• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wrap Up SK 2 Emergency - A15

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Wrap Up SK 2 Emergency - A15"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

1 SKENARIO 2

TRAUMA PADA KEPALA

Seorang laki-laki, berusia 18 tahun, dibawa ke UGD RS dalam keadaan tidak sadar setelah mengalami kecelakaan lalu lintas empat jam yang lalu.Ia mengendarai motor tanpa menggunakan helm, lalu tertabrak mobil, kemudian terpental dan jatuh. Menurut pengantar, saat jatuh ia pingsan, kemudian sempat sadar sekitar setengah jam, dan muntah-muntah disertai darah dan kembali tidak sadar. Pasien mengalami perdarahan hidung dan telinga sisi kanan.

Tanda Vital

Airway :terdengar bunyi snoring Breathing : frekuensi nafas 12 x/menit

Circulation : tekanan darah 150/100 mmHg, frekuensi nadi 50 x/menit Regio Wajah

Trauma di daerah sepertiga tengah wajah, pada pemeriksaan terlihat adanya cerebrospinal rhinorrhea, mobilitas maxilla, krepitasi dan maloklusi dari gigi. Status Neurologi

GCS E1 M3 V1, pupil : bulat, anisokor, diameter 3mm/5mm, RCL +/-, RCTL +/-, kesan hemiparesis sinistra, refleks patologis Babinsky -/+

(2)

2 Kata Sulit

1. Maloklusi :

Sejenis malposisi dan kontak antar gigi maksilar dan mandibular sedemikian rupa sehingga mengganggu gerakan menggiling rahang yang penting untuk prosesmengunyah.

2. Krepitasi :

Bunyi yang terdengar akibat pergesakan antar ujung patahan tulang. 3. Cerebrospinal rhinorrhea :

sekret cairan serebrospinal melalui hidung. 4. Status neurologis:

Pemeriksaan neurologis 5. Anisokor :

Ketidaksamaan diameter pada kedua pupil 6. Refleks patologis babinsky :

Dorsofleksi ibu jari kaki pada stimuli telapak kaki; normal pada bayi tetapi pada lainnya merupakan tanda lesi pada sistem saraf pusat, terutama pada traktus piramidalis.

(3)

3 Pertanyaan

1. Mengapa terjadi cerebrospinal rhinorrhea ? 2. Apa penyebab pupil anisokor ?

3. Mengapa terjadi muntah disertai darah ?

4. Mengapa pasien sempat mengalami keadaan sadar sesaat ? 5. Mengapa frekuensi napas pasien menurun ?

6. Menapa terjadi hemiparesis sinistra ?

7. Mengapa terjadi perdarahan hidung dan telinga pada sisi kanan ? 8. Mengapa tekanan darah meninggi tetapi denyut nadi menurun ? 9. Mengapa pada jalan napas pasien terdapat snorring ?

10. Mengapa terjadi maloklusi gigi ? 11. Mengapa terjadi refleks babinsky ?

12. Mengapa pada perabaan regio wajah terdapat krepitasi ? 13. Apa arti dari penilaian GCS dengan skor 5 ?

14. Mengapa terjadi perbedaan hasil pemeriksaan RCL dan RCTL pada mata kanan dan mata kiri?

15. Mengapa di dapatkan mobilitas maxilla ?

Jawab

1. Karena terjadi fraktur kepala yang mengenai lamina cribrosa sehingga mengakibatkan keluarnya cairan serebrospinal melalui rongga hidung. 2. Adanya penekan pada nervus kranial II (opticus) dan III (occulomotorius)

akibat trauma kepala dan hematoma intrakranial. 3. Karena adanya peningkatan tekanan intrakranial

4. Karena terjadi interval lucid yang merupakan salah satu gejala khas pada perdarahan epidural.

5. Karena fraktur basis cranii dan perdarahan intrakranial terjadi peningkatan tekanan intrakranial, sehingga terjadi penekanan batang otak yang menekan pada cervical 3 dan 4, dimana pada cervical tersebut mempersarafi otot diaphragma.

6. Adnya trauma kepala pada hemisphere kanan sehingga terjadi hemiparesis kontralateral yaitu pada hemiparesis sinistra.

(4)

4 7. Karena terjadi frkatur basis cranii, pada perdarahan hidung terjadi frakur yang mengenai lamina cribrosa dan pada perdarahan telinga terjadi fraktur yang mengenai os petrosum.

8. Karena terjadi trias cushing akibat dari peningkatan tekanan intrakranial. 9. Adanya hambatan jalan napas karena lidah yang menghalangi.

10. Karena adanya fraktur maksilla. 11. Karena terjadi hemiparesis sinistra.

12. Karena terjadi fraktur pada sepertiga tengah regio wajah.

13. GCS dengan nilai skor 5 menandakan koma dan trauma kepala berat. 14. Adanya penekan pada nervus kranial II (opticus) dan III (occulomotorius)

sehingga pada pemeriksaan terlihat adanya kelainan. 15. Karena terjadi fraktur maksilla.

(5)

5 Hipotesis

Trauma kepala Fraktur basis cranii Penurunan GCS Otorrhea

Cerebrospinal Rhinorrhea

Perdarahan epidural Interval lucid

Anisokor ipsilateral Peningkatan TIK

Trias Cushing Hemiparesis kontralateral

refleks babinsky +

Fraktur sepertiga Krepitasi tengah wajah Maloklusi gigi

Mobilitas maxilla

Trauma kepala dapat menyababkan fraktur basis cranii yang mengakibatkan penurunan skor Glasgow Coma Scale (GCS), otorrhea karena fraktur basis cranii yang mengenai os petrosum, cerebrospinal rhinorrhea karena fraktur basis cranii yang mengenai lamina cribrosa. Selain itu, terjadi perdarahan intrakranial yaitu perdarahan epidural yang gejalanya adalah adanya interval lucid, anisokor ipsilateral dan hemiparesis sinistra. Karena terjadi perdarahan maka timbul peningkatan tekanan intrakranial yang menyebabkan terjadinya trias cushing. Pada trauma kepala terjadi juga fraktur sepertiga tengah wajah yang mengakibatkan krepitasi pada perbaan, maloklusi gigi dan mobilitas maxilla.

(6)

6 Sasaran Belajar

1. Memahami dan mempelajari trauma kepala. 1.1. Menjelaskan definisi trauma kepala. 1.2. Menjelaskan etiologi trauma kepala. 1.3. Menjelaskan klasifikasi trauma kepala. 1.4. Menjelaskan patofisiologi trauma kepala. 1.5. Menjelaskan manifestasi trauma kepala. 1.6. Menjelaskan diagnosis trauma kepala. 1.7. Menjelaskan tatalaksana trauma kepala. 1.8. Menjelaskan komplikasi trauma kepala. 2. Memahami dan memepelajari fraktur basis cranii

2.1. Menjelaskan definisi fraktur basis cranii. 2.2. Menjelaskan klasifikasi fraktur basis cranii. 2.3.Menjelaskan manifestasi fraktur basis cranii. 2.4. Menjelaskan diagnosis fraktur basis cranii. 2.5. Menjelaskan tatalaksana fraktur basis cranii. 2.6. Menjelaskan komplikasi fraktur basis cranii. 3. Memahami dan mempelajari perdarahan intrakranial.

