• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Anak Usia 8 11 Tahun. Menurut teori perkembangan kognitif Piaget, anak usia Sekolah Dasar pada rentang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Anak Usia 8 11 Tahun. Menurut teori perkembangan kognitif Piaget, anak usia Sekolah Dasar pada rentang"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.Anak Usia 8 – 11 Tahun

1. Perkembangan Kognitif

Menurut teori perkembangan kognitif Piaget, anak usia Sekolah Dasar pada rentang usia 7–11 tahun tergolong kedalam tahapan perkembangan kognitif operasional konkret (Santrock, 2007). Pada masa sebelumnya, yakni tahapan praoperasional, daya pikir anak masih bersifat simbolik, maka pada usia 8-11 tahun ini daya pikir anak mulai berkembang kearah konkret, rasional dan objektif. Namun belum dapat berfikir sesuatu yang abstrak karena jalan berpikirnya masih terbatas pada situasi yang konkret. Tahapan ini ditandai dengan kemampuan memahami konsep konservasi, yakni kemampuan yang melibatkan pemahaman bahwa panjang, jumlah masa, kuantitas, area, volume dan berat dari sebuah objek tidak mengalami perubahan meskipun penampilannya diubah (Santrock, 2007).

Pada usia 8-11 tahun, anak sudah mampu berfikir secara logis terhadap peristiwa-peristiwa yang bersifat nyata, mampu memahami percakapan dengan orang lain, mulai mampu beragumentasi untuk memecahkan masalah, mengklasifikasikan objek menjadi kelas-kelas tertentu kemudian memahami hubungan antara benda tersebut dan menempatkan objek dalam urutan yang beraturan (Santrock, 2007). Menurut Desmita (2009), daya ingat anak berkembang menjadi sangat kuat pada usia sekolah dasar. Anak mulai mempunyai kemampuan untuk membedakan apa yang tampak oleh panca indera dengan kenyataan yang sesungguhnya, dan membedakan mana yang bersifat sementara dan menetap. Kemampuan lainnnya yang menonjol yaitu anak tidak lagi berpikir dengan

(2)

pola egosentris, atau dengan kata lain anak sudah mulai mampu menilai sesuatu dari sudut pandang orang lain.

2. Perkembangan Fisik

Perkembangan fisik usia anak-anak pertengahan hingga usia anak-anak akhir yakni pada rentang usia 6-11 tahun mengalami pertumbuhan fisik yang lambat dan konsisten (Santrock, 2007). Pertumbuhan fisik anak usia sekolah dasar rata-rata 2-3 inchi setahun, sedangkan pertumbuhan berat badan sekitar 2,5 sampai 3,5 kilogram setahun. Pada usia 8 tahun rata-rata anak perempuan dan laki-laki memiliki tinggi empat kaki 2 inchi dengan berat badan rata-rata 28 kilogram (Santrock, 2007). Pada usia 11 tahun rata-rata tinggi badan anak mencapai 60 inci dan berat badan rata-rata 42,5 kilogram (Mussen, 1969). Perkembangan motorik anak-anak usia sekolah dasar mengalami peningkatan, pertumbuhan tulang secara optimal dan meningkatnya koordinasi otot-otot tubuh, sehingga mendukung mereka dalam melakukan aktivitas fisik yang menyenangkan seperti bermain, berlari, dan melompat-lompat. Selama masa pertengahan dan akhir kanak-kanak ini perkembangan motorik menjadi lebih halus dan lebih terkordinasi dibandingkan dengan usia sebelumnya (Desmita, 2009). Aktivitas fisik anak sangat dibutuhkan untuk melatih koordinasi dan kestabilan tubuh serta mengoptimalkan penggunaan energi (Papalia, 2006). Anak juga sudah mampu menjaga keseimbangan badannya, menguasai tubuh dan melakukan berbagai macam gerakan (Desmita, 2009).

3. Perkembangan Emosi

Hurlock (1980) mengungkapkan bahwa anak di usia sekolah dasar mulai memiliki keinginan kuat untuk mengendalikan ungkapan emosi ketika berada dalam situasi tertentu. Hal ini disebabkan karena anak mulai memahami keberadaan emosi negatif yang berkaitan dengan penolakan sosial oleh teman sebayanya. Umumnya ungkapan emosi anak bersifat menyenangkan dan tidak menyenangkan tergantung pada keadaan fisik dan

(3)

lingkungannya. Ungkapan emosi menyenangkan misalnya anak tertawa terbahak-bahak, tertawa genit, menggeliat-geliat yang umumnya menunjukkan pelepasan dari kondisi yang menekan. Sedangkan emosi tidak menyenangkan seperti amarah, kekecewaan dan kesedihan. Menurut Hurlock (1980), anak usia sekolah umumnya mengungkapkan beberapa emosi seperti amarah, takut, cemburu, ingin tahu, iri hati, gembira, sedih, dan kasih sayang melalui bentuk perilaku. Ungkapan emosi ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang kebanyakan disebabkan oleh faktor psikologis daripada fisiologis. Emosi pada anak berkembang sangat kuat dan dapat menurun pada usia tertentu. Misalnya ledakan amarah mencapai puncak pada usia dua hingga empat tahun lalu kemudian berkembang menjadi merajuk dan proses merenung (Hurlock, 1980).

