• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Peraturan Pemilikan Tanah Pertanian Secara Absentee

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Peraturan Pemilikan Tanah Pertanian Secara Absentee"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

29 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Peraturan Pemilikan Tanah Pertanian Secara Absentee 1. Pengertian Tanah Absentee

Tanah absentee yaitu tanah yang letaknya diluar daerah tempat tinggal yang mempunyai tanah tersebut (Boedie Harsono,2008, Hal. 384). Dengan kata lain tanah absentee adalah tanah yang letaknya berjauhan dengan pemiliknya.

Dengan demikian, terdapat beberapa esensi yang merupakan ketentuan dari absentee, antara lain :

1) Tanah-tanah pertanian wajib dikerjakan atau diusahakan sendiri secara aktif.

2) Pemilik tanah pertanian wajib bertempat tinggal di Kecamatan tempat letak tanahnya.

3) Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar Kecamatan tempat letak tanahnya, wajib mengalihkan hak atas tanahnya atau pindah ke Kecamatan letak tanah tersebut.

4) Dilarang memindahkan atau mengalihkan hak atas tanah pertanian kepada orang atau badan hukum yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Kecamatan tempat letak tanahnya. (Parlindungan, landrefrom di Indonesia, Hal. 123)

(2)

2. Larangan Pemilikan Tanah Pertanian Secara Absentee

Salah satu program dari landreform adalah larangan pemilikan tanah secara absentee/guntai. Peraturan pelaksanaan dari UUPA yang mengatur mengenai pemilikan tanah secara absentee/guntai diatur dalam Pasal 3 ayat (1) PP No. 224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian (telah diubah dan ditambah dengan PP No. 41 tahun 1964. Adapun larangan pemilikan tanah secara absentee berpangkal pada dasar hukum yang terdapat dalam Pasal 10 ayat (1) UUPA yang menentukan bahwa :

Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan

Untuk melaksanakan amanat UUPA, maka Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 menentukan bahwa

Pemilik tanah yang bertempat tinggal diluar kecamatan tempat letak tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah tersebut.

Selanjutnya Pasal 3d Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 menentukan bahwa

Dilarang untuk melakukan semua bentuk memindahkan hak baru atas tanah pertanian yang mengakibatkan pemiki tanah yang bersangkutan memiliki bidang tanah di luar kecamatan dimana ia bertempat tinggal

(3)

Pasal ini mengatur tentang pemilikan tanah oleh orang yang bertempat tinggal di luar kecamatan. Pemilikan yang demikian menimbulkan

penggarapan tanah yang tidak effisien, misalnya tentang

penyelenggaraannya, pengawasannya, pengangkutan hasilnya. Juga dapat menimbulkan sistim-sistim peningkatan, misalnya orang-orang yang tinggal di kota memiliki tanah-tanah di desa-desa yang digarapkan kepada para petani-petani yang ada di desa-desa itu dengan sistim sewa atu bagi hasil. Ini berarti bahwa para petani yang memeras keringat dan mengeluarkan tenaga hanya mendapat sebagian saja dari hasil tanah yang dikerjakan, sedang pemilik tanah yang tinggal di kota-kota, yang kebanyakan juga sudah mempunyai mata pencaharian lain, dengan tidak perlu mengerjakan tanahnya mendapat bagian dari hasil tanahnya pula bahwa “tanah adalah untuk tani yang menggarapnya”. (Penjelasan dalam Pasal 3d Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964)

Peraturan tersebut menunjukkan bahwa pemilikan tanah secara absentee/guntai tidak diperbolehkan dan melanggar asas dalam Pasal 10 UUPA.

Larangan untuk memiliki tanah secara absentee/guntai ini sebenarnya bertujuan agar tanah pertanian yang berada di kecamatan tersebut dikelola sendiri oleh petani yang berada di kecamatan letak tanah itu sehingga hasilnya pun maksimal.

(4)

Apabila seseorang atau badan hukum memiliki tanah secara absentee /guntai dibiarkan akan menyebabkan ketidakadilan karena yang bekerja bukan pemilik tanah pertanian tersebut, sehingga tidak sesuai dengan tujuan landreform yang diselenggarakan di Indonesia.

Mengingat ketentuan Pasal 7 dan Pasal 17 UUPA diatur lebih lanjut dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960 menentukan bahwa:

barang siapa sesudah mulai berlakunya peraturan ini memperoleh tanah pertanian, hingga tanah pertanian yang dikuasai olehnya dan anggota-anggota keluarganya berjumlah lebih dari luas maksimum, wajib berusaha supaya paling lambat 1 tahun sejak diperolehnya tanah tersebut jumlah tanah pertanian yang dikuasai itu luasnya tidak melebihi luas maksimum.

Mengingat ketentuan Pasal 10 ayat (1) UUPA diatur lebih lanjut dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 yang menentukan bahwa:

Pemilik tanah yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah tersebut.

Ketentuan mengalihkan tanahnya kepada orang lain yang bertempat tinggal di luar kecamatan tanah terletak merupakan pengaturan tentang pemilikan tanah secara absentee.

