STUDI PRE-STACK DEPTH MIGRATION PADA STRUKTUR KOMPLEK
TUGAS AKHIR
Disusun untuk memenuhi syarat kurikuler Program Sarjana Geofisika
Oleh
I KOMANG ANDIKA ARIS PERMANA
NIM: 12403021
PROGRAM STUDI GEOFISIKA
FAKULTAS TEKNIK PERTAMBANGAN DAN PERMINYAKAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
"Ya Devi Stuyate Nityam Vibhuhairvedaparagaih
Same Vasatu Jihvagre Brahmarupa Saraswati"
"Sarasvathi Namastubhyam, Varade Kaamaroopini
Vidyaarambham Karishyaami, Siddhir Bhavatu Mey Sada"
(saraswati sloka)
LEMBAR PENGESAHAN
TUGAS AKHIR
Dengan Judul:
STUDI PRE-STACK DEPTH MIGRATION PADA STRUKTUR
KOMPLEK
Oleh
I Komang Andika Aris Permana
NIM: 12403021
Telah diperiksa dan disetujui oleh: Bandung, Juni 2008
Pembimbing,
Wahyu Trioyoso, Ph.D
NIP. 131801350
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu
Puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa atas anugerah serta petunjuk yang diberikan, sehingga penulis mampu melaksanakan dan menyelesaikan penulisan tugas akhir dengan judul “Studi Pre-Stack Depth Migration pada Struktur Komplek ”. Penulis sangat menyadari bahwa penulisan dan penyajian tugas akhir ini jauh dari sempurna dan banyak memiliki kekurangan. Karenanya penulis sangat menerima masukan baik berupa saran ataupun kritik dari pembaca sekalian guna tercapainya tulisan yang lebih baik dan berguna bagi kita bersama. Selebihnya penulis meminta maaf apabila terdapat kata-kata yang kurang tepat pada laporan ini, akan tetapi penulis sangat berharap laporan ini akan berguna bagi penulis dan para pembaca.
Pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Kedua Orang tua, Christna, Angga,Wenny, yang telah memberikan dorongan semangat dan doa.
2. Wahyu Triyoso Ph.D, selaku dosen pembimbing
3. Drs. Untoro M.S. dan Dr. Gunawan Ibrahim selaku dosen wali.
4. Sonny Winardhie, Ph.D, Dr. Nanang T. Puspito, Dr. Hendra Grandis, Dr. rer. nat. Awali Priyono, Afnimar, Ph.D, Prof. Sri Widiantoro, Drs. Muhamad Ahmad, Teddy Yudistira, MSi, atas ilmu yang diberikan selama ini.
5. Seluruh staf Tata Usaha ex-Departemen GM dan Teknik Geofisika
Akhir kata penulis ingin mengucapkan selamat membaca laporan ini semoga dapat bermanfaat.
Om Santi Santi Santi Om
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI... iii
ABSTRAK... v
I. PENDAHULUAN ... 1
I.1 Latar Belakang... 1
I.2 Tujuan... 2
I.3 Batasan Masalah... 2
I.4 Sistematika Pembahasan ... 2
II. TEORI DASAR... 2
2.1 Migrasi Setelah Stack (Post Stack Migration)... 3
2.2 Migrasi Sebelum Stack (Pre-Stack Migration)... 4
2.3 Pre-Stack Time Migration (PSTM) ... 4
2.4 Pre-Stack Depth Migration (PSDM)... 4
2.5 Kirchhoff Migration ... 5
III. DATA DAN PENGOLAHAN DATA ... 6
3.1 Data... 6
3.2 Pengolahan Data Sintetik... 6
3.2.1 Pengolahan Tahap 1... 7
3.2.2 Pengolahan Tahap 2... 7
3.3 Pengolahan Data Riil ... 8
3.4 Post Time Kirchhoff Migration (PTM Kirchhoff) ... 9
3.5 Post Depth Kirchhoff Migration (PDM Kirchhoff) ... 10
3.6 Pre-Stack Time Kirchhoff Migration (PSTM Kirchhoff) ... 10
3.7 Pre-Stack Depth Kirchhoff Migration (PSDM Kirchhoff) ... 11
IV. HASIL DAN ANALISIS... 12
4.1 Data Sintetik ... 12
4.1.1 Kecepatan HVA dan Well Adjusment... 12
4.1.2 Migrasi Domain Waktu ... 13
4.1.3 Migrasi Domain Kedalaman... 14
4.2 Data Riil... 15
4.2.2 Migrasi Domain Waktu ... 16
4.2.3 Migrasi Domain Kedalaman... 16
V. KESIMPULAN DAN SARAN... 17
5.1 Kesimpulan ... 17
5.2 Saran ... 18
DAFTAR PUSTAKA ... 18
LAMPIRAN... 19
STUDI PRE-STACK DEPTH MIGRATION PADA STRUKTUR
KOMPLEK
Oleh
I Komang Andika Aris Permana NIM: 12403021
Pembimbing: Wahyu Triyoso, Ph.D
ABSTRAK
Pencitraan kondisi bawah permukaan dapat dilakukan dengan melakukan pengolahan data seismik, salah satunya dengan melakukan tahapan migrasi. Pada tahapan pencitraan posisi reflektor tahap awal, data yang didapat masih berupa domain waktu. Pada kenyataannya, gambaran bawah permukaan dalam domain kedalaman sehingga perlu dilakukan pengolahan data hingga mendapatkan hasil akhir dalam domain kedalaman. Pada akhirnya, informasi kedalaman suatu kondisi geologi diperlukan guna mendapatkan ukuran volume suatu reservoir.
Ketepatan dalam pencitraan kondisi geologi bawah permukaan akan menimbulkan kendala ketika daerah yang akan dicitrakan memiliki lapisan dengan variasi kecepatan lateral yang tinggi. Kendala diatas akan sangat berpengaruh ketika melakukan tahapan migrasi, terutama Pre-Stack Depth Migration pada data seismik.
Pada tugas akhir ini akan dilakukan analisis pada tahapan migrasi terutama Pre-Stack
Depth Migration. Analisis terhadap tahapan migrasi dilakukan pada data sintetik dan data riil
yang memiliki struktur komplek dan variasi kecepatan lateral secara signifikan. Pembangunan model kecepatan dilakukan dengan menggunakan metoda HVA (Horizon
Velocity Analysis) dan kurva Time-Depth dari data sumur. Ketepatan dalam mereposisi
reflektor sangat dipengaruhi oleh kualitas kecepatan. Selain itu, migrasi pre stack dalam domain kedalaman lebih mereposisi reflektor ke posisi sebenarnya secara lateral dibandingkan dengan migrasi post atau pre stack lainnya.