3.1 Menjelaskan definisi perdarahan intrakranial. 3.2. Menjelaskan etiologi perdarahan intrakranial. 3.3. Menjelaskan klasifikasi perdarahan intrakranial. 3.4. Menjelaskan patofisiologi perdarahan intrakranial. 3.5. Menjelaskan manifestasi perdarahan intrakranial. 3.6. Menjelaskan diagnosis perdarahan intrakranial. 3.7. Menjelaskan tatalaksana perdarahan intrakranial. 3.8. Menjelaskan komplikasi perdarahan intrakranial. 4. Memahami dan mempelajari trias cushing.

(7)

7 1. Memahami dan mempelajari trauma kepala.

1.1. Menjelaskan definisi trauma kepala.

Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006). 1.2. Menjelaskan etiologi trauma kepala.

 Trauma kepala oleh karena kekerasan tumpul  Trauma kepala oleh karena kekerasan tajam  Trauma kepala akibat tembakan

 Trauma kepala oleh karena gerakan mendadak 1.3. Menjelaskan klasifikasi trauma kepala.

Berdasarkan mekanisme terjadinya : a. Cedera kepala tumpul

Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh/pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan decelerasi yang menyebabkan otak bergerak di dalam rongga kranial dan melakukan kontak pada protuberas tulang tengkorak.

b. Cedera tembus

Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan. Berdasarkan morfologi cedera kepala:

a. Luka pada kepala:

 Laserasi kulit kepala

Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala, sering terjadi robekan pada lapisan ini. Lapisan ini banyak mengandung pembuluh darah dan jaringan ikat

(8)

8 longgar, maka perlukaan yang terjadi dapat mengakibatkan perdarahan yang cukup banyak.

 Luka memar (kontusio)

Luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan subkutan dimanapembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan.

 Abrasi

Luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini tidak sampai pada jaringan subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung saraf yang rusak.

 Avulsi

Apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas, tetapi sebagian masih berhubungan dengan tulang kranial. Intak kulit pada kranial terlepas setelah kecederaan.

b. Fraktur tulang kepala  Fraktur linier

Fraktur dengan bentuk garis tunggal. Fraktur linier dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja pada tulang kepala cukup besar tetapi tidak menyebabkan tulang kepala bending dan tidak terdapat fraktur yang masuk ke dalam rongga intrakranial.

 Fraktur diastasis

Jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulang tengkorak yang menyebabkan pelebaran sutura-sutura tulang kepala. Pada usia dewasa sering terjadi pada sutura lambdoid dan dapat mengakibatkan terjadinya hematum epidural.

 Fraktur kominutif

Jenis fraktur tulang kepala yang memiliki lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur.

(9)

9 Fraktur ini terjadi akibat benturan dengan tenaga besar yang langsung mengenai tulang kepala. Dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada durameter dan jaringan otak.

 Fraktur basis cranii

Berdasarkan tingkat keparahan :

Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera otak. Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari

Traumatic Brain Injury yaitu :

1.4. Menjelaskan patofisiologi trauma kepala.

Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan disebut lesi kontusio “coup”, di seberang area benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan lesi kontusio “countercoup”. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi yang berada di

(10)

10 antara lesi kontusio coup dan countrecoup (Mardjono dan Sidharta, 2008). Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr dkk,2009).

Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel.

1.5. Menjelaskan manifestasi trauma kepala.

Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut: Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:

 Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid)

 Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)  Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)  Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)

 Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga) Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan:

 Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian sembuh.

 Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.  Mual atau dan muntah.

(11)

11  Perubahan keperibadian diri.

 Letargik.

Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat:

 Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak menurun atau meningkat.

 Perubahan ukuran pupil (anisokoria).

 Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan).

 Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi abnormal ekstrimitas.

1.6. Menjelaskan diagnosis trauma kepala. a. Pemeriksaan kesadaran

Pemeriksaan kesadaran paling baik dicapai dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS). Menurut Japardi (2004), GCS bisa digunakan untuk mengkategorikan pasien menjadi :

• GCS 13-15 : cedera kepala ringan • GCS 9-12 : cedera kepala sedang

• GCS 3-8 : pasien koma dan cedera kepala berat.

a. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik yang meliputi kesadaran, tensi, nadi, pola dan frekuensi respirasi, pupil (besar, bentuk dan reaksi cahaya), defisit fokal serebral dan cedera ekstrakranial. Hasil pemeriksaan dicatat dan dilakukan pemantauan ketat pada hari-hari pertama. Bila terdapat perburukan salah satu komponen, penyebabnya dicari dan segera diatasi.

(12)

12 b. Pemeriksaan Penunjang

 X-ray tengkorak

Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar tengkorak atau rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai terjadi fraktur karena CT scan bisa mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan. X-Ray tengkorak dapat digunakan bila CT scan tidak ada ( State of Colorado Department of

Labor and Employment, 2006).  CT-scan

Pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena kecilnya struktur area yang cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya.

 Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang sering luput pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik (Wilberger dkk., 1983 dalam Sastrodiningrat, 2007).

 Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah dimensi baru pada MRI dan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi Cedera Akson Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan sebagaimana halnya dengan penderita cedera kepala yang lebih berat, pada pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD di korpus kalosum dan substantia alba. Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa cedera kepala berat masih harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat menolong menjelaskan berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif pada penderita cedera kepala ringan ( Cecil dkk, 1998 dalam Sastrodiningrat, 2007 ).

(13)

13 1.7. Menjelaskan tatalaksana trauma kepala.

Terapi non-operatif pada pasien cedera kranioserebral ditujukan untuk:

1. Mengontrol fisiologi dan substrat sel otak serta mencegah kemungkinan terjadinya tekanan tinggi intrakranial

2. Mencegah dan mengobati edema otak (cara hiperosmolar, diuretik) 3. Minimalisasi kerusakan sekunder

4. Mengobati simptom akibat trauma otak

5. Mencegah dan mengobati komplikasi trauma otak, misal kejang, infeksi (antikonvulsan dan antibiotik)

Terapi operatif terutama diindikasikan untuk kasus: 1. Cedera kranioserebral tertutup

• Fraktur impresi (depressed fracture)

• Perdarahan epidural (hematoma epidural /EDH) dengan volume perdarahanlebih dari30mL/44mL dan/atau pergeserangaristengah lebih dari3mm sertaada perburukankondisipasien

• Perdarahan subdural (hematoma subdural/SDH) dengan pendorongan garis tengah lebih dari 3 mm atau kompresi/obliterasi sisterna basalis

• Perdarahan intraserebral besar yang menyebabkan progresivitas kelainan neurologik atau herniasi

2. Pada cedera kranioserebral terbuka

• Perlukaan kranioserebral dengan ditemukannya luka kulit, fraktur multipel, durameter yang robek disertai laserasi otak

• Liquorrhea yang tidak berhenti lebih dari 14 hari • Pneumoencephali

• Corpus alienum • Luka tembak

Tatalaksana pasien dalam keadaan sadar (SKG=15)  Simple Head Injury (SHI)

Pada pasien ini, biasanya tidak ada riwayat penurunan kesadaran sama sekali dan tidak ada defisit neurologik, dan tidakada muntah. Tindakan hanya perawatanluka.

(14)

14 Pemeriksaan radiologik hanya atas indikasi.Umumnya pasien SHI boleh pulang dengan nasihat dan keluarga diminta mengobservasi kesadaran. Bila dicurigai kesadaran menurun saat diobservasi, misalnya terlihat seperti mengantuk dan sulit dibangunkan, pasien harus segera

dibawa kembali ke rumah sakit.

