• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODUL SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MODUL SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PEMBENTUKAN JAKSA 2019

MODUL

SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

DISUSUN OLEH :

TIM PENYUSUN MODUL

BADAN DIKLAT KEJAKSAAN R.I.

BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

JAKARTA

2019

(2)
(3)
(4)
(5)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL

………... i

KATA PENGANTAR

………. ii

DAFTAR ISI

………... iii

BAB I

PENDAHULUAN...1

A.

Latar Belakang………...1

B. Deskripsi Singkat ...2

C. Tujuan Pembelajaran .………...2

D. Indikator Keberhasilan ...4

E. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok ...…………...4

BAB II

MENGINKORPORASI PARADIGMA PENDEKATAN KEADILAN RESTORATIF KE DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA …………7

BAB III

PROSES RESTORATIF SEBAGAI FILOSOFI PENGGUNAAN

DIVERSI SISTEM PERADILAN PIDANA...20

BAB IV

PENDEKATAN PERKARA ANAK DENGAN PENDKEATAN KEADILAN RESTORATIF ……….41

BAB V

KRITERIA PENJATUHAN TUNTUTAN DAN PELAKSANAAN

PUTUSAN PIDANA ATAU TINDAKAN

………...………….56

DAFTAR PUSTAKA ...

LAMPIRAN ...

Sumber :

Peraturan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor 5 Tahun 2009 tentang

Pedoman Penulisan Modul Pendidikan dan Pelatihan.

(6)
(7)

MODUL SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penanganan perkara anak menjadi penanganan perkara yang bersifat strategis di Kejaksaan, sebagaimana tercantum dalam rencana strategis Kejaksaan berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER-007/A/JA/08/2016 Tentang Rencana Strategis Kejaksaan Republik Indonesia Tahun 2015 – 2019. Perencanaan strategis selalu diarahkan untuk mendukung kesinambungan pembangunan nasional, dimana perlindungan anak menjadi agenda prioritas nasional dalam Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015 – 2019.

Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) pembentukan Jaksa perlu memiliki program pembelajaran yang membekali para peserta Diklat dengan kemampuan penanganan perkara anak secara komprehensif sehingga dapat melahirkan Jaksa handal yang mampu melakukan penanganan perkara anak dengan pendekatan keadilan baru sesuai dengan falsafah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pendekatan keadilan restoratif menjadi pendekatan keadilan baru yang harus dipahami para Jaksa, kelak ketika mereka bertugas. Para Jaksa diharapkan dapat mengetrapkan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari ketika berhadapan dengan perkara anak, sehingga meninggalkan pola pikir konvensional ke arah pendekatan keadillan dalam sistem peradilan pidana paling mutakhir.

Modul ini diharapkan dapat membantu membentuk Jaksa untuk memiliki paradigma keilmuan tentang pendekatan keadilan restoratif dalam rangka memulihkan keseimbangan yang hilang akibat tindak pidana, khususnya dalam penanganan perkara anak. Oleh karena acara peradilan pidana anak yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tetap mengacu pada ketentuan beracara dalam Hukum Acara Pidana maka dalam melaksanakan penuntutan dan pembuktian perkara Anak, modul ini juga terkait dengan modul Penuntutan, Hukum Pembuktian dan Upaya Hukum Pidana. Selain itu

(8)

MODUL SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 2

dalam hal anak berada dalam ruang lingkup rumah tangga, modul ini juga akan memiliki keterkaitan dengan Modul Tindak Pidana Tertentu Di Luar KUHP: KDRT.

B. Deskripsi Singkat

Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan hukum acara yang memiliki kekhususan sesuai dengan sifat dan karakteristik Anak. Diklat pembentukan Jaksa diharapkan mampu melahirkan para Jaksa yang memiliki minat dan dedikasi terhadap perkara Anak serta memiliki kompetensi teknis dalam penanganan perkaranya.

C. Tujuan Pembelajaran

a. Tujuan Instruksional Umum / Kompetensi Dasar.

Setelah mengikuti pembelajaran dan pelatihan peserta Diklat mampu:

i. melaksanakan prapenuntutan, penuntutan dan pelaksanaan putusan perkara anak;

ii. memahami falsafah pendekatan keadilan restoratif dan penggunaan pendekatan keadilan restoratif dalam masalah pidana sehingga mampu melakukan penyelesaian penanganan perkara yang memulihkan bagi pelaku, korban dan masyarakat;

iii. memahami karakteristik khusus anak sehingga memiliki pemahaman dasar atas:

1. pembinaan Anak yang meliputi pola asuh keluarga, pola pembinaan sopan santun, disiplin Anak, serta melaksanakan pendekatan secara efektif, afektif, dan simpatik;

2. pertumbuhan dan perkembangan Anak; dan

3. berbagai tata nilai yang hidup di masyarakat yang memengaruhi kehidupan Anak.

b. Tujuan Instruksional Khusus

a. Peserta mampu memahami pendekatan keadilan baru restorative juctice

b. Peserta mampu memahami paradigma pendekatan keadilan restoratif ke dalam sistem peradilan pidana

(9)

MODUL SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 3

c. Peserta mampu memahami proses restoratif sebagai filosofi penggunaan diversi dalam sistem peradilan pidana

d. Peserta mampu mengimplemetasikan pendekatan keadilan restoratif sebagai sarana penyelesaian tindak pidana

e. Peserta melakukan proses diversi sebagai upaya penyelesaian konflik dalam sistem peradilan pidana anak

f. Peserta mampu melakukan penuntutan perkara Anak dengan pendekatan keadilan restorative

g. Peserta mampu menerapkan kriteria penjatuhan tuntutan dan pelaksanaan putusan pidana atau tindakan

D. Indikator Keberhasilan

Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta diharapkan mampu : a. Memahami pendekatan keadilan baru restorative juctice,

b. Memahami paradigma pendekatan keadilan restoratif ke dalam sistem peradilan pidana,

c. Memahami proses restoratif sebagai filosofi penggunaan diversi dalam sistem peradilan pidana,

d. Mampu mengimplemetasikan pendekatan keadilan restoratif sebagai sarana penyelesaian tindak pidana,

e. Melakukan proses diversi sebagai upaya penyelesaian konflik dalam sistem peradilan pidana anak,

f. Melakukan penuntutan perkara Anak dengan pendekatan keadilan restoratif, g. Menerapkan kriteria penjatuhan tuntutan dan pelaksanaan putusan pidana

atau tindakan

E. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok

a. Menginkorporasi Paradigma Pendekatan Keadilan Restoratif Ke Dalam Sistem Peradilan Pidana

(10)

MODUL SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 4

b. Proses Restoratif Sebagai Filosofi Penggunaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana

i. Pendekatan Keadilan Restoratif Sebagai Sarana Penyelesaian Tindak Pidana

ii. Penggunaan Diversi Sebagai Upaya Penyelesaian Konflik Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

1. Dasar Hukum 2. Sejarah Diversi 3. Pengertian Diversi 4. Tujuan Diversi 5. Syarat Diversi 6. Indikator Diversi

7. Pelaksaanaan Diversi Pada Tahap Penuntutan a. Upaya Diversi

b. Musyawarah Diversi c. Kesepakatan Diversi

d. Pelaksanaan Kesepakatan Diversi

e. Pengawasan dan Pelaporan Kesepakatan Diversi f. Penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan iii. Penuntutan Perkara Anak Dengan Pendekatan Keadilan Restoratif

iv. Kriteria Penjatuhan Tuntutan Dan Pelaksanaan Putusan Pidana Atau Tindakan

F. Petunjuk Belajar dan Latihan a. Baca dan kuasai setiap bab

b. Lanjutkan bab berikut dengan cara yang sama c. Lakukan diskusi kelompok

d. Presentasi hasil diskusi keiornpok e. Tanya jawab dan curah pendapat

(11)

MODUL SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 5

G. Metoda Pembelajaran dan Pelatihan a. Ceramah

b. Diskusi / tugas kelompok

c. Presentasi hasil tugas kelompok d. Tanya jawab / diskusi kelas e. Tugas baca dan latihan

H. Media a. Film

(12)

MODUL SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 6

BAB II

MENGINKORPORASI PARADIGMA PENDEKATAN KEADILAN RESTORATIF KE DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

Indikator Keberhasilan:

Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta diharapkan mampu: 1. Memahami pandangan pendekatan keadilan restoratif;

2. Memahami pengambilan keputusan dengan pendekatan keadilan restoratif

A. Pendekatan Keadilan Baru dalam Pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Satu-satunya sistem peradilan pidana di Indonesia yang menggunakan bentuk pendekatan keadilan baru adalah sistem peradilan pidana anak. Para pemrakarsanya telah berhasil memasukkan paradigma baru di tengah pemikiran sistem peradilan pidana yang dipertahankan bertahun-tahun secara konvensional. Melihat sejarah pembentukannya, UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), tampak sebagai suatu produk legislasi yang diprakarsai orang-orang yang sesuai dengan kompetensinya. Rancangan undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak hanya perlu menunggu tidak lebih dari 1 (satu) tahun untuk dibahas dalam Rapat Kerja Komisi III bahkan lahir di tahun yang sama sejak mulai disampaikan Presiden kepada Pimpinan DPR RI dengan Nomor Surat R12/Presiden/02/2011 tanggal 16 Februari 20111. Pada saat itu Presiden menugaskan Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sosial, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk mewakili Presiden baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dalam pembahasan dengan DPR. Sosok yang membidani lahirnya undang-undang ini tampak memang sudah tidak asing dengan perjuangan gerakan perlindungan anak Indonesia seperti ibu Linda Agum Gumelar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak saat itu, Profesor Harkristuti

1 Risalah Rapat Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, tahun sidang 2011-2012,

(13)

MODUL SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 7

Harkrisnowo sebagai leading sector yang mewakili Pemerintah di dalam rapat panitia kerja (Panja) RUU SPPA dan Apong Herlina yang saat itu menjabat sebagai komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Artinya UU SPPA lahir di waktu pemerintahan yang tepat.