(5)

Pemilikan tanah secara absentee pada dasarnya dilarang, karena tidak sesuai dengan asas mengerjakan sendiri tanah pertanian, tetapi larangan ini di kecualikan kepada pegawai negeri.

3. Pengecualian Larangan Pemilikan Tanah Absentee

Ketentuan Pasal 3 ayat (1), (2), (3) dan (4) Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 menentukan bahwa:

(1) Pemilik tanah yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah tersebut.

(2) Kewajiban tersebut pada ayat 1 pasal ini tidak berlaku bagi pemilik tanah yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah, jika jarak antara tempat tinggal pemilik dan tanahnya masih memungkinkan mengerjakan tanah itu secara effisien, menurut pertimbangan Panitia Landreform Daerah Tingkat II.

(3) Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat 2 pasal ini, maka jika pemilik tanah berpindah tempat atau meninggalkan tempat kediamannya keluar kecamatan tempat letak tanah itu selama 2 tahun berturut-turut, ia wajib memindahkan hak milik tanahnya kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan itu.

(4) Ketentuan dalam ayat (1) dan ayat (3) pasal ini tidak berlaku bagi mereka, yang mempunyai tanah di kecamatan tempat tinggalnya atau dikecamatan sebagai yang dimaksudkan dalam ayat 2 pasal ini, yang sedang menjalankan tugas Negara, menunaikan kewajiban agama, atau mempunyai alasan khusus lainnya yang dapat diterima oleh Menteri Agraria. Bagi pegawai-pegawai negeri dan pejabat-pejabat militer serta yang dipersamakan dengan mereka, yang sedang menjalankan tugas Negara, perkecualian tersebut pada ayat ini terbatas pada pemilikan tanah pertanian sampai seluas 2/5 dari luas maksimum yang ditentukan untuk daerah yang bersangkutan menurut Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960.

(6)

Berdasarkan ketentuan tersebut batas daerah diambil kecamatan, oleh karena jarak dalam kecamatan masih memungkinkan pengusahaan tanahnya secara efektif. Juga pemilik tanah yang berpindah tempat atau meninggalkan tempat kediamannya keluar kecamatan tempat letak tanah itu selama 2 tahun berturut-turut, wajib memindahkan hak milik atas tanahnya kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan itu. Tetapi hal itu tidak berlaku bagi mereka yang menjalankan tugas Negara misalnya: pergi dinas ke luar negeri, menunaikan ibadah haji, dan lain sebagainya. Juga pegawai-pegawai negeri dan pejabat-pejabat militer serta mereka yang dipersamakan, yang sedang menjalankan tugas Negara boleh memiliki tanah di luar kecamatan, tetapi pemilikan itu terbatas pada 2/5 luas maksimum yang ditentukan. Misalnya di daerah yang sangat padat, maka hanya diperbolehkan memiliki sawah 2/5 x 5 ha = 2 ha. Di dalam perkecualian yang dimaksudkan dalam pasal 3 dan 4 termasuk pula pemilikan oleh isteri dan/atau anak-anak yang masih menjadi tanggungannya.

Pengecualian dari larangan pemilikan Tanah Absentee/Guntai yaitu (Effendi Perangin, hal : 133):

1) Mereka yang menjalankan tugas Negara

(7)

3) Mereka yang mempunyai alasan khusus yang dapat diterima oleh Menteri Agraria.

Pengecualian pemilikan tanah pertanian secara guntai sampai 2/5 dari luas maksimum untuk Daerah Tingkat II (sekarang Kabupaten/Kota) yang bersangkutan, diberikan kepada :

a) Pensiunan Pegawai Negeri

b) Janda pegawai negeri dan janda pensiunan pegawai negeri selama tidak menikah lagi dengan seorang bukan pegawai negeri atau pensiunan pegawai negeri.

Dengan adanya pengecualian tersebut seorang pegawai negeri dalam waktu 2 tahun menjelang pensiun diperbolehkan membeli tanah pertanian secara absentee sampai batas 2/5 luas maksimum untuk Daerah Kabupaten/Kota letak tanah yang bersangkutan. Di dalam pengecualian ini termasuk pula pemilikan oleh istri dan anak yang masih menjadi tanggungannya. Tetapi sewaktu-waktu seorang pegawai negeri atau yang dipersamakan dengan mereka berhenti menjalankan tugas Negara, misalnya mendapat pensiun, maka ia wajib memenuhi ketentuan tersebut dalam waktu satu tahun terhitung sejak mengakhiri tugasnya. Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang oleh Menteri Agraria jika ada alasan yang wajar.

(8)

Pengecualian bagi pensiunan pegawai negeri diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah Pertanian Secara Guntai (Absentee) Bagi Para Pensiunan Pegawai Negeri. Yang mengatur bahwa ketentuan-ketentuan pengecualian mengenai pemilikan tanah pertanian yang berlaku bagi pegawai negeri diberlakukan juga bagi para pensiunan pegawai negeri.

Pemilikan tersebut boleh diteruskan setelah pensiun, sekiranya kemudian ia berpindah tempat tinggal ke kecamatan letak tanah yang bersangkutan, dengan sendirinya pemilikan tersebut dapat ditambah hingga seluas batas maksimum.