Kata Kunci : Pencitraan kondisi bawah permukaan, Pre-Stack Depth Migration, Model
STUDY OF PRE-STACK DEPTH MIGRATION IN THE COMPLEX
STRUCTURE
By
I Komang Andika Aris Permana NIM: 12403021
Supervisor: Wahyu Triyoso, Ph.D
ABSTRACT
Migration is one of many methods in seismic processing for subsurface imaging. Initial seismic processing using data in time domain, in the fact geology structure is in depth domain. Processing data in depth domain important to reposition truth reflector in subsurface, and in some case geology image structure in depth domain used to occur volume of reservoir. Determine precise imaging of geology subsurface, will be difficult if the structure is complex with high lateral velocity variation. This problem will be influence in migration phase, especially in Pre Stack Depth Migration.
Purpose of this paper is doing analysis in migration, especially in Pre Stack Depth Migration phase. The analysis of migration used synthetic and real data with complex structure and significant lateral velocity variation. Velocity model building, using HVA (Horizon Velocity Analysis) method and Time-Depth curve from well data. The precise of reflector reposition are depending by velocity quality. Reposition reflectors to the truth position using Pre Stack Depth Migration method, better than Post Migration or Pre Stack Time Migration.
I. PENDAHULUAN
Sampai saat ini, telah terdapat banyak metoda geofisika yang dapat digunakan untuk mencitrakan kondisi geologi bawah permukaan. Metoda seismik merupakan salah satu metoda geofisika yang paling sering digunakan untuk memetakan kondisi geologi bawah permukaan. Hingga saat ini pemetaan kondisi geologi bawah permukaan, masih memberikan hasil yang kurang tepat. Hasil migrasi dalam domain waktu ataupun kedalaman masih kurang mampu memberikan hasil yang memuaskan. Hal tersebut sangat sering terjadi apabila struktur yang dipetakan merupakan struktur komplek. Penentuan kecepatan yang tepat dan pemilihan parameter migrasi merupakan 2 faktor penting dalam menentukan kualitas hasil akhir dari pengolahan data dengan metoda seismik.
I.1 Latar Belakang
Pengolahan data seismik secara tepat, akan mempengaruhi hasil akhir yang didapat. Salah satu langkah penting dalam pengolahan data seismik yakni migrasi. Data yang didapat dari suatu trace seismik kadang kala tidak mencerminkan kondisi geologi bawah permukaan daerah yang disurvey. Hal ini terjadi apabila bidang batas perlapisan daerah yang disurvey bukan merupakan bidang horizontal,
dimana refleksi-refleksi gelombang seismik yang diterima di permukaan tidak berasal dari lapisan datar. Bila bidang batas merupakan bidang miring, maka titik reflektor akan mengalami pergeseran dan akan memiliki kemiringan yang semu. Maka dari itu diperlukan proses migrasi
yang bertujuan untuk mengembalikan/reposisi titik reflektor
pada penampang seismik agar kembali ke titik awalnya.
Keakuratan trace seismik bisa didapatkan dengan melakukan pengolahan data migrasi dalam domain kedalaman. Terdapat 2 macam pengolahan migrasi dalam domain kedalaman yakni melakukan migrasi sebelum dan sesudah
stack. Migrasi Kirchhoff merupakan salah
satu metoda perhitungan migrasi yang memerlukan waku komputasi sedikit dan hasil akhir yang baik apabila diterapkan pada daerah dengan struktur komplek. Guna menghasilkan penampang seismik yang menyerupai kondisi geologi daerah yang disurvey, perlu dilakukan pengaturan parameter migrasi dengan tepat. Salah satunya dengan mengatur nilai migration
I.2 Tujuan
Adapun tujuan dari tugas akhir ini,yakni:
Mengaplikasikan metoda Pre-Stack
Depth Migration dan Pre-Stack Time Migration untuk mengatasi variasi lateral
kecepatan yang tinggi
Mengaplikasikan metoda migrasi pada struktur geologi yang komplek.
Membandingkan hasil antara Post
Stack Migration dengan Pre Stack Migration
Mendapatkan citra yang paling baik dari penampang geologi bawah permukaan daerah yang disurvey
I.3 Batasan Masalah
Adapun hal-hal yang membatasi dalam melakukan penyusunan tugas akhir ini, diantaranya:
Data yang digunakan adalah data Marmousi 2 yang merupakan data seismik sintetik 2 dimensi, dan data riil di daerah ‘Lovina’ (bukan nama sebenarnya).
Pada tugas akhir ini menggunakan beberapa metoda untuk menghasilkan kecepatan yang baik, akan tetapi pada tugas akhir ini tidak membahas analisa kecepatan secara keseluruhan.
I.4 Sistematika Pembahasan Sistematika pembahasan tugas akhir ini terdiri atas 5 bab, yakni:
Bab I. Pendahuluan
Berisikan tentang latar belakang, tujuan, batasan masalah, dan sistematika pembahasan.
Bab II. Teori Dasar
Menjelaskan tentang teori yang mendasari pengerjaan tugas akhir ini. Teori dasar meliputi penjelasan mengenai konsep migrasi, Post Stack Migration, Pre
Stack Migration, dan migrasi Kirchhoff.
Bab III. Data dan Pengolahan Data
Berisikan mengenai data yang digunakan pada pengerjaan tugas akhir ini. Pada bab ini juga dijelaskan proses pengolahan data dari berbentuk data shot
gather, hingga menghasilkan penampang
berupa hasil migrasi.
Bab IV. Hasil dan Analisa
Berisikan hasil pengolahan data dan analisa dari hasil pengolahan data. Bab V. Kesimpulan dan Saran
Berisikan kesimpulan dari pengerjaan tugas akhir ini, serta saran untuk pengerjaan topik yang sama di masa mendatang.