UU SPPA lahir dengan norma yang lebih menginkorporasikan prinsip dan nilai dalam Konvensi Hak Anak (KHA) serta instrumen lain dalam perkembangan pemikiran mengenai HAM, khususnya yang berkenaan dengan hak anak. Yang paling istimewa, UU SPPA berani memasukkan paradigma penegakan hukum dengan pendekatan keadilan baru yang mau tidak mau membutuhkan komitmen penuh para penegak hukumnya untuk benar-benar terlibat secara aktif dalam menyelesaikan masalah anak. UU SPPA juga menggunakan sistem pemidanaan dua jalur (double

track system) ketika KUHP baru menerapkan sistem yang sama namun hingga

sekarang masih dalam bentuk rancangan, sehingga UU SPPA sudah beberapa langkah jauh di depan. Bentuk-bentuk sanksi pidana dan tindakan yang digunakan dalam UU SPPA telah mencerminkan tujuan pemidanaan yang lebih mengikuti pembaharuan hukum pidana (penal reform) dengan menganut aliran neo klasik, mengakui asas-asas atau keadaan yang meringankan pemidanaan, mendasarkan pada keadaan objektif dan mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual dari pelaku tindak pidana2.

Jenis keadilan baru yang diusung UU SPPA merupakan model keadilan yang selalu akan berhadap-hadapan dengan model keadilan retributif (retributive

justice model). Keadilan restoratif lahir atas reaksi kaum Abolisionis yang

menganggap sarana penal mengandung masalah atau cacat struktural, serta tidak memotivasi pelaku kejahatan menjadi orang baik kembali. Disamping itu korban kejahatan juga akan terus menderita meskipun pelaku kejahatan telah dihukum3. Keadilan restoratif diperkenalkan sebagai upaya memperkenalkan hubungan

Pelaku-Korban atau “doer-victims” relationship, suatu pendekatan baru yang

dikembangkan dalam ilmu hukum pidana dan sifat pemidanaan modern, menggantikan

2 Zainal Abidin, Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri #3 Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP,

ELSAM - Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, Cetakan pertama, September 2005, hlm. 16.

3 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Prespektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Binacipta, Bandung,

(14)

MODUL SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 8

pendekatan perbuatan atau pelaku atau “daad-dader straftecht”. Keadilan

restoratif membuat sistem hukum pidana Indonesia memasuki babak baru dalam

perkembangannya.

Keadilan restoratif di dalam UU SPPA termaktub dalam pasal 5 UU SPPA. Ayat (1) nya mengatur bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. Ayat (2) memberikan penjelasan atas sistem peradilan pidana anak yang diatur pada ayat (1) meliputi: a. penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini; b. persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum; dan c. pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan. Kemudian ayat (3) mengatur bahwa dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada tahap penyidikan sampai dengan persidangan wajib diupayakan Diversi4.

Meskipun pendekatan keadilan restoratif dianggap sebagai pendekatan keadilan baru yang dapat diterima dalam sistem peradilan pidana muthakhir yang merujuk pada sistem keadilan modern, tentu konsepnya akan dipertanyakan mengingat metodenya tidak dikenal dalam sistem peradilan pidana yang diterima dalam hukum acara pidana di Indonesia. UU SPPA sudah mengadopsi pendekatan keadilan restoratif sebagaimana tercantum dalam pasal 5 undang-undang dimaksud. Dimana berdasarkan ketentuan pasal dimaksud pendekatan keadilan restoratif dilakukan dalam setiap tahap pemeriksaan dari penyidikan, penuntutan, persidangan bahkan pada tahap pelaksanaan pidana atau tindakan dan bukan hanya dalam bentuk proses penyelesaian di luar persidangan berupa diversi.

B. Keadilan Restoratif sebagai Pendekatan Keadilan Baru

Keadilan restoratif dimaknai sebagai pendekatan keadilan baru. Pendekatan keadilan ini muncul dari banyaknya kepincangan sistem dalam peradilan pidana

(15)

MODUL SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 9

yang dianggap tidak lagi menjadi sarana ampuh untuk memulihkan keseimbangan terhadap kepentingan negara, masyarakat maupun individu, termasuk kepentingan pelaku kejahatan dan korban kejahatan. Beberapa gerakan kemudian muncul, antara lain kaum abolisionist yang tidak mempercayai sarana penal sebagai sarana penanggulangan kejahatan sehingga menolak pemenjaraan. Ada pula kelompok yang tetap mempertahankan sistem penjara meskipun perlu diperbaiki. Salah satu yang mengemuka adalah Herbert L Packer salah seorang eksponen golongan reformist yang menyatakan sistem pemenjaraan masih diperlukan meskipun harus digunakan dengan bertanggung jawab. Mengutip pendapatnya dikatakan5,

“the criminal sanctions are indispensable; we could not, now or in the foreseeable future, get along without it; the criminal sanction is the available device we have for dealing with gross and immediate harms and threats of harms, the criminal sanctions are at once the prime guarantor and prime threatener of human freedom. Use providently and humanely it is guarantor; used indiscriminately and coercively, it is threatener”

(terjemahan: sanksi pidana sangat diperlukan; kita tidak bisa, sekarang

atau di masa mendatang, hidup tanpa itu.

Sanksi pidana adalah tindakan yang tersedia dan kita miliki untuk menangani bahaya dan ancaman bahaya yang nyata serta sanksi pidana merupakan penjamin utama namun juga sekaligus ancaman utama bagi kebebasan manusia. Apabila kita menggunakannya secara hati-hati dan manusiawi maka menjadi penjamin perlindungan manusia; namun juga ketika digunakan tanpa pandang bulu dan secara paksa, dapat menjadi sebuah ancaman bagi kebebasan manusia).

5 Hebert L Packer, 1983, The Limit of Criminal Sanction, Stanford-California: Stanford University Press, hal

364-366 dalam Natangsa Surbakti, Peradilan Restoratif Dalam Bingkai Empiri, Teori dan Kebijakan, Genta Publishing, Cetakan I, Januari 2015, Yogyakarta, hlm. 3.

(16)

MODUL SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 10

Pakar lain John P. Conrad juga menyatakan, punishment may not always

satisfactory, but it is our only means of controls6. Artinya penjara mungkin

tidak selalu memuaskan, tetapi itulah satu-satunya alat kontrol kita.

Salah satu hal penyebab yang timbul dari ketidakpuasan terhadap sistem peradilan pidana secara konvensional, sebenarnya timbul dari cara pandang sistem peradilan pidana saat itu terhadap kejahatan. Kejahatan tidak dimaknai hubungan yang rusak atau konflik yang ditimbulkan antara pelaku dan korban, namun dipandang sebagai perang antara negara dengan tindak pidana dan pelaku kejahatan, sehingga kepentingan korban menjadi terabaikan. Konsep restorative

justice menawarkan adanya proses konsultatif antara pelaku kejahatan, korban

dan masyarakat sehingga keadaan yang rusak akibat tindak pidana dapat dipulihkan kepada keadaan semula atau paling tidak mendekati keadaan semula. Pada proses konsultatif itu, baik korban maupun pelaku akan berbagi pengalaman atas tindak pidana yang terjadi. Korban akan menceritakan derita, nestapa atau kerugian yang hilang akibat tindak pidana, pelaku akan mendengarkan derita korban dan menyadari kesalahannya, bahkan masyarakat dapat ikut mencegah agar tindak pidana yang sama atau kondisi-kondisi yang memicu tindak pidana dapat dieliminir. Konsep ini tampak begitu ideal diberlakukan dalam masyarakat yang menginginkan kehidupan damai, sebagaimana cita-cita ideal pembangunan hukum di Indonesia dimana apabila masyarakat sudah memiliki kesadaran hukum tinggi, penegakan hukum berjalan dengan baik, masyarakat akan hidup adil sejahtera, sebagaimana disampaikan dalam peribahasa jawa, “gemah ripah loh jinawi, sarwa tukhul tanpa tinandur, sato iwen mulih nang omahe dewe-dewe, tata tenrem karta

raharja”. Ketika penegakan hukum yang terdiri dari 3 (tiga) komponen

penegakan hukum sebagaimana teori sistem hukum Lawrence M Friedman, struktur, subtansi dan budaya hukum masyarakat berjalan seiring sejalan, akan tercipta keadaan Indonesia, subur makmur, tanaman tumbuh tanpa ditanam, hewan ternak dapat pulang sendiri ke kandangnya, masyarakat adil makmur dan sejahtera.