Salah Satu Pengecualian Pengaturan Pemilikan Tanah Pertanian Secara Absentee ditujukan bagi Pegawai Negeri Sipil.

B. Prinsip-Prinsip Hak Atas Tanah Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

Dalam Hukum Tanah Nasional terdapat bermacam-macam prinsip hak penguasaan atas tanah, yang dapat dikemukakan sebagai berikut :

1. Asas Nasionalitas. Asas ini tercermin dalam Pasal 1 UUPA yang terdiri dari enam ayat, yaitu :

(1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.

(2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.

(9)

(3) Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi,air serta ruang angkasa termaksud dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi.

(4) Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi dibawahnya serta yang berada dibawah air.

(5) Dalam pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia

(6) Yang dimaksud dengan ruang angkasa ialah ruang diatas bumi dan air tersebut pada ayat (4) dan (5) pasal ini.

Pertama-tama dasar kenasionalan itu diletakkan dalam pasal 1 ayat 1, yang menyatakan, bahwa: "Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia" dan pasal 1 ayat 2 yang berbunyi bahwa: "Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional".

Ini berarti bahwa bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh bangsa sebagai keseluruhan, menjadi hak pula dari bangsa Indonesia, jadi tidak semata-mata menjadi hak dari para pemiliknya saja. Demikian pula tanahtanah di daerah-daerah dan pulau-pulau tidaklah semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan saja. Dengan pengertian demikian maka hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia merupakan semacam hubungan hak ulayat yang

(10)

diangkat pada tingkatan yang paling atas, yaitu pada tingkatan yang mengenai seluruh wilayah Negara.

Adapun hubungan antara bangsa dan bumi, air serta ruang angkasa Indonesia itu adalah hubungan yang bersifat abadi (pasal 1 ayat 3). Ini berarti bahwa selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air serta ruang angkasa Indonesia itu masih ada pula, dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut. Dengan demikian maka biarpun sekarang ini daerah Irian Barat, yang merupakan bagian dari bumi, air dan ruang angkasa Indonesia berada di bawah kekuasaan penjajah, atas dasar ketentuan pasal ini bagian tersebut menurut hukum tetap merupakan bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia juga.

2. Asas Hak Menguasai Negara. Asas ini tercantum dalam bunyi Pasal 2 UUPA yang terdiri empat ayat, yaitu:

(1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk :

a) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut. b) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara

(11)

c) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.

(4) Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

Undang-Undang Pokok Agraria berpangkal pada pendirian, bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar tidak perlu dan tidaklah pula pada tempatnya, bahwa bangsa Indonesia ataupun Negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih tepat jika Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku Badan Penguasa. Dari sudut inilah harus dilihat arti ketentuan dalam Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan, bahwa "Bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya, pada tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh Negara". Sesuai dengan pangkal pendirian tersebut diatas perkataan "dikuasai" dalam pasal ini bukanlah berarti "dimiliki", akan tetapi adalah pengertian, yang memberi wewenang kepada Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia itu, untuk pada tingkatan yang tertinggi:

(12)

1. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya.

2. menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Segala sesuatunya dengan tujuan: untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur (Pasal 2 ayat 2 dan 3).

Adapun, kekuasaan Negara yang dimaksudkan itu mengenai semua bumi, air dan ruang angkasa, jadi baik yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang tidak. Kekuasaan Negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa Negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakan haknya sampai disitulah batas kekuasaan" Negara tersebut. Adapun isi hak-hak itu serta pembatasanpembatasannya dinyatakan dalam Pasal 4 dan pasal-pasal berikutnya serta pasal-pasal dalam BAB II.

Kekuasaan Negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh. Dengan

(13)

berpedoman pada tujuan yang disebutkan diatas Negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan-hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya hak milik, hak-guna-usaha, hak guna bangunan atau hak pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatu Badan Penguasa (Departemen, Jawatan atau Daerah Swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing (Pasal 2 ayat 4). Dalam pada itu kekuasaan Negara atas tanah-tanah inipun sedikit atau banyak dibatasi pula oleh hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, sepanjang menurut kenyataannya hak ulayat itu masih ada.

3. Asas pengakuan Hak Ulayat. Asas ini tercermin dalam Pasal 3 UUPA yang berbunyi :

Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari

masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut

kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh

(14)

bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Ketentuan ini pertama-tama berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat itu dalam hukumagraria yang baru. Sebagaimana diketahui biarpun menurut kenyataannya hak ulayat itu ada dan berlaku serta diperhatikan pula didalam keputusan-keputusan hakim, belum pernah hak tersebut diakui secara resmi didalam Undang-Undang, dengan akibat bahwa didalam melaksanakan peraturan-peraturan agraria hak ulayat itu pada zaman penjajahan dulu sering kali diabaikan. Berhubung dengan disebutnya hak ulayat didalam Undang-undang Pokok Agraria, yang pada hakekatnya berarti pula pengakuan hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat itu akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan.

