• Tidak ada hasil yang ditemukan

KUANTIFIKASI DAN KLASIFIKASI KARANG BERDASARKAN KUAT HAMBUR BALIK MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK SINGLE BEAM BAIGO HAMUNA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KUANTIFIKASI DAN KLASIFIKASI KARANG BERDASARKAN KUAT HAMBUR BALIK MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK SINGLE BEAM BAIGO HAMUNA"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

15

KUANTIFIKASI DAN KLASIFIKASI KARANG

BERDASARKAN KUAT HAMBUR BALIK MENGGUNAKAN

METODE AKUSTIK SINGLE BEAM

BAIGO HAMUNA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(2)
(3)

17

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kuantifikasi dan Klasifikasi Karang Berdasarkan Kuat Hambur Balik Menggunakan Metode Akustik Single Beam adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkam dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2013

Baigo Hamuna

(4)

RINGKASAN

BAIGO HAMUNA. Kuantifikasi dan Klasifikasi Karang Berdasarkan Kuat Hambur Balik Menggunakan Metode Akustik Single Beam. Dibimbing oleh SRI PUJIYATI dan TOTOK HESTIRIANOTO.

Teknologi hidroakustik telah banyak digunakan untuk memetakan dan mengklasifikasikan dasar perairan, tipe substrat dan biota bentik. Beberapa teknik pengukuran backscattering strength dengan menggunakan echosounder single

beam, seperti CruzPro PcFF80 telah digunakan untuk membedakan energi backscatter sedimen dasar perairan seperti pasir, lumpur dan lempung.

Penelitian ini bertujuan untuk kuantifikasi nilai surface backscattering

strength (SS) dan volume backscattering strength (SV) dari beberapa tipe karang

menggunakan echosounder single beam CruzPro PcFF80 dan

mengklasifikasikannya berdasarkan nilai SV dari echo pertama (E1) dan echo kedua (E2). Pengambilan data lapangan dilakukan pada bulan Mei 2013 yang berlokasi di Kepulauan Seribu. Perekaman data akustik dilakukan stasioner, waktu untuk merekam data adalah sekitar 10 sampai 15 menit untuk setiap jenis karang dengan menggunakan frekuensi 200 dan 50 kHz. Camera underwater digunakan untuk validasi data hasil perekaman akustik.

Hasil penelitian menunjukkan frekuensi 200 kHz mengalami absorpsi yang lebih besar dalam kolom air dan karenanya tidak mengirimkan banyak energi ke dasar laut sehingga penetrasi berkurang, sedangkan frekuensi 50 kHz menunjukkan absorpsi yang kecil, transmisi lebih banyak energi ke dasar laut, menyebabkan sinyal untuk menembus lebih dalam ke dasar laut dan membawa informasi lebih kembali ke transduser. Nilai rata-rata surface backscattering

strength (SS) pada frekuensi 200 kHz bervariasi antara -17.99 dB sampai -14.65

dB. Nilai rata-rata E1 bervariasi antara -21.54 dB sampai -18.24 dB, sedangkan nilai rata-rata E2 bervariasi antara -46.91 dB sampai -32.78 dB. Pada frekuensi 50 kHz, nilai rata-rata surface backscattering strength (SS) bervariasi antara -13.13 dB sampai -8.41 dB. Nilai rata-rata E1 bervariasi antara -16.68 dB sampai -11.96 dB, sedangkan nilai rata-rata E2 bervariasi antara -32.92 dB sampai -22.60 dB. Hasil klasifikasi menggambarkan tiga kelompok kategori (halus, lunak-kasar dan keras-lunak-kasar). Pada frekuensi 200 kHz, kategori lunak-halus terdiri dari

Acropora branching, kategori lunak-kasar terdiri dari Coral massive, Coral massive mati, Coral mushroom, rubble, pasir, dan kategori keras-kasar terdiri dari Acropora tabulate. Pada frekuensi 50 kHz, kategori lunak-halus terdiri dari Acropora branching, kategori lunak-kasar terdiri dari Coral massive, Coral massive mati, dan kategori keras-kasar terdiri dari Acropora tabulate, Coral mushroom, rubble, pasir.

Secara keseluruhan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa SBES CruzPro PcFF80 dapat digunakan untuk membedakan kuat hambur balik akustik beberapa tipe karang dan pasir.

(5)

19

SUMMARY

BAIGO HAMUNA. Quantification and Classification of Coral Based on Backscattering Strength Using Single Beam Acoustics Method. Supervised by SRI PUJIYATI and TOTOK HESTIRIANOTO.

Hydroacoustic technology has been widely used to mapping and classify of the seabed, types of substrate and benthic biota. Several techniques of backscattering strength measurements using a single beam echosounder, as a CruzPro PcFF80 has been used to distinguish energy backscatter of bottom sediments such as sand, silt and clay.

The objectives of this research are to quantify the value of surface backscattering strength (SS) and volume backscattering strength (SV) of several types of coral using single beam echosounder CruzPro PcFF80 and classify based on SV value of the first echo (E1) and second echo (E2). Collection of field data was conducted on May 2013, which located in the Seribu Islands. Recording of acoustic data done stationary, time for recording data is about 10 up to 15 minutes for each type of coral by using a frequency of 200 and 50 kHz. An underwater camera was used to validation of the acoustic recording data.

The results of this research show frequency of 200 kHz to experience greater absorption in the water column and therefore does not send a lot of energy to the seabed so that the penetration is reduced, while the frequency of 50 kHz shows a small absorption, transmitting more energy into the seabed, causing the signal to penetrate deeper into the seabed and carry more information to the transducer. Average value of surface backscattering strength (SS) at 200 kHz varied between -17.99 dB up to -14.65 dB. The average value of E1 varied between -21.54 dB up to -18.24 dB, while E2 varied between -46.91 dB up to -32.78 dB. At 50 kHz, surface backscattering strength (SS) varied between -13.13 dB up to -8.41 dB. The average value of E1 varied between -16.68 dB up to -11.96 dB, while E2 varied between -32.92 dB up to -22.60 dB. Classification show there are three classes of category (soft-smooth, soft-rough and hard-rough). At 200 kHz, soft-smooth category consist of Acropora branching, soft-rough category consist of Coral massive, dead Coral massive, Coral mushroom, rubble, sand, and hard-rough category consist of Acropora tabulate. At 50 kHz, soft-smooth category consist of Acropora branching, soft-rough category consist of

Coral massive, dead Coral massive, and hard-rough category consist of Acropora tabulate, Coral mushroom, rubble, sand.

Overall, the results of this research indicate that SBES CruzPro PcFF80 can be used to distinguish of acoustic backscattering strength from several types of coral and sand.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(7)

21

KUANTIFIKASI DAN KLASIFIKASI KARANG

BERDASARKAN KUAT HAMBUR BALIK MENGGUNAKAN

METODE AKUSTIK SINGLE BEAM

BAIGO HAMUNA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(8)
(9)

23

Judul Penelitian : Kuantifikasi dan Klasifikasi Karang Berdasarkan

Kuat Hambur Balik Menggunakan Metode Akustik

Single Beam

Nama : Baigo Hamuna

NRP : C552110041

Program Studi : Teknologi Kelautan

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Sri Pujiyati, MSi Ketua

Dr Ir Totok Hestirianoto, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Teknologi Kelautan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Jonson Lumban Gaol, MSi

Tanggal Ujian: 5 September 2013

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah hidroakustik, dengan judul Kuantifikasi dan Klasifikasi Karang Berdasarkan Kuat Hambur Balik Menggunakan Metode Akustik Single Beam.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dr Ir Sri Pujiyati, MSi dan Bapak Dr Ir Totok Hestirianoto, MSc selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberikan saran dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan karya ilmiah ini. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atas bantuan Beasiswa Magister melalui program Beasiswa Unggulan (BU) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) dan Kementerian Keuangan atas bantuan Beasiswa Tesis melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) serta Yayasan Toyota dan Astra (YTA) Jakarta atas bantuan dana penelitian yang diberikan kepada penulis. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua penulis, Ibunda Hj. Wanuru dan Ayahanda H. Hamuna serta seluruh keluarga, atas doa, kasih sayang, nasehat dan dukungan motivasi kepada penulis. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan atas bantuan, saran dan masukan selama pengambilan data dan penyusunan karya ilmiah ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2013

(11)

25

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xii

1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Rumusan Masalah 2 Kerangka Pemikiran 3 Tujuan Penelitian 4 Manfaat Penelitian 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 6