6 Hohn. P. Conrad, 1965, Crime and its Correction, London: Tavistock Publications, hlm. 303, dalam Natangsa

Surbakti, Peradilan Restoratif Dalam Bingkai Empiri, Teori dan Kebijakan, Genta Publishing, Cetakan I, Januari 2015, Yogyakarta, hlm. 3

(17)

MODUL SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 11

Keadilan restoratif sendiri, bukan sesuatu yang baru dalam masyarakat adat Indonesia. Indonesia memiliki sejumlah penyelesaian adat dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di masyarakatnya, termasuk ketika tindak pidana terjadi. Mencermati filosofi pendekatan keadilan restoratif yang bertujuan “pemulihan”, penyelesaian adat di Indonesia juga memiliki tujuan yang sama yakni memulihkan keselarasan kehidupan masyarakat yang sempat hilang akibat konflik yang terjadi di masyarakat, oleh karena itu John Braithwaite mengatakan,

“Indonesia is a nation with wonderful resources of intracultural

restorative justice. Traditions of musyawarah – decision by friendly

cooperation and deliberation – traverse the archipelago. Adat law at the

same time allows for diversity to the point of local criminal law being wrtten to complement universal national law”.

(terjemahan: Indonesia adalah negara dengan sumber daya luar biasa dari keadilan restoratif intrakultural. Banyaknya musyawarah – kesepakatan yang dipertimbangka melalui kerja sama yang bersahabat dan musyawarah – meliputi seluruh nusantara. Hukum adat pada saat yang sama memungkinkan keberagaman menuju titik dimana saat ini hukum pidana yang didasarkan pada kearifan lokal sedang disusun untuk melengkapi hukum pidana nasional yang berlaku untuk seluruh daerah) 7

Braithwaite juga mengatakan,

“Several years ago, in Indonesia I was told of justice rituals in western Sumatra that were jointly conducted by a religious leader and a scholar… the person in the community seen as having the greatest spiritual riches and the person seen as having the greatest richest of learning. My inclination then was to recoil from the elitism of this and insist that many (if not most) citizens have the resources (given a

7 John Braithwaite, Restorative justice & Responsive Regulation, Oxford University Press, New York, 2002, h. 186

dalam Sarwirini, “Implementasi Restorative Justice Dalam Penegakan Hukum Pajak” dalam Yuridika: Volume 29 No 3, September-Desember 2014 hlm. 385

(18)

MODUL SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 12

little help with training) to facilitate processes of healing. While I still believe this, I now think it might be a mistake to seek to persuade Asians to democratize their restorative justice practices”.

(terjemahan: Beberapa tahun yang lalu di Indonesia saya diberi tahu adanya ritual peradilan adat di Sumatera Barat yang dilakukan bersama dengan seorang pemimpin agama dan cendekiawan yaitu orang yang dalam komunitasnya dianggap memiliki pengetahuan spiritual yang besar dan dilihat sebagai orang yang sangat berpengalaman. Melihat hal itu, saya cenderung mundur dari elitisme ini dan menegaskan bahwa banyak (atau jikapun tidak banyak, tapi sudah ada) warga negara yang sebenarnya sudah memiliki kapasitas (hanya perlu diberi sedikit bantuan pelatihan) yang dapat memfasilitasi proses pemulihan. Sementara aku percaya hal itu, saat ini aku berpikir bahwa mungkin suatu kesalahan membujuk orang-orang Asia untuk mempraktekkan keadilan restoratif sebab mereka sudah memilikinya)8

Salah satu contoh ketika terjadi perkelahian antar warga, pada masyarakat adat daerah Bagansiapiapi, diselesaikan dengan cara musyawarah oleh ketua adat dan beberapa sanksi dari masyarakat, dimana karena perkelahian menyebabkan luka dan mengeluarkan darah, pihak yang menyebabkan luka didenda menyembelih hewan kambing untuk dimakan dalam jamuan makan bersama pelaku, korban dan masyarakat adat terkait9. Setelah penyelesaian adat itu, hubungan antara pelaku, korban dan masyarakat adat terpulihkan. Pada masyarakat adat Melayu Pujud, Rokan Hilir, sebuah kasus penganiayaan diselesaikan juga dengan membayar denda hewan yang kemudian disembelih untuk dimakan sebagai hidangan bersama oleh para pihak yang berkonflik serta masyarakat adat. Denda lain yang dapat diterapkan adalah pemberian sebidang tanah yang telah disepakati oleh pihak yang melakukan tindak pidana yang disesuaikan dengan akibat yang

8 John Braithwaite, Ibid., hlm. 385.

9 Wawancara Dengan Bapak H. Marki, Ketua Adat Suku Melayu, Hari Rabu Tanggal 16 Maret 2016, Bertempat di Kediaman

Bapak H. Marzuki dikutip dari Fitri Yanti, “Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Perkelahian Antar Warga Menurut Hukum Adat Melayu Riau Bagansiapiapi”, dalam Jom Fakultas Hukum Volume III Nomor 2, Oktober 2016, hlm. 4.

(19)

MODUL SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 13

ditimbulkan pada penganiayaan10. Artinya, hampir semua penyelesaian adat memiliki cara untuk memulihkan hubungan yang sempat rusak akibat tindak pidana demi memelihara kembali harmoni dalam masyarakat. Hal ini tampak sejalan dengan filosofi pendekatan keadilan restoratif yang menurut Strang dan Braithwaite, secara filosofis didasarkan pada prinsip healing and respectful

dialogue, forgiveness, responsibility, apology and making amends (terjemahan:

pemulihan dan dialog yang dibangun dengan saling menghormati antara para pihak, pengampunan, tanggung jawab, memberi maaf dan memperbaiki kesalahan)11. Tampaknya apa yang dikatakan Marc Levin bahwa pendekatan yang dulu dinyatakan sudah usang, kuno dan tradisional kini justru dinyatakan sebagai pendekatan yang progresif 12, benar-benar terjadi.

Meskipun pendekatan keadilan restoratif menjadi dikotomi dari pendekatan keadilan retributif, yang dianut secara konvensional oleh sistem peradilan pidana yang selalu memberikan sanksi pidana, sebagaimana disampaikan Chris Cunneen,

“The retributive/restorative justice dichotomy fast became in the standard (opposition) approach used to define restorative justice. Two system were regarded as fundamentally opposed, not only because one is relational and the other is not but because, by and large, advocates of restorative justice believe that it had nothing to do with sentencing and

punishment13, and that criminal justice had no restorative elements”14

(terjemahan: Dikotomi antara keadilan retributif dan restoratif menjadi pendekatan standar (oposisi) yang digunakan untuk membedakan keadilan restoratif. Dua sistem dianggap bertentangan secara mendasar, bukan hanya

10 Wawancara Dengan Bapak Muslim, Kepala Dusun Kasang Bangsawan, Hari Minggu, Tanggal 25 Oktober 2015, Bertempat

di Kediaman Kepala Dusun dikutip dari Muhammad Arifin, “Penyelesaian Tindak Pidana Penganiayaan Melalui Hukum Adat Di Kecamatan Pujud”, dalam Jom Fakultas Hukum Volume III Nomor 2, Oktober 2016, hlm. 12.

11 Heather Strang dan John Braithwaite Ibid., hlm. 386.

12 Eva Achjani Zulfa 2009, dikutip dari Nur Rochaeti dan Rachmi Dwi Sutanti, “Kontribusi Peradilan Adat dan

Keadilan Restoratif dalam Pembaruan Hukum Pidana di Indonesia”, dalam Masalah-Masalah Hukum, Jilid 48 No.3, Juli 2018., hlm. 200.