 Penderita mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah trauma kranioserebral,

dan saat diperiksa sudah sadar kembali. Pasien ini kemungkinan mengalami cedera kranioserebral ringan (CKR).

Tatalaksana pasien dengan penurunan kesadaran  Cedera kepala ringan (SKG = 13-15)

Dilakukan pemeriksaan fi sik, perawatan luka, foto kepala, istirahat baring dengan mobilisasi bertahap sesuai dengan kondisi pasien disertai terapi simptomatis. Observasi minimal 24 jam di rumah sakit untuk menilai kemungkinan hematoma intrakranial, misalnya riwayat lucid interval, nyeri kepala, muntah-muntah, kesadaran menurun, dan gejala-gejala lateralisasi (pupil anisokor, refleksi patologis positif). Jika dicurigai ada hematoma, dilakukan CT scan.

 Cedera kepala sedang (SKG = 9-13) Urutan tindakan:

a. Periksa dan atasi gangguan jalan napas (Airway), pernapasan (Breathing), dan sirkulasi(Circulation)

b. Pemeriksaan singkat kesadaran, pupil, tanda fokal serebral, dan cedera organ lain. Jika dicurigai fraktur tulang servikal dan atau tulang ekstremitas lakukan fiksasi leher dengan pemasangan kerah leher dan atau fiksasi tulang ekstremitas bersangkutan

c. Foto kepala, dan bila perlu foto bagian tubuh lainnya d. CT scan otak bila dicurigai ada hematoma intrakranial

e. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, dan defisit fokal serebral lainnya.  Cedera kepala berat (SKG 3-8)

Pasien dalam kategori ini, biasanya disertai cedera multipel. Bila didapatkan fraktur servikal, segera pasang kerah fiksasi leher, bila ada luka terbuka dan ada

(15)

15 perdarahan, dihentikan dengan balut tekan untuk pertolongan pertama. Tindakan sama dengan cedera kranioserebral

sedang dengan pengawasan lebih ketat dan dirawat di ICU.

Tindakan di ruang unit gawat darurat :

1. Resusitasi dengan tindakan A = Airway, B = Breathing dan C = Circulation

a. Jalan napas (Airway)

Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala ekstensi.

Jika perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal. Bersihkan sisa muntahan, darah,

lendir atau gigi palsu. Jika muntah, pasien dibaringkan miring. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi muntahan. b. Pernapasan (Breathing)

Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer.Kelainan sentral disebabkan oleh depresi pernapasan yang ditandai dengan pola pernapasan Cheyne Stokes, hiperventilasi neurogenik sentral, atau ataksik. Kelainan perifer disebabkan oleh aspirasi, trauma dada, edema paru, emboli paru, atau infeksi.

Tata laksana:

• Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit, intermiten • Cari dan atasi faktor penyebab

• Kalau perlu pakai ventilator c. Sirkulasi (Circulation)

Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi dengan tekanan darah sistolik <90 mm Hg yang terjadi hanya satu kali saja sudah dapat meningkatkan risiko kematian dan kecacatan. Hipotensi kebanyakan terjadi akibat faktor ekstrakranial, berupa hipovolemia karena perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade jantung/ pneumotoraks, atau syok septik. Tata laksananya dengan cara menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi

(16)

16 jantung, mengganti darah yang hilang, atau sementara dengan cairan isotonik NaCl 0,9%.

1.8. Menjelaskan komplikasi trauma kepala. a. Kejang

Kejang yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early seizure, dan yang terjadi setelahnya disebut late seizure. Early seizure terjadi pada kondisi risiko tinggi, yaitu ada fraktur impresi, hematoma intrakranial, kontusio di daerah korteks; diberi profilaksis fenitoin dengan dosis 3x100 mg/hari selama 7-10 hari. b. Infeksi

Profilaksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi, seperti pada fraktur tulang terbuka, luka luar, fraktur basis kranii. Pemberian profilaksis antibiotik ini masih kontroversial. Bila ada kecurigaan infeksi meningeal, diberikan antibiotik dengan dosis meningitis.

c. Gastrointestinal

Pada pasien cedera kranio-serebral terutama yang berat sering ditemukan gastritis erosi dan lesi gastroduodenal lain, 10-14% di antaranya akan berdarah. Kelainan tukak stres ini merupakan kelainan mukosa akut saluran cerna bagian atas karena berbagai kelainan patologik atau stresor yang dapat disebabkan oleh cedera kranioserebal. Umumnya tukak stres terjadi karena hiperasiditas. Keadaan ini dicegah dengan pemberian antasida 3x1 tablet peroral atau H2 receptor blockers (simetidin, ranitidin, atau famotidin) dengan dosis 3x1 ampul IV selama 5 hari.

2. Memahami dan memepelajari fraktur basis cranii 2.1. Menjelaskan definisi fraktur basis cranii.

Fraktur basis cranii/Basilar Skull Fracture (BSF) merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita). Dalam beberapa studi telah terbukti fraktur basis cranii dapat disebabkan oleh berbagai mekanisme termaksud ruda paksa akibat fraktur maksilofacial, ruda paksa dari arah lateral cranial dan dari arah kubah cranial, atau karena beban inersia oleh kepala.

(17)

17 2.2. Menjelaskan klasifikasi fraktur basis cranii.

 Fraktur Temporal

Dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis cranii. Terdapat 3 suptipe dari fraktur temporal berupa longitudinal, transversal dan mixed. Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan bagian squamousa pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus externus dan tegmen timpani. Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu bagian anterior atau posterior menuju cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir pada fossa cranii media dekat foramen spinosum atau pada mastoid air cells. Fraktur longitudinal merupakan yang paling umum dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur transversal dimulai dari foramen magnum dan memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth, berakhir pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed memiliki unsur unsur dari kedua frakturlongitudinal dan transversal.

 fraktur condylar occipital,

Adalah hasil dari trauma tumpul energi tinggi dengan kompresi aksial, lateral bending, atau cedera rotational pada pada ligamentum Alar. Fraktur tipe ini dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan morfologi dan mekanisme cedera. Klasifikasi alternative membagi fraktur ini menjadi displaced dan stable, yaitu, dengan dan tanpa cedera ligamen. Tipe I fraktur sekunder akibat kompresi aksial yang mengakibatkan kombinasi dari kondilus oksipital. Ini merupakan jenis cedera stabil. Tipe II fraktur yang dihasilkan dari pukulan langsung meskipun fraktur basioccipital lebih luas, fraktur tipe II diklasifikasikan sebagai fraktur yang stabil karena ligament alar dan membrane tectorial tidak mengalami kerusakan. Tipe III adalah cedera avulsi sebagai akibat rotasi paksa dan lateral bending. Hal ini berpotensi menjadi fraktur tidak stabil.

 Fraktur clivus

Digambarkan sebagai akibat ruda paksa energi tinggi dalam kecelakaan kendaraann bermotor. Longitudinal, transversal, dan tipe oblique telah dideskripsikan dalam literatur. Fraktur longitudinal memiliki prognosis terburuk, terutama bila melibatkan sistem vertebrobasilar. Defisit pada nervus cranial VI dan VII biasanya dijumpai pada fraktur tipe ini.

(18)

18 Jenis – jenis fraktur tulang tengkorak :

Fraktur tulang tengkorak dapat terjadi pada calvarium (atap tengkorak), disebut Fraktur Calvarium dan fraktur pada basis cranium (dasar tengkorak), disebut Fraktur Basis Cranium.

a. Fraktur Calvarium.

