• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem konstruksi Masjid Paljagrahan menggunakan menggunakan lantai berbentuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sistem konstruksi Masjid Paljagrahan menggunakan menggunakan lantai berbentuk"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

Gambar 16. Sketsa Perspektif Masjid Paljagrahan di Cireong, Cirebon

Sistem konstruksi Masjid Paljagrahan menggunakan menggunakan lantai berbentuk dengah persegi dengan pembagian ruang sama dengan yang terdapat pads bangunan Candi di Jawa Timur. Pembagian seperti : ruang luar-tengah dan dalam merupakan kelanjutan dari tradisi bangunan tradisional pra Islam. Teknik konstruksi lantai menggunakan cara penggalian seluas areal denah persegi hingga menyerupai kolam, lalu pada bagian samping kolam dipagari dinding dari susunan bata merah dengan perekat pasir padas campur kapur. Lalu untuk mengeraskan permukaan kolam tersebut di urug dengan pasir campur kapur. Struktur dinding menggunakan teknik pasangan bata merah dan untuk menopang bagian rangka atap digunakan tiang soko guru . Bahan penutup permukaan atap pada awalnya menggunakan atap sirap, dan kini diganti dengan genteng tanah bakar. Hal lain yang menjadi ciri khas Masjid Paljagrahan yaitu memiliki relung mihrab berukuran sekitar , lebar 47 Cm. dan

(5)
(6)

meliputi : ruang serambi (suci), ruang dalam (paling suci) dan ruang terdalam (tersuci). Sebagaimana tampak pada denah Langgar alit. Lihat gambar 17 .

Gambar 17. Potongan dan Denah Langgar Alit, terletak di dalam komplek Keraton Kasepuhan 68

(7)

Disamping pada bangunan Langgar alit, penerapan konsep dan unsur bentuk, bahan dan warna bangunan Semar Kinandu juga diterapkan pada bangunan yang terdapat di sebelah barat Blandongan Jinem, yaitu suatu ruangan terbuka tempat upacara panjang jimat yang disebut Pringgondani. Bangunan yang memiliki persamaan konstruksi atap dan unsur bentuk tiang tersebut, kith sering dipergunakan untuk tempat shalat dan pengajian keluarga Sultan. Perwujudan bangunan tersebut dapat dilihat pads gambar 18 dibawah.

Gambar 18. Bangunan tempat pengajian sebelah Barat Blandongan Jinem, yang memiliki persamaan unsur bentuk dengan bangunan Semar Kinandu

(8)
(9)
(10)
(11)

Yogyakarta dan Masjid Kraton Surakarta. Sebagaimana di uraikan di atas bahwa penetuan arah atau orientasi yang terdapat pada Masjid Agung Kasepuhan, tidak mengacu pada prinsip ke sejajaran dengan garis sempadan bangunan Kraton dan alun-alun. Seperti tampak pada gambar 19.

Gambar 19 Denah Situasi Masjid dan Kraton Kasepuhan Cirebon ( sumber, Argadikusuma,E.N. Baluarti Kraton Kasepuhan Cirebon)

(12)

Gambar 20 , Denah Kompleks Kraton Yogyakarta (sumber, Wiryomartono,P. 1995 : 50)

Bila dilakukan penarikan garis sumbu yang membentang dari areal Kraton dan Masjid , maka akan bertemu pada satu titik pusat tepat di areal di areal alun-alun. Masjid Agung -alun-alun dan Kraton Yogyakarta , memiliki garis sempadan bangunan yang sejajar. Arab atau

(13)

orientasi badan bangunan Masjid tidak mengacu ke arah qiblat di Mekkah, melainkan mengarah ke Kraton Yogyakarta. Sehingga pada interior Masjid penentuan barisan (shaf) shalat posisinya tidak sejajar dengan dinding bangunan. Demikian pula halnya dengan yang terdapat di kompleks Kraton Surakarta dapat di ketahui sebagai berikut :

Gambar 21. Pusat Kota Surakarta 1860 (sumber, Bonnef, dalam Wiryomartono, P,1995 : 52)

