidak begitu baik menurut pandangan masyarakat. Ternyata memiliki suatu kegiatan keagamaan yang begitu unik, sehingga Guru Pendidikan Agama Islam di SMK sangat berperan dalam memantau penyimpangan perilaku para siswa.

• Adanya Imam-Imam setiap Kelas dan mu’adzin yang bertujuan untuk mendisplinkan berjalannya kegiatan sholat jama’ah Dluhur dan kursus membaca Al-Qur’an.

• Keberhasilan pendidikan agama Islam tidak hanya dilihat dari keaktifan siswa dalam mengikuti pelajaran di kelas dan keaktifan mengikuti ekstra keagamaan, tapi harus dilihat juga dari meningkatnya pengendalian diri pada siswa dalam kehidupan sehari-hari.

4. Sumber Data

Sumber data utama dalam penelitian ini adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah tambahan, seperti dokumen dan lainnya.

Dengan demikian sumber data dalam penelitian ini adalah kata-kata dan tidakan sebagai sumber utama, sedangkan sumber data tertulis, foto dan catatan tertulis adalah sumber data tambahan.

(17)

5. Prosedur Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan triangulasi teknik, berarti peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda-beda untuk mendapatkan data dari sumber yang sama. Peneliti menggunakan observasi partisipatif, wawancara mendalam, dan dokumentasi untuk sumber data secara serempak.25 Sebab bagi peneliti kualitatif fenomena dapat di mengerti maknanya secara baik, apabila dilakukan interaksi dengan subyek melalui wawancara mendalam dan observasi pada latar, dimana fenomena tersebut berlangsung dan di samping itu untuk melengkapi data diperlukan dokumentasi (tentang bahan-bahan yang ditulis oleh atau tentang subyek).

1. Teknik Observasi.

Dalam penelitian kualitatif observasi diklarifikasikan menurut tiga cara. Pertama, pengamat dapat bertindak sebagai partisipan atau non partisipan. Kedua, observasi dapat dilakukan secara terus terang atau penyamaran. Ketiga, observasi yang menyangkut latar penelitian.

Dalam penelitian ini digunakan tehnik observasi yang pertama di mana pengamat bertindak sebagai partisipan. Kemudian hasil observasi dicatat dalam bentuk transkrip observasi.

25 Sugiyono. Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R &D (Bandung: Albeta, 2006), 241.

(18)

2. Teknik Wawancara.

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Maksud digunakannya wawancara anatara lain adalah (a) mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain, (b) mengkonstruksikan kebulatan-kebulatan demikian yang dialami masa lalu.

Dalam penelitian ini teknik wawancara yang peneliti gunakan adalah wawancara mendalam artinya peneliti mengajukan beberapa pertanyaan secara mendalam yang berhubungan dengan fokus permasalahan. Sehingga data-data yang dibutuhkan dalam penelitian dapat terkumpul secara maksimal. Dan kemudian hasil wawancara di catat dalam bentuk transkrip wawancara.

Sedangkan subjek peneliti dengan teknik Purposive Sampling yaitu pengambilan sampel bertujuan, sehingga memenuhi kepentingan peneliti.26

Adapun jumlah informan sebagai subjek peneliti yang diambil terdiri dari: 1). Guru Pendidikan Agama Islam SMK PGRI 2 Ponorogo; dan 4). Siswa kelas satu, yaitu: mu’adzin kelas, Siswa kelas dua, yaitu: imam kelas serta siswa kelas tiga, yaitu: mantan ketua rohis.

26 Lexy Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002), 135.

(19)

3. Teknik Dokumentasi.

Dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data dari sumber non insani, sumber ini terdiri dari dokumen dan rekaman.

“Rekaman” sebagai setiap tulisan atau pernyataan yang dipersiapkan oleh atau untuk individual atau organisasi dengan tujuan membuktikan adanya suatu peristiwa atau memenihi accounting. Sedangkan “Dokumen” digunakan untuk mengacu atau bukan selain rekaman, yaitu tidak dipersiapkan secara khusus untuk tujuan tertentu, seperti: surat-surat, buku harian, catatan khusus, foto-foto dan sebagainya. 27

Dalam penelitian ini digunakan dokumen berupa catatan khusus dan foto-foto dan kemudian hasil dokumen di catat dalam bentuk transkrip dokumentasi.

6. Analisa Data

Setelah semua data terkumpul, maka langkah berikutnya adalah pengelolahan dan analisa data. Yang di maksud dengan analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan

27 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta: 1998), 229-236.

(20)

akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh dirinya sendiri atau orang lain.

Analisis data dalam kasus ini menggunakan analisis data kualitatif, maka dalam analisis data dilakukan secara terus menerus sejak awal sampai akhir penelitian yang di lakukan dengan menggunakan salah satu model milik spradley, yaitu melalui tehnik analisa domain.28 Kemudian di proses dengan menggunakan model milik Miles & Huberman, yaitu: reduction, display dan conclusion. 29

1. Proses reduction

Pada tahap penjelajahan dengan tehnik pengumpulan data grand tour question, yakni pertama dengan memilih situasi sosial (place, actor, activity). Kemudian setelah memasuki lapangan, dimulai dengan menetapkan seseorang informan “key informant” yaitu guru Pendidikan Agama Islam dan beberapa pengurus Rohis yang merupakan informan yang berwibawa dan dipercaya mampu “membukakan pintu” kepada peneliti untuk memasuki obyek penelitian. Setelah itu peneliti melakukan wawancara kepada informan tersebut, dan mencatat hasil wawancara.

Karena data yang di peroleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu maka perlu di catat secara teliti dan rinci. Seperti di

28Analisis domain berguna untuk mencari dan memperoleh gambaran umum dan pengertian yang bersifat menyeluruh, hasil yang diharapkan ialah pengertian di tingkat oermukaan mengenai domain tertentu atau kategori-kategori konseptual. Lihat: Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006), 240.