Beberapa contoh fraktur calvarium  Fraktur Liniair

Bila fraktur merupakan sebuah garis (celah) saja. Fraktur liniair yang berbahaya ialah fraktur yang melintas os temporal; pada os temporal terdapat alur yang dilalui Arteri Meningia Media. Bila fraktur memutuskan Arteri Meningia Media maka akan terjadi perdarahan hebat yang akan terkumpul di ruang diantara dura mater dan tulang tengkorak , disebut perdarahan epidural.

 Fraktur Berbentuk Bintang (Stellate Fracture)

Bila fraktur berpusat pada satu tempat dan garis – garis frakturnya nya menyebar secara radial.

 Fraktur Impressie

Pada fraktur impressie ,fragment-fragment fraktur melekuk kedalam dan menekan jaringan otak. Fraktur bentuk ini dapat merobek dura mater dan jaringan otak di bawahnya dan dapat menimbulkan prolapsus cerebri (jaringan otak keluar dari robekan duramater dan celah fraktur) dan terjadi perdarahan.

b. Fraktur basis tengkorak  Fraktur atap orbita

Fraktur akan merobek dura mater dan arachnoid sehingga Liquor Cerebro Spinal (LCS) bersama darah keluar melalui celah fraktur masuk ke rongga orbita ; dari luar disekitar mata tampak kelopak mata berwarna kebiru biruan . Bila satu mata disebut Monocle Hematoma, bila dua mata disebut Brill Hematoma / Raccoon’s eyes

 Fraktur melintas Lamina Cribrosa

Fraktur akan menyebabkan rusaknya serabut serabut saraf penciuman ( Nervus Olfactorius) sehinggan dapat terjadi gangguan penciuman mulai berkurangnya penciuman (hyposmia) sampai hilangnya penciuman (anosmia). Fraktur juga

(19)

19 merobek dura mater dan arachnoid sehingga LCS bercampur darah akan keluar dari rongga hidung (Rhinorrhoea)

 Fraktur Fossa Media • Fraktur Os Petrossum

Puncak (Apex ) os petrosum sangat rapuh sehingga LCS dan darah masuk kedalam rongga telinga tengah dan memecahkan Membrana Tympani; dari telinga keluar LCS bercampur darah (Otorrhoea).

• Fraktur Sella Tursica

Di atas sella tursica terdapat kelenjar Hypophyse yang terdiri dari 2 bagian pars anterior dan pars posterior (Neuro Hypophyse). Pada fraktur sella tursica yg biasa terganggu adalah pars posterior sehingga terjadi gangguan sekresi ADH (Anti Diuretic Hormone) yang menyebabkan Diabetes Insipidus.

• Sinus Cavernosus Syndrome.

Syndrome ini adalah akibat fraktur basis tengkorak di fossa media yang memecahkan Arteri Carotis Interna yang berada di dalam Sinus Cavernosus sehingga terjadi hubungan langsung arteri – vena (disebut Arterio-Venous Shunt dari Arteri Carotis Interna dan Sinus Cavernsus –> Carotid – Cavernous Fistula). Mata tampak akan membengkak dan menonjol, terasa sakit , conjunctiva berwarna merah. Bila membran stetoskop diletakkan diatas kelopak mata atau pelipis akan terdengar suara seperti air mengalir melalui celah yang sempit yang disebut Bruit ( dibaca BRUI ).

Gejala-gejala klinis sebagai akibat pecahnya A.Carotis Interna didalam Sinus Cavernosus , yang terdiri atas : mata yang bengkak menonjol , sakit dan conjunctiva yang terbendung (berwarna merah) serta terdengar bruit , disebut Sinus Cavernosus Syndrome,

 Fraktur Fossa Posterior. • Fraktur melintas os petrosum

Garis fraktur biasanya melintas bagian posterior apex os petrossum sampai os mastoid, menyebabkan LCS bercampur darah keluar melalui celah fraktur dan berada diatas mastoid sehingga dari luar tampak warna kebiru biruan dibelakang telinga , disebut Battle’s Sign.

(20)

20 di Foramen Magnum terdapat Medula Oblongata, sehingga getaran fraktur akan merusak Medula Oblongata , menyebabkan kematian seketika.

2.3.Menjelaskan manifestasi fraktur basis cranii.

Pasien dengan fraktur pertrous os temporal dijumpai dengan otorrhea dan memar pada mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur basis cranii fossa anterior adalah dengan rhinorrhea dan memar di sekitar palpebra (raccoon eyes). Kehilangan kesadaran dan Glasgow Coma Scale dapat bervariasi, tergantung pada kondisi patologis intrakranial.

Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang pendengaran dan ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang berlangsung lebih dari 6-7 minggu.tuli sementara yang akan baik kembali dalam waktu kurang dari 3 minggu disebabkan karena hemotympanum dan edema mukosa di fossa tympany. Facial palsy, nystagmus, dan facial numbness adalah akibat sekunder dari keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII.

Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan labirin, sehingga menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran permanen (permanent neural hearing loss).

Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan serius.Sebagian besar pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama dengan tipe III, berada dalam keadaan koma dan terkait cedera tulang belakang servikalis.Pasien ini juga memperlihatkan cedera lower cranial nerve dan hemiplegia atau guadriplegia.

Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis adalah keterlibatan nervus cranialis IX, X, dan XI akibat fraktur.Pasien tampak dengan kesulitan fungsi fonasi dan aspirasi dan paralysis ipsilateral dari pita suara, palatum mole (curtain sign), superior pharyngeal constrictor, sternocleidomastoid, dan trapezius.Collet-Sicard sindrom adalah fraktur condylar os oksipital dengan keterlibatan nervus cranial IX, X, XI, dan XII.

(21)

21 2.4. Menjelaskan diagnosis fraktur basis cranii.

Pemeriksaan Lanjutan Studi Imaging

• Radiografi: Pada tahun 1987, foto x-ray tulang tengkorak merujukan pada kriteria panel memutuskan bahwa skull film kurang optimal dalam menvisualisasikan fraktur basis cranii. Foto xray skull tidak bermanfaat bila tersedianya CT scan.

• CT scan: CT scan merupakan modalitas kriteria standar untuk membantu dalam diagnosis skull fraktur. Slice tipis bone window hingga ukuran 1-1,5 mm, dengan potongan sagital, bermanfaat dalam menilai skull fraktur. CT scan Helical sangat membantu dalam menvisualisasikan fraktur condylar occipital, biasanya 3-dimensi tidak diperlukan.

• MRI: MRI atau magnetic resonance angiography merupakan suatu nilai tambahan untuk kasus yang dicurigai mengalami cedera pada ligament dan vaskular. Cedera pada tulang jauh lebih baik divisualisasikan dengan menggunakan CT scan.

Pemeriksaan lainnya

Perdarahan dari telinga atau hidung pada kasus dicurigai terjadinya kebocoran CSF, dapat dipastikan dengan salah satu pemeriksaan suatu tehnik dengan mengoleskan darah tersebut pada kertas tisu, maka akan menunjukkan gambaran seperti cincin yang jelas yang melingkari darah, maka disebut “halo” atau “ring” sign. Kebocoran dari CSF juga dapat dibuktikan dengan menganalisa kadar glukosa dan dengan mengukur transferrin.

