• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Suku Dani Punya Ika Karlina

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Makalah Suku Dani Punya Ika Karlina"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

MAKALAH TENTANG SUKU DANI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Studi Keruangan dan Sistem Sosial

Dosen Prof. Dr. Hj. Enok Maryani, MS.

Oleh: IKA KARLINA

NIM 1502936 Kelas: IPS

PROGRAM MAGISTER (S2) PRODI PENDIDIKAN DASAR SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG

(3)

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, saya ucapkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah tentang Suku Dani dengan baik.

Adapun makalah tentang Suku Dani ini telah saya usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu saya tidak lupa menyampaikan bayak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam pembuatan makalah ini.

Namun tidak lepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dari segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu dengan lapang dada dan tangan terbuka saya membuka selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin membero saran dan kritik kepada saya sehingga saya dapat memperbaiki makalah tentang Suku Dani ini.

Akhirnya penyusun mengharapkan semoga dari makalah tentang Suku Dani ini dapat memperluas pengetahuan kita mengenai adat kebudayaan suku-suku di Indonesia terhadap pembaca.

Bandung, Maret 2016 Penyusun

(4)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i

Daftar isi ... ii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan ... 2

1.4 Sistematika Penulisan ... 2

BAB II PEMBAHASAN ... 4

2.1 Lokasi dan lingkungan alam ... 4

2.2 Demografi ... 4

2.3 Bahasa ... 5

2.4 Latar belakang sejarah ... 5

2.5 Mata pencaharian ... 8 2.6 Organisasi Sosial ... 9 2.7 Religi ... 11 2.8 Perubahan ... 12 BAB III PENUTUP ... 13

3.1 Kesimpulan ... 13

3.2 Saran ... 13

(5)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya, masyarakat serta suku yang berbeda. Hal ini bisa kita lihat dari perbedaan suku, masyarakat, ras, agama yang membentang dari Sabang sampai Merauke.

Pada kesempatan ini saya akan mengangkat tentang suku terbesar di Papua, yakni suku Dani. Orang bilang, "kalau berkunjung ke Papua, belum lengkap jika tidak singgah di Wamena". Wamena adalah wilayah di mana suku Dani berasal. Daerah ini merupakan jantung dari Papua yang terletak di puncak tertinggi Papua. Di bawah ini saya sajikan sedikit pengetahuan tentang suku Dani di Wamena, Papua. Semoga tulisan ini semakin menambah pengetahuan anda.

Sebagai bagian dari wilayah Indonesia, Irian Jaya atau yang familiar disebut Papua adalah sebuah wilayah dengan penduduk yang memiliki karakter unik dan khas mulai dari segi pakaian, bahasa, ras, agama, seni budaya, rumah adat, kebiasaan serta tradisi yang turun-temurun. Kebudayaan yang sangat khas inilah yang membuat mata dunia tidak akan berpaling dan selalu ingin mendalami apa yang ada di bumi Papua.

Provinsi Papua merupakan sebuah provinsi yang ada di Indonesia yang unik, indah serta jarang terjamah oleh masyarakat umum. Propinsi yang sering kali dianggap sebelah mata oleh orang orang karena anggapan mereka masyarakat papua masih primitive, ketinggalan zaman, keterbelakangan pendidikan serta keras kepala. Namun di balik anggapan primitive dan semua itu, masyarakat Papua merupakan salah satu masyarakat yang masih memegang teguh budayanya, budaya asli Indonesia yang belum tercemar oleh pengaruh dari negara-negara barat, dengan kondisi fisik yang masih sangat alami dan belum tercemar oleh polusi-polusi yang merusak alam. Pemandang serta kekayaan alam masih tetap utuh tak berkurang sedikitpun. Banyak pandangan masyarakat Indonesia sendiri yang beraggapan bahwa masyarakat Papua serta apa yang telah menjadi adat dan kebudayaan mereka seringkali dianggap biasa saja.