Garis sempadan bangunan Masjid sejajar dengan garis sempadan Kraton dan alun-alun. Alun -alun yang memiliki denah berbentuk persegi selalu dibangun di tengah-tengah pusat

(14)
(15)
(16)

merupakan pemecahan teknis yang diselaraskan dengan kondisi alam yang beriklim tropik. Bentuk atap tumpang yang tersusun tahap demi tahap, dari satu bidang atap terbawah yang memiliki luas lebih besar ke bidang atap dengan luas lebih kecil hingga ke bidang atap terkecil yang menjadi bagian puncaknya. Diantara tahapan bidang atap yang satu dengan lainnya terdapat bidang horizontal yang tebentuk dari dua balok kayu yang disusun sejajar dengan arah horizontal dan berfungsi untuk mengikat tiang di bagian bawahnya. Diantara kedua balok tersebut dipasang tiang-tiang tegak, lalu pada bagian tengah antar tiang dipasang kusen jendela untuk bukaan cahaya dan kisi-kisi kayu berukuran kecil untuk sirkulasi udara.

Pada umumnya bangunan masjid awal di Cirebon sistem konstruksinya lebih banyak menggunakan bahan kayu dan bata merah. penguasaan teknologi bahan kayu dan bata merah, merupakan warisan budaya yang berkembang sejak masa pra sejarah. Hal ini terbukti bahwa di daerah pinggiran Cirebon seperti Cipari kabupaten Kuningan telah mengenal

teknologi pembuatan gerabah dari tanah melalui proses pembakaran. Maka adanya penggunaan bata merah sebagai bahan bangunan, sebenarnya merupakan kelanjutan atau pemanfaatan teknologi dari masa sebelumnya.

Sebagai acuan untuk mengetahui perkembangan awal mula bentuk bangungan masjid terutama yang berkembang pada masa awal penyebaran Islam, akan disusun bagan ilustrasi tentang bentuk beberapa masjid di Indonesia khususnya di Pulau Jawa, seperti pada gambar sebagai berikut

Gambar 22 , Masjid Kuno di Jepara, menurut cukilan kayu karya C. Decker (1775) (Sumber,Haryoto,ER. PR ,1988). Perwujudan bangunan masjid di Jawa Tengah merupakan basil campuran antara unsur budaya lokal dengan luar. Seperti tampak pada gambar, bentuk atap bersusun tumpang memiliki persamaan dengan bangunan kuil di Indo Cina.

(17)

Bentuk bangunan tersebut apabila dihubungkan dengan pendapat masyarakat setempat yang beranggapan bahwa masjid di daerah tersebut di bangun oleh beberapa saudagar muslim keturunan bangsa Indo Cina dan Persia. Pada masa awal penyebaran Islam para saudagar umumnya bermukim di daerah pesisir pantai, dalam hal ini daerah Jepara yang berdekatan dengan Demak termasuk kedalam daerah pesisir. Maka disimpulkan bahwa masjid pads mulanya dibangun di daerah pesisir pantai dan perwujudannya merupakan campuran dari unsur lokal dan unsur dari tradisi asing. Unsur bentuk atap tumpang yang berasal dari tradisi asing, lebih dominan dalam perwujudan bangunan masjid, sedangkan konsep teknis (konstruksi) dan filosofisnya berasal dari tradisi lokal.

Meskipun perwujudan atap masjid mempergunakan bentuk bersusun tumpang, namun secara struktural terdapat perbedaan . yaitu pada bangunan kuil dan meru, memiliki jurai penahan wuwung atap pada bagian ujungnya berbentuk lengkung mengarah ke atas, sedangkan ujung jurai pada atap masjid berbentuk lurus mengarah kebawah. Susunan atap pada bangunan kuil dan meru berjumlah lebih dari 5 tingkat, sedangkan pads bangunan masjid

paling banyak berjumlah tiga susun. (lihat gambar 23 di bawah) Atap pada bangunan kuil berfungsi menaungi lantai sesuai tingkatannya, sedangkan atap pada bangunan masjid awal seluruh susunan atap dari yang terbawah hingga atap bagian puncak berfungsi menaungi satu lantai ruang shalat, yang terletak dibagian tengah denah bangunan, sehingga pada interior bangunan seluruh tahapan atap dapat terlihat langsun

Gambar 23 , Masjid di makatn Syeikh Ibn Maulana di Cirebon, menurut lukisan Valentijn.(Sumber,Haryoto, ER., PR.,1988)

Masjid kuno di Cirebon, perwujudannya merupakan campuran antara unsur lokal dengan unsur yang berasal dari tradisi masa pra Islam.