4. Asas Hukum Agraria Nasional berdasarkan hukum adat sebagaimana ketentuan Pasal 5 UUPA yang berbunyi :

Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuanbangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

Sebagaimana telah diterangkan diatas hukum agraria sekarang ini mempunyai sifat "dualisme" dan mengadakan perbedaan antara hak-hak

(15)

tanah menurut hukum-adat dan hak-hak tanah menurut hukum-barat, yang berpokok pada ketentuan-ketentuan dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia. Undang-undang Pokok Agraria bermaksud menghilangkan dualisme itu dan secara sadar hendak mengadakan kesatuan hukum, sesuai dengan keinginan rakyat sebagai bangsa yang satu dan sesuai pula dengan kepentingan perekonomian.

Dengan sendirinya hukum agraria baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum daripada rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia sebagian terbesar tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria yang baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam Negara yang modern dan dalam hubungannya dengan dunia internasional, serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka hukum adat dalam pertumbuhannya tidak terlepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalistis dan masyarakat swapraja yang feodal.

5. Asas Fungsi Sosial sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 UUPAyang berbunyi : “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.”

Ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi

(16)

kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat dan Negara. Tetapi dalam pada itu ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan.

Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok: kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya (pasal 2 ayat 3).

6. Asas Landreform sebagaimana tercantum dalam Pasal 7, 10 dan 17 UUPA.

Pasal 7 UUPA menentukan bahwa:

Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan Agar supaya semboyan ini dapat diwujudkan perlu diadakan ketentuan-ketentuan lainnya. Misalnya perlu ada ketentuan tentang batas minimum luas tanah yang harus dimiliki oleh orang tani, supaya ia mendapat penghasilan yang cukup untuk hidup layak bagi diri sendiri dan keluarganya (Pasal 13 yo Pasal 17). Pula perlu ada ketentuan mengenai

(17)

batas maksimum luas tanah yang boleh dipunyai dengan hak milik (Pasal 17), agar dicegah tertumpuknya tanah ditangan golongan-golongan yang tertentu saja. Dalam hubungan ini pasal 7 memuat suatu azas yang penting, yaitu bahwa pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan, karena hal yang demikian itu adalah merugikan kepentingan umum. Akhirnya ketentuan itu perlu dibarengi pula dengan pemberian kredit, bibit dan bantuan-bantuan lainnya dengan syarat-syarat yang ringan, sehingga pemiliknya tidak akan terpaksa bekerja dalam lapangan lain, dengan menyerahkan penguasaan tanahnya kepada orang lain.

Pasal 10 UUPA mengatur mengenai pengusahaan hak atas tanah pertanian bagi orang atau badan hukum yang dijabarkan dalam tiga ayat sebagai berikut :

(1) Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.

(2) Pelaksanaan dari pada ketentuan dalam ayat (1) pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan.

(3) Pengecualian terhadap azas tersebut pada ayat ( 1 ) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan.

Ketentuan Pasal 10 ayat 1 tersebut adalah suatu azas, yang pelaksanaannya masih memerlukan pengaturan lebih lanjut (ayat 2). Dalam keadaan susunan masyarakat kita sebagai sekarang ini maka peraturan pelaksanaan itu nanti kiranya masih perlu membuka

(18)

kemungkinan diadakannya dispensasi. Misalnya seorang pegawai-negeri yang untuk persediaan hari-tuanya mempunyai tanah satu dua hektar dan berhubung dengan pekerjaannya tidak mungkin dapat mengusahakannya sendiri kiranya harus dimungkinkan untuk terus memiliki tanah tersebut. Selama itu tanahnya boleh diserahkan kepada orang lain untuk diusahakan dengan perjanjian sewa, bagi-hasil dan lain sebagainya. Tetapi setelah ia tidak bekerja lagi, misalnya setelah pensiun, tanah itu harus diusahakannya sendiri secara aktip, (ayat 3).

Pasal 17 UUPA mengatur mengenai batas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan suatu hak oleh seseorang atau badan hukum yang dijabarkan dalam empat ayat, yaitu :

(1) Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam Pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.

(2) Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan dengan peraturan perundangan dalam waktu yang singkat.

(3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2)pasal ini diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah.

(4) Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang akan ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara berangsur-angsur.

Ketentuan pasal ini merupakan pelaksanaan dari apa yang ditentukan dalam pasal 7. Penetapan batas luas maksimum akan dilakukan didalam

(19)

waktu yang singkat dengan peraturan perundangan. Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum itu tidak akan disita, tetapi akan diambil oleh Pemerintah dengan ganti-kerugian. Tanah-tanah tersebut selanjutnya akan dibagi-bagikan kepada rakyat yang membutuhkannya. Ganti kerugian kepada bekas pemilik tersebut diatas pada azasnya harus dibayar oleh mereka yang memperoleh bagian tanah itu. Tetapi oleh karena mereka itu umumnya tidak mampu untuk membayar harga tanahnya didalam waktu yang singkat, maka oleh Pemerintah akan disediakan kredit dan usaha-usaha lain supaya pra bekas pemilik tidak terlalu lama menunggu uang ganti-kerugian yang dimaksudkan itu.