II. TEORI DASAR
Tujuan dari eksplorasi seismik yakni mendapatkan informasi tentang kondisi geologi bawah permukaan dari hasil observasi waktu tiba, variasi
amplitudo, frekuensi, fasa, dan bentuk gelombang (Telford, 1990). Data seismik yang terekam merupakan waktu tempuh gelombang dari source ke receiver yang terpantulkan ke permukaan oleh bidang reflektor. Data yang terekam, nantinya akan disorting kedalam Common Mid
Point (CMP) gather sebelum dilakukan
tahap processing.
Migrasi merupakan salah satu proses pada processing data seismik yang bertujuan menggambarkan kondisi struktur geologi sebenarnya pada seismic section. Prinsip dasar migrasi yakni melakukan pemfokusan energi gelombang sebagai akibat propagasi gelombang yang melalui bidang batas dengan sifat yang berbeda-beda serta meletakkan reflektor ke posisi sebenarnya. Selain itu, migrasi bertujuan untuk menguatkan resolusi dengan memfokuskan energi.
Efek difraksi yang timbul sebagai akibat hamburan gelombang yang berbentuk hiperbolik, dapat direkonstruksi mendekati titik reflektor sebenarnya. Secara sederhana dapat dirumuskan sebagai berikut:
(pers.1)
x = jarak antara zero ofset dengan geophone
To = two way time pada zero offset
Vrms = kecepatan RMS di To
Gambar 1. Prinsip migrasi dengan penjumlahan difraksi. (a) penampang Zero-offset, (b) Hasil migrasi. Difraksi difokuskan di titik A. (Yilmaz, 1987)
2.1. Migrasi Setelah Stack (Post Stack Migration)
Post stack migration merupakan
proses migrasi terhadap data seismik setelah stack. Pengolahan data dengan Post
Stack Migration didasarkan pada asumsi
semua data merepresentasikan primary
reflection atau difraksi. Migrasi perlu
dilakukan karena adanya variabel kecepatan dan dipping horizon mengakibatkan data yang terekam dipermukaan memiliki posisi yang berbeda dengan subsurface. Post Stack Migration dapat menggambarkan dengan baik penampang geologi suatu tempat yang tidak terlalu komplek. Waktu komputasi yang tidak terlalu lama dan biaya yang diperlukan relatif murah merupakan beberapa alasan Post Stack Migration
masih menjadi pilihan dalam melakukan pencitraan struktur geologi.
2.2 Migrasi Sebelum Stack (Pre-Stack Migration)
Proses migrasi sebelum stack merupakan proses non zero offset
migration. Konsep dasar migrasi sebelum stack pada data seismik untuk model bumi
dengan kecepatan konstan, dapat dijelaskan dengan pendekatan metoda difraksi hiperbola. Proses migrasi sebelum
stack dilakukan kerena pada kondisi
reflektor dengan kemiringan lebih besar dari 15o kurang mendapatkan hasil yang baik. Selain itu, dengan melakukan migrasi sebelum stack, akan mampu memperkuat sinyal.
Proses migrasi sebelum stack lebih sedikit dilakukan karena memerlukan biaya yang besar dan waktu komputasi yang relatif lama apabila dibandingkan dengan melakukan migrasi setelah stack.
2.3 Pre-Stack Time Migration (PSTM)
Migrasi merupakan salah satu proses dalam metoda seismik untuk mendapatkan penampang geologi bawah permukaan yang tepat. Penjalaran gelombang seismik sangat dipengaruhi oleh sifat fisis medium yang dilaluinya. Kecepatan medium merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi respon
gelombang yang akan ditangkap oleh
receiver. Perbedaan kecepatan lateral yang
tinggi akan mengakibatkan perbedaan respon gelombang yang digambarkan dengan kurva hiperbola akan berbeda antara satu dengan lainnya. Hal ini dapat mengakibatkan terjadi kesalahan dalam menentukan titik reflektor yang sebenarnya.
Pada proses PSTM, pengolahan data dilakukan pada domain waktu, dengan menggunakan kecepatan RMS sebagai kecepatan migrasi. Pada pengolahan data PSTM, masukan data awal pada umumnya berupa common offset gather.
2.4 Pre-Stack Depth Migration (PSDM)
Migrasi dalam domain kedalaman menampilkan penampang geologi dalam domain kedalaman, selain itu algoritma
pre stack akan menghidarkan berbagai
asumsi dan penyederhanaan yang akan mengakibatkan kesalahan dalam reposisi
event dalam domain waktu. Bidang
reflektor tidak hanya dapat diposisikan dengan baik, dengan continuity dan
discontinuities akan memetakan sesar/fault
lebih baik.
Migrasi dalam domain kedalaman menggunakan masukan berupa kecepatan interval domain kedalaman. Kecepatan awal yang didapat pada analisa kecepatan merupakan kecepatan RMS. Menggunakan
persamaan DIX, kecepatan RMS dikonversikan menjadi kecepatan interval.
(Blestein dan Gray,2001 ) (pers.2) x = titik kedalaman
U = trace seismik
F = filter untuk merecover shape dari pulsa sumber.
ξ = koordinat trace
τ(x,ξ) = travel time dari source ke receiver yang melalui titik x β = amplitudo migrasi pada titik x W = pembobotan migrasi
Persamaan2 merupakan persamaan yang akan menghasilkan amplitudo pada titik kedalaman x.
Fungsi waktu tempuh TWT τ (x, ξ) diposisikan sebagai turunan kedua dari ray
tracing. Trace seismik (U) berhubungan
dari trace yang dihitung dari ray tracing.
Stacking terhadap pulsa, dilakukan
sepanjang reflektor target sebagai turunan kedua dari zona Fresnel sepanjang titik refleksi yang diketahui. Teori zona Fresnel dapat diperlihatkan pada gambar 2.
Gambar 2. Teori Fresnel Zone
Secara umum, pengolahan data dengan menggunakan metoda PSDM akan menghasilkan penampang geologi yang baik, akan tetapi perlu diingat bahwa metoda PSDM sangat sensitif terhadap kualitas kecepatan yang dipakai. Kualitas model kecepatan yang akurat merupakan kunci keberhasilan dalam metoda PSDM. Apabila model kecepatan yang digunakan tepat, metoda PSDM dapat digunakan untuk mengatasi segala masalah imaging seismik.