(6)

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, rumusan masalah dalam makalah ini adalah Bagaimana mengetahui lebih dalam Suku Dani dilihat dari :

a. Lokasi dan lingkungan alam b. Demografi

c. Bahasa

d. Latar belakang sejarah e. Mata pencaharian f. Organisasi sosial g. Religi

h. Perubahan

1.3 Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui lebih dalam Suku Dani dengan melihat dari :

a. Lokasi dan lingkungan alam b. Demografi

c. Bahasa

d. Latar belakang sejarah e. Mata pencaharian f. Organisasi sosial g. Religi

h. Perubahan

1.4 Sistematika Penulisan

Adapun sistem penulisanya adalah sebagai berikut : a. Kata Pengantar

b. Daftar Isi

c. BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah 2. Rumusan Masalah 3. Tujuan

4. Sistematika Penulisan d. BAB II PEMBAHASAN

1. Lokasi dan lingkungan alam 2. Demografi

3. Bahasa

4. Latar belakang sejarah 5. Mata pencaharian 6. Religi

(7)

7. Perubahan e. BAB III PENUTUP

1. Kesimpulan 2. Saran f. Daftar Pustaka

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Lokasi dan Lingkungan Alam

Sekarang, daerah kediaman orang Dani ini termasuk bagian wilayah Kabupaten Jayawijaya dan Kabupaten Paniai. Kabupaten Jayawijaya (1985) terdiri atas 12 kecamatan, yaitu Kecamatan Wamena, Kurulu, Asalogaima, Makki, Kelila, Bokondini, Karubaga, Tiom, Kurima, Okbibab, Kiwirok, dan Oksibil. Kabupaten Paniai (1987) terdiri atas 17 kecamatan, yaitu Kecamatan nabire, Ilaga, Tigi, Mulia, Napan, Jaur, Paniai Timur, Paniai Barat, Ilu, Kamu, Mapia, Sinak, Aradide, Homeo, Sugapa, Beoga, dan Uwapa.

Mereka tersebar dalam wilayah luas, mulai dari lembah Ilaga di sebelah barat sampai ke lembah Balim. Wilayah ini seolah dipagari dinding gunung yang

(8)

menjulang tinggi, di sebelah utara dengan ketinggian 3.500 meter, dan di bagian selatan dengan ketinggian 4.500 – 4.750 meter. Luas lembah ini mencapai 6.000 mil persegi, di mana terdapat lembah Balim, Illaga, Dwart, konda, Ilu, Sinak, Mulia, Pas Valley, dan Piet River.Lembah Balim adalah yang terluas, dengan panjang 45 kilometer dan lebar 15 kilometer, dengan ketinggian 1.600 meter di atas permukaan laut. Lembah yang dilalui sungai Balim ini merupakan daerah subur untuk perhatian.

Hubungan orang di lembah Balim dengan dunia luar dulu hanyalah dengan pesawat udara. Namun kini jalan Trans Irian yang menghubungkan Jayapura dengan Wamena sudah dapat dijangkau dengan kendaraan beroda empat atu setidaknya dengan kendaraan beroda dua.

2.2 Demografi

Anggota suku bangsa Dani ini diperkirakan paling sedikit sekitar 200.000 jiwa, yang merupakan suku bangsa terbesar jumlah anggotanya di antara ratusan suku bangsa asal di Irian Jaya. Orang Dani yang ada di lembah Balim diperkirakan sekitar 60.000 yang berdiam di Kecamatan wamena, Kecamatan Kurulu, sebagian Kecamatan Kurima, Bakondini, Asalogaima. Orang Dani bertetangga dengan beberapa, dan bagian selatan etnik lain, misalnya dengan orang Yali di bagian tenggara, orang Mek di bagian Timur, orang Uhunduni di bagian barat, utara, dan bagian selatan pegunungan Carstenz, serta orang Moni di sekitar danau Paniai.