Ditetapkannya batas minimum tidaklah berarti bahwa orang- orang yang mempunyai, tanah kurang dari itu akan dipaksa untuk melepaskan tanahnya. Penetapan batas minimum itu pertama-tama dimaksudkan untuk mencegah pemecah-belahan ("versplintering") tanah lebih lanjut. Disamping itu akan diadakan usaha-usaha misalnya: transmigrasi, pembukaan tanah besar-besaran diluar Jawa dan industrialisasi, supaya batas minimum tersebut dapat dicapai secara berangsur-angsur. Yang dimaksud dengan "keluarga" ialah suami, isteri serta anak-anaknya yang belum kawin dan menjadi tanggungannya dan yang jumlahnya berkisar

(20)

sekitar 7 orang. Baik laki-laki maupun wanita dapat menjadi kepala keluarga.

7. Asas Persamaan hak atas tanah bagi setiap Warga Negara Indonesia baik laki-laki maupun perempuan sesuai dengan Pasal 9 ayat (1) dan (2) menentukan bahwa

(1) Hanya warga-negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan pasal 1 dan 2.

(2) Tiap-tiap warga-negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.

Sesuai dengan azas kebangsaan tersebut dalam Pasal 1 maka menurut Pasal 9 hanya warganegara Indonesia saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, Hak milik tidak dapat dipunyai oleh orang asing dan pemindahan hak milik kepada orang asing dilarang. Orang-orang asing dapat mempunyai tanah dengan hak pakai yang luasnya terbatas.

Demikian juga pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat mempunyai hak milik. Adapun pertimbangan untuk (pada dasarnya) melarang badan-badan hukum mempunyai hak milik atas tanah, ialah karena badan-badan hukum tidak perlu mempunyai hak milik tetapi cukup hak-hak lainnya, asal saja ada jaminan-jaminan yang cukup bagi keperluan-keperluannya yang khusus (hak usaha, hak guna-bangunan, hak pakai.

(21)

Ketentuan dalam ayat 2 adalah akibat daripada ketentuan dalam pasal 1 ayat 1 dan 2. dasar kenasionalan itu diletakkan dalam pasal 1 ayat 1, yang menyatakan, bahwa: "Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia" dan pasal 1 ayat 2 yang berbunyi bahwa: "Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional".

8. Asas Tata Guna Tanah sebagaimana tercantum dalam Pasal 13, 14 dan 15 UUPA. Ketentuan Pasal 13 terdiri dari empat ayat, yaitu :

(1) Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (3) serta menjamin bagi setiap warga negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.

(2) Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta.

(3) Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan Undang-Undang. (4) Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan

sosial, termasuk bidang perburuhan, dalam usaha-usaha dilapangan agraria.

Segala usaha bersama dalam lapangan agrarian harus didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional (pasal 12 ayat 1) dan Pemerintah berkewajiban untuk mencegah adanya organisasi dan

(22)

usaha-usaha perseorangan dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli swasta (Pasal 13 ayat 2).

Bukan saja usaha swasta, tetapi juga usaha-usaha Pemerintah yang bersifat monopoli harus dicegah jangan sampai merugikan rakyat banyak. Oleh karena itu usaha-usaha Pemerintah yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan undang- undang (Pasal 13 ayat 3).

Selanjutnya, asas tata guna tanah juga tercermin dalam ketentuan Pasal 14 UUPA terdiri dari tiga ayat, yaitu :

(1) Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3), Pasal 9 ayat (2) serta Pasal 10 ayat (1) dan (2) Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya : a) untuk keperluan Negara;

b) untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;

c) untuk keperluan pusat-pusat kehidupan

masyarakat,sosial,kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan; d) untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian,

peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu;

e) untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan.

(2) Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat (1) pasal ini dan mengingat peraturan-peraturan yang bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-masing.

(3) Peraturan Pemerintah Daerah yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini berlaku setelah mendapat pengesahan, mengenai Daerah Tingkat I dari Presiden, Daerah Tingkat II dari, Gubernur/Kepala Daerah yang bersangkutan dan Daerah Tingkat III dari Bupati/Walikota/Kepala Daerah yang bersangkutan.

(23)

Untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan Negara tersebut diatas dalam bidang agraria, perlu adanya suatu rencana ("planning") mengenai peruntukan, penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk pelbagai kepentingan hidup rakyat dan Negara: Rencana Umum ("National planning") yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian diperinci menjadi rencana-rencana khusus ("regional planning") dari tiap-tiap daerah (pasal 14). Dengan adanya planning itu maka penggunaan tanah dapat dilakukan secara terpimpin dan teratur hingga dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi Negara dan rakyat

Mengingat akan corak perekonomian Negara dikemudian hari dimana industri dan pertambangan akan mempunyai peranan yang penting, maka disamping perencanaan untuk pertanian perlu diperhatikan, pula keperluan untuk industri dan pertambangan (ayat 1 huruf d dan e). Perencanaan itu tidak saja bermaksud menyediakan tanah untuk pertanian, peternakan, perikanan, industri dan pertambangan, tetapi juga ditujukan untuk memajukannya. Pengesahan peraturan Pemerintah Daerah harus dilakukan dalam rangka rencana umum yang dibuat oleh Pemerintah Pusat dan sesuai dengan kebijaksanaan Pusat.

