• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. keseluruhan. Konsekuensi negatif dari perilaku kerja kontraproduktif dapat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. keseluruhan. Konsekuensi negatif dari perilaku kerja kontraproduktif dapat"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Budaya kerja kontraproduktif di berbagai instansi baik swasta dan pemerintah semakin lama semakin mengurangi produktivitas pegawai, sehingga akhirnya dapat mengurangi kinerja organisasi secara keseluruhan. Konsekuensi negatif dari perilaku kerja kontraproduktif dapat menimbulkan kerugian finansial yang besar serta dampak sosial maupun psikologis.

Pada penelitian terdahulu, beragam istilah telah digunakan oleh peneliti untuk menggambarkan perilaku kerja kontraproduktif, diantaranya adalah perilaku agresif (Fox dan Spector, 1999), perilaku kerja menyimpang (Robinson dan Bennet, 1995), perilaku anti sosial (Vardi dan Wiener, 1996), dan perilaku kerja kontraproduktif (Fox et al., 2001). Namun, secara garis besar istilah tersebut mengacu pada makna yang sama, yaitu merupakan perilaku kerja negatif karyawan yang dapat merugikan atau membahayakan organisasi maupun anggota organisasi lainnya. Pada penelitian ini peneliti menggunakan istilah perilaku kerja kontraproduktif. Hal ini dikarenakan dalam konteks pekerjaan pada organisasi, istilah tersebut lebih sering digunakan dan merupakan salah satu komponen penting dari penilaian kinerja pekerjaan karyawan (Rotundo dan Sacket, 2002).

(2)

2 Menurut Vardi dan Wiener (1996), perilaku kerja kontraproduktif dapat terjadi di seluruh sektor organisasi. Meskipun perilaku kerja kontraproduktif dapat terjadi di seluruh sektor organisasi, namun beberapa peneliti berpendapat bahwa perilaku kerja kontraproduktif lebih sering terjadi pada organisasi sektor publik dibandingkan dengan organisasi sektor swasta (Alias et al., 2012). Pendapat ini kemudian didukung oleh hasil penelitian Dick dan Rayner (2013), Knott dan Hayday (2010) menunjukkan bahwa adanya indikasi perilaku kerja kontraproduktif (misalnya, ketidakhadiran karyawan tanpa izin, intimidasi di tempat kerja, dan lain sebagainya) cenderung lebih tinggi terjadi pada karyawan yang bekerja di organisasi sektor publik dibandingkan dengan karyawan yang bekerja di organisasi sektor swasta. Tingginya tingkat perilaku kerja kontraproduktif pada organisasi sektor publik tersebut tidak hanya dikhawatirkan dapat merugikan organisasi maupun anggota organisasi lainnya, namun juga dikhawatirkan dapat memberikan kerugian yang besar bagi negara. Oleh sebab itu, Estes dan Wang (2008) mengemukakan bahwa setiap organisasi sektor publik perlu memberikan pemahaman dan pengkajian mengenai isu-isu yang terkait dengan penyimpangan perilaku kerja kepada setiap anggota organisasi untuk meningkatkan integritas dan praktek kerja yang etis, dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia yang produktif.

Secara umum perilaku kerja kontraproduktif yang terjadi pada organisasi sektor publik sering dilakukan dalam bentuk ketidakdisiplinan

(3)

3 karyawan dan beberapa bentuk penyimpangan perilaku kerja lainnya. Begitu juga halnya dengan organisasi sektor publik yang menganut sistem birokrasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, birokrasi didefinisikan sebagai sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan.

Di Indonesia, perilaku kerja kontraproduktif juga sering dijumpai di berbagai sektor-sektor publik. Media masa lokal maupun nasional kerap meliput berita menyangkut penyimpangan kinerja pegawai negri sipil ini. Dikutip dari Tempo.com, Hasil kajian Indonesian Corruption Watch

terhadap vonis perkara korupsi selama 2015 menunjukkan angka korupsi di lingkaran pemerintah, terutama pemerintah daerah, masih tinggi. Sejumlah 225 terdakwa korupsi dari lingkungan pejabat atau pegawai di lingkungan pemerintah. Sementara itu, di swasta, ada 140 terdakwa. Angka tersebut bahkan lebih tinggi dibandingkan tahun 2013 dan 2014. Korupsi sendiri termasuk dalam salah satu dimensi perilaku kerja kontraproduktif yaitu dimensi pencurian (theft).