2.3 Bahasa

Orang dani mempunyai bahasa sendiri yaitu bahasa Dani yang termasuk rumpun bahasa Papua. Peter J. Silzer membagi bahasa Dani menjadi bahasa Dani Barat dan baasa Dani Lembah Besar. Bahasa Dani Barat didukung oleh sekitar 129.000 penutur. Mereka tersebar dalam wilayah kabupaten Jayawijaya dan Kabupaten Paniai, yaitu di kecamatan-kecamatan Karubaga, Bokondini, Kelila, Tiom, Sinak, Ilaga,Mulia, dan Ilu. Bahasa Dani Lembah Besar didukung oleh sekitar 10.000 penutu, berdiam dalam tiga kecamatan di Kabupaten Jayawijaya,

(9)

yaitu di Kecamatan Wamena, Asalogaima, dan Kurima. Silzer tidak menyebut Kecamatan Kurulu, padahal orang Dani merupakan penduduk mayoritas kecamatan ini; yaitu 10.345 jiwa orang Dani diantara 15.651 penduduk Kecamatn Kurulu. Tahun 1993 P. J. Silze membagi bahasa Dani Lembah Besar ini menjadi tiga dialek, yaitu dialek Dani Lembah Besar Atas (20.000 penutur), Dani Lembah Besar Tengah (50.000 penutur), dan dani Lembah Besar Bawah (20.000 penutur).

2.4 Latar Belakang Sejarah

Secara umum, latar belakang sejarah orang Dani masih merupakan misteri. Para ahli berpendapat bahwa orang Dani mulai menempati lembah Balim ini sekitar 24.000 tahun sM dan mereka mulai mengenal bercocok tanam dan berternak kira-kira sejak 7.000 tahun sM. (Koentjaraningrat, 1993). Hasil penelitian arkeologi menemukan sisa-sisa pembakaran yang berasal dari masa 10.000 tahun yang lalu.

Mitos orang dani sendiri mengungkapkan bahwa mereka berasal dari manusia pertama yang keluar dari dalam sebuah lubang di dua kampung dekat sungai Balim. Manusia pertama itu masing-masing seorang wanita dan seorang pria yang bernama Bak. Manusia pertama inilah yang membawa kebutuhan mereka, seperti petatas (ubi jalar), keladi, tembakau, tebu, anjing, dan babi. Kemudian Bak menjelajahi seluruh lembah Balim. Menurut kepercayaan mereka sekarang Bak itu tinggal di laut, sebagai suatu pertanda mereka berasal dari daerah pesisir.

Mereka tidak menyebut dirinya roang “Dani”, bahkan tidak senang menggunakan nama tersebut. Mereka menyebut dirinya nit Balimege, artinya “kami orang Balim”. Kata Dani pertama-tama digunakan oleh Le Roux, pimpinan ekspedisi Belanda-Prancis tahun 1926, karena orang Moni menyebut “Ndani” terhadap tetangganya di lembah Balim ini. Orang Dani itu sendiri baru ditemukan anggota ekspedisi itu tahun 1929 dan pada tahun 1939 pesawat terbang untuk pertama kalinya mendarat di sungai balim. Zending pertama di bawah pimpinan Nyron Bromley masuk tahun 1954, ia melakukan penelitian mendalam tentang budaya orang Dani yang kemudian mencapai gelar Ph. D, dalam bidang

(10)

Antropologi. Pemerintah Belanda baru membuka pos pertama di sana tahun 1956 sampai dengan kekuasaan politik beralih kepada pemerintah Indonesia tahun 1963. Pembangunan yang berjalan selama masa pemerintah R.I. telah banyak menimbulkan perubahan pada budaya mereka.

Pola perkampungan. Seperti yang tampak pada pemukiman orang Dani di desa Jiwika, Kecamatan Kurulu, pola perkampungannya menyebar. Artinya, kompleks bangunan yang disebut silimo tersebar dalam wilayah desa itu, baik di areal yang datar atau di kaki-kaki bukit.

Silimo terdiri dari sejumlah unit bangunan, dengan tata letak dan fungsi

tertentu. Bangunan itu terbuat dari bahan yang berasal dari lingkungan setempat., seperti kayu dan alang-alang atau rerumputan. Keseluruhan unit bangunan ini berbentuk oval, diberi pagar (leget) dengan susunan kayu yang rapat, tidak mudah dimasuki kecuali lewat pintu pagar (mokarai). Masuk dari pintu pagar harus menaiki satu atau dua anak tangga atau berupa kayu bercabang. Sedangkan ternak babi masuk melalui pintu khusus. Di luar pagar di sekitar kompleks itu mereka menanam tanaman seperti tebu, tembakau, buah-buahan, dan lain-lain.