2.5. Menjelaskan tatalaksana fraktur basis cranii. Terapi medis

Pasien dewasa dengan simple fraktur linear tanpa disertai kelainan struktural neurologis tidak memerlukan intervensi apapun bahkan pasien dapat dipulangkan untuk berobat jalan dan kembali jika muncul gejala. Sementara itu, pada bayi dengan simple fraktur linier harus dilakukan pengamatan secara terus menerus tanpa memandang status neurologis. Status neurologis pasien dengan fraktur basis cranii tipe linier biasanya ditatalaksana secara conservative, tanpa

(22)

22 antibiotik. Fraktur os temporal juga dikelola secara konservatif, jika disertai rupture membran timpani biasanya akan sembuh sendiri.

Simple fraktur depress dengan tidak terdapat kerusakan struktural pada neurologis pada bayi ditatalaksana dengan penuh harapan. Menyembuhkan fraktur depress dengan baik membutuhkan waktu, tanpa dilakukan elevasi dari fraktur depress. Obat anti kejang dianjurkan jika kemungkinan terjadinya kejang lebih tinggi dari 20%. Open fraktur, jika terkontaminasi, mungkin memerlukan antibiotik disamping tetanus toksoid. Sulfisoxazole direkomendasikan pada kasus ini. Fraktur condylar tipe I dan II os occipital ditatalaksana secara konservatif dengan stabilisasi leher dengan menggunakan collar atau traksi halo.

Terapi Bedah

Peran operasi terbatas dalam pengelolaan skull fraktur. Bayi dan anak-anak dengan open fraktur depress memerlukan intervensi bedah. Kebanyakan ahli bedah lebih suka untuk mengevaluasi fraktur depress jika segmen depress lebih dari 5 mm di bawah inner table dari adjacent bone. Indikasi untuk elevasi segera adalah fraktur yang terkontaminasi, dural tear dengan pneumocephalus, dan hematom yang mendasarinya.

Kadang kadang, craniectomy dekompressi dilakukan jika otak mengalami kerusaksan dan pembengkakan akibat edema. Dalam hal ini, cranioplasty dilakukan dikemudian hari. Indikasi lain untuk interaksi bedah dini adalah fraktur condylar os oksipital tipe unstable (tipe III) yang membutuhkan arthrodesis atlantoaxial. Hal ini dapat dicapai dengan fiksasi dalam-luar.

Menunda untuk dilakukan intervensi bedah diindikasikan pada keadaan kerusakan ossicular (tulang pendengaran) akibat fraktur basis cranii jenis longitudinal pada os temporal.

Ossiculoplasty mungkin diperlukan jika kehilangan berlangsung selama lebih dari 3 bulan atau jikamembrane timpani tidak sembuh sendiri. Indikasi lain adalah terjadinya kebocoran CSF yang persisten setelah fraktur basis cranii. Hal ini memerlukan secara tepat lokasi kebocoran sebelum intervensi bedah dilakukan.

(23)

23 2.6. Menjelaskan komplikasi fraktur basis cranii.

Risiko infeksi tidak tinggi, bahkan tanpa antibiotik, terutama yang disertai dengan rhinorrhea. Facial palsy dan gangguan ossicular yang berhubungan dengan fraktur basis cranii dibahas di bagian klinis. Namun, terutama, facial palsy yang terjadi pada hari ke 2-3 pasca trauma adalah akibat sekunder untuk neurapraxia dari nervus cranialis VII dan responsif terhadap steroid, dengan prognosis yang baik. Onset facila palsy secara tiba tiba pada saat bersamaan terjadinya fraktur biasanya akibat skunder dari transeksi nervus, dengan prognosis buruk.

Nervus cranialis lain mungkin juga terlibat dalam fraktur basis cranii. Fraktur pada ujung pertosus os temporale mungkin melibatkan ganglion gasserian. Cedera nervus cranialis VI yang terisolasi bukanlah akibat langsung dari fraktur, tapi mungkin akibat skunder karena terjadinya ketegangan pada nervus.

Nervus kranialis (IX, X, XI,dan XII) dapat terlibat dalam fraktur condylar os oksipital, seperti yang dijelaskan sebelumnya dalam Vernet dan sindrom Collet-Sicard (vide supra). Fraktur os sphenoidalis dapat mempengaruhi nervus cranialis III, IV,dan VI dan juga

dapat mengganggu arteri karotis interna dan berpotensi menghasilkan pembentukan pseudoaneurysma dan fistula caroticocavernous (jika melibatkan struktur vena). cedera carotiddiduga terdapat pada kasus kasus dimana fraktur berjalan melalui kanal karotid, dalam hal ini, CT-angiografi dianjurkan.

3. Memahami dan mempelajari perdarahan intrakranial. 3.1 Menjelaskan definisi perdarahan intrakranial.

Perdarahan intrakranial adalah perdarahan (patologis) yang terjadi di dalam kranium, yang mungkin ekstradural, subdural, subaraknoid, atau serebral (parenkimatosa). Perdarahan intrakranial dapat terjadi pada semua umur dan juga akibat trauma kepala seperti kapitis,tumor otak dan lain-lain.

8-13% ICH menjadi penyebab terjadinya stroke dan kelainan dengan spectrum yang luas. Bila dibandingkan dengan stroke iskemik atau perdarahan subaraknoid, ICH umumnya lebih banyak mengakibatkan kematian atau cacat mayor. ICH yang disertai dengan edema akan mengganggu atau mengkompresi jaringan otak sekitarnya, menyebabkan disfungsi neurologis. Perpindahan

(24)

24 substansi parenkim otak dapat menyebabkan peningkatan ICP dan sindrom herniasi yang berpotensi fatal.

3.2. Menjelaskan etiologi perdarahan intrakranial.

Penyebab perdarahan dalam otak yang non hipertensi antara lain:

- Kelainan pembuluh darah yang kecil seperti angioma, biasanya lokasi perdarahannya lobar. Umumnya terjadi pada usia muda. Lokasi perdarahan biasanya superfisial.

- Obat-obat symptomatik. Perdarahan dalam otak berhubungan dengan penggunaan amphetamine. Penggunaan obat ini kebanyakan secara intra vena, juga dilaporkan dengan intra nasal atau oral. Lokasi perdarahan kebanyakan luas. Efeknya karena tekanan darah meninggi (50% dari kasus) atau perubahan histologis pembuluh darah seperti arteritis, mirip, periarteritis nodosa. Ini oleh karena efek toksik dari obat tersebut. Pada angiography dijumpai multiple area dari fokal arteri stenosis atau konstriksi dengan ukuran sedang pada arteri besar intra kranial. Ini bersifat reversible dan akan hilang dengan berhentinya penyalah gunaan obat ini.

- Cerebral amyloid angiopathy atau congophilic angiopathy merupakan bentuk yang unik dan pada angiography khas adanya penumpukan/deposit amyloid pada bagian media dan adventitia dengan ukuran sedang dan kecil dari arteri cortical dan leptomeningeal. Deposit pada dinding arteri cenderung menyebabkan penyumbatan pada lumen arteri karena penebalan dasar membran, fragmentasi dari lamina interna elastik dan

(25)

25 hilangnya sel-sel endothel. Juga terjadi nekrosis fibrinoid pada pembuluh darah. Keadaan ini tidak berhubungan dengan amyloidosis vascular sistemik. Cerebral amyloid angiopathy berhubungan dengan dementia senilis yang progressive. Biasanya terjadi pada usia yang lebih lanjut dan jarang berhubungan dengan hipertensi.