Tingkat korupsi di Indonesia masih tergolong tinggi. Pada Tabel 1.1 terlihat data Indeks Persepsi Korupsi Indonesia mulai tahun 2009 sampai tahun 2014 yang dirilis oleh Transparency International. Data tersebut menunjukkan bahwa masalah korupsi yang terjadi di Indonesia mengalami penurunan dari tahun ke tahun namun masih sangat memprihatinkan dan butuh perhatian yang serius untuk menyelesaikannya.

(4)

4 Indeks Persepsi Korupsi Indonesia lebih mendekati skala 0 (sangat korup) dan masih berada di peringkat seratus keatas secara internasional.

Tabel 1.1 Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Tahun 2009-2014

Tahun Peringkat Internasional Indeks Persepsi Korupsi (skala 0-100) 2014 107 dari 175 negara 34 2013 114 dari 177 negara 32 2012 121 dari 176 negara 32 2011 105 dari 183 negara 30 2010 113 dari 178 negara 28 2009 114 dari 180 negara 28 Sumber: www.ti.or.id

Berita lainnya mengenai perilaku kerja kontraproduktif PNS dikutip dari okezone.com bahwa di hari pertama masuk kerja pasca-libur lebaran 2015, terhitung 670 PNS di lingkungan Sekretariat Daerah Pemerintah Provinsi (Setdaprov) Bengkulu mangkir alias tidak hadir. Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) mencatat jumlah itu merupakan 10,9 persen dari jumlah PNS induk dengan total 6161 PNS, dari 47 Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), Kantor dan Badan.

Berita terbaru dari cnnindonesia.com (12/01/2016), Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menyebutkan jumlah gratifikasi PNS yang dikembalikan ke KPK mencapai Rp 10 Miliar. Angka tersebut

(5)

5 berasal dari gratifikasi yang diterima di dua dinas DKI. Ahok menyebutkan penyumbang terbanyak pengembalian gratifikasi berasal dari Dinas Perumahan dan Gedung DKI Jakarta. Nilai gratifikasi yang diterima PNS di dinas pimpinan Ika Lestari tersebut mencapai Rp 9,6 miliar.

Berdasarkan contoh kasus tersebut, kita dapat membayangkan betapa perilaku kontraproduktif dapat menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi negara. Menurut Akbar et al. (2015), Adanya perilaku kerja kontraproduktif membuat kinerja pegawai menjadi rendah baik di instansi pemerintah maupun di instansi swasta. Banyak sekali faktor yang menjadi pendorong pegawai berperilaku seperti itu, bisa dikarenakan kurangnya

reward atau penghargaan, imbalan atau gaji yang tidak sesuai dengan kebutuhan kehidupan layak, dan bisa juga dikarenakan tidak adanya transparansi dalam jenjang karir. Hal-hal tersebut dapat mendorong terjadinya perilaku kerja kontraproduktif. Jika PNS tidak berbobot atau tidak memiliki daya saing maka daya saing bangsa juga akan rendah.

Kesadaran akan perlunya sumber daya manusia yang berkualitas di kementrian dan lembaga negara , menjadi latar belakang pemerintah RI untuk melakukan reformasi sistem gaji pegawai (kompensasi) menjadi sistem remunerasi yang mulai diterapkan mulai tahun 2010. Menurut Robbins (2008), kompensasi merupakan sejumlah uang yang diterima sebagai balas jasa dari prestasi kerja dan termasuk juga berbagai macam bayaran dan tunjangan yang diberikan organisasi kepada karyawan. Sedangkan remunerasi yang dimaksud adalah gaji pokok ditambah

(6)

6 tunjangan-tunjangan yang selama ini diperoleh pegawai ditambah dengan tunjangan remunerasi. Tunjangan remunerasi ditetapkan berdasar pada job grade dan penilaian kerja pegawai.

