• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PEMIKIRAN DEMOKRASI DI INDONESIA (Studi Pemikiran Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS PEMIKIRAN DEMOKRASI DI INDONESIA (Studi Pemikiran Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid)"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Khitah: Kajian Islam, Budaya & Humaniora Vol. 2 No. 1 Tahun 2021

DOI:

ANALISIS PEMIKIRAN DEMOKRASI DI INDONESIA

(Studi Pemikiran Abdurrahman Wahid

dan Nurcholis Madjid)

ANALYSIS OF DEMOCRATIC THINKING IN INDONESIA

(Study on the thought of Abdurrahman Wahid

and Nurcholis Madjid)

Andi Haerur Rijal

HMI Komisariat Syariah dan Hukum Cabang Gowa Raya Universitas Hasanuddin Makassar

Email: andikhaerurrijal27@gmail.com

Abstrak

Demokrasi selalu muncul sebagai isu sentral dalam setiap episode sejarah peradaban manusia, sejak zaman yang sering disebut sebagai Yunani Kuno. Hal ini terjadi, karena faktual demokrasi telah menjadi spirit radikal-universal bagi individu atau sekelompok yang bernaung di bawah institusi negara untuk terlibat dalam pergulatan politik dalam rangka mewujudkan cita-cita kemanusiaan universal. Penulis telah meneliti tentang Analisis Pemikiran Demokrasi Di Indonesia (Studi Pemikiran Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid). Penulis menggunakan jenis penelitian kepustakaan (Library

Research) menggunakan studi literatur/kepustakaan untuk memperoleh data dan

metodenya ialah deskripstifkualitatif yang. Disimpulkan bahwa tinjauan dari Pro-Kontra antara kelompok atas pelaksanaan demokrasi yang ada di Indonesia dan menitikberatkan pada Demokrasi Pancasila yang diyakini mampu untuk mewadahi aspirasi masyarakat yang multikultural. Demikian Abdurrahman Wahid dengan pemikirannya, menyakini bahwa demokrasi saling beriringan dengan agama dan menekankan pada Demokrasi Pancasila yang memiliki nilai dari masyarkat yang asli Indonesia. Demokrasi juga relevan dengan politik karena demokratisasi tidak akan berjalan jika tidak ditunjang dengan terbangunnya budaya politik sesuai dengan prinsip demokrasi sedangkan persepsi pemikiran Nurcholish Madjid tentang demokrasi menunjukkan berkembang dan berjalannya secara dinamis menuju ke arah perkembangan yang lebih baik dalam melaksanakan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan parameternya ialah seberapa jauh kebebasan azasi seperti kebebasan menyatakan pendapat, berserikat dan berkumpul itu dapat dilaksanakan dalam berbagai segi kehidupan. Hal ini sangat urgen karena selain melaksanakan nilai-nilai kemanusiaan itu, pemerintah tidak hanya membuka kebebasan asasi, tetapi juga harus mendengar, menyerap, dan mengambil aspirasi masyarakat dan kalau perlu melibatkan masyarakat dalam setiap membuat kebijakan publik, dan untuk dilaksanakan bukan hanya untuk didengar, sehingga apa yang telah diputuskan dan ditetapkan oleh pemerintah berdampak positif terhadap rakyat. Partisipasi masyarakat adalah bentuk kedaulatan rakyat dalam megambil bagian dalam proses menentukan kehidupan bersama, terutama di bidang politik atau sistem kekuasaan yang mengatur sehingga individu atau kelompok dapat memperjuangkan nasibnya sendiri dalam berbangsa dan bernegara. Dan kedua, kebebasan menumbuhkan mekanisme pengawasan sosial terhadap segi kehidupan dengan coba dan salah menuju demokrasi yang sempurna.

(2)

Abstract

Democracy has always emerged as a central issue in every episode in the history of human civilization since what is often referred to as ancient Greece. This is happening because factual democracy has become a universal radical spirit for individuals or groups who take refuge under state institutions to be involved in political struggles in order to achieve universal humanitarian ideals. The author has carried out research on the analysis of democratic thought in Indonesia (study of the thought of Abdurrahman Wahid and Nurcholis Madjid). The author uses this type of library research (Library Research) uses literature / literature studies to obtain data and the method is descriptive qualitative. It is concluded that the examination of the pros and cons between groups on the implementation of democracy in Indonesia and focuses on Pancasila democracy which is believed to be able to meet the aspirations of a multicultural society. This is Abdurrahman Wahid with his thoughts, believing that democracy goes hand in hand with religion and emphasizes the democracy of Pancasila which has the values of an indigenous Indonesian society. Democracy is also relevant for politics because democratization will not work if it is not supported by the development of a political culture in accordance with the principles of democracy, while the perception of Nurcholish Madjid's thinking on democracy shows that it develops and evolves dynamically towards a better development in the implementation of human values. At the same time, the parameter is the extent to which fundamental freedoms such as freedom of expression, association and assembly can be exercised in various aspects of life. This is very urgent because in addition to implementing the humanitarian values, the government not only opens up human freedoms, but must also listen to, absorb and take into account the aspirations of the people and, if necessary, involve the community in the process. development of public policies, and implemented not only to be heard, so that what the government decided and stipulated has a positive impact on the population. Community participation is a form of sovereignty of peoples to participate in the process of determining common life, especially in the political field or in the power system that regulates individuals or groups to fight for their own destiny in the nation and the state. And second, the freedom to cultivate mechanisms of social control over aspects of life through trial and error towards a perfect democracy.

Keywords: Thought, Democracy

Article History: Received 06-03-21; Revised 07-04-21; Accepted 08-04-21; Published 16-04-21. Jurnal Khitah

(3)

Pendahuluan

Demokrasi merupakan salah satu isu dan wacana yang mampu mengintegrasikan cita-cita ideal manusia sejagad, karena wacana demokrasi mampu melintasi sekaligus melampaui batas-batas geografis, suku bangsa, agama dan kebudayaan.1

Dalam pepatah Latin dikatakan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan (vok

populi vox Dei). Oleh karena itu kedaulatan rakyat tidak boleh dikompromikan dengan

apa dan siapapun, sehingga kehendak rakyat seakanakan kehendak Tuhan. Disamping itu, ada juga pepatah yang mengatakan kekuasaan rakyat adalah hukum yang paling tinggi (salus populi supreme lex). Oleh karena itu, dalam demokrasi ditetapkan bahwa hukum yang paling tinggi adalah kehendak rakyat.2

Kecenderungan dan minat yang sangat kuat terhadap demokrasi dan demokratisasi ini kemudian mendorong hampir semua rezim negara-negara berkembang untuk melakukan reformasi politik dan penyesuaian-penyesuaian, terhadap tuntutan yang terus meningkat. Kalaupun beberapa rezim itu secara empirik lebih mengedepankan kemapanan (establishment) dari pada demokrasi, mereka tetap menggunakan demokrasi sebagai retorika politik untuk mencari legitimasi. Karenanya, beberapa rezim otoritarian di negara berkembang tetap mengklaim pemerintahannya sebagai penganut sistem demokrasi atau sekurang-kurangnya sedang dalam proses ke arah itu.3

Studi Samuel Huntington menunjukkan bahwa

lebih dari 30 negara di Eropa Selatan, Eropa Timur, Amerika Latin dan Asia Timur pada akhir abad ke-20 ini, telah mengalami transisi dari sistem politik yang tidak demokratis menuju sistem politik yang demokratis. Huntington menyatakan kecenderungan ini sebagai “Gelombang Demokratisasi Ketiga”.4

Sejak kehadiran Demokrasi di Indonesia dan juga dalam khasanah pemikiran politik Islam, Demokrasi melahirkan Pro-Kontra atau menjadi perdebatan antara cedikiawan muslim. Paling tidak, ada tiga aliran yang merima sepenuhnya, yang menolak, dan menyentujui prinsip-prinsipnya, tetapi dipihak lain mengakui adanya perbedaan.5 Salah satu dari sekian banyak pemikir muslim di Indonesia adalah Abdurahman Wahid atau yang dikenal dengan Gus Dur. Dia merupakan Tokoh muslim yang pluralis dan menyadari bahwa realitas kehidupan sosial keagamaan tidaklah sederhana tetapi sangat kompleks dan dinamis. Tidak jarang agama menjadi dasar Legitimasi.6

1Frans Magnis Suseno, Mencari Sosok Demokrasi: Sebuah Telaah Filosofis, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1995), h. 11.

2Jaih Mubarok, Fikih Siyasah: Studi tentang Ijtihad dan Fatwa Politik di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005), h. 47.

3Ignas Kleden, “Oposisi dalam Politik Indonesia”, dalam Musa Khadzim (ed), Menuju Indonesia Baru: Menggagas Reformasi Total, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1988), h. 152.

4Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995), h. 6.

5Jhon L. Espositi, James P. Piscatory, Islam Dan Demokrasi, Islamika Jurnal Dialog Pemikiran Islam. No. 4 Apri-Juni 1994, h. 21.

6Greg Barton, Biografi Gusdur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, (Yogyakarta: Lkis, 2008), h. 162.

(4)

Di samping itu pergaulan Gus Dur yang luas terhadap berbagai kalangan membentuk pemikirannya yang lebih modern, komplek, dan dinamis. Seperti pemikirannya tentang Demokrasi. Dasarnya pemikiran Gus Dur mengenai Demokrasi tidaklah jauh berbeda pada umumnya. Yakni setiap manusia berhak untuk memiliki kebebasan dalam mengemukakan pendapat, berbicara, dan berserikat. Bagi Gus Dur esensi Demokrasi sesungguhnya terletak pada perbedaan. Dan juga menurut Gus Dur Islam sangat menghargai pluralitas yang mana semua itu merupakan ajaran dari Demokrasi.