Unit bangunan tadi adalah rumah-hunian (honai) – yang dibedakan antara “rumah laki-laki” (pilamo), “rumah perempuan” (ebe-ae), dapur (hunila) dan kandang babi (wam dabu). Baik rumah laki-laki maupun rumah perempuanberbentuk bulat setengah lingkara. Bangunan ini hanya mempunyai satu pintu berukuran rendah, tanpa jendela maupun ventilasi, sehingga keadaan ruangan itu menjadi gelap. Di dalamnya ada dua lantai. Lantai bawah berketinggian sekitar setengah meter dari permukaan tanah. Jarak lantai bawah dengan lantai atas (loteng) cukup rendah, sehingga orang dewasa tidak bisa berdiri tegak dalam ruangan itu. Diameter pilamo berukuran sekitar empat meter. Lantai bawah berketinggian sekitar setengah meter dari tanah. Lantai bawah adalah tempat untuk duduk-duduk atau beristirahat dan ruang tidur. Lantai atas merupakan tempat atau ruangan untuk tidur saja.

Ruangan bawah ini tempat menyimpan kaneke yaitu benda-benda pusaka, dan di satu bagian ruang itu ada “kotak” yang tidak boleh dilihat oleh sembarang orang. Namun, seorang Dani pernah mengatakankotak di pilamo-nya pernah

(11)

dilihat oleh turis asing dengan syarat membayar Rp. 50 ribu. Ruangan ini dilengkapi pula dengan tungku. Menjelang malam, api dihidupkan, ruangan penuh asap yang berfungsi utuk penghangat dalam mengatasi dinginnya temperatur lingkungan. Konon pula mereka umumnya belum berbusana dan tidak mengenal selimut. Alas tidur pun hanya berupa sejenis rumputan berdaun halus.

Ebe-ae berduameter lebih kecil. Namun, keadaan ruangannya lebih kurang

sama dengan pilamo yang digambarkan di atas.

Pilamo dihuni hanya oleh laki-laki terutama yang sudah dewasa. Pintu

banguan ini berada satu garis lurus dengan pintu pagar. Maksudnya agar mudah mengawasiorang yang masuk. Pengawasan itu ditunjukkan pada musuh, karena di masa lalu sering terjadi perang. Ebe-ae adalah tempat kediaman wanita beserta anak-anak. Ebe-ae biasa lebih dari satu, karena budaya mereka membenarkan suami memiliki lebih dari satu isteri, bahkan bisa disebut banyak isteri. Antara dua

ebe-ae, yang masing-masing dihuni seorang isteri dengan anak-anaknya, biasanya

ada kandang babi, selain kandang yang lebih luas yang sejajar dengan dapur. Dapur (hunila) bangunan yang memanjang, karena dalam satu bangunan itu ada sejumlah tungku milik dari para isteri tadi. Bila ada upacara, misalnya upacara kematian, mayat diletakkan di ruang daour dan para kerabat yang melayat masuk dan duduk di ruang itu.

Bagian tengah dari kompleks silimo ini merupakan halamn yang cukup lega. Halaman digunakan untuk berbagai upacara, misalnya bakar babi, bakar ubi, bahkan pembakaran mayat. Di halaman ini puka para kerabat atau pelayat duduk bersama, misalnya menyatakan duka-citanya dengan cara meratap bersama, membagi noken, menyampaikan informasi yang menyangkut kematian itu. Kebutuhan akan air, misalnya air minum, diambil dari sungai atau anak sungai yang ada di sekitar lingkungan kediaman mereka. Dalam keadaan tertentu mereka langsung minum dari air sungai itu. Yang tidak boleh dilakukan adalah buang air besar di sungai itu untuk menjaga “kebersihannya”. Sebaliknya, sekitaran silimo atau jalan-jalan setapak dilingkungan pemukiman bertebaran kotoran babi.