(24)

Ketentuan tersebut ditujukan pemerintah supaya tataguna tanah dapat terwujud. Disamping itu masyarakat dapat melakukan pemeliharaan tanah dengan sebaik-baiknya, sehingga Pasal 15 UUPA menentukan bahwa :

Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta

mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap

orang\badan hukum atau instansi yang mempunyaihubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah.

Berhubung dengan fungsi sosialnya, maka adalah suatu hal yang sewajarnya bahwa tanah itu harus dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburannya serta dicegah kerusakannya. Kewajiban memelihara tanah ini tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan menjadi beban pula dari setiap orang, badan-hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan badan-hukum dengan tanah itu (pasal 15). Dalam melaksanakan ketentuan ini akan diperhatikan kepentingan fihak yang ekonomis lemah.

Tanah wajib dipelihara dengan baik, yaitu dipelihara menurut cara-cara yang lazim dikerjakan didaerah yang bersangkutan, sesuai dengan petunjuk-petunjuk dari Jawatan-Jawatan yang bersangkutan.

9. Asas Pendaftaran Tanah sebagaimana tercantum dalam Pasal 19 UUPA. Pasal 19 UUPA mengatur mengenai tahapan-tahapan dalam pendaftaran tanah yang dijabarkan dalam empat ayat, yaitu :

(25)

(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:

a) Pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;

b) Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; c) Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai

alat pembuktian yang kuat.

(3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.

(4) Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat (1) diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.

Usaha yang menuju kearah kepastian hak atas tanah ternyata dari ketentuan dari pasal-pasal yang mengatur pendaftaran tanah. Pasal 23, 32 dan 38, ditujukan kepada para pemegang hak yang bersangkutan, dengan maksud agar mereka memperoleh kepastian tentang haknya itu. Sedangkan Pasal 19 ditujukan kepada Pemerintah sebagai suatu instruksi, agar diseluruh wilayah Indonesia diadakan pendaftaran tanah yang bersifat "rechts-kadaster", artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum.

Adapun pendaftaran itu akan diselenggarakan dengan mengingat pada kepentingan serta keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi dan kemungkinan-kemungkinannya dalam

bidang personil dan peralatannya. Oleh karena itu maka akan didahulukan penyelenggaraannya dikotakota untuk lambat laun meningkat pada kadaster yang meliputi seluruh wilayah Negara.

(26)

Sesuai dengan tujuannya yaitu akan memberikan kepastian hukum maka pendaftaran itu diwajibkan bagi para pemegang hak yang bersangkutan, dengan maksud agar mereka memperoleh kepastian tentang haknya itu. Sedangkan Pasal 19 ditujukan kepada Pemerintah sebagai suatu instruksi; agar diseluruh wilayah Indonesia diadakan pendaftaran tanah yang bersifat "rechts-kadaster", artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum.

Adapun pendaftaran itu akan diselenggarakan dengan mengingat pada kepentingan serta keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi dan kemungkinan-kemungkinannya dalam bidang personil dan peralatannya. Oleh karena itu lambat laun meningkat pada kadaster yang meliputi seluruh wilayah Negara.

Sesuai dengan tujuannya yaitu akan memberikan kepastian hukum maka pendaftaran itu diwajibkan bagi para pemegang hak yang bersangkutan. Jika tidak diwajibkan maka diadakannya pendaftaran tanah, yang terang akan memerlukan banyak tenaga, alat dan biaya itu, tidak akan ada artinya sama sekali.

c) Pegawai Negeri Sipil

1. Pengertian Pegawai Negeri Sipil

Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 Pasal 1 ayat 3 bahwa : Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat

(27)

sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat Pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan

A.W. Widjaja (2006, hal.113) berpendapat bahwa, “Pegawai adalah merupakan tenaga kerja manusia jasmaniah maupun rohaniah (mental dan pikiran) yang senantiasa dibutuhkan dan oleh karena itu menjadi salah satu modal pokok dalam usaha kerja sama untuk mencapai tujuan tertentu (organisasi).”

Selanjutnya A.W. Widjaja mengatakan bahwa, “Pegawai adalah

orang-orang yang dikerjakan dalam suatu badan tertentu, baik di lembaga-lembaga pemerintah maupun dalam badan-badan usaha.”

2. Hak dan Kewajiban Pegawai Negeri Sipil

Dalam Pasal 21 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 menentukan bahwa :

Pegawai Negeri Sipil berhak memperoleh: a. gaji, tunjangan, dan fasilitas b. cuti.

c. jaminan pensiun dan jaminan hari tua d. perlindungan; dan

e. pengembangan kompetensi

Pada dasarnya setiap pegawai negeri beserta keluarganya harus hidup layak dari gajinya, sehingga dengan demikian ia dapat memusatkan perhatian dan kegiatannya melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya. Gaji adalah sebagai balas jasa atau penghargaan atau hasil

(28)

karya seseorang dalam menunaikan tugas sesuai dengan bidang pekerjaannya masing-masing.

