• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Intelligent Quotient

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Intelligent Quotient"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Intelligent Quotient

2.1.1.1 Pengertian Intelligent Quotient

Dalam memahami akuntansi adanya intelligent quotient merupakan hal yang penting juga untuk dipertimbangkan.

Intelligent quotient (IQ) merupakan pengkualifikasian kecerdasan

manusia yang didominasi oleh kemampuan daya pikir rasional dan logika. Lebih kurang 80% IQ diturunkan dari orangtua, sedangkan selebihnya dibangun pada usia sangat dini yaitu 0-2 tahun kehidupan manusia yang pertama. Sifatnya relatif digunakan sebagai prediktor keberhasilan individu di masa depan. Implikasinya, sejumlah riset untuk menemukan alat (tes IQ) dirancang sebagai tiket untuk memasuki dunia pendidikan sekaligus dunia kerja.

Berikut ini adalah pendapat tentang intelligent quotient menurut para ahli, yaitu:

1. Binet & Simon dalam Azwar (2004)

Binet & Simon mendefinisikan intelegensi sebagai suatu kemampuan yang terdiri dari 3 komponen, yaitu:

(2)

b. Kemampuan untuk mengubah arah tindakan bila tindakan itu telah dilakukan

c. Kemampuan untuk mengkritik diri sendiri 2. Robin & Judge (2008)

Robin & Judge mendefinisikan intelligent quotient adalah kemampuan yang dibutuhkan untuk melakukan berbagai aktivitas mental berpikir, menalar, dan memecahkan masalah.

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa

intelligent quotient adalah kemampuan seseorang untuk memperoleh pengetahuan, menguasai, dan menerapkannya dalam menghadapi masalah.

2.1.1.2 Indikator Intelligent Quotient

Dalam penelitian ini intelligent mahasiswa diukur dengan dimensi dan indikator sebagai berikut:

a. Intelegensi verbal, yaitu kosa kata baik, membaca dengan penuh pemahaman, ingin tahu secara intelektual, menunjukkan keingintahuan.

b. Intelegensi praktis, yaitu tahu situasi, tahu cara mencapai tujuan, sadar terhadap dunia sekeliling, menunjukkan minat terhadap dunia luar.

(3)

c. Kemampuan memecahkan masalah, yaitu mampu menunjukkan pengetahuan mengenai masalah yang dihadapi, mengambil keputusan tepat, menyelesaikan masalah secara optimal, menunjukkan pikiran jernih.

2.1.2 Emotional Quotient

2.1.2.1 Pengertian Emotional Quotient

Berdasarkan pengertian tradisional, kecerdasan meliputi kemampuan membaca, menulis dan berhitung yang merupakan ketrampilan kata dan angka yang menjadi fokus di pendidikan formal (sekolah) dan sesungguhnya mengarahkan seseorang untuk mencapai sukses dibidang akademis. Tetapi definisi keberhasilan hidup tidak hanya itu saja. Pandangan baru yang berkembang mengatakan bahwa ada kecerdasan lain di luar intelligent quotient (IQ) seperti bakat, ketajaman sosial, hubungan sosial, kematangan emosi dan lain-lain yang harus dikembangkan juga. Kecerdasan yang dimaksud adalah emotional quotient (EQ) (Melandy dan Aziza, 2006).

Emotional quotient petama kali dilontarkan pada tahun

1990 oleh psikolog bernama Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire Amerika untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya

(4)

penting bagi keberhasilan. Kualitas-kualitas ini antara lain (Nuraini, n.d):

a. Empati (kepedulian)

b. Mengungkapkan dan memahami perasaan c. Mengendalikan amarah

d. Kemandirian

e. Kemampuan menyesuaikan diri f. Disukai

g. Kemampuan memecahkan masalah antar pribadi h. Ketekunan

i. Kesetiakawanan j. Keramahan k. Sikap hormat

Berikut ini adalah beberapa pendapat tentang emotional

quotient menurut para ahli (Mu’tadin, 2002), yaitu:

a. Salovey dan Mayer (1990)

Salovey dan Mayer (1990) mendefinisikan emotional

quotient sebagai kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih

dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga dapat membantu perkembangan emosi dan intelektual.

b. Cooper dan Sawaf (1998)