13 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 2010 hlm. 72 dikutip dari I Ketut Sudira, Mediasi Penal

Perkara Penelantaran Rumah Tangga, Cetakan Pertama, UII Press Yogyakarta, Juni 2016, hlm. 7

14 Chris Cunneen, Debating Restorative Justice, Hart Publishing, Oxford-Portland Oregon, 2010, hlm. 41 dikutip

dari I Ketut Sudira, Mediasi Penal Perkara Penelantaran Rumah Tangga, Cetakan Pertama, UII Press Yogyakarta, Juni 2016, hlm. 7

(20)

MODUL SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 14

karena satu relasional dan yang lain tidak, tetapi karena, pada umumnya, para pendukung keadilan restoratif percaya bahwa pendekatan keadilan restoratif tidak ada hubungannya dengan penjatuhan pidana dan penghukuman, dan bahwa peradilan pidana tidak memiliki unsur restoratif)

namun perkembangan sistem peradilan pidana dalam masyarakat dunia yang beradab termasuk dalam praktek peradilan Indonesia mulai mengakui pendekatan keadilan baru selain yang ada selama ini. Perkembangan itu menjadi wujud nyata setelah deklarasi kongres PBB tentang Prevention of Crime and the Treatment of

Offenders dan laporan kongres PBB mengakui kemungkinan penyelesaian peradilan

pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif termasuk memasukkan program dimana pencegahan kejahatan dan perlakuan terhadap pelaku kejahatan dilaksanakan dengan sedapat mungkin memperhatikan kondisi sosial, budaya, politik dan ekonomi masing-masing negara.

Pendekatan keadilan baru itu juga tampak pada pemeriksaan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di pengadilan, dimana tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga berkiblat pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Pemeriksaan yang dilakukan Hakim dalam perkara kekerasan dalam rumah tangga sering memasukkan mediasi penal yang sebenarnya tidak dikenal dalam hukum acara pidana kita. Hal itu karena para Hakim merasa memiliki amanat untuk memperhatikan tujuan undang-undang PKDRT yang bisa dipandang bertolak belakang, di satu sisi melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga namun di sisi lain, juga punya tujuan untuk memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera15. Mahkamah Agung melalui putusan nomor 1644/Pid/1988 juga mengakui penyelesaian pelanggaran pidana yang telah diputuskan melalui musyawarah adat, tidak dibenarkan menjatuhkan pidana untuk yang kedua kali. Penyelesaian ini berimplikasi tidak ada lagi dobel pemidanaan dari sistem peradilan pidana yang formal, sebagaimana pertimbangan hakim, terhadap terdakwa yang telah dijatuhi sanksi adat (reaksi adat) oleh kepala

(21)

MODUL SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 15

adat, maka ia tidak dapat diajukan lagi (untuk kedua kalinya) kepada badan peradilan negara (pengadilan negeri) dengan dakwaan yang sama melanggar hukum adat dan dijatuhi pidana penjara menurut ketentuan hukum pidana.16

Pendekatan keadilan restoratif yang sebenarnya telah lama menjadi jiwa bangsa Indonesia dalam menyelesaikan konflik di masyarakat, rupanya sejalan dengan perkembangan pemikiran dunia atas penanggulangan pelaku kejahatan. Sebagaimana dikatakan oleh Oliver Wendell Holmes17, asisten hakim Mahkamah Agung Amerika Serikat (1841-1935), “history must be a part of the study, because without it we cannot know the precise scope of rules. It is a part of the rational study, because is the first step toward an enlightened scepticism, that is, toward a deliberate reconsideration of the worth of those

rules” Hal ini juga sejalan dengan pernyataan John Braitwhite18 yang

mengatakan bahwa pembangunan hukum pidana nasional saat ini kembali dibangun berdasarkan kekayaan kearifan lokal sebagai kultur asli sebuah masyarakat. Artinya, sebagai bagian dari studi rasional, pendekatan keadilan restoratif perlu membuka mata para incumbent sistem peradilan pidana untuk tidak telalu skeptis atas pendekatan keadilan baru yang tidak hanya dianggap sebagai sepotong pemahaman bahwa keadilan restoratif justru menghambat penegakan hukum karena menghindarkan orang yang bersalah untuk dihukum atau dalam sistem peradilan pidana anak hanya dimaknai menjauhkan anak dari penjara, namun pendekatan keadilan restorative justru memiliki makna mengembalikan keseimbangan yang hilang (rebalancing system) dari sistem peradilan pidana konvensional.

16 Mahkamah Agung R.I., Himpunan Yurisprudensi, Jakarta, 2004, hlm 56, dikutip dari Sudira, Ketut, Mediasi Penal

Perkara Penelantaran Rumah Tangga, Cetakan pertama, UII Press Yogyakarta, Yogyakarta, 2016, hlm. 10.

17 Oliver Wendell Holmes, The Path of The Law (applewood Books, Bedford Massachusetts, 1897), 20. Dikutip dari

Romli Atmasasmita, Rekonstruksi Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, geen Straf Zonder Schuld, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, cetakan kedua, September 2018, hlm. 4.

(22)

MODUL SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 16

BAB III

PROSES RESTORATIF SEBAGAI FILOSOFI

PENGGUNAAN DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

A. Pendekatan Keadilan Restoratif sebagai Sarana Penyelesaian Tindak Pidana Pencarian model keadilan baru dimulai dari rasa frustasi banyak negara di dunia dalam menanggulangi kejahatan di masing-masing negaranya, hingga kemudian mereka merasa bahwa sistem peradilan pidana yang ada tidak dapat lagi memuaskan keadilan bagi semua pihak dan tidak juga mengurangi kejahatan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri pada kongres 5 (lima) tahunannya, selalu membicarakan tentang perkembangan dan penanggulangan kejahatan. PBB memberi kesempatan bagi setiap negara untuk berbagai pengalaman dalam menanggulangi kejaharan. Kemudian pada kongres tahun 1990 dan 1995, negara-negara di dunia disponsori oleh suatu lembaga swadaya masyarakat pada akhirnya membahas suatu pendekatan keadilan yang paling baru yaitu keadilan restoratif. Pada tahun 1995 di Kairo, dibicarakan hal-hal teknis terkait dengan penggunaan pendekatan restorative justice dalam penanganan perkara pidana, yang menjadi cikal bakal lahirnya United Nation, Basic Principles on The Use of Restoratif Justice Programmes In

Criminal Matters pada kongres selanjutnya pada tahun 2000. United Nation,

Basic Principles on The Use of Restoratif Justice Programmes In Criminal

Matters berisi prinsip-prinsip mendasar dari penggunaan pendekatan

keadilan restoratif yang berisi beberapa ketentuan19:

1. Proses restoratif berarti setiap proses di mana korban, pelaku atau anggota masyarakat yang terkena dampak kejahatan secara aktif berpartisipasi bersama dalam penyelesaian masalah yang timbul dari kejahatan, dengan bantuan pihak ketiga yang adil dan tidak memihak (fasilitator).

2. Proses restoratif hanya boleh digunakan dengan persetujuan bebas dan sukarela dari para pihak;

19 United Nation, Basic Principles on The Use of Restoratif Justice Programmes In Criminal Matters terdapat dalam

(23)

MODUL SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 17

3. Sebelum setuju untuk berpartisipasi dalam proses restoratif, para pihak harus sepenuhnya diberitahu tentang hak-hak mereka, sifat proses dan kemungkinan konsekuensi dari keputusan mereka;

4. Para pihak harus dapat menarik persetujuan tersebut kapan saja selama proses tersebut;

5. Kesepakatan diversi harus dibuat secara sukarela oleh para pihak dan hanya mengandung kewajiban yang wajar dan proporsional (bukan bersifat pemerasan atau keterpaksaan akibat keadaan para pihak yang timpang);

6. Semua pihak biasanya harus mengakui fakta-fakta dasar dari suatu kasus sebagai dasar untuk berpartisipasi dalam proses pemulihan; 7. Perbedaan nyata sehubungan dengan faktor-faktor seperti

ketidakseimbangan kekuasaan dan usia pihak, kematangan atau kapasitas intelektual harus dipertimbangkan dalam merujuk kasus ke dan dalam melakukan proses restoratif. Demikian pula, ancaman terhadap salah satu pihak dan keamanan juga harus dipertimbangkan dalam merujuk kasus apa pun ke dan dalam melakukan proses restoratif.

Kesadaran atas pendekatan keadilan baru dalam keadilan restoratif membawa arah pemikiran yang cukup baru tentang keadilan dan penanggulangan kejahatan. Paradigma yang paling penting adalah ketika negara tidak diletakkan sebagai penjamin tegaknya hukum dan keadilan secara aktif dengan menjatuhkan hukuman bagi siapa saja yang bersalah. Keadilan restoratif secara filosofis menempatkan keadilan harus dicapai secara bersama-sama oleh pembuat kejahatan bersama dengan korban, bahkan masyarakat. Ukuran keadilan itu tidak lagi diletakkan oleh negara, namun oleh masyarakat. Nilai yang hendak dicapai oleh keadilan restoratif adalah ketika pelaku kejahatan secara aktif mau mengakui kesalahannya dan mengambil tanggung jawab untuk memperbaiki kesalahannya. Keadaan yang hampir tidak mungkin diterima dalam sistem peradilan konvesional yang memiliki kebiasaan di penghujung proses menghukum siapapun yang bersalah. Berdasarkan pengakuan si pelaku kejahatan yang menunjukkan penyesalannya,

(24)

MODUL SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 18

sesungguhnya forum konsultatif dan perundingan damai baru dapat dimulai, bahkan kemudian juga muncul hak korban untuk memutuskan untuk memberi maaf atau tidak. Artinya, ketika pembuat kejahatan tidak mau mengaku bersalah, maka Ia harus menghadapi pembuktian oleh negara di persidangan. Berpijak dari filosofi itu keadilan restoratif memiliki titik kunci (key point) tersendiri untuk membuka perundingan yang sejalan dengan petunjuk penggunaan keadilan restoratif dalam masalah pidana, baik korban maupun pelaku tidak boleh diinduksi oleh cara yang tidak adil untuk berpartisipasi dalam proses atau hasil restoratif . Proses restoratif harus digunakan hanya dengan persetujuan bebas dan sukarela dari para pihak. Para pihak juga harus dapat menarik persetujuan tersebut setiap saat selama proses berlangsung. Kesepakatan harus dilakukan secara sukarela oleh para pihak dan hanya berisi kewajiban yang masuk akal dan proporsional.

Titik kunci ini juga membangun kesadaran bahwa proses yang restoratif itu tidak bisa dipaksakan, apabila pelaku tidak mengaku atau bertanggung jawab. Hal yang sama terjadi ketika korban juga tidak memberi maaf. Pada saat kunci perundingan tidak terbuka, Negara baru masuk mengambil alih melalui pendekatan keadilan peradilan konvensional dengan membuktikan apakah terdakwa bersalah atau tidak. Hal yang sama disampaikan dalam petunjuk penggunaan keadilan restoratif dalam masalah pidana, jika proses dan / atau hasil restoratif tidak memungkinkan, pejabat peradilan pidana harus melakukan semua yang mereka bisa untuk mendorong pelaku mengambil tanggung jawab terhadap korban dan masyarakat yang terkena dampak, dan reintegrasi korban dan / atau pelaku ke masyarakat20.

Proses filter ini sebenarnya mengatasi beban penumpukan antrian perkara yang masuk ke pengadilan, penghematan anggaran bahkan menanggulangi penumpukan narapidana di penjara (overcrowding). Sesaknya antrian perkara di peradilan dengan sumber daya aparat yang terbatas juga menyebabkan peradilan dipaksakan berjalan memenuhi tenggat waktu sehingga

(25)

MODUL SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 19

banyak tahapan hukum acara justru tidak dapat ditegakkan sebanr-benarnya, yang berimplikasi pada terpangkasnya hak-hak terdakwa apalagi hak korban sehingga peradilan yang adil dan tidak memihak (fair and impartial

justice) jauh dari harapan.

B. Penggunaan Diversi Sebagai Upaya Penyelesaian Konflik Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

a. Dasar Hukum

i. Pasal 7 s/d pasal 15 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

ii. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun

iii. Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER- 006/A/J.A/04/2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Pada Tingkat Penuntutan

b. Sejarah Diversi

Konsep Diversi pertama kali dikemukakan sebagai kosa kata pada laporan peradilan anak yang disampakan Presiden Komisi Pidana

(president’s crime commissionis) Australia di Amerika Serikat pada tahun

1960. Awalnya konsep diversi telah ada sebelum tahun 1960 ditandai berdirinya peradilan anak (children’s court) sebelum abad ke-19 yaitu diversi dari sistem peradilan pidana formal dan formalisasi polisi untuk melakukan peringatan (police cautioning). Prakteknya telah berjalan di negara bagian Victoria Australia pada tahun 1959 diikuti oleh negara bagian Queensland pada tahun 1963. Secara gramatikal pengertian diversi adalah pengalihan. Dimana pelaksanaan diversi dilatar belakangi keinginan menghindari efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana. Lebih lanjut menurut Chris

(26)

MODUL SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 20

Graveson Diversi adalah proses yang telah diakui secara internasional

sebagai cara terbaik dan paling baik dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum. Intervensi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum sangat luas dan beragam, tetapi lebih banyak menekankan pada penahan dan penghukuman, tanpa peduli betapa ringannya pelanggaran tersebut atau betapa mudanya usia anak tersebut

Hal serupa yang dikatakan oleh Loraine Gethorpe “bahwa diskresi adalah wewenang dari aparat penegak hukum yang menangani kasus tindak pidana untuk mengambil tindakan meneruskan perkara atau menghentikan perkara, mengambil tindakan tertentu sesuai dengan kebijakan yang dimilikinya. Kebijakan yang diambil oleh aparat penegak hukum dalam melaksanakan diskresi menimbulkan kontroversial karena pengambilan kebijakan penghukuman mengikuti sifat kebijakan pribadi seseorang. Diskresi mengizinkan suatu pembedaan tindakan terhadap kasus pidana oleh pelakunya, sehinga hal ini dapat menimbulkan permasalahan dalam hal keadilan terhadap masyarakat. Apabila kita melihat tujuan dari diversi tidaklah jauh berbeda dari diskresi yaitu menangani pelangaran hukum diluar pengadilan atau sistem peradilan yang formal, Diversi dan diskresi memiliki makna yang hampir sama karena keduanya dapat digunakan untuk menjauhkan anak dari sistem peradilan pidana anak21.

c. Pengertian Diversi

Sistem peradilan pidana yang di dalamnya terdiri atas proses penyidikan, proses penuntutan, proses pengadilan, dan proses pemasyarakatan merupakan bentuk formal dalam penyelesaian terhadap tindak pidana. Namun demikian tidaklah seluruh tindak pidana tersebut harus diselesaikan melalui bentuk formal. Dalam hal tertentu, suatu tindak pidana sangat memungkinkan untuk diselesaikan melalui alternatif lain. Lahirnya UU SPPA, telah menentukan dan mengatur alternatif penyelesaian perkara Anak berupa penyelesaian perkara di luar proses peradilan. Hal

(27)

MODUL SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 21

tersebut dikenal dengan sebutan diversi. Dalam pasal 1 angka 7 UU SPPA menyatakan bahwa Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

d. Tujuan Diversi

Diversi sebagaimana diatur di dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan alternatif penyelesaian perkara Anak. Anak secara psikologis dan sosiologis dipandang perlu mendapatkan perlakuan khusus dalam mempertanggungjawabkan atas pelanggaran hukum yang dilakukannya. Alternatif penyelesaian perkara Anak perlu dilakukan dengan tujuan demi kepentingan yang terbaik bagi Anak. Dengan demikian diversi sebagai alternatif penyelesaian perkara Anak memiliki beberapa tujuan. Berdasarkan pasal 6 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, tujuan diversi adalah: 1. Mencapai perdamaian antara korban dan Anak

2. Keputusan yang diambil dalam diversi merupakan keputusan bersama berbagai pihak, khususnya Anak dan korban. Keputusan bersama ini cenderung lebih bisa memuaskan dan memenuhi rasa keadilan semua pihak. Oleh karena itu perdamaian antara Anak dan korban dapat diwujudkan. 3. Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;

4. Sesuai dengan definisinya, pelaksanan diversi dalam menyelesaikan perkara Anak akan mengesampingkan proses peradilan.

5. Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;

6. Penyelesaian perkara Anak di luar proses peradilan menutup peluang terjadinya penahanan maupun pemenjaraan terhadap Anak. Berdasarkan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ditegaskan bahwa kesepakatan dalam diversi tidak menyebutkan adanya hal yang bersifat perampasan kemerdekaan.

7. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi

8. Masyarakat merupakan salah satu pihak yang harus dilibatkan dalam proses diversi. Sekalipun kesepakatan diversi tersebut merupakan hasil

(28)

MODUL SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 22

kesepakatan bersama antara Anak dan korban, namun pada dasarnya kesepakatan tersebut diambil setelah mendapatkan saran ataupun pendapat masyarakat.

9. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.

10. Diversi tidaklah berarti Anak dibebaskan dari tanggung jawab atas perbuatannya. Oleh karena itu, dengan adanya diversi ini setiap perkara Anak tidak begitu saja dialihkan keluar proses peradilan. Melalui diversi ini, Anak tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bentuk peratnggungjawaban tersebut adalah berupa pengakuan atas perbuatannya, kesediaam mengganti kerugian, maupun hal-hal lain yang disepakati.

e. Syarat Diversi

Demi kepentingan terbaik bagi Anak merupakan semangat yang terkandung di dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Legalitas diversi di dalam undang undang tersebut adalah wujud nyata dari semangat demi kepentingan yang terbaik bagi Anak. Namun demikian Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur batasan-batasan perkara Anak yang dapat diselesaikan melalui diversi. Hal tersebut berarti tidak semua perkara Anak dapat diselesaikan melalui diversi. UU SPPA dalam pasal 7 ayat 2 (dua) menyebutkan bahwa syarat perkara anak yang wajib dilakukan upaya diversi adalah:

1. Diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan 2. Bukan merupakan pengulangan pidana

Terkait dengan dua persyaratan tersebut, pemahamannya yaitu setiap perkara Anak yang tidak memenuhi kedua syarat atau salah satu syarat tersebut di atas, maka terhadap perkara tersebut tidak dilakukan upaya diversi dan perkaranya diselesaikan melalui proses peradilan.

(29)

MODUL SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 23

f. Indikator Diversi

Indikator sistem peradilan pidana yang diatur dalam UU SPPA:

1. Semakin rendah ancaman pidana semakin tinggi prioritas diversi, anak tidak ditahan maupun anak tidak dijatuhi pidana

2. Semakin muda usia anak, semakin tinggi prioritas diversi, anak tidak ditahan maupun anak tidak dijatuhi pidana

Indikator ini sebenarnya memberikan batasan ruang kapan dan kepada siapa diversi dilaksanakan. Artinya semakin muda usia Anak, maka semakin tinggi kecenderungan penggunaan diversi untuk menyelesaikan tindak pidana yang dilakukan Anak, dan semakin rendah ancaman pidana, juga semakin tinggi kemungkinan tindak pidana diselesaikan dengan cara diversi. Batasan ini juga secara a contrario menegaskan ketentuan bahwa:

1. Diversi dapat tidak terlalu dipertimbangkan pemakaiannya terhadap Anak yang tidak lagi terlalu muda usianya, dimana kesadaran Anak untuk menginsyafi perbuatan yang dilakukannya sudah semakin tinggi dan efek penjeraan untuk dapat melakukan pedagogi terhadap Anak, mungkin saja diperlukan dalam upaya perbaikan tingkah laku si Anak; dan/atau

2. Diversi tidak dilaksanakan dalam hal ancaman pidana atas tindak pidana yang dilakukan Anak terlalu tinggi karena tindak pidana yang dilakukan bersifat kekerasan atau membahayakan masyarakat

Selain memberi batasan ruang dimana diversi dilakukan, indikator ini juga menjadi sarana untuk menjaga perasaan keadilan korban dan/atau masyarakat.

g. Pelaksaanaan Diversi Pada Tahap Penuntutan i. Upaya Diversi

Penawaran merupakan proses penting dalam memaknai diversi dengan pendekatan keadilan restoratif, oleh karena proses restoratif harus dibangun dari penghormatan terhadap para pihak, selain karena para pihak (pelaku dan korban) yang akan menyelesaikan konflik yang timbul atas tindak pidana. Dengan mengambil filosofi dalam “ Basic Principles On The Use Of Restorative Justice In

(30)

MODUL SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 24

Criminal Matters” maka sebelum setuju untuk berpartisipasi dalam

proses restoratif, para pihak harus sepenuhnya diberitahu tentang

hak-hak mereka, sifat proses dan kemungkinan konsekuensi dari

keputusan mereka dan para pihak harus dapat menarik persetujuan

tersebut kapan saja selama proses tersebut. Upaya penawaran ini penting oleh sebagai “pintu masuk” untuk memasuki proses restoratif dan sekali lagi “basic principles on the use of

restorative justice in criminal matters” memberikan aturan

batasan bahwa baik korban maupun pelaku tidak boleh diinduksi oleh cara yang tidak adil untuk berpartisipasi dalam proses atau

hasil restoratif. Begitu pentingnya “open gate” dari proses

restoratif sebagai upaya membangun rekonsiliasi sehingga UU SPPA memberikan ancaman pidana bagi aparat penegak hukum yang tidak melaksanakan kewajiban upaya penawaran diversi ini22 Upaya penawaran dilakukan sebagai berikut:

1. Dalam jangka waktu 7 x 24 (tujuh kali dua puluh empat) jam terhitung sejak tanggal penerimaan tanggung jawab atas Anak dan barang bukti, Penuntut Umum wajib melakukan upaya Diversi dengan memanggil dan/atau menawarkan penyelesaian perkara melalui Diversi kepada Anak dan/atau orang tua/wali serta korban atau Anak Korban dan/atau orang tua/wali. g. Dalam hal Anak dan/atau orang tua/wali serta korban atau Anak Korban dan/atau orang tua/wali setuju untuk melakukan Diversi, Penuntut Umum menentukan tanggal dimulainya musyawarah Diversi dan mencatatnya dalam Berita Acara Upaya Diversi (Model A).

2. Dalam hal Anak dan/atau orang tua/wali serta korban atau Anak korban dan/atau orang tua/wali menolak untuk melakukan Diversi, Penuntut Umum mencatatnya dalam Berita Acara Upaya

22 sebelum ketentuan pasal dimaksud dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dalam putusan Mahkamah

(31)

MODUL SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 25

Diversi (Model B) dengan memuat alasan penolakan terhadap upaya Diversi, kemudian Penuntut Umum melimpahkan perkara ke pengadilan dengan pelimpahan perkara acara pemeriksaan biasa atau pelimpahan perkara acara pemeriksaan singkat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dengan melampirkan Berita Acara Upaya Diversi serta Laporan Hasil Penelitian Kemasyarakatan.

ii. Musyawarah Diversi

Perlu diingat, musyawarah diversi adalah forum konsultatif dimana:  Korban Akan Berbagi Perasaan Dan Pengalaman Secara Terbuka Apa

Yang Mereka Rasakan setelah tindak pidana terjadi, contoh: betapa susahnya korban untuk pergi bekerja atau mengantar anak ke sekolah ketika sepeda motornya dicuri Pelaku (Anak), maka Anak harus dapat mengerti perasaan korban ini. Bahkan korban dapat secara terbuka mengemukakan perasaannya untuk mengatasi kerugian/nestapa ditimbulkan Akibat Tindak Pidana;

 Masyarakat sendiri dapat memahami penyebab kejahatan dan berpartisipasi untuk mencegah kejahatan

 Anak juga mendapatkan wawasan atas dampak perilaku mereka serta mengambil tanggung jawab dengan cara yang berarti untuk memulihkan apa yang sudah mereka rusak/konflik yang terjadi akibat tindakannya.

Tata Cara Musyawarah Diversi:

1. Diversi dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal dimulainya Diversi yaitu tanggal yang telah ditentukan Penuntut Umum untuk melakukan Musyawarah Diversi dengan ketentuan sebagai berikut : 1) Penuntut Umum mengirimkan surat panggilan kepada para pihak, yang harus sudah diterima selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum waktu pelaksanaan Musyawarah Diversi, dengan membuat tanda terima sebagai bukti panggilan yang sah.

(32)

MODUL SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 26

2. Para pihak sebagaimana dimaksud pada angka 1 yaitu : a) Anak dan/atau orang tua/wali; b)Korban atau Anak Korban dan/atau orang tua/wali; c) Pembimbing Kemasyarakatan; dan d) Pekerja Sosial Profesional.

3. Dalam hal dikehendaki oleh Anak dan/atau orang tua/wali, pelaksanaan musyawarah Diversi dapat melibatkan masyarakat yang terdiri atas : a) Tokoh Agama; b) Guru; c) Tokoh Masyarakat; d) Pendamping; dan/atau e) Advokat atau Pemberi Bantuan Hukum. 4. Surat panggilan/undangan para pihak mencantumkan hari, tanggal

serta tempat dilaksanakannya Musyawarah Diversi.

5. Musyawarah Diversi dilaksanakan di RKA yang terdapat pada setiap satuan kerja di lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia atau dalam keadaan tertentu dapat dilakukan ditempat lain yang disepakati oleh para pihak dengan persetujuan Kepala Kejaksaan Negeri/Kepala Cabang Kejaksaan Negeri.

6. Dalam hal orang tua/wali Anak tidak diketahui keberadaannya atau berhalangan hadir, Musyawarah Diversi tetap dilanjutkan dengan dihadiri oleh Pembimbing Kemasyarakatan sebagai pengganti dari orang tua/wali.

7. Dalam hal orang tua/wali Anak Korban tidak diketahui keberadaannya atau berhalangan hadir, Musyawarah Diversi tetap dilanjutkan dengan dihadiri oleh Pekerja Sosial Profesional sebagai pengganti dari orang tua/wali.

8. Dalam hal tidak terdapat Pekerja Sosial Profesional dalam pelaksanaan musyawarah, keterwakilan Pekerja Sosial Profesional dapat digantikan oleh Tenaga Kesejahteraan Sosial.

9. Musyawarah Diversi sebagaimana dimaksud pada huruf b dibuka dan dipimpin oleh Penuntut Umum sebagai fasilitator yang diawali dengan perkenalan para pihak.

10. Fasilitator menyampaikan maksud dan tujuan dilaksanakannya Musyawarah Diversi, peran dari fasilitator, tata-tertib

(33)

MODUL SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 27

musyawarah untuk disepakati oleh para pihak dan penjelasan tentang waktu dan tempat serta ringkasan dugaan tindak pidana yang didakwakan terhadap Anak.

11. Pembimbing Kemasyarakatan menjelaskan ringkasan hasil penelitian kemasyarakatan yang dilakukan terhadap Anak. i. Pekerja Sosial Profesional menjelaskan ringkasan laporan sosial terhadap Anak Korban dan/atau Anak Saksi.

12. Dalam hal dipandang perlu, fasilitator dapat melakukan pertemuan terpisah (kaukus) dengan para pihak.

13. Dalam hal Kesepakatan Diversi tanpa memerlukan persetujuan korban atau Anak Korban dan/atau orang tua/wali, proses Diversi dilaksanakan melalui musyawarah yang dipimpin oleh Penuntut Umum sebagai fasilitator dan dihadiri oleh Pembimbing Kemasyarakatan, Anak dan orang tua/walinya serta dapat melibatkan masyarakat.

14. Fasilitator wajib memberikan kesempatan kepada para pihak untuk memberikan pendapat, saran, dan/atau tanggapan terhadap : 1) tindak pidana yang dipersangkakan kepada Anak; 2) hasil penelitian laporan kemasyarakatan; 3) hasil laporan sosial; dan/atau 4) bentuk dan cara penyelesaian perkara.

15. Musyawarah Diversi dicatat dalam Berita Acara Diversi, ditandatangani oleh fasilitator serta para pihak yang hadir dalam Musyawarah Diversi dan dilaporkan kepada Kepala Kejaksaan Negeri/Kepala Cabang Kejaksaan Negeri.

16. Dalam hal Musyawarah Diversi sebagaimana dimaksud pada angka 15 tidak berhasil mencapai kesepakatan, Penuntut Umum melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri dengan pelimpahan perkara acara pemeriksaan biasa atau pelimpahan perkara acara pemeriksaan singkat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

(34)

MODUL SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 28

17. Pelimpahan perkara sebagaimana dimaksud pada huruf n dengan melampirkan Berita Acara Diversi (Model B) dan Hasil Penelitian Kemasyarakatan.

18. Selama proses Diversi dan proses pemeriksaan Perkara Anak yang memenuhi kriteria wajib Diversi, tidak dapat dilakukan penahanan terhadap Anak.

iii. Kesepakatan Diversi

1. Dalam hal Musyawarah Diversi berhasil mencapai kesepakatan, fasilitator menyusun dan merumuskannya dalam Kesepakatan Diversi. 2. Kesepakatan Diversi harus mendapatkan persetujuan korban, Anak

Korban dan/atau orang tua/wali kecuali untuk : 1) tindak pidana yang berupa pelanggaran; 2) tindak pidana ringan; 3) tindak pidana tanpa korban; atau 4) nilai kerugian korban atau Anak Korban tidak lebih dari upah minimum provinsi setempat.

3. Dalam penyusunan dan perumusan Kesepakatan Diversi, fasilitator memperhatikan dan mengarahkan agar Kesepakatan Diversi tidak memuat hal yang bertentangan dengan hukum, kepatutan masyarakat setempat, kesusilaan, ketertiban umum dan hal-hal yang tidak dapat dilaksanakan atau itikad tidak baik.

4. Dalam hal terdapat barang bukti dalam perkara Anak, selain memuat kesepakatan mengenai bentuk dan cara penyelesaian perkara serta jangka waktu pelaksanaan kesepakatan,

5. Kesepakatan Diversi juga harus memuat klausula mengenai status barang bukti.

6. Kesepakatan Diversi ditandatangani oleh para pihak dengan diketahui oleh fasilitator, selanjutnya fasilitator menyampaikan Kesepakatan Diversi kepada Kepala Kejaksaan Negeri/Kepala Cabang Kejaksaan Negeri.

7. Kepala Kejaksaan Negeri/Kepala Cabang Kejaksaan Negeri menyampaikan Kesepakatan Diversi serta Berita Acara Diversi kepada Ketua Pengadilan Negeri di wilayah tempat terjadinya

(35)

MODUL SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 29

tindak pidana, dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak tercapainya Kesepakatan Diversi untuk dimintakan Penetapan. 8. Penetapan Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada huruf

f diterima oleh Kepala Kejaksaan Negeri paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal ditetapkan.

iv. Pelaksanaan Kesepakatan Diversi

1. Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari setelah menerima penetapan sebagaimana dimaksud dalam angka 5 huruf g, Penuntut Umum memanggil dan meminta para pihak untuk melaksanakan Kesepakatan Diversi.

2. Pelaksanaan Kesepakatan Diversi dilaksanakan dalam jangka waktu yang telah disepakati dalam Kesepakatan Diversi namun tidak boleh melebihi ketentuan sebagai berikut :

a. Dalam hal Kesepakatan Diversi mensyaratkan pembayaran ganti kerugian atau pengembalian pada keadaan semula, Kesepakatan Diversi dilaksanakan dalam jangka waktu yang telah disepakati dalam Musyawarah Diversi, namun tidak boleh melebihi 3 (tiga) bulan.

b. Dalam hal Kesepakatan Diversi mewajibkan dilaksanakannya kewajiban selain bentuk sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, Kesepakatan Diversi dilaksanakan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali paling lama 3 (tiga) bulan.

c. Dalam hal Anak tidak melaksanakan atau melaksanakan tidak sepenuhnya hasil Kesepakatan Diversi maka Penuntut Umum melimpahkan Perkara Anak ke pengadilan.

d. Dalam hal Korban/Anak Korban tidak melaksanakan hasil kesepakatan, tidak membatalkan Kesepakatan Diversi. e. Pelimpahan Perkara Anak sebagaimana dimaksud pada huruf c dapat dilakukan dengan pelimpahan perkara acara pemeriksaan biasa atau

(36)

MODUL SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 30

pelimpahan perkara acara pemeriksaan singkat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

e. Fasilitator tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana maupun perdata atas isi Kesepakatan Diversi.

v. Pengawasan dan Pelaporan Kesepakatan Diversi

1. Dalam hal Kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan/dilaksanakan tidak sepenuhnya dalam waktu yang telah ditentukan, dan Pembimbing Kemasyarakatan melaporkan kepada Kepala Kejaksaan Negeri/Kepala Cabang Kejaksaan Negeri untuk ditindaklanjuti dalam proses peradilan pidana dengan tembusan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat. 2. Kepala Kejaksaan Negeri/Kepala Cabang Kejaksaan Negeri memerintahkan

Penuntut Umum untuk menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal laporan diterima.

vi. Penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan

1. Kepala Kejaksaan Negeri menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan:

a. Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal diterimanya surat penetapan pengadilan, jika Kesepakatan Diversi berbentuk perdamaian tanpa ganti kerugian atau penyerahan kembali Anak kepada orang tua/Wali;

b. Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari terhitung sejak tanggal Kesepakatan Diversi selesai dilaksanakan, jika Kesepakatan Diversi berupa pembayaran ganti kerugian, pengembalian pada keadaan semula, atau pelayanan masyarakat; c. Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari terhitung sejak

tanggal Kesepakatan Diversi selesai dilaksanakan, jika kesepakatan diversi berupa keikutsertaan Anak dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS; atau

d. Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari terhitung sejak tanggal seluruh Kesepakatan Diversi selesai dilaksanakan.

(37)

MODUL SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 31

2. Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan sebagaimana dimaksud pada angka 1 sekaligus memuat penetapan status barang bukti sesuai dengan penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat.

3. Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dikirimkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat beserta laporan proses Diversi dan Berita Acara Pemeriksaan dengan tembusan kepada Anak dan orang tua/Wali, korban, Anak Korban dan/atau orang tua/Wali, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional.

h. Menutup Perkara Anak Yang Diselesaikan Dengan Diversi Secara Administratif

Proses Diversi tidak hanya dilaksanakan prosesnya namun juga harus “ditutup” kasusnya, bila terlah berhasil. Sesuai pedoman penggunaan pendekatan keadilan restoratif, maka pembebasan yudisial berdasarkan kesepakatan yang timbul dari program keadilan restoratif harus memiliki STATUS YANG SAMA dengan putusan pengadilan dan HARUS MENGHALANGI PENUNTUTAN SEHUBUNGAN DENGAN FAKTA YANG SAMA (ne bis in idem). Oleh karenanya kesepakatan diversi yang berhasil dilaksanakan harus memiliki status yang sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sayangnya, sekian banyak proses diversi yang berhasil atau menjadi “KASUS YANG SELESAI”, selama ini ternyata TIDAK PERNAH DITUTUP secara administratif.