2.5 Kirchhoff Migration
Migrasi Kirchhoff memperhitungkan directivity, spherical
spreading, dan penajaman wavelet dalam
melakukan penjumlahan difraksi. Silva (1992) mengeluarkan persamaan untuk migrasi Kirchhoff sebagai berikut:
(pers. 3)
Pout(x1,z1,t=0) = output sample p di titik
x1,z1 pada saat t=0
P(x,z0,t=T) = input sample p yang
terdefinisi pada hiperbola difraksi pada pers. 1 To = time pada sample yang termigrasi (x1,z1)
T = two way time pada jarak ke-x
V = kec. RMS pada t=0
Migrasi Kirchhoff dapat diaplikasikan pada data seismik yang memiliki kontras kecepatan yang tinggi, dan sudut dip yang besar. Selain itu, waktu komputasi migrasi Kirchhoff sangat efisien. Pada migrasi Kirchhoff, penjumlahan difraksi dibatasi dengan adanya pembatasan interval spasial yang disebut dengan migration aperture. Kualitas migrasi yang baik ditentukan oleh nilai migration aperture yang optimal. Nilai migration aperture yang terlalu tinggi akan menghasilkan data dengan rasio signal to noise (S/N) yang rendah disamping memerlukan waktu komputasi yang lama tanpa meningkatkan kualitas data.
III. DATA DAN PENGOLAHAN DATA
Pengolahan data pada tugas akhir ini menggunakan software ProMAX 2D dan MATLAB 7.0.
3.1 Data
Tugas akhir ini menggunakan 2 data yakni data Marmousi 2 yang merupakan data sintetik, dan data daerah Lovina (bukan nama sebenarnya) merupakan data riil. Parameter data Marmousi 2 yang digunakan sebagai berikut: Jumlah Geophone :120 Station Interval :25 m Source Interval :50 m Near Offset :50 m Frekuensi Dominan :25 Hz
Parameter data daerah Lovina sebagai berikut:
Jumlah Geophone :192
Station Interval :12,5 m
Source Interval :12,5 m
Near Offset :30 m
3.2 Pengolahan Data Sintetik
Pengolahan data dilakukan dengan 2 tahapan. Tahapan pertama yakni melakukan processing data dengan tahap akhir Post Time Kirchhoff Migration (PTM Kirchhoff) untuk berikutnya dilakukan proses Horizon Velocity Analysis (HVA). Tahapan kedua yakni melakukan processing data dengan menggunakan kecepatan yang didapat pada proses pertama dan membandingkan hasilnya dengan data yang diolah menggunakan data sumur. Pada tahapan ini, hasil akhir berupa penampang seismik dalam domain waktu dan kedalaman yang dihasilkan melalui proses Pre-Stack Kirchhoff
Migration dan Post Stak Kirchhoff Migration.
3.2.1 Pengolahan Tahap 1
Data awal berupa rawdata, yang kemudian dilakukan geometri dan sorting kedalam CDP gather. Proses berikutnya dilakukan koreksi terhadap jarak dengan melakukan koreksi NMO terhadap data. Proses NMO juga diterapkan pada saat melakukan analisa kecepatan. Hasil kecepatan yang dihasilkan merupakan kecepatan RMS yang nantinya akan dismoothing sebelum digunakan untuk proses stacking. Kecepatan RMS dari hasil
picking dikonversi menjadi kecepatan
interval waktu dengan menggunakan persamaan DIX. Kecepatan interval waktu yang dihasilkan, merupakan masukan untuk melakukan proses HVA. Hasil
stacking digunakan untuk melakukan PTM
Kirchhoff dan kecepatan yang digunakan merupakan kecepatan RMS yang menghasilkan hasil stack yang paling baik. Parameter Kirchhoff yang digunakan sebagai berikut: First CDP :140 Last CDP :1160 CDP Interval :12,5 CDP Spacing :1 Frekuensi Maksimal :70 Migration Aperture :1500
Hasil migrasi digunakan sebagai masukan untuk HVA.
Proses HVA secara teoritis
merupakan salah satu proses analisa kecepatan dengan menggunakan horison
pada stack section sebagai guide sehingga pada saat melakukan picking kecepatan terjadi konsistensi dalam menentukan kecepatan lapisan secara lateral (Kurniawan, 2007).
Hasil HVA berupa model kecepatan
RMS kemudian digunakan sebagai
kecepatan stacking data dan migrasi dalam domain waktu dan kedalaman dengan terlebih dahulu melakukan konversi menggunakan persamaan DIX. Sebelum digunakan sebagai kecepatan stacking dan migrasi, kecepatan HVA dismoothing terlebih dahulu.
3.2.2 Pengolahan Tahap 2
Alur pengolahan data tahap 2 secara umum dapat digambarkan sebagai berikut
Gambar 3. Flowchart pengolahan data tahap 2
Gambar diatas merupakan
flowchart forward modelling. Tujuan
utama dalam pengolahan data ini yakni melakukan pemodelan data sintetik dengan
menggunakan metoda Pre dan Post migrasi sehingga akan dihasilkan penampang yang mirip dengan kondisi geologi awalnya.
Hasil kecepatan interval HVA pada tahap pertama digunakan sebagai masukan pada pengolahan data tahap 2. Pada tahap ini dilakukan pengambilan data kecepatan interval dari model sintetik. Kecepatan interval kedalaman yang diambil merupakan kecepatan sebenarnya dari model Marmousi 2. Data kecepatan interval model marmousi kita anggap sebagai data sonic well. Pengambilan data sumur dilakukan pada 3 CDP yakni CDP 225, 715, dan 961 (lampiran, gambar 3). Data sumur digunakan sebagai kontrol terhadap data kecepatan yang didapat dari hasil picking dan HVA.
Pada nomor CDP yang sama, nilai kecepatan interval kedalaman pada data sumur, dibandingkan dengan nilai kecepatan pada model kecepatan interval kedalaman HVA. Perbedaan nilai
kecepatan kedua data ini, dapat dibandingkan dengan menggunakan kurva
Time vs Depth (lampiran, gambar 4). Pada
setiap kedalaman 25 meter pada tiap-tiap
CDP, dapat dicari faktor skala dari
perbandingan waktu kedua data. Perbandingan waktu ini akan digunakan sebagai faktor skala yang nantinya digunakan sebagai matrik adjusment untuk mendapatkan kecepatan RMS yang baru.