Cooper dan Sawaf (1998) mendefinisikan emotional

quotient sebagai kemampuan merasakan, memahami, dan secara

efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa emotional quotient menuntut seseorang

(5)

untuk belajar mengakui, menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat dan menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari.

c. Howes dan Herald (1999)

Howes dan Herald (1999) mendefinisikan emotional

quotient sebagai komponen yang membuat seseorang menjadi

pintar menggunakan emosinya. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa emosi manusia berada di wilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi dan sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati, emotional quotient akan menyediakan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain. d. Goleman (2003)

Goleman (2003) mendefinisikan emotional quotient sebagai kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi, dan menunda kepuasan serta mengatur keadaan jiwa. Dengan

emotional quotient tersebut seseorang dapat menempatkan

emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan, dan mengatur suasana hati.

Dari beberapa pendapat yang ada Mellandy dan Aziza (2006) menyimpulkan bahwa emotional quotient menuntut diri untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain, dan untuk menanggapinya dengan tepat, menerapkan

(6)

dengan efektif energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari.

2.1.2.2 Indikator Emotional Quotient

Komponen emotional quotient atau kerangka kerja kecakapan emosi menurut Goleman dalam Sri Surayaningrum (2003) terdapat lima dimensi, yaitu:

a. Kesadaran diri atau pengenalan diri pada dasarnya dimensi ini untuk mengetahui konsisi diri sendiri, kesukaan, sumber daya dan institusi, seperti: kesadaran emosi, penilaian diri secara teliti dan percaya diri.

b. Pengaturan diri atau pengendalian diri memberi tekanan pada mengelola kondisi, impuls dan sumber daya diri sendiri, seperti: kendali diri, sifat dapat dipercaya, kewaspadaan, adaptibilitas dan inovasi.

c. Motivasi, yaitu kecendrungan emosi yang mengantar atau memudahkan peralihan sasaran, seperti: dorongan prestasi, komitmen, inisiatif dan optimisme.

d. Empati merupakan kesadaran terhadap perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain, seperti: memahami orang lain, orientasi pelayanan, mengembangkan orang lain, mengatasi keragaman dan kesadaran politis.

e. Keterampilan sosial, yaitu kepintaran dalam menggugah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain, seperti: pengaruh, komunikasi, kepemimpinan, katalisator perubahan, manajemen konflik, pengikat jaringan, kolaborasi dan kooperasi serta kemampuan tim.

2.1.3 Spiritual Quotient

2.1.3.1 Pengertian Spiritual Quotient

Spiritual quotient ditemukan oleh Danah Zohar dan Ian

Marshall pada pertengahan tahun 2000. Zohar dan Marshall (2001) menegaskan bahwa spiritual quotient adalah landasan untuk membangun IQ dan EQ.

(7)

Spiritual berasal dari bahasa Latin spiritus yang berati

prinsip yang memvitalisasi suatu organisme. Sedangkan, spiritual dalam SQ berasal dari bahasa Latin sapientia (sophia) dalam bahasa Yunani yang berati ’kearifan’ (Zohar dan Marshall, 2001).

Zohar dan Marshall (2001) menjelaskan bahwa spiritualitas tidak harus dikaitkan dengan kedekatan seseorang dengan aspek ketuhanan, sebab seorang humanis atau atheis pun dapat memiliki spiritualitas tinggi. Spiritual quotient lebih berkaitan dengan pencerahan jiwa. Orang yang memiliki spiritual quotient tinggi mampu memaknai hidup dengan memberi makna positif pada setiap peristiwa, masalah, bahkan penderitaan yang dialaminya. Dengan memberi makna yang positif akan mampu membangkitkan jiwa dan melakukan perbuatan dan tindakan yang positif.

Berikut ini adalah beberapa pendapat tentang spiritual

quotient menurut para ahli dalam Zohar dan Marshall (2001) dan

Agustian (2001): a. Sinetar (2000)

Sinetar (2000) mendefinisikan spiritual quotient sebagai pikiran yang mendapat inspirasi, dorongan, efektivitas yang terinspirasi, dan penghayatan ketuhanan yang semua manusia menjadi bagian di dalamnya.