29 Sugiyono, Metodologi Penelitian kuantitatif kualitatif dan R & D (Bandung: Alfabeta, 2006), 247.

(21)

kemukakan, semakin lama peneliti ke lapangan, maka jumlah data semakin banyak, komplek dan rumit. Sehingga dilakukan analisis data dengan mereduksi data yakni merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya.

Setelah itu perhatian peneliti pada obyek penelitian dan memulai mengajukan pertanyaan deskriptif, dilanjutkan dengan analisis terhadap hasil wawancara. Berdasarkan hasil dari analisis wawancara selanjutnya peneliti melakukan analisis domain.

2. Proses display

Proses display adalah proses penyajian data. Penyajian data dalam penelitian ini menggunakan teks yang bersifat naratif yang merupakan hasil dari pencarian domaian pada proses awal yang datanya akan selalu dan terus menerus di uji melalui wawancara, observasi dan dokumentasi terfokus sehingga akan menjadi teori yang grounded. Teori grounded adalah teori yang ditemukan secara induktif, berdasarkan data-data yang ditemukan di lapangan, dan selanjutnya diuji melalui pengumpulan data yang terus-menerus.

3. Proses conclusion

Proses conclusion adalah penarikan kesimpulan dan verivikasi. Setelah data yang terkumpul sudah dapat di display dan telah di dukung oleh data-data yang mantap, melalui wawancara, observasi dan

(22)

dokumentasi yang terseleksi maka dapat di sajikan kesimpulan yang kredibel.

7. Pengecekan Keabsahan Temuan

Keabsahan data merupakan konsep penting yang diperbaruhi dari konsep kesahihan (validitas) dan keandalan (reliabilitas). Derajat kepercayaan keabsahan data (kredebilitas) dapat diadakan pengecekkan dengan tehnik pengamatan yang tekun, dan tringulasi.

Ketekunan pengamatan yang dimaksud adalah menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari.

8. Tahapan-tahapan Penelitian

Tahapan-tahapan penelitian ini ada tiga tahapan dan ditambah dengan tahap terakhir penelitian yaitu tahap penulisan laporan hasil penelitian. Tahap-tahap penelitian tersebut adalah (1) Tahap-tahap pra lapangan, yang meliputi menyusun rancangan penelitian, memilih lapangan penelitian, mengurus perizinan, menjajagi dan menilai keadaan lapangan, memilih dan memanfaatkan informan, menyiapkan perlengkapan penelitian dan menyangkut persoalan etika penelitian; (2) tahap pekerjaan lapangan, yang meliputi memahami latar penelitian dan persiapan diri, memasuki lapangan dan berperan serta sambil mengumpulkan data, (3) tahap analisis data, yang meliputi analisis selama dan setelah pengumpulan data; (4) tahap penulisan hasil laporan penelitian.

(23)

H. Sistematika Pembahasan.

Di dalam penulisan skripsi ini diawali dengan halaman formalitas, yang terdiri dari: halaman judul, halaman persetujuan, halaman pengesahan, halaman motto, halaman persembahan, kata pengantar dan daftar isi.

Dalam pembahasan skripsi penulis membagi dalam bagian-bagian, tiap bagian terdiri bab-bab, dan setiap bab terdiri dari sub-sub bab yang saling berhubungan dalam kerangka satu kesatuan yang logis dan sistematis.

Adapun sistematika pembahasan sebagai berikut: BAB I. Pendahuluan.

Membahas tentang: Latar belakang masalah, fokus penelitian, rumusan masalah, tujuan, manfaat dan metode penelitian dan sistematika pembahasan.

BAB II. Landasan Teori dan/atau Telaah Pustaka. Membahas tentang:

1. Self control Siswa, meliputi pengertian dan perkembangan self control, jenis dan aspek self control, pentingnya self control bagi siswa dan strategi self control.

2. Penanaman nilai-nilai agama, meliputi pengertian dan perkembangan nilai-nilai agama, dasar penanaman nilai-nilai agama, membangun suara hati melalui nilai-nilai agama, dan cara menanamkan nilai-nilai agama di sekolah umum.

(24)

BAB III.Temuan Penelitian. Membahas tentang:

1. Gambaran umum SMK PGRI 2 Ponorogo yang berisi tentang sejarah singkat, letak geografis, moto, visi-misi dan tujuan serta sarana dan prasarana.

2. Dan tentang diskripsi data meliputi pengembangan self control siswa di SMK PGRI 2 Ponorogo melalui penanaman nilai-nilai agama, Perkembangan self control siswa di SMK PGRI 2 Ponorogo dan faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam pengembangannya. BAB IV. Laporan hasil penelitian.

Membahas tentang: Analisa pengembangan self control siswa di SMK PGRI 2 Ponorogo melalui penanaman nilai-nilai agama, Perkembangan self control siswa di SMK PGRI 2 Ponorogo melalui penanaman nilai-nilai agama dan faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam pengembangannya.

BAB V. Penutup.

Membahas tentang: Kesimpulan dan saran.

Dan setelah lima bab, kemudian diikuti dengan daftar pustaka, lampiran-lampiran, daftar riwayat hidup

(25)

BAB II

PENGEMBANGAN SELF CONTROL SISWA MELALUI PENANAMAN NILAI-NILAI AGAMA

A. Self Control Siswa.

1. Pengertian dan Perkembangan Self Control . a. Pengertian self control.

Dalam kamus lengkap Psikologi, menyatakan bahwa: self control (kontrol diri) adalah kemampuan untuk menekan atau merintangi impuls-impuls atau tingkah laku impuls-impulsif. 30

Self control atau di sebut juga dengan pengendalian diri adalah seperangkat tingkah laku yang berfokus pada keberhasilan mengubah diri pribadi, keberhasilan menangkal pengerusakkan diri (self-destructive), perasaan mampu pada diri sendiri, perasaan mandiri (autonomy) atau bebas dari pengaruh orang lain, kebebasan menentukan tujuan, kemampuan untuk memisahkan perasaan dan pikiran rasional, serta seperangkat tingkah laku yang berfokus pada tanggung jawab atas diri pribadi.31

Gilliom et al. menyatakan bahwa self–regulation, khususnya angerregulation, memainkan peran yang penting dalam pengembangan

30 Kartini Kartono, dalam Kamus Lengkap Psikologi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), 38.

31

Singgih D. Gunarsa, Bunga Rampai Psikologi Perkembangan; Dari Anak Sampai Usia Lanjut (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), 250.