Diberlakukannya reformasi birokrasi diharapkan dapat mendorong percepatan perubahan perbaikan kinerja aparatur pemerintah menjadi lebih profesional, bermoral, bersih dan beretika dalam menunjang tugas pemerintahan dan pembangunan. Pokok-pokok Reformasi Birokrasi Pemerintahan harus dimulai dari penataan kelembagaan dan sumber daya manusia aparatur. Langkah selanjutnya adalah membuat mekanisme tidak berbelit-belit, menegakkan akuntabilitas aparatur, meningkatkan dan menciptakan pengawasan yang komprehensif, dan meningkatkan kualitas pelayanan publik yang berkualitas dan prima.

Namun diberlakukannya sistem kompensasi baru, yaitu sistem remunerasi sekaligus memberikan tantangan yang besar. Desain dan implementasi sistem kompensasi merupakan aktifitas yang kompleks bagi organisasi karena harus memenuhi prinsip-prinsip tertentu. Sistem kompensasi harus dapat mendorong tercapainya tujuan organisasi dengan meningkatkan kesetaraan internal maupun eksternal. Milkovich dan Newman (2008) mengatakan bahwa sistem kompensasi yang efektif harus memenuhi kriteria atraktif, kompetitif, adil, legal, dan layak. Menurut Hasibuan (2003) prinsip keadilan merupakan hal yang utama disamping prinsip kewajaran. Sistem kompensasi harus menerapkan prinsip keadilan yaitu kompensasi yang dibayarkan kepada setiap karyawan harus

(7)

7 diseimbangkan/disesuaikan dengan seberapa besar prestasi kerja, jenis pekerjaan, resiko pekerjaan, tanggung jawab, jabatan pekerjaan, dan memenuhi persyaratan internal kosistensi.

Sistem remunerasi yang diterapkan mulai tahun 2010 di lembaga dan kementerian negara, masih perlu diuji keefektifannya dalam meningkatkan kinerja PNS serta kontribusinya dalam menurunkan tingkat perilaku kontraproduktif. Hal ini penting mengingat pemerintah pun hingga saat ini masih membuat rencana rasionalisasi terhadap 1 juta PNS. Dikutip dari harianbernas.com (15/07/2016), rasionalisasi PNS menjadi bagian dari program percepatan penataan birokrasi serta wujud konkret rencana pokok reformasi birokrasi 2015 sampai dengan 2019.Tujuan rasionalisasi untuk menciptakan birokrasi bersih dan akuntabel, birokrasi efektif dan efisien, serta birokrasi yang memiliki pelayanan publik yang berkualitas. Dengan rasionalisasi, Kementerian PANRB ingin mencapai jumlah sekitar 3,5 juta PNS atau sekitar 1,5 persen dari jumlah penduduk. Dari kajian akademik Kementerian PANRB, Menteri PANRB, Yuddy Chrisnandi menyebut jumlah ideal PNS adalah 1,5 persen dari jumlah penduduk Indonesia dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR RI pekan. PNS dengan tingkat produktifitas terburuk akan menjadi sasaran rasionalisasi. PNS yang terkena rasionalisasi tetap memperoleh gaji pensiun pada waktunya. Hasilnya, Pemerintah akan lebih efisien karena tidak ada tunjangan kinerja. Rasionalisasi berlaku bagi PNS yang

(8)

8 kualifikasi dan kompetensinya rendah serta yang kinerja dan disiplinnya buruk sehingga mengganggu pelayanan publik.

Faturochman (2002) berpendapat bahwa sistem merupakan pola-pola umum yang digunakan atau mendasari prosedur dan distribusi atau pertukaran serta mengatur relasi-relasi sosial. Sistem setara dengan kebijakan umum, yang kemudian direalisasikan sekaligus sebagai dasar dalam menentukan prosedur, pengaturan pembagian, dan pengaturan relasi-relasi sosial. Oleh karena itu, perubahan sistem kompensasi PNS menjadi sistem remunerasi tentunya akan merubah persepsi keadilan prosedural dan distributif para karyawannya. Fox, et al. (2001) berpendapat bahwa individu menilai keadilan kompensasi dari dua sisi keadilan yaitu prosedural dan distributif.