(8)

Khavari (2000) mendefinisikan spiritual quotient sebagai fakultas dimensi non-material atau jiwa manusia. Lebih lanjut dijelaskan oleh Khavari (2000), spiritual quotient sebagai intan yang belum terasah dan dimiliki oleh setiap insan. Manusia harus mengenali seperti adanya lalu menggosoknya sehingga mengkilap dengan tekad yang besar, menggunakannya menuju kearifan, dan untuk mencapai kebahagiaan yang abadi.

c. .Zohar dan Marshall (2001)

Zohar dan Marshall (2001) mendefinisikan spiritual

quotient sebagai kemampuan internal bawaan otak dan jiwa

manusia yang sumber terdalamnya adalah inti alam semesta sendiri, yang memungkinkan otak untuk menemukan dan menggunakan makna dalam memecahkan persoalan.

d. Ary Ginanjar Agustian (2001)

Agustian (2001) mendefinisikan spiritual quotient sebagai kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya dan memiliki pola pemikiran integralistik, serta berprinsip hanya karena Allah.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa definisi spiritual quotient adalah kemampuan potensial setiap manusia yang menjadikan seseorang dapat menyadari dan menentukan makna, nilai, moral, serta cinta terhadap kekuatan

(9)

yang lebih besar dan sesama makhluk hidup karena merasa sebagai bagian dari keseluruhan, sehingga membuat manusia dapat menempatkan diri dan hidup lebih positif dengan penuh kebijaksanaan, kedamaian, dan kebahagiaan yang hakiki.

Prinsip- prinsip spiritual quotient menurut Agustian (2001), yaitu:

a. Prinsip Bintang

Prinsip bintang adalah prinsip yang berdasarkan iman kepada Allah SWT. Semua tindakan yang dilakukan hanya untuk Allah dan tidak mengharap pamrih dari orang lain dan melakukannya sendiri.

b. Prinsip Malaikat (Kepercayaan)

Prinsip malaikat adalah prinsip berdasarkan iman kepada Malaikat. Semua tugas dilakukan dengan disiplin dan baik sesuai dengan sifat malaikat yang dipercaya oleh Allah untuk menjalankan segala perintah Allah SWT.

c. Prinsip Kepemimpinan

Prinsip kepemimpinan adalah prinsip berdasarkan iman kepada Rasullullah SAW. Seorang pemimpin harus memiliki prinsip yang teguh, agar mampu menjadi pemimpin yang sejati. Seperti Rasullullah SAW adalah seorang pemimpin sejati yang dihormati oleh semua orang.

(10)

Prinsip pembelajaran adalah prinsip berdasarkan iman kepada kitab. Suka membaca dan belajar untuk menambah pengetahuan dan mencari kebenaran yang hakiki. Berpikir kritis terhadap segala hal dan menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman dalam bertindak.

e. Prinsip Masa Depan

Prinsip masa depan adalah prinsip yang berdasarkan iman kepada ”hari akhir”. Berorientasi terhadap tujuan, baik jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang, disertai keyakinan akan adanya ”hari akhir” dimana setiap individu akan mendapat balasan terhadap setiap tindakan yang dilakukan.

f. Prinsip Keteraturan

Prinsip keteraturan merupakan prinsip berdasarkan iman kepada ”ketentuan Tuhan”. Membuat semuanya serba teratur dengan menyusun rencana atau tujuan secara jelas. Melaksanakan dengan disiplin karena kesadaran sendiri, bukan karena orang lain.

Ciri-ciri orang yang memiliki spiritual quotient berdasarkan teori Zohar dan Marshall (2001) dan Sinetar (2001) dalam Bowo (2009), yaitu:

a. Memiliki Kesadaran Diri

Memiliki kesadaran diri yaitu adanya tingkat kesadaran yang tinggi dan mendalam sehingga bisa menyadari berbagai situasi yang datang dan menanggapinya.