Ladang tempat bercocok tanam terdapat di areal yang datar atau di lereng-lereng bukit. Ladang itu ada yang berdekatan dan ada yang jauh dengan tempat

(12)

kediaman mereka. Betapapun luasnya, ladang diberi pagar yang kukuh untuk menghindari masuknya babi yang merusak tanaman.

Kini rumah adat honai tidak hanya dijadikan sebagai rumah tinggal masyarakat Papua saja, tetapi juga dijadikan sebagai objek wisata.

2.5 Mata Pencaharian

Jenis mata pencaharian utama orang Dani bercocok tanam di ladang dengan sistem berpindah. Penebangan kayu dilakukan oleh laki-laki. Sebagian kayu bekas tebangan itu dibakar dan sebagian lainnya dijadikan pagar ladang. Pembuatan pagar itu juga dikerjakan oleh laki-laki. Pekerjaan lain kaum laki-laki membuat alat-alat seperti tombak, busur, anak panah. Alat-alat itu untuk menombak babi, memanah burung dan pada masa lalu untuk alat perang.

Tanaman utama di ladang adalah ubi (hipere). Kaum wanita mengerjakan macam-macam jenis pekerjaan di ladang, misalnya menugal, menanam ubi, menggemburkan tanah di sekitar pokok ubi, membersihkan rumput, panen, mengangkut hasilnya ke rumah. Sambil istirahat di bawah pohon ladang, para wanita tampak merajut semacam benang untuk “tas-jala” yang disebut noken.

Noken menjadi wadah untuk membawa hasil ladang, bayi, yang semuanya di

dukung di punggung dan tali noken itu disangkutkan di kepala. Di atas kepala masih ada bawaan lain yang dijunjung.

Pada masa terakhir, mereka juga sudah mengenal dan menanam ubi kayu, keladi, jagung, kedelai, kacang tanah, kopi, apel. Tanaman sayuran ialah bayam, cabai, buncis, wortel, bawang daun, bawang merah, mentimun, kentang, kubis,

(13)

terong, sawi, dan tomat. Tanaman baru ini dijual untuk kebutuhan para pendatang terutama di pasar Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya. Pada masa terakhir, mereka juga sudah diperkenalkan tanaman padi yang pada tahun 1985 sudah ada 9 hektar sawah.

Kebutuhan lain adalah garam. Daerah pedalaman ini dikaruniai sumber air asin, yang di Kecamatan Kurulu gterdapat di atas puncak bukit berupa sebuah kolam atau telaga. Air ini dijadikan garam. Cara membuat garam itu dengan merendam pelepah pisang ke dalam sumber air asin itu dalam jangka waktu tertentu. Pelepah pisang yang telah diresapi air asin itu diikat dan dibawa pulang ke rumah lalu dijemur. Setelah kering, pelepah pisang dibakar dan abunya yang terasa asin itu digunakan sebagai garam.

2.6 Organisasi Sosial

Sistem kekerabatan orang Dani berdasarkan prinsip patrilineal. Kelompok kerabat terkecil yang umum adalah sebuah keluarga luas virilokal (virilocal

extended family), yang terdiri dari seorang suami dengan seorang atau beberapa

istri, anak-anaknya serta saudara-saudara yang lain.

Dalam lingkup keluarga inti atau keluarga luas ada pembagian kerja, antara lain pembagian kerja berdasarkan seks. Dalam keluarga inti khususnya, isteri atau wanita lebih berperan dalam bidang logistik, sedang suami atau pria lebih berperan dalam bidang pertahanan. Peranan berdasarkan seks ini rupanya dilatar belakangi oleh adanya tradisi “perang” di masa lalu. Ketika kini, tradisi perang itu sudah hilang, pembagian kerja tadi masih tampak dalam kehidupan mereka.

Dalam pertanian ladang, ternak, dan pekerjaan dalam rumah tangga, porsi pekerjaan isteri atau wanita tampak lebih besar daripada suami atau pria. Kaum pria sekarang yang tidak lagi berurusan dengan tradisi “perang” tampak seperti lebih banyak “menganggur”.