Ekosistem Terumbu Karang 6

Bentuk Pertumbuhan Karang 6

Backscattering Dasar Perairan 8

Aplikasi Metode Akustik untuk Dasar Perairan 10

3 METODE PENELITIAN 13

Waktu dan Lokasi Penelitian 13

Alat dan Bahan Penelitian 13

Metode Pengambilan Data 15

Observasi Visual 15

Perekaman Data Akustik 15

Pemrosesan dan Analisis Data Akustik 17

Surface Backscattering Strength (SS) 18

Volume Backscattering Strength (SV) 19

Analisis Statistik 19

Uji ragam pantulan akustik 19

Klasifikasi E1 dan E2 20

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 21

Identifikasi Visual 21

Data Akustik 22

Kuantifikasisi Nilai Surface Backscattering Strength (SS) 25

Energi dan Bentuk Echo Volume Backscattering Strength (SV) 29

Kuantifikasi Nilai E1 dan E2 34

Rasio E1 dan E2 39

Uji Ragam E1 dan E2 40

(12)

DAFTAR ISI (lanjutan)

5 SIMPULAN DAN SARAN 49

Simpulan 49

Saran 49

DAFTAR PUSTAKA 50

LAMPIRAN 54

(13)

27

DAFTAR TABEL

1 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian 14

2 Spesifikasi echosounder single beam CruzPro PcFF80 15

3 Parameter dan setingan alat CruzPro PcFF80 untuk perekaman data

akustik 16

4 Hasil pengukuran dimensi karang dan pasir yang diamati 21

5 Nilai rata-rata surface backscattering strength (SS) karang dan pasir

frekuensi 200 kHz 26

6 Nilai rata-rata surface backscattering strength (SS) karang dan pasir

frekuensi 50 kHz 27

7 Hasil uji Tukey HSD nilai rata-rata SS (α = 0.05) 29

8 Nilai rata-rata E1 karang dan pasir frekuensi 200 kHz 35

9 Nilai rata-rata E2 karang dan pasir frekuensi 200 kHz 35

10 Nilai rata-rata E1 karang dan pasir frekuensi 50 kHz 36

11 Nilai rata-rata E2 karang dan pasir frekuensi 50 kHz 36

12 Rasio E2 dan E1 pantulan akustik karang dan pasir 40

13 Hasil uji Tukey HSD nilai rata-rata E1 dan E2 (α = 0.05) 41

14 Matriks klasifikasi pantulan E1 dan E2 44

15 Matriks klasifikasi kelas kategori pantulan E1 dan E2 46

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian 5

2 Bentuk-bentuk pertumbuhan karang 8

3 Proses deteksi dua dasar perairan yang berbeda 9

4 Refleksi dan scattering gelombang datang pada permukaan yang kasar (atas) dan specular refleksi dan bidang scattering dengan tingkat

kekasaran permukaan yang berbeda (bawah) 10

5 Bentuk kurva dasar perairan yang keras dan lunak; (a) amplitudo sinyal

echo dan (b) kurva energi kumulatif 11

6 Bentuk echo pantulan substrat pasir menggunakan CruzPro PcFF80 12

7 Lokasi penelitian 14

8 Diagram alir proses perekaman data akustik 17

9 Bentuk tipe karang dan substrat dasar perairan; a. ACB, b. CM, c. ACT,

d. CM, e. RB, f. DC dan g. SD 22

10 Echogram hasil perekaman akustik Acropora branching; frekuensi 200

kHz (kiri) dan frekuensi 50 kHz (kanan) 23

11 Echogram hasil perekaman akustik Coral massive, Acropora tabulate, dan Coral mushroom; frekuensi 200 kHz (kiri) dan frekuensi 50 kHz

(kanan) 24

12 Echogram hasil perekaman akustik rubble/patahan karang, pasir dan

Coral massive mati/karang mati; frekuensi 200 kHz (kiri) dan frekuensi

50 kHz (kanan) 25

13 Nilai SS karang dan pasir beberapa hasil penelitian (pengolahan data

(14)

DAFTAR GAMBAR (lanjutan)

14 Bentuk Echo envelope SV Coral mushroom (CMR); frekuensi 200 kHz

(biru) dan frekuensi 50 kHz (merah) 30

15 Bentuk Echo envelope SV pasir (SD); frekuensi 200 kHz (biru) dan

frekuensi 50 kHz (merah) 31

16 Bentuk Echo envelope SV rubble (RB); frekuensi 200 kHz (biru) dan

frekuensi 50 kHz (merah) 31

17 Bentuk Echo envelope SV Coral massive (CM); frekuensi 200 kHz

(biru) dan frekuensi 50 kHz (merah) 32

18 Bentuk Echo envelope SV Acropora tabulate (ACT); frekuensi 200 kHz

(biru) dan frekuensi 50 kHz (merah) 32

19 Bentuk Echo envelope SV Coral massive mati (DC); frekuensi 200 kHz

(biru) dan frekuensi 50 kHz (merah) 33

20 Bentuk Echo envelope SV Acropora branching (ACB); frekuensi 200

kHz (biru) dan frekuensi 50 kHz (merah) 33

21 Boxplot nilai E1 (atas) dan E2 (bawah) frekuensi 200 kHz 38

22 Boxplot nilai E1 (atas) dan E2 (bawah) frekuensi 50 kHz 38

23 Dendrogram cluster tipe karang dan pasir berdasarkan nilai E1 dan E2

frekuensi 200 kHz 42

24 Dendrogram cluster tipe karang dan pasir berdasarkan nilai E1 dan E2

frekuensi 50 kHz 43

25 Scatterplot pantulan E1 dan E2; (a) frekuensi 200 kHz dan (b) frekuensi

50 kHz 45

26 Pengelompokkan pantulan E1 dan E2 karang dalam kelas kategori berdasarkan analisis cluster pantulan E1 dan E2; (a) frekuensi 200 kHz

dan (b) frekuensi 50 kHz 48

DAFTAR LAMPIRAN

1 Transduser yang digunakan pada penelitian 54

2 Dokumentasi pengambilan data penelitian 55

3 Sintax program (m-file) MATLAB 56

4 Hasil analisis statistik (Tukey HSD) nilai SS 58

5 Hasil analisis statistik (Tukey HSD) nilai SV (E1 dan E2) 60

(15)

29

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sebagai Negara kepulauan dengan wilayah laut yang sangat luas, Indonesia memiliki sumberdaya alam hayati laut yang besar. Salah satu sumber daya alam tersebut adalah ekosistem terumbu karang. Terumbu karang Indonesia juga termasuk dalam wilayah segitiga karang dunia (coral triangel) yang merupakan pusat keanekaragaman hayati dunia. Mengingat wilayah perairan Indonesia yang sangat luas dengan keindahan laut berupa ekosistem terumbu karang yang memiliki peranan yang sangat penting bagi organisme lainnya, maka perlu dilakukan pemantauan dan kajian terhadap ekosistem terumbu karang secara terus-menerus dan berkesinambungan.

Pemantauan dan pengamatan terumbu karang yang merupakan salah satu komponen dalam pengelolaan sebuah kawasan perlu dilakukan untuk mengetahui penurunan atau peningkatan kualitas kondisi terumbu karang. Pengamatan dan monitoring kondisi terumbu karang dapat dilakukan dengan berbagai metode tergantung pada tujuan survei, waktu yang tersedia, tingkat keahlian peneliti, dan ketersediaan sarana dan prasarana. Meskipun telah banyak metode monitoring pada saat ini, namun masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga dapat dikatakan belum ada suatu metode yang memuaskan sehingga menyebabkan sulitnya menggambarkan suatu kondisi terumbu karang. Masalah ini disebabkan antara lain terumbu karang yang tumbuh ditempat geografis yang berbeda mempunyai tipe dan bentuk yang berbeda dan mencakup skala spasial yang luas hingga kedalaman.

Teknologi hidroakustik memanfaatkan pencarian bawah laut dengan suara yang kuat untuk mendeteksi, mengamati dan menghitung parameter fisik dan biologi. Teknologi hidroakustik merupakan metode yang populer digunakan selama bertahun-tahun dalam survei sumber daya perikanan. Penelitian di bidang hidroakustik terus mengalami perkembangan yang signifikan. Berdasarkan teori dan formula hidroakustik, teknik ini sekarang sedang diadopsi untuk melakukan survei terumbu karang. Adanya kebutuhan yang terus meningkat untuk mengklasifikasi dan memetakan ekosistem laut di berbagai skala spasial dalam mendukung ilmu pengetahuan berbasis ekosistem untuk pengelolaan laut (Anderson et al. 2008).

Teknologi hidroakustik telah banyak digunakan untuk memetakan dan mengklasifikasikan dasar perairan dan kandungan sumberdaya hewan bentik yang ada di dasar perairan, tipe substrat dan biota bentik. Perkembangan dalam mengklasifikasikan substrat dasar perairan dan vegetasi bawah air membuat hidroakustik sebagai alat yang efektif untuk memantau dan pemetaan parameter habitat di ekosistem air. Selain itu, dengan menggunakan teknologi hidroakustik dapat membedakan dan mengelompokkan berbagai tipe substrat dasar perairan. Perbedaan tipe dasar perairan dapat digambarkan melalui tingkat kekasaran (roughness) dan kekerasan (hardness) dasar perairan seperti batu, pasir, lumpur atau campurannya (Siwabessy 2001; Penrose et al. 2005).

Metode hidroakustik dengan menggunakan echosounder single beam,

(16)

memberikan solusi untuk pendeteksian dan pemetaan habitat dasar laut (Anderson

et al. 2008). Berbagai penelitian untuk mengklasifikasikan dan memetakan

substrat dasar perairan menggunakan metode akustik dengan penggunaan berbagai tipe instrumen yang berbeda telah dilakukan. Gleason et al. (2008) memetakan dasar perairan dengan menggunakan alat QTC series V system, Demer et al. (2009) dapat membedakan echo ikan, zooplankton dan dasar perairan dengan menggunakan echosounder multy frequency Simrad EK60 dan Schimel et al. (2010) memetakan habitat bentik dengan menggunakan echosounder single beam,

echosounder multy beam dan sidescan sonar.

Penerapan teknologi hidroakustik di Indonesia dalam kegiatan penelitian dan pengembangan kelautan telah berjalan, namun tak dapat dipungkiri bahwa penerapan teknologi akustik masih sangat terbatas. Misalnya, dalam dunia perikanan baru sampai tahap inventarisasi sumberdaya ikan. Penerapan metode akustik oleh peneliti Indonesia untuk pemantauan dan klasifikasi dasar perairan (Pujiyati 2008; Manik 2012), vegetasi perairan (Deswanti 2009) dan terumbu karang sudah mulai dilakukan. Manuhutu (2010) dan Bemba (2011) telah melakukan identifikasi dan klasifikasi beberapa tipe karang dengan menggunakan instrumen echosounder split beam SIMRAD EY 60. Dibandingkan penerapan di bidang survei perikanan, penerapan teknologi hidroakustik pada ekosistem terumbu karang sampai saat ini masih sangat sedikit dilakukan.

Echosounder single beam merupakan instrumen akustik yang paling

sederhana yang hanya memiliki beam tunggal untuk mendeteksi target masuk dalam cakupan pancarannya. Dibandingkan dengan teknologi echosounder split

beam, dimana echosounder split beam menggunakan receiving transducer yang

dibagi menjadi empat kuadran. Pemancaran gelombang suara dilakukan dengan

full beam dan sinyal dari target diterima oleh masing-masing kuadran serta

outputnya merupakan gabungan dari keempat kuadran yang membentuk suatu full

beam, namun menurut Anderson et al. (2008) terdapat beberapa kelebihan

penggunaan echosounder single beam untuk survei substrat dasar perairan yang meliputi ketersediaan alat dan telah digunakan secara luas, efisiensi dan prosedur pengolahan data yang standar, pengoperasian alat yang relatif mudah serta tingkat akurasi tinggi baik dalam resolusi maupun presisi hasil. Pada penelitian ini akan digunakan echosounder single beam CruzPro PcFF80 dual frekuensi (200 dan 50 kHz) untuk mendeteksi sinyal pantulan akustik dari beberapa tipe karang dan substrat dasar perairan. Penggunaan dual frekuensi akustik dengan tujuan untuk mengetahui respon target terhadap frekuensi yang digunakan.

Rumusan Masalah

Selama bertahun-tahun, teknik survei karang sangat tergantung pada pengukuran langsung dan melalui sensus dengan metode SCUBA diving. Teknik survei SCUBA diving masih yang paling dapat diandalkan untuk saat ini, karena memungkinkan pengumpulan data secara langsung. Namun, hampir tidak mungkin untuk menghasilkan peta skala luas dengan metode SCUBA diving dan dapat menimbulkan risiko tinggi untuk penyelam serta memakan waktu dan biaya yang mahal. Metode ini juga dibatasi oleh kedalaman air, arus pasang surut, cuaca buruk dan jarak pandang. Seiring berjalannya waktu, teknik penginderaan jauh

(17)

31

diperkenalkan sebagai alat survei baru. Melalui teknik interpretasi GIS berbagai jenis citra satelit, peta tematik karakteristik fisik dari perairan dapat diperoleh, termasuk memetakan terumbu karang. Namun, penginderaan jauh pada terumbu karang hanya terbatas pada identifikasi fitur karang umum di perairan dangkal, belum bisa membedakan terumbu karang sampai tingkatan yang lebih detail, bahkan tidak ada citra sistem satellite remote sensing yang mampu membedakan spesies karang dan membedakan tingkat kekasaran (roughness) substrat perairan dangkal (Mumby et al. 2004).

Kemajuan teknik pemetaan dasar perairan menggunakan sistem hidroakustik yang dikombinasikan dengan data sampling lapangan (ground truth) memberikan potensi untuk pemetaan dan monitoring ekosistem dasar laut (Brown

et al. 2005). Dibandingkan dengan teknik monitoring karang lainnya, selain sifat

non-intrusif, metode hidroakustik memiliki keuntungan pada pengumpulan data yang dapat dilakukan hampir secara terus-menerus. Salah satu metode untuk mendapatkan informasi mengenai tipe dasar laut termasuk tipe substrat terumbu karang dapat dilakukan dengan menggunakan metode hidroakustik echosounder

single beam.

Parameter fisik dasar perairan yang bervariasi akan mempengaruhi pantulan sinyal akustik, seperti tingkat kekasaran dan kekerasan dasar perairan, ukuran butiran sedimen dan relief dasar (Thermo et al. 1988; Demer et al. 2009; Pujiyati et al. 2010) dapat mempengaruhi proses hamburan balik sinyal akustik. Klasifikasi dasar perairan menggunakan metode akustik single beam telah mengungkapkan kemampuannya untuk membedakan berbagai jenis dasar perairan dan mengelompokkannya dengan sifat akustik yang berbeda (Freitas et al. 2008). Hasil ini menunjukkan bahwa respon akustik tergantung pada kekasaran permukaan, ukuran butir sedimen, ada atau tidak adanya puing-puing kerang dan beberapa spesies infauna, sifat tekstur dan porositas sedimen. Ekosistem terumbu karang yang terdiri dari berbagai bentuk pertumbuhan, tipe karang (hard coral,

soft coral) dan substrat yang tentunya akan memiliki karakteristik yang berbeda

pula antara tipe karang dan substrat yang satu dengan lainnya. Perbedaan karakteristik antar tipe tersebut akan sangat berpengaruh terhadap kuat hambur balik sinyal akustik yang akan diterima transduser.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan: (1) kemampuan instrumen hidroakustik yang akan digunakan untuk membedakan karakteristik pantulan akustik berbagai tipe karang, dan (2) tingkat keakuratan hasil yang diperoleh untuk mengklasifikasikan pantulan akustik (E1 dan E2) berbagai tipe karang.

Kerangka Pemikiran

Informasi mengenai identifikasi dan klasifikasi berbagai tipe dasar perairan selama ini masih mengalami kendala, terutama pada ekosistem terumbu karang yang masih belum banyak dikaji. Penentuan klasifikasi karang dengan akurasi tinggi sangat dibutuhkan untuk proses klasifikasi tiap tipe karang dan substrat. Metode akustik merupakan solusi yang efektif untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi tipe karang dan substrat secara cepat dan akurat. Identifikasi dan klasifikasi tipe karang didasarkan pada nilai kuat pantulan balik, karakter dan 3

(18)

bentuk echo yang diperoleh dapat digunakan untuk klasifikasi tipe karang dan dasar perairan secara langsung.

Kemajuan teknologi akustik untuk kuantifikasi dan klasifikasi pantulan akustik dasar perairan sudah banyak dikembangkan dengan kemampuan dan keunggulan masing-masing berdasarkan metode yang digunakan. Berbagai teknik dan metode pengukuran kuat pantulan balik dengan menggunakan echosounder

single beam telah dilakukan, seperti echosounder single beam CruzPro PcFF80

telah digunakan untuk membedakan energi hambur balik sedimen dasar perairan seperti pasir, lumpur dan lempung (Manik 2012). Hasil penelitian oleh Foster et

al. (2009) menunjukkan bahwa data akustik single beam Biosonics DT-X dapat

digunakan untuk mengkategorikan habitat bentik terumbu karang.

Transduser yang digunakan untuk perekaman data dapat ditempatkan pada sebuah rangka yang telah dimodifikasi untuk menghindari pengaruh gelombang. Pada penelitian ini akan digunakan dua frekuensi akustik. Hasil yang diperoleh dengan metode akustik dapat dikombinasikan dengan hasil observasi visual melalui pengambilan foto atau gambar. Kombinasi hasil metode akustik dan teknik visual akan memberikan hasil yang lebih baik dalam identifikasi dan klasifikasi tipe karang dan substrat selain karang serta dapat memudahkan dalam melakukan evaluasi. Klasifikasi dan pengelompokkan tipe karang dan pasir kedalam kelas atau kategori tertentu didasarkan pada perbandingan nilai volume

backscattering strength (SV) yang diperoleh dari nilai kekasaran (E1) dan nilai

kekerasan (E2).

Secara skematik diagram alir kerangka pemikiran dan pencapaian tujuan pada penelitian ini dideskripsikan pada Gambar 1.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi, menganalisis karakteristik dan mengklasifikasikan tipe karang dan substrat dasar perairan berdasarkan energi

backscattering strength atau pantulan balik akustik yang terdiri dari surface backscattering strength (SS) dan volume backscattering strength (SV)

menggunakan instrumen echosounder single beam CruzPro PcFF80 frekuensi 50 dan 200 kHz.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa gambaran karakteristik pantulan akustik yang dihasilkan oleh berbagai tipe karang dan substrat dasar lainnya. Karakteristik pantulan akustik tiap karang dan substrat yang dihasilkan dalam penelitian ini nantinya dapat dijadikan sebagai acuan untuk kegiatan pengklasifikasian dan pemetaan ekosistem terumbu karang dengan metode hidroakustik.

(19)

33 Klasifikasi Identifikasi visual Foto/gambar Post-processing Penyelaman Observasi visual

Echosounder single beam (CruzPro) - 50 kHz

- 200 kHz Metode Hidroakustik

Identifikasi dan klasifikasi tipe karang dan substrat

Gambar 1 Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian

Tipe karang dan substrat

Validasi Kuantifikasi energi

backscattering strength karang dan substrat

Raw data: - 50 kHz - 200 kHz E1 (kekasaran): - 50 kHz - 200 kHz E2 (kekerasan): - 50 kHz - 200 kHz 5

(20)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Ekosistem Terumbu Karang

Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan masif kalsium karbonat (CaCO3) yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (karang

hermartipik) dari filum Cnidaria, ordo Scleractinia yang hidup bersimbiosis

dengan zooxantellae, dan sedikit tambahan dari algae berkapur serta organisme lain yang menyekresi kalsium karbonat (Bengen 2002). Organisme-organisme yang dominan hidup adalah binatang-binatang karang yang mempunyai kerangka kapur dan algae yang banyak diantaranya juga mengandung kapur. Berkaitan dengan terumbu karang diatas dibedakan antara binatang karang atau karang (reef

coral) sebagai individu organisme atau komponen dari masyarakat dan terumbu

karang (coral reef) sebagai suatu ekosistem (Sorokin 1993).

Pembentukan terumbu karang merupakan proses yang lama dan kompleks. Berkaitan dengan pembentukan terumbu, karang terbagi atas dua kelompok yaitu karang yang membentuk terumbu (hermatipik) dan karang yang tidak dapat membentuk terumbu (ahermatipik). Menurut Dahuri (2003), kemampuan menghasilkan terumbu disebabkan oleh adanya sel-sel tumbuhan yang bersimbiosis di dalam jaringan karang hermatipik yang dinamakan zooxanthellae. Sel-sel yang merupakan sejenis algae tersebut hidup dalam jaringan-jaringan polip karang, serta melaksanakan fotosintesa. Hasil samping dari aktivitas fotosintesa tersebut adalah endapan kalsium karbonat (CaCO3) yang struktur dan bentuk bangunannya khas. Ciri ini akhirnya digunakan untuk menentukan jenis atau spesies binatang karang.

Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem pesisir yang berperan penting dalam kelangsungan hidup biota perairan yaitu sebagai sumber makanan dan habitat bagi makhluk hidup yang kehidupannya berasosiasi dengan lingkungan perairan, sebagai habitat berbagai jenis biota komersial, menyokong industri pariwisata, menyediakan pasir untuk pantai, dan sebagai penghalang terjangan ombak dan erosi pantai (Westmacott et al. 2000). Menurut Dahuri (2003) bahwa tingginya produktivitas primer di perairan terumbu karang memungkinkan perairan ini sering dijadikan sebagai tempat pemijahan (spawning

ground), pengasuhan (nursery ground) dan mencari makan (feeding ground) dari

kebanyakan ikan. Oleh karena itu secara otomatis produksi ikan di daerah terumbu karang sangat tinggi.

Bentuk Pertumbuhan Karang

Karang memiliki variasi bentuk pertumbuhan koloni yang berkaitan dengan kondisi lingkungan perairan (Gambar 2). Berbagai jenis bentuk pertumbuhan karang dapat dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari,

hydrodinamis (gelombang dan arus), ketersediaan bahan makanan, sedimen dan

faktor genetik.

Berdasarkan bentuk pertumbuhannya karang batu terbagi atas karang

Acropora dan non-Acropora (English et.al. 1994). Perbedaan karang Acropora

(21)

35

memiliki bagian yang disebut axial koralit dan radial koralit, sedangkan karang non-Acropora hanya memiliki radial koralit.

Bentuk pertumbuhan karang non-Acropora terdiri atas:

1) Bentuk Bercabang (branching), memiliki cabang lebih panjang daripada diameter yang dimiliki, banyak terdapat di sepanjang tepi terumbu dan bagian atas lereng, terutama yang terlindungi atau setengah terbuka. Bersifat banyak memberikan tempat perlindungan bagi ikan dan invertebrata tertentu.

2) Bentuk Padat (massive), dengan ukuran bervariasi serta beberapa bentuk seperti bongkahan batu. Permukaan karang ini halus dan padat, biasanya ditemukan di sepanjang tepi terumbu karang dan bagian atas lereng terumbu karang.

3) Bentuk Kerak (encrusting), tumbuh menyerupai dasar terumbu dengan permukaan yang kasar dan keras serta berlubang-lubang kecil, banyak terdapat pada lokasi yang terbuka dan berbatu-batu, terutama mendominasi sepanjang tepi lereng terumbu. Bersifat memberikan tempat berlindung untuk hewan-hewan kecil yang sebagian tubuhnya tertutup cangkang.

4) Bentuk lembaran (foliose), merupakan lembaran-lembaran yang menonjol pada dasar terumbu, berukuran kecil dan membentuk lipatan atau melingkar, terutama pada lereng terumbu dan daerah-daerah yang terlindung. Bersifat memberikan perlindungan bagi ikan dan hewan lain.

5) Bentuk jamur (mushroom), karang yang berbentuk oval dan tampak seperti jamur, memiliki banyak tonjolan seperti punggung bukit beralur dari tepi hingga pusat mulut.

6) Bentuk submasif (submassive), bentuk kokoh dengan tonjolan-tonjolan atau kolom-kolom kecil

7) Karang api (Millepora), semua jenis karang api yang dapat dikenali dengan adanya warna kuning di ujung koloni dan rasa panas seperti terbakar bila disentuh

8) Karang biru (Heliopora), dapat dikenali dengan adanya warna biru pada rangkanya

Bentuk pertumbuhan karang Acropora sebagai berikut:

1) Acropora bentuk cabang (Acropora branching), bentuk bercabang seperti ranting pohon.

2) Acropora meja (Acropora tabulate), bentuk bercabang dengan arah mendatar dan rata seperti meja. Karang ini ditopang dengan batang yang berpusat atau bertumpu pada satu sisi membentuk sudut atau datar.

3) Acropora merayap (Acropora encrusting), bentuk merayap, biasanya terjadi pada Acropora yang belum sempurna.

4) Acropora Submasif (Acropora submassive), percabangan bentuk gada atau lempeng dan kokoh.

5) Acropora berjari (Acropora digitate), bentuk percabangan rapat dengan cabang seperti jari-jari tangan

(22)

Gambar 2 Bentuk-bentuk pertumbuhan karang (English et al. 1994)

Backscattering Dasar Perairan

Metode hidroakustik mampu melakukan pengukuran terhadap besar kecilnya pantulan dasar perairan dari berbagai tipe partikel. Gelombang akustik yang terjadi pada permukaan antara kolom air dan dasar laut yang mencakup pantulan dan pembauran pada daerah tersebut dan transmisi pada medium kedua. Proses ini secara umum ditentukan oleh beda impedansi akustik antara kedua medium (Siwabessy 2001).

Dasar perairan memiliki karakteristik dalam memantulkan dan menghamburkan kembali gelombang suara seperti halnya pada permukaan perairan. Efek pantulan dan backscattering yang dihasilkan dasar perairan lebih kompleks karena sifat dasar laut yang tersusun dari berbagai unsur mulai dari

(23)

37

lapisan bebatuan yang kasar hingga lempung dan tersusun atas lapisan-lapisan yang memiliki komposisi yang berbeda (Urick 1983). Keras atau lunaknya dasar perairan akan memberikan pengaruh terhadap intensitas pantulan yang dikembalikan (Gambar 3). Dasar perairan yang keras memiliki pantulan yang lebih besar dari dasar perairan yang halus dan seterusnya (Siwabessy 2001).

Gambar 3 Proses deteksi dua dasar perairan yang berbeda (Hamouda dan Abdel-Salam 2010)

Besarnya tingkat penetrasi dan pantulan (refleksi) dasar perairan juga dipengaruhi oleh jenis sedimen. Dasar perairan atau sedimen yang memiliki sifat yang lebih keras akan memberikan pantulan dengan nilai amplitudo yang lebih besar (Hamilton 2001). Nilai backscattering strength dipengaruhi oleh perbedaan impedansi akustik sebagai faktor utama, selain itu juga dipengaruhi oleh tingkat kekasaran (roughness) permukaan sedimen dan volume heterogenitas sedimen (Fonseca dan Mayer 2007).

Gelombang akustik yang dihamburkan secara acak karena ketidakteraturan dari dasar perairan mencakup kekasaran dari permukaan sedimen dasar perairan, variasi ruang dalam sifat fisis sedimen dan masukan oleh kulit karang atau gelembung. Pada frekuensi tinggi, semua dasar perairan memiliki banyak ketidakteraturan pada skala gelombang akustik (Jackson dan Richardson 2006). Pengaruh relief dasar perairan pada gelombang akustik yang datang sangat dipengaruhi oleh penggunaan frekuensi akustik, sudut insiden dan karakteristik relief dasar perairan itu sendiri, karena bentuk geometrinya, perbedaan relief dasar perairan (kekasaran) akan menyebarkan gelombang insiden di segala penjuru. Kekasaran permukaan dasar perairan yang rendah akan menyebabkan komponen specular relatif lebih besar dan hamburan yang rendah. Sebaliknya, kekasaran permukaan yang tinggi akan sangat melemahkan komponen specular dan hamburan yang tinggi serta menyebar ke segala arah (Lurton 2002). Proses

backscattering dasar perairan dapat dilihat pada Gambar 4.

(24)

Gambar 4 Refleksi dan scattering gelombang datang pada permukaan yang kasar (atas) dan specular refleksi dan bidang scattering dengan tingkat kekasaran permukaan yang berbeda (bawah) (Lurton 2002)

Aplikasi Metode Akustik untuk Dasar Perairan

Klasifikasi dasar perairan memerlukan sistem akuisisi data akustik dan algoritma untuk menganalisis data dan untuk menentukan jenis dasar laut. Penggunaan sistem klasifikasi dasar laut telah terintegrasi dengan kombinasi perangkat keras dan perangkat lunak. Pengolahan data tergantung pada ekstraksi fitur karakteristik dari echo dasar laut. Proses verifikasi hasil dapat dilakukan dengan pengambilan sampling substrat dasar perairan dan pengamatan dapat dilakukan oleh penyelam atau penggunaan kamera bawah air serta data yang diperoleh harus dicatat sebagai data akustik. Setelah diverifikasi, hasil disimpan sehingga jenis dasar perairan dapat diketahui dan dapat dibandingkan dengan data dari sinyal echo (Burczynski 2002).

Kemampuan teknologi akustik untuk mengklasifikasikan substrat dasar perairan dan vegetasi bawah air pada dasarnya adalah kemampuan untuk mengumpulkan data akustik berdasarkan kedalaman, tipe substrat, tutupan dan tinggi vegetasi, kelimpahan serta distribusi vegetasi (Hoffman et al. 2002). Kekuatan energi akustik yang dipantulkan dari dasar perairan dengan echosounder

single beam telah digunakan untuk mengklasifikasikan jenis dasar perairan dalam Acoustics Discrimination System (ADS). Dasar teknik ini adalah bahwa jumlah

energi yang berbeda akan terpantulkan atau tersebar dari dasar laut berdasarkan perbedaan impedansi akustik antara jenis dasar dan kolom air. Misalnya, dasar laut yang lembut seperti lumpur akan memiliki reflektansi pantulan yang berbeda dengan dasar laut yang keras seperti batu.

Sistem akustik echosounder single beam komersil telah dikembangkan dan diterapkan untuk klasifikasi dasar perairan. Beragam fitur atau bentuk hasil akustik dapat digunakan untuk mengklasifikasikan dasar perairan dengan sistem

(25)

39

single beam echosounder. Contoh fitur hasil SBES seperti: energi echo pertama

(E1) dan kedua (E2) dasar perairan (Siwabessy et al. 2000) atau parameter untuk menggambarkan spektrum, echo envelope atau amplitudo echo pertama (E1) (Anderson et al. 2002; Ellingsen et al. 2002).

Amplitudo dan bentuk sinyal akustik yang dipantulkan dari dasar perairan ditentukan oleh kekasaran dasar perairan, perbedaan densitas antara air dengan dasar perairan dan reverberasi yang terjadi di dalam substrat. Klasifikasi dasar perairan memerlukan sistem akuisisi data akustik dan suatu algoritma yang menganalisis data, menentukan jenis dasar perairan dan menghubungkannya dengan hasil klasifikasi akustik terhadap sifat fisik sedimen perairan.

Gambar 5 memperlihatkan contoh echo dari dasar perairan yang keras dan lunak. Nilai amplitudo dari echo dikuadratkan, melalui pengintegrasian echo dan kemudian kurva kumulatif dari echo dasar perairan. Perbedaan yang nyata akan terlihat dari bentuk yang berbeda antara energi kumulatif dari sinyal dasar perairan yang keras dan lunak. Dasar perairan yang keras akan menghasilkan kurva dengan peningkatan yang tajam sementara bagian dasar perairan yang lunak akan menghasilkan kurva yang meningkat dengan kemiringan yang relatif rendah. Echo yang berasal dari dasar perairan yang ditampilkan dalam bentuk energi kumulatif dapat disimpan dalam database (Burczynski 1999).

Gambar 5 Bentuk kurva dasar perairan yang keras dan lunak; (a) amplitudo sinyal echo dan (b) kurva energi kumulatif (Burczynski 1999)

Pada saat gelombang akustik mengenai permukaan dasar perairan, sebagian energi akan menembus dasar perairan dan sebagian kembali ke transduser. Pada normal incidence, echo pertama (E1) memberikan pentulan lebih kuat karena reflektifitas dari permukaan laut dan bagian ekor E1 adalah

backscatter dari substrat dekat permukaan (Gambar 6). E1 disebut sebagai tingkat

kekasaran (roughness) dasar laut. E1 berkorelasi dengan topografi, ukuran butiran 11 11

(26)

substrat dan redaman dari bagian dekat permukaan dasar laut. Misalnya, kekasaran dasar laut atau ukuran butiran besar memberikan hasil hamburan (scattering) yang lebih kompleks, seperti yang ditunjukkan oleh echo envelope E1 yang luas dengan amplitudo rendah, dibandingkan dengan dasar permukaan yang datar. Pada envelope pantulan E1 yang sempit akan memiliki amplitudo yang lebih tinggi. Pada echo kedua (E2), pantulan terutama berasal dari hamburan yang kompleks yang disebabkan oleh pembiasan dari permukaan laut dan substrat (Gambar 6). E2 disebut sebagai tingkat kekerasan (hardness) dasar laut. E2 bervariasi ketika gelombang suara menembus permukaan dasar laut dan dipantulkan oleh lapisan substrat dengan kepadatan yang berbeda. Intensitas

backscatter yang dihasilkan dari dasar laut yang terdiri dari batuan secara

signifikan lebih besar daripada substrat berpasir. Tanggapan sudut dari dasar laut dapat bervariasi dalam footprint akustik dan reflektifitas tinggi diharapkan pada titik nadir. Oleh karena itu, lebar footprint dan sudut insiden sangat penting untuk klasifikasi dasar perairan. Respon sudut dari dasar laut meningkatkan kemampuan untuk membedakan kategori ukuran butir dasar laut (pasir, kerikil, dan batu bulat). Aplikasi scientific echosounder sejauh ini telah digunakan untuk kuantifikasi dasar perairan. Hasil penelitian Manik (2012), menunjukkan adanya perbedaan energi backscattering strength beberapa sedimen dasar perairan seperti pasir (sand), lumpur (silk) dan lempung (clay) menggunakan echosounder single

beam model CruzPro PcFF80. Echosounder single beam CruzPro PcFF80 dapat

pula digunakan untuk membedakan pantulan pertama (E1) dan pantulan kedua (E2) substrat. Gambar 6 menampilkan bentuk dan intensitas echo substrat pasir menggunakan echosounder single beam CruzPro PcFF80.

Gambar 6 Bentuk echo pantulan substrat pasir menggunakan CruzPro PcFF80 (Manik 2012)

(27)

41

Echo pantulan pertama (E1) secara langsung berasal dari dasar perairan dan echo pantulan kedua (E2) direfleksikan dua kali, yaitu dari dasar laut dan sekali oleh permukaan laut dan lambung kapal. Interaksi ganda pada echo kedua sangat kuat dipengaruhi oleh tingkat kekerasan dari dasar perairan, kemudian efek kekasaran menjadi sekunder. Bentuk dan energi echo sangat tergantung pada jenis dasar perairan, khususnya berkaitan dengan tingkat kekasaran dan kekerasan dasar perairan. Bentuk echo juga dapat dipengaruhi oleh karakteristik echosounder,

reflector pada sub-surface melalui volume reverberasi. Akuisisi dan klasifikasi echo envelope memungkinkan tipe dasar untuk disimpulkan dari karakteristik

energi dan bentuk echo (Penrose et al. 2005).

Hamilton (2001) menyebutkan bahwa pada beberapa kasus terkadang nilai

second echo tidak didapatkan pada daerah dasar perairan berbatu yang umumnya

memiliki struktur yang lebih kasar. Kasus yang sama juga dapat terjadi pada dasar pasir yang bergelombang, karena adanya energi yang hilang akibat hamburan yang disebabkan oleh bentuk dasar perairan. Menurut Demer et al. (2009) bahwa suara yang dipantulkan dari dasar perairan tergantung pada panjang gelombang akustik, reflektifitas dasar laut, kekasaran, dan kemiringan (slope). Relief dasar perairan juga dapat menentukan echo akustik dasar laut karena suara yang dipancarkan dapat menembus ke dalam sedimen dan sub-bottom dasar perairan (Manik 2012).

3 METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember 2012 hingga Agustus 2013 yang meliputi tahapan persiapan, pengambilan data lapangan, pengolahan dan analisis data hingga penulisan tesis. Pengambilan data lapangan berlokasi di Pulau Panggang, Pulau Karangberas dan gugus karang Pramuka, Kepulauan Seribu (Gambar 7). Pengolahan dan analisis data dilaksanakan di Laboratorium Akustik dan Instrumentasi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB.

Alat dan Bahan Penelitian

Alat dan bahan yang digunakan untuk pengambilan data lapangan, baik yang digunakan pada observasi visual maupun pada perekaman data akustik disajikan pada Tabel 1. Spesifikasi echosounder single beam yang digunakan untuk perekaman data akustik pada Tabel 2. Adapun gambar dan ukuran dimensi transduser yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 1.

(28)

Gambar 7 Lokasi penelitian

Tabel 1 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian

Alat dan bahan Tipe Kegunaan

Echosounder Single beam, Scientific Echosounder (CruzPro

PcFF80)

Perekaman data akustik karang dan pasir

Laptop HP dan Compaq Perekaman, penyimpanan,

pemrosesan dan pengolahan data perekaman akustik

Global Positioning System (GPS)

Garmin Penentuan posisi dalam

pengambilan data

Alat penyelaman SCUBA/snorkeling Alat bantu observasi visual

dan klasifikasi jenis karang

Underwater camera Canon Dokumentasi penelitian

Meteran/transek - Pemasangan transduser,

pengukuran luas permukaan karang

Kapal Kapal nelayan Sarana atau tempat

pemasangan alat survei akustik

(29)

43

Tabel 2 Spesifikasi echosounder single beam CruzPro PcFF80

Spesifikasi Besaran

Tipe transduser THDT-5 Long Stem Bronze Thru Hull

Transducer

Frekuensi transduser Dual frekuensi, 50 kHz dan 200 kHz

Operating voltase 9.5 to 16.0 VDC, 0.05 amps nominal, 4.7 amps

peak at max power

Output power 2560 watts peak-to-peak (320W RMS)

24KW DSP processed power (3200 WRMS)

Kedalaman 1000 feet atau lebih (200 kHz)

1500 feet atau lebih (50 kHz)

Temperatur 0 to 50 oC ( 32 to 122 oF)

Kotak interface 100 x 80 x 50 mm (4 x 3.2 x 2 inch).

Powder Coated Aluminum Extrusion

Interface RS-232, 115 KBaud, serial data and USB

Source level 163 dB (200 kHz), 156 dB(50 kHz)

Receiving sensitivity -185 dB (200 kHz), -173 dB(50 kHz)

Beam width 11o (200 kHz), 45o (50 kHz)

Diameter transduser 6 cm

Sumber: Cruzpro 2005

Metode Pengambilan Data

Pengambilan data pada penelitian ini dilaksanakan dengan dua cara, yaitu dengan observasi visual (pengamatan langsung) dan menggunakan metode akustik. Pengambilan data dengan kedua metode tersebut dilakukan secara

stasioner (stasiun tetap). Kriteria penentuan titik stasiun pengambilan data yaitu

dengan menitik-beratkan pada tipe karang yang memiliki tutupan permukaan yang tinggi (homogen) untuk tiap tipe karang.

Observasi Visual

Observai visual dilakukan untuk menentukan lokasi atau titik stasiun pengambilan data substrat yang menjadi objek penelitian. Tujuan observasi visual adalah untuk mengidentifikasi tipe karang, pengukuran luasan tutupan permukaan karang dan pengambilan dokumentasi karang dengan menggunakan underwater camera. Hasil observasi visual nantinya akan digunakan untuk memvalidasi data yang diperoleh dengan metode akustik. Observasi visual akan dilakukan dengan cara penyelaman SCUBA atau snorkeling pada stasiun pengamatan sebelum proses pengambilan data akustik.

Perekaman Data Akustik

Alat yang digunakan untuk perekaman data akustik adalah echosounder

single beam CruzPro PcFF80 dengan tipe transduser THDT-5 Long Stem Bronze Thru Hull yang digunakan sebagai alat proses sounding dasar perairan untuk

mengidentifikasi pantulan tiap tipe substrat dasar perairan (karang dan pasir). 15

(30)

Sebelum melakukan proses sounding akustik, terlebih dahulu dilakukan proses setingan alat (Tabel 3). Prinsip kerja instrumen ini adalah pemancaran gelombang suara melalui transmitting transducer ke dasar perairan dan echo pantulan dari dasar perairan akan diterima oleh receiver transducer. Transmitter power yang digunakan pada saat pengambilan data akustik adalah 320 watt. Instrumen CruzPro PcFF80 dilengkapi dengan dual frekuensi dan digunakan secara bergantian untuk perekaman data akustik yang bertujuan untuk melihat respon pantulan akustik setiap target.

Tabel 3 Parameter dan setingan alat CruzPro PcFF80 pada saat perekaman data akustik

Parameter Nilai

Frekuensi yang digunakan 200 kHz 50 kHz

Transmitter power (W) 320 320 Near field (m) 0.47 0.12 Kecepatan suara (m/s) 1516 1516 Durasi pulsa (ms) 0.4 0.1 Ping rate (s) 0.334 0.334 Surface gain 110 110 Change rate 240 240 Amplifier gain (dB) -20.83 -20.83 TS sphere (dB) -42.43 -

Proses pengambilan data akustik dilakukan dengan mengarahkan transduser pada setiap tipe karang dan substrat yang menjadi target dalam penelitian yang sebelumnya telah ditandai pada saat observasi visual pada tiap stasiun pengamatan. Transduser ditempatkan pada sebuah rangka yang terbuat dari pipa paralon untuk memudahkan perekaman data dan untuk menghindarkan transduser dari pengaruh gelombang (Lampiran 2). Metode ini dapat lebih efektif dan efisien bila dibandingkan dengan menempatkan transduser di sisi kapal untuk pengambilan data secara stasioner. Pada saat perekaman data, posisi orientasi transduser adalah downward looking (90o) atau secara vertikal tegak lurus terhadap target (terumbu karang). Proses perekaman data akustik dilakukan selama 10 menit pada tiap tipe karang. Data hasil perekaman akustik selanjutnya disimpan dalam hard disk dan posisi pengambilan setiap target dicatat menggunakan GPS (Global Positioning System). Diagram alir proses perekaman data akustik dapat dilihat pada Gambar 8.

(31)

45

Gambar 8 Diagram alir proses perekaman data akustik menggunakan Cruzpro PcFF80

Pemrosesan dan Analisis Data Akustik

Pemrosesan sinyal hasil perekaman akustik dilakukan menggunakan perangkat lunak Misrosoft Excel dan Matlab R2010a. Data yang diperoleh dalam bentuk raw data (data mentah) selanjutnya diekstrak dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel. Nilai-nilai amplitudo yang dihasilkan menggambarkan kekuatan echo atau gelombang suara yang dipantulkan oleh karang dan pasir. Nilai-nilai amplitudo tersebut kemudian disimpan dalam format *txt dan ditampilkan pada Matlab melalui workspace Matlab untuk pengolahan data selanjutnya. Pengolahan data pada program Matlab dilakukan dengan menggunakan sintax program (Lampiran 3). Echo pantulan dapat ditampilkan dalam bentuk echogram dan echo envelope untuk melihat pola perambatan sinyal akustik pada tiap tipe karang dan pasir. Satuan dasar pencuplikan (Elementary

Sampling Unit, ESU) yang digunakan pada proses pengolahan data untuk

mengetahui nilai pantulan akustik tiap tipe karang adalah berdasarkan waktu perekaman selama 5 detik.

(32)

………..…..………..…... (2)

Surface Backscattering Strength (SS)

Proses kuantifikasi sinyal echo pantulan karang dan substrat pasir dilakukan untuk menghasilkan data berdasarkan nilai rata-rata yang diperoleh dengan tujuan untuk membedakan pantulan echo dari berbagai tipe karang dan substrat. Pada penelitian ini, nilai yang diperoleh (peak intensity atau nilai maksimum) dianggap sebagai nilai surface backscattering strength (SS) yang dihasilkan oleh permukaan tiap tipe karang dan substrat. Proses kuantifikasi dilakukan dengan mengadopsi persamaan yang digunakan oleh Chakraborty et al. 2007; Haris et al. 2012:

SS [dB] = – RS – SL + VR – AVG + AG + 40log10 R + 2αR – 10log10A ….... (1) Dimana,

RS = Receiving Sensitivity (dB) SL = Source Level (dB)

VG = Amplitudo (dB)

AVG = Array Voltase Gain (dB) AG = Amplifier Gain (dB)

α = Koefisien absorpsi (dBkm-1 )

R = Jarak target ke transduser (m) A = Beam-insonified area (m2)

Koefisien absorpsi (α) dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan berikut (Francois dan Garrison 1982 dalam MacLennan dan Simmonds 2005):

𝛼 =𝐴1𝑃1𝑓1𝑓 2 𝑓2 + 𝑓 12 +𝐴2𝑃2𝑓2𝑓 2 𝑓2 + 𝑓 22 + A3𝑃3𝑓2 Dimana,

A1, P1, f1 = Komponen asam boric di air laut

A1 = (8.86/c)10(0.7pH-5)

P1 = 1

f1 = 2.8(S/35)0.510[4-1245/(T+273)]

A2, P2, f2 = Komponen magnesium sulfate di air laut

A2 = 21.44(S/c)(1+0.025T)

P2 = 1 – 1.37 x 10-4z + 6.2 x 10-9z2

f2 = 8.17 x 10[8-1990/(T+273)] / [1 + 0.0018(S-35)

A3, P3, f3 = Komponen viskositas untuk T > 20 oC

A3 = 3.964 x 10-4 – 1.146 x 10-5T + 1.45 x 10-7T2 – 6 .5 x 10-10T3 P3 = 1 – 3.83 x 10-5z + 4.9 x 10-10z2 S = Salinitas (ppt) c = Kecepatan suara (m/s) T = Temperatur/suhu (oC) z = Kedalaman (m) f = Frekuensi (kHz)

Parameter perairan seperti salinitas dan pH diperoleh dari data sekunder hasil penelitian Sanchoemar (2008), sedangkan suhu dan kecepatan suara diperoleh berdasarkan hasil pendeteksian transduser.

(33)

47

………...……….………...……….….….…. (5) ………..………..…..……..……... (4)

………...……….…. (6) Pada penelitian ini, posisi orientasi transduser terhadap target adalah

normal incident atau secara vertikal tegak lurus, sehingga untuk mengetahui nilai beam-insonified area (A) pada normal incident dapat diperoleh dengan

menggunakan persamaan:

A = π (R tan(θ))2 ………...…….…………..………..… (3)

Volume Backscattering Strength (SV)

Selain nilai surface backscattering strength (SS), juga dapat dihasilkan nilai volume backscattering strength (SV) dapat diturunkan dari nilai surface

backscattering strength (SS). Dalam proses membedakan echo dari beberapa tipe

karang maka dilakukan dengan kuantifikasi sinyal gema untuk menghasilkan suatu data berdasarkan nilai rata-rata yang diperoleh. Nilai SV dari tipe karang di ekstrak dari pantulan pertama (E1) yang mengindikasikan tingkat kekasaran (roughness) dan pantulan kedua (E2) yang mengindikasikan tingkat kekerasan (hardness). Nilai SV diperoleh dengan menghubungkan nilai surface

backscattering coefficient (Ss) dan bottom volume backscattering coefficient (Sv)

sesuai persamaan (Manik et al. 2006):

𝑆𝑣 = 𝑆𝑠𝛷

𝛹 𝑐𝜏2 Dimana,

Φ = Instantaneous equivalent beam angle for surface scattering Ψ = Equivalent beam angle for volume scattering

c = Kecepatan suara τ = Panjang pulsa

Pada puncak echo dasar perairan, nilai integrasi Ψ ≈ Φ sehingga persamaan (4) menjadi: 𝑆𝑣 = 𝑆𝑠𝑐𝜏 2 𝑆𝑉 dB = 𝑆𝑆 − 10log10 𝑐𝜏 2 Analisis Statistik Uji Ragam Pantulan Akustik

Analisis atau uji ragam digunakan untuk menyelidiki hubungan antara variabel respons (dependen) dengan satu atau beberapa variabel prediktor (independen) atau untuk menguji rataan populasi. Uji ragam digunakan untuk menguji k buah rataan populasi (k > 2). Uji ragam pada penelitian ini bertujuan untuk melihat keragaman nilai rata-rata surface backscattering strength (SS) dan 19

(34)

….……….….… (7)

volume backscattering strength (SV) berupa nilai E1 dan E2 yang diperoleh

melalui perekaman dua frekuensi akustik.

Uji ragam yang digunakan pada penelitian ini adalah uji ragam satu arah (one way) dengan menggunakan software SPSS Statistics 17.0. Adapun metode uji keragaman nilai rata-rata antar tipe karang menggunakan pengujian Tukey

HSD (Honestly Significant Difference) dengan selang kepercayaan 0.05 (α = 0.05). Secara matematis, persamaan uji ragam satu arah sebagai berikut:

Dimana,

µ menyatakan rataan keseluruhan (grand mean) dan αi sebagai efek atau pengaruh

perlakuan ke-i.

Melalui uji ragam kita dapat mengetahui nilai rata-rata pantulan akustik tiap tipe karang relatif sama atau tidak. Hipotesis yang digunakan adalah:

H0 : 1 = 2 =… =k

H1 : sekurang-kurangnya dua nilai rataan yang tidak sama

Klasifikasi E1 dan E2

Metode yang digunakan adalah analisis clustering dan plotting nilai E1 dan E2 untuk menentukan kategori kelas. Analisis clustering dilakukan dengan menggunakan software Minitab 11. Metode clustering yang digunakan adalah

clustering dengan pendekatan hirarki yang bertujuan untuk menentukan tingkat

kemiripan nilai volume backscattering strength (SV) antara tipe karang dan substrat berdasarkan nilai rata-rata E1 dan E2 pada tiap frekuensi akustik yang digunakan. Tingkat kemiripan dapat ditentukan dengan menggunakan metode

Euclidean Distance, dimana data yang mirip akan ditempatkan pada hirarki yang

berdekatan dan yang tidak mirip pada hirarki yang berjauhan.

Proses selanjutnya adalah mengelompokkan karang dan pasir ke dalam kelas kategori. Tujuannya untuk mencari kombinasi antara tipe karang dan pasir yang akan memaksimalkan perbedaan antara kelas dan meminimalkan variasi dalam kelas. Penentuan kelas kategori didasarkan pada nilai E1 dan E2 serta hasil analisis cluster. Pada penelitian ini, dimana hanya terdapat dua atribut data yang tersedia yaitu nilai E1 dan E2, maka untuk mengelompokkannya dapat dilakukan hanya dengan memplot atau menentukan titik perpotongan tiap pantulan (scatterplot) E1 dan E2 dalam ruang dua dimensi (XY).

0 dan , 1      

k i i i i ij i ij y        k k i i

  1  

(35)

49

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Visual

Substrat dasar perairan memiliki tipe yang beranekaragam, termasuk salah satunya adalah karang. Karang memiliki bentuk dan pola pertumbuhan yang sangat bervariasi dan berkaitan erat dengan kondisi perairannya. Berdasarkan hasil pengamatan dan identifikasi visual dengan penyelaman di lokasi penelitian, ditemukan 6 bentuk pertumbuhan karang dengan ukuran dan bentuk yang bervariasi, yang meliputi bentuk pertumbuhan karang Acropora dan

non-Acropora serta substrat dasar perairan selain karang.

Bentuk pertumbuhan karang hidup yang akan dikuantifikasi energi pantulan balik akustiknya antara lain Acropora branching (ACB), Acropora

tabulate (ACT), Coral massive (CM) dan Coral mushroom (CMR). Karang mati

antara lain Coral massive mati (DC) dan patahan karang atau rubble (RB) serta substrat selain karang, pasir (SD). Adapun hasil pengukuran luasan target yang menjadi objek penelitian dan cakupan beam dapat dilihat pada Tabel 4 serta bentuk tipe karang dan substrat pasir pada Gambar 9.

Tabel 4 Hasil pengukuran dimensi karang dan pasir yang diamati

Tipe karang Luas (m2)

Jarak

transduser-target (m)

Luas area cakupan beam (m2)

200 kHz 50 kHz ACB 1.1304a 1.28 0.0477 0.8827 ACT 1.1304a 1.38 0.0554 1.0260 CM 0.6936 1.41 0.0579 1.0711 CMR 0.3018 1.53 0.0681 1.2611 DC 0.3215 1.4 0.0571 1.0560 RB 1.1304a 1.5 0.0655 1.2122 SD 1.1304a 1.4 0.0571 1.0560 a

= sesuai ukuran kuadran (panjang 1.2 m dan lebar 1.2 m)

(36)

Gambar 9 Bentuk tipe karang dan substrat dasar penelitian; a. ACB, b. CM, c. ACT, d. CM, e. RB, f. DC dan g. SD

Data Akustik

Setiap pulsa akustik (echo) yang dipancarkan dan dipantulkan oleh target mengandung berbagai informasi. Masing-masing pantulan akan memberikan informasi yang berbeda sesuai dengan bentuk morfologi karang (target). Hasil perekaman akustik secara umum dapat ditampilkan dalam bentuk echogram yang mengandung informasi mengenai karakteristik dari target yang terdeteksi dan berguna untuk klasifikasi dasar perairan (Preston et al. 2000). Echogram adalah tampilan grafis rekaman yang dihasilkan oleh echosounder, sebagai fungsi waktu, kekuatan echo dan waktu yang dibutuhkan echo untuk kembali. Echogram dapat berbentuk penampang melintang hasil rekaman menggunakan instrumen akustik, dimana sumbu x adalah jumlah ping yang terekam dan sumbu y adalah kedalaman target dari transduser. Intensitas dari tiap variable dinotasikan sebagai warna dari setiap piksel. Skala warna menunjukkan sebaran nilai pantulan balik akustik target yang terkandung dalam echogram yang diperoleh dari raw data yang terekam. Nilai piksel yang tinggi akan menunjukkan pemantulan dari target yang keras, sedangkan pengembalian yang lemah menunjukkan dan pembelokkan sinyal akustik untuk target yang halus atau lembut (Nasby-Lucas et al. 2002).

(37)

51 Ping Number D e p th ( m ) 200 kHz 100 200 300 400 500 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 -45 -40 -35 -30 -25 -20 -15 -10

Berdasarkan echo pantulan akustik yang terekam oleh transduser, terlihat adanya pola perambatan sinyal akustik yang menggambarkan adanya pantulan yang berasal dari dasar perairan yang berupa first echo dan second echo dari setiap target. First echo merupakan gema yang berasal dari dasar perairan yang langsung diterima transduser, sedangkan second echo merupakan gema yang berasal dari dasar perairan kemudian kembali ke transduser tetapi dipantulkan oleh permukaan perairan atau kapal dan kembali ke dasar perairan dan kemudian dipantulkan kembali lagi ke transduser (Penrose et al. 2005). Keras atau lunaknya dasar perairan akan memberikan pengaruh terhadap intensitas pantulan yang dikembalikan. Puncak echo mengindikasikan pantulan dari dasar perairan (substrat pasir dan karang) sebagai nilai surface backscattering strength (SS). Pola perambatan sinyal volume backscattering strength (SV) yang diperoleh cenderung mengikuti SS.

Bentuk echogram hasil perekaman akustik ditampilkan pada Gambar 10 sampai 12. Terlihat pada echogram bahwa echo pantulan yang pertama (E1) lebih tinggi dari echo pantulan yang kedua (E2), perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain berkurangnya energi pantulan karena pengaruh jarak, penyerapan energi oleh medium serta penyebaran energi pada medium. E1 terbentuk dari satu kali pantulan sedangkan E2 dapat terbentuk lebih dari satu kali pantulan (permukaan perairan dan dasar perairan) sehingga menyebabkan kehilangan energi lebih banyak akibat absorpsi pada E2. Selain pengaruh absorpsi, penggunaan frekuensi akan berpengaruh terhadap tingkat penetrasi sinyal akustik ke dalam dasar perairan. Frekuensi 50 kHz akan memiliki kemampuan penetrasi yang lebih dalam dibandingkan frekuensi 200 kHz, dimana frekuensi yang rendah memiliki panjang gelombang yang lebih panjang dan akan lebih dalam menembus dasar perairan serta memberikan informasi yang lebih bila dibandingkan dengan panjang gelombang yang pendek dimana sinyal akustik akan terpantul pada permukaan dasar perairan. Komponen energi yang lebih besar akan memiliki kemampuan untuk menembus ke dalam lapisan sedimen (Saleh 2010).

Acropora branching

Gambar 10 Echogram hasil perekaman akustik Acropora branching; frekuensi 200 kHz (kiri) dan frekuensi 50 kHz (kanan)

Ping Number D e p th ( m ) 50 kHz 100 200 300 400 500 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 -40 -35 -30 -25 -20 -15 -10 -5 0 23

(38)

Ping Number D e p th ( m ) 200 kHz 100 200 300 400 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 -45 -40 -35 -30 -25 -20 -15 -10 -5 Ping Number D e p th ( m ) 200 kHz 100 200 300 400 500 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 -50 -45 -40 -35 -30 -25 -20 -15 -10 -5 Ping Number D e p th ( m ) 200 kHz 100 200 300 400 500 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 -40 -35 -30 -25 -20 -15 -10 -5 Coral massive Acropora tabulate Coral mushroom

Gambar 11 Echogram hasil perekaman akustik Coral massive, Acropora

tabulate dan Coral mushroom; frekuensi 200 kHz (kiri) dan

frekuensi 50 kHz (kanan) Ping Number D e p th ( m ) 50 kHz 100 200 300 400 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 -40 -35 -30 -25 -20 -15 -10 -5 0 Ping Number D e p th ( m ) 50 kHz 100 200 300 400 500 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 -35 -30 -25 -20 -15 -10 -5 0 Ping Number D e p th ( m ) 50 kHz 100 200 300 400 500 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 -40 -35 -30 -25 -20 -15 -10 -5 0

(39)

53 Ping Number D e p th ( m ) 200 kHz 50 100 150 200 250 300 350 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 -45 -40 -35 -30 -25 -20 -15 -10 -5 Ping Number D e p th ( m ) 200 kHz 100 200 300 400 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 -45 -40 -35 -30 -25 -20 -15 -10 -5 Ping Number D e p th ( m ) 200 kHz 100 200 300 400 500 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 -45 -40 -35 -30 -25 -20 -15 -10 -5

Rubble atau patahan karang

Pasir

Coral massive mati/karang mati

Gambar 12 Echogram hasil perekaman akustik Rubble atau patahan karang, pasir dan Coral massive mati/karang mati; frekuensi 200 kHz (kiri) dan frekuensi 50 kHz (kanan) Ping Number D e p th ( m ) 50 kHz 100 200 300 400 500 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 -35 -30 -25 -20 -15 -10 -5 0 Ping Number D e p th ( m ) 50 kHz 50 100 150 200 250 300 350 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 -40 -35 -30 -25 -20 -15 -10 -5 0 Ping Number D e p th ( m ) 50 kHz 100 200 300 400 500 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 -45 -40 -35 -30 -25 -20 -15 -10 -5 0 25

Gambar

Gambar 1  Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian Tipe karang dan substrat
Gambar 2  Bentuk-bentuk pertumbuhan karang (English et al. 1994)
Gambar  3    Proses  deteksi  dua  dasar  perairan  yang  berbeda  (Hamouda dan Abdel-Salam 2010)
Gambar  4    Refleksi  dan  scattering  gelombang  datang  pada  permukaan  yang kasar (atas) dan specular refleksi dan bidang scattering  dengan  tingkat  kekasaran  permukaan  yang  berbeda  (bawah)  (Lurton 2002)
+7

Referensi

Dokumen terkait