Sementara itu, dalam pandangan Cak Nur ialah sangatlah urgen apabila implementasi demokrasi berjalan ideal seiring dengan sirkulasi perpolitikan untuk membawa angin segar bagi kehidupan demokratisasi di Indonesia. Oleh karena itu, gagasan-gagasan yang telah dicetuskan oleh para pembaharu di negeri ini sudah seharusnya diterapkan, guna memberikan cerminan bagi negara-negara yang cenderung dengan menggunakan kekuasaan tangan besi atau despotik. Karena melihat berkelindangnya arus deras globalisasi sekarang ini, menjadikan semakin sempitnya dunia yang disebabkan oleh berkembangnya teknologi informasi yang menggejolak.

Diantara dari pemikirannya ialah konsepsi tentang demokrasi yang telah digagasnya karena berangkat dari situasi politik kenegaraan ketika itu di bawah pemimpin siapa yang berkuasa dan sebagian suntikan dari negaranegara Barat yang berpengaruh terhadap kehidupan demokrasi Pancasila di Indonesia. Gagasan dan pemikiran Cak Nur tentang demokrasi dan demokratisasi makin produktif menjelang, pada saat dan pasca reformasi 1998. Tulisan, ceramah dan komentar-komentar Cak Nur tentang partisipasi politik, pemilu yang bebas, badan perwakilan yang efektif, sirkulasi elit yang damai, pentingnya kontrol terhadap kekuasaan, kompetisi politik yang sehat, etika politik, pluralisme dan hak minoritas, masyarakat madani, kelas menengah, persamaan di depan hukum, dan lain-lain, jelas merupakan sumbangan yang besar bagi proses penyebaran ide-ide demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, penulis sangat tertarik untuk mengkajinya lebih dalam terkait dengan demokrasi yang telah digulirkan selama ini. Karena bagaimanapun demokrasi selalu berjalan dinamis ke arah yang lebih baik untuk menuju ke titik yang ideal (kaffah).

Metodologi

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, menginterpretasikan dan mendeskripsikan data yang berkaitan dengan keadaan saat ini, sikap dan pandangan yang terjadi dalam suatu masyarakat, kontradiksi antara dua kejadian atau lebih, hubungan antara individu dan variabel yang muncul dari perbedaan fakta yang ada dengan fakta yang ada dan pengaruhnya terhadap kondisi. Dengan pendekatan induktif, dengan teknik pengumpulan data yaitu studi lapangan, wawancara, selain itu penulis juga melakukan studi literatur dengan menelaah buku, literatur dan peraturan perundang-undangan. Menganalisis dokumen yaitu penulis menggali, menganalisis dan menemukan segala literatur, artikel, jurnal dokumentasi, peraturan perundang-undangan yang mengatur semua aspek politik, demokrasi, asas hukum Islam dan hukum hukum islam itu sendiri.

Hasil dan Pembahasan

1. Konsep Demokrasi di Indonesia dan Relevansinya dengan Sistem Di Indonesia menurut Abdurrahman Wahid

(5)

Abdurrahman Wahid lahir pada 4 Sya'ban 1359 Hijriah atau 7 September 1940. Abdurrahman Wahid adalah putra dari Mantan Menteri Agama RI pertama K.H. Wahid Hasyim dan Ny. Hj. Sholehah.

Keterlibatan pertama Gus Dur dalam dunia politik dimulai ketika Pemilihan Umum legislatif 1982. Gus Dur menjadi juru kampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebuah partai Islam yang dibentuk sebagai hasil gabungan 4 partai Islam termasuk NU.

Pada tahun 1984 pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo, Jawa Timur Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh tim Ahl Hall wa al-‘Aqli yang diketuai oleh K.H. As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan Ketua Umum PBNU.

Pada awalnya terpilihnya Gus Dur sebagai Ketua Umum dinilai positif oleh rezim soeharto. Bahkan Gus Dur dijadikan sebagai indoktrinator Pancasila pada tahun 1985. Pada tahun 1987, Gus Dur menunjukkan dukungan lebih terhadap rezim Soeharto dengan mengkritik PPP dalam Pemilu legislatif dan meperkuat Golkar. Bahkan, Gus Dur menjadi anggota MPR mewakili Golkar. Hubungan Gus Durdan rezim Soeharto mulai merenggang sejak Gus Dur tak segan-segan mengkritik pemerintah terkait proyek Waduk Kedung Ombo yang didanai oleh Bank Dunia. Hubungan keduanya mulai membaik ketika kedunya “berjabat tangan” dalam acara Musyawarah Kerja Nasional Rabitah Ma’abid Islamiyah 2 November 1996 di PP Zainal Hasan, Genggong, Probolinggo.7

Gus Dur memulai aliansi politik dengan Megawati Soekarnoputri dari PDI. Pada Desember 1996, Gus Dur bertemu dengan Amien Rais, anggota ICMI untuk merencanakan penggulingan rezim Soeharto.8

Pada saat menjabat sebagai Ketum PBNU, Gus Dur dan PBNU mengeluarkan pandangan yang dikenal dengan “refleksi reformasi NU” pada 22 Oktober 1999. Selain pandangan tersebut, Abdurrahman Wahid yang aktif dalam kelompok Ciganjur, yaitu kelompok yang terdiri atas tokoh-tokoh nasional, Megawati Soekarnoputri, Amien Rais, dan Sri Sultan Hamengkubuwono X, mengeluarkan sebuah deklarasi monumental yang dikenal dengan “Deklarasi Ciganjur” yang berisi tentang tuntutan dikembalikannya kedaulatan rakyat, pengutuhan persatuan dan kesatuan, dan ditegakkannya demokrasi.

7Soebachman, Agustina, “7 Spirit Presiden RI”, (Yogyakarta: Syura Media Utama, 2015), h.125 8Soebachman, Agustina, “7 Spirit Presiden RI”, h.126.

(6)

Ciri pemikiran Gus Dur yang neomodernis terlihat pada sikapnya yang menerima dan menghormati pluralisme dan nilai-nilai demokratisasi termasuk hubungan agama dan negara. Selain itu, nilai-nilai pluralistik telah dirujuk ke dalam struktur iman (Islam) sebagai nilai inti Islam itu sendiri. Cita-cita demokratisasi, persamaan hak, kebebasan berpendapat, dan menjunjung tinggi nilai pluralistik merupakan ide-ide pemikiran Islam Ppada saat menjabat sebagai Ketum PBNU, Gus Dur dan PBNU mengeluarkan pandangan yang dikenal dengan “refleksi reformasi NU” pada 22 Oktober 1999. Selain pandangan tersebut, Abdurrahman Wahid yang aktif dalam kelompok Ciganjur, yaitu kelompok yang terdiri atas tokoh-tokoh nasional, Megawati Soekarnoputri, Amien Rais, dan Sri Sultan Hamengkubuwono X, mengeluarkan sebuah deklarasi monumental yang dikenal dengan “Deklarasi Ciganjur” yang berisi tentang tuntutan dikembalikannya kedaulatan rakyat, pengutuhan persatuan dan kesatuan, dan ditegakkannya demokrasi.

Selain itu, nilai-nilai pluralistik telah dirujuk ke dalam struktur iman (Islam) sebagai nilai inti Islam itu sendiri. Cita-cita demokratisasi, persamaan hak, kebebasan berpendapat, dan menjunjung tinggi nilai pluralistik merupakan ide-ide pemikiran IslamKontemporer yang dapat diapresiasi dan digali dari pemikiran Gus Dur.9

Menurut Gus Dur,

ada tiga hal pokok demokrasi yaitu, kebebasan, keadilan, dan musyawarah. Kebebasan adalah kebebasan individu sebagai warga negara dan hak kolektif dari masyarakat. Keadilan merupakan landasan demokrasi, dalam arti terbuka peluang bagi semua komponen masyarakat untuk mengatur hidupnya sesuai kehendak masing-masing. Oleh karena setiap orang punya hak dan kesempatan untuk mengatur hidup dan kehidupannya sehingga harus diberi jalan yang mudah dan tidak dipersulit, seperti beberapa kasus yang terjadi pada saat Orde Baru. Pokok demokrasi yang ketiga adalah Syura atau musyawarah, artinya bentuk atau cara memelihara kebebasan dan memperjuangkan keadilan itu lewat jalur permusyawaratan. Gagasan demokratisasi Gus Dur telah dilempar ke publik jauh sebelum menjadi presiden RI.10

Citra Gus Dur sebagai cendekiawan muslim yang berwatak liberal, sekuler, berwawasan inklusif, dan selalu bersikap humanis, toleran terhadap kelompok minoritas serta menaruh perhatian pada kelompok yang tertindas, tetap saja melekat pada dirinya.

9Ma’mun Murod Brebesy, Ibid. 10Muh.Rusli, Ibid.

(7)

Menurut Gus Dur

dalam konteks negara pluralistik seperti Indonesia, menjadikan agama apapun sebagai ideologi negara hanya akan memicu disintegrasi bangsa, karena menurutnya sangat tidak mungkin memberlakukan formalisme agama tertentu dalam komunitas agama masyarakat yang sangat beragam.

Berkaitan dengan ideologi Pancasila, Gus Dur juga menyatakan bahwa tanpa Pancasila negara Indonesia akan bubar, ideologi ini merupakan asas negara yang harus dimiliki dan diperjuangkan, tidak peduli apakah ia dikebiri angkatan bersenjata, dimanipulasi umat Islam, atau malah disalahgunakan oleh keduanya.