- Tumor intrakranial (jarang terjadi perdarahan pada tumor otak; dijumpai sekitar 6-10%). Yang paling sering menimbulkan perdarahan yaitu tumor ganas, baik primer ataupun metastase; jarang pada meningioma atau oligodendroma. Tumor ganas primer pada otak yang paling sering menimbulkan perdarahan yaitu glioblastoma multiform, lokasi perdarahan umumnya deep cortical seperti basal ganglia, corpus callosum. Tumor metastase yang paling sering menimbulkan perdarahan yaitu tumor sel germinal, sekitar 60% dan lokasi perdarahan umumnya sucortical.

- Anti koagulan. Pemakaian obat oral antikoagulan yang lama dengan warfarin sering menyebabkan perdarahan otak; dijumpai sekitar 9% dari kasus. Resiko terjadinya perdarahan dengan pemakaian antikoagulan oral dalam jangka panjang, 8-11 kali dibandingkan dengan yang tidak menggunakan obat tersebut pada usia yang sama. Lokasi perdarahan paling sering pada serebellum. Mekanisme terjadinya perdarahan ini masih belum diketahui.

- Agen fibrinolitik. Ini termasuk Streptokinase, Urokinase dan tissue type plasminogen aktivator (tPA) yang digunakan dalam pengobatan coronary, arteri dan venous trombosis. Kemampuan obat-obat ini yaitu menghancurkan klot dan relatif menurunkan tingkatan sistemik hipofibrinogenemia, sehingga sangat ideal dalam pengobatan trombosis akut. Komplikasi utama, walaupun jarang, adalah perdarahan intraserebral. Dijumpai 0,4%-1,3% penderita dengan miokard infark yang diobati dengan tPA. Perdarahan yang cenderung terjadi setelah pemberian tPA 40% sewaktu dalam pemberian infus, 25% terjadai dalam 24 jam setelah pemberian. 70-90% lokasi perdarahan lobar, 30% perdarahannya multiple dan mortality 40-65%. Mekanisme terjadinya perdarahan ini masih belum diketahui.

(26)

26 - Vaskulitis. Vaskulitis serebri dapat menyebabkan penyumbatan arteri dan infark serebri, serta jarang menimbulkan perdarahan intraserebral. Proses radang umumnya terjadi dalam lapisan media dan adventitia, serta pada pembuluh darah arteri dan vena dengan ukuran kecil dan sedang. Biasanya berhubungan dengan pembentukan mikroaneurysma. Gejalanya sakit kepala kronis, penurunan kesadaran atau kognitif yang progresif, kejang-kejang, infark serebri yang recurrent. Diagnosanya berupa limpositik CSF pleocytosis dengan protein yang tinggi. Lokasi perdarahan umumnya lobar.

3.3. Menjelaskan klasifikasi perdarahan intrakranial. Berdasarkan cedera kepala di area intrakranial.

Menurut (Tobing, 2011) yang diklasifikasikan menjadi cedera otak fokal dan cedera otak difus.

 Cedera otak fokal yang meliputi :

 Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH)

Epidural hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang epidural yitu ruang potensial antara tabula interna tulang tengkorak dan durameter. Epidural hematom dapat menimbulkan penurunan kesadaran adanya interval lusid selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neorologis berupa hemiparesis kontralateral dan gelatasi pupil itsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan hemiparesis.

 Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut. Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang terjadi akut (6-3 hari).Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan korteks cerebri.Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh hemisfir otak.Biasanya kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk dibanding pada perdarahan epidural.

(27)

27 Subdural hematom kronik adalah terkumpulnya darah diruang subdural lebih dari 3 minggu setelah trauma.Subdural hematom kronik diawali dari SDH akut dengan jumlah darah yang sedikit. Darah di ruang subdural akan memicu terjadinya inflamasi sehingga akan terbentuk bekuan darah atau clot yang bersifat tamponade. Dalam beberapa hari akan terjadi infasi fibroblast ke dalam clot dan membentuk noumembran pada lapisan dalam (korteks) dan lapisan luar (durameter). Pembentukan neomembran tersebut akan di ikuti dengan pembentukan kapiler baru dan terjadi fibrinolitik sehingga terjadi proses degradasi atau likoefaksi bekuan darah sehingga terakumulasinya cairan hipertonis yang dilapisi membran semi permeabel. Jika keadaan ini terjadi maka akan menarik likuor diluar membran masuk kedalam membran sehingga cairan subdural bertambah banyak. Gejala klinis yang dapat ditimbulkan oleh SDH kronis antara lain sakit kepala, bingung, kesulitan berbahasa dan gejala yang menyerupai TIA (transient ischemic attack).disamping itu dapat terjadi defisit neorologi yang berfariasi seperti kelemahan otorik dan kejang  Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH)

Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen yang terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral hematom bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim otak dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh ICH antara lain adanya penurunan kesadaran. Derajat penurunan kesadarannya dipengaruhi oleh mekanisme dan energi dari trauma yang dialami.

 Perdarahan subarahnoit traumatika (SAH)

Perdarahan subarahnoit diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat

(28)

28 trauma dapat memasuki ruang subarahnoit dan disebut sebagai perdarahan subarahnoit (PSA).Luasnya PSA menggambarkan luasnya kerusakan pembuluh darah, juga menggambarkan burukna prognosa. PSA yang luas akan memicu terjadinya vasospasme pembuluh darah dan menyebabkan iskemia akut luas dengan manifestasi edema cerebri.

 Cedera otak difus menurut (Sadewa, 2011)

Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena gaya akselerasi dan deselarasi gaya rotasi dan translasi yang menyebabkan bergesernya parenkim otak dari permukaan terhadap parenkim yang sebelah dalam. Maka cedera kepala difus dikelompokkan menjadi :

 Cedera akson difus (difuse aksonal injury) DAI

Difus axonal injury adalah keadaan dimana serabut subkortikal yang menghubungkan inti permukaan otak dengan inti profunda otak (serabut proyeksi), maupun serabut yang menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer (asosiasi) dan serabut yang menghbungkan inti-inti permukaan kedua hemisfer (komisura) mengalami kerusakan. Kerusakan sejenis ini lebih disebabkan karena gaya rotasi antara initi profunda dengan inti permukaan .  Kontsuio cerebri

Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang disebabkan karena efek gaya akselerasi dan deselerasi. Mekanisme lain yang menjadi penyebab kontosio cerebri adalah adanya gaya coup dan countercoup, dimana hal tersebut menunjukkan besarnya gaya yang sanggup merusak struktur parenkim otak yang terlindung begitu kuat oleh tulang dan cairan otak yang begitu kompak. Lokasi kontusio yang begitu khas adalah kerusakan jaringan parenkim otak yang berlawanan dengan arah datangnya gaya yang mengenai kepala.

 Edema cerebri

Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma kepala.Pada edema cerebri tidak tampak adanya kerusakan

(29)

29 parenkim otak namun terlihat pendorongan hebat pada daerah yang mengalami edema.Edema otak bilateral lebih disebabkan karena episode hipoksia yang umumnya dikarenakan adanya renjatan hipovolemik.

 Iskemia cerebri

Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak berkurang atau terhenti.Kejadian iskemia cerebri berlangsung lama (kronik progresif) dan disebabkan karena penyakit degeneratif pembuluh darah otak.