4. Perkembangan Bahasa

Pembendaharaan kosa kata anak-anak mengalami peningkatan pada usia sekolah dasar, demikian pula dengan cara pemakaian kata dan rangkaian kata yang digunakan secara lisan maupun tulisan menjadi semakin kompleks (Hurlock, 1980). Kemampuan ini diperoleh melalui proses belajar di sekolah, buku bacaan, pembicaraan dengan teman sebaya dan orang dewasa lainnya, serta melalui media elektronik seperti televisi. Anak mulai menyadari bahwa berbicara merupakan salah satu upaya penerimaan diri dalam suatu kelompok, sehingga dengan kesadaran tersebut anak memperoleh dorongan kuat untuk berbicara lebih baik. Hurlock (1980) menyatakan bahwa diusia sekolah dasar, anak mengalami kemajuan di bidang penambahan kosa kata, percakapan, kemajuan dalam memahami makna pembicaraan orang lain dan isi percakapan.

5. Perkembangan Psikososial

Pada usia 8-11 tahun, anak sudah memasuki dunia sekolah formal dan mempelajari banyak pengetahuan serta keterampilan praktis yang berhubungan dengan manusia. Dunia sosial anak menjadi semakin luas dan kompleks berbeda dengan masa sebelumnya. Relasi

(4)

dengan keluarga, guru dan teman sebaya memiliki peranan penting dalam pembentukan kualitas diri anak. Menurut Slavin (2011), perkembangan pemahaman diri anak mulai muncul melalui proses social comparison, yakni suatu kondisi dimana anak membandingkan kemampuan dirinya dengan anak lain secara komparatif untuk meningkatkan pemahaman akan diri (sense of self). Hurlock (1980) mengungkapkan bahwa anak usia sekolah sering disebut sebagai usia berkelompok, karena diusia ini anak mengembangkan minat terhadap kegiatan bermain berkelompok dan ingin menjadi bagian dari sebuah kelompok.

6. Perkembangan Bermain

Kesempatan anak untuk melakukan aktivitas bermain dalam usia sekolah dasar biasanya semakin berkurang akibat jadwal sekolah yang mulai padat dan pekerjaan rumah yang diberikan sekolah. Kegiatan bermain anak usia sekolah dasar lebih bergantung pada popularitas apakah anak menjadi anggota kelompok atau bukan (Hurlock, 1980). Anak yang tidak popular akan cenderung memilih bermain sendiri dengan hiburan di televisi atau di rumah, sedangkan anak yang popular akan bermain bersama teman sekelompok mereka. Selama akhir masa kanak-kanak baik anak laki-laki maupun perempuan sangat sadar akan kesesuaian jenis kelamin dalam memilih kelompok bermain, sehingga mereka cenderung bermain dengan sesama jenis tanpa memperhatikan kesenangan pribadi mereka.

Piaget dalam teorinya, mengklasifikasikan anak usia sekolah dasar ke dalam tahapan bermain social play games with rules (± 8-11 tahun). Anak pada usia ini mulai pandai berinteraksi sosial dan bermain dengan teman sebayanya serta mentaati aturan permainan. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Rubin, Fein & Vandenberg (1983) dan Smilansky (1968), bahwa anak usia sekolah dasar tergolong dalam tahap perkembangan bermain kognitif games with rules. Dalam kegiatan ini, anak mulai memahami dan mentaati aturan permainan dalam bermain. Selain itu anak juga memahami bahwa peraturan dalam

(5)

permainan sewaktu-waktu dapat diubah sesuai dengan kesepakatan kelompok bermain (Tedjasaputra, 2001). Hurlock (1980) mengklasifikasikan anak usia sekolah dasar kedalam tahapan bermain (Play stage), yang merupakan tahapan dimana anak memiliki jenis permainan yang semakin bertambah variasi dan bentuknya. Anak berangsur mulai beralih dari alat permainan menuju games yang bernuansa olahraga dan bentuk permainan lain yang juga dilakukan oleh orang dewasa.

7. Perkembangan Kepribadian

Tokoh psikoanalisis Sigmun Freud (Feist & Feist, 2010) mengungkapkan bahwa anak-anak usia 8-11 tahun termasuk dalam tahapan psikoseksual latency. Tahapan ini menekankan pada kondisi pengalihan sensasi dan minat seksual kearah pengembangan keterampilan sosial dan intelektual. Anak menyalurkan energi mereka ke dalam bidang-bidang yang aman secara emosional dan melupakan konflik pada tahapan phallic yang sebelumnya.

Teori perkembangan Psikososial Erik Erikson (Feist & Feist, 2010) mengklasifikasikan kepribadian manusia berdasarkan kualitas ego dalam tahapan krisis psikososial, dimana anak usia sekolah dasar antara usia 6-12 atau hingga 13 tahun tergolong ke dalam tahap Industry versus Inferiority (kerajinan versus rasa rendah diri). Anak-anak pada usia sekolah dasar berusaha untuk memperoleh keterampilan dan melakukan hal-hal baru dengan baik untuk mengembangkan rasa industri. Anak mulai mengarahkan energi mereka untuk penguasaan keterampilan dan pengetahuan. Akan tetapi apabila anak tidak berhasil menguasai keterampilan dan tugas-tugas yang dipilihnya atau tugas yang diberikan oleh guru serta hasil pekerjaannya tidak sesuai dengan harapan mereka, maka anak akan mengembangkan perasaan rendah diri.