Menurut Gus Dur dalam masyarakat demokratis, semua warga negara kedudukannya sama di muka hukum, yang berperan adalah kedaulatan hukum bukan kedaulatan kekuasaan, kebebasan berpendapat dibuka seluas-luasnya, dan adanya pemisahan yang tegas dalam fungsi yang tidak boleh saling mempengaruhi antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Disebutkan pula bahwa pada sebuah negara yang demokratis adalah yang mampu menjamin hak-hak dasar manusia, yang meliputi, jaminan keselamatan fisik, jaminan keselamatan keyakinan agama, jaminan kehidupan keutuhan rumah tangga, jaminan keselamatan hak milik dan jaminan keselamatan akal.11

Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa demokrasi mensyaratkan adanya, pertama, rasa tanggung jawab pada kepentingan bersama, kedua, kemampuan menilik masa depan, dan ketiga, kesediaan berkorban demi masa depan. Yang tak kalah pentingnya, masyarakat juga dituntut untuk siap berdemokrasi. Jadi, bukan sebatas institusinya saja, seperti adanya lembaga legislatif (DPR, MPR), dan partai politik. Hal terpenting menurut Abdurrahman Wahid yang popular disapa Gusdur ini, masyarakat harus memulai untuk berdemokrasi.

Islam dan demokrasi bukanlah suatu yang terpisahkan melaikan satu padu dengan lainnya. Gus Dur mempertegas keyakinannya pada Islam bahwa demokrasi merupakan bagian dalam prinsip Islam itu sendiri. Gus Dur berpendapat demikian karena ia berpegang pada Al-Qur’an dan Hadits Nabi Saw. Yang hampir keseluruh ayat Al-Qur’an menekanan pada pentingnya perlindungan terhadap kaum minortas, dan itu merupakan salah satu prinsip dalam demokrasi.

11M.Rusli, hal. 62

(8)

Salah satu keyakinan Gus Dur bahwa Islam merupakan bagian demokrasi ialah:

Pertama, Islam adalah agama hukum, dengan tidak memandang kelas. Artinya hukum itu di tegakkan sama untuk semua orang tanpa adanya perbedaan, dari laki-laki hingga perempuan, kaya dan miskin, pejabat atau orang biasa, di hadapan hukum tetaplah sama Kedua, Islam memiliki asas permusyawaratan. Yang artinya segala urusan atau permasalahan dapat dibicarakan diantara mereka. Ketiga, Islam selalu berpandangan memperbaiki kehidupan. Karena hakikanya ialah untuk persiapan untuk kehidupan kelak di akhirat. Dengan demikian apabila dikaitkan dengan keadilan, bahwa demokrasi hanya dapat tegak dengan keadilan. Sehingga Islam menopang demokrasi maka Islam juga akan kan menopang keadilan.

Menurut Gus Dur

Islam di Indonesia tidak berfungsi sebagi hukum negara melainkan sebagai tujuan hidup masyarakat. Islam tidak memiliki konsep yang jelas dalam sistem pemerintahan. Seperti Rasulullah yang di gantikan Abu Bakar, yang pemilihannya hanya lewat musyawarah. Dan artinya gagasan negara Islam bukanlah suatu yang tidak konseptual.

Dengan demikian demokrasi yang tercetus dari lahirnya keinginan para penemu bangsa tidak serta merta mengambil demokrasi mentah-mentah dan langsung di terapkan di Indonesia. Karena Indonesia merupakan negara yang memiliki warga negara yang berbagai dari ras, suka dan agama, dan tidak menempatkan Islam sebagai satu-satunya agama yang ada. Dengan kata lain, negara harus memiliki keadilan dalam menerapakan sistemnya. Dan ini lah mula asal lahirnya demokrasi Pancasila yang dapat diterima umat Islam. Gus Dur menempatkan demokrasi Pancasila dan Islam secara proposional. Yang mana demokrasi Pancasila merupakan landasan konstitusional dan Islam sebagai kaidah pedoman kehidupan masyarakat.

Dalam konteks implemetasi negara demokratis, Gus Dur menekankan bahwa demokratis harus “take and give”. Demokratis yang diinginkan Gus Dur adalah yang beroperasi dalam kenyataan kemajemukaan masyarakat. Konsistensi Gus Dur untuk mengembangkan demokrasi dan toleran dalam negara Pancasila dapat di lihat pada pembentukkan Forum Demokrasi dimana Gus Dur sendiri yang menjadi ketua forum tersebut. Sepak terjang Gus Dur dalam mengembangkan demokrasi tidak saja dalam lingkungan eksternal melainkan juga dalam internal NU.

Menurut Gus Dur, demokrasi merupakan pilihan yang yang harus dijalani, dan ia sangat berkeinginan menghidupkan demokrasi secara penuh. Walaupun demokrasi memerlukan waktu yang lama dan proses yang panjang. Masa panjang itu mulai dengan pelaksanaan hal-hak yang berfungsi sebagai permulaan proses. karena

(9)

banyak masyarakat ingin menghidupan demokrasi yang mereka inginkan. Dan itu sangat tersirat dalam perasaan rakyat yang tidak berani memiliki keberanian seperti Gus Dur.

Perjuangan Gus Dur yang menginginkan demokrasi tegak di Indonesia berlangsung dengan adanya keberanian Gur Dur untuk menjalani perpolitikan di Indonesia. Alasannya karena memperjuangkan demokrasi haruslah melahirkan taktik untuk mencapai tujuan demokrasi yang telah dicita-citakan. Pergerakkan Gus Dur dalam memperjuangkan demokrasi di Indonesia ialah dengan Gus Dur membuka jalan perpolitikkan yang demokratis yakni menjadi bagian partai yang berasas Islam. Gur Dur yang memiliki pengalaman menjadi ketua NU belasan tahun menjadikan itu tumpuan untuk mengibarkan sayapnya di dunia perpolitikkan. Gus Dur memulai politik akal yang ingin menaungi demokrasi dengan menggunakan partai politik tanpa menonjolkan pelaksanaan hukum Islamnya. Sehingga tujuan pembentukan partai politik ini dapat dirasakan semua orang tanpa perbedaan suku, ras, dan agama. Partai yang dimaksud ialah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Maksud dan tujuan Gus Dur bukan tanpa alasan, karena pada saat Indonesia memasuki masa Orde baru perkembangan dasar hubungan Islam dan negara pada saat itu sangatlah berlawanan arah sebagai akibat ambivalensi kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap Islam. Di satu pihak dapat dilihat bahwa kekuatan politik formal, Islam dapat digeser dalam dari panggung politik oleh kebijakan “de-alirani-sasi” (dekonvensionalisasi) yang dilakukan oleh pemerintah.

Dengan kebijakan ini menurut Gus Dur, pemeritah sedang melaksanakan rekayasa yang mengakibatkan tergerusnya kekuatan partai politik formal Islam. Akibat dan ambivalensi itu ialah di satu sisi terjadi pengikisan kelompok formal politik Islam dan satu sisi lain kekuatan kepemimpinan non-formal Islam justru semakin meningkat. Walaupun demikian Orde baru yang digadang-gadang sebagai kristalisasi partai poltik tidak dapat membekukkan perjuangan Islam dalam pergerakkan nonformal. Dan ini merupakan proyeksi perkembangan politik Islam yang akan datang.

Menurut Gus Dur berdemokrasi dengan cara pemilu merupakan tindakan suatu hal “Jual-beli” oleh masyarakat pada para partai politik. Alasannya partai politik tentu

(10)

saja menawarkan kebijakan-kebijakan dan janji-janji mereka kepada masyarakat agar masyarakat memilih mereka dengan maksud partai politik dapat menjalankan apa yang masyarakat inginkan. Namun berdemokrasi dengan pemilu belum tentu apa yang kita pilih akan berjalan sesuai dengan diharapkan. Kenyataannya ialah bahwa itu adalah konsekuensi dalam berdemokrasi.

Sebagai penutup, Gus Dur dalam tulisannya menyampaikan bahwa demokrasi merupakan sebuah pilihan yang harus di wujudkan demi mewujudkan keinginan yang benar benar kehendak rakyat pemilih dan bukan sekedar kehendak sejumlah orang yang muncul sebagai “kehendak rakyat”. Memang kehendak rakyat memang sulit di kenali, karena perlunya kearifan pandangan pemimpin disisi lainnya yang mampu memerintah dengan baik. Masyarakat pula harus pintar dalam milih dalam pilihanpilihan sehingga pemilu dihasilkan para sosok negara yang tahu akan kemana bangsa dan negara dituju dalam kehidupan.

Dalam pandangan Abdurrahman Wahid, dalam dunia modern demokrasilah yang dapat mempersatukan beragam arah kecenderungan kekuatan kekuatan bangsa. Demokrasi dapat mengubah keterceraiberaian arah masing-masing kelompok menjadi berputar bersama-sama menuju kedewasaan, kemajuan dan integritas bangsa. Dalam upaya mencapai kehidupan yang demokratis seluruh elemen masyarakat harus bertindak, bukan hanya menyerhakan sepenuhnya pada Pemerintah.12

Sepak terjang Gus Dur dalam memperjuangkan demokrasi dan pluralitas tidaklah mudah.

 Pencabutan SIUPP Monitor 1990

Dalam kasus pencabutan SIUPP Monitor 1990. Di kala hampir semua umat Islam mengecam, justru gus Dur mengecam keras pembredelan Monitor. Pada saat orang ramai yang Gus Dur bukan tidak marah atas kasus “penghinaan terhadap Nabi Muhammad Saw”, namun karena membredel Monitor menurutnya bertentangan dengan demokrasi.

 Menolak Bergabung dengan ICMI

ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) merupakan organisasi cendekiawan muslim di Indonesia yang bertujuan mewujudkan tata kehidupan masyarakat madani yang diridhoi Allah subhanahu wata'ala

12Dialog Bersama Gusdur Tayang pada 23 Januari 2001diakses melalui channel youtube: Kick Andy yang diakses pada tanggal 5 Maret 2021 pukul 23.03.