3.4. Menjelaskan patofisiologi perdarahan intrakranial. Perdarahan epidural :

Hematom epidural terjadi karena cedera kepala benda tumpul dan dalam waktu yang lambat, seperti jatuh atau tertimpa sesuatu, dan ini hampir selalu berhubungan dengan fraktur cranial linier.Pada kebanyakan pasien, perdarahan terjadi pada arteri meningeal tengah, vena atau keduanya.Pembuluh darah meningeal tengah cedera ketikaterjadi garis fraktur melewati lekukan minengeal pada squama temporal.

Perdarahan subdural :

Vena cortical menuju dura atau sinus dural pecahdan mengalami memar atau laserasi, adalah lokasi umum terjadinya perdarahan.Hal ini sangat berhubungan dengan comtusio serebral dan oedem otak. CT Scan menunjukkan effect massa dan pergeseran garis tengah dalam exsess dari ketebalan hematom yamg berhubungan dengan trauma otak.

3.5. Menjelaskan manifestasi klinis perdarahan intrakranial. Perdarahan epidural :

- Interval lusid (interval bebas)

Setelah periode pendek ketidaksadaran, ada interval lucid yang diikuti dengan perkembangan yang merugikan pada kesadaran dan hemisphere contralateral.Lebih dari 50% pasien tidak ditemukan adanya interval lucid, dan ketidaksadaran yang terjadi dari saat terjadinya cedera.Sakit kepala

(30)

30 yang sangat sakit biasa terjadi, karena terbukanya jalan dura dari bagian dalam cranium, dan biasanya progresif bila terdapat interval lucid.Interval lucid dapat terjadi pada kerusakan parenkimal yang minimal.Interval ini menggambarkan waktu yang lalu antara ketidak sadaran yang pertama diderita karena trauma dan dimulainya kekacauan pada diencephalic karena herniasi transtentorial.Panjang dari interval lucid yang pendek memungkinkan adanya perdarahan yang dimungkinkan berasal dari arteri. - Hemiparesis

Gangguan neurologis biasanya collateral hemipareis, tergantung dari efek pembesaran massa pada daerah corticispinal. Ipsilateral hemiparesis sampai penjendalan dapat juga menyebabkan tekanan pada cerebral kontralateral peduncle pada permukaan tentorial.

- Anisokor pupil

Yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalananya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif akan menjadi negatif. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi.pada tahap ahir, kesadaran menurun sampai koma yang dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian. Perdarahan subdural :

Gejala klinisnya sangat bervariasi dari tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai penutunan kesadaran. Kebanyakan kesadaran hematom subdural tidak begitu hebat deperti kasus cedera neuronal primer, kecuali bila ada effek massa atau lesi lainnya.Gejala yang timbul tidak khas dan meruoakan manisfestasi dari peninggian tekanan intrakranial seperti : sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan n. III, epilepsi, anisokor pupil, dan defisit neurologis lainnya.kadang kala yang riwayat traumanya tidak jelas, sering diduga tumor otak.

(31)

31 3.6. Menjelaskan diagnosis perdarahan intrakranial.

Pemeriksaan penunjang

Level hematokrit, kimia, dan profil koagulasi (termasuk hitung trombosit) penting dalam penilaian pasien dengan perdarahan epidural, baik spontan maupun trauma. Cedera kepala berat dapat menyebabkan pelepasan tromboplastin jaringan, yang mengakibatkan DIC. Pengetahuan utama akan koagulopati dibutuhkan jika pembedahan akan dilakukan. Jika dibutuhkan, faktor-faktor yang tepat diberikan pre-operatif dan intra-operatif.

Pada orang dewasa, perdarahan epidural jarang menyebabkan penurunan yang signifikan pada level hematokrit dalam rongga kranium kaku. Pada bayi, yang volume darahnya terbatas, perdarahan epidural dalam kranium meluas dengan sutura terbuka yang menyebabkan kehilangan darah yang berarti.Perdarahan yang demikian mengakibatkan ketidakstabilan hemodinamik; karenanya dibutuhkan pengawasan berhati-hati dan sering terhadap level hematokrit.

Pencitraan

 Radiografi

o Radiografi kranium selalu mengungkap fraktur menyilang bayangan vaskular cabang arteri meningea media. Fraktur oksipital, frontal atau vertex juga mungkin diamati.

o Kemunculan sebuah fraktur tidak selalu menjamin adanya perdarahan epidural. Namun, > 90% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan fraktur kranium. Pada anak-anak, jumlah ini berkurang karena kecacatan kranium yang lebih besar.

 CT-scan

o CT-scan merupakan metode yang paling akurat dan sensitif dalam mendiagnosa perdarahan epidural akut. Temuan ini khas. Ruang yang ditempati perdarahan epidural dibatasi oleh perlekatan dura ke skema bagian dalam kranium, khususnya pada garis sutura, memberi tampilan lentikular atau bikonveks. Hidrosefalus mungkin muncul pada pasien dengan perdarahan epidural fossa

(32)

32 posterior yang besar mendesak efek massa dan menghambat ventrikel keempat.

o CSF tidak biasanya menyatu dengan perdarahan epidural; karena itu hematom kurang densitasnya dan homogen. Kuantitas hemoglobin dalam hematom menentukan jumlah radiasi yang diserap.

o Tanda densitas hematom dibandingkan dengan perubahan parenkim otak dari waktu ke waktu setelah cedera. Fase akut memperlihatkan hiperdensitas (yaitu tanda terang pada CT-scan). Hematom kemudian menjadi isodensitas dalam 2-4 minggu, lalu menjadi hipodensitas (yaitu tanda gelap) setelahnya. Darah hiperakut mungkin diamati sebagai isodensitas atau area densitas-rendah, yang mungkin mengindikasikan perdarahan yang sedang berlangsung atau level hemoglobin serum yang rendah.

o Area lain yang kurang sering terlibat adalah vertex, sebuah area dimana konfirmasi diagnosis CT-scan mungkin sulit. Perdarahan epidural vertex dapat disalahtafsirkan sebagai artefak dalam potongan CT-scan aksial tradisional. Bahkan ketika terdeteksi dengan benar, volume dan efek massa dapat dengan mudah disalahartikan. Pada beberapa kasus, rekonstruksi coronal dan sagital dapat digunakan untuk mengevaluasi hematom pada lempengan coronal.

o Kira-kira 10-15% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan lesi intrakranial lainnya. Lesi-lesi ini termasuk perdarahan subdural, kontusio serebral, dan hematom intraserebral.

(33)

33

Gambar 1. Perdarahan epidural Gambar 2. Perdarahan subdural

MRI : perdarahan akut pada MRI terlihat isointense, menjadikan cara ini kurang tepat untuk mendeteksi perdarahan pada trauma akut. Efek massa, bagaimanapun, dapat diamati ketika meluas.

3.7. Menjelaskan tatalaksana perdarahan intrakranial. Terapi Obat-obatan

Pengobatan perdarahan epidural bergantung pada berbagai faktor. Efek yang kurang baik pada jaringan otak terutama dari efek massa yang menyebabkan distorsi struktural, herniasi otak yang mengancam-jiwa, dan peningkatan tekanan intrakranial.

Dua pilihan pengobatan pada pasien ini adalah (1) intervensi bedah segera dan (2) pengamatan klinis ketat, di awal dan secara konservatif dengan evakuasi tertunda yang memungkinkan.Catatan bahwa perdarahan epidural cenderung meluas dalam hal volume lebih cepat dibandingkan dengan perdarahan subdural, dan pasien membutuhkan pengamatan yang sangat ketat jika diambil rute konservatif.