(26)

self control. Bandura menyatakan bahwa self regulation meupakan kemampuan individu untuk mempertahankan komitmennya terhadap suatu tujuan selama periode waktu tertentu, khususnya pada saat tidak adanya insentif yang berasal dari luar diri (eksternal rewards).32

Kontrol diri (self-control) sebagai pengaturan proses-proses fisik, psikologis, dan perilaku seseorang dengan kata lain serangkaian proses yang membentuk dirinya sendiri. Kontrol diri sebagai suatu kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu kearah konsekuensi positif. Kontrol diri juga menggambarkan keputusan individu yang melalui pertimbangan kognitif untuk menyatukan perilaku yang telah disusun untuk meningkatkan hasil dan tujuan tertentu seperti yang diinginkan.33 b. Perkembangan self control.

Para peneliti menemukan kontrol diri berkembang secara perlahan pada diri anak pada tahap-tahap yang dapat diprediksi. Namun, para peneliti ini memperingatkan bahwa kita tidak akan pernah dapat memastikan tahapan anak berdasarkan usianya. Anak-anak dapat berubah-ubah secara cepat berdasarkan kemampuan dan pengalaman mereka.

32 Ibid., 251.

33 M. Nur Ghufron. “Hubungan Kontrol diri, persepsi remaja terhadap penerapan disiplin orang tua dengan prokrastinasi akademik.” Tesis Ilmu Psikologi UGM Yogyakarta,2003.

(27)

Semakin kita memahami tingkat kontrol diri anak saat ini, semakin baik kita membantunya melangkah ke tahap berikutnya. Tahap-tahap ini diadaptasi dari karya Michael Bloomquist, psikologi anak dan penulis Skill Trainning for Children with Behavior Disorders.34

Tahap 1: Membentuk rasa aman

Masa awal pertumbuhan (0 hingga 1 tahun)

Bayi masih sangat berpusat pada dirinya dan menjajaki lingkunganya dengan bantuan orang tuanya sebagai pendukung rasa aman. Karena bayi secara instingtif mengasosiakan orang tuanya sebagai stimulus yang menyenangkan seperti makanan, kehangatan dan pengasuhan.

Tahap 2: Berorintasi pada kontrol eksternal Masa belajar berjalan (1 hingga 3 tahun)

Anak akan merespon kontrol eksternal dari orang-orang dewasa dan menuruti permintaan mereka.

Tahap 3: Mengikuti aturan yang ketat Prasekolah (3 hingga 6 tahun)

Anak akan mengikuti aturan-aturan orang-orang dewasa dalam bentuk perintah yang sering mereka ucapkan secara keras untuk mengontrol perilakunya.

34 Michele Borba, Membangun Kecerdasan Moral; Tujuh Kebajikan Utama Agar Anak Bermoral Tinggi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 130.

(28)

Tahap 4: Menyadari dorongan dari dalam Sekolah dasar (6 hingga 12 tahun)

Anak menggunakan kesadarannya untuk mengarahkan perilakunya dan mengatur dorongan dari dalam dirinya. Ia mulai belajar mengatasi persoalan dan mengembangkan kesadaran yang kuat terhadap perilakunya. Tahap 5: Berorintasi pada kontrol internal

Masa remaja (12 hingga 20 tahun)

Anak memperoleh banyak kemajuan dalam mengatasi persoalan dan lebih banyak menyadari keinginan dan tindakanya.

Piaget menyebutkan bahwa masa remaja sudah mencapai tahap pelaksanan formal dalam kemampuan kognitif.35 Dia mampu mempertimbangkan segala kemungkinan untuk mengatasi suatu masalah dari beberapa sudut pandang dan berani mempertanggung jawabkan.

Sehingga kohlberg juga berpendapat bahwa perkembangan moral ketiga, moralitas pasca-konvensional harus di capai selama masa remaja. Sejumlah prinsip di terimanya melalui dua tahap; pertama menyakini bahwa dalam keyakinan moral harus ada fleksibilitas sehingga memungkinkan dilakukan perbaikan dan perubahan standar moral bila menguntungkan semua anggota kelompok; kedua menyesuaikan diri dengan standar sosial dan ideal untuk menjahui hukuman sosial terhadap

35 Enung Fatimah, Psikologi Perkembangan; Perkembangan Peserta Didik (Bandung: Pustaka Setia, 2006), 24-25.

(29)

dirinya sendiri, sehingga perkembangan moralnya tidak lagi atas dasar keinginan pribadi, tatapi menghormati orang lain.

Untuk itu siswa yang sudah menginjak pada usia remaja pengendalian dirinya sudah tidak lagi berasal dari pembentukan rasa aman, adanya kontrol eksternal atau karena mengikuti aturan yang ada akan tetapi pengendalian dirinya sudah mulai mencapai tahap menyadari dorongan dari dalam dan berasal dari kontrol internal. 36

Berbagai kajian tentang perkembangan moral juga membuktikan bahwa cara yang efektif untuk mengawasi perilaku remaja adalah melalui pengembangan kata hati, yaitu kekuatan internal yang tidak membutuhkan pengendalian lahir. Remaja harus memiliki motivasi sendiri untuk bertingkah laku sesuai dengan standar kelompoknya jika ingin mengasosiakan emosi yang menggembirakan dengan perilaku yang didukung kelompok, dan emosi yang tidak menggembirakan dengan perilaku yang tidak didukung kelompok. 37

Dalam keadan seperti itu, remaja merasa bersalah apabila harapan sosial kelompoknya tidak bisa dipenuhi oleh perilakunya, dan merasa malu bila sadar akan penilaian buruk kelompok terhadap perilakunya.38

36 Michele Borba, Membangun Kecerdasan Moral; Tujuh Kebajikan Utama Agar Anak Bermoral Tinggi. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 89.