(11)

dengan meningkatkan mutu keimanan dan ketaqwaan, pemahaman dan pengamalan ajaran Islam, kecendekiawanan dan peran serta cendekiawan muslim se-Indonesia. ICMI dibentuk pada tanggal 7 Desember 1990 di sebuah pertemuan kaum cendekiawan muslim di Kota Malang tanggal 6-8 Desember 1990. Baharuddin Jusuf Habibie merupakan ketua ICMI yang pertama.13 Kelahiran ICMI menurut Gus Dur sarat akan nuasa sektarian. Nuansa itu menurutnya cukup mengganggu kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Respon atas penolakannya ditunjukan dengan sikapnya yang menolak bergabung dengan ICMI dan mendirikan Forum Demokrasi.

 Posko Pengaduan

Pasca politik “sapu bersih” pemerintah dalam Peristiwa 27 Juli 1996. Suara-suara kritis yang tadinya begitu keras, hilang seketika. Politik kembali ke titik nol. Dalam peristiwa, yang berawal dari pendudukan kantor PDI dari kelompok Pro-Mega tersebut, banyak korban jiwa, luka-luka, bahkan ada yang hilang tak tentu rimbanya tak terhitung harta benda yang rusak dan terbakar. Tak ada suara protes atas sikap militer yang keras saat itu, bahkan sekadar untuk klarifikasi.

Dalam suasana yang mencekam, Gus Dur tampil dengan mendirikan “posko pengaduan” bagi mereka yang merasa kehilangan sanak keluarganya, mengalami kerugian fisik maupun harta benda. Gus Dur bersama dengan beberapa rekan aktivis hak asasi manusia, seperti "membebaskan masyarakat dari rasa takut" dengan membuat posko pengaduan bagi mereka yang merasa kehilangan keluarga dan mengalami kerugian fisik maupun harta benda. Gus Dur sendiri menjadi anggota relawan dari posko tersebut.14

 Mendukung Penganut Kong Hu Cu

Selama tahun 1990-an terjadi ketegangan di kalangan etnis Tionghoa. Banyak pihak yang melarang etnis tersebut merayakan perayaan mereka. Pada tahun 1996, terjadi perusakan dan pembakaran rumah ibadah di Timtim, Surabaya, Bekasi, Situbondo dan lain-lain. Gus Dur berusaha membuat masyarakat menerima kalangan etnis namun membutuhkan waktu lama.

Kelompok ini sering dibela Gusdur, kendati negara tidak mengakui keberadaan negara ini khususnya pada masa Orde Baru, pembelaan dan pengakuannya terhadap hak minoritas ini merupakan wujud nyata dari tanggung jawab sosial kebangsaan dan praktek demokrasi.

Peristiwa gugatan pasangan penganut Kong Hu Cu ke PTUN Surabaya, karena tidak diakuinya perkawinan mereka berdasar kepercayaan yang mereka anut menarik perhatian Gus Dur. Dalam sidangsidang pengadilan tersebut, Gus Dur datang memberikan dukungan moral terhadap kedua pasangan tersebut. Kehadiran dan dukungan Gus Dur memang tidak berhasil memenangkan gugatan kedua pasangan itu, tetapi sekali lagi, Gus Dur dengan peristiwa itu menunjukkan perhatiannya terhadap kalangan minoritas, dan perlawanan terhadap gejala persekutuan segelintir kalangan dan negara untuk mendefinisikan, “yang berarti ingin menguasai,

13http://www.icmi.or.id/, diakses pada tanggal 5 Maret 2021 pukul 23.03. 14Tabayun Gus Dur, (LKiS)

(12)

mengatur dan membatasi” ruang batin orang lain, menyangkut spiritualitas dan keyakinan.15

 Forum Demokrasi

Pada Maret 1991, unsur-unsur intelektual terkemuka membentuk kelompok prodemokrasi, Forum Demokrasi yang dipimpin oleh Gus Dur yang juga merupakan Ketum NU. Di belakang Gus Dur berdiri sekitar 45 intelektual terkemuka. Forum Demokrasi bukan merupakan kelompok aktivis.

Menurut Gus Dur, anggota-anggota Fordem ingin mendiskusikan dan merenugkan parameter-paremeter demokrasi, batas-batas kekuasaan, dan bagaimana kita dapat memajukan proses demokratisasi dengan cara yang memuaskan. Meskipun forum ini tidak secara aktif menudkung pemogokan dan pembelaan terhadap petani dlaam sengketa tanah, Gus Dur menyatakan bahwa Fordem bekerja demi demokratisasi dengan mencoba memberikan kerangka kerja bagi petani, buruh, pedagang kecil, dan bahkan pegawai pemerintah untuk menyalurkan dan menata diri mereka sendiri.

Alasan Gus Dur mendirikan Fordem bersama agamawan-agamawan ialah baginya dorongan untuk memperjuangkan demokrasi dan persamaan merupakan bagian dari perintah agama. Perjuangan menegakkan demokrasi menjadi inti kehidupan Gus Dur. Termasuk menghargai setiap hak asasi warga negara.18 Fordem mendapat tekanan dari rezim. Selama kampanye pemilu Mei 1992, setiap upaya pertemuan fordem dilarang.16 Fordem sebenarnya memiliki potensi untuk berkembang menjadi sebuah organisasi yang lebih berorientasi masyarakat, organisasi berbasis massa, sehingga menjadi embrio oposisi di Indonesia. Tetapi setelah pemilu 1992 suara Fordem hilang dari permukaan.17

 Nahdlatul Ulama

Greg Borton menyebutkan bahwa semenjak menjadi Ketua Umum PBNU pada 1984, retorika Gus Dur tampak semakin bebas dan progresif. Yang tergambar dari berbagai gagasannya, seperti pribumisasi Islam, rukun tetangga, serta gagasan bahwa non-muslim juga boleh menjadi presiden Indoensia yang merupakan konsekuensi dari praktek demokrasi dan upaya menghargai pluralitas di Indonesia.18

Sejak terpilih kembali sebagai Ketua Umum PBNU pada Muktamar NU ke-28 di Yogyakarta pada 1989, sikap Gus Dur semakin kritis. NU di bawah kepemimpinan Gus Dur menjadi ormas yang sering mengktitik, mendorong, dan berbagai tindakan menolak kebijakan rezim Orba. NU menjadi ormas terbesar di era Orba, yang menimbulkan keresahan di kubu penguasa, sehingga penguasa melakukan intervensi dengan menempatkan Cholid Mawardi sebagai Ketua Umum dan Slamet Effendy Yusuf sebagai Sekjen PBNU.19

15Tabayun Gus Dur. (LKis), h. 7 16Tabayun Gus Dur. (LKis), h. 175. 17Tabayun Gus Dur. (LKis), h. 24 18Ma’mun, Ibid, h. 10.

(13)

Pada tahun 1998 pasca reformasi, Gus Dur yang saat itu masih aktif menjabat ketua umum PBNU. Dalam merespon proses reformasi yang sedang bergulir, PBNU menyampaikan beberapa pandangan:

Pertama, sebagai bagian dari bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan, menghormato martabat kemanusiaan serta mendambakan tetap kokohnya persatuan dan kesatuan bangsa, segenap elemen memiliki tanggung jawab moral untuk turut menjaga agar reformasi berjalan ke arah yang lebih tepat.

Kedua, rekonsiliasi nasional, rembuk nasional, silaturahmi nasional atau apapun istilah yang digunakan jika dilaksanakan harus ditujukan untuk merajut kembali persaudaraan kebangsaan dirancang kea rah penataan sistem kebangsaan dan kenegaraan yang lebih demokratis, jujur dan berkeadilan.

Ketiga, agenda-agenda politik bangsa yang diajukan oleh kalangan pro reformasi dan masyarakat Indonesia pada umumnya, hendaknya tetap menjadi agenda bersama yang harus dilaksanakan agar reformasi tidak berhenti di tengah jalan, sehingga dapat menjangkau terbentuknya tatanan baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Keempat, penyampaian berbagai gagasan yang dikemukan untuk menjadi wahana publik seperti pendapat tentang Negara federasi, pendapat tentang nasib suatu daerah yang sepenuhnya diserahkan kepada penduduk setempat melalui referendum dan sejenisnya, hendaknya dilakukan dengan hati-hati, penuh kearifan dan didasari komitmen bersama, serta dihindari adanya pemaksaan kehendak. Kecerobohan dalam hal ini, hanya akan melahirkan perpecahan dan disintergrasi yang akan merugikan kita semua sebagai warga bangsa.

Kelima, kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu harus disikapi secara arif dan bertanggung jawab. Pengungkapaan kasus-kasus tersebut harus dilakukan melalui jalur hukum sebagai bagian dari demokrasi, jujur, dan bertanggung jawab.

Keenam, TNI hendaknya segara mewujudkan gagasan redefinisi, reaktualisasi, dan refungsionalusasi konsep dwifungsi yang dijalankan selama Orde Baru.

Ketujuh, Kejaksaan Agung beserta jajarannya harus segera melakukan langkah-langkah yang serius untuk memberantas KKN yang hanya tidak ditunjukkan kepada kelompok tertentu tetapi juga diberlakukan kepada mantan pajabat maupun pejabat pemerintah yang sedang berkuasa dari pusat hingga daerah. Kedelapan, monopoli harus segera dibasmi tuntas dalam setiap praktik ekonomi.20

 Partai Kebangkitan Bangsa

PKB bisa dikatakan sebagai penjelmaan Partai NU yang di tahun 1970-an difungsikan dengan tiga partai Islam lainnya (MI, Parmusi, Perti) menjadi PPP. Misi PKB adalah menegakkan komitmen bangsa yang demokratis. Ketika Abdurrahman Wahid secara resmi baik politik maupun hukum menjadi Ketua Dewan Syuro PKB, hampir seluruh gerakan PKB mulai dari perencanaan dan memperkokoh ideologi PKB sampai pelaksaan

20Bahrul ‘Ulum, “Bodohnya NU apa NU dibodohi?” (Jawa Tengah: Ar-Ruzz Press, 2002), h. 129.