Menurut Kreitner dan Kinicki (2001) keadilan prosedural adalah keadilan yang dirasakan dari proses dan prosedur yang digunakan untuk mengalokasikan keputusan. Sedangkan keadilan distributif menurut Greenberg dan Baron (2008) adalah bentuk keadilan organisasi yang berfokus pada kenyakinan karyawan bahwa mereka telah menerima jumlah imbalan yang sesuai serta mendapatkan penghargaan.

Persepsi seseorang merupakan proses aktif yang memegang peranan, bukan hanya stimulus yang merangsangnya tetapi juga individu sebagai satu kesatuan dengan segala pengalaman-pengalamannya, motivasi serta sikapnya yang relevan dalam menanggapi stimulus (Walgito, 2003). Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi seperti

(9)

9 pengalaman, suasana hati, budaya, dll mengakibatkan persepsi seseorang terhadap objek yang sama dapat berbeda-beda. Persepsi karyawan terhadap keadilan kompensasi yang diterimanya juga dapat berbeda-beda. Apabila karyawan mempunyai persepsi yang positif terhadap keadilan kompensasi maka karyawan akan lebih merasa puas dalam bekerja dan menurunkan tingkat perilaku kerja kontraproduktif

Menurut Weick (2001) ketidakadilan kompensasai yang dirasakan karyawan dapat ditemukan dalam 3 bentuk: (1) ketidakadilan personal, yaitu perbandingan yang tidak seimbang antara pengeluaran dan pemasukan, (2) Ketidakadilan perbandingan, yaitu ketidakseimbangan penerimaan yang ia terima dibandingkan dengan orang/karyawan lain dengan kondisi yang sama, (3) gabungan ketidakadilan personal serta ketidakadilan perbandingan dengan orang lain.

Ketidakadilan yang dipersepsikan oleh karyawan dapat menjadi stressor tersendiri bagi karyawan. Sebuah model perilaku kerja kontraproduktif yang dikembangkan oleh Fox dan Spector (1999) menjelaskan bahwa stress yang dirasakan karyawan dapat menjadi pendorong utama karyawan tersebut untuk melakukan perilaku kerja kontraproduktif. Model ini dikenal dengan istilah Stressor - Emotion Model. Menurut teori ini, terdapat 2 faktor utama yang mempengaruhi individu dalam melakukan perilaku kerja kontraproduktif yaitu faktor situasional dan faktor perbedaan individu (disposisional). Faktor situasional merupakan keadaan sistemik dalam lingkungan kerja yang

(10)

10 dapat menimbulkan stress. Contoh faktor situasional yang memicu stress antara lain peran yang ambigu, birokrasi berbelit, rantai komando yang tidak jelas, tidak ada transparansi dalam organisasi, dll. Spector lebih lanjut mengemukakan faktor situasional yang dirasakan oleh individu akan memunculkan emosi negatif seperti marah, jengkel, sedih, capek, dll. Frustasi terjadi akibat stressor yang dirasakan yaitu keadaan-keadaan / situasi kerja yang menghalangi individu mencapai kinerja yang efektif (Fox dan Spector, 1999). Individu yang frustrasi cenderung akan menunjukkan emosi negatif seperti marah, kecewa, binggung, dll. Sedangkan faktor perbedaan individu dalam hal ini merupakan faktor yang memoderasi. Spector menekankan kontrol dan tipe kepribadian tertentu yang lebih memiliki kecenderungan lebih tinggi dalam melakukan perilaku kerja kontraproduktif.

