SKRIPSI
Oleh: Ria Zumaroh
C03212055
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Publik Islam Prodi Hukum Pidana Islam Surabaya
SKRIPSI Diajukan kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu
Syariah dan Hukum
Oleh Ria Zumaroh NIM. C03212055
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Publik Islam Prodi Hukum Pidana Islam Surabaya
v
ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian studi pustaka dengan judul “Sanksi Prostitusi Online Melalui Media Sosial Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam” yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan: Bagaimana sanksi prostitusi online menurut hukum positif? Bagaimana sanksi prostitusi online menurut hukum Islam dan Bagaimana persamaan? dan perbedaan terhadap sanksi prostitusi online menurut hukum positif dan hukum Islam?
Data ini dihimpun dengan mempelajari, memahami buku-buku, peraturan perundang-undangan serta karya tulis ilmiah lainnya yang berhubungan dengan tindak pidana Prostitusi Online yang selanjutnya diolah dengan beberapa tahap yaitu Editing: Melakukan pemeriksaan kembali terhadap data-data yang diperoleh secara cermat baik dari sumber primer atau sumber sekunder, Organizing: Menyusun data secara sistematis, dan Analizing: Tahapan analisis terhadap data dengan menggunakan metode deskriptif komparatif dan pola pikir deduktif.
Hasil studi ini adalah dasar hukum yang digunakan dalam menjerat seorang mucikari yakni Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mana terdapat dalam pasal 296 dan pasal 506, sanksi yang terdapat dalam pasal 296 yakni pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah dan sanksi dalam pasal 506 yakni pidana kurungan paling lama satu tahun. Bagi seorang PSK Kitab Undang-undang Hukum Pidana menyebutkannya sebagai pesenggamaan atas dasar suka sama suka, yang dilakukan oleh seseorang dengan orang yang telah bersuami atau beristri (permukahan) sebagaimana yang terdapat dalam pasal 284 KUHP. Kemudian juga dijerat dalam Undang-Undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Tranaksi Elektronik yang mana dalam Undang-Undang tersebut terdpat dal pasal 27 ayat (1) dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 tahun dan atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dirasa kurang memberikan efek jera kepada pelaku untuk mengulangi perbuatannya di masa mendatang seperti yang menjadi tujuan dari hukuman ta’zi>r dalam hukum pidana Islam. Dalam hukum pidana Islam tindak pidana Prostitusi Online termasuk dalam kategori jarimah ta’zi>r karena tidak ada ketentuan nash mengenai tindak pidana ini. Hakim dalam hal ini diberi kewenangan untuk menjatuhkan hukuman bagi pelaku jari>mah ta’zi>r.
ix
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
MOTTO...viii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TRANSLITERASI ... xi BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 8
C. Rumusan Masalah ... 9
D. Kajian Pustaka ... 9
E. Tujuan Penelitian ... 11
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 11
G. Definisi Operasional ... 12
H. Metode Penelitian ... 13
BAB II SANKSI PROSTITUSI ONLINE MENURUT HUKUM POSITIF ... 18
A. Pengertian Prostitusi Online ... 18
B. Sanksi Mucikari menurut Hukum Positif ... 21
C. Cara Kerja Prostitusi Online ... 29
D. Contoh Kasus Prostitusi Onlineserta Media yang Digunakan ... 30
BAB III SANKSI PROSTITUSI ONLINE MENURUT HUKUM ISLAM ... 32
A. Menurut Hukum Islam ... 32
x
1. Pengertian Ta’zi>r ... 36
2. Dasar Hukum Disyari’atkannya Ta’zi>r ... 42
3. Macam-macam Jari>mah Ta’zi>r ... 44
4. Macam-macam Hukuman Ta’zi>r ... 47
5. Manfaat Hukuman Ta’zi>r ... 55
BAB IV KOMPARASI HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF MENGENAI SANKSI PROSTITUSI ONLINE... ... 57
A. Persamaan Sanksi Prostitusi Online Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam ... 57
B. Perbedaan Sanksi Prostitusi Online Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam ... 62
C. Kelebihan dan Kelemahan Hukum Positif dan Hukum Islam terhadap Sanksi Mucikari ... 64
BAB V PENUTUP ... 66
A. Kesimpulan ... 66
B. Saran ... 68
A. Latar Belakanﱡ
Dengan berkembangnya zaman yang semakin pesat ini, pengetahuan seseorang mengenai komputer semakin meningkat, khususnya teknologi informasi dan komunikasi. Teknologi tersebut memang membawa dampak yang besar terhadap kehidupan manusia sekarang ini. Dengan adanya kecanggihan alat komunikasi, informasi yang ada dari belahan duniapun segera bisa diakses atau didapatkan.
Perkembangan internet bagaikan dua sisi mata uang, pada satu sisi ia berdampak positif yang berfungsi untuk memudahkan manusia dalam beriteraksi, bertukar inormasi dalam berbagai aktivitasnya dan menambah trend perkembangan teknologi dengan segala bentuk kreativitas manusia. Pada saat bersamaan dampak negatifnya tidak bisa dihindari, berbagai muatan pornografi dan perilaku asusila banyak yang menggunakan media internet. Seiring dengan perkembangan internet yang semakin canggih, yang mengakibatkan munculnya kejahatan melalui jejaring internet (cyber crime). Salah satu jenis kejahatan ini adalah prostitusi melalui internet atau disebut prostitusi online.
Dan tidak dibutuhkan banyak modal untuk melakukan hal tersebut, hanya cukup dengan modal tubuh yang secara profesional bersedia untuk dibisniskan. Dampak Prostitusi bukan hanya berdampak pada pelakunya saja tetapi juga berimbas pada masyarakat luas. Agama sebagai pedoman dalam hidup sama sekali tidak dihiraukan oleh mereka yang terlibat di dalam praktek prostitusi ini dan benar-benar merupakan perbuatan yang dilarang agama. Pelacuran bukan hanya sebuah gejala individu akan tetapi sesudah menjadi gejala sosial dari penyimpangan seksualitas yang normal dan juga agama.
Dalam Prostitusi terdapat tiga komponen penting yakni pelacur (prostitute), mucikari atau germo (pimp) dan pelanggannya (client) . Bisnis prostitusi ini dapat dilakukan secra konvensional maupun melalui dunia maya. Terungkapnya bebrapa kasus oleh pihak kepolisian menandakan maraknya kasus cyber porn melalui situs-situs ejaring sosial.
Berbicara tentang prostitusi adalah berbicara tentang peradaban itu sendiri yang usianya hampir sama tuanya dengan usia kehidupan manusia. Dengan kata lain prostitusi tidak akan pernah bisa dihapuskan. “Adakalanya kita tidak bisa memahami bahwa pada saat itulah kita akan bisa memahami bahwa prostitusi tidak bisa dipandang secara hitam putih”.1
Islam memandang perbuatan prostitusi merupakan perbuatan tercela dan termasuk dalam dosa besar dan mempunyai sanksi yang besar. Islam tidak membedakan apakah tindakan tersebut atas dasar suka sama suka, paksaan,
tidak beda pula, apakah ada tuntutan ke pengadilan ataupun tidak, semuanya dipandang sebagai perbuatan zina.
Perbuatan mendekati zina adalah perbuatan cabul yang dapat menyebabkan dan mengakibatkan terjadinya suatu perbuatan zina.2 Dalam al-Qur’an, larangan perbuatan mendekati zina terdapat dalam surat al-Isra ayat 32 yang artinya yaitu:
ﻘ
ﺰ
ﺸ
ء ﺳ
ﺳ
“dan janganlah kamu mendekati zina sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”
Alasan-alasan larangan melakukan perbuatan mendekati zina, menurut para mufasirin dari Tim Pentashih Mushaf al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia, adalah karena perbuatan ina itu merupakan perbuatan yang keji yang mengakibatkan kerusakan, antara lain:3
1. Perbuatan zina itu mencampuradukkan keturunan, yang mengakibatkan seseorang menjadi ragu-ragu terhadap anaknya, apakah anak ntersebut lahir itu sebagai keturunannya yang sah atau hasil perzinaan. Dugaan suami terhadap istri melakukan zina dengan laki-laki lain, dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam hal kedudukan hukum anak bersangkutan. Hal ini dapat mengakibatkan terhambatnya kelangsungan keturunan dan menghancurkan tata kemasyarakatan.