37 Muhammad Al-Mighwar, Psikologi Remaja; Petumjuk bagi guru dan orang tua (Bandung: Pustaka Setia, 2006), 141.

38 Menurut Hurlock, “Perilaku yang dikendalikan rasa bersalah adalah perilaku yang dikendalikan dari dalam. Sedangkan perilaku yang yang di kendalikan oleh rasa malu adalah perilaku yang di kendalikan dari luar. Karena rasa malu hanya timbul bila seorang sadar terhadap penilaian

(30)

2. Jenis dan Aspek Self Control 39

Menurut Averill terdapat tiga jenis kontrol diri yang meliputi 5 aspek. Averill menyebut kontrol diri dengan sebutan kontrol personal, yaitu kontrol perilaku (behavior control), kontrol kognitif (kognitif control) dan mengontrol keputusan (decesional control).

1) Behavior control

Merupakan tersediannya suatu respon yang dapat secara langsung mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Kemampuan mengontrol perilaku ini diperinci menjadi dua komponen, yaitu mengatur pelaksanaan (regulated administration) dan kemampuan memodifikasi stimulus (stimulus modifiability), kemampuan mengatur pelaksanan merupakan kemampuan individu untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadan, dirinya sendiri atau aturan perilaku dengan menggunakan kemampuan dirinya dan bila tidak mampu individu akan menggunakan sumber eksternal, kemampuan mengatur stimulus merupakan kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan kapan suatu stimulus yang tidak dikehendaki dihadapi.

buruk kelompok terhadap perilakunya sedangkan individu akan merasa bersalah bila menyadari bahwa perilakunya tidak memenuhi harapan kelompoknya. Lihat : Hurlock, Psikologi Perkembangan (Jakarta: Erlangga, 1980), 226.

39

Zulkarnain. digitized by USU digital library 13 b, 2002.

http://cc.msnscache.com/cache.aspx?q=72947682205551&mkt=en-ID&lang=en-ID&w=b55ac2e6&FORM=CVRE

(31)

Ada beberapa cara yang dapat digunakan, yaitu mencegah atau menjahui stimulus, menempatkan tenggang waktu di antara rangkaian stimulus yang sedang berlangsung, menghentikan stimulus sebelum waktunya berakhir dan membatasi intensitasnya.40

2) Cognitive control

Merupakan kemampuan individu dalam mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterprestasi, menilai, atau menghubungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis atau mengurangi tekanan. Aspek ini terdiri atas dua komponen, yaitu memperoleh informasi (information again) dan melakukan penilaian (appraisal). Dengan informasi yang dimiliki oleh individu mengenai suatu keadaan yang tidak menyenagkan, individu dapat mengantisipasi keadaan tersebut dengan berbagai pertimbangan. Melakukan penilaian berarti individu berusaha menilai dan menafsirkan suatu keadaan atau peristiwa dengan cara memperhatikan segi-segi positif secara subyektif.41

3) Decesional control

Merupakan kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdsarkan sesuatu yang diyakini atau disetujuinya, kontrol diri dalam menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu

40 Alwisol, Psikologi Kepribadian (Malang: Universitas Muhammadiyah, 2007), 382-400. 41 Ibid. , 340-357.

(32)

kesempatan, kebebasan atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan.

Dari uraian dan penjelasan di atas, maka untuk mengukur kontrol diri digunakan aspek-aspek sebagai berikut:42

a. Kemampuan mengontrol perilaku. b. Kemampuan mengontrol stimulus.

c. Kemampuan mengantisipasi suatu peristiwa atau kejadian d. Kemampuan menfsirkan peristiwa atau kejadian.

e. Kemampuan mengambil keputusan.

3. Pentingnya Self Control bagi Siswa.

Siswa yang menginjak usia remaja, yaitu masa peralihan, ketika individu tumbuh dari masa anak-anak menjadi individu yang mempunyai kematangan. Pada masa tersebut, ada dua hal penting menyebabkan siswa ataupun remaja melakukan pengendalian diri. Dua hal tersebut adalah: 43

Pertama hal yang bersifat eksternal, yaitu perubahan lingkungan. Saat ini, masyarakat dunia sedang mengalami banyak perubahan begitu cepat yang membawa berbagai dampak, baik positif maupun negative.

42 Ghufron, M. Nur. Hubungan Kontrol diri, persepsi remaja terhadap penerapan disiplin orang tua dengan prokrastinasi akademik.” Tesis Ilmu Psikologi UGM Yogyakarta, 2003.

http://www.damandiri.or.id/file/mnurgufronugmbab2.pdf

43

Singgih D. Gunarsa, Bunga Rampai. Psikologi Perkembangan; Dari Anak Sampai Usia Lanjut ( Jakarta: Gunung Mulia, 2006), 262.

(33)

Ada lima aspek yang sedang mengalami perubahan dan memiliki pengaruh bagi kehidupan masa remaja. lima aspek tersebut adalah:

1) Perubahan dalam penggunaan computer (computer revolution) ditandai dengan adanya fasilitas internet yang tersedia 24 jam sehari. Dengan tersedianya fasilitas tersebut, remaja sangat diuntungkan. Remaja dapat memperoleh berbagai pengetahuan atau informasi yang dibutuhkannya. Namun demikian, bersamaan dengan itu, remaja mendapatkan dampak negative dari tersedianya fasilitas internet tersebut. Ada beberapa efek negative yang dialami remaja akibat cepatnya perubahan dan perkembangan teknologi internet, yaitu meningkatkanya agresivitas dalam kehidupan seks remaja dan tersitanya sebagaian waktu remaja untuk bermain computer dan menjelajahi dunia internet, sehingga mengakibatkan terisolasinya hubungan interpersonal remaja dengan lingkungan bahkan dengan orang-orang terdekat di rumahnya.