Jensen et al. (2010), Kelloway et al. (2010), Werbel dan Balkin (2010) berpendapat bahwa karyawan lebih memiliki kecenderungan lebih besar untuk terlibat dalam perilaku kerja kontraproduktif, ketika mereka merasakan ketidakadilan kompensasi. Ketidakadilan yang dipersepsikan karyawan merupakan stressor yang disebabkan oleh faktor situasional. Menurut Fox dan Spector (2005) selain dikarenakan oleh isu situasional, berbagai contoh perilaku kontraproduktif sering muncul akibat permasalahan yang sifatnya personal yaitu ketidakmampuan seseorang dalam mengendalikan diri. Individu dengan kontrol diri yang rendah lebih banyak menunjukkan tindakan perilaku kerja kontraproduktif. Menurut

(11)

11 Baumister, et al. (2007) kontrol diri merupakan kemampuan untuk merubah respon diri sendiri, terutama untuk membawa mereka ke arah yang sejalan dengan standar yaitu sesuai dengan cita-cita, nilai, moral, dan harapan sosial, serta untuk mendukung tujuan jangka panjang. Kontrol diri menurut Fox dan Spector (2005) berperan besar dalam meningkatkan kecenderungan individu untuk melakukan perilaku kerja kontraproduktif karena kontrol diri merupakan faktor penguat antara hubungan emosi negatif terhadap perilaku kerja kontraproduktif. Contoh pengendalian diri dalam konteks perilaku keorganisasian antara lain adalah kontrol pada perilakunya yang berhubungan dengan rekan kerja (misal berkomunikasi dengan rekan kerja), kontrol pada perilakunya yang berhubungan dengan kinerja (misal menyelesaikan tugas tepat waktu), dan kontrol agar tidak berperilaku merusak dan membahayakan (misal tidak mengkonsumsi miras di tempat kerja). Selain kontrol diri, Fox dan Spector (2005) juga menekankan faktor perbedaan individulain yaitutipe kepribadian individu yang ditinjau dari the big five personality, serta kepribadian narsisme.

Sementara itu, berbeda dengan Spector, dalam studi Gibson dan Wright (2001), mengungkap bahwa kontrol diri memiliki pengaruh langsung terhadap perilaku kerja kontraproduktif. Penelitian Gibson dan Wright pada karyawan remaja (SMA) menunjukkan bahwa kontrol diri yang rendah berhubungan negatif terhadap perilaku kerja kontraproduktif. Hal serupa juga diungkap Marcus dan Schuler’s (2004) dalam penelitiannya yang menunjukkan bahwa kontrol diri merupakan prediktor

(12)

12 paling kuat dalam memprediksi perilaku kerja kontraproduktif diantara dimensi lainnya yaitu triggers, opportunity, dan / prospencity.

Fenomena perilaku kerja kontraproduktif pada PNS masih perlu diteliti untuk melihat anteseden yang memprediksi perilaku ini. Data pengukuran tingkat persepsi keadilan remunerasi dan kontrol diri tentu akan memberi gambaran karakter PNS. Hal ini dapat dijadikan dasar pembangunan diagnosis permasalahan organisasi secara tepat sehingga akan berpengaruh pada intervensi apa yang paling baik dalam mengurangi tingkat perilaku kerja kontraproduktif di kalangan PNS. Intervensi dapat ditujukan pada pembenahan sistemik organisasional dan dapat pula ditujukan pada modifikasi perilaku individu. Menurut beberapa pendapat ahli, perilaku kerja kontraproduktif dapat ditekan dengan beberapa cara yaitu:

1. Rekrutmen dan seleksi

Cara paling sederhana dalam menekan tingkat perilaku kerja kontraproduktif pada organisasi adalah meminimalisir masuknya karyawan yang memiliki kecenderungan lebih besar untuk berbuat perilaku tersebut. Gerbang utama masuknya karyawan tentu saja melalui rekrutmen dan seleksi. Di sini organisasi harus menggunakan alat /instrumen seleksi yang tepat untuk menyeleksi karyawan seperti

cognitive ability tests (Dilchert et al., 2007) dan Personality based integrity tests (Oneset al., 1993).

(13)

13 2. Pelatihan kontrol diri

Penelitian eksperimen yang dilakukan oleh Denson et al. (2011) menunjukkan bahwa pelatihan kontrol diri / task control selama 2 minggu terbukti dapat menurunkan kecenderungan perilaku agresif karyawan. Pelatihan ini mengurangi agresi karyawan yang memiliki sifat agresi yang tinggi. Peserta yang menerima pelatihan juga menunjukkan bahwa mereka lebih dapat mengontrol tendensi untuk marah. Hasil ini memberikan bukti bahwa pelatihan ini bermanfaat untuk membantu individu yang agresif agar dapat mengatasi impuls agresif.