2Neng Djubaedah, Perzinaan dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia Ditinjau dari
Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), 73.
3 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid 6, (Semarang: Wicaksana, 1994),
2. Perbuatan zina menimbulkan ketidakstabilan dan kegelisahan. Diantara sesama anggota masyarakat, disebabkan tidak terpeliharanya kehormatan. Akibat terjadinya perbuatan zina banyak menimbulkan terjadinya tindak pidana terhadap nyawa atau pembunuhan dalam masyarakat.
3. Perbuatan zina dapat erusak ketenangan hidup berumah tangga. Seorang wanita atau seorang lelaki yang telah berbuat zina menimbulkan stikma atau noda keluarga dalam masyarakat setempat, sehingga memunculkan ketidakharmonisan dan tidak ada kedamaian serta tidak ada ketenangan dalam hubungan hidup berumah tangga, terlebih lagi jika zina itu dilakukan oleh suami atau istri yang bersangkutan.
4. Perbuatan zina dapat menghancurkan kehidupan rumah tangga atau keluarga yang bersangkutan. Hal itu karena, suami atau istri yang melakukan zina berarti ia telah menodai keluarga atau rumah tangganya, sehingga akan sukar untuk dielakkan dari kehancuran rumah tangga. Larangan melakukan pekerjaan mucikari, berkaitan dengan larangan terhadap perdagangan perempuan, baik dewasa maupun anak-anak.4 Dalam hukum Islam, berdasarkan ketentuan dalam surat an-Nur ayat 33, pekerjaan mucikari adalah haram hukumnya.
ﻰ
ء
ﺃ
ﷲ
4 Neng Djubaedah, Pornografi dan Pornoaksi Ditinjau Dari Hukum Islam, (Jakarta: Kencana,
“Dan janganlah kamu paksa budak-budak perempuanmu melakukan pelacuran (al-biga,i), sedangkan mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barang siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang (kepada mereka yang dipaksa melakukan pelacuran) sesudah mereka dipaksa itu.”5
Larangan melakukan pekerjaan mucikari dalam surat an-Nur ayat 33 didahului oleh perintah dalam surat an-Nur ayat 32, agar kita mengawinkan atau menganjurkan orang-orang yang berstatus sendirian melakukan perkawinan. Dan jika mereka miskin, menurut ayat 32 tersebut, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya.
Pada awal ayat 33 surat an-Nur dikemukakan bahwa bagi orang yang tidak mampu melakukan perkawinan hendaklah menjaga kesucian dirinya, sehingga Allah memberikan kemampuan kepada mereka melalui karunia-Nya. Kaitan antara surat an-Nur ayat 32 dan 33 adalah sangat berkaitan, karena kedua ayat tersebut mengatur agar orang menjaga kesucian dirinya dari perbuatan zina melalui lembaga perkawinan. Dalam perintah Allah tersebut mngandung larangan berbuat zina. Selain larangan melakukan tindak pidana perzinaan, dalam ayat 33 secara tegas diatur pula tentang larangan melakukan pekerjaan mucikari yang menyediakan pelacur untuk perzinaan dan pelacuran.
Dalam surat an-Nur ayat 33 tidak diatur secara jelas tentang sanksi terhadap mucikari, meskipun demikian, tidak berarti bagi para mucikari tidak ada hukumannya. Sanksi terhadap mereka dapat ditentukan melalui lembaga
ta’zi>r, karena bahwa setiap perbuatan maksiat yang tidak dapat dikenai sanksi hudud (termasuk didalamnya qishas) atau kaffarah dikualifikasikan
sebagai jari>mah ta’zi>r.6 Dengan ukuran dan jenis sanksi yang preventif, agar mereka jera dan tidak berusaha mengulangi perbuatan maksiat itu lagi. Misalnya, selain dijatuhi hukuman penjara, ia juga dijatuhi hukuman denda berupa sejumlah uang halal yang wajib dibayar kepada korban, atau berupa restitusi.7
Hukuman ta’zi>r adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’ dan diserahkan kepada ulil al-Amri untuk menetapkannya. Hukuman ta’zi>r ini jenisnya beragam, namun secara garis besar dapat dikelompokkan kepada empat kelompok, yaitu sebagai berikut :8
1. Hukuman ta’zi>r yang mengenai badan, seperti hukuman mati dan jilid (dera).
2. Hukuman yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang, seperti hukuman penjara dan pengasingan.
3. Hukuman ta’zi>r yang berkaitan dengan harta, seperti denda, penyitaan/ peramapasan harta, dan penghancuran barang.
4. Hukuman-hukuman lain yang ditentukan oleh ulil amri demi kemaslahatan umum.
Adanya prostitusi biasanya dilakukan disbuah tempat, baik dipinggiran jalan, pinggir rel, dengan cara pelaku menjajakan diri dan menunggu
6 Jaih Mubarak, Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam),
(Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), 176.
7Neng Djubaedah, Pornografi dan Pornoaksi Ditinjau Dari Hukum Islam, (Jakarta: Kencana,
2009), 201.
pelanggan pengguna jasanya datang. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih serta pengaruh globalisasi cara-cara yang dilakukan dalam bertransaksi sudah bermacam-macam, tidak lagi dengan saling bertemu ditempat biasanya menjajakan diri. Dengan menggunakan media internet adalah salah satunya.
Setiap orang di Indonesia yang mnyelidiki gejala-gejala kemasyarakatan, tentu akan mengetahui pula bagaimana seseorang sampai melacurkan diri. Banyak faktor-faktor dalam dan faktor-faktor luar yang memainkan peranan di dalam proses terjadinya pelacuran itu. Juga disini faktor-faktor dalam itu memainkan peran di dalam riwayat si pelacur. Sebagian besar dari pelacur-pelacur itu tidak sempurna rohaninya.9
Melihat kenyataan yang ada menjadikan masalah ini menarik untuk dikaji. Bagaimana peraturan perundang-undangan di Indonesia serta hukum Islam mampu untuk mngatasi mermasalahan sosial di era globalisasi sekarang. Maka skripsi ini akan membahasnya dalam bentuk penelitian yang berjudul “Sanksi Prostitusi Online Melalui Media Sosial Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam”.
Dengan harapan masalah prostitusi ini segera diatasi dan tidak berdampak pada kehidupan masyarakat yang mana saat ini kesusilaan merupakan masalah yang penting untuk lebih diperhatikan.
B. Identiﱠikasi dan Batasan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, terdapat beberapa masalah pada penelitian ini. Adapun masalah-masalah tersebut dapat diidentifikasi sebagaimana berikut:
1. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya prostitusi Online melalui media sosial.
2. Pandangan hukum positif terhadap tindak pidana prostitusi online yang dilakukan melalui media sosial.
3. Pandangan hukum Islam terhadap tindak pidana prostitusi online melalui media sosial.
4. Sanksi Pidana terhadap prostitusi online melalui media sosial menurut hukum positif.
5. Sanksi Pidana terhadap prostitusi online melalui media sosial menurut hukum Islam.
Berdasarkan identifikasi masalah diatas dan juga bertujuan agar permasalahan ini dikaji dengan baik, maka penulis membatasi penulisan karya ilmiah dengan batasan:
1. Sanksi terhadap pelaku tindak pidana prostitusi online melalui media sosial menurut hukum positif.
2. Sanksi terhadap pelaku tindak pidana prostitusi online melalui media sosial menurut hukum Islam.
3. Persamaan dan perbedaan sanksi pelaku tindak pidana prostitusi online menurut hukum positif dan hukum Islam.
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah di atas, maka secara lebih terperinci perumusan masalah dalam skripsi ini akan memfokuskan pada beberapa pembahasan untuk diteliti lebih lanjut adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sanksi prostitusi online menurut hukum positif? 2. Bagaimana sanksi prostitusi online menurut hukum Islam?
3. Bagaimana persamaan dan perbedaan terhadap sanksi prostitusi online menurut hukum positif dan hukum Islam?
D. Kajian Pustaka
Sejauh pengamatan dan penelitian penyusun mengenai topik yang membahas masalah prostitusi online baik mengenai konsep, unsur, ketentuan-ketentuan, status, maupun masalah lain yang berkaitan dengan prostitusi
online baik secara spesifik maupun secara umum penulispun melakukan studi pendahuluan terlbih dahulu sebelum menentukan judul skripsi dan menemukan pembahasan tentang prostitusi online, diantaranya adalah sebagai berikut:
Skripsi Zuroida Aironi, Mahasiswi Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya yang berjudul “Konsep Diri Pada Remaja yang terlibat Prostitusi (Studi Kasus Pada Remaja Yang Terlibat Prostitusi)”. Dalam skripsinya hanya memaparkan tentang konsep diri remaja yang terlibat prostitusi, hanya gambaran global atau faktor yang mempengaruhi terjadinya atau terlibatnya seorang remaja untuk melakukan prostitusi.10
Selanjutnya Skripsi Rosyadi Zainudin, Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Sunan Ampel Surabaya yang berjudul “Kehidupan Malam Warung Kopi Pangkon: Study Tentang Prostitusi Terselubung Warung Kopi Pangkon Di Pasar Agrobi Desa Paosan Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan.” Skripsi yang ditulis adalah hanya mengkaji secara global tentang aktifitas yang terjadi dalam warung kopi pangkon yang berada di Desa Plaosan Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan. 11
Skripsi ketiga adalah yang ditulis oleh Mufita Rofiqo Mahasiswi UIN Sunan Ampel Surabaya dengan judul “Cyber Porn dalam Bingkai Media Massa Studi Analisis Wacana Teun A,,Van Dijk tentang Pemberitaan Bisnis Prostitusi Online Di Surat Kabar Online Kompas dan Tempo Edisi 8-13 Februari 2013” skripsi ini membahas tentang permasalahan dan isu-isu aktual mengenai cyberporn dan menelusuri faktor-faktor penyebab serta mencari solusinya kemudian mendeskripsikan Model Analisi Wacana Van Dijk, ideologi media massa tentang cyberporn.12
Dari beberapa karya tulis tersebut telah banyak memberian inspirasi dan kontribusi besar terhadap penulis skripsi ini, namun berbeda dengan yang akan penulis teliti, dalam penelitian ini penulis akan mengkaji tentang “Sanksi Prostitusi Online melalui Media Sosial Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam.”
11 Rosyadi Zainudin, “Kehidupan Malam Warung Kopi Pangkon: Study Tentang Prostitusi
Terselubung Warung Kopi Pangkon Di Pasar Agrobi Desa Paosan Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan.” (Skripsi—UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2014).
12Mufita Rofiqo “Cyber Porn dalam Bingkai Media Massa Studi Analisis Wacana Teun A,,Van
Dijk tentang Pemberitaan Bisnis Prostitusi Online Di Surat Kabar Online Kompas dan Tempo
E. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah yang ditulis diatas, maka skripsi ini bertujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui sanksi prostitusi online menurut hukum Positif. 2. Untuk mngetahui sanksi prostitusi online menurut hukum Islam.
3. Untuk Mengetahui persamaan dan perbedaan terhadap sanksi prostitusi online menurut hukum positif dan hukum Islam.
F. Keﱡunaan Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sekurang-kurangnya dalam dua aspek yaitu:
1. Aspek keilmuan (teoritis), dapat dijadikan sebagai sumbangan pemikiran atau pedoman untuk menyusun hipotesis penulisan berikutnya bila ada kesamaan masalah ini memperluas khazanah keilmuan, khususnya tentang tindak pidana prostitusi online.
2. Asapek terapan (praktis), dapat dijadikan sebagai sumbangan informasi bagi masyarakat tentang betapa pentingnya sebuah media sosial agar tidak disalah gunakan dalam hal yang melanggar keasusilaan khususnya dalam hal ini adalah prostitusi online, penyuluhan khususnya para pemerintah maupun korporasi pada umumnya.
G. Deﱠinisi Operasional
Online Melalui Sosial Media Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam” dan definisi oprasional dari judul tersebut adalah:
1. Sanksi: Hukuman yang diberikan kepada seseorang atau suatu badan yang melanggar ketentuan perundang-undangan.
2. Prostitusi: kemasyarakatan di mana wanita menjual diri melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencarian.13
3. Online: dibahasa Indonesiakan menjadi terhubung.
4. Media sosial: sarana dan saluran resmi sebagai alat komunikasi untuk menyebarkan berita dan pesan kepada masyarakat luas.14
5. Hukum Positif: hukum yang berlaku saat ini di suatu negara untuk masyarakat dari dalam suatu daerah tertentu.
6. Hukum Islam: hukum-hukum yang diadakan oleh Allah untuk umatNya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik hukum yang berhubungan dengan amaliyah.
H. Metode Penelitian
1. Data yang dikumpulkan
Data yang dikumpulkan adalah data yang berkaitan dengan tindak pidana cyber crime dalam hal ini mengenai kasus prostitusi online dan hukum pidana Islam beserta ketentuan-ketentuan pidananya.
2. Sumber Data
Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini digunakan dua sumber data, yaitu:
Kartini Kartono, Patologi Sosial, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), 182.
a. Sumber primer
Data primer adalah data penelitian langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang diteliti.15 Data primer yang dibutuhkan adalah:
1. KUHP (kitab undang-undang Hukum Pidana)
2. UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
3. Fikih Jinayah b. Sumber sekunder
Sumber sekunder yaitu data yang mendukung atau data tambahan bagi data primer. Data sekunder merupakan data yang tidak langsung diperoleh peneliti dari subyek penelitian.16 Sumber data sekunder berupa kitab-kitab atau bahan bacaan lain yang memiliki keterkaitan dengan bahan skripsi, misalnya:
1) Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
2) Abdurrahman al Maliki, Sistem Sanksi Dalam Islam, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002.
3) Jaih Mubarak, Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam), Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004.
4) M. Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqih Jinayah, Jakarta: Amzah, 2013.
5) Neng Djubaedah, Perzinaan (Dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia Ditinjau dari Hukum Islam), Jakarta: Kencana, 2010.
6) Neng Djubaedah, Pornografi dan Pornoaksi Ditinjau dari Hukum Islam, Jakarta: Kencana, 2009.
7) Simandjuntak, Patologi Sosial, Bandung: Tarsito, 1985.
8) Trisnadi, Dolly Hitam Putih Prostitusi, Surabaya: Gagas Media, 2004.
c. Sumber Data Tersier (penunjang)
Sumber data tersier adalah bahan hukum yang menunjang dengan pembahasan skripsi, misalnya media cetak dan internet. 3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data bersifat library
research yaitu metode pengumpulan data dengan cara mempelajari, memahami buku-buku, peraturan perundang-undangan serta karya tulis ilmiah lainnya yang berhubungan dengan tindak pidana Prostitusi Online. 4. Teknik Pengelolaan Data
Data yang didapat dari dokumen dan terkumpulkan kemudian diolah, berikut tahapan-tahapannya:
sekunder, tentang kajian hukum pidana Islam terhadap tindak pidana prostitusi online.
b. Organizing : Menyusun data secara sistematis mengenai kajian hukum pidana Islam terhadap tindak pidana prostitusi online.
c. Analizing : Tahapan analisis terhadap data, kajian hukum pidana Islam mengenai prostitusi online dikomparasikan dengan hukum positif yaitu Undang-Undang ITE dan KUHP.
5. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data merupakan teknik analisi data yang secara nyata digunakan dalam penelitian beserta alasan penggunaannya. Masing-masing teknik analisis data diuraikan pengertiannya dan dijelaskan penggunaannya untuk menganalisis data yang mana akan digunakan.17
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskriptif komperatif, yaitu suatu teknik dipergunakan dengan jalan memberikan gambaran terhadap masalah yang dibahas dengan menyusun fakta-fakta sedemikian rupa sehingga membentuk konfigurasi masalah yang dapat dipahami dengan mudah.18 Langkah yang ditempuh penulis ialah mendeskripsikan secara sistematis semua fakta aktual yang diketahui, kemudian ditarik sebuah kesimpulan, sehingga dapat memberikan sebuah pemahaman yang konkrit. dalam hal ini dengan mengemukakan kasus yang terjadi di media sosial tentang prostitusi online yang kemudian akan
dikaitkan dengan teori dan dalil-dalil yang terdapat dalam literatur sebagai analisis, sehingga mendapatkan kesimpulan yang bersifat khusus.
6. Sistematika Pembahasan
Dalam menyusun skripsi yang berjudul “Sanksi Prostitusi Online Melalui Media Sosial Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam” diperlukan adanya suatu sistematika pembahasan, sehingga dapat diketahui kerangka skripsi ini adalah sebagai berikut:
Bab I berisi pendahuluan, merupakan gambaran umum yang terdiri dari beberapa sub bab yang meliputi Latar Belakang Masalah, Identifikasi dan Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Kajian Pustaka, Tujuan Penelitian, Kegunaan Hasil Penelitian, Definisi Operasional, Metode Penelitian, dan Sistematika Pembahasan.
Bab II, bab ini membahas landasan konsepsional tentang sanksi tindak pidana prostitusi online, kemudian dipaparkan menurut hukum positif dalam hal ini adalah Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta hukum pidana Islam.
Bab IV, bab ini mengemukan tentang persamaan dan perbedaan prostitusi online melalui media sosial menurut hukum positif dan hukum pidana Islam serta Kelebihan dan Kelemahan dari Hukum Positif dan Hukum Islam mengenai Sanksi Prostitusi Online.
Bab V Merupakan bab terakhir yang menjadi penutup dengan berisikan kesimpulan dan saran-saran.
A. Pengertian Prostitusi Online
Prostitusi di Indonesia dianggap sebagai kejahatan terhadap
moral/kesusilaan dan kegiatan prostitusi adalah sebuah kegiatan yang ilegal
dan bersifat melawan hukum. Kejahatan sudah ada sejak dahulu kala di dalam
suatu masyarakat dan dapat dikatakan sebagai suatu penyakit masyarakat.
Menurut Pendapat Kartini Kartono :1 Crime atau kajahatan adalah bentuk
tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan, merugikan
masyarakat, dan melanggar hukum serta undang-undang pidana.
Kejahatan memang merupakan gejala masyarakat yang amat sangat
mengganggu ketentraman, kedamaian, serta ketenangan masyarakat yang
seharusnya lenyap dari muka bumi ini, namun demekian seperti halnya siang
dan malam, pagi dan sore, perempuan dan laki-laki, maka kejahatan tersebut
tetap akan ada sebagai kelengkapan adanya kebaikan ,kebajikan, dan
sebagainnya.
Prostitusi atau disebut juga dengan pelacuran dalam kamus Bahasa
Indonesia dijelaskan berasal dari kata lacur yang berarti malang, celaka, sial,
gagal, atau buruk laku. Pelacur adalah perempuan yang melacur, sundal,
wanita tuna susila.2
Kartini Kartono, Patologi Sosial, (Jakarta: CV Rajawali, 1988), 137.
Kata prostitusi berasal dari perkataan Latin: prostituere yang berarti:
menyerahkan diri dengan terang terangan kepada perzinahan. Secara etimologi
pernah pula dihubungkan dengan perkataan prostare, artinya: menjual,
menjajakan. Perkataan itu sejak zaman dahulu telah dipakai dalam
perpustakaan Yunani Romawi untuk wanita-wanita yang menjual tubuhnya.
Prostitusi adalah suatu gejala yang terdapat diseluruh dunia dengan cara
yang sangat berlain-lainan. Dikebanyakan negri-negri pelacuran itu dilakukan
secara gelap di rumah-rumah pelacuran dan di rumah-rumah “pertemuan”.3
Profesor W.A. Bonger dalam tulisannya “Maatschappelijke Oorzaken der
Prostitutie” menulis definisi sebagai berikut:4
“Prostitusi ialah kemasyarakatan di mana wanita menjual diri melakukan
perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencarian. Pada definisi ini jelas
dinyatakan adanya peristiwa penjualan diri sebagai “profesi” atau mata
pencarian sehari-hari, dengan jalan melakukan relasi-relasi seksual.5
Jadi yang dimaksud prostitusi online itu sendiri adalah gejala
kemasyarakatan dimana wanita menjual diri, melakukan perbuatan seksual
sebagai mata pencaharian dan media sosial sebagai alat untuk membantu
bernegosiasi harga dan tempat dilakukannya prostitusi tersebut.
Mereka yang terlibat dalam praktek prostitusi online adalah:
3 B. Simandjuntak, Patologi Sosial, (Bandung: TARSITO, 1985), 112
Kartini Kartono, Patologi Sosial, (Jakarta: CV Rajawali, 1988), 205.
1. Mucikari
Mucikari atau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia merujuk pada
kata Muncikari adalah induk semang bagi perempuan lacur atau
germo.6 Namun pemahaman masyarakat secara luas adalah orang
yang berperan sebagai pengasuh, perantara, an “pemilik” pekerja
seks komersial (PSK). Dalam kebanyakan bisnis seks, khusunya
yang bersifat massal, pekerja seks biasanya tidak berhubungan
langsung dengan pengguna jasa. Mucikari berperan sebagai
penghubung kedua pihak ini dan akan mendapat komisi dari
penerimaan PSK yang presentasenya dibagi berdasarkan
perjanjian. Mucikari biasanya amat dominan dalam mengatur
hubungan ini, karena banyak PSK yang “berhutang budi”
kepadanya. Banyak PSK yang diangkat dari kemiskinan oleh
mucikari, walaupun dapat terjadi eksploitasi oleh mucikari kepada
anak asuhnya. Seperti ni pula mucikari dalam dunia prostitusi
online, mereka hanya sebagai penghubung antara pekerja seks
komersial dengan mreka lelaki hidung belang.
2. Pekerja Seks Komersial (PSK)
PSK atau yang disebut dengan pelacur adalah praktek hubungan
seksual sesaat, yang kurang lebih dilakukan dengan siapa saja
untuk imbalan berupa uang.7 PSK dalam dunia online ada
macamnya, ada yang secara langsung tanpa adanya perantara
Umi Chulsum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Surabaya: Kashiko, 2006), 473.
mucikari dengan menawarkan diri dan ada yang memang
menggunakan pihak lain dalam hal ini adalah seorang mucikari.
3. Pihak penyewa jasa PSK
Dari semua pihak yang disebutkan, pihak penyewa inilah yang
menjadi titik permasalahan terjadinya transaksi prostitusi online.
Walaupun tentu pihak lain juga memberikan dorongan hingga
terjadinya praktek prostitusi ini. Namun pihak penyewa inilah yang
menjadi target bagi pemilik website atau forum prostitusi online
untuk menyewa PSK darinya.
B. Sanksi Mucikari menurut Hukum Positif
1. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kejahatan Prostitusi secara umum diatur dalam Buku II KUHP Bab XIV
tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Buku III KUHP Bab II tentang
Pelanggaran Ketertiban Umum.
Pembahasan terhadap mucikari atau germo dalam KUHP dan
RUU-KUHP, tidak sedikit peran mucikari terhadap pemasaran pornografi (misal,
VCD porno) dan pornoaksi, khusunya untuk para pelanggan mereka sebagai
salah satu bagian pelayanan dalam memberikan kepuasan kepada para
konsumen atau pelanggan.
KUHP tidak melarang prostitusi, dan RUU-KUHP hanya melarang
prostitusi yang bergelandangan dan berkeliaran di jalan dan di tempat umum.
Tetapi KUHP dan RUU-KUHP melarang mucikari. Pasal RUU-KUHP
umum dengan tujuan melacurkan diri, seperti telah dikemukakan, namun
pelacuran atau prostitusi itu sendiri tidak dilarang. Jika RUU-KUHP melarang
prostitusi, tentu larangan melacurkan diri itu tidak terbatas hanya untuk orang
yang bergelandangan dan berkeliaran di jalan dan di tempat umum saja, atau
di tempat terbuka saja. Tentunya pelacuran dalam bentuk apapun, dilakukan
oleh siapa pun, dan di tempat mana pun, termasuk tempat tertutup sekalipun
tetap harus dilarang. Tetapi kenyataannya tidak demikian, tidak ada satu pasal
pun yang melarang pelacuran di tempat tertutup. Hal itu dapat dilihat dalam
pasal-pasal yang mengatur tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan dalam
Buku Kedua Bab XIV KUHP Pasal 281-Pasal 299, tentang Pelanggaran
Kesusilaan dalam Buku Ketiga Bab VI KUHP Pasal 532 sampai dengan Pasal
535.
Adapun penjelasan mengenai tindak pidana tentang prostitusi Yang
terdapat dalam KUHP.
a. Pasal 296 Buku II KUHP tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan,
yang berbunyi:8
“Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah”.
b. Pasal 506 Buku III KUHP tentang Pelanggaran Ketertiban Umum,
yang berbunyi :9
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: Sinr Grafika Offset, 2008), 108.
“Barang siapa mengambil keuntungan dari perbuatan cabul seorang
wanita dan menjadikannya sbagai mata pencaharian, diancam dengan
pidana kurungan paling lama satu tahun”.
Dengan kata “barang siapa” yang berarti maksudnya kepada orang-orang
yang menjadi mucikari. Orang yang menjadi prantara antara pekerja seks
komersial (PSK) dan mereka yang menggunakan jasanya.
Inti dari kedua pasal di atas adalah sama, yaitu hanya menghukum mereka
yang mencari keuntungan dalam praktek prostitusi ini yakni mucikari. Dalam
KUHP ini tidak mengatur tentang pihak seperti pemilik website, forum. Dan
mengenai tentang pekerja seks komersial KUHP menyebutkannya sebagai
pesenggamaan atas dasar suka sama suka, yang dilakukan oleh seseorang
dengan orang yang telah bersuami atau beristri (permukahan).
Meskipun ujung dari praktek prostitusi online adalah adanya hubungan
seks terlarang ini. Menurut pasal 284 KUHP, jika permukahan itu terjadi,
maka orang yang dapat mengadukan tindak pidana permukahan adalah hanya
suami atau istri yang tercemar. Menurut pasal-pasal tersebut, tindak pidana
permukahan atau perzinaan adalah merupakan delik aduan, bukan delik biasa.
2. Menurut Undang-Undang RI NO.11 Tahun 2008 Tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik
Kehadiran undang-undang disebuah negara berfungsi untuk mengatur
maupun untuk melindungi masyarakatnya. Pada dasarnya undang-undang itu
masyarakat dari permasalahan yang akan terjadi. Perkembangan lingkungan,
budaya dan teknologi membuat perubahan atas tata kehidupan masyarakat.
Kemajuan teknologilah yang menyebabkan perubahan terbesar dari tata
kehidupan masyarakat tersebut, semua dipermudah dengan kehadiran
teknologi.
Negara kita sendiri yang menjadi negara berkembang, tidak ketinggalan
dalam menikmati atau menggunakan teknologi yang semakin canggih dan
yang semakin pesat berkembang saat ini adalah internet. Dengan bertujuan
untuk mempermudah kehidupan dalam berkegiatan sehari-hari, akan tetapi
banyak juga yang menyalahgunakan teknologi tersebut, seperti halnnya yang
penulis bahas yakni tentang praktek prostitusi dalam praktek prostitusi melalui
jaringan internet.
Tahun 2003 pemerintah mengatur tentang kegiatan melalui media internet
ini dengan nama RUU Informasi komunikasi dan transaksi elektronik yang
sekarang menjadi Undang-Undang RI NO. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
UU ITE mulai dirancang pada bulan maret 2003 oleh kementerian Negara
komunikasi dan informasi (kominfo), pada mulanya RUU ITE diberi nama
undang-undang informasi komunikasi dan transaksi elektronik oleh
Departemen Perhubungan, Departemen Perindustrian, Departemen
Perdagangan, serta bekerja sama dengan Tim dari universitas yang ada di
Indonesia yaitu Universitas Padjajaran (Unpad), Institut Teknologi Bandung
Pada tanggal 5 september 2005 secara resmi presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menyampaikan RUU ITE kepada DPR melalui surat
No.R/70/Pres/9/2005. Dan menunjuk Dr.Sofyan A Djalil (Menteri
Komunikasi dan Informatika) dan Mohammad Andi Mattalata (Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia) sebagai wakil pemerintah dalam pembahasan
bersama dengan DPR RI.
Tanggal 24 Januari 2007 sampai dengan 6 Juni 2007 pansus DPR RI
dengan pemerintah yang diwakili oleh Dr.Sofyan A Djalil (Menteri
Komunikasi dan Informatika) dan Mohammad Andi Mattalata (Menteri
Hukum dan Hak Azasi Manusia) membahas DIM RUU ITE.Tanggal 29 Juni
2007 sampai dengan 31 Januari 2008 pembahasan RUU ITE dalam tahapan
pembentukan dunia kerja (panja).sedangkan pembahasan RUU ITE tahap Tim
Perumus (Timus) dan Tim Sinkronisasi (Timsin) yang berlangsung sejak
tanggal 13 Februari 2008 sampai dengan 13 Maret 2008.
18 Maret 2008 merupakan naskah akhir UU ITE dibawa ke tingkat II
sebagai pengambilan keputusan. 25 Maret 2008, 10 Fraksi menyetujui RUU
ITE ditetapkan menjadi Undang-Undang. Selanjutnya Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono menandatangani naskah UU ITE menjadi
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, dan dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 58 Tahun
2008.10
Kehadiran undang-undang tersebut menjadi sebuah harapan bagi
masyarakat Indonesia agar mereka dapat terlindung dari kegiatan-kegiatan
yang dilakukan dari media internet salah satunya yaitu prostitusi melalui
media ini. Dan undang-undang ini mengatur tentang sanksi terhadap tindakan
kriminal di dunia maya secara pidana.
Dalam Undang-Undang RI NO.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE) tidak menyebutkan kata prostitusi dalam semua
pasalnya. Kecuali pada pasal 27 yang berisikan tentang perbuatan-perbuatan
yang dilarang, menyebutkan kata kesusilaan yang menyangkut kepada hal-hal
yang berbau pornografi. Isi pasal 27 UU ITE yaitu sebagai berikut:11
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian. (3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.12
Pada pasal 27 UU ITE, tepatnya pada ayat (1) menyebutkan kata
kesusilaan yang dimaksudkan menyangkut pada hal-hal yang bersifat
kepornoan. Dan pada ayat ini tidak menyebutkan hal-hal apa sajakah yang
dimaksud kesusilaan tersebut. Dan ketentuan Undang-Undang No.11 tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut dapat digunakan
dalam perkara Prostitusi online adalah Pasal 45 ayat (1) juncto Pasal 27 ayat
(1).13
Ketentuan Pasal 52 ayat (1) mengatur pemberatan sanksi pidana atas
pelanggaran Pasal 27 ayat (1) yaitu mendistribusikan, mentransmisikan,
dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan menyangkut
kesusilaan atau eksploitasi seksual terhadap anak. Sanksi pidana atas tindak
pidana tersebut adalah pidana pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat
(1) yaitu 6 tahun dan/atau denda Rp. 1 M ditambah sepertiga.
Ketentuan pasal 52 ayat (1) termasuk pengaturan mengenai child
pornography yang di negara-negara di dunia baik dalam hukum nasionalnya
maupun hukum internasional mendapat perhatian serius. Dalam konvensi
Dewan Eropa 2001, child pornoghrapy juga diatur dan merupakan salah satu
jenis tindak pidana yang harus diharmonisasi dan diatur dalam hukum
nasional negara-negara pratifikasi. Pemberatan pidana atas tindak pidana child
pornoghrapy sangat diperlukan untuk memberikan perlindungan kepada anak
yang mempunyai kedudukan sangat rentan dan mempunyai peran yang sangat
penting untuk kehidupan manusia di masa yang akan datang, baik kehidupan
anak tersebut maupun kehidupan manusia pada umumnya. Di beberapa negara
Widodo, Hukum Pidana di Bidang Teknologi Informasi (Cybercrim Law), (Yogyakarta: Aswaja
maju sanksi pidana terhadap pelaku child pornoghrapy umumnya relatif lebih
berat.14
Pada pasal 27 ayat (1) tersebut, menyebutkan “Setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmiikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik...”, sehingga yang menjadi subyek hukum yang dituntut
pertanggungjawaban pidannya dalam UU ini hanyalah pemilik website
prostitusi online, yakni sebagai orang yang mendistribusikan atau
mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya situs-situs porno atau
prostitusi online tersebut.
Ketentuan mengenai sanksi dalam UU ITE ini termuat, yaitu pada Pasal 45
ayat (1) tentang ketentuan pidana: Setiap Orang yang memenuhi unsur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat
(4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan atau denda paling
banyak Rp.1.000.000.000,00.15 Pasal ini mengancam penjatuhan pidana bagi
setiap orang yang melakukan beberapa kejahatan, yang salah satunya pasal 27
ayat (1) mengenai kesusilaan dengan pidana penjara maksimal 6 tahun
dan/atau denda maksimal 1 miliar rupiah.
C. Cara Kerja Prostitusi Online
Para pelaku prostitusi online baik pada gadis Abg maupun para pria
hidung belang mengaku lebih suka memilih cara online dari pada datang
Sigid Suseno, Yurisdiksi Tindak Pidana Siber, (Bandung: PT Refika Aditama, 2012), 180
langsung dan memilih - milih dijalanan. Dengan sistem online semuanya
menjadi lebih mudah bahkan tinggal memilih jenis dan ukuran harga yang di
inginkan. Para wanita panggilan kerap sekali menggunakan media sosial
seperti twitter dan facebook untuk mempromosikan dirinya kepada para lelaki
hidung belang yang hendak mencari kepuasan ranjang. Setelah berhubungan
melalui twitter atau facebook kemudian percakapan serius dilanjutkan dengan
BBM atau Whatsapp.
Mengapa para gadis abg ini lebih memilih cara seperti ini lantaran lebih
mudah dan lebih aman, seperti ini mekanisme cara kerja prostitusi online
diantaranya yaitu:16
1. Pekerja seks komersial akan mempromosikan dirinya melalui media
sosial.
2. Pria hidung belang menemukan iklan PSK tersebut kemudian
berhubungan melalui media sosial dan di sambungkan dengan BBM atau
Whatsapp setelah ada kata deal ingin bertemu.
3. Biasanya jika proses sebelum deal pria hidung belang di harapkan
memberi Depe terlebih dahulu untuk meyakinkan PSK
4. Dalam iklan yang di promosikan di media sosial para PSK sudah
menentukan secara detial layanan yang akan diterima oleh para pria
hidung belang tersebut.
5. Setelah berhubungan melalui BBM atau Whatsapp, maka akan
menentukan dimana tempat pelaksanaannya.
6. Setelah selesai biasanya lelaki hidung belang akan langsung meminta
nomor handphone untuk mempermudah memanggilnya kembali suatu saat
jika membutuhkan.
D. Contoh Kasus prostitusi online serta Media yang digunakan
Mucikari RA yang menjajakan jasa prostitusi secara online atau
menggunakan media sosial diringkus Polres Jakarta Selatan. Dalam
pengakuannya, RA telah menggeluti bisnis terlarang itu sejak 3 tahun lalu.
"Dia sudah mulai dari 2012-an. Itu artinya sudah lama tapi baru terungkap
sekarang," papar Kasatserse Polres Jakarta Selatan AKBP Audie Latuheru di
Polres Jakarta Selatan, Senin (11/5/2015).
RA diduga mengendalikan 200 pekerja seks. Salah satunya artis AA yang
ditangkap Jumat 8 Mei lalu. Tarif mereka antara Rp 80 juta hingga Rp 200
juta. Artis AA sendiri menjadi PSK mucikari RA dengan tarif tertinggi.
"Kalau melihat dari harga, kelihatannya ini yang paling tinggi. Saya belum
tahu ada yang lebih tinggi atau tidak," tambah Audie. Dia mengatakan, RA
dirigkus Polres Jakarta Selatan setelah melakukan penyamaran. Hal itu
dilakukan karena jaringan yang dihimpun RA sangat tertutup untuk dijangkau
khalayak umum. "Kita mendapatkan informasi dari masyarakat bahwa ada
prostitusi dengan harga tinggi. Jadi kita menyamar. Karena jaringan ini sangat
tertutup, jadi kita menjadi pembeli. Jadi pembeli pun sangat ketat syaratnya,"
Kasus prostitusi online kelas kakap ini pertama diungkap saat polisi
menangkap AA yang diduga artis dan mucikarinya RA di sebuah hotel
bintang 5 di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat 8 Mei 2015 malam.
Mucikari RA telah ditetapkan sebagai tersangka, dia dikenakan Pasal 296
dan 506 KUHP. Sedangkan artis AA hanya sebagai saksi. (Mvi/Sun).17
17 “Mucikari RA Jalankan Bisnis Prostitusi Online Sejak 2012”
http://news.liputan6.com/read/2229866/mucikari-ra-jalankan-bisnis-prostitusi-online-sejak-2012,
A. Menurut Hukum Islam
Menurut hukum Islam sangat jelas, bahwa perbuatan zina dilarang dan
sanksinya ditentukan langsung dalam syariat Islam secara qat’i, yaitu
al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad SAW. Menurut surat an-Nur ayat 2:
ﺰ
ﺰ
ﺧ
ﷲ
ﻪ
ﺧ
ﻁ
“Perempuan yang berzina dengan laki-laki yang berzina, hendaklah kamu dera tiap-tiap satu dari keduanya itu dengan seratus kali deraan.Dan janganlah kamu dipengaruhi oleh perasaan kasihan kepada keduanya di dalam menjalankan (ketentuan) agama Allah yaitu jika kamu sebenarnya beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan hendaklah hukuman keduanya itu disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”.1
Dalam hukum Islam zina adalah pebuatan yang sangat tercela dan
pelakunya dikenakan sanksi yang amat berat, baik itu hukum dera maupun
rajam, karena alasan yang dapat di pertanggung jawabkan secara moral dan
akal. Kenapa zina diancam dengan hukuman berat. Pelakunya dihukum
dengan hukuman rajam (dilempari batu sampai meninggal dengan disaksikan
banyak orang), jika muhsan. Jika ia ghairu mushan, maka ia dihukum cambuk
100 kali. Adanya perbedaan hukum tersebut karena muhsan seharusnya bisa
lebih menjaga diri untuk melakukan perbuatan tercela itu, apalagi kalau masih
dalam ikatan perkawinan yang berarti menyakiti dan mencemarkan nama baik
keluarganya, sementara ghairu muhsan belum pernah menikah sehingga nafsu
syahwatnya lebih besar karena didorong rasa keingintahuannya. Namun
keduanya tetap sangat dicela oleh Islam dan tidak boleh diberi belas kasihan.2
Seperti mendapat hukuman hudud, karena telah ada ketentuannya dengan jelas
pada nash.
Larangan melakukan pekerjaan mucikari, berkaitan dengan larangan
terhadap perdagangan perempuan, baik dewasa maupun anak-anak.3 Dalam
hukum Islam, berdasarkan ketentuan dalam surat an-Nur ayat 33, pekerjaan
mucikari adalah haram hukumnya. Lebih-lebih dalam pekerjaannya itu para
mucikari disertai dengan menyediakan benda-benda pornografi atau perbuatan
pornoaksi, sebagai pelayanan bagi konsumen atau pelanggan.4
ء
ﷲ
“Dan janganlah kamu paksa budak-budak perempuanmu melakukan
pelacuran (al-biga,i), sedangkan mereka sendiri menginginkan kesucian,
karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barang siapa yang
memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang (kepada mereka yang dipaksa melakukan pelacuran) sesudah mereka dipaksa itu.”5
A. Djazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), 42-43.
3 Neng Djubaedah, Pornografi dan Pornoaksi Ditinjau Dari Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2009), 200.
Ibid., 210.
Larangan melakukan pekerjaan mucikari dalam surat an-Nur ayat 33
didahului oleh perintah dalam surat an-Nur ayat 32, agar kita mengawinkan
atau menganjurkan orang-orang yang berstatus sendirian melakukan
perkawinan. Dan jika mereka miskin, menurut ayat 32 tersebut, Allah akan
memampukan mereka dengan karunia-Nya.
Pada awal ayat 33 surat an-Nur dikemukakan bahwa bagi orang yang
tidak mampu melakukan perkawinan hendaklah menjaga kesucian dirinya,
sehingga Allah memberikan kemampuan kepada mereka melalui karunia-Nya.
Kaitan antara surat an-Nur ayat 32 dan 33 adalah sangat berkaitan, karena
kedua ayat tersebut mengatur agar orang menjaga kesucian dirinya dari
perbuatan zina melalui lembaga perkawinan. Dalam perintah Allah tersebut
mngandung larangan berbuat zina. Selain larangan melakukan tindak pidana
perzinaan, dalam ayat 33 secara tegas diatur pula tentang larangan melakukan
pekerjaan mucikari yang menyediakan pelacur untuk perzinaan dan pelacuran.
Dalam surat an-Nur ayat 33 tidak diatur secara jelas tentang sanksi
terhadap mucikari, meskipun demikian, tidak berarti bagi para mucikari tidak
ada hukumannya. Sanksi terhadap mereka dapat ditentukan melalui lembaga
ta’zi>r, karena bahwa setiap perbuatan maksiat yang tidak dapat dikenai
sanksi hudud (termasuk didalamnya qishas) atau kaffarah dikualifikasikan
sebagai jari>mah ta’zi>r.6 Dengan ukuran dan jenis sanksi yang preventif,
agar mereka jera dan tidak berusaha mengulangi perbuatan maksiat itu lagi.
Misalnya, selain dijatuhi hukuman penjara, ia juga dijatuhi hukuman denda
berupa sejumlah uang halal yang wajib dibayar kepada korban, atau berupa
restitusi.7 Sanksi atas perbuatan mucikari yang melakukan tindak pidana
tersebut seharusnya lebih berat, yaitu berupa adzab yang pedih, karena ia telah
melakukan dosa besar.
Penetapan kadar sanksi ta’zi>r asalnya merupakan hak bagi Khalifah.
Meskipun demikian sanksi ta’zi>r boleh ditetapkan berdasarkan ijtihad
seorang qadly. Boleh juga Khalifah melarang qadliy untuk menetapkan ukuran
sanksi ta’zi>r, dan khalifah sendiri yang menetapkan ukuran saksi ta’zi>r-nya
kepada qadliy. Sebab qadliy adalah wakil khalifah. Sdangkan peradilan
bergantung pada zaman, tempat, dan kasus yang terjadi. Khalifah boleh
memberi hak khusus kepada qadliy untuk memutuskan persoalan-persoalan
peradilan tertentu. Khalifah juga yang berhak melarang qadliy untuk
menetapkan sanksi ta’zi>r secara mutlak. Bahkan Khalifah boleh melarang
qadliy menetapkan ukuran sanksi ta’zi>r pada sebagian kasus peradilan,
kemudian memberikan hak kepada qadliy pada kasus-kasus yang lain.8
Mucikari sangat sering kita temukan dalam masyarakat dilingkungan
kita. Namun, karena pekerjaan mucikari biasanya dilakukan secara
sembunyi-sembunyi, maka anggota masyarakat setempat sulit untuk melakukan
pengaduan, meskipun tindak pidana mucikari ini merupakan delik biasa atau
delik umum.
Selain itu, tindak pidana mucikari juga merupakan lembaga yang
melestarikan perbudakan. Seperti telah diketahui, perbudakan adalah
7Neng Djubaedah, Pornografi dan Pornoaksi Ditinjau Dari Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2009), 201.
perbuatan yang dilarang, baik dalam hukum Islam, hukum Barat, ataupun
hukum adat di Indonesia. Orang-orang yang dijadikan objek pekerjaan
mucikari tentu orang-orang yang tidak bebas, teraniaya dan harga dirinya tidak
dihormati. Padahal menurut ajaran Islam, dalam surat al-Isra ayat 70, allah
memuliakan umat manusia ciptaan-Nya, termasuk orang-orang yang dijadikan
pelacur sebagai objek pekerjaan para mucikari dan para mucikari itu sendiri,
“dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam.” Namun manusia
itu sendiri (para mucikari) yang menganiaya dirinya sendiri, hanya karena
faktor duniawi semata, faktor kesenangan sesaat.9
B. Ta’zi>r
1. Penﱡertian Ta’zi>r
Menurut arti bahasa, lafaz ta’zi>r berasal dari kata
ﺰ :
yangsinonimnya:10
1.
Yang artinya mencegah dan menolak
2.
Yang artinya mendidik
3.
Yang artinya mengangungkan dan menghormati
4. Yang artinya membantunya, menguatkan, dan
menolong.
Dari keempat pengertian tersebut, yang paling relevan adalah pengertian
pertama dan pengertian kedua. Pengertian ini sesuai dengan apa yang
dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah dan Wahbah Zuhaili. Ta’zi>r diartikan
Ibid., 201
mencegah dan menolak karena dapat mencegah pelaku agar tidak mengulagi
perbuatnnya. Ta’zi>r diartikan mendidik, karena ta’zi>r dimaksudkan untuk
mendidik dan memperbaiki pelaku agar ia menyadari perbuatan jari>mahnya
kemudian meninggalkan dan menghentikannya.
Menurut istilah didefinisikan oleh Al-Mawardi sebagaimana dikutip dalam
bukunya Ahmad Wardi Muslich yang dimaksud dengan ta’zi>r adalah
sebagai berikut :11
ﺰ
“Ta’zi>r adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa
(maksiat) yang hukumannya ditentukan oleh syara’.”
Sementara Wahbah az-Zuhaily sebagaimana dikutip dalam bukunya
Ahmad Wardi Muslich memberikan definisi yang mirip dengan definisi
al-Mawardi :12
:
َﺓ
“Ta’zi>r menurut syara’ adalah hukuman yang ditetapkan atas perbuatan
maksiat atau jinayah yang tidak dikarenakan had dan tidak pula kifarat.”
Jadi dengan demikian jari>mah ta’zi>r adalah suatu jari>mah yang
hukumannya diserahkan kepada hakim atau penguasa. Hakim dalam hal ini
diberi kewenangan untuk menjatuhkan hukuman bagi pelaku jari>mah
ta’zi>r. Dari definisi yang dikemukakan diatas, jelaslah bahwa ta’zi>r adalah
suatu istilah untuk hukuman atas jari>mah-jari>mah yang hukumannya
belum ditetapkan oleh syara’. Dikalangan fuqaha, jari>mah-jari>mah yang
hukumnya belum ditetapkan oleh syara’ dinamakan dengan jari>mah ta’zi>r.
Jadi istilah ta’zi>r bisa digunakan untuk hukuman dan bisa juga untuk
jari>mah (tindak pidana).
Dari definisi tersebut, juga dapat difahami bahwa jari>mah ta’zi>r terdiri
atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan had dan tidak pula
dikenakan kifarat, dengan demikian, inti dari jari>mah ta’zi>r adalah
perbuatan maksiat. Adapun yang dimaksud dengan maksiat adalah
meninggalkan perbuatan yang diwajibkan dan melakukan perbuatan yang
diharamkan (dilarang). Para fuqaha memberikan contoh meninggalkan
kewajiban seperti menolak membayar zakat, meninggalkan shalat fardhu,
enggan membayar hutang padahal mampu, mengkhianati amanat, seperti
menggelapkan titipan, memanipulasi harta anak yatim, hasil wakaf dan lain
sebagainya. Sebagai contoh melakukan perbuatan yang dilarang, seperti
mencium perempuan lain bukan istri, sumpah palsu. Penipuan dalam jual beli,
melakukan riba, melindungi dan menyembunyikan pelaku kejahatan,
memakan barang-barang yang diharamkan, seperti darah, bangkai, dan
Disamping itu juga hukuman ta’zi>r dapat dijatuhkan apabila hal itu
dikehendaki oleh kemashlahatan umum, meskipun perbuatannya bukan
maksiat, melainkan pada awalnya mubah. Perbuatan-perbuatan yang termasuk
kelompok ini tidak bisa ditentukan, karena perbuatan tersebut tidak
diharamkan karena zatnya, melainkan karena sifatnya. Apabila sifat tersebut
ada maka perbuatannya diharamkan, dan apabila sifat tersebut tidak ada maka
perbuatannya mubah. Sifat yang menjadi alasan (illat) dikenakan hukuman
atas perbuatannya tersebut adalah membahayakan atau merugikan kepentingan
umum. Apabila dalam suatu perbuatan terdapat unsur merugikan kepentingan
umum maka perbuatan tersebut dianggap jari>mah dan pelaku dikenakan
hukuman. Akan tetapi apabila dalam perbuatan tersebut bukan jari>mah dan
pelaku tidak dikenakan hukuman.