(14)

mempengaruhi konstituen, Abdurrahman Wahid mempunyai pengaruh yang sangat kuat.

Gus Dur juga merupakan ideolog PKB. Gus Dur merupakan figur penting pada PKB, karena dengan perangkat ketokohan intelektualitas dan reputasi baik yang dimiliki Gus Dur, ia mampu membesarkan PKB, yang mampu menata hubungan Islam dengan politik pada PKB. Tanpa Gus Dur, PKB rasanya sulit untuk tumbuh dan berkembang.

Visi dan kebijakan-kebijakan politik PKB akan selalu dibawah bayangan Gus Dur, karena Gus Dur yang mengarahkan dan bahkan menentukan keputusan- keputusan politik yang telah dan akan diambil oleh PKB. Selain sebagai pengayom dan pemberi restu bagi berdirinya PKB, Gus Dur secara intelektual memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk mengarahkan kebijakan atau keputusankeputusan politik yang harus diambil oleh PKB. Gus Dur juga merupakan seseorang yang diakui sebagai pembela kebebasan dan HAM yang memiliki reputasi bagus di tingkat nasional dan internasional. Tentu saja ini memberikan kontribusi yang sangat signifikan bagi PKB. Karena itu pengaruh Gus Dur dalam PKB sangat dominan. Maka ideologi Gus Dur akan selalu menjadi pola anutan dan acuan PKB dalam mengambil kebijakan-kebijakan dan keputusan politiknya.

Gus Dur juga merupakan seseorang yang diakui sebagai pembela kebebasan, demokrasi dan HAM yang memiliki reputasi bagus di tingkat nasional dan internasional. Tentu saja ini memberikan kontribusi yang sangat signifikan bagi PKB. Karena itu pengaruh Gus Dur dalam PKB sangat dominan. Maka ideologi Gus Dur akan selalu menjadi pola anutan dan acuan PKB dalam mengambil kebijakankebijakan dan keputusan politiknya. dalam konteks PKB Gus Dur juga selalu mengedepankan toleransi, inklusif dan menjunjung tinggi pada aspek humanisme, hingga dengan demikian gerakan Gus Dur didalam PKB secara nasional tidak meletakkan Islam struktural tetapi mendekati Islam subtansial dalam rangka memperjuangkan aspirasi masyarakat.21

Indentitas nasionalis-religius yang disandang PKB pada dasarnya merupakan kritalisasi dari gagasan, sejarah, dan tradisi Islam Indonesia yang terbuka dan dialogis. Posisi ideology dengan perspektif teologi yang kental itu selaras dengan gagasan cerdas nan agung founding father Indonesia yang merumuskan Pancasila sebagai dasar negara. Pilihan yang disokong penuh oleh ulama-ulama ahlusunnah wal jama’ah itu sangat relevan dengan realitas kebangsaa Indonesia yang majemuk dan berbudaya.

Dalam AD PKB disebutkan bahwa tujuan PKB adalah mewujudkan cita-cita kemerdekaan RI sebagaimana dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur secara lahir batin, material spiritual, dan mewujudkan tatanan politik nasional yang demokratis, bersih dan terbuka, bersih dan ber-akhlaqul karimah.

Menempatkan kepentingan bersama (nasional) di atas kepentingan sebagian atau parsial secara pasti merupakan perjuangan yang dilandasi semangat keberagaman yang tinggi. Gerakan politik PKB sama sekali tidak mengenyampingkan agama, melainkan justru meluhurkannya. Muara dari semua gerakan politik PKB ialah mewujudkan Indonesia yang adil,

21Risna Alvia, “Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Pengaruhnya Terhadap Politik Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)”, 2015.

(15)

makmur, demokratik, dan berbilang budaya atau multicultural, dimana Islam menjadi landasan etik bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai wadah penyaluran aspirasi politik kaum Nahdliyin khusunya, PKB memiliki cita-cita yang bersumber dari landasan politik NU. Cita-cita politik yang dimaksud adalah terwujudnya masyarakat dan bangsa Indonesia yang adil dan makmur, merdeka, dan berdaulat, yang terjamin hak-hak asasinya, yaitu hak-hak yang berkaitan dengan keselamatan dari pemaksaan agama, perusakan keturunan serta kebebasan harta benda secara sah.22

Cita-cita yang demikian itu akan dapat dicapai oleh PKB melalui keterlibatan dalam penetapan kebijakan publik, yakni melalui jalur kekuasaan yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan tentang pemberdayaan masyarakat lemah dan terpinggirkan, perlindungan terhadap kelompok masyarakat minoritas, serta penegakan sistem ekonomi, politik dan budaya yang berlandaskan kedaulatan rakyat.

Gus Dur menyatakan bahwa PKB menjadikan dirinya sebagai partai terbuka atau partai yang bersifat nasionalis. PKB terbuka untuk siapa saja, untuk seluruh komponen bangsa Indonesia. PKB bertekad akan melibatkan semua komponen bangsa yang ada di negara Indonesia.23

Pemikiran Gus Dur tentang demokrasi pluralistik juga berpengaruh dalam platform PKB (Mabda’ Siayasiy) PKB.

Gus Dur memberikan kontribusi yang sangat signifikan bagi PKB. Dalam konteks PKB, Gus Dur selalu mengedepankan toleransi, inklusif, dan menjunjung tinggi pada aspek humanism, hingga dengan demikian gerakan Gus Dur di dalam PKB secara nasional tidak meletakkan Islam structural tetapi mendekati Islam subtansional dalam rangka memperjuangkan aspirasi masyrakat.24

Nurcholish Madjid menilai bahwa kehadiran PKB dalam percaturan politik nasional tidak lagi menunjukkan diri sebagai partai politik yang mengedepankan politik aliran. PKB bersifat terbuka dan tidak sectarian, mengingat bangsa Indonesia yang pluralis, maka PKB tidak identik dengan NU.

Komitmen PKB menjadi partai yang terbuka membuktikan bahwa PKB bukan partai aliran meski didirikan oleh pemimpin elit NU. Sehingga hubungan NU sebagai organisasi sosial keagamaan dengan PKB tetap ada jarak, sama dengan partai politik lainnya.

PKB mencantumkan perjuangan menegakkan hak asasi manusia, keadilan serta demokrasi.

PKB tetap memperjuangkan tegaknya ajaran Islam, tetapi tidak melalui pelaksanaan hukum Islam dalam sebuah negara. Artinya, menurut Gus

22Asmawi, PKB Jendela Politik Gus Dur, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1999), h. 55. 23Abdurrahman Wahid, Membangun Demokrasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), h. 14. 24Alvia, Risna, Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Pengaruhnya Terhadap Politik Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Setelah Era Reformasi 1998-2009, (Jakarta: UIN Syarif Hidaytullah Jakarta), h. 39.

(16)

Dur, PKB memperjuangan tegaknya ajaran Islam melalui pendidikan dan dakwah, melalui penegakkan moralitas atau akhlak bangsa.25

PKB berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, yang terbuka untuk siapa saja, untuk seluruh komponen bangsa. PKB bertekad akan membentuk pemerintahan dengan melibatakan semua komponen bangsa yang ada di negara ini.

Ketika proses pemilihan presiden RI di MPR tahun 1999, poros tengah yang digalang oleh lokomotif reformasi Amien Rais, menggiring beberapa partai untuk menggolkan Gus Dur menjadi presiden, dan berhasil mendudukan Gus Dur sebagai presiden pertama dalam masa reformasi mengalahkan Megawati dalam Sidang Umum MPR 20 Oktober 1999. Keran demokratisasi yang dibuka lebar-lebar sejak awal 1999 dimanfaatkan oleh berbagai kalangan untuk mendirikan partai politik dan mengikuti pemilu, tak terkecuali PKB yang ikut serta dalam pemilu 1999.

 Kebijakan Selama Menjadi Presiden

Kabinet Persatuan Nasional yang dibentuk Gus Dur memiliki komposisi yang beragam, terdiri atas wakil partai-partai, elemen teknokrat, militer, utusan daerah, dan kelompok fungsional.

Pembelaan terhadap minoritas juga dilakukan Gus Dur dengan mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama yang Sah dan Agama Terlarang.

Ada beberapa perundanganundangan di Indonesia yang lahir pada masa Pemerintahan Gus Dur, yang ditujukan untuk melindungi hak asasi manusia dan menghukum pelanggar hak asasi manusia sebenarnya mendekati lengkap. Selain hukum pidana yang telah ada, pemerintah juga memberlakukan Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999 sejak September 1999, dan Undang-Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Nomor 26 Tahun 2000 sejak November 2000. Ketentuan-ketentuan tentang perlindungan hak asasi manusia juga ditetapkan di dalam amandemen UUD 1945 yang dihasilkan oleh Sidang Tahunan MPR tahun 2000.

Menurut penulis pemikiran Gus Dur yang menyampaikan pendapatnya mengenai sebagai masyarakat yang harus pandai dalam memilih pemimpin sangatlah kompleks, karena pemilihan sosok yang membawa negara ini merupakan tonggak awal dalam tumbuhnya kedaultan rakyrat, dimana sosok tersebut dapat menjadi nahkoda dalam kapal besar yang membawa penumpang ke pelabuhan yang dituju. Pemikiran Gus Dur ini menyiratkan bahwa apabila dalam keadaan yang mendatang orang yang diberi amanah oleh masyarakat tidak mengunakan kekuasaannya demi kepentingan pribadi dan harus mendepankan kepentingan yang bener-benar kehendak masyarakat. Begitu pula masyarakat jangan terkecoh dalam kebijakan dan janji-janji yang tidak berlogika akal sehat.