3. Metode pemberian teguran secara konstruktif

Dikutip dari situs resmi www.ui.ac.id, melalui disertasinya yang berjudul “Studi Mengenai Perilaku Kerja Kontraproduktif: Pengaruh Cara Menegur Terhadap Kesantaian-Kerja dan Kesalahan-Kerja”, P. Tommy Y.S. Suyasa dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia berhasil menemukan metode teguran yang tepat untuk mengurangi perilaku kerja kontraproduktif. Konsep cara menegur negative-feedback

sendiri dapat diberikan secara konstruktif maupun secara destruktif.

Negative-feedback secara konstruktif dilakukan dengan pemilihan kata-kata yang tepat yang didasarkan pada rasa percaya dan disertai solusi yang memungkinkan. Sementara itu, negative feedback secara destruktif dilakukan tanpa pemilihan kata yang tepat, kurang disertai solusi, dan dapat disertai ancaman. Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan, didapat fakta bahwa teguran yang diberikan secara destruktif

(14)

14 dapat meningkatkan atau menurunkan perilaku kerja kontraproduktif. Sementara itu, teguran yang disampaikan secara konstruktif dapat menurunkan perilaku kerja kontraproduktif. Pemberian teguran secara destruktif memang mampu menurunkan kesantaian kerja, tetapi belum tentu menurunkan kesalahan kerja.

4. Sistem kompensasi yang adil

Werbel dan Balkin (2010) berpendapat bahwa sistem kompensasi organisasi harus memastikan bahwa karyawan dibayar berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan dan dituangkan secara jelas ke dalam kontrak kerja. Selain itu, organisasi juga dapat memberlakukan Group and individual incentives untuk menekan tingkat perilaku kerja kontraproduktif.Kompensasi diberikan berdasarkan kinerja individu dan kelompok membuat karyawan/individu lebih sulit untuk terlibat dalam perilaku kerja kontraproduktif karena karyawan akan mendapat perhatian lebih dari rekannya. Para karyawan akan saling mengawasi dan menilai antara satu dengan lainnya, sehingga membuatnya kurang tertarik untuk melakukan tindakan kontraproduktif.

5. 360oC feedback

Menurut Werbel dan Balkin (2010), evaluasi kinerja yang dilakukan dari sudut pandang atasan saja dapat membuat informasi asimetris antara atasan dan bawahan. Cara untuk mengurangi ini adalah dengan menggunakan 360° feedback. Jika kinerja karyawan diukur dari perspektif yang berbeda, misalnya jika evaluasi dilakukan oleh

(15)

15 pelanggan, rekan-rekan dan supervisor, hal ini dapat memberikan informasi lebih lanjut tentang kinerja serta mengurangi informasi asimetris karyawan. Dengan cara ini, diharapkan pengawasan terhadap kinerja karyawan semakin meningkat sehingga mengurangi daya tarik karyawan untuk bertindak dengan cara-cara kontraproduktif.

1.2. Rumusan Masalah

Perilaku kontraproduktif merupakan permasalahan serius yang dapat menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi negara. Tingginya perilaku kerja kontraproduktif pada Pegawai Negri Sipil dipengaruhi 2 faktor yaitu faktor situasional yang secara sistemik mempengaruhi mental karyawan, dan faktor personal yaitu perbedaan individu seperti kontrol dan tipe kepribadian. Faktor situasional yang diteliti dalam penelitian ini adalah pemberlakuan sistem kompensasi baru yang dikenal sebagai sistem remunerasi. Remunerasi yang pada awalnya diberlakukan untuk memperbaiki kualitas kerja PNS masih perlu dilakukan penelitian untuk menguji keefektifannya. Kebijakan remunerasi sebagai sistem kompensasi yang baru diterapkan kurang lebih 6 tahun di lembaga dan kementrian negara akan memicu persepsi tersendiri bagi masing-masing karyawan. Karyawan senior belum tentu memiliki persepsi yang positif terhadap sistem kompensasi yang baru ini, dan begitu pula sebaliknya. Lebih lanjut, penelitian ini juga ingin menguji seberapa besar faktor personal yaitu kontrol diri memiliki pengaruh dalam memprediksi kecenderungan individu melakukan perilaku kerja kontraproduktif. Kontrol diri menurut