Penjatuhan hukuman ta’zi>r untuk kepentingan umum ini didasarkan
kepada tindakan Rasulullah SAW, yang menahan seorang laki-laki yang
diduga mencuri unta. Setelah diketahui ternyata ia tidak mencurinya.
Rasulullah SAW melepaskannya. Analisis terhadap tindakan Rasulullah SAW
tersebut adalah bahwa penahanan merupakan hukuman ta’zi>r, sedangkan
hukuman hanya dapat dikenakan terhadap suatu jari>mah yang sudah dapat
dibuktikan. Apabila dalam peristiwa tersebut tidak terdapat unsur pidana maka
artinya Rasulullah mengenakan hukuman penahanan (penjara) hanya karena
tuduhan semata-mata (tuhmah). Hal ini mengandung arti bahwa Rasulullah
SAW membolehkan penjatuhan hukuman terhadap dalam posisi tersangka,
oleh Rasulullah SAW tersebut dibenarkan oleh kepentingan umum, sebab
membiarkan si tersangka hidup bebas sebelum dilakukan penyelidikan tentang
kebenaran tuduhan terhadap dirinya biar mengakibatkan ia lari, dan biar juga
menyebabkan dijatuhkannya vonis yang tidak benar terhadap dirinya, atau
menyebabkan tidak dapat dijalankannya hukuman yang telah diputuskan.
Sanksi ta’zi>r ditetapka sesuai dengan tigkat kejahatanya. Kejahata yang
besar mesti dikenai saksi yang berat, sehigga tercapai tujua sanksi, yakni
pencegahan. Begitupula dengan kejahatan kecil, akan dikenai sanksi yang
dapat mencegah orang lain untuk melakukan kejahatan serupa. Pelaku
kejahatan kecil tidak boleh dikenai sanksi melampaui batas, agar tidak
termasuk mendzalimi pelaku dosa tersebut.
Dalam bukunya Jaih Mubarok dijelaskan bahwasannya ‘Abd al-Qa^dir
‘Awdah menjelaskan bahwa paling tidak ada tiga fase dalam proses
melakukan perbuatan jari>mah. Fase-fase tersebut adalah:13
a. Fase Pemikiran atau Perencanaan (marhalat al-tafki^r)
Pada fase ini memikirkan atau merencanakan berbuat jari>mah belum
dapat dikategorikan telah berbuat jari>mah karena perbuatan tersebut
bukan meruakan perbuatan maksiat.
b. Fase Persiapan (marhalat al-tahdhi^r)
Pade fase ini, posisi ercobaan ditentukan oleh sifat dari perbuatannya.
Perbuatan ercobaan dapat dikategorikan perbuatan jari>mah jika
perbuatan tersebut termasuk perbuatan maksiat. Suatu perbuatan dapat
dikategorikan perbuatan maksiat juka perbuatan tersebut telah
melanggar hak-hak Allah dan hak-hak manusia.
Pada fase ini, terdapat dua kemungkinan. Pertama, kegiatan persiapan
belum dikategorikan perbuatan jari>mah jika kegiatan persiapan
tersebut bukan maksiat. Kedua, kegiatan persiapan dikategorikan
perbuatan jari>mah jika kegiatan persiapan tersebut termasuk
perbuatan maksiat.
c. Fase Pelaksanaan (marhalat al-tanfi^dz)
Pada fase ini terdapat beberapak kmungkinan. Pertama, seluruh
rangkaian kegiatan percobaan belum dikategorikan perbuatan
jari>mah karena buakan perbuatan maksiat. Kedua, di antara
rangkaian kegiatan percobaan tersebut dapat dikategorikan perbuatan
jari>mah karena termasuk perbuatan maksiat. Ketiga, diantara
rangkaian kegiatan percobaan tersebut dapat dikategorikan jari>mah
hudud atau qishash, walaupun bukan jari>mah hudud atau qishah yang
dimaksudkan. Keempat, kegiatan pelaksanaan ini sudah sampai kepada
jari>mah hudud atau qishash yang dimaksud.
2. Dasar Hukum Disyariﺶatkannya Ta’zi>r
Pada jari>mah ta’zi>r al-Quran dan al-Hadis tidak menerpkan secara
terperinci, baik dari segi bentuk jari>mah maupun hukumannya.14 Dasar
hukum disyaratkannya ta’zi>r terdapat dalam beberapa hadis Nabi SAW. Dan
tindakan sahabat. Hadis-hadis tersebut antara lain sebagai berikut:15
a. Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bahz ibn Hakim sebagaimana
dikutip dalam bukunya Ahmad Wardi Muslich
ﺰ
,
ﷲ
)
(
“Dari Bahz ibn Hakim dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi SAW. menahan seseorang karena disangka melakukan kejahatan.” (Hadis diriwayatkan oleh Abu Dawud, Turmudzi, Nasa’i dan Baihaqi, serta dishahihkan oleh Hakim.)16
b. Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abi Burdah
ﻷ
ﺿ
ﷲ
ﷲ
ﷲ
:
ﻁ
ﷲ
)
(
Dari Abi Burdah Al-Anshari ra. Bahwa ia mendengar Rasulullah SAW. bersabda: “Tidak boleh dijilid di atas sepuluh cambuk kecuali di dalam hukuman yang telah ditentukan oleh Allah Ta’ala. (Muttafaq alaih)17
c. Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 252. Makhrus M, Hukum Pidana Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Teras, 2009), 183.
ﺿ
ﷲ
ﷲ
:
ﺜ
)
(
Dari Aisyah ra. Bahwa Nabi SAW. bersabda: “Ringankanlah hukuman bagi orang-orang yang tidak pernah melakukan kejahatan atas perbuatan mereka, kecuali dalam jari>mah-jari>mah hudud.
(Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i dan Baihaqi)18
Secara umum ketiga hadis tersebut menjelaskan tentang eksistensi ta’zi>r
dalam syariat Islam. Hadis pertama menjelaskan tentang tindakan Nabi yang
menahan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dengan tujuan
untuk memudahkan penyelidikan. Hadis kedua menjelaskan tentang batas
hukuman ta’zi>r yang tidak boleh lebih dari sepuluh kali cambukan, untuk
membedakan dengan jari>mah hudud. Dengan batasan hukuman ini dapatlah
diketahui mana yang termasuk jari>mah hudud dan mana yang termasuk
jari>mah ta’zi>r. Menurut Al-Kahlani, para ulama sepakat bahwa yang
termasuk jari>mah hudud adalah zina, pencurian, minumkhamr, hirabah,
qadzaf, murtad, dan pembunuhan. Selain dari jari>mah-jari>mah tersebut,
termasuk jari>mah ta’zi>r meskipun ada juga beberapa jari>mah yang
diperselisihkan oleh fuqaha, seperti liwath (homoseksual), lesbian dan
lain-lain. Sedangkan hadis ketiga mengatur tentang teknis pelaksanaan hukuman
ta’zi>r yang bisa berbeda antara satu pelaku dengan pelaku lainnya,
tergantung kepada status mereka dan kondisi-kondisi lain yang menyertainya.
Adapun tindakan sahabat yang dapat dijadikan dasar hukum untuk
jari>mah dan hukuman ta’zi>r antara lain tindakan Sayidina Umar ibn
Khattab ketika ia melihat seseorang yang menelantangkan seekor kambing
untuk disembelih, kemudian ia mengasah pisaunya. Khalifah Umar memukul
orang tersebut dengan cemeti dan ia berkata: “Asah dulu pisau itu!”
3. Macam-macam Jari>mah Ta’zi>r
Menurut Abd Qadir Awdah, sebagaimana dikutip dalam bukunya Makhrus
Munajat jari>mah ta’zi>r terbagi menjadi tiga yaitu:19
Pertama, jari>mah hudud dan qishash diyat yang mengandung unsur
syubhat atau tidak memenuhi syarat, namun hal itu sudah dianggap sebagai
perbuatan maksiat, seperti wati’syubhat, pencurian harta syirkah, pembunuhan
ayah terhadap anaknya, pencurian yang bukan harta benda. Kedua, jari>mah <