(11)

b. Memiliki Visi

Memiliki visi yaitu memiliki pemahaman tentang tujuan hidup dan memiliki kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai.

c. Bersikap Fleksibel

Bersikap fleksibel yaitu mampu menyesuaikan diri secara spontan dan aktif untuk mencapai hasil yang baik, memiliki pandangan yang pragmatis (sesuai kegunaan), dan efisien tentang realitas.

d. Berpandangan Holistik

Berpandangan holistik yaitu melihat bahwa diri sendiri dan orang lain saling terkait dan bisa melihat keterkaitan antara berbagai hal. Dapat memandang kehidupan yang lebih besar sehingga mampu menghadapi dan memanfaatkan, melampaui kesengsaraan dan rasa sehat, serta memandangnya sebagai suatu visi dan mencari makna dibaliknya.

e. Melakukan Perubahan

Melakukan perubahan yaitu terbuka terhadap perbedaan, memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi dan status quo dan juga menjadi orang yang bebas merdeka.

f. Sumber Inspirasi

Sumber inspirasi yaitu mampu menjadi sumber inspirasi bagi orang lain dan memiliki gagasan-gagasan yang segar.

(12)

g. Refleksi Diri

Refleksi diri yaitu memiliki kecenderungan apakah yang mendasar dan pokok.

2.1.3.2 Indikator Spiritual Quotient

Zohar dan Marshall (2005 : 14) menguji spiritual quotient dengan hal-hal berikut:

a. Kemampuan bersikap fleksibel, yaitu mampu menempatkan diri dan dapat menerima pendapat orang lain secara terbuka.

b. Tingkat kesadaran diri yang tinggi seperti: kemampuan autocritism dan mengetahui tujuan dan visi hidup.

c. Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan seperti: tidak ada penyesalan, tetap tersenyum dan bersikap tenang dan berdoa.

d. Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit seperti: bersikap ikhlas dan pemaaf. e. Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan

nilai-nilai seperti: prinsip dan pegangan hidup dan berpijak pada kebenaran.

f. Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu seperti:tidak menunda pekerjaan dan berpikir sebelum bertindak.

g. Kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal yaitu berpandangan holistik seperti: kemampuan berfikir logis dan berlaku sesuai norma sosial.

2.1.4 Pengertian Akuntansi

American Accounting Association mendefinisikan akuntansi

sebagai proses mengidentifikasikan, mengukur, dan melaporkan informasi ekonomi, untuk memungkinkan adanya penilaian dan keputusan yang jelas dan tegas bagi mereka yang menggunakan informasi tersebut (Soemarso,

(13)

1. Akuntansi merupakan proses yang terdiri dari identifikasi, pengukuran dan pelaporan informasi ekonomi.

2. Informasi ekonomi yang dihasilkan oleh akuntansi diharapkan beguna dalam penilaian dan pengambilan keputusan mengenai kesatuan usaha yang bersangkutan.

Suwardjono (1991) menyatakan akuntansi merupakan seperangkat pengetahuan yang luas dan komplek. Cara termudah untuk menjelaskan pengertian akuntansi dapat dimulai dengan mendefinisikannya. Akan tetapi, pendekatan semacam ini mengandung kelemahan. Kesalahan dalam pendefinisian akuntansi dapat menyebabkan kesalahan pemahaman arti sebenarnya akuntansi. Akuntansi sering diartikan terlalu sempit sebagai proses pencatatan yang bersifat teknis dan prosedural dan bukan sebagi perangkat pengetahun yang melibatkan penalaran dalam menciptakan prinsip, prosedur, teknis, dan metode tertentu.

2.1.5 Pemahaman Akuntansi

Paham dalam kamus besar bahasa indonesia memiliki arti pandai atau mengerti benar sedangkan pemahaman adalah proses, cara, perbuatan memahami atau memahamkan. Menurut Melandy dan Aziza (2006 : 9) 22 Seseorang yang memiliki pemahaman akuntansi adalah seseorang yang pandai dan mengerti benar akuntansi. Menurut Arie Pangestu (2009 : 24) pemahaman akuntansi adalah proses atau cara mahasiswa jurusan akuntansi dalam memahami mata kuliah akuntansi.

(14)

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pemahaman akuntansi adalah seseorang yang mengerti terhadap apa yang telah dipelajari pada mata kuliah akuntansi.

Namun, perhitungan yang sulit dan kurangnya keaktifan mahasiswa di dalam pelajaran akuntansi tetap saja memberikan pengaruh terhadap tinggi rendahnya pemahaman akuntansi itu sendiri. Sehingga pemahaman akuntansi ini harus terus ditingkatkan di semua perguruan tinggi.