(6)

8. Perkembangan Moral

Piaget (Hurlock, 1980), mengemukakan bahwa seiring bertambahnya usia anak menuju usia sekolah dasar, konsep keadilan yang sebelumnya bersifat kaku dan keras, kini berubah seiring dengan kemampuan anak dalam mempertimbangkan keadaan-keadaan khusus disekitar pelanggaran moral. Kohlberg (Hurlock, 1980), memperluas teori Piaget bahwa anak usia sekolah berada pada tahapan perkembangan moralitas konvensional, yakni anak mengikuti peraturan untuk mengambil hati orang lain dan untuk mempertahankan hubungan-hubungan yang baik. Selain itu, dalam relasi kelompok sosial anak juga harus menyesuaikan diri dengan peraturan yang disepakati bersama untuk menghindari terjadinya celaan atau penolakan terhadap dirinya.

B. Kecerdasan Emosional

1. Definisi Kecerdasan Emosional

Istilah Kecerdasan emosional (KE) pertama kali diperkenalkan oleh Peter Salovey pada tahun 1990, kemudian konsep ini dikembangkan oleh Daniel Goleman pada tahun 1995. Goleman (1999) mengungkapkan definisi dari kecerdasan emosional yaitu kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan membina hubungan dengan orang lain.

Salovey dan Mayer (dalam Goleman, 2001) mendefinisikan KE sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan. Jadi definisi kecerdasan emosional yaitu kemampuan seorang anak dalam mengatur kondisi emosional diri maupun orang lain, yang mencakup kemampuan mengenali emosi diri sendiri, mengelola emosi,

(7)

memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan dengan orang lain guna meraih keberhasilan dan keharmonisan diri.

2. Aspek – Aspek Kecerdasan Emosional

Goleman (1996) kecerdasan emosional terdiri dari lima aspek antara lain: a. Mengenali Emosi Diri Sendiri

Mengenali emosi diri merupakan dasar dari kecerdasan emosional. Mengenali emosi diri merujuk pada kemampuan dalam mengenali perasaan diri sendiri sewaktu perasaan itu terjadi atau timbul. Mengenali emosi diri sama dengan kesadaran diri, yaitu memiliki kepekaan atas apa yang dirasakan pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan. Goleman (1999) menyatakan individu dengan kecakapan ini memiliki (1) kemampuan dalam memahami emosi apa yang dirasakan dan sebabnya, (2) mengetahui kelemahan dan kekuatan diri, (3) memiliki acuan yang realistis atas kemampuan diri dan keyakinan tentang harga diri.

b. Mengelola Emosi

Mengelola emosi berarti menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat. Kecakapan mengelola emosi ini merupakan kecakapan yang bergantung pada kesadaran diri, yang meliputi kemampuan menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan. Orang yang memiliki kecakapan ini mampu bangkit kembali, sedangkan orang yang kemampuannya buruk di bidang ini akan terus bertarung melawan perasaan murung. Menurut Goleman (1999), individu dengan kecakapan ini dapat (1) mengelola emosi-emosi dan desakan hati yang merusak, (2) memelihara norma kejujuran dan integritas, (3)

(8)

bertanggungjawab atas kinerja pribadi, (4) memiliki keluwesan dalam menghadapi perubahan dan terbuka terhadap gagasan dan informasi baru.

c. Memotivasi Diri Sendiri

Memotivasi diri merupakan kemampuan untuk menata emosi. Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan dalam kaitannya untuk memberi perhatian, memotivasi diri sendiri, menguasai diri sendiri dan berkreasi. Memotivasi diri juga bisa diartikan menggunakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun menuju sasaran, membantu mengambil inisiatif dan bertindak secara efektif, serta bertahan untuk menghadapi kegagalan dan frustrasi. Memotivasi diri sendiri dapat diartikan bahwa orang mampu bangkit dari kegagalan yang pernah dialami dan terdorong untuk bangkit kembali. Orang yang memiliki kecakapan ini tidak tercampak dalam suatu kegagalan dan mudah puas dengan pekerjaannya, melainkan terus berusaha untuk memperbaiki dirinya. Goleman (1999) mengungkapkan individu dengan kecakapan ini cenderung memiliki dorongan berprestasi, komitmen, inisiatif dan optimistik.

d. Mengenali Emosi Orang Lain

Mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Orang yang empatik lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial tersembunyi yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain. Empati juga mencakup kemampuan merasakan apa yang dirasakan orang lain, memiliki orientasi untuk melayani, mengembangkan orang lain, mengatasi keberagaman, mampu memahami perspektif orang lain beserta arus emosi sebuah kelompok.

e. Membina Hubungan dengan Orang Lain

Membina hubungan berarti kecakapan untuk berinteraksi dengan orang lain, kemampuan untuk menjalin hubungan dan bagaimana seseorang menempatkan

(9)

dirinya dalam suatu kelompok. Kemampuan untuk mengungkapkan diri dan perasaan merupakan dasar dalam kemampuan membina hubungan dengan orang lain. Kecakapan ini mencakup kemampuan persuasi, komunikasi, kepemimpinan, katalisator perubahan, mampu memanajemen konflik, pengikat jaringan, kolaborasi dan kooperasi serta kemampuan bersinergi dalam kelompok untuk tujuan bersama.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional

Goleman (1997) menjelaskan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosional antara lain:

a. Lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga merupakan pilar utama tempat anak belajar mengenal dan mempelajari emosi. Anak sudah dapat mengenal emosi sejak masih bayi melalui perlakuan pengasuhnya serta melalui pengalaman emosional selama masa kanak-kanak. Seperti kemampuan menghibur diri dikala sedih, anak belajar melalui respon pengasuh ketika anak menangis. Seorang Ibu pengasuh yang mendengar anaknya menangis akan mengangkatnya, menggendong dan menimangnya sampai ia merasa tenang. Tindakan Ibu pengasuh inilah secara perlahan akan melatih anak untuk memperlakukan dirinya sendiri.

b. Lingkungan non-keluarga. Lingkungan non-keluarga merujuk pada lingkungan pendidikan dan sosial masyarakat dimana anak dibesarkan. Pengalaman yang diperoleh anak di sekolah dengan teman sebayanya, aktivitas bermain dan pengalaman pribadi akan menambah pengenalan variasi emosi dan melatih kecerdasan emosional anak-anak.

(10)

Le Dove (Goleman 1997) mengungkapkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosional antara lain:

a. Fisik. Bagian pusat pengaturan emosi berada pada bagian otak yaitu korteks dan bagian yang mengelola emosi adalah sistem limbik.

b. Psikis. Faktor psikis erat kaitannya dengan kepribadian individu serta dampak dari pola asuh yang diterima dalam lingkungan keluarga maupun non-keluarga. Goleman (1999) menambahkan bahwa faktor yang juga mempengaruhi kecerdasan emosional adalah jenis kelamin. Sebuah analisis tentang kecerdasan emosional terhadap ribuan pria dan wanita, menemukan bahwa wanita rata-rata lebih sadar tentang kondisi emosional mereka, lebih mudah bersikap empati dan lebih terampil dalam hubungan antar pribadi. Pria sebaliknya, lebih percaya diri dan optimis, mudah beradaptasi dan lebih baik dalam mengatasi stres. Persamaan diantara pria dan wanita yakni sebagian pria memiliki rasa empati yang sama besar dengan wanita yang sangat peka dalam pergaulan. Sebagian wanita mempunyai kemampuan menahan stres yang sama dengan kebanyakan pria yang tangguh secara emosi. Hurlock (1980) mengungkapkan bahwa emosi juga dipengaruhi oleh tekanan sosial dilingkungan anak-anak, dimana ledakan amarah dianggap lebih sesuai untuk anak laki-laki daripada anak perempuan. Anak perempuan cenderung menunjukkan emosi takut, cemburu, kasih sayang, sehingga anak perempuan dianggap lebih kuat dalam mengungkapkan emosi dari pada anak laki-laki.

4. Kecerdasan Emosional yang Tinggi dan Kecerdasan Emosional yang Rendah Goleman (1999) mengungkapkan anak-anak yang kurang terampil secara emosional cenderung lebih mudah menagis, kacau bila menghadapi stres, secara emosional kurang wajar, penakut, muram atau merengek, menanggapi kekecewaan kecil secara berlebihan

(11)

dengan amarah, sulit menunda pemuasan, terlampau peka terhadap kritik, atau bersikap penuh kecurigaan. Kecenderungan ini berdampak pada hubungan mereka dengan anak-anak lain yang akan menjadi semakin sulit. Sedangkan fakta sebaliknya, ditemukan selama masa kanak-kanak, beberapa anak penakut akan tumbuh menjadi anak yang berani bila pengalaman terus-menerus menstimulasi jaringan otaknya. Salah satu tandanya adalah anak yang penakut memiliki tingkat keterampilan bergaul yang lebih tinggi, mau bekerjasama dan berbaur dengan anak-anak lainnya, memiliki empati, mau saling memberi dan berbagi, bertenggang rasa dan mampu membina hubungan persahabatan dengan akrab.

C. Mendongeng Sambil Bermain

1. Definisi Mendongeng Sambil Bermain

Mendongeng sambil bermain merupakan istilah yang merujuk pada aktivitas memainkan sebuah peran dalam dongeng, yakni aktivitas bermain yang berkaitan dengan salah satu karakter dalam dongeng atau cerita yang dituangkan ke dalam bentuk permainan tradisional (Taro, 2010). Pendongeng tidak hanya menceritakan dongeng untuk anak-anak tetapi juga mengawasi dan memandu jalannya aktivitas bermain di lapangan.

2. Unsur Mendongeng Sambil Bermain

Terdapat tiga unsur yang terkandung dalam aktivitas mendongeng sambil bermain yaitu (a) permainan, (b) dongeng dan (c) nyanyian. Menurut Taro (2010), ketiga unsur ini memiliki fungsi yang sama yakni mengisi waktu luang, rekreatif, komunikatif dan bermanfaat untuk pengembangan pribadi anak.