2) Perubahan dalam kehidupan materi (materialistic revolution). Saat ini, individu termasuk remaja dikelilingi oleh lingkungan yang penuh dengan barang hasil produksi, kemudahan akses dalam membeli barang tersebut, serta informasi iklan yang sangat berlimpah untuk membeli atau mengkonsumsi barang-barang hasil propduksi tersebut. Hammer (dalam. Kompas 16 Juni 2002), yang melakukan survey terhadap isi tas remaja putri, mendapatkan bahwa umumnya isi tas mereka adalah kosmetik dari merk terkenal, telpon genggam, dompet yang berisi lembar uang Rp.

(34)

10.000 dan Rp. 20.000, bahkan beberapa remaja ada juga yang sudah memegang kartu kredit, kemampuan remaja dalam menghadapi tuntutan kehidupan materi ini akan mempengaruhi identitas dirinya, yaitu ketika remaja merasa kurang mampu menghadapai tuntutan ini akan merasa ditolak oleh lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, untuk menghadapi perubahan kehidupan materi ini, remaja perlu mengendalikan diri dalam bentuk menunda keinginan sesaat untuk membeli atau mengkonsumsi berbagai macam barang yang ada di sekelilingnya. Boleh jadi bila seseorang remaja berhasil menunda keinginanya untuk membeli barang tertentu, remaja yang bersangkutan akan mendapatkan kesempatan untuk benar-benar memikirkan kembali manfaat barang yang akan di belinya tersebut.

3) Perubahan dalam aspek pendidikan (education revolution). Kemajuan teknologi dan kehidupan sosial yang semakin komplek telah menyebabkan kebutuhan akan pendidikan semakin penting dan membutuhkan waktu yang relative lebih lama untuk menyelesaikan studi dibandingkan masa-masa sebelumnya. Perubhan dalam aspek pendidikan ini telah menyebabkan ketergantungan remaja pada orang tua semakin bertambah (rata-rata hingga 24 tahun) serta kedewasaan remaja semakin tertunda. Dengan merespon kebutuhan pendidikan yang dirasakan sangat penting, agar bisa sukses dikemudian hari, remaja perlu menyadari semenjak dini bahwa pemilihan studi yang akan ditempuhnya akan semakin lama.

(35)

Lamanya masa pendidikan yang harus dijalaninya menjadikan pengendalian diri pada masa remaja sebagai unsure yang penting. Dengan pengendalian diri yang baik, remaja diharapkan mampu mengendalikan godaan-godaan yang datang selama masa studi agar mereka dapat berkonsentrasi penuh pada bidang studinya.

4) Perubahan dalam kehidupan seks. (Sexual revolution) ditandai dengan semakin bebasnya media menyajikan topik yang berkaitan dengan permasalahan kehidupan seks, semakin meluasnya penyebaran penyakit-penyakit yang ditularkan secara seksual (sekually transmitted diseases) serta penyakit AIDS, semakin diterimanya sikap positif terhadap perilaku seksual (hubungan intim) pranikah, semakin banyaknya kasus-kasuis kehamilan di luar nikah, serta semakin meningkatnya pengembangan alat-alat kontrasepsi. Perubahan-perubahan dalam kehidupan seks ini tentunya akan membawa dampak negative bagi remaja. Di Indonesia, remaja yang sudah terlanjur hamil di luar nikah umumnya cenderung dipojokkan oleh masyarakat lingkungannya, atau bahkan remaja yang bersangkutan cenderung menarik diri dari lingkungan sekolahnya. Namun demikian, perlu disadari dampak yang akan dialami remaja tidak otomatis terpecahkan dengan sekedar sikap menerioma atau menolak sesuai revolution ini. Dalam menghadapi sexual revolution, remaja memerlukan mekanisme pengendalian diri yang baik. Dalam hal ini, pengendalian diri

(36)

yang baik berati remaja mampu mengendalikan hasrat seksual dan dorongan biologisnya yang sedang timbul. Tanpa kemampuan untuk mengendalikan hasrat seksaual dan dorongan biologisnya yang sedang timbul tersebut, mudah sekali bagi remaja masuk dalam arus sexual revolution yang banyak memiliki dampak negatif.

5) Perubahan dalam bidang kekerasan hal-hal yang termasuk dalam bidang kekerasan yuang dilakukan oleh para remaja antara lain adalah pemerkosaan, perampokan, pembunuhan, pemukulan, dan perilaku kriminal seperti penggunaan obat terlarang. Untuk mencegah agar remaja tidak masuk ke dalam arus perubahan dalam bidang kriminal ini, remaja perlu memiliki kemampuan pengendalian diri yangt memadai. Dengan kemampuan pengendalian diri yang baik remaja di harapkan mampu mengendalikan dan menahan tingkah laku yang bersifat menyakiti dan merugikan orang lain atau mampu mengendalikan serta menahan tingkah laku yang bertentangan dengan norma-norma sosial berlaku.

Kedua adalah hal yang bersifat internal, yaitu karakteristik di dalam diri remaja yang membuat remaja relative lebih bergejolak dibandingkan dengan masa perkembangan lainnya (storm and stress period).

Ada tiga elemen kunci yang termasuk dalam konsep masa badai dan tekanan ini adalah:

1. Konflik dengan orang tua, gangguan suasana hati, dan kecenderungan terjadinya tingkah laku yang berisiko. Konflik dengan orang tua sering

(37)

kali diisi dengan permasalahan seputar larangan-larangan yang berasal dari orang tua kepada remaja. Larangan-larangan tersebut misalnya kesopanan dalam penampilan, kapan remaja diperbolehkan untuk berpacaran, kemana saja remaja diperbolehkan untuk bepergian, serta jam berapa paling lambat remaja harus sampai di rumah.