Tidak semua kasus perdarahan epidural akut membutuhkan evakuasi bedah segera.Jika lesinya kecil dan pasien berada pada kondisi neurologis yang baik, mengamati pasien dengan pemeriksaan neurologis berkala cukup masuk akal. Meskipun manajemen konservatif sering ditinggalkan dibandingkan dengan penilaian klinis, publikasi terbaru “Guidelines for the Surgical Management of Traumatic Brain Injury” merekomendasikan bahwa pasien yang memperlihatkan

(34)

34 perdarahan epidural < 30 ml, < 15 mm tebalnya, dan < 5 mm midline shift, tanpa defisit neurologis fokal dan GCS > 8 dapat ditangani secara non-operatif. Scanning follow-up dini harus digunakan untukmenilai meningkatnya ukuran hematom nantinya sebelum terjadi perburukan.Terbentuknya perdarahan epidural terhambat telah dilaporkan.Jika meningkatnya ukuran dengan cepat tercatat dan/atau pasien memperlihatkan anisokoria atau defisit neurologis, maka pembedahan harus diindikasikan.Embolisasi arteri meningea media telah diuraikan pada stadium awal perdarahan epidural, khususnya ketika pewarnaan ekstravasasi angiografis telah diamati.

Ketika mengobati pasien dengan perdarahan epidural spontan, proses penyakit primer yang mendasarinya harus dialamatkan sebagai tambahan prinsip fundamental yang telah didiskusikan diatas.

Terapi Bedah

Berdasarkan pada “Guidelines for the Management of Traumatic Brain Injury“, perdarahan epidural dengan volume > 30 ml, harus dilakukan intervensi bedah, tanpa mempertimbangkan GCS. Kriteria ini menjadi sangat penting ketika perdarahan epidural memperlihatkan ketebalan 15 mm atau lebih, dan pergeseran dari garis tengah diatas 5 mm. Kebanyakan pasien dengan perdarahan epidural seperti itu mengalami perburukan status kesadaran dan/atau memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi.

Lokasi juga merupakan faktor penting dalam menentukan pembedahan.Hematom temporal, jika cukup besar atau meluas, dapat mengarah pada herniasi uncal dan perburukan lebih cepat.Perdarahan epidural pada fossa posterior yang sering berhubungan dengan gangguan sinus venosus lateralis, sering membutuhkan evakuasi yang tepat karena ruang yang tersedia terbatas dibandingkan dengan ruang supratentorial.

Sebelum adanya CT-scan, pengeboran eksplorasi burholes merupakan hal yang biasa, khususnya ketika pasien memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi atau perburukan yang cepat.Saat ini, dengan teknik scan-cepat, eksplorasi jenis ini jarang dibutuhkan.

(35)

35  Pasien dengan tanda-tanda lokalisasi menetap dan bukti klinis hipertensi intrakranial yang tidak mampu mentolerir CT-scan karena instabilitas hemodinamik yang berat.

 Pasien yang menuntut intervensi bedah segera untuk cedera sistemiknya.

3.8. Menjelaskan komplikasi perdarahan intrakranial.

Kebanyakan dari komplikasi perdarahan epidural muncul ketika tekanan yang mereka kerahkan mengakibatkan pergeseran otak yang berarti.Ketika otak menjadi subyek herniasi subfalcine, arteri serebral anterior dan posterior mungkin tersumbat, menyebabkan infark serebral.Herniasi kebawah batang otak menyebabkan perdarahan Duret dalam batang otak, paling sering di pons.Herniasi transtentorial menyebabkan palsy nervus III kranialis ipsilateral, yang seringnya membutuhkan berbulan-bulan untuk beresolusi sekali tekanan dilepaskan. Palsy nervus III kranialis bermanifestasi sebagai ptosis, dilatasi pupil, dan ketidakmampuan menggerakkan mata ke arah medial, atas, dan bawah.Pada anak-anak < 3 tahun, fraktur kranium dapat menyebabkan kista leptomeningeal atau fraktur bertumbuh.Kista ini diyakini muncul ketika pulsasi dan pertumbuhan otak tidak mengijinkan fraktur untuk sembuh, lalu menambah robek dura dan batas fraktur membesar. Pasien dengan kista leptomeningeal biasanya memperlihatkan massascalp pulsatil.

4. Memahami dan mempelajari trias cushing. 4.1. Menjelaskan trias cushing.

Trias cushing merupakan kumpulan gejala yang diakibatkan oleh meningkatnya tekanan intrakranial.

 Hipertensi  Bradikardi

 Depresi pernapasan

Tekanan intrakranial pada umumnya bertambah secara berangsur-angsur. Setelah cedera kepala, timbulnya edema memerlukan waktu 36 sampai 48 jam untuk mencapai maksimum. Peningkatan tekanan intrakranial sampai 33 mmHg mengurangi aliran darah otak secara bermakna.Iskemia yang timbul merangsang

(36)

36 pusat motor, dan tekanan darah sistemik meningkat, Rangsangan pada pusat inhibisi jantung mengakibatkan bradikardia dan pernapasan menjadi lambat.Mekanisme kompensasi ini, dikenal sebagai refleks Cushing, membantu mempertahankan aliran darah otak.Akan tetapi, menurunnya pernapasan mengakibatkan retensi Co2 dan mengakibatkan vasodilatasi otak yang membantu menaikkan tekananan intrakranial.

(37)

37 DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons, 1997, Advance Trauma Life Suport. United States of America: Firs Impression

Ariwibowo Haryo et all, 2008, Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah. Yogyakarta: Pustaka Cendekia Press of Yogyakarta

Bernath David, 2009, Head Injury, www.e-medicine.com

Boies adam., 2002, Buku Ajar Penyakit THT: Edisi 6, Jakarta: EGC.

Hafid A, 2007, Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua, Jong W.D. Jakarta: penerbit buku kedokteran EGC

Ghazali Malueka, 2007, Radiologi Diagnostik, Yogyakarta: Pustaka Cendekia. Japardi iskandar, 2004, Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif.

Gambar

Gambar 1. Perdarahan epidural  Gambar 2. Perdarahan subdural

Referensi

Dokumen terkait

Ia akan disokong oleh beberapa individu lain di belakang tabir yang mempunyai pengetahuan dalam beberapa individu lain di belakang tabir yang mempunyai pengetahuan dalam

Pendekatan ini cocok digunakan oleh penjajah Belanda kepada rakyat Indonesia, tetapi apakah pemerintah Republik Indonesia 5 Sengaja saya menggunakan istilah luar kawasan

SELEKSI CALON SISWA SMA NEGERI 2 LINTONGNIHUTA KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN TAHUN 2014.. NO

Berbeda apabila tanaman pangan menjadi alternatif pemanfaatan lahan tidak ditambang, manfaat ekonomi dirasakan oleh masyarakat sekitar tambang, dengan pemberian hak pengelolaan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dibahas maka penulis memberikan saran kepada Dinas Pendapatan Daerah Kota Manado dalam rangka meningkatkan pendapatan asli

Pengecualian dari instrumen ekuitas tersedia untuk dijual, jika, pada periode berikutnya, jumlah penurunan nilai berkurang dan penurunan dapat dikaitkan secara

Namun, sebaran salinitas secara umum untuk melihat pengaruh air laut terhadap air tanah yang ada di Surabaya Timur, maka metode yang bisa digunakan adalah

Diet rendah serat atau asupan cairan yang tidak memadai dapat menyebabkan konstipasi, yang dapat berkontribusi untuk menjadi hemoroid dalam dua cara: Hal ini