Keadaan di atas ini menyebabkan kaum wanita merasakan bebanya terlalu berat. Ia tidak mampu mengasuh anak dalam jumlah yang besar. Itulah sebabnya para ibu hamil seringkali nekat melakukan aborsi dengan cara-cara tradisional

(14)

yang merusak kesehatan. Akibatnya kondisi fisiknya menjadi semakin lemah. Ada pula dugaan, bahwa beban yang berat itu seolah-olah menjadi alasan bagi isteri untuk membenarkan atau mengharapkan suaminya kawin lagi. Dengan demikian beban pekerjaan yang berat tadi terbagi kepada isteri-isteri yang lain.

Proses perkawinan dan perceraian dari keluarga-keluarga yang berpoligami ini juga tampaknya tidak sulit. Seorang pria di Kurulu mengakui pernah kawin lima kali, yang akhirnya tinggal dua isteri. Perkawinannya dengan isteri yang kedua pada awalnya “dicemburui” oleh isteri pertama, tapi akhirnya hubungan antara dua wanita yang bermadu itu menjadi rukun-rukun saja. Perkawinan, sang suami justru mendapat informasi dari isteri pertama bahwa ada wamita yang ingin dikawin dengannya. Perceraian pun tampaknya mudah terjadi. Sang suami menceraikan isteri karena alasan bahwa sang isteri malas bekerja atau berbuat serong dengan pria lain. Perkawinan atau perceraian ini ada kaitannya dengan pemilikan babi. Perkawinan itu terjadi berdasarkan kemampuan membayar sejumlah babi untuk mas kawin. Perceraian yang menyebabkan bekas isteri kawin dengan orang lain, menyebabkan bekas suami mendapat babi sebanyak yang pernah dibayarnya dahulu. Laki-laki yang berbuat serong juga harus membayar denda berupa babi kepada suami wanita yang digaulinya.

Peranan suami dalam proses sosialisasi dan enkulturasi terhadap anak juga tapak terbatas dibandingkan istri. Pengakuan seorang anak laki-laki (14 tahun) di Kurulu, bahwa ia merasa tidak harus hormat pada ayahnya. Keadaan ini juga tampak pada sikapnya terhadap sang ayah. Setiap hari, pagi dan petang, ia memang mendapat jatah makan (ubi) dari ibunya.

Mereka ini mengenal sistem klen, dan orang yang berdiam dalam silimo tadi tak harus satu klen, karena mungkin ada anggota kerabat dari pihak suami atau pihak isteri. Dalam masyarakat Dani terdapat banyak sekali klen, ada klen kecil (ukul) sebagai gabungan dari klen yang kecil tadi. Masyarakat Dani yang ada di lembah Balim saja terbagi atas tidak kurang dari 49 buah klen. Keseluruhan klen ini termasuk ke dalam dua paroh masyarakat, artinya setiap klen menjadi bagian dari salah satu paroh-masyarakat ini disebut ebe yang dalam ilmu Antropologi atau Sosiologi dikenal dengan moiety. Baik klen maupun

(15)

kelompok-paroh masyarakat tadi bersifat eksogami, artinya tidak boleh kawin antara satu

klen dan satu ehe. Di samping klen tadi ada pula kelompok klen besar yang

disebut ukuk oak, di mana anggotanya merasa berasal dari satu nenek moyang, tetapi sulit untuk saling mengenal karena jumlahnya yang besar dan tersebar di daerah yang luas. Sehubungan dengan sistem moiety dan ehe tadi, orang Dani ini sangat dikenal dengan budaya “perang” nya.

Gabungan dari beberapa silimo menjadi sebuah komunitas kecil yang disebut ap logalek, yang mempunyai pimpinan tertentu yaitu yang biasa disebut sebagai “kepala suku” (inewa) dan kepala perang (ap endaboqur), dimana pimpinan yang terakhir ini sering dianggap lebih penting dari yang pertama. Kepemimpinan komunitas ini berlanjut secara turun-temurun, dari orang tua kepada anaknya. Anak mana di antara beberapa anaknya yang menggantikan orang tuanya didasarkan kepada isyarat dalam mimpi.