(12)

Unsur pertama yaitu unsur permainan, unsur permainan dalam aktivitas mendongeng sambil bermain merujuk kepada permainan tradisional daerah Bali. Menurut Dirgantara (2012), permainan tradisional adalah permainan yang dimainkan dengan alat-alat sederhana tanpa mesin. Permainan tradisional merupakan bentuk aktivitas yang dilakukan secara spontan dan tanpa beban baik dengan menggunakan alat atau tanpa alat permainan, yang tujuannya tiada lain untuk memperoleh suasana kegembiraan. Selain itu anak-anak juga mendapat kesempatan untuk mengembangkan berbagai macam keterampilan untuk mengoptimalkan aspek-aspek kognitif, motorik, emosi, bahasa dan sosial. Permainan tradisional memiliki fungsi sebagai media edukatif dalam menanamkan nilai-nilai moral, kepedulian dan transformasi pengetahuan serta penanaman budi pekerti.

Hampir sebagian besar permainan tradisional yang ditemui bersifat kooperatif, artinya permainan tradisional tidak dapat dilakukan secara individu melainkan secara kelompok (Tedjasaputra, 2001). Bentuk permainannya memiliki sejumlah peraturan yang sarat akan nilai-nilai luhur. Ciri khas permainan tradisional anak adalah terletak pada kealamiahan bentuk permainannya, dimana tidak terdapat setting yang pasti, sehingga anak-anak menjadi lebih banyak mendapat kesempatan untuk mengeksplorasi berbagai media yang tersedia di sekitar mereka secara alami sebagai dasar berfikir kreatif.

b. Dongeng

Unsur kedua yaitu dongeng, dongeng merupakan prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh empunya cerita dan dongeng tidak terikat oleh waktu maupun tempat (Danandjaja, 1986). Mendongeng menurut Taro (2010) merupakan suatu bentuk interaksi timbal balik yang terjadi antara pemberi dongeng dengan pendengar dongeng. Sebagian besar dongeng yang dibawakan dalam aktivitas mendongeng sambil bermain adalah kisah rakyat daerah Bali. Taro (2010) mengungkapkan unsur dongeng yakni melibatkan komunikasi dua arah antara pemberi dongeng dan pendengar dongeng, hal ini

(13)

dapat menciptakan keakraban antar dua belah pihak. Dongeng menurut fungsinya digunakan sebagai hiburan, walaupun melukiskan banyak kebenaran, berisikan moral atau sindiran. Dongeng memiliki unsur berbeda dimasing-masing daerah. Misalnya Kisah “Cinderella” yang terkenal di negara-negara Skandinavia, di Indonesia diterjemahkan menjadi kisah “Si Bawang Merah dan Bawang Putih” atau “I Kesuna lan I Bawang” yang terkenal di Bali (Danandjaja, 1986).

c. Nyanyian

Unsur ketiga yaitu unsur nyanyian, Danandjaja (1986) mengungkapkan bahwa nyanyian rakyat terdiri dari dua unsur yakni lirik dan lagu, dimana kedua unsur ini memiliki peran yang sama-sama penting. Sebagian besar lagu yang dinyanyikan dalam aktivitas bermain merupakan gambaran kisah kehidupan manusia sehari-hari. Berdasarkan klasifikasi nyanyian rakyat menurut Brunvand (1968) salah satu kategorinya menjelaskan tentang nyanyian permainan (play song), yaitu nyanyian dengan irama yang bernuansa gembira, terkandung kata-kata lucu didalamnya dan selalu memiliki kaitan dengan permainan bermain (play) ataupun bermain bertanding (game). Dalam aktivitas mendongeng sambil bermain, terdapat alat musik tradisional yang digunakan untuk mengiringi nyanyian anak-anak, alat musik tersebut disebut congklak. Nyanyian yang dinyanyikan oleh anak-anak ketika bermain adalah lagu khas daerah Bali yang diciptakan oleh Bapak Made Taro dan NN.

Berdasarkan pemaparan diatas maka diperoleh kesimpulan, mendongeng sambil bermain merupakan aktivitas memainkan peran dalam dongeng yang tertuang ke dalam bentuk permainan tradisional dengan menggabungkan tiga unsur yaitu dongeng, nyanyian dan permainan daerah dalam satu kesempatan bermain untuk menciptakan suasana kegembiraan bagi anak-anak.

(14)

3. Tujuan Mendongeng Sambil Bermain

Tujuan mendongeng sambil bermain menurut Taro (2014), antara lain:

a. Tujuan umum dari kegiatan mendongeng sambil bermain ini adalah untuk mengembangkan rasa cinta terhadap pengetahuan.

b. Mengangkat kembali nilai-nilai budaya yang telah terlupakan dan lestarikan dengan tujuan agar generasi selanjutnya dapat mempertahankan permainan tradisional sebagai salah satu kekayaan Bangsa Indonesia.

c. Mewujudkan kepribadian anak yang berkarakter sesuai dengan nilai luhur budaya, yakni karakter kejujuran, percaya diri, berprestasi, hormat kepada orang tua atau yang dituakan, kebersamaan, kesepakatan, hukum, sportivitas.