25Alvia, Risna, Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Pengaruhnya Terhadap Politik Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Setelah Era Reformasi 1998-2009, h. 39.

(17)

2. Demokrasi menurut Nurcholis Madjid: Sistem Permainan Politik yang Terbuka dan Kedaulatan ditangan Rakyat

Nurcholis Madjid dilahirkan di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939 bertepatan dengan 26 Muharrom 1358 H. Nurcholis Madjid menghembuskan nafas terakhir dengan wajah damai setelah melafalkan nama Allah pada Senin 29 Agustus 2005 pukul 14.05 WIB di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI), Jakarta Selatan. Ia dibesarkan dari latar keluarga pesantren. Ayahnya bernama Abdul Madjid, seorang kyai jebolan pesantren Tebuireng, Jombang yang didirikan dan dipimpin oleh pendiri Nahdlotul Ulama, Hadiatus Syaikh Hasyim Asy’ari. Karena itu, hubungan antara murid dan sang guru ini kemudian semakin erat barang kali karena beberapa alasan.

Pertama, kiai Madjid merupakan santri kinasih Hasyim Asy’ari, tokoh karismatik

yang memelopori lahirnya NU.26 Kedua, Abdul Madjid sendiri pernah dinikahkan dengan Halimah, seorang wanita keponakan gurunya. Tentang hal ini, Cak Nur sendiri pernah mengisahkannya, “waktu itu kyai Hasyim Asy’ari sendiri yang menginginkan ayah menjadi mantunya”.27 Tapi demikian diungkapkan Cak Nur, pernikahan tersebut tidak membuahkan keturunan. Karena alasan inilah mereka kemudian ‘berpisah’ secara baik-baik. Hasyim Asy’ari Sketsa singkat latar belakang keluarga Cak Nur di atas cukuplah untuk menunjukkan bahwa ia terlahir dari sub kultur pesantren.28

Selanjutnya, setamat Sekolah Rakyat, 1952, ia dimasukkan oleh ayahnya ke pesantren Darul Ulum, Rejoso, Jombang. Namun, di Darul Ulum Cak Nur hanya bertahan hanya dua tahun. Ada dua alasan, yang menurut Cak Nur, mengapa ia hanya bertahan dua tahun “nyantri” di sana. Pertama, karena alasan kesehatan dan kedua, karena alasan ideologi atau politik. Namun alasan politiklah yang agaknya cukup menarik sikap Cak Nur tersebut. Seperti kita tahu, pada tahun 1952 NU keluar dari Masyumi dan sejak itu NU berubah peran dari jam’iyyah keagamaan menjadi partai politik.

26Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia, (Bandung: Zaman Wana Mulia,1998), h.121-122.

27Wawancara Dedy Djamaluddin Malik dengan Nurcholis Madjid di Bandung, pada Desember 1989, dimuat dalam buku Djamaluddin Malik dan Idi Subandi Ibrohim, Ibid. hlm. 123.

(18)

Menurut kesimpulan Greg Barton, seorang sarjana Australia yang pada 1995 melakukan penelitian tentang “Islam Liberal di Indonesia”, menyebutkan

bahwa Gontor adalah unsur lain yang berpengaruh terhadap perkembangan intelektual Cak Nur. Ia berumur 16 tahun saat masuk Gontor dan selesai ketika berumur 21 tahun. Tepatnya pada tahun 1960, Nurcholish Madjid menyelesaikan studinya di Gontor dan untuk beberapa tahun ia mengajar di bekas almamaternya itu.29

Cak Nur mengakui bahwa selama di Gontor ia selalu meraih prestasi yang cukup baik. Dan kecerdasan Cak Nur ini rupanya di tangkap pula oleh pimpinan pesantren KH. Zarkasyi. Sehingga pada tahun 1960, ketika Cak Nur menamatkan belajarnya, sang guru bermaksud mengirim Cak Nur ke Universitas al-Azhar, Cairo. Tetapi karena di Mesir saat itu sedang terjadi krisis terusan Suez yang cukup kontroversial itu, keberangkatan Cak Nur sampai tertunda. Sambil menunggu keberangkatannya ke Mesir itulah Cak Nur memanfaatkan untuk mengajar di Gontor selama satu tahun. Namun waktu yang di tunggu-tunggu untuk berangkat ke Mesir ternyata tak kunjung tiba.

Kemudian Cak Nur melanjutkan studinya di IAIN Ciputat, ia diterima di fakultas Sastra dan Kebudayaan Islam, dari sana Cak Nur mulai menguncang pemikiran Islam di tanah air dan dari situ pula gebrakan pemikiran Islam memancar di langit intelektual Indonesia, Cak Nur dan kawan-kawanya menempati posisi unik dengan ide-ide pembaharuannya yang kontraversial di tahun 1970-an.

Kendati memimpin organisasi mahasiswa ekstrakurikuler yakni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat, dimana HMI pada saat ituu disegani pada awal zaman Orde Baru, Nurcholish tidak menonjol di lapangan sebagai demonstran. Bahkan namanya juga tidak berkibar di lingkungan politik sebagai pengurus Komite Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), kumpulan mahasiswa yang dianggap berperan menumbangkan Presiden Sukarno dan mendudukkan Mayor Jenderal Soeharto sebagai penggantinya. Prestasi Cak Nur lebih terukir di pentas pemikiran. Terutama pendapatnya tentang soal demokrasi, pluralisme, humanisme, dan keyakinannya untuk memandang modernisasi atau modernisme bukan sebagai Barat, modernisme bukan westernisme. Modernisme dilihat Cak Nur sebagai gejala global, seperti halnya demokrasi.

(19)

Pemikiran Nurcholish tersebar melalui berbagai tulisannya yang dimuat secara berkala di tabloid Mimbar Demokrasi, yang diterbitkan HMI. Gagasan Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara ini memukau banyak orang, hingga Nurcholish digelari oleh orang-orang Masyumi sebagai “Natsir muda”. “Gelar Natsir muda itu bukan karena dia pintar agama, melainkan karena pemikiran-pemikirannya.

Pemikiran Nurcholish yang paling menggegerkan khalayak, terutama para aktivis gerakan Islam, adalah saat pemimpin umum majalah Mimbar Jakarta ini melontarkan pernyataan “Islam yes, partai Islam no”. Nurcholish ketika itu menganggap partai-partai Islam sudah menjadi “Tuhan” baru bagi orang-orang Islam. Partai atau organisasi Islam dianggap sakral dan orang Islam yang tak memilih partai Islam dalam pemilu dituding melakukan dosa besar. Bahkan, bagi kalangan NU, haram memilih Partai Masyumi. Padahal orang Islam tersebar di mana-mana, termasuk di partai milik penguasa Orde Baru, Golkar. Pada waktu itu sedang tumbuh obsesi persatuan Islam. Kalau tidak bersatu, Islam menjadi lemah. Cak Nur menawarkan tradisi baru bahwa dalam semangat demokrasi tidak harus bersatu dalam organisasi karena keyakinan, tetapi dalam konteks yang lebih luas, yaitu kebangsaan.

Karena gagasannya ini, tuduhan negatif datang ke arah Nurcholish, mulai dari pemikir aktivis gerakan Islam sampai peneliti asing. Di dalam negeri, pemikiran Nurcholish ditentang tokoh Masyumi, Profesor H.M. Rasjidi. Sedangkan dari negeri Jiran, Malaysia, ia dicerca oleh Muhammad Kamal Hassan, penulis disertasi yang kemudian diterbitkan dengan judul Muslim Intellectual Responses to “New Order” Modernization in Indonesia. Hassan menuding Nurcholish sebagai anggota Operasi Khusus (Opsus) di bawah Ali Moertopo.

Kejutan berikut datang lagi pada Pemilu 1977, dalam pertemuan di kantor Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), saat para aktivisnya sedang cenderung memilih Golkar sebagai kendaraan politik. Nurcholish satu-satunya tokoh yang meminta agar mahasiswa tidak memilih Golkar. “Sebab, waktu itu, menurut Cak Nur, Golkar sudah memiliki segalanya, militer, birokrasi, dan uang,” kata Utomo. Maka, dalam kampanye Partai Persatuan Pembangunan (P3), Nurcholish mengemukakan teori “memompa ban kempes”, yaitu pemikiran agar mahasiswa memilih partai saja ketimbang Golkar. Cak Nur percaya pada check and balances, mengajak mahasiswa

(20)

agar tidak memilih Golkar, dan dia tak masuk Golkar. Ada pengaruh atau tidak? Nyatanya, di Jakarta PPP menang. Dengan tema demokrasinya itu, orang menjadi lebih berani, sehingga Golkar di Jakarta terus-terusan kalah.

Pemikiran politik Nurcholish semakin memasuki ranah filsafat setelah ia kuliah di Universitas Chicago, di Chicago, Illinois, Amerika Serikat, untuk meraih gelar doktor dalam bidang filsafat. Nurcholish terlibat perdebatan segitiga yang seru dengan Amien Rais dan Mohamad Roem. Pemicunya adalah tulisan Amien Rais di majalah Panji Masyarakat, “Tidak Ada Negara Islam”, yang menggulirkan kegiatan surat-menyurat antara Nurcholish yang berada di Amerika dan Roem di Indonesia. Cak Nur menyatakan tidak ada ajaran Islam yang secara qoth’i (jelas) untuk membentuk negara Islam. Surat-surat pribadi itu ternyata tak hanya dibaca Roem, tetapi juga menyebar ke tokoh lain, misalnya Ridwan Saidi.