2.1.6 Indikator Pemahaman Akuntansi

Dalam pemahaman ini, pemahaman akuntansi diukur dengan menggunakan nilai matakuliah akuntansi, yaitu:

a. Pengantar Akuntansi I b. Pengantar Akuntansi II

c. Akuntansi Keuangan Menengah I d. Akuntansi Keuangan Menengah II e. Akuntansi Keuangan Lanjutan I f. Akuntansi Keuangan Lanjutan II g. Teori Akuntansi

h. Praktek Akuntansi Keuangan i. Akuntansi Biaya

j. Akuntansi Perpajakan k. Akuntansi Manajemen l. Akuntansi Sektor Publik

(15)

2.2 Hubungan Intelligent Quotient, Emotional Quotient, dan Spiritual Quotient Terhadap Pemahaman Akuntansi

2.2.1 Hubungan Intelligent Quotient Terhadap Pemahaman Akuntansi

Selama ini banyak orang menganggap bahwa jika seseorang memiliki tingkat intelligent quotient (IQ) yang tinggi, maka orang tersebut memiliki peluang untuk meraih kesuksesan yang lebih besar dibanding orang lain. Pada kenyataannya, ada banyak kasus di mana seseorang yang memiliki tingkat intelligent quotient yang tinggi tersisih dari orang lain yang tingkat intelligent quotientnya lebih rendah. Ternyata IQ yang tinggi tidak menjamin seseorang akan meraih kesuksesan.

Para psikolog menyusun berbagai tes untuk mengukur intelligent

quotient, dan tes-tes ini menjadi alat untuk memilah manusia ke dalam

berbagai tingkatan kecerdasan, yang kemudian lebih dikenal dengan istilah IQ, yang katanya dapat menunjukkan kemampuan mereka. Menurut teori ini, semakin tinggi IQ seseorang, semakin tinggi pula kecerdasannya (Zohar & Marshall, 2007: 3).

Intelligent quotient memiliki dimensi yaitu intelegensi verbal,

intelegensi praktis, dan kemampuan untuk menyelesaikan masalah (Stenberg, 1981 dalam Azwar, 2008: 8). Seorang mahasiswa akuntansi yang memiliki intelligent quotient yang baik maka mampu memahami akuntansi dan dapat membaca dengan penuh pemahaman serta menunjukkan keingintahuan terhadap akuntansi.

(16)

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa intelligent quotient memiliki hubungan dengan pemahaman akuntansi.

2.2.2 Hubungan Emotional Quotient Terhadap Pemahaman Akuntansi

Emotional quotient memungkinkan seseorang untuk memutuskan

dalam situasi apa dirinya berada lalu bersikap secara total di dalamnya. EQ memiliki kesadaran mengenai perasaan milik diri sendiri dan juga perasaan milik orang lain. EQ memberikan rasa empati, cinta, motivasi, dan kemampuan untuk menanggapi kesedihan atau kegembiraan secara tepat (Goleman dalam Zohar & Marshall, 2007 : 3)

Dengan emotional quotient, seseorang mampu mengetahui dan menanggapi perasaan mereka sendiri dengan baik dan mampu membaca dan menghadapi perasaan-perasaan orang lain dengan efektif. Seseorang dengan keterampilan emosional yang berkembang baik berarti kemungkinan besar ia akan berhasil dalam kehidupan dan memiliki motivasi untuk berprestasi. Sedangkan seseorang yang tidak dapat mehanan kendali atas kehidupan emosionalnya akan mengalami pertarungan batin yang merusak kemampuannya untuk memusatkan perhatian pada tugas-tugasnya dan memiliki pikiran yang jernih.

Emotional Quotient yang ditandai dengan kemampuan pengenalan diri,

pengendalian diri, motivasi diri, empati, dan kemampuan sosial akan mempengaruhi perilaku belajar mahasiswa yang nantinya juga mempengaruhi seberapa besar mahasiswa dalam memahami akuntansi.

(17)

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa emotional quotient memiliki hubungan dengan pemahaman akuntansi

2.2.3 Hubungan Spiritual Quotient Terhadap Pemahaman Akuntansi

Pada dasarnya manusia adalah makhluk spiritual karena selalu terdorong oleh kebutuhan untuk mengajukan pertanyaan mendasar atau pokok seperti mengapa saya dilahirkan? Spiritual quotient memungkinkan manusia menjadi kreatif, mengubah aturan dan situasi.