2. Gangguan suasana hati. Remaja lebih sering mengalami gangguan suasana hati dibandingkan pada saat masa anak-anak menjelang remaja (preadolescent) atau pada saat memasuki masa dewasa. Remaja memang mengalami suasana hati yang positif. Namun demikian bila ditinjau dari frekuensi suasana hati yang timbul, remaja cenderung lebih sering mengalami suasan hati yang timbul, remaja cenderung lebih sering mengalami suasana hati yang negatif. Adapun suasana hati negatif yang sering dialami oleh remaja diantaranya adalah perasaan aneh atau tidak nyaman, perasaan kesepian, perasaan gugup, khawatir, dan perasaan diabaikan atau kurang diperhatikan.

3. Kecenderungan remaja untuk melakukan tingkah laku yang berisiko. Tingkah laku berisiko didefinisikan sebagai tingklah laku yang secara potensial dapat menyebabkan celaka atau kesulitan pada orang lain atau pada dirinya sendiri. Tingkah laku beresiko yang paling sering timbul pada masa remaja diantaranya adalah penyalah gunaan obat-obatan, keselamatan mengemudi, serta kehidupan yang berkaitahn dengan kehidupan seks remaja. Namun demikian, perlu diingat tidak semua

(38)

remaja mencoba tingkah laku yang berisiko tersebut. Remaja yang besar kemungkinan mencoba tingkah laku berisiko tersebut adalah remaja yang memiliki kesenangan untuk mencari sensasi dan remaja yang memiliki kecenderungan untuk menuruti kehendak sesaat (impulsivity).

Berdasarkan kecenderungan remaja untuk terlibat konflik dengan orang tua, kecenderungan remaja untuk mengalami gangguan suasana hati, dan kecenderungan remaja untuk mencoba tingkah laku yang berisiko.

Maka sangat penting bagi remaja untuk memiliki kemampuan mengendalikan diri. Dengan kemampuann pengendalian diri yang baik, remaja diharapkan dapat mengantisipasi akibat-akibat negatif yang di timbulkan pada masa storm & stress tersebut.

4. Strategi Self Control.

Menurut Michele Borba, Ed. D ada tiga langkah penting dalam membangun kontrol diri pada anak-anak, yaitu:44

 Beri contoh kontrol diri dan jadikan hal tersebut sebagai prioritas.  Doronglah agar anak memotivasi diri.

 Ajarkan cara mengontrol dorongan agar berpikir sebelum bertindak. Strategi pengendalian diri yang secara konseptual didasarkan pada Teori Belajar sosial (Social Learning Theory) dari Bandura.45 adalah Teknik

44 Michele Borba, Membangun Kecerdasan Moral; Tujuh Kebajikan Utama Agar Anak Bermoral Tinggi. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 107.

(39)

behavior self-management. Pada teknik ini, individu belajar membentuk tingkah laku yang diinginkannya melalui tiga tahap, yaitu tahap self-obsevation, tahap environmental-observation, dan tahap behavior programming.

1. Tahap self-observation.

Tahap self-observation adalah tahap ketika individu mengamati tingkah laku dirinya.

2. Tahap environmental-observation.

Dalam penerapanya, tahap ini dibagi lagi tahap ini di bagi menjadi tiga tahap, yaitu:

1) Observe the antecendent, yaitu tahap pengamatan terhadap penyebab (dapat berupa orang, peristiwa, tempat, dan lain-lain) dari kondisi yang sedang dialami.

2) Observe the coping strategies, yaitu tahap pengamatan terhadap bagaimana cara orang lain mengatasi kondisi yang sedang dialaminya tersebut.

45 Menurut Bandura, sumber pengontrol tingkah laku adalah resiprokal antara lingkungan, tingkahlaku, dan pribadi, yaitu suatu formulasi mengenai perilaku dan sekaligus dapat memberikan informasi bagaimana peran perilaku itu terhadap lingkungan dan terhadap individu yang bersangkutan. Dan Efikasi diri berhubungan dengan keyakinan bahwa diri memiliki kemampuan melakukan tindakan yang di harapkan dan merupakan variable pribadi yang penting dalam pembentukan perilaku. Sedangkan implementasi dalam pembelajaran adalah adanya empat komponen dalam proses belajar melalui pengamatan, yaitu: perhatian, pencaman, reproduksi gerak motorik, dan ulangan penguatan dan motivasi. Lihat: Alwisol, Psikologi Kepribadian (Malang: Universitas Muhammadiyah, 2007), 347.

(40)

3) Observe the consequences, yaitu tahap pengamatan terhadap konsekuensi dari cara yang diterapkan oleh orang lain dalam menghadapi kondisi tersebut.

3. Tahap behavior programming.

Tahap behavior programming, yaitu: tahap perencanaan perilaku ini dilakukan berdasarkan pengamatan terhadap konsekuensi negatif (punishement) dan konsekuensi positif (positif-reinforcement) yang di terima orang lain dari lingkungannya.46

B. Penanaman Nilai-Nilai Agama

1. Pengertian dan Perkembangan Nilai-Nilai Agama.

Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang benar dan yang salah. Dengan demikian, moral merupakan kendali dalam bertingkah laku.47

Sedangkan dalam kaitanya dengan penanaman nilai-nilai keagamaan, maka moral merupakan kontrol dalam bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai agama yang di maksud.48

Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) nilai agama diartikan sebagai: “ Suatu konsep mengenai penghargaan tinggi yang diberikan oleh

46 Singgih D. Gunarsa, Bunga Rampai. Psikologi Perkembangan; Dari Anak Sampai Usia Lanjut ( Jakarta: Gunung Mulia, 2006), 260.

47 Sunarto & Agung Hartono. Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta: Asdi Mahasatya, 2002), 168.

(41)

warga masyarakat kepada beberapa masalah pokok dalam kehidupan keagamaan yang bersifat suci sehingga menjadi pedoman bagi tingkah laku keagamaan warga masyarakat yang bersangkutan ”.49

Dalam agama Islam masalah pokok dalam kehidupan keagamaan itu meliputi tiga hal, yaitu aqidah (keimanan), syari’ah (ibadah), dan akhlak. Jadi ketiga hal tersebut harus dapat dijadikan pedoman bagi setiap tingkah laku manusia.