Di kalangan alumni HMI, Nurcholish sangat berpengaruh. Misalnya, saat Korps Alumni HMI (KAHMI) akhirnya menerima Pancasila sebagai asas tunggal dan harus menemui Presiden Soeharto di Istana, Nurcholish “diculik” kawan-kawan HMI-nya untuk menghadap Presiden. “Karena ada orang yang berusaha tidak mengikutkannya. Tapi ada yang menyatakan dia harus ikut. Sebab, kalau Cak Nur datang, pertemuan menjadi cukup kuat.30 Pertemuan Nurcholish dengan Soeharto terakhir, pada Mei 1998, menunjukkan besarnya pengaruh Cak Nur. Saat itu Nurcholish berbicara langsung kepada Soeharto memintanya mundur.31

Itulah sebabnya setiap berbicara tentang Islam di Indonesia, nama Cak Nur tak bisa tidak mesti ikut dibicarakan. Cak Nur sendiri tidak hanya sebagai tokoh pemicu pembaharuan pemikiran Islam yang memancing polemik di tingkat elite intelektual Islam, tapi Cak Nur sendiri perlahan tapi pasti telah menjelma menjadi teks atau discourse pembaharuan itu sendiri.

Bagi Nurcholish Madjid, demokrasi adalah

30www. Ensiklopedi Tokoh Indonesia, All right reserved. Penerbit Pt Asasia Design and Mantenance by Esero. Copy right © 2002-2009, diakses pada tanggal 5 Maret 2021 pukul 23.00.

31Nurcholis Madjid, Atas Nama Pengalaman Beragama Dan Berbangsa di Masa Transisi, (Jakarta: Paramadina, 2002), h. 108.

(21)

suatu kategori dinamis. Ia senantiasa bergerak dan berubah, baik itu ke arah negatif maupun positif. Suatu negara cukuplah disebut demokratis manakala didalamnya terdapat proses-proses perkembangan menuju ke arah perkembangan yang lebih baik dalam melaksanakan nilai-nilai kemanusiaan.

Check lists yang dapat digunakan untuk mengukur maju mundurnya

demokrasi adalah seberapa jauh kebebasan azasi seperti kebebasan menyatakan pendapat, berserikat dan berkumpul itu dapat dilaksanakan. Kebebasan azasi itu selanjutnya dapat dikaitkan dengan berbagai pengalaman di berbagai segi kehidupan, baik dalam dimensi politik, ekonomi maupun hukum.32

Dari sudut pandang ini Cak Nur ingin menyampaikan

bahwa di negara demokratis, seharusnya negara membuka lebar-lebar tuntutan yang menjadi aspirasi mayarakat dan pelaksanaan kebebasan asasi dari para warganya, sehingga apa yang dilakukan pemerintah, ketetapan atau pun keputusan yang dihasilkanya di dalam bidang, sosial, ekonomi, politik, hukum, maupun dalam bidang lainnya, pemerintah harus mengikut sertakan masyarakat untuk didengar aspirasinya sehingga keputusan yang diambil akan membawa dampak yang lebih baik untuk kepentinagan masyarakat dan negara itu sendiri. Dengan kata lain di negara demokrasi, suara atau aspirasi rakyat harus didengar, tidak ada larangan dalam menyampaikan pendapat (kebebasan), tidak ada keseweng-wenangan dalam penegakkan hukum, yang bertujuan untuk keadilan dalam masyarakat. Lebih jauh Nurcholish Madjid berpendapat, bahwa pilihan kita kepada sistem demokrasi sebagai ideologi, tidak hanya karena pertimbanganpertimbangan prinsipil, yaitu karena nilai-nilai demokrasi itu dibenarkan dan didukung oleh semangat ajaran Islam, tetapi juga karena fungsinya sebagai aturan permainan politik yang terbuka.33 Dengan fungsinya ini dimungkinkan bagi setiap orang untuk memberikan masukan-masukannya maupun kritikankritikanya untuk membangun demokrasi itu sendiri.

Hal ini juga sesuai dengan sejarah kelahiran, dan penerimaan masyarakat terhadap demokrasi, tuntutan demokratisasi di berbagai wilayah didorong oleh faktor yang antara lain sistem pemerintahan yang menganut sistem politik sentralistik, otoriter, diktator atau monarki seperti Timur Tengah, sistem yang ada cenderung lebih represif, tidak memberi ruang gerak bagi masyarakat dan korup.

Oleh karena itu, menurut Nurcholish Madjid, bagi rakyat Indonesia. Lambat atau cepat tidak ada pilihan lain kecuali menuju dan mengembangkan demokrasi yang lebih maju (advance democracy) sebagai kelanjutan logis keberhasilan pembangunan.

32Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 102. 33Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, h. 112.

(22)

Namun dalam tulisannya di majalah Tempo, September 1991, Madjid mengikatkan bahwa demokrasi bukanlah semata-mata jargon politik, tapi juga lebih penting lagi adalah soal contoh dan keteladanan. Untuk itu, ia mengingatkan agar para penganjur demokrasi, tak terkecuali para pemimpin dan tokoh Islam, bisa memberi contoh dan berperilaku sebagai demokrat sejati.13 Yang menarik disini ialah, Nurcholish dalam kolomnya di Tempo itu mengutip pandangan Ibn Taimiyah mengenai keadilan sebagai ideatum Islam tentang kekuasaan dan negara yang mengatakan, “Tuhan

mendukung kekuasaan yang adil meskipun kafir, dan tidak mendukung kekuasaan yang zalim meskipun Islam”.

Dari sini juga dapat dilihat bahwa pandangan Nurcholis terhadap pemimpin atau pemerintahan itu tidak mempermasalahkan siapa yang meminpin, agamanya apa, Islam atau non Islam, atau yang lainya, tetapi sejauhmana pemerintahan itu berpihak kepada rakyatnya. Selama pemerintahan itu berpihak kepada rakyat maka kita wajib mendukung dan membelanya dan pada saat pemerintahan itu tidak berpihak kepada rakyat maka kita wajib menentang dan melawan pemerintahan tersebut.

Karena walau bagai manapun dalam negara demokrasi rakyat adalah yang berdaulat. Dalam pepatah Latin, dikatakan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan (Vox Populi

Vox Dei). Oleh karena itu, kedaulatan rakyat tidak boleh dikompromikan dengan apa

dan siapa pun, sehingga kehendak rakyat seakan-akan kehendak Tuhan. Di samping itu, ada juga pepatah yang mengatakan kekuasaan rakyat adalah hukum yang paling tinggi (Salus Populi Supreme Lex). Oleh karena itu, dalam demokrasi ditetapkan bahwa hukum yang paling tinggi adalah kehendak rakyat.34

Demokrasi itu sendiri, menurut Nurcholish Madjid,

adalah suatu konsep yang hampir-hampir mustahil dita’rifkan. Cukuplah dikatakan bahwa demokrasi adalah suatu sinonim dari apa yang disebut polyarcy. Demokrasi dalam pengertian itu bukanlah sistem pemerintahan yang mencakup keseluruhan cita-cita demokrasi, tetapi yang mendekatinya sampai batas-batas yang pantas.35

Ini menunjukkan bahwa demokrasi itu sendiri perlu terus diperjuangkan dan jangan sampai pernah berhenti, seperti apa yang sudah disampaikan diatas bahwa demokrasi

34M. Amien Rais, “Masalah-masalah yang Dihadapi Bangsa Indonesia”, Millennium: Jurnal Agama dan Tamaddun, Nomor I Tahun 1, Januari-April 1998, h. 7.

(23)

adalah suatu kategori dinamis yang terus bergerak dan berubah sesuai dengan aspirasi rakyat.

Analisis Nurcholish tentang seluk beluk demokrasi banyak berlandaskan pada teks al-Qur’an, misalnya tentang kebebasan dan tanggung jawab individual, Madjid menyandarkan pada QS. Al-An’am [6]:94. tentang kebebasan bereksperimen, Madjid merujuk pada QS, al-Kahfi [18]: 29, tentang kebebasan beragama, Madjid merujuk pada QS. Yunus [10]: 99, tentang sikap kebijaksanaan, Madjid menyandarkan pada QS. al-Nahl [16]:25, tentang keadilan, Madjid menyandarkan pada QS. an-Nisa [4]: 135, dan tentang musyawarah, Madjid merujuk pada QS. asy-Syura [42]:38. Nilai-nilai fundamental ini menjadi pesan mendasar dalam kitab suci yang menuntut kaum muslim mampu mengoperasionalkannya.

Bahkan Nurcholish sampai berkesimpulan bahwa Islam sepanjang ajaran agamanya, tidaklah menghendaki melainkan kebaikan bersama. Ukuran kebaikan itu ialah kemanusiaan umum sejagad dan meliputi pula sesama makhluk hidup lain dalam lingkungan yang lebih luas. Ajaran-ajaran universal Islam menyediakan bagi kaum muslim pandangan etika azasi untuk melandasi pilihan dan keputusan dalam tindakan hidup, termasuk dalam sosial politik. Atas dasar etika itu, seseorang muslim memilih suatu pandangan sosial politik tertentu yang dianggapnya paling menopang usaha mewujudkan cita-citanya, yaitu kebaikan bagi semua.36 Oleh karena itu pilihan kita kepada sistem demokrasi sebagai ideologi, tidak hanya karena pertimbangan-pertimbangan prinsipil, yaitu karena nilai-nilai demokrasi itu dibenarkan dan didukung oleh semangat ajaran Islam, tetapi juga karena fungsinya sebagai aturan permainan politik yang terbuka.