Spiritual quotient memberikan rasa moral, kemampuan menyesuaikan aturan yang kaku diikuti dengan pemahaman dan cinta serta kemampuan setara untuk melihat kapan cinta dan pemahaman sampai pada batasnya. Seseorang menggunakan SQ untuk memilih hal baik dan jahat, serta untuk membayangkan kemungkinan yang belum terwujud untuk bermimpi, bercita-cita, dan mengangkat diri dari kerendahan (Zohar & Marshall, 2007 :4).

Spiritual Quotient (SQ) tidak harus berhubungan dengan agama.

Bagi sebagian orang, SQ mungkin menemukan cara pengungkapan melalui agama formal, tetapi beragama tidak menjamin SQ tinggi. Banyak orang humanis dan ateis memiliki SQ sangat tinggi, dan sebaliknya. Banyak orang yang aktif beragama memiliki SQ sangat rendah.

Beberapa penelitian oleh psikolog Gordon Allport, lima puluh tahun silam, menunjukkan bahwa orang memiliki pengalaman keagamaan lebih banyak diluar batas-batas arus utama lembaga keagamaan daripada

(18)

di dalamnya (Zohar & Marshall, 2007 :8). Spiritualitas mahasiswa akuntansi yang cerdas akan mampu membantu dalam pemecahan permasalahan-permasalahan dalam menghadapi kendala-kendala dalam proses pemahaman akuntansi.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa spiritual quotient memiliki hubungan dengan pemahaman akuntansi.

2.3 Penelitian Terdahulu

Peran penelitian terdahulu sangat berguna bagi penulis untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Penelitian kali ini dibuat dengan mengacu pada penelitian terdahulu. Hasil-hasil penelitian terdahulu yang berhubungan dengan penelitian ini masih menghasilkan penemuan yang berbeda-beda. Hal inilah yang menjadi salah satu sebab permasalahan ini menarik untuk diteliti kembali.

Penelitian terdahulu mengenai intelligent quotient, emotional quotient, dan

spiritual quotient dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut ini:

Tabel 2.1

Ringkasan Penelitian Terdahulu

No. Nama Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian

1. • Ridwan Tikollah • Iwan Triwuyono • H. Unti Ludigdo (2006) Pengaruh Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosional, dan Kecerdasan Spiritual Terhadap Sikap Etis Mahasiswa Akuntansi Kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual secara simultan berpengaruh signifikan terhadap sikap etis mahasiswa akuntansi

(19)

2. • Mardahlena (2007)

Pengaruh Kecerdasan Emosional

(Pengenalan diri, Motivasi, Empati, dan Keterampilan Sosial) Terhadap Tingkat Pemahaman Mata Kuliah Akuntansi Kecerdasan emosional berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat pemahaman akuntansi 3. • Wirumananggay (2008) Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Pemahaman Akuntansi Kecerdasan emosional yang mempunyai pengaruh positif adalah pengendalian diri, motivasi, keterampilan sosial sedangkan yang mempunyai pengaruh negatif adalah pengendalian diri dan

empati 4.

• Yulianto (2009) Pengaruh Kecerdasan Emosional, Kecerdasan Intelektual, dan Kecerdasan Spiriual Terhadap Pemahaman Akuntansi Kecerdasan emosional, kecerdasan intelektual, dan kecerdasan spiritual secara simultan berpengaruh signifikan terhadap pemahaman akuntansi. 5. • Arie Pangestu Dwijayanti (2009) Pengaruh Kecerdasan Emosional, Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Spiritual, dan Kecerdasan Sosial Terhadap Pemahaman Akuntansi Kecerdasan emosional, kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan sosial secara simultan berpengaruh signifikan terhadap pemahaman akuntansi. 6. • Filia Rachmi (2010) Pengaruh Kecerdasan Emosional, Kecerdasan Spiritual, dan Perilaku Belajar

Kecerdasan

emosional, kecerdasan spiritual, dan perilaku

(20)

Pemahaman Akuntansi signifikan terhadap pemahaman akuntansi. 2.4 Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual merupakan sintesis atau ekstrapolasi dari tinjauan teori yang mencerminkan keterkaitan antara variabel yang diteliti dan merupkan tuntunan untuk memecahkan masalah penelitian serta merumuskan hipotesis (Jurusan Akuntansi, 2004: 13).

Dalam Penelitian ini, variabel-variabel independen (X) yang ditentukan oleh peneliti yang dapat mempengaruhi variabel dependen yaitu pemahaman akuntansi (Y) adalah Intelligent Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), dan Spiritual Quotient (SQ) merupakan salah satu variabel independen yang pernah diteliti pengaruhnya terhadap pemahaman akuntansi, hal tersebut sejalan dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Ridwan Tikollah, Iwan Triwuyono, dan H. Unti Ludigdo (2007), Yulianto (2009), Arie Pangestu Dwijayanti (2009).

Intelligent Quotient (IQ) pernah diteliti sebagai salah satu variabel independen

yang dapat mempengaruhi pemahaman akuntansi, hal tersebut sejalan dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Ridwan Tikollah, Iwan Triwuyono, dan H. Unti Ludigdo (2007), Mardahlena (2007), Wirumananggay (2008), Yulianto (2009), Arie Pengestu Dwijayanti (2009), Filia Rachmi (2010). Emotional

Quotient (EQ) juga pernah menjadi salah satu variabel Independen yang diteliti

pengaruhnya terhadap pemahaman akuntansi, hal tersebut sejalan dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Ridwan Tikollah, Iwan Triwuyono, dan

(21)

Spiritual Quotient (SQ) juga pernah diteliti pengaruhnya terhadap pemahaman

akuntansi, hal tersebut sejalan dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Arie Pangestu Dwijayanti (2009) yang meneliti Intelligent Quotient, Emotional

Quotient, dan Spiritual Quotient terhadap pemahaman akuntansi.

Kerangka konseptual dianalisis secara parsial dan simultan. Secara parsial, sebab setiap variabel memiliki keterikatan dengan pemahaman akuntansi. Secara simultan, sebab seluruh variabel memiliki hubungan dengan pemahaman akuntansi.

Kerangka konseptual dari penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut: H1 H2 H3 H4 Gambar 2.1 2.5 Hipotesis

Hipotesis menurut Erlina (2007 : 41) menyatakan “hubungan yang diduga secara logis antara dua variabel atau lebih dalam rumusan preposisi yang dapat diuji secara empiris”. Berdasarkan kerangka konseptual di atas dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

Emotional Quotient (X2) Spiritual Quotient (X3) Intelligent Quotient (X1)

Pemahaman

Akuntansi (Y)

(22)

H1: Intelligent Quotient (IQ) berpengaruh positif terhadap pemahaman akuntansi. H2: Emotional Quotient (EQ) berpengaruh positif terhadap pemahaman

akuntansi.

H3: Spiritual Quotient (SQ) berpengaruh positif terhadap pemahaman akuntansi. H4 : Intelligent Quotient, Emotional Quotient, Spiritual Quotient bersama-sama mempengaruhi pemahaman akuntansi.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan Untuk dapat berkompetensi dalam berkomunikasi lintas budaya di kalangan generasi muda sebagai bentuk kesiapan menghadapi Pemberlakuan

Jumlah traffic di Bandar Domine Eduard Osok Sorong meningkat dari waktu ke waktu, namun keteraturan pergerakan kendaraan operasional di area airside belum memenuhi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel produk (X 1 ) yang di ukur dengan tiga indikator yaitu kualitas produk, daya tahan produk, dan desain produk dapat

SENARAI SEKOLAH MENENGAH DI NEGERI JOHOR DARUL

Sesuai dengan masalah yang diajukan, hasil kajian terhadap penerapan pendekatan komunikatif yang dilakukan oleh guru dalam pembelajaran berpidato bahasa Bali pada

Perlakuan panjang setek berpengaruh nyata terhadap jumlah daun dan diameter batang sedangkan pada peubah diameter stele dan lebar korteks akar menunjukkan hasil yang tidak berbeda

Gambar 3.7 Use Case Diagram Petugas UMKM pada Sistem Informasi Peengolahan Data Dinas Koperasi dan UMKM Nusa Tenggara

Jenis sistem informasi yang dikembangkan meliputi (a) Bidang Akademik & Kemahasiswaan, terdiri atas Sistem Informasi Penjaminan Mutu; Sistem Informasi Kegiatan