2.7 Religi

Dalam kaitan dengan sistem kepercayaan, orang Dani sangat percaya kepada roh-roh (mogat) orang yang telah meninggal. Roh itu berada di sekitar tempat kediaman keluarganya juga. Seperti halnya manusia, roh itu dapat melihat, berbicara, berbuat baik atau jahat, menolong atau menyebabkan kematian seseorang di medan perang. Seperti manusia biasa roh itu membutuhkan makanan dan minuman. Bila seseorang sakit atau kecelakaan, atau ternak (babi) sakit, roh itu dapat diminta tolong untuk menyembuhkan melalui suatu upacara. Dalam rangka upacara itu dipotong babi dan sebagian dari daging itu untuk mogat.

Selain percaya kepada roh, mereka juga percaya kepada benda-benda seperti batu pipih (keneke). Batu pipih ini diyakini sebagai pusat segala roh otang yang meninggal. Batu yang ukurannya sekitar 10 cm x 40 cm bersama benda sakral lainnya, seperti kayu pemukul, jala-jala gendongan, disimpan di dalam ruang khusus di dalam pilamo, yang dikeluarkan setiap ada upacara khusus (ebe

ako), atau pada pesta babi. Upacara khusus tadi adalah upacara inisiasi,

perkawinan, upacara untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Upacara yang diadakan sekali dalam 4-5 tahunitu ditandai dengan pemotongan

(16)

ratusan ekor babi. Selain kepercayaan asli itu banyak di antara mereka yang sudah menganut agama Katolik dan Protestan.

Kepercayaan kepada roh tadi rupanya terkait pula dengan bentuk rumah (honai) yang terurai di atas. Rupanya honai yang tertutup, tanpa jendela, ventilasi, yang hanya dengan pintu kecil dan rendah, adalah untuk menghindari masuknya roh-roh jahat, yang bisa membuat mereka sakit atau mati. Itulah sebabnya mereka tidak mudah diajak berdiam dalam rumah ‘kotak” yang ada jendela atu ventilasi. Mereka beranggapan atau yakin dari celah jendela atau ventilasi itu akan masuk roh jahat tadi. Padahal dalam kenyataanny, dalam honai yang pengap tadilah, mereka dihinggapi banyak macam penyakit, misalnya “infeksi saluran pernapasan atas” yang paling banyak dialami oleh para Dani di Kurulu. Namun, bagi mereka menderita penyakit semacam itu tidak dianggap sakit.

Bagi mereka, babi merupakan binatang sakral, di samping sebagai mas kawin, alat pembayar denda. Ada informasi, di mana seorang ibu tampak menggendong anak babi sambil menyusuinya agar anak babi itu cepat gemuk, sementara anaknya sendiri yang masih kecil berjalan kaki di sampingnya. Babi juga menjadi salah satu simbol kekayaan. Babi itu disembelih hanya pada waktu pesta atau upacara; sedangkan pada hari biasa bila mereka ingin makan daging babi, mereka membelinya. Babi itu dianggap sebagai binatang perkasa, dan keperkasaannya itu tampak waktu menangkapnya yang dilukiskan dalam permainan rakyat yang dinamakan wam helo.

Selain kepercayaan asli setempat mereka juga memeluk agama Protestan atau Katolik. Memang tidak bisa dipastikan berapa jumlah mereka yang memeluk agama tersebut, akan tetapi dari 328.131 jiwa jumlah penduduk Kabupaten Jayawijaya tahun 1985, yang memeluk agama Protestan : 199.000 jiwa Katolik : 52.419 jiwa, dan Islam : 19.000 jiwa. Tempat beribadatan yang tersedia adalah 426 gereja Protestan, 103 gereja Katolik, dan 4 mesjid.

2.8 Perubahan

Setelah Irian Jaya (Papua) masuk ke dalam kekuasaan RI (1963) pembangunan masyarakat Dani khususnya mulai dilaksanakan secara bertahap.