(16)

16 penelitian-penelitian sebelumnya memiliki peran yang berbeda. Sebagian penelitian menyebutkan bahwa kontrol diri merupakan prediktor yang berpengaruh langsung terhadap perilaku kerja kontraproduktif. Sementara sebagian penelitian lainnya menyebutkan bahwa kontrol diri merupakan variabel pemoderasi hubungan antara faktor situasional dengan perilaku kerja kontraproduktif.

1.3. Pertanyaan Penelitian

Mengacu pada rumusan masalah yang telah disampaikan, maka pertanyaan penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah persepsi keadilan remunerasi berpengaruh negatif terhadap perilaku kerja kontraproduktif?

2. Apakah kontrol diri berpengaruh negatif terhadap perilaku kerja kontraproduktif?

3. Apakah kontrol diri merupakan variabel pemoderasi hubungan antara persepsi keadilan remunerasi dengan perilaku kerja kontraproduktif?

1.4. Batasan Masalah

Penelitian ini akan membahas pengaruh persepsi keadilan remunerasi dan kontrol diri terhadap perilaku kerja kontraproduktif di Kantor BPKP Perwakilan DIY. Kompensasi yang akan diteliti meliputi kompensasi finansial langsung (seperti gaji, tunjangan, insentif, uang lembur, dan lain-lain).

(17)

17 1.5. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh persepsi keadilan remunerasi terhadap perilaku kerja kontraproduktif.

2. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh kontrol diri terhadap perilaku kerja kontraproduktif.

3. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh kontrol diri sebagai variabel pemoderasi.

1.6. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi: 1. Organisasi

Dapat memberikan masukan dan informasi bagi organisasi dalam menentukan kebijakan yang berhubungan dengan pelaksanaan sistem kompensasi guna meningkatkan kinerja pegawai.

2. Penulis

Menambah wawasan dan pengalaman tentang praktek-praktek pengelolaan SDM secara langsung yang dapat dikaitkan dengan teori selama perkuliahan.

3. Pihak lain

Sebagai bahan/informasi bagi peneliti lainnya yang berminat pada masalah yang berkaitan dengan penelitian ini.

Gambar

Tabel 1.1 Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Tahun 2009-2014

Referensi

Dokumen terkait

Untuk memenuhi mandat ini, proses reformasi perlu disesuaikan untuk mempertimbangkan kebutuhan keamanan dan keadilan yang berbeda bagi semua anggota populasi (lihat Kotak

undang Nomor 2 Tahun 2002 yang berbunyi: "Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan pengayoman, dan pelayanan

a) Kekuasaan Legislatif (Legislative Power) Kekuasaan Legislatif (Legislative Power) adalah kekuasaan membuat undang-undang. Kekuasaan untuk membuat undang-undang harus

a) Ulama Mutaqaddimin berpendapat bahwa semua istilah hukum dalam tajwid adalah berakibat syar’i, berpahala bagi yang melaksanakan dan berdosa bagi yang melakukan

Sehubungan dengan ditemukannya permasalah aktual dalam pelaksanaan pembelajran IPA khususnya tentang materi Penggolongan Hewan disebabkan oleh kurang mampunya guru menerapkan

Sistem Pengendalian Intern (SPI) adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan

Analisis penulis, reusam adalah kebiasaan, adat yang sudah menjadi peraturan, ketika masyarakat memasuki kawasan gampong Lamgugob, maka dia harus mengikuti semua

Kualitatif deskriptif Proses berpikir siswa ditinjau dari kemampuan matematisnya Siswa dengan kemampuan matematika tinggi menggunakan berpikir konseptual, sedangkan