Dalam rangka penegakan disiplin di kalangan pegawai negeri masalah gaji dipandang sebagai faktor yang paling berpengaruh. Karena jika gaji yang diterima oleh seorang pegawai negeri dirasakan tidak mampu memenuhi kebutuhan/kesejahteraan keluarganya ini akan mendorong pegawai tersebut untuk mencari sampingan, yang lama kelamaan menjadi satu kebiasaan, sehingga memberi dampak negatif.

Cuti yang diatur di dalam Peraturan Pemerintah ini kecuali cuti diluar tanggungan negara adalah hak Pegawai Negeri Sipil, oleh sebab itu pelaksanaan cuti hanya dapat ditunda dalam jangka waktu tertentu apabila kepentingan dinas mendesak. Setiap pimpinan haruslah mengatur pemberian cuti sedemikian rupa sehingga dapat terjamin kelancaran pelaksanaan pekerjaan. Menurut perhitungan pemberian cuti dalam waktu yang sama terhadap 5 % dari jumlah kekuatan masih tetap dapat menjamin kelancaran pekerjaan. Pegawai Negeri Sipil yang hendak menggunakan hak cutinya wajib mengajukan permintaan secara tertulis kepada pejabat yang berwenang memberikan cuti melalui hirarkhi.

Setiap pegawai negeri yang ditimpa oleh suatu kecelakaan dalam dan karena menjalankan tugas kewajibannya, berhak memperoleh perawatan. Dalam menjalankan kewajiban selalu ada kemungkinan bahwa akan

(29)

menghadapi resiko. Apabila pegawai negeri mengalami kecelakaan dalam dan karena menjalankan menjalankan tugas kewajibannya, maka ia berhak memperoleh perawatan dengan segala biaya perawatan itu ditanggung oleh Negara.

Pensiun adalah jaminan hari tua dan sebagai balas jasa terhadap pegawai negeri yang telah bertahun-tahun mengabdikan dirinya kepada negara. Pada pokoknya adalah menjadi kewajiban dari setiap orang untuk berusaha menjamin hari tuanya, dan untuk itu setiap pegawai negeri wajib menjadi peserta dari suatu badan asuransi sosial yang dibentuk oleh pemerintah karena pensiun bukan saja sebagai jaminan hari tua, tapi juga adalah sebagai balas jasa, maka pemerintah memberikan sumbangannya kepada pegawai negeri.

Dalam Pasal 23 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 menentukan bahwa:

Pegawai Negeri Sipil wajib:

a. setia dan taat pada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pemerintah yang sah;.

b. menjaga persatuan dan kesatuan bangsa;

c. melaksanakan kebijakan yang dirumuskan pejabat pemerintah yang berwenang;

d. menaati ketentuan peraturan perundang-undangan;

e. melaksanakan tugas kedinasan dengan penuh pengabdian, kejujuran, kesadaran, dan tanggung jawab;

f. menunjukkan integritas dan keteladanan dalam sikap, perilaku, ucapan dan tindakan kepada setiap orang baik di dalam maupun di luar kedinasan;

(30)

g. menyimpan rahasia jabatan dan hanya dapat mengemukakan rahasia jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; h. Bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia

Sejalan dengan itu pegawai negeri sipil berkewajiban memberikan contoh yang baik dalam mentaati dan melaksanakan segala peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Di dalam melaksankan peraturan perundang-undangan, pada umumnya kepada pegawai negeri diberikan tugas kedinasan untuk melaksanakan dengan baik. Pada pokoknya pemberian tugas kedinasan itu adalah merupakan kepercayaan dari atasan yang berwenang dengan harapan bahwa tugas itu nantinya akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Pegawai Negeri Sipil dituntut penuh pengabdian, kesadaran dan tanggung jawab dalam melaksanakan tugas kedinasan.

Yang dimaksud dengan rahasia adalah: rencana, kegiatan yang akan, sedang atau telah dilakukan yang dapat mengakibatkan kerugian yang besar atau dapat menimbulkan bahaya, apabila diberitahukan atau diketahui oleh orang yang tidak berhak. Rahasia jabatan adalah rahasia mengenai atau ada hubungannya dengan jabatan. Rahasia jabatan dapat berupa dokumen tertulis seperti surat, notulen rapat, peta dan dapat juga berupa keputusan lisan dari seorang atasan. Dilihat dari sudut pentingnya, maka rahasia jabatan ditentukan tingkat klasifikasinya seperti: - Sangat rahsia - Rahasia - Konfidensi/Terbatas Dan jika ditinjau dari sifatnya

(31)

maka akan dijumpai rahasia jabatan yang sifat kerahasiannya terbatas pada waktu tertentu dan ada pula rahasia jabatan yang sifat kerahasiannya terus menerus.

d) Landasan Teori

Landasan teoritis yang digunakan dalam penelitian ini meliputi teori serta konsep-konsep yang terkait dengan permasalahan. Adapun teori-teori serta konsep-konsep yang digunakan yakni tujuan hukum, yang dikaji dalam 3 teori, yaitu

1. Teori Kepastian Hukum

Pada dasarnya teori yang berkenaan dengan judul di atas adalah teori yang berkenaan dengan kepastian hukum. Kepastian Hukum berarti bahwa dengan adanya hukum setiap orang mengetahui yang mana dan seberapa haknya dan kewajibannya.