(17)

Daerah sekitar pegunungan Jayawijaya berstatus sebagai sebuah Kabupaten dengan ibu kota Wamena. Tahun 1971 di Wamena dibuka lapangan terbang, sehingga Jayapura-Wamena dapat dicapai dalam waktu setengah jam. Kabupaten Jayawijaya umumnya kini memiliki 57 lapangan terbang, terdiri atas delapan milik pemerintah dan 49 milik swasta. Selanjutnya kawasan lembah Balim ini mendapat penerangan listrik, kendaraan mobil mulai masuk. Pada tahun 1980 masyarakat kota Wamena dapat menikmati siaran TV dan hubungan telpon dengan Jakarta dan daerah lain. Kini jalan raya yang menghubungkan Jayapura-Wamena, sepanjang 400 kilometer, sudah dapat dijangkau oleh kendaraan beroda empat atau setidaknya kendaraan roda dua. Prasarana dan sarana transportasi ini akan menjadi salah satu faktor bagi orang dani meninggalkan zaman batu dan menyongsong masuknya modernisasi.

BAB III KESIMPULAN

3.1 Penutup

Setiap suku di suatu daerah pasti memiliki ciri khas kebudayaannya masing-masing. Ciri ini membedakan satu suku dengan suku yang lainnya. Hal yang sama juga terlihat pada suku Dani. Dari hasil pembahasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa suku Dani memiliki kekayaan etnografi yang bernilai tinggi. Semuanya nampak jelas dalam berbagai segi kehidupan masyarakatnya, misalnya dalam bidang pertanian. Sejak dulu masyarakat Dani sudah mengenal cara berkebun yang sangat maju. Hal ini terbukti lewat cara pembuatan bedeng-bedeng yang dilengkapi dengan parit-parit di pinggirnya untuk mempermudah

(18)

irigasi. Hal lain juga bisa terlihat dari cara mereka membuat rumah yang diatur sedemikian rupa sehingga membentuk kompleks pemukiman yang rapi.

Ketika berhadapan dengan arus modernisasi, suku Dani tetap berusaha mempertahankan ciri khas budayanya, meskipun terjadi banyak perubahan dalam seluruh aspek kehidupan. Perubahan yang dimaksud menyebabkan terjadinya asimilasi, inkulturasi dan konfrontasi dengan budaya setempat. Jika dilihat secara sepintas maka kehidupan suku Dani yang sekarang sudah mulai berbeda dari kehidupan beberapa generasi suku Dani terdahulu. Meskipun demikian, ada tradisi-tradisi tertentu yang masih dilaksanakan dan dipertahankan keasliannya.

3.2 Saran

1. Bagi Pemerintah

Dalam rangka meningkatkan dan mengangkat budaya daerah diantaranya budaya Suku Dani hendaklah pemerintah memperhatikan keberadaan budaya di daerah tersebut dengan memperkenalkan dalam pertunjukan nasional baik seni tari maupun seni pahat patung sebagai aneka ragam budaya Indonesia yang di kenal di mancanegara dan salah satu penghasil devisa negara.

2. Bagi Guru

Dengan adanya keanekaragaman budaya daerah diharapkan dapat memiliki manfaat langsung maupun tidak langsung untuk memperkaya bahan kajian dalam proses pendidikan dan dapat mengkontruksi pengetahuan melalui pengalaman belajar yang tepat.

3. Untuk siswa

Memberikan nuansa baru dalam menambah wawasan pengetahuan yang memungkinkan siswa berkesempatan untuk memperbaiki cara dan sikap dalam memahami budaya daerah yang beraneka ragam sebagai budaya nasional dan menumbuhkan rasa persatuan kebangsaan.

(19)

DAFTAR PUSTAKA

Heider, K. G. (1970). The Dugum Dani A Papuan Culture in the Highlands of

West New Guinea. Chicago : Aldine

Koentjaraningrat, dkk. (1993). Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

Silezer, P. J. (1991). Index of Irian Jaya Languages. Universitas Cendrawasih dan Summer Institute of Linguistics

Swasono, M. F et al. (1994). Masyarakat Dani Kecamatan Kurulu, Kabupaten

Jayawijaya, Irian Jaya : Adat-Istiadat dan Pengaruhnya terhadap Kesehatan (Makalah, pada Seminar Prilaku dan Penyakit dalam Kontek

(20)

Referensi

Dokumen terkait