Berkenaan dengan proses pembentukan nilai khususnya pendidikan moral, John Dewey mengemukakan postulat adanya tiga level terjadinya pembentukan moral, yaitu:50

1. Pre moral atau pre conventional yaitu tumbuhnya moral atau perilaku yang dimotivasi oleh dorongan biologis atau dorongan sosial.

2. Conventional level yaitu seseorang menerima dengan hanya sedikit kritikan terhadap ukuran-ukuran moral dalam kelompoknya.

3. Autononus level yaitu tingkah laku yang dibimbing oleh pemikiran pribadi dan proses penilaian apakah sesuatu itu baik. Ia tidak menerima begitu saja ukuran-ukuran kelompok tanpa pemekirin refleksi.

Hampir mirip dengan pandangan ahli-ahli psikologi yang dicatat oleh Piaget dan Kohlberg bahwa pengalaman keagamaan hampir sama dengan perkembangan moral yakni:51

49 Pusat Pembinaan & Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia ( Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 165.

(42)

1. Authoritarian stage (apa yang ditunjukkan orang tua kepada saya adalah benar), perkembangan nilai pada diri anak bermula dari penerimaan tanpa pertimbangan.

2. Conforming stage (norma-norma dari peer group adalah benar), perkembangan nilai pada masa adolesen yaitu penerimaan dengan pertimbangan oleh pribadinya.

3. Autonomous stage, ketika seseorang menerima keputusan moral dari dirinya sendiri diatas dasar suatu prinsip-prinsip yang umum. Pada masa ini mereka sudah menjadikan nilai bagian dari hidupnya.

2. Dasar Penanaman Nilai-nilai Agama

Dasar merupakan landasan tempat berpijak sesuatu agar sesuatu tersebut dapat berdiri dengan kokoh. Adapun dasar penanaman nilai-nilai Agama atau pendidikan agama ada tiga, yaitu:52

a. Dasar Religius 1. Al-Qur’an.

Firman Allah SWT surat At-Taubah ayat 122. 53

$tΒuρ šχ%x. tβθãΖÏΒ÷σßϑø9$# (#ρãÏΨuŠÏ9 Zπ©ù!$Ÿ2 4 Ÿωöθn=sù txtΡ ÏΒ Èe≅ä. 7πs%öÏù öΝåκ÷]ÏiΒ ×πxÍ←!$sÛ (#θßγ¤)xtGuŠÏj9 51 Ibid. ,10.

52 Zuhairini. Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam (Surabaya: Usaha Nasional, 1980), 21. 53 Al-Qur’an 09: 122.

(43)

’Îû ÇƒÏe$!$# (#ρâ‘É‹ΨãŠÏ9uρ óΟßγtΒöθs% #sŒÎ) (#þθãèy_u‘ öΝÍκöŽs9Î) óΟßγ‾=yès9 šχρâ‘x‹øts† ∩⊇⊄⊄∪

Artinya: Tidak sepatutnya orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. 54

Dari ayat Al-Qur’an di atas dapat disimpulkan bahwa sudah menjadi kewajiban bagi tiap-tiap orang untuk dirinya dari siksa api neraka, tidak lain dan jalan lain mengetahui atau mempelajari agama terdahulu (dalam medan perang).

2. Al-Hadist.

Dalam hadist yang lain juga dikatakan sebagai berikut: 55 لOP QRSا لUVر XRV و QZR[ QRSا \] : ^SU_ `ا دUSUb cb Ob ةefg \[ , hءOP _ ةاU QjادUk QjOlmn_ وا Qjاeop_ وا

Artinya: Rasû lallah SAW bersabda: Tidaklah anak yang dilahirkan itu kecuali telah membawa fitrah (prasa) percaya kepada Allah atau fitrah agama, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut beragama Yahudi, Nasrani ataupun Majusi.

54 Department Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya (Semarang: Asy Syifa’, 2000), 164. 55 Imam Bukhori, Sunan Bukhori Juz I (Beirut: Darul Fikr, 1994), 291.

(44)

b. Dasar yuridist/hukum

Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran. Undang-undang Dasar Negeri Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (1) menyebutkan “ Bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan ayat (3) Menegaskan bahwa pemerintah menegaskan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bagsa yang diatur dengan undang-undang. Untuk itu, seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan negara Indonesia”. 56

Ini menunjukkan bahwa setiap warga negara (Indonesia) berhak atas pendidikan dan pengajaran, baik itu pendidikan umum maupun pendidikan agama (pendidikan agama Islam).

c. Dasar psikologis.

Dasar psikologi merupakan dasar-dasar pelaksanaan pendidikan agama yang ditinjau dari aspek psikologis atau kejiwaan. Mengenai hal ini Zakiah Daradjat dalam bukunya yang berjudul “Pendidikan Islam dalam keluarga dan Sekolah” Mengungkapkan bahwa aspek psikologis

56 Undang-Undang Republik Indonesia, Tentang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 (Jakarta: Cemerlang, 2003), 7.

(45)

(kejiwaan) mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia dan merupakan penentu dari berbagai aspek kehidupan manusia.57

Ditinjau dari aspek psikologis (kejiwaan) semua manusia dalam hiodupnya selalu membutuhkan pegangan hidup yang di sebut agama. Selain itu mereka juga merasakan bahwa dalam jiwanya ada suatu perasan yang mengakui adanya dzat yang maha kuasa tempat mereka berlindung dan memohon pertolongan. Sehingga mereka akan merasa tenang dan tentram jika dekat dengan-Nya.58

Perasaan keagamaan tersebut merupakan potensi atau kemampuan dasar yang merupakan benih yang dapat tumbuh dan berkembang. Adapun pertumbuhan dan perkembangannya memerlukan pendidikan agama, karena pendidikan agama dapat mengarahkan manusia kearah yang benar.59

3. Membangun Suara Hati Melalui Nilai-Nilai Agama.

Pendidikan agama hendaknya dapat mewarnai kepribadian anak, sehingga agama itu, benar-benar menjadi bagian dari pribadinya yang akan menjadi pengendali tingkah laku, sikap dan gerak-geriknya dalam hidupnya di kemudian hari. Memang, kadang-kadang kita melihat keyakinan remaja

57 Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga & Sekolah (Jakarta: Ruhama, 1995), 12.