Menurut Peter Mahmud Marzuki (2008, hal. 158) Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibabankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa Pasal-pasal dalam Undang-undang

(32)

melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan

Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologi. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk konsestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat

dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif.

http://yancearizona.wordpress.com/2008/04/13/apa-itu-kepastian-hukum/, tanggal 20 Oktober 2014, jam 20.00 wib.

Bahwa dalam hal penegakan hukum, setiap orang selalu mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadinya peristiwa kongkrit, dengan kata lain bahwa peristiwa tersebut tidak boleh menyimpang dan harus ditetapkan sesuai dengan hukum yang ada (berlaku), yang pada akhirnya nanti kepastian hukum dapat diwujudkan.

(33)

Pentingnya kepastian hukum sesuai dengan yang terdapat pada pasal 28D ayat 1 Undang–Undang Dasar 1945 perubahan ketiga bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang

adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.

http://anggimartika.blogspot.com/2012/03/kepastian-sebagai-tujuan-hukum.html?m=1, tanggal 20 Oktober 2014, jam 20.15 wib.

2. Teori Kemanfaatan Hukum

Menurut (Satjipto Rahardjo, 1991), hal.13) mengatakan bahwa teori kemanfaatan (kegunaan) hukum bisa dilihat sebagai perlengkapan masyarakat untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan. Oleh karena itu ia bekerja dengan memberikan petunjuk tentang tingkah laku dan berupa norma (aturan-aturan hukum).

Menurut teori utilities (utilities theorie), hukum bertujuan mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah saja. Hukum bertujuan menjamin adanya kebahagiaan banyaknya pada orang sebanyak-banyaknya. Teori ini diajarkan oleh Jeremy

Bentham (tahun 1748-1832) seorang ahli hukum dari Inggris dalam bukunya “Introduction to the morals an legislation”. Bentham merupakan pemimpin aliran pemikiran “kemanfaatan”. (Utrecht, 1957 dalam Ridwan Syahrani, 1999 : 21).

(34)

Menurut Bentham hakikat kebahagiaan adalah kenikmatan dan kehidupan yang bebas dari kesengsaraan. Karenanya maksud manusia melakukan tindakan adalah untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan. Teori ini secara analogis diterapkan pada bidang hukum, sehingga baik buruknya hukum harus diukur dari baik buruknya akibat yang dihasilkan oleh penerapan hukum itu (Ridwan Syahrani, 1999 : 22)

Menurut Sudikno Mertokusumo bahwa masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum itu untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakkan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan malah akan timbul keresahan di dalam masyarakat itu sendiri.

3. Teori Keadilan Hukum

Teori ini dimaksudkan untuk membahas dan menganalisis guna

melengkapi kebutuhan pembahasan mengenai dasar peraturan

pengecualian larangan pemilikan tanah absentee bagi pegawai negeri sipil. Secara lebih luas, apakah telah memberikan manfaat bagi masyarakat maupun memberikan kesejahteraan yang berkeadilan seperti yang dikehendaki oleh UUD 1945.

(35)

Keadilan adalah merupakan tujuan hukum yang hendak dicapai, guna memperoleh kesebandingan di dalam masyarakat, di samping itu juga untuk kepastian hukum. Masalah keadilan (kesebandingan) merupakan masalah yang rumit, persoalan mana dapat dijumpai hampir pada setiap masyarakat, termasuk Indonesia (Soerjono Soekanto, 1980, hal. 169)

Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Membicarakan hukum adalah membicarakan hubungan antar manusia. Membicarakan hubungan antar manusia adalah membicarakan keadilan. Adanya keadilan maka dapat tercapainya tujuan hukum, yaitu menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.

Aristoteles, menyatakan bahwa kata “adil” mengandung lebih dari satu arti. Adil dapat berarti menurut hukum, dan apa yang sebanding, yaitu yang semestinya. Dalam hal ini ditunjukkan bahwa seseorang dikatakan berlaku tidak adil apabila orang itu mengambil lebih dari bagian yang semestinya. Orang yang tidak menghiraukan hukum juga dapat dikatakan “tidak adil”, karena semua hal yang didasarkan pada hukum dapat dianggap sebagai “adil” (Aristoteles dalam Darji Darmodiharjo, 2006 , hal. 156). Keadilan adalah merupakan suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi dasar dari peraturan negara dan aturan-aturan ini

(36)

merupakan ukuran tentang apa yang hak dan apa yang bukan hak. Lebih lanjut dikatakan bahwa agar terdapat suatu keadilan, maka orang harus memperoleh keuntungan dengan cara-cara yang wajar, dan keadilan itu sendiri merupakan keutamaan moral. Ditinjau dari isinya, Aristoteles membedakan adanya dua macam keadilan yaitu Justitia distribitiva (keadilan distributif) dan justitia commutativa (keadilan komutativ).

Terkait dengan keadilan maka Jeremy Bentham memunculkan teori kebahagiaan (utility) yang bersifat individualistis. Hukum harus mewujudkan kebahagiaan bagi individu, dan harