• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Dasar Penanganan Pelanggaran Kode Etik dan Majelis Kode Etik untuk Fasilitator Kecamatan dan Konsultan Manajemen Kabupaten

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pola Dasar Penanganan Pelanggaran Kode Etik dan Majelis Kode Etik untuk Fasilitator Kecamatan dan Konsultan Manajemen Kabupaten"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Pola Dasar

Penanganan Pelanggaran Kode Etik dan Majelis Kode Etik untuk

Fasilitator Kecamatan dan Konsultan Manajemen Kabupaten

I. Pendahuluan:

a. Dalam rangka melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai fasilitator dan konsultan PPK, adalah penting bagi setiap konsultan PPK baik di tingkat pusat hingga kecamatan untuk menjunjung tinggi kode etik fasilitator dan konsultan PPK (“kode etik”) yang berlaku secara benar dan konsekuen. Kode etik yang telah ditetapkan telah memberikan konsekuensi yang telah ditetapkan apabila terjadi pelanggaran atas larangan yang ditetapkan pada kode etik. b. Melihat adanya konsekuensi yang dapat terjadi, maka sangat penting untuk dibentuk suatu

mekanisme yang dapat memproses adanya pelanggaran kode etik dan juga memberikan penilaian yang obyektif atas suatu kejadian yang dapat diduga sebagai pelanggaran kode etik. Oleh karena itu, telah ditetapkan suatu pola dasar penanganan pelanggaran kode etik (“Pola Dasar”) dan mekanisme khusus yang disebut Majelis Kode Etik (“MKE”).

c. Pola penanganan pelanggaran kode etik dan MKE yang ditetapkan ini digunakan untuk menindaklanjuti adanya dugaan pelanggaran kode etik yang terjadi di tingkat kabupaten dan kecamatan. Sedangkan untuk penanganan dugaan pelanggaran kode etik di tingkat

pusat dan regional akan diatur dalam ketentuan tersendiri.

d. Untuk penanganan pelanggaran kode etik yang diduga dilakukan oleh konsultan yang pada saat penanganan sudah bertugas di wilayah kerja RMU lain (lintas RMU), maka akan diatur dalam bagian khusus.

e. Di dalam pola penanganan pelanggaran kode etik ini, diatur 2 (dua) mekanisme yang digunakan dalam penanganan kode etik , yaitu:

i. Hearing, sebagai mekanisme utama dalam penanganan kode etik yaitu forum yang terbentuk secara formal antara Regional Management Unit (“RMU”) dengan konsultan -yaitu Fasilitator Kecamatan (“FK”) dan/atau Konsultan Manajemen Kabupaten (“KM-Kab”)- yang diduga melakukan pelanggaran kode etik untuk meminta pertanggungjawaban atas fakta dan data yang telah dikumpulkan oleh RMU; dan bila diperlukan akan dilaksanakan pula

ii. MKE, yaitu mekanisme yang dibentuk secara ad-hoc atas permintaan seorang konsultan untuk menilai penilaian pada saat hearing tentang adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh seorang konsultan dan memberikan kesempatan kepada konsultan yang bersangkutan untuk melakukan pembelaan dengan mengajukan alibi atau bukti-bukti yang mendukung.

II. Pola Penanganan Pelanggaran Kode Etik melalui forum Hearing:

a. RMU melakukan tindak lanjut atas laporan atau pengaduan atau temuan di lapangan yang berindikasi tindakan pelanggaran kode etik oleh KM-Kab dan/atau FK di lapangan. Tindak lanjut berupa penyelidikan dan pengumpulan data yang menunjukkan fakta pelanggaran kode etik tersebut.

b. Berdasarkan temuan dan fakta yang diperoleh, RMU menyampaikan memorandum kepada pihak terkait untuk melakukan proses hearing kepada pelaku. Pelaksanaan

hearing dilakukan untuk meminta pertanggungjawaban dari konsultan atas fakta dan data

yang telah diperoleh.

c. Forum hearing dilakukan oleh paling sedikit 3 (tiga) orang konsultan RMU dengan konsultan yang bersangkutan.

d. Melalui memorandum yang tersebut, juga dinyatakan bahwa:

1. konsultan yang bersangkutan diperintahkan untuk tidak melakukan kewenangan administrasi seperti: menandatangani pencairan dana.

2. mengalihkan kewenangan tersebut kepada konsultan yang ditunjuk oleh RMU dalam memorandum; dan

3. Jadwal dan lokasi diadakannya hearing.

e. Apabila konsultan yang bersangkutan tidak mengindahkan atau tidak melakukan apa yang diperintahkan di dalam memorandum tanpa alasan yang jelas selama 7 (tujuh) hari setelah memorandum diterima teradu, maka teradu direkomendasikan oleh RMU ke Team Leader Konsultan Manajemen Nasional (“TL-KM-Nasional”) untuk diberhentikan

(2)

dengan tidak hormat yang akan menindaklanjutinya ke Penanggung Jawab Kegiatan Satuan Kerja Pembinaan Program Pengembangan Kecamatan (“PPK”) dan Perusahaan Jasa Konsultan.

f. Di dalam proses hearing, RMU akan memaparkan hasil temuan kepada konsultan yang bersangkutan dan meminta pertanggungjawabannya dengan secara konsekuen yaitu adanya penerapan tindakan yang telah ditetapkan dalam kode etik. Melihat kondisi tersebut, konsultan yang dinilai melakukan pelanggaran kode etik wajib pula memaparkan bukti pendukung bahwa ia tidak melakukan pelanggaran kode etik apabila ia ingin menyanggah penilaian RMU.

g. Atas tuntutan pertanggungjawaban tersebut, konsultan yang dinilai melakukan pelanggaran kode etik dapat menyatakan sikap:

1. mengakui hasil temuan yang dipaparkan oleh RMU ; atau

2. menyanggah semua temuan yang dipaparkan oleh RMU dan menyatakan bahwa dirinya tidak melakukan pelanggaran kode etik.

h. Apabila konsultan yang bersangkutan mengakui kebenaran yang dipaparkan oleh RMU, maka RMU melalui memorandum Koordinator Wilayah (“KW”) atau Deputi Koordinator Wilayah (“DKW”) menyampaikan kepada Adwil perusahaan jasa konsultan dengan tembusan Team Leader TL-KM-Nasional berupa laporan hasil investigasi disertai dengan bukti/fakta yang diperlukan yang diikuti dengan rekomendasi tindakan yang telah ditetapkan dalam kode etik karena pelanggaran kode etik sesuai prosedur yang berlaku. i. Apabila teradu menyanggah semua temuan yang dipaparkan oleh RMU dan menyatakan

bahwa dirinya tidak melakukan pelanggaran kode etik dengan bukti pendukung yang memadai, maka teradu berhak untuk mengajukan permohonan kepada RMU untuk memfasilitasi sidang MKE.

j. Konsultan dinilai telah melakukan pelanggaran kode etik diberi kesempatan untuk menentukan sikapnya untuk mengajukan MKE paling lambat 14 (empat belas) hari kerja dari rekomendasi/penonaktifan

k. Segala sikap yang dikemukakan oleh teradu menjadi hasil resmi hearing dan akan dicatat berita acara hearing.

III. Tujuan diselenggarakannya MKE:

a. Untuk menilai kebenaran penilaian pelanggaran kode etik oleh Regional Management Unit (“RMU”) kepada FK dan/atau KM-Kab yang diberikan pada saat hearing.

b. Memfasilitasi seorang konsultan dalam menggunakan haknya untuk membela diri.

c. Mengeliminir adanya kemungkinan penilaian yang tidak obyektif karena penilaian bersifat sepihak.

IV. Penyelenggaraan MKE:

a. Bertolak dari pengajuan konsultan yang terkait, yang berarti bahwa MKE dilaksanakan karena adanya pengajuan dari konsultan yang dinilai telah melanggar kode etik pada saat hearing dan bukan oleh pihak-pihak lain.

b. Pembahasan berkisar pada penilaian atas pelanggaran kode etik. c. Penyelenggaraan difasilitasi oleh RMU.

d. MKE dinyatakan sah apabila dihadiri oleh minimal 5 (lima) orang anggota Majelis, pihak yang dinilai dan pihak yang memeriksa konsultan.

e. Lokasi MKE diadakan setidaknya pada provinsi dimana dugaan pelanggaran kode etik itu terjadi.

f. Tanggal dan Lokasi pelaksanaan ditentukan oleh RMU, dengan lokasi yang harus dapat diakses dengan mudah oleh setiap pihak yang terlibat dalam MKE karena tidak adanya alokasi dana khusus.

IV. A. Hal-hal yang dapat menyebabkan MKE tidak dapat diadakan:

a. Pengajuan permohonan MKE telah melampaui batas waktu yang ditetapkan.

b. Pihak yang dinilai sudah tidak memiliki hubungan kerja dengan program (telah di-PHK). c. Pihak yang dinilai sudah mengakui perbuatan pelanggaran kode etik.

d. Pihak yang dinilai tidak mengajukan bukti-bukti bahwa ia tidak melakukan pelanggaran kode etik.

(3)

V. Pihak-pihak dalam penyelenggaraan MKE:

a. Majelis, yang bertugas memberikan penilaian pelanggaran kode etik.

b. Notulen sebagai petugas untuk melakukan pencatatan jalannya sidang serta menyusun berita acara.

c. Pihak yang dinilai (“teradu”), yaitu pihak yang menyanggah tuduhan pelanggaran kode etik atau yang dituduh melakukan pelanggaran kode etik.

d. Pihak yang memeriksa konsultan (“pengadu”), yaitu pihak yang telah menilai sebelumnya bahwa konsultan yang bersangkutan telah melakukan pelanggaran kode etik. Penilaian yang dilakukan pengadu diadasarkan pada laporan, hasil penyelidikan dan pemeriksaan bukti yang ada. Dalam hal sidang MKE diwakili oleh RMU.

e. Saksi sebagai alat bukti bilamana diperlukan dan dapat pula digantikan dengan alat bukti lain berupa surat-surat, hasil audit dan keterangan-keterangan lainnya.

f. Undangan / Pengamat, yang berhak menghadiri sidang namun berkewajiban untuk tidak mengganggu jalannya sidang dan bahkan dilarang mengintervensi jalannya sidang.

V. 1. Majelis:

a. Majelis terdiri dari para konsultan PPK yang bertugas di tingkat regional (FK, KM-Kab, dan RMU).

b. Majelis bertugas untuk menilai masing-masing argumentasi dan bukti yang dikemukakan untuk kepastian mengenai masalah kode etik.

c. Majelis dibentuk secara Ad Hoc.

d. Majelis terdiri dari minimum 5 (lima) orang dan harus berjumlah gasal. Di samping itu, disiapkan pula sedikitnya 3 (orang) anggota cadangan untuk mengantisipasi apabila anggota Majelis yang bertugas berhalangan hadir.

e. Majelis merupakan orang-orang yang mampu bersikap netral, tidak memiliki konflik kepentingan, memiliki pemahaman yang baik terhadap kode etik dan dapat diterima oleh kedua belah pihak serta mampu mengambil keputusan.

f. Majelis yang bertugas adalah para konsultan (KM & FK) yang tidak se-Kabupaten dengan teradu dan ditambah 1 (satu) orang konsultan RMU yang ditetapkan oleh KW/DKW.

g. Untuk memudahkan penyelenggaraan MKE, RMU berkewajiban untuk melakukan pendataan dan pembekalan terhadap para konsultan yang memenuhi persyaratan agar siap untuk menjadi anggota Majelis jika diperlukan.

V. 2. Ketua Majelis:

a. Majelis dipimpin oleh ketua Majelis.

b. Ketua Majelis dipilih dari dan oleh anggota Majelis yang bertugas.

c. Ketua Majelis berkewajiban untuk memimpin proses MKE dan bertanggungjawab atas lancarnya proses sidang MKE sehingga memiliki kewenangan untuk bertindak tegas kepada pihak-pihak yang mengganggu jalannya sidang MKE.

V. 3. Keputusan Majelis:

a. Majelis menyatakan penilaiannya langsung di depan sidang.

b. Majelis dapat meminta waktu paling lama 1 x 24 jam terhitung dari waktu dimulainya sidang MKE untuk melakukan pembahasan keputusan secara tertutup.

c. Penilaian Majelis bersifat final dan dalam proses pengambilan keputusan bisa secara konsensus ataupun voting.

d. Di dalam voting, seluruh anggota Majelis dilarang untuk bersikap abstain. e. Keputusan Majelis terdiri dari dua bentuk keputusan:

1) “Berdasarkan bukti yang ada dan pemeriksaan yang dilakukan, Majelis menilai bahwa teradu telah melakukan pelanggaran kode etik sehingga direkomendasikan bagi teradu untuk diberi sanksi yang telah ditentukan”; atau

2) “Berdasarkan bukti yang ada dan pemeriksaan yang dilakukan, Majelis memutuskan bahwa teradu tidak dapat dinilai telah melakukan pelanggaran

(4)

kode etik sehingga direkomendasikan bagi teradu untuk diberi pemulihan hak dan kewajiban konsultan serta apabila ada bukti baru maka teradu dapat diproses kembali sesuai prosedur penanganan pelanggaran kode etik”.

V. 4. Notulen:

a. Majelis didukung oleh seorang notulen yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari majelis namun tidak berhak untuk terlibat dalam pengambilan keputusan MKE.

b. Notulen bertugas untuk mencatat proses MKE yang berlangsung.

c. Notulen tidak terlibat dalam pemeriksaan dan/atau mengintervensi proses MKE. d. Notulen membantu majelis dalam penyusunan berita acara sidang MKE.

e. Notulen dapat ditunjuk oleh ketua majelis setelah meminta masukan dari anggota majelis yang lain.

V. 5. Pengadu:

a. Pengadu adalah konsultan RMU yang ditetapkan oleh KW/DKW untuk menjadi pengadu dalam sidang MKE.

b. Pengadu yang ditunjuk adalah personil RMU yang mengetahui dan memproses lebih lanjut adanya laporan dan temuan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh teradu.

VI. Mekanisme Pelaksanaan MKE:

Pelaksanaan MKE terdiri dari 3 (tiga) tahap, yaitu: a. Tahap Persiapan;

b. Tahap Pelaksanaan Persidangan; dan c. Tahap Tindak Lanjut Pasca Sidang MKE.

VI. 1. Persiapan MKE:

a. Berkaitan dengan permohonan sidang MKE, KW segera mengeluarkan memorandum / undangan kepada teradu dan konsultan yang menjadi anggota majelis dengan tembusan kepada TL KM-Nasional yang memberitahukan akan digelarnya sidang majelis kode etik konsultan PPK dan mengundang pihak-pihak yang ada untuk menghadiri sidang MKE. b. Sidang majelis kode etik konsultan PPK akan digelar setelah diterbitkannya

memorandum RMU tentang sidang majelis kode etik, dengan mengirimkan surat pemberitahuan/undangan kepada: (i) teradu (ii) konsultan yang diminta sebagai majelis, (iii) Team Leader KM-Nasional, dengan tembusan kepada Penanggung Jawab Kegiatan Satuan Kerja Pembinaan PPK.

c. Materi sidang majelis kode etik akan disiapkan: (a) oleh pengadu berupa bukti-bukti/fakta-fakta berdasarkan temuan dan keterangan saksi-saksi, (b) oleh teradu berupa bukti-bukti/ fakta-fakta untuk memberikan sanggahan atas dugaan pelanggaran kode etik. d. Apabila teradu tidak menghadiri sidang MKE tanpa alasan yang jelas, maka teradu

dianggap menerima hasil penilaian awal yang dilakukan oleh RMU dan akan diproses lebih lanjut dengan mengajukan usulan untuk “memberhentikan dengan tidak hormat” dan segera ditetapkan Pemutusan Hubungan Kerja, serta memasukkan teradu dalam Daftar Konsultan Tercela (black list).

VI. 2. Proses Sidang MKE:

a. Ketua Majelis memimpin dan membuka sidang MKE serta memaparkan tujuan dari diselenggarakannya sidang MKE ini termasuk hasil (berita acara) hearing sebelumnya. b. Pengadu menyampaikan laporan temuan dan fakta adanya pelanggaran kode etik dan

memaparkan bukti/fakta berdasarkan hasil pemeriksaan dan investigasi secara kronologis.

c. Teradu yang diduga melanggar kode etik memberikan sanggahan dengan menyajikan bukti/fakta atau saksi yang membuktikan dirinya tidak melakukan pelanggaran kode etik. d. Majelis meminta keterangan saksi-saksi dan/atau bukti-bukti lainnya terhadap fakta-fakta

(5)

e. Majelis memberikan kesempatan sebanyak-banyaknya 2 kali 60 menit kepada anggota majelis untuk mengajukan pertanyaan dan memperoleh klarifikasi atas aduan pelanggaran kode etik.

f. Ketua Majelis memberikan kesempatan kepada anggota majelis untuk mengambil kesepakatan dan/atau musyawarah untuk menentukan keputusan akhir sidang majelis kode etik.

g. Jika sidang MKE memandang perlu untuk memperoleh klarifikasi atau keterangan tambahan, sidang majelis dapat menskors dan dilanjutkan pada hari yang sama.

h. Setelah majelis sidang MKE telah mengambil keputusan sebagaimana yang telah diatur dalam bagian Keputusan Majelis (V. 3. e.), maka seluruh isi keputusan dituangkan dalam Berita Acara MKE yang ditanda tangani oleh: (a) Ketua majelis beserta anggota Majelis sidang MKE, (b) Pengadu, (c) Teradu dan (d) KW selaku penanggung jawab.

i. Apabila teradu menolak untuk menandatangani berita acara MKE, maka harus dimuat catatan khusus dalam berita acara MKE.

VI. 3. Tindak Lanjut Pasca Sidang MKE:

a. Selambat-lambatnya tiga hari setelah MKE, KW akan melaporkan hasil MKE, beserta rekomendasi sesuai dengan keputusan yang tertuang dalam Berita Acara Sidang MKE. b. Selambat-lambatnya tiga hari setelah diterimanya laporan dan rekomendasi KW, Team

Leader KM-Nasional akan mengajukan memorandum rekomendasi kepada Penanggung Jawab Kegiatan Satuan Kerja Pembinaan PPK dengan tembusan kepada Perusahaan Jasa Konsultan:

i. Jika “Majelis memutuskan bahwa teradu tidak dapat dinilai telah melakukan

pelanggaran kode etik”, maka TL-KM-Nasional mengajukan usulan untuk tetap

“menugaskan kembali serta memulihkan hak dan kewajiban konsultan yang

menjadi teradu pelanggaran kode etik”;

ii. Jika “Majelis menilai bahwa teradu telah melakukan pelanggaran kode etik”, maka TL-KM-Nasional mengajukan usulan penetapan sanksi sesuai dengan rekomendasi yang diberikan.

(6)

Add. 1. Pola Penanganan Pelanggaran Kode Etik Lintas Regional:

A. Umum:

a. Yang dimaksud dengan penanganan pelanggaran kode etik lintas regional adalah penanganan terhadap seorang konsultan yang dinilai telah melakukan pelanggaran kode etik di lokasi tugas sebelumnya namun pada saat penanganan, konsultan yang bersangkutan sedang bertugas di wilayah regional lainnya.

b. Pelaksanaan penanganan pelanggaran kode etik lintas regional dilakukan bersama-sama antara RMU tempat kejadian dengan RMU dimana konsultan bertugas.

c. Sepanjang tidak diatur dalam ketentuan Add.1., berlaku ketentuan yang diatur dalam pola dasar.

B. Pelaksanaan Hearing:

a. Hearing dilakukan oleh RMU dimana konsultan saat ini bertugas yang didasarkan pada hasil temuan dan penyelidikan yang dilakukan oleh RMU dimana dugaan pelanggaran kode etik itu terjadi.

b. Pihak RMU yang akan melakukan hearing wajib memeriksa kembali hasil temuan yang disampaikan dan dapat meminta kembali pemeriksaan ulang dan/atau data tambahan kepada RMU di tempat terjadinya dugaan pelanggaran kode etik yang diperlukan untuk melakukan hearing.

c. Hasil hearing disampaikan kepada TL KM-Nasional dengan tembusan kepada RMU dimana dugaan pelanggaran kode etik terjadi.

C. Pelaksanaan MKE:

a. Hearing dapat berlanjut ke MKE sepanjang tidak adanya unsur-unsur yang ada pada bagian IV.1. pola dasar.

b. Pengajuan MKE oleh teradu disampaikan kepada RMU di lokasi tugas yang kemudian disampaikan kepada RMU dimana dugaan pelanggaran kode etik itu terjadi.

c. MKE dilaksanakan di provinsi dimana dugaan pelanggaran kode etik itu terjadi.

d. Teradu menghadiri sidang MKE setelah adanya surat pemberitahuan kepada teradu yang disampaikan melalui RMU dimana teradu saat ini bertugas.

e. Teradu meninggalkan lokasi tugas untuk menghadiri MKE harus dengan seijin KW/DKW RMU dimana ia sekarang bertugas yang dapat dibuktikan melalui surat keterangan dari RMU dimana ia sekarang bertugas.

f. Teradu berada di tempat sidang MKE paling cepat 1 (satu) hari sebelum tanggal pelaksanaan sidang dan segera melapor kepada KW/DKW RMU dimana MKE diadakan.

g. Hasi penilaian MKE disampaikan oleh RMU dimana MKE diadakan kepada TL KM-Nasional dengan tembusan kepada RMU dimana teradu saat ini bertugas.

Referensi

Dokumen terkait

Persoalan yang ada adalah pengelolaan kawasan karst dilakukan secara sektoral oleh masing- masing instasi sesuai dengan kepentingan dan kewenangannya, seperti

Holcim Indonesia Tbk merupakan satu-satunya perusahaan yang diprediksi mengalami masalah keuangan dihitung dengan metode Altman Z-Score dengan hasil tahun 2014 berada pada

POKIA IV Pengadaan Jasa Konstruksi ULP Kabupaten Muara Enim akan melaksanakan Pemilihan Langsung dengan Pascakualifikasi untuk paket pekerjaan konstruksi usaha kecil,

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan minimnya representasi kaum perempuan dalam rubrik olah raga “Spirit” pada Harian Umum Suara Merdeka yang

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan tentang hubungan Pengetahuan ibu rumah tangga dan Peran Kader dengan perilaku hidup bersih sehat (PHBS) dalam Rumah Tangga di

Di dalam makalah ini juga kami menampilkan gambar-gambar yang merupakan contoh karya seni rupa tiga dimensi.. Pengertian Seni Rupa

 MHES adalah tabel yang digunakan untuk menghitung besarnya biaya dari tiap-tiap perpindahan bahan/material berdasarkan peralatan MH yang digunakan..  Tujuan MHES adalah

Subelemen komitmen pemangku kepentingan atas tujuan program, SDM pelaksana KUR yang kompeten, instrumen monitoring dan evaluasi, pemahaman pemangku kepentingan atas