58 Zuhairini. Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam (Surabaya: Usaha Nasional, 1980), 23. 59 Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), 25.

(46)

terombang-ambing, tidak tetap, bahkan kadang-kadang berubah-ubah, sesuai dengan perubahan perasaan yang dilaluinya. Suatu hal yang tidak dapat disangkal, adalah bahwa remaja-remaja itu secara potensial telah beragama.60

Apabila ajaran Agama telah masuk menjadi bagian dari mentalnya, yang telah terbina, maka dengan sendirinya ia akan menjahui segala larangan Tuhan dan mengerjakan segala suruhan-Nya, bukan karena paksaan dari luar, tetapi karena batinya merasa lega dalam mematuhi segala perintah Allah, yang selanjutnya kita akan melihat bahwa nilai-nilai agama tampak tercermin dalam tingkah-laku, perkataan, sikap dan moralnya pada umunya.61

Dengan cara meningkatkan kepercayaan pada Tuhan. Maka remaja akan terbiasa mendengarkan suara hati dalam hal mengendalikan diri dari kebutahan-kebutuhan dan keinginan yang condong ke arah penurutan hawa nafsu yang menguasai.62

Untuk itu tugas guru pendidikan agama Islam adalah menciptakan situasi belajar mengajar yang dapat membantu remaja pelajar dapat meningkatkan keimanan kepada tuhan .

Pengendalian diri terhadap hawa nafsu melalui kata hati, dalam Islam di sebut dengan proses tazkiyah-nafs yakni pensucian jiwa.63

60 Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 128.

61 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 59.

62 Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar; Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 80.

63 Said Hawwa, Mensucikan Jiwa: Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu (Jkarta: Rabbani Press, 2001), 33-141.

(47)

Proses nafs bisa dilalui dengan beberapa sarana tazkiyah-nafs, yang dimaksud sarana tazkiyah-nafs ialah amal perbuatan yang mempengaruhi jiwa secara langsung dengan menyembuhkanya dari penyakit, membebaskanya dari “tawanan” atau merealisasikan akhlak padanya.

Semua hal ini bisa jadi terhimpun dalam suatu amal perbuatan.

1) Sholat merupakan sarana pertama dalam tazkiyatun nafs. Shalat berikut sujud, ruku’, dan dzikirnya membersihkan jiwa dari kesombongan kepada Allah, dan mengingatkan jiwa agar istiqomah di atas perintah-Nya, “Sesungguhnya shalat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar”. (al-’Ankabut: 45).

2) Zakat dan Infaq bisa membersihkan jiwa dari sifat bakhil dan kikir, dan menyadarkan manusia bahwa pemilik harta yang sebenarnya adalah Allah, “ Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya ”. (al-Lail: 18).

3) Puasa merupakan pembiasaan jiwa untuk mengendalikan syahwat perut dan kemaluan, “Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”. (al-Baqarah: 183). 4) Membaca al-Qur’an dapat mengingatkan jiwa kepada berbagai

kesempurnaan, “Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya)”. (al-Anfal: 2).

5) Berbagai dzikir seperti lafadz-lafadz asma’ul husna yang bisa memperdalam iman dan tauhid di dalam hati di ikuti dengan tafakkur,

(48)

“Ingatlah hanya dengan mengingat-ingat Allah-lah hati menjadi tenteram”. (Ar-Ra’d: 28). Munculnya nilai-nilai dari hati tidak lain adalah melalui perpaduan antara dzikir dan fikir.

6) Mengingat kematian akan dapat mengembalikannya lagi kepada ’ubudiyah-nya dan menyadarkannya bahwa ia tidak memiliki daya sama sekali, “Dan Dia-lah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepada malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan malaikat-malaikat Kami, dan malikat-malikat kami tidak melalikan kewajibanya”. (aL-An’am: 61).

7) Muhasabah harian terhadap jiwa dan muraqabullah juga dapat cepat taubat dan memperkuat laju peningkatan (taraqqi), “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap hari

memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok”. (aL-Hasy: 18).

8) Jiwa terkadang tidak terkendalikan lalu terjerumus ke dalam kelalaian maksiat atau syahwat sehingga harus dilakukan mujahadah (kerja keras) agar bisa kembali, Allah berfirman, “ Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh (mencari keridhan) Kami benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. ” (aL-Ankabut: 69)

9) Tidak ada hal yang sedemikian efektif untuk menanamkan kebaikan ke dalam jiwa sebagaimana perintah untuk melakukan kebaikan, dan tidak

Referensi

Dokumen terkait

Kebijakan moneter.. Masih ingatkah kalian dengan pelajaran mengenai uang dan bank pada waktu masih duduk di kelas IX SMP? Uang dan bank merupakan dua unsur yang tidak bisa

seluruh band yang digunakan; (b) pembuatan composite warna untuk band 3 warna merah (R), untuk band 2 warna hijau (G) dan untuk band 1 warna biru (B); (c) interpretasi

In addition to sound inventory, the findings of the study also include some requirements for syllable-internal unit (i.e. onset, nucleus and coda) and how

1 Burse Co wishes to calculate its weighted average cost of capital and the following information relates to the company at the current time:.. Number of ordinary shares

Model I (pertama) adalah menguji pengaruh variabel independen nilai hasil pemeringkatan pelaksanaan E-Government (Egov), Prosentase pelaksanaan Tindak Lanjut hasil audit

Waktu koreksi kesalahan rekening Kecepatan menanggapi pengaduan gangguan Kesalahan pembacaan kWh meter yang dialami konsumen Frekuensi di titik pemakaian tertinggi. Frekuensi di

Oleh karena itu menarik untuk dikaji lebih jauh, seberapa kuat personal branding Ma’ruf Amin sebagai tokoh Islam di hadapan branding partisipasi politik 212 pada pemilihan