Faktor skala dari ketiga CDP, diekstrapolasi untuk keseluruhan CDP. Matrik ini merupakan matrik adjusment dari kecepatan RMS HVA untuk tiap CDP. Matrik adjusment dikalikan dengan kecepatan RMS HVA akan menghasilkan kecepatan RMS baru. Hasil kecepatan RMS baru digunakan sebagai input velocity
stack dan migrasi dalam domain waktu,
sedangkan untuk migrasi dalam domain kedalaman kecepatan RMS baru terlebih dahulu dikonversikan menjadi kecepatan interval kedalaman.
3.3 Pengolahan Data Riil.
Data riil yang digunakan merupakan data seismik 2D di daerah ‘Lovina’ (bukan nama sebenarnya). Bagan pengolahan data riil sebagai berikut
Data yang awal berupa rawgeom dilakuk
erikutnya yakni melakukan
DMO
pada tahapan
.4 Post Time Kirchhoff Migration
a shot gather disortin irst CDP. :140 re :1500 ta riil hanya m . :200 an geometri untuk menyesuaikan
dengan kondisi akuisisi data. Data yang telah digeometri disorting kedalam CDP
gather untuk kemudian dilakukan tahapan preprocessing. Tahapan berikutnya yakni
melakukan analisis kecepatan yang akan digunakan sebagai masukan kecepatan untuk melakukan brute stack. Proses brute
stack diperlukan untuk melihat secara
umum kondisi geologi bawah permukaan daerah survey.
Proses b
guna mengoreksi posisi reflektor sebagai akibat adanya bidang yang reflektor miring. Hasil proses DMO digunakan sebagai masukan untuk melakukan analisis kecepatan kedua. Picking kecepatan dilakukan dari CDP 200 hingga CDP 3000 dengan interval 25. Model kecepatan yang dihasilkan menjadi masukan kecepatan untuk melakukan stack data. Hasil stack data digunakan untuk melakukan migrasi dalam domain waktu dengan menggunakan kecepatan yang sama dengan kecepatan stacking.
Proses HVA dilakukan
berikutnya dengan masukan data berupa hasil migrasi dalam domain waktu. Hasil akhir dari proses HVA yakni model kecepatan interval dalam domain waktu, lalu dilakukan proses smoothing pada model kecepatan tersebut. Hasil model kecepatan interval dikonversikan menjadi
kecepatan RMS dan kecepatan interval kedalaman yang akan digunakan untruk proses stack akhir dan migrasi.
3
(PTM Kirchhoff) Data awal berup
g kedalam CDP gather, kemudian
dilakukan pengolahan data awal dengan melakukan filter. Hasil CDP gather yang telah di filter digunakan sebagai masukan analisis kecepatan. Hasil picking kecepatan berupa kecepatan RMS digunakan sebagai kecepatan untuk melakukan stacking CDP
gather. Langkah berikutnya melakukan PTM kirchhoff dengan input berupa CDP gather yang telah distack, dan kecepatan
yang digunakan berupa kecepatan RMS hasil picking. Parameter migrasi Kirchhoff yang digunakan untuk data sintetik sebagai berikut: F Last CDP :1160 CDP Interval :12.5 Frekuensi Max. :70 Migration Apertu
Max Dip to Migrate :180
Hasil akhir migrasi pada da enggunakan kecepatan dari proses HVA, parameter migrasi yang digunakan sebagai berikut:
First CDP
Last CDP :3000
Frekuensi Max. :80
Migration Aperture :3000
nakan sebagai
.5 Post Depth Kirchhoff Migration
ff sama dengan input
ata pada PDM juga dilakuk
:140
e 0
ada data riil, parameter migrasi yang di
:200
e 0
.6 Pre-Stack Time Kirchhoff
um
stack
Max Dip to Migrate :180
Hasil PTM pertama, digu
masukan untuk HVA sehingga akan menghasilkan kecepatan RMS yang diharapkan lebih baik jika dibandingkan dengan hasil kecepatan dengan metoda konvensional. Hasil kecepatan HVA digunakan sebagai input kecepatan untuk proses PTM dengan terlebih dahulu melakukan konversi dari kecepatan interval domain waktu menjadi kecepatan
RMS.
3
(PDM Kirchhoff)
Input PDM Kirchho
pada PTM. Masukan data awal berupa CDP gather kemudian dilakukan filter guna mendapatkan sinyal dengan frekuensi yang diperlukan. Masukan untuk PDM berupa data CDP gather yang telah distack, dan kecepatan yang digunakan untuk migrasi adalah kecepatan RMS dari hasil picking dengan terlebih dahulu dikonversikan menjadi kecepatan interval domain kedalaman.
Pengolahan d
an dengan menggunakan kecepatan hasil HVA. Kecepatan interval domain waktu HVA dikonversi menjadi kecepatan interval kedalaman, kemudian digunakan sebagai kecepatan untuk melakukan
migrasi post depth. Kecepatan HVA sebelum dikonversi, dilakukan smoothing terlebih dahulu. Parameter migrasi Kirchhoff yang digunakan untuk data sintetik sebagai berikut:
First CDP.
Last CDP :1160
CDP Interval :12.5
Frekuensi Maks. :70
Migration Apertur :150
Max Dip to Migrate :180
Max Depth to Migrate :4000
P
gunakan sebagai berikut: First CDP.
Last CDP :3000
CDP Interval :6.25
Frekuensi Maks. :80
Migration Apertur :300
Max Dip to Migrate :180
Max Depth to Migrate :3000
3
Migration (PSTM Kirchhoff) Input data pada migrasi sebel berbeda dengan input data pada migrasi setelah stack. Data awal berupa
cdp gather kemudian difilter guna
mengurangi noise lalu disorting kedalam
common offset gather sebelum dimigrasi
dalam domain waktu. Kecepatan yang digunakan untuk PSTM yakni kecepatan
kecepatan RMS. Parameter migrasi
Kirchhoff yang digunakan untuk data sintetik sebagai berikut:
First CDP. :140 re 0 il m menggu ta dengan kecepa data riil, kecepa :200 re 0
.7 Pre-Stack Depth Kirchhoff
ma engan irst CDP. :140 . rate 0 pada P
i pada data riil menggu :200 Last CDP :1160 CDP Interval :12.5 d CDP Spacing :1 Frekuensi Max. :70 Migration Apertu :150
Sebagai pembanding has igrasi nakan kecepatan HVA, maka pada proses migrasi kali ini digunakan juga kecepatan yang didapat dari kombinasi kecepatan sumur dan HVA. Kecepatan
RMS baru ini didapat dari hasil perkalian
antara matriks adjusment dengan kecepatan HVA. Sebelum digunakan untuk migrasi, maka kedua jenis kecepatan ini dismoothing terlebih dahulu.
Hasil migrasi da
tan HVA dan hasil migrasi kecepatan RMS baru kemudian dilakukan koreksi NMO dan distack.
Pada pengolahan
tan yang digunakan merupakan hasil dari proses HVA dan tidak menggunakan kecepatan dari hasil ekstrapolasi sumur. Parameter migrasi data riil, sebagai berikut:
First CDP. Last CDP :3000 CDP Interval :6.25 CDP Spacing :2 Frekuensi Max. :80 Migration Apertu :300 3 Migration (PSDM Kirchhoff) Masukan data pada PSDM sa masukan data pada PSTM yakni
sorting data dalam bentuk common offset gather. Parameter migrasi Kirchhoff yang
digunakan untuk data sintetik sebagai berikut: F Last CDP :1160 CDP Interval :12.5 CDP Spacing :1 Frekuensi Maks :70
Max Depth to Mig :400
Migration Aperture :1500
Model kecepatan yang digunakan SDM yakni kecepatan hasil HVA yang dikonversi menjadi kecepatan interval kedalaman dengan menggunakan persamaan DIX. Proses PSDM juga menggunakan kecepatan baru hasil dari kombinasi HVA dan ekstrapolasi sumur yang terlebih dahulu dikonversi menjadi kecepatan interval dalam domain kedalaman. Kecepatan yang digunakan untuk migrasi, terlebih dahulu dismoothing. Migras nakan parameter: First CDP. Last CDP :3000 CDP Interval :6.25
CDP Spacing :1
Frekuensi Maks. :80
rate 0
IV. HASIL DAN ANALISIS
mbahas mengen
.1. Data Sintetik
han data pada data sintetik, nantinya akan diterapkan pada
.1.1. Kecepatan HVA dan Well
kecepatan dengan menggu belum mengha khir kecepa
Max Depth to Mig :300
Migration Aperture :3000
Pada bab ini akan me
ai hasil migrasi dalam domain waktu dan kedalaman dengan metoda Pre
Stack Migration dan Post Stack Migration
menggunakan kecepatan yang didapatkan dari metoda HVA dan metoda Well
Adjusment.
4
Proses pengola
data riil dengan parameter yang disesuaikan terhadap kondisi data. Tahapan pengolahan data sintetik, secara garis besar dapat dilihat pada flowchart 1 (lampiran, gambar 1a dan 1b).
4
Adjusment Penentuan
nakan metoda HVA memiliki hasil yang cukup baik. Apabila dibandingkan dengan data kecepatan yang benar dari model, kecepatan dengan metoda HVA akan menghasilkan model kecepatan yang sedikit menyerupai model sebenarnya. Model kecepatan pada struktur komplek
hanya digambarkan dengan model antiklin pada model kecepatan RMS HVA (lampiran, gambar 2b). Pada kecepatan interval domain waktu ataupun kedalaman, model kecepatan mendekati model kecepatan yang sebenarnya. Perbedaan kecepatan pada struktur sesar terlihat cukup jelas pada model kecepatan interval (lampiran, gambar 2c dan 2d).
Hasil akhir pada proses HVA
silkan model kecepatan yang sama dengan kecepatan model. Hal ini dapat dilihat dari nilai error kecepatan yang dihasilkan (lampiran, gambar 5a), dimana nilai error kecepatan RMS melebihi 25% pada struktur komplek. Pada perhitungan nilai error kecepatan interval kedalaman, didapatkan nilai error maksimum yakni 62%. Sama halnya dengan kecepatan RMS, nilai error terjadi pada struktur komplek terutama pada kedalaman 2700 meter (lampiran, gambar 5c). Pada daerah yang terisikan oleh fluida, error kecepatan yang terjadi cukup tinggi antara 40%-60%.
Kurang tepatnya hasil a tan pada metoda HVA kemungkinan dikarenakan adanya kesalahan dalam menentukan batas horison antar lapisan pada model. Metoda ini sangat dipengaruhi oleh ketepatan dalam menentukan batas lapisan, serta kecepatan dasar yang digunakan sebagai guide untuk menghasilkan kecepatan yang baru.
Pada kurva T-D untuk masukan pada penentuan kecepatan dengan metoda sumur, terlihat adanya perbedaan yang tidak terlalu jauh antara kurva T-D HVA dengan kurva T-D sumur untuk masing-masing CDP (lampiran, gambar 4). Hasil ekstrapolasi dari ketiga data perbandingan antara kurva T-D, digunakan untuk menghasilkan kecepatan RMS yang baru. Model kecepatan RMS baru (lampiran, gambar 2a) lebih menyerupai kecepatan model sebenarnya jika dibandingkan dengan model kecepatan RMS dengan metoda HVA.
Penentuan kecepatan dengan metoda sumur sangat dipengaruhi oleh kualitas data kecepatan yang dipakai sebagai pembanding dengan sumur pada kurva T-D. Penentuan posisi data sumur juga mempengaruhi hasil faktor skala dari kurva T-D. Hasil stack menggunakan masukan kecepatan baru menghasilkan penampang yang lebih baik jika dibandingkan dengan hasil stack menggunakan kecepatan metoda picking dan HVA.
Besar kesalahan model kecepatan
RMS ketika menggunakan kecepatan
kombinasi HVA dan sumur lebih kecil dibandingkan dengan metoda HVA. Pada struktur komplek yakni CDP 600-1000, besar nilai error yang terjadi berkisar dari 1-18 % (lampiran, gambar 5b). Kesalahan kecepatan interval dalam domain
kedalaman pada metoda sumur memiliki nilai maksimum 60%. Kesalahan tertinggi terdapat pada CDP 800-900 pada kedalaman 1200 (lampiran, gambar 5d) dimana error kecepatan hingga mencapai 60%. Daerah yang memiliki nilai kesalahan yang besar terdapat pada struktur yang memiliki kandungan fluida.
4.1.2 Migrasi Domain Waktu
Migrasi dalam domain waktu dilakukan dengan metoda post dan pre
stack. Hasil metoda post stack migrasi
untuk masukan kecepatan HVA dan kecepatan kombinasi HVA dan sumur memiliki beberapa perbedaan. Perbedaan antara kedua penampang ini terlihat jelas pada struktur sesar, dimana tidak terjadi kemenerusan sinyal pada penampang migrasi dengan kecepatan HVA pada waktu 2200-2400 ms (lampiran, gambar 7a dan 7b).
Hasil migrasi pre stack domain waktu untuk kecepatan HVA menunjukkan hasil yang kurang baik pada waktu 600-1600 ms. Penampang yang dihasilkan pada satuan waktu tersebut memiliki amplitudo yang kurang kuat, sehingga horison yang ditampilkan kurang jelas. Hasil migrasi
pre stack dengan kecepatan kombinasi
HVA dan sumur (lampiran, gambar 8a dan 8b) menghasilkan penampang yang lebih baik dibandingkan dengan menggunakan kecepatana HVA. Amplitudo yang
dihasilkan lebih tinggi serta struktur sesar yang lebih jelas jika dibandingkan dengan migrasi menggunakan kecepatan HVA.
Perbedaan antara hasil migrasi post
stack dan pre stack dalam domain waktu
untuk data sintetik terlihat jelas pada bagian struktur komplek yakni pada CDP 620-860. Hasil pre stack lebih menunjukkan kemiripan model dengan model aslinya pada waktu 2200-2600 ms, hasil stacking menunjukkan kelengkungan dari antiklin tersebut. Strukur sesar terlihat lebih jelas ketika dilakukan pengolahan data menggunakan pre stack.
4.1.3 Migrasi Domain Kedalaman
Proses migrasi dalam domain kedalaman diperlukan guna mengetahui posisi sebenarnya dari reflektor. Kecepatan yang digunakan untuk migrasi post ataupun pre stack yakni kecepatan HVA dan kecepatan kombinasi HVA dan sumur. Hasil migrasi post dari kedua kecepatan ini memiliki perbedaan yang sedikit. Perbedaan jelas terlihat pada CDP 195-275 kedalaman 1000-1400 meter. Pada zona gas terlihat efek multipel yang dapat dikurangi ketika menggunakan kecepatan kombinasi HVA dan sumur (lampiran, gambar 9a dan 9b).
Kesalahan dalam memodelkan kecepatan akan mengakibatkan terjadinya kesalahan dalm penentuan posisi reflektor. Besar kesalahan yang terjadi pada migrasi
post depth berkisar dari 1%-15% untuk
kecepatan HVA ataupun kecepatan
kombinasi HVA dan sumur (lampiran, gambar 6a). Pada model kecepatan interval kedalaman HVA CDP 700-800 untuk kedalaman 500-800 meter, error yang terjadi 25%. Jika dilihat pada kurva akan menimbulkan kesalahan reposisi reflektor hingga 15% pada model migrasi. Sedangkan pada posisi yang sama, untuk kecepatan kombinasi HVA dan sumur yang memberikan nilai error 10%, terjadi kesalahan reposisi reflektor sebesar 1%-10%.
Migrasi pre stack domain
kedalaman menggunakan kecepatan HVA memberikan hasil yang kurang baik jika dibandingkan dengan migrasi menggunakan kecepatan kombinasi HVA dan sumur. Perbedaan terlihat pada CDP 635-1075 (lampiran, gambar 10a dan 10b) terutama pada daerah sesar. Pada kedalaman 1500-2000 meter, terlihat adanya ketidakmenerusan reflektor ketika menggunakan kecepatan HVA. Pada penampang dengan kecepatan kombinasi
HVA dan sumur, reflektor pada daerah
sesar terlihat menerus dan memperlihatkan amplitudo yang kuat. Pada CDP 855-1075 di kedalaman 1500-2000, terjadi kemenerusan reflektor pada penampang seismik dengan menggunakan kecepatan kombinasi HVA dan sumur.
Perbandingan antara hasil migrasi dengan metoda post dan pre stack, terlihat dengan adanya kemenerusan reflektor yang tidak terlihat pada penampang post
stack. Pada penampang hasil pre stack,
sesar dapat terlihat lebih baik dan antiklin pada daerah sesar lebih terlihat jelas.
Reposisi reflektor menggunakan metoda pre-stack menghasilkan error yang lebih kecil dibandingkan dengan menggunakan metoda post stack. Kesalahan reposisi reflektor yang dihasilkan berkisar dari 1% - 9% untuk kecepatan interval kedalaman menggunakan metoda HVA ataupun sumur (lampiran, gambar 6b). Hasil ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan kesalahan yang dihasilkan dengan menggunakan metoda
post stack.
4.2 Data Riil
Alur pengolahan data riil, secara umum dapat digambarkan pada flowchart (lampiran, gambar 1c). Hasil akhir pengolahan data riil berupa penampang seismik yang telah dimigrasi menggunakan kecepatan HVA.
4.2.1 Analisis Kecepatan dan Final Stack
Kecepatan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan kualitas migrasi. Pada struktur komplek yang memiliki variasi kecepatan yang
signifikan antara layer, maka proses migrasi akan sangat sensitif terhadap model kecepatan yang digunakan.
Pada proses stack data dan migrasi dalam domain waktu, model kecepatan yang digunakan merupakan model kecepatan RMS (lampiran, gambar 11a). Hasil kecepatan RMS didapat dari konversi model kecepatan interval domain waktu (lampiran, gambar 11b) yang dihasilkan dari proses HVA. CDP gather yang merupakan masukan dalam picking kecepatan, terlebih dahulu dilakukan proses preconditioning guna meningkatkan kualitas semblance.
Pada pemodelan kecepatan data riil menggunakan metoda HVA, hasil yang didapat cukup baik dalam menggambarkan struktur bawah permukaan. Model reflektor miring pada lapisan yang dalam masih dapat termodelkan seperti yang terlihat pada model kecepatan interval kedalaman (lampiran, gambar 11c). Keakuratan model kecepatan RMS yang dihasilkan, akan sangat mempengaruhi hasil stack dari migrasi. Hasil kecepatan yang dihasilkan merupakan kecepatan dari data seimik, tingkat keakuratan dari model tersebut belum tentu tepat menggambarkan kondisi kecepatan pada daerah yang disurvey. Guna mendapatkan data kecepatan yang mendekati nilai kecepatan kondisi asli bawah permukaan, perlu digunakan data sumur sebagai parameter.
Pada analisis kecepatan kali ini, kecepatan langsung diekstrak dari data seismik tanpa menggunakan data sumur.
Proses final stack, masukan kecepatan menggunakan kecepatan RMS hasil dari proses HVA. Pada penampang
final stack, reflektor sudah terlihat cukup
jelas serta amplitudo yang dihasilkan sudah cukup kuat. Daerah sesar pada CDP 2150-2600 (lampiran, gambar 12) serta reflektor berupa antiklin terlihat cukup jelas. Kekurangan dari penampang ini yakni sesar di atas struktur antiklin belum tergambarkan dengan baik dan masih terdapat efek difraksi sebagai akibat reflektor yang tidak memiliki keselarasan.
4.2.2 Migrasi Domain Waktu
Proses migrasi dalam domain waktu menggunakan kecepatan RMS hasil dari proses HVA. Pada penampang post migrasi (lampiran, gambar 13a), sesar yeng terdapat pada CDP 2150-2600 mengalami kenaikan pada arah up-dip, serta menghasilkan struktur yang lebih kecil apabila dibandingkan dengan penampang hasil final stack.
Pengolahan data menggunakan pre
stack secara umum menghasilkan
penampang yang lebih baik dibandingkan dengan hasil post migrasi. Data masukan dari proses pre stack yakni data offset
gather yang telah dilakukan DMO,
sehingga pada proses pre stack migrasi
dilakukan pada tiap-tiap gathernya Pada proses pre stack, terjadi pemfokusan energi yang lebih baik pada posisi reflektornya. Sesar pada CDP 2170-2600 (lampiran, gambar 13b), tergambarkan sangat jelas pada hasil stack proses pre
stack. Sesar secara jelas tergambarkan
hingga 1500 ms, sedangkan pada hasil post migrasi sesar hanya tegambarkan pada 1400 ms. Pada struktur antiklin, kemenerusan reflektor pada proses post
stack terlihat lebih jelas.
Hasil migrasi dalam domain waktu secara umum belum dapat memetakan kondisi geologi sebenarnya pada bawah permukaan. Perlu dilakukan pengolahan data dalam domain kedalaman guna mengetahui posisi reflektor sebenarnya di bawah permukaan. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukannya proses migrasi dalam domain kedalaman.
4.2.3 Migrasi Domain Kedalaman
Migrasi domain kedalaman menggunakan kecepatan interval kedalaman hasil konversi kecepatan interval domain waktu yang didapat dari proses HVA menggunakan persamaan DIX. Kecepatan yang digunakan pada proses migrasi ini sebelum digunakan dilakukan smoothing terlebih dahulu agar model kecepatan lebih menyerupai kondisi reflektor bawah permukaan.
Pada proses migrasi ini, interval CDP yang digunakan yakni 6,25 m. Nilai ini merupakan setengah dari interval
receiver. Apabila interval CDP yang
digunakan terlalu besar akan terjadi efek
stretching pada data seismik. Sedangkan
apabila interval CDP yang digunakan lebih kecil dari semestinya akan mengakibatkan terjadinya penumpukan antar CDP satu dengan lainnya. Hal ini akan terlihat jelas pada reflektor miring (Kurniawan, 2007).
Hasil post migrasi memperlihatkan reflektor yang terputus pada daerah antiklin (lampiran, gambar 14a) jika dibandingkan dengan hasil migrasi pre
stack. Pada penampang hasil post stack,
sesar pada CDP 2150-2600 terlihat cukup jelas hingga kedalaman 1200 m. Apabila dibandingkan dengan hasil pre stack, sesar pada CDP yang sama terlihat hingga kedalaman 1400 m (lampiran, gambar 14b).
Migrasi post stack dilakukan pada data stack dengan asumsi zero offset, proses stacking common mid point hanya valid pada perlapisan horisontal. Energi pada struktur yang memiliki kemiringan ataupun ketidakmenerusan, akan dijumlahkan tidak tepat pada daerah zero
offset. Proses migrasi pre stack bertujuan
untuk mengurangi hal tersebut dengan mengeleminasi conventional stacking dan menjumlahkan semua energi pada titik sebenarnya.
V. KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab kali ini akan membahas tentang kesimpulan yang didapat dari penelitian kali ini serta beberapa saran yang dapat digunakan sebagai masukan untuk melanjutkan penelitian ini.
5.1 Kesimpulan
Pada penelitian kali ini dapat disimpulkan beberapa hal, yakni:
Pada struktur komplek, terbukti bahwa migrasi dalam domain kedalaman menggambarkan kondisi bawah permukan lebih tepat dibandingkan dengan migrasi dalam domain waktu
Besar kesalahan dalam penentuan kecepatan, akan memberikan nilai kesalahan yang hampir sama pada saat reposisi reflektor pada migrasi
Penentuan nilai migration aperture akan mempengaruhi tingkat keakuratan hasil migrasi
Migrasi pre stack dalam domain kedalaman lebih mereposisi reflektor ke posisi sebenarnya secara lateral dibandingkan dengan migrasi post atau pre stack dalam domain waktu.
5.2 Saran
Pada penelitian kali ini, kekurangan dalam menggambarkan kondisi geologi bawah permukaan secara tepat dikarenakan oleh beberapa hal. Untuk mendapatkan citra yang lebih baik, perlu digunakan data sumur lainnya misalnya data densitas batuan daerah yang akan dicitrakan selain data kecepatan lapisan dari sumur. Selain itu, perlu dilakukan penentuan migration aperture yang lebih tepat salah satunya dengan menggunakan metoda yang berbeda seperti metoda Horizontal Displacement.
DAFTAR PUSTAKA
Kurniawan, D., 2007, Studi
Kualitas Model Kecepatan untuk Melakukan Pre-Stack Depth Migration, Program Studi
Geofisika, Institut Teknologi Bandung.
Priyono, A., 2001, Buku Ajar
Seismik Eksplorasi untuk Bidang Ilmu Kebumian, Institut Teknologi
Bandung.
Robein, E., 2003, Velocities,
Time-imaging and Depth-Time-imaging in Reflection Seismics Principle and Methods, EAGE, Netherland.
Silva, R., 1992, Antialiasing and
Aplication of Weighting Factor in Kirchhoff Migration, Technical
Program, Society of Exploration Geophysics, New Orleans.
Telford, W., Geldart, L.P., Sheriff, R.E., 1990, Applied
Geophysics Second Edition,
Cambridge University Press.
Yilmaz, O., 1987, Seismic Data
Processing, Society of Exploration