Jadi, Cak Nur menyatakan nilai-nilai fundamental dari pesan agama yang ada dalam teks kitab suci al-Qur’an menuntut kaum muslim untuk dapat mampu menyinergikan perilaku dalam kehidupan sehari-hari dengan landasan tersebut demi kebaikan bersama. Parameter itu ialah kemanusiaan umum sejagad dan meliputi pula sesama makhluk hidup lain dalam lingkungan yang lebih luas. Karena pada dasarnya misi yang diemban demokrasi searah dengan agama (Islam), yaitu terdapat titik temu diantara keduanya, ialah jaminan berlangsungnya checks and balances antara mereka

(24)

yang sedang berkuasa dan mereka yang sedang tidak berkuasa (pemerintah dan rakyat); Jaminan kebebasan asasi, yaitu kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan berserikat, kebebasan beragama, dan kebebasan dari rasa takut; dalam sistem politik yang demokratis berlaku prinsip the people control the leaders, lawan dari the leaders control the mass yang menjadi prinsip otorianisme; dan kesediaan membagi kekuasaan dengan pihak lain agar tercapai keseimbangan harmonis antara kekuatan-kekuatan dalam masyarakat.

Dari uraian di atas, kiranya dapat ditarik kesimpulan sementara, bahwa sistem politik demokrasi itu dapat berjalan searah dengan misi agama. Ia bahkan dapat disebut yang paling baik dan paling tepat, karena dengan mekanismenya yang wajar ia bisa menghindarkan adanya tirani mayoritas atas minoritas dan juga tirani minoritas atas mayoritas, yang keduanya sama-sama berbahaya. Dengan demikian, kekuatan demokrasi terletak pada :

1. Jaminan berlangsungnya checks and balances antara mereka yang sedang berkuasa dan mereka yang sedang tidak berkuasa (pemerintah dan rakyat). 2. Jaminan kebebasan asasi, yaitu kebebasan mengeluarkan pendapat,

kebebasan berserikat, kebebasan beragama, dan kebebasan dari rasa takut. 3. Dalam sistem politik yang demokratis berlaku prinsip the people control

the leaders, lawan dari the leaders control the mass yang menjadi prinsip

otorianisme; dan

Dalam alam demokrasi ada kesediaan shering of power atau kesediaan membagi kekuasaan dengan pihak lain agar tercapai keseimbangan harmonis antara kekuatan-kekuatan dalam masyarakat.37

Ringkasnya, bagi Nurcholish terdapat banyak titik temu antara agama dengan demokrasi khususnya bila dikaitkan dengan tujuan keduanya, yaitu cita-cita untuk kebaikan semua. Maka tidak heran jika penerimaan umat Islam terhadap demokrasi sangat alami.

Berikut dengan ramainya konseptualisasi gagasan tentang demokrasi dan bagaimana usaha untuk mewujudkannya, Nurcholish Madjid mengemukakan gagasannya sebagai berikut:

37A. Amir Aziz, Neo-Modernisme Islam di Indonesia: gagasan sentral Nurcholish Madjid dan abdurrahman Wahid, (Jakarta: Rineke Cipta, 1999), h. 67-68.

(25)

“Demokrasi adalah suatu kategori dinamis bukan statis. Tidak seperti kategori-kategori statis yang stasioner (diam di suatu tempat), suatu kategori dinamis selalu berada dalam keadaan terus bergerak, baik secara negatif (mundur) atau positif (maju). Dalam masalah sosial, suatu nilai yang berkategori dinamis seperti demokrasi dan keadilan, gerak itu juga mengimplikasikan perubahan dan perkembangan. Karena adanya sifat gerak itu, maka demokrasi dan keadilan tidak dapat didefinisikan sekali untuk selamanya (once and for all). Karena itu, ‘demokrasi’ adalah sama dengan proses ‘demokratisasi’ terus menerus. Cukuplah dikatakan suatu masyarakat tidak demokratis kalau ia berhenti berproses kepada yang lebih baik, dan terus yang lebih baik lagi. Oleh karena itu, faktor eksperimentasi dengan ‘coba’ dan ‘salahnya’ (trial and error) adalah bagian yang integral dari ide tentang demokrasi. Suatu sistem disebut demokratis jika ia membuka kemungkinan eksperimentasi terus menerus dalam kerangka dinamika pengawasan dan pengimbangan (check and balance) masyarakat. Demokrasi yang dirumuskan sekali untuk selamanya, sehingga tidak memberi ruang bagi adanya perkembangan dan perubahan, adalah sesungguhnya bukan demokrasi, melainkan kediktatoran”.38

Tentunya proses berkembang tersebut banyak kendala dan hambatan. Kesalahan-kesalahan yang sudah dilewatinya membuat semakin mengerti apa kelemahan dari sistem atau birokrasi di negeri ini sebagai cerminan di masa yang akan datang. Pastilah hal ini bergerak dinamis, bukan statis. Karena mengikuti perkembangan pasar, globalisasi dan perekonomian di suatu bangsa. Dengan demikian, demokrasi yang sudah berjalan atau masih berjalan ini sedang menuju kepada kesempurnaan yang ditopang dengan penguatan civil society (masyarakat madani) dan penciptaan

good governance and clean governance.

Menurut Nurcholish, demokrasi menganut pandangan dasar kesetaraan manusia, sehingga hak-hak individu dapat dijamin kebebasannya. Dalam hubungan ini, tujuan kebaikan bersama tetap primer, sehingga kesepakatan merupakan kata kunci. Demokrasi hidup dalam kesepakatan dan ia akan tetap kuat bertahan selama tersedia banyak jalan untuk mencapi kesepakatan. diakui bahwa perbedaan pendapat merupakan hal yang wajar, sehingga bagi Nurcholish, tumbuhnya sistem yang menganut oposisi dipandang merupakan suatu kewajaran. Dalam hal ini, yaitu oposisi yang dilakukan demi tercapainya cita-cita bersama. Oposisi ini diperlukan karena untuk mempertajam pikiran.39

38Elza Peldi Ther, Demokrasi Politik Budaya dan Ekonomi, (Jakarta: Paramadina, 1994), h. 134-138.

(26)

Apa yang menjadi pandangan Nurcholish tidak berbeda dengan apa yang diungkapkan Huwaydi yang menjadi alasanya menerima demokrasi dalam poin kelima dan keenam, yaitu, negara Islam adalah negara keadilan dan persamaan manusia di depan hukum. Ada banyak cerita yang memperlihatkan hal itu; seperti dirumuskan oleh teoritisi-teoritisi politik Islam. Semisal al-Mawardi, imamah (kepemimpinan politik) adalah kontrak sosial yang riil, yang karenanya, kata Ibn Hazm, jika seorang penguasa tidak mau menerima teguran boleh diturunkan dari kekuasaannya dan diganti dengan yang lain.

Sesuai dengan nilai-nilai demokrasi yang diungkapkan oleh Henry B. Mayo pada poin keempat, yaitu Nilai keanekaragaman. Demokrasi dalam hal ini melihat keanekaragaman bukan saja sebagai sesuatu yang ada dan sah, tetapi sebagai sesuatu yang baik sebagaimana kebebasan. Untuk itu diperlukan masyarakat yang terbuka yang berpandangan bahwa tidak ada satu nilai pun yang dapat benar-benar ditarik sampai pada batas yang mutlak. Dalam masyarakat demikian, karena posisinya sama, kesempatan untuk prakarsa dan pengembangan bakat paling tidak kondisi yang memungkinkan diberikan.

Dalam kontek ke-Indonesiaan, menurut Nurcholish Madjid, modal utama untuk mewujudkan demokrasi adalah Pancasila. Dasar negara itu, setidaknya telah memenuhi prasyarat asasi untuk mewujudkan demokrasi atau tatanan politik yang membawa kebaikan bersama. Prasyarat asasi itu ialah: Pertama, adanya orientasi hidup transendental. Kedua, ikatan batin pada nilainilai kemanusiaan. Ketiga, kesadaran akan tanggung jawab bersama (tidak menyerahkan atau mempertaruhkan masalah yang menyangkut kepentingan masyarakat semata-mata pada kemauan seorang tokoh, betapa pun iktikad baiknya, tetapi pada mekanisme pengawasan umum dalam tatanan sosial politik yang partisipatif). Keempat, pandangan yang lebih mendahulukan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi. Dan kelima, ditengah antara yang empat itu, prasarana dan wadah persatuan dan kesatuan negara bangsa.40

Modal utama ini, seharusnya sudah bisa membawa Indonesia menjadi negara yang demokratis, karena Indonesia memiliki prasyarat-prasarat itu, dan itu yang

Referensi

Dokumen terkait

Apabila terjadi perubahan ketentuan Polis mengenai tapi tidak terbatas pada ketentuan manfaat, biaya, dan risiko akan diberitahukan kepada Pemegang Polis melalui nomor atau

Dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran Explicit Instruction terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran sejarah di sekolah menengah atas

Beberapa penelitian diatas menjadi isyarat terkait perlunya pemantapan dan ketegasan arah pendidikan kewarganegaraan dalam menghadapi pandemic covid-19, tujuan utama

3HQHOLWLDQ EHUWXMXDQ XQWXN PHQJNDML SHUNHPEDQJDQ GDQ NRQWULEXVL VXEVHNWRU SHULNDQDQ WHUKDGDS SHUHNRQRPLDQ 3'5% NDEXSDWHQ 5RNDQ +LOLU 8QWXN GDSDW WHUFDSDLQ\D WXMXDQ WHUVHEXW

Perangkat lunak Kriptografi Modifikasi Algoritma Vigenere Cipher untuk Pengamanan Pesan Rahasia dapat menggunakan kunci berlapis 3 dan menginput 46 karakter yg ada

Selain itu tugas auditor di Inspektorat Kabupaten Banyuwangi merupakan rutinitas yang diulang untuk setiap periode kerja auditor yaitu memeriksa seluruh SKPD yang ada di

Memperhatikan potensi hijauan dan pakan yang banyak tersedia pada ke dua desa lokasi kelompok peternak, serta pemanfaatan waktu per hari per petani rata-rata hanya 2,3

Arang aktif adalah arang yang telah mengalami perubahan sifat-sifat fisika dan kimianya karena dilakukan perlakuan aktifasi dengan aktifator bahan kimia sehingga daya serap dan