(18)

Gambar 24, Masjid dan Menara pada Masjid Agung Banten ( Sumber, Millet,E , 1996 : 50)

Konstruksi atap tumpang pada Masjid Agung Banten, mempergunakan pola dasar bentuk segitiga. Bentuk atap tersebut disamping diterapkan untuk menutup badan bangunan , juga dimanfaatkan untuk mahkota ( mamolo atau hiasan pada puncak atap dan kubah masjid) pads bagian puncak atap tumpang.

Berdasarkan data sejarah , meskipun Masjid Agung Banten dibangun lebih muda dibanding masjid di Cirebon, namun keberadaannya tetap memiliki hubungan dengan Kesultanan Cirebon. Sebab pendiri Kesultanan Banten awal adalah Raden Syarif Hidayatullah dan setelah is memangku jabatan sunan Cirebon, kemudian tampuk pemerintahan kesultanan Banten di jabat oleh putranya bernama sultan Maulana Yusuf.

Dalam kerangka pembahasan mengenai bentuk atap Masjid Agung Banten, tampak memiliki keunikan karena bentuk susunan atap tumpang penutup badan bangunan , secara visual tidak tampak lagi seperti atap bangunan meru. Adapun unsur yang menerupai atap meru diterapkan untuk mahkota pada puncak atap masjid . mahkota (mamolo) berbentuk atap tumpang tersebut bersifat artifisial.

(19)

Gambar 25, Masjid Panjunan diperkirakan dibangun abad ke-17 (Somber, Millet,D.; 1996 : 124)

Bentuk atap bersusun tumpang dipergunakan sebagai bentuk dasar bangunan menara Masjid Panjunan, seperti pada sekitar akhir abad 15 Masehi, pernah diterapkan juga untuk atap menara Masjid Kudus.

Berdasarkan uraian singkat dari beberapa gambar dan foto diatas, dapat disimpulkan bahwa perwujudan masjid tradisional yang berkembang di Cirebon , konsep dan unsur bentuknya merupakan hasil percampuran antara unsur lokal dengan unsur yang berasal dari tradisi luar, temuan tersebut memiliki persamaan dengan pendapat pengamat seni rupa asal Cirebon bernama Mamannoor, yang menyatakan bahwa bentuk dan konsep perupaan tradisional Cirebon tidak luput dari proses campuran antara latar budaya Hindu Jawa - Cina dan Islam.

Masjid awal di Cirebon perwujudannya memiliki ciri khusus yaitu beratap tumpang , denah lantai berbentuk persegi yang memiliki pennukaan (contour) berundak . Lalu penataan ruang disusun berdasarkan tingkatan nilai yang terdapat dalam kepercayaan (tradisi) seperti : bagian luar yaitu serambi (dianggap suci), bagian dalam yaitu ruang tengah atau interior bangunan (dianggap paling suci) dan terdalam yaitu ruang mihrab (tersuci) . ciri khusus lainnya yaitu pada areal bangunan masjid tidak terdapat bangunan menara, terkecuali pada masjid yang berkembang sesudah masa penyebaran awal Islam yakni sekitar abad 16 Masehi hingga masa moderen.

Gambar

Gambar 16. Sketsa Perspektif Masjid Paljagrahan di Cireong, Cirebon
Gambar 17. Potongan dan Denah Langgar Alit, terletak di dalam komplek Keraton Kasepuhan 68
Gambar 18. Bangunan tempat pengajian sebelah Barat Blandongan Jinem, yang memiliki persamaan unsur bentuk dengan bangunan Semar Kinandu
Gambar 19 Denah Situasi Masjid dan Kraton Kasepuhan Cirebon ( sumber, Argadikusuma,E.N
+6

Referensi

Dokumen terkait