4. Karakter Mendongeng Sambil Bermain

Karakter dalam mendongeng sambil bermain menurut Taro (2014), antara lain: a. Sederhana. Kesederhanaan dalam bermain mengarah kepada bentuk permainan,

cara pelaksanaan, aturan yang tidak kaku, dan memiliki sarana dan prasarana yang mudah ditemukan dari lingkungan alam sekitar. Seperti bambu, kelereng, kain, atau bahkan beberapa permainan tidak membutuhkan alat bantu apapun. b. Kolektif. Kolektif merujuk kepada aspek kebersamaan yang terjadi dalam proses

bermain. Sebagian besar permainan dilakukan lebih dari dua orang atau permainan kelompok.

c. Fleksibel. Fleksibel atau luwes berkaitan dengan sarana dan prasarana dalam bermain, jalannya permainan, aturan permainan, penentuan jumlah pemain dan juga tempat bermain. Tingkat kesulitan permainan juga dapat disesuaikan dengan kemampuan serta usia dari pemain.

(15)

d. Menekankan pada proses. Permainan merupakan sebuah proses bukan merupakan barang yang sudah jadi. Proses yang terjadi didalamnya adalah berkumpul, berembug, menentukan pilihan, mencari dan menemukan, memilih peran, melakukan permainan dan evaluasi.

5. Manfaat Mendongeng Sambil Bermain

Manfaat mendongeng sambil bermain menurut Taro (2014), antara lain:

a. Anak-anak terlibat dalam aktivitas bermain menikmati keceriaan dan memperoleh kepuasan.

b. Memperoleh kondisi tenang dan rileks, memulihkan otot-otot yang tegang dan berkonsentrasi untuk menghadapi situasi dan suasana baru.

c. Melalui kegiatan bermain ini anak mendapat kesempatan untuk melampiaskan emosi yang sempat tertahan.

d. Melatih keterampilan sosial dalam menjalin relasi dengan teman sebaya maupun orang lain.

6. Syarat-Syarat dalam Mendongeng Sambil Bermain

Syarat-syarat mendongeng sambil bermain menurut Taro (2014), antara lain: a. Nyanyian. Nyanyian yang artinya komponen yang terdiri dari lirik dan lagu. b. Gerak. Gerak adalah peralihan tempat atau posisi baik satu kali atau berkali-kali

atau dapat pula berarti dorongan.

c. Peran. Peran diartikan sebagai mengambil sebuah tindakan atau bertidak sebagai tokoh yang ditugaskan dalam permainan. Peran dalam permainan diambil dari salah satu adegan dongeng atau cerita.

(16)

d. Karakter. Karakter merupakan tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang dimiliki oleh seorang individu.

e. Norma dan Aturan. Norma adalah ketentuan yang mengikat sekelompok individu, yang digunakan sebagai panduan, tatanan dan pengendali tingkah laku yang sesuai dan diterima. Aturan berasal dari kata “atur” yang artinya rapi, dan disusun dengan baik. Jadi aturan adalah cara, atau patokan yang dibuat agar dituruti.

f. Sanksi. Sanksi adalah tindakan yang diberikan kepada seorang anak maupun sekelompok anak yang melanggar kesepakatan dalam bermain.

7. Prosedur Penyajian Mendongeng Sambil Bermain

Taro (2010) mengemukakan dua prosedur dalam menyajikan aktivitas mendongeng sambil bermain. Pertama, mendongeng terlebih dahulu kemudian diikuti dengan memainkan sebuah adegan dari dongeng tersebut. Kedua, melakukan aktivitas bermain terlebih dahulu kemudian setelah itu menjelaskan latar belakang dari peran dalam permainan yang telah dilakukan. Prosedur pelaksanaan kegiatan mendongeng sambil bermain di SD Negeri 8 Dauh Puri dapat dilihat pada tabel 1 dan tabel 2.

Tabel 1.

Prosedur pelaksanaan kegiatan Mendongeng Sambil Bermain I.

Tahapan Kegiatan Tempat

Tahap I Mendongeng Di kelas

Tahap II Berlatih menyanyi Di kelas

Tahap III Nyanyian pembuka, berlatih konsentrasi dan mengucapkan sajak

Di Halaman sekolah Tahap IV Permainan untuk menentukan kelompok

(sut)

Di Halaman sekolah

Tahap V Bermain Di Halaman sekolah

Tahap VI Nyanyian penutup Di Halaman sekolah

Tahap VII Evaluasi, mendengarkan pengumuman dan pulang

(17)

Tabel 2.

Prosedur pelaksanaan kegiatan Mendongeng Sambil Bermain II.

Tahapan Kegiatan Tempat

Tahap I Berlatih menyanyi Di kelas

Tahap II Nyanyian pembuka, berlatih

konsentrasi dan mengucapkan sajak

Di Halaman sekolah Tahap III Permainan untuk menentukan

kelompok (sut)

Di Halaman sekolah

Tahap IV Bermain Di Halaman sekolah

Tahap V Nyanyian penutup Di Halaman sekolah

Tahap VI Mendongeng Di Kelas

Tahap VII Evaluasi, mendengarkan pengumuman dan pulang

Di Kelas

Adapun sajak yang diucapkan oleh anak-anak sebelum memulai permainan mengandung nilai-nilai untuk mencintai Ibu, Ayah, dan Tuhan. Sajak-sajak tersebut berbunyi:

a. “Aku sayang Ibu, Ibu yang melahirkan ku, Ibu yang menyusui ku, Ibu yang menimang dan mengasuh ku”.

b. “Aku sayang Ayah, Ayah yang membesarkan ku, Ayah yang menyekolahkan ku, Ayah yang bekerja untuk keluarga ku”.

c. “Aku sayang Tuhan, Tuhan yang menciptakan alam, Tuhan yang menciptakan kehidupan agar kita saling menyayangi”.