Penutupan perkara secara administratif perlu dilakukan pada: 1. Apabila proses diversi berhasil di tingkat penyidikan, Penuntut Umum

meminta kepada Penyidik agar SURAT PENGHENTIAN PENYIDIKAN (SP-3) dikirim kepada Kejaksaan, sehingga Kejaksaan dapat mencoret perkara dan mencatat nomor dan tanggal SP-3 pada kolom keterangan REGISTER PRAPENUNTUTAN di Kejaksaan (RPA-1);

2. Apabila proses diversi berhasil di tingkat penuntutan, maka Penuntut Umum menerbitkan SURAT KETETAPAN PENGHENTIAN PENUNTUTAN (SKP-2) kemudian mencatatnya dalam REGITER DIVERSI (RPA-4) serta MENCORET

(38)

MODUL SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 32

REGISTER TAHAP PENUNTUTAN (RPA-2) dengan mencatatkan nomor dan tanggal SKP-2 pada kolom keterangan;

3. Apabila proses diversi berhasil di tingkat pengadilan, Hakim menerbitkan PENETAPAN PENGHENTIAN PEMERIKSAAN PERKARA, serta mengirimkannya kepada Kejaksaan beserta lampiran BA Diversi, Surat Kesepakatan Diversi dan Penetapan Diversi, kemudian Penuntut Umum menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP-2), mencoret perkaranya pada REGISTER PENUNTUTAN (RPA-2) dan mencatatkan nomor dan tanggal penetapan penghentian pemeriksaan perkara dan SKP-2 pada kolom keterangan

D. INSTRUKSIONAL

1. Widyaiswara maupun Peserta memahami pendekatan keadilan restoratif sebagai bagian dari pendekatan keadilan baru yang perlu diinkorporasikan ke dalam penuntutan perkara anak.

2. Widyaiswara maupun Peserta menjelaskan pokok dan sub pokok bahasan serta memotivasi peserta mencapai indikator keberhasilan dalam penuntutan perkara anak dengan pendekatan keadilan restoratif.

E. LATIHAN

1) Jelaskan tahapan diversi?

2) Jelaskan apa yang disebut sebagai pendekatan keadilan restoratif?

3) Bagaimana cara menutup perkara Anak yang diselesaikan dengan diversi secara yuridis dan secara adminsitratif?

BAB IV

PENUNTUTAN PERKARA ANAK DENGAN PENDEKATAN KEADILAN RESTORATIF Indikator Keberhasilan :

Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta diharapkan mampu : 1.Memahami teori dan teknik penyusunan surat dakwaan

2.Memahami dasar hukum, pengertian dan fungsi surat dakwaan 3.Memahami bentuk surat dakwaan

4.Memahamisyarat-syarat surat dakwaan 5.Memahahi perubahansurat dakwaan

(39)

MODUL SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 33

Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) sudah sejalan dengan perkembangan tujuan hukum pidana saat ini, mendukung grand design pembaharuan hukum pidana nasional yang tidak lagi terlalu antusias menghukum orang yang bersalah.

Perkembangan itu juga merupakan salah satu perubahan dalam bentuk dan dimensi kejahatan yang dibahas sejak kongres PBB ke-5 tentang pencegahan kejahatan dan pembinaan pelanggar hukum pada tahun 1975 dimana sejak itu tujuan pemidanaan terus dilakukan re-orientasi. Pemidanaan bukan sekedar membalas pelaku kejahatan sebagai tuntutan keadilan, namun kemudian berkembang ke arah pencegahan dan rehabilitasi yang menekankan pada reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari.

Dalam perkembangannya baik undang-undang SPPA maupun rancangan KUHP mulai mempertimbangkan pendekatan keadilan restoratif, namun terbatas. Artinya, tidak menafikkan sama sekali “pemidanaan” seperti pandangan kaum abolisionis pada pendekatan keadilan restoratif, namun penghukuman menjadi sarana untuk melindungi masyarakat sekaligus pembinaan bagi pelaku kejahatan.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), mengatur pendekatan keadilan restoratif dalam pasal 5. Pada ayat (1) dan ayat (2) pendekatan keadilan restoratif itu dilaksanakan pada setiap tahap peradilan, penyidikan, penuntutan, persidangan bahkan pembinaan pada saat selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan. Pendekatan keadilan yang sama sekali baru kemudian harus diutamakan pada setiap tahap peradilan itu membuat pertanyaan di benak aparat penegak hukum, apalagi dengan menyadari adanya dikotomi antara pendekatan keadilan restoratif dengan sistem peradilan pidana konvensional yang dijalankan selama ini.

Undang-Undang SPPA mengatur kewajiban mengutamakan pendekatan keadilan restoratif pada setiap tahap peradilan tanpa menjelaskan bagaimana pendekatan keadilan itu dilakukan. Apabila mengambil rujukan United Nation, Basic Principles

on The Use of Restoratif Justice Programmes In Criminal Matters, maka proses

restoratif yang dimaksud adalah setiap proses di mana korban, pelaku dan / atau individu atau anggota masyarakat lainnya yang terkena dampak kejahatan

(40)

MODUL SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 34

berpartisipasi secara aktif dalam penyelesaian masalah yang timbul dari kejahatan tersebut, seringkali dengan bantuan pihak ketiga yang adil dan tidak memihak, dimana contoh proses restoratif meliputi mediasi, konferensi atau perundingan23.

Mencermati definisi tersebut, maka bentuk perundingan di dalam UU SPPA hanya ditemukan dalam proses penyelesaian anak di bawah usia 12 tahun, yang bahkan tidak masuk dalam sistem peradilan pidana, karena usia minimal pertanggungjawaban pidana adalah 12 (dua belas) tahun, serta proses diversi yang dilakukan di luar proses peradilan pidana dengan menerapkan syarat tertentu. Pertanyaan bagaimana pendekatan keadilan restoratif dilaksanakan pada tahap penyidikan penuntutan dan persidangan atau bahkan pelaksanaan putusan belum terjawab. Sistem peradilan pidana dalam tahap penyidikan, penuntutan dan persidangan tidak mengenal mediasi penal.

Menjembatani re-orientasi pembaruan hukum pidana yang sudah mulai mengedepankan keadilan dan kemanfaatan, dimana Hakim juga diberikan keleluasaan untuk menilai suatu perkara dengan mempertimbangkan keadaan-keadaan yang meringankan (extenuating circumstances), maka paling tidak meskipun belum benar-benar terbuka terhadap pendekatan keadilan restoratif, pembaruan pemikiran dunia tentang penanggulangan kejahatan tidak dapat ditolak. Para pelaksana sistem peradilan pidana memang mau tidak mau harus meresponnya. Paling tidak, perlu ada internalisasi paradigma atau pemikiran baru atas penanggulangan kejahatan dan pencapaian keadilan sesuai dengan filosofi pendekatan keadilan restoratif. Apabila keadilan restoratif ingin mencapai pemulihan sebagai tujuan akhir, sedangkan kritik terhadap sistem peradilan yang konvensional adalah tidak memulihkan pelaku maupun korban, maka sistem peradilan pidana yang konvensional itu perlu diperbaiki sehingga meskipun tidak dalam bentuk perundingan, capaian hasil akhirnya tetap memulihkan dan mengembalikan keseimbangan.

UU SPPA banyak memberi ruang untuk memulihkan. Hal ini tampak pada ketentuan yang dibangun dalam proses peradilan pada sistem peradilan pidana anak. Sistem peradilan pidana anak, merupakan sistem peradilan yang dibentuk tanpa mengikuti

23 Ibid, Definisi angka 3.

Referensi

Dokumen terkait

Jika zakat disatukan dengan pajak, maka syariat dari zakat akan hilang, dan men- jadi tidak penting lagi, zakat bukan lagi suatu kewajiban melainkan akan terkesan sebagai

Selan itu, dalam ayat (4) “Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen amdal” juga tidak diikuti penjelasan, sehingga dapat

Kemudian fasilitator diversi menerangkan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, bahwa diversi merupakan pengalihan perkara anak

pembalasan dengan cara main hakim sendiri. Memperhatikan hal-hal tersebut maka adanya persetujuan dari pihak korban dalam menyelesaikan tindak pidana yang dilakukan anak

Ubah data Data golongan yang akan dirubah di dalam database, klik simpan maka Data pada server Database akan berubah. Data golongan yang akan dirubah di dalam database,

Kameyama et al (1990) melakukan pe- nelitian dan menemukan bahwa vitamin C merupakan salah satu antioksidan yang dapat membantu mencerahkan warna kulit, sehingga vitamin C

Menurut (Hayati,2005), penelitian sebelumnya yang menyatakan berdasarkan uji organoleptik yang dilakukan pada percobaan pendahuluan, biskuit yang dibuat dengan

Data penelitian berupa penggalan kalimat dan dialog yang mengandung konsep bushido pada tokoh Momotaro, Kintaro, dan Urashimataro dalam cerita rakyat Jepang