8. Kaedah Mendongeng Sambil Bermain

Dalam memainkan dongeng, peran narator dilakukan oleh orang dewasa atau anak-anak. Sementara para pemainnya selalu berasal dari kalangan anak-anak (Taro, 2010). Bentuk permainan tidak semata-mata permainan bermain (play), namun juga permainan yang melibatkan kompetisi (games). Menurut Taro (2010), dalam kegiatan games terdapat pengorganisasian yang lebih sempurna, pemain terbagi atas kelompok-kelompok yang bertanding, terdapat kompetisi antar kelompok, serta aturan-aturan permainan yang telah disepakati. Selain itu terdapat wasit yang memimpin pertandingan, tugasnya adalah

(18)

menentukan dan mengumumkan kelompok yang menang dan kelompok yang kalah, serta menentukan hukuman bagi pemain yang melanggar atau kalah.

Pemain dalam aktivitas ini juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Setiap anak berhak dan wajib memerankan sebuah tokoh, baik yang disenangi maupun tidak disenangi. Dalam pemilihan peran tidak diperlukan proses seleksi peran, melainkan dilakukan permainan sut. Oleh karena itu, hampir setiap permainan yang membutuhkan peran, selalu diawali dengan sut. Bentuk permainan yang diperankan oleh anak diambil dari salah satu adegan dongeng atau cerita yang ditentukan. Bentuk permainan merupakan gerak fisik yang ekspresif dan muncul karena penghayatan. Dalam memainkan sebuah peran, seorang anak tidak memperoleh masa latihan terlebih dahulu, melainkan karakter peran tersebut akan tumbuh secara alami dari dalam diri anak masing-masing.

D. Dinamika Hubungan antar Variabel

Goleman (2001) menyatakan bahwa kecerdasan emosional merujuk kepada kemampuan seorang anak dalam mengenali emosi diri sendiri, kemampuan mengenali emosi orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan kemampuan dalam hubungan dengan orang lain. Pada usia sekolah dasar, anak-anak sangat menggemari berbagai aktivitas fisik seperti bermain dan olahraga. Disamping rutinitas akademik di sekolah, anak-anak juga harus mencari aktivitas lain yang mendukung pemenuhan psikologisnya, seperti salah satunya adalah kegiatan mendongeng sambil bermain yang dikembangkan di sanggar Kukuruyuk.

Pengalaman pengelolaan emosi yang berulang-ulang terutama diusia kanak-kanak dapat membantu pematangan jaringan sirkuit-sirkuit otak (Meyer, 1956). Dalam aktivitas inilah, seorang anak banyak belajar tentang berbagai keterampilan untuk mengasah

(19)

kecerdasan emosionalnya. Bermain menyediakan suasana yang menyenangkan dan relaks dimana anak-anak dapat dengan leluasa menyalurkan luapan emosi positif maupun negatif yang ada didalam diri. Gottman (2001) menunjukkan bagaimana anak-anak menggunakan bermain untuk penguasaan emosional dalam kehidupan nyata mereka. Anak-anak mampu menenangkan diri mereka sendiri, lalu bangkit kembali dari kemurungan dan melanjutkan kegiatan-kegiatan yang positif. Melalui kegiatan bermain yang melatih emosi anak, anak memiliki jumlah perasaan negatif yang kurang dan merasakan perasaan positif lebih banyak. Anak juga terhindar dari masalah-masalah tingkah laku dan tindak kekerasan seperti yang marak terjadi belakangan ini.

Kegiatan mendongeng sambil bermain ini diasumsikan memiliki keterkaitan dengan lima aspek kecerdasan emosional, antara lain mencakup kemampuan mengenali emosi diri sendiri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan dengan orang lain. Selama proses anak-anak bermain, kelima aspek ini terus-menerus dilatih dan dievaluasi. Keterampilan pertama, mengenali emosi diri sendiri, yakni anak belajar untuk melatih emosi antara lain emosi takut ketika menjadi pemain dalam permainan tertentu, melawan rasa takut ketika ada ancaman dari lawan bermain yang memiliki peran memangsa dan dimangsa seperti permainan Goak ngemaling Taluh, Goak Ngemaling Pitik, Meong-Meongan. Dalam bermain, anak merasakan emosi senang dan gembira ketika berhasil, sedih ketika dihukum dan mengalami kekalahan, kecewa ketika kelompok bermain mengalami kekalahan, marah dan kesal ketika teman bermain curang, dan malu ketika melakukan kesalahan. Anak belajar mengenali apa penyebab kesedihan yang mereka alami. Disamping itu, anak melatih penghayatan emosi yang tersimpan didalam setiap karakter permainan sekaligus mengekspresikan emosi dan karakter tersebut selama bermain.

(20)

Kedua, mengelola emosi, yakni anak terlatih untuk mengatur emosi diri, seperti menerima kekalahan diri dan kelompok bermain, tidak merusak barang atau menyakiti teman ketika dilanda kesedihan atau amarah, justru sebaliknya anak belajar bersikap sportif. Anak belajar bersikap tegas ketika ada teman yang berbuat kecurangan dan memaafkannya. Selain itu, anak tidak hanya mengontrol emosi ketika kalah, melainkan juga belajar bagaimana mengontrol emosi ketika memenangkan permainan. Melalui kegiatan bermain ini, anak belajar menangani kekecewaan dan mengendalikan gejolak emosi yang dialami. Ketiga, anak selalu belajar untuk memotivasi diri sendiri. Anak belajar dari setiap kekalahan yang dialami dan kemudian kembali berbaur dan bermain dengan riang. Ketika sudah pernah kalah atau gagal, anak tidak segera larut dalam kesedihan atas kegagalan yang sebelumnya. Anak berusaha untuk tidak pantang menyerah dalam mencapai tujuan untuk memenangkan permainan. Proses memotivasi diri ini sangat penting dalam berlangsungnya kelancaran aktivitas bermain, karena hampir seluruh permainan melatih kemampuan ini.

Keempat, kemampuan mengenali emosi orang lain dalam hal ini yaitu teman sebaya, yakni mengenali apa yang dirasakan oleh teman lainnya. Anak berusaha mengembangkan rasa empati, saling menjaga antar sesama. Keterampilan ini dapat diperoleh dalam permainan Ngengkebang Batu, Megandong Sambuk, Nganten-ngantenan. Kelima, keterampilan sosial atau keterampilan membina hubungan dengan orang lain, yakni tercermin pada saat kedua pemain saling mengembangkan rasa rasa percaya antara teman bermain. Anak belajar memahami orang lain melalui interaksinya dengan teman yang lain. Sebagian besar permainan bersifat kolektif, artinya selama proses bermain anak-anak diatur dalam kesepakatan bersama. Suasana demokrasi menjadi sebuah kebutuhan, karena setiap pemain bebas berpendapat, belajar menghargai pendapat teman lainnya dan pada akhirnya akan menjunjung tinggi kesepakatan bersama. Apabila terdapat anak yang

(21)

melanggar kesepakatan, atau bermain tidak sportif, menyimpang dari aturan yang ditetapkan maka seringkali mendapat hukuman sosial seperti terisolasi.

Keterampilan ini diperoleh dari hampir seluruh permainan. Dengan ini, dapat diasumsikan bahwa melalui proses bermain anak-anak dapat mengembangkan kecerdasan emosionalnya dengan optimal. Dinamika antar pengaruh mendongeng sambil bermain terhadap kecerdasan emosional anak dirangkum pada gambar 1.

(22)

Gambar 1.

Diagram Pengaruh Mendongeng sambil Bermain terhadap Kecerdasan Emosional Keterangan :

: Aspek dalam variabel bebas : Aspek dalam variabel tergantung

: Aspek dalam mendongeng sambil bermain yang mempengaruhi aspek kecerdasan emosional MENDONGENG SAMBIL BERMAIN KECERDASAN EMOSIONAL Mengendalikan Kekecewaan dan Kekalahan Merasakan Berbagai Emosi, Menilai Kelebihan dan Kekurangan Diri Sendiri Pantang Menyerah Meraih Tujuan dan

Kemenangan Mengenali Emosi Teman dan Berempati Berinteraksi dengan Teman, Kesepakatan dalam Bermain. Mengenali Emosi Orang Lain Membina Hubungan dengan Orang Lain Memotivasi Diri Mengelola Emosi Mengenali Emosi Diri VARIABEL YANG INGIN DI TELITI

(23)

E. Hipotesis Penelitian

Ada pengaruh mendongeng sambil bermain terhadap kecerdasan emosional anak-anak usia 8-11 tahun di SD Negeri 8 Dauh Puri Denpasar.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan pemantauan kontaminasi udara agar dapat diambil tindakan untuk keselamatan radiasi, bilamana tingkat radioaktivitas α atau β dapat membahayakan personil dan/atau

Lokasi ke-2 diduga memunyai kandungan bahan organik yang lebih tinggi karena terletak dekat dengan daratan Pulau Pasaran yang mempunyai arus rendah sehingga bahan

Perangkat lunak yang digunakan dalam perekayasaan yaitu menggunakan Macromedia Dreamweaver, dan basis data menggunakan MySQL.Hasil peneltian ini adalah terwujudnya

Jenis data di input ke dalam sel dengan format default yang akan ditampilkan berupa hh:mm:ss di mana “hh” adalah. jam (Hours), dan “mm” adalah menit (Minutes),serta “ss”

Dari uraian-uraian tersebut, bisa dikatakan bahwa meskipun tidak terdapat kesepakatan di antara para ahli/peneliti, kata makian dapat dilihat dari tanda-tanda sebagai

A tanulmány a statisztikai kapcsolatok mérési ská- la által meghatározott típusai – variancia, korreláció, asszociáció, látencia – mérésének sokváltozós mérő-

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas untuk meningkatkan aktivitas belajar peserta didik kelas V Sekolah Dasar Negeri 17 Rabak dalam pembelajaran ilmu pengetahuan

Ulead Video Studio ini sangat cocok digunakan untuk kalangan pemula yang ingin belajar editing video, selain itu program ini memiliki tampilan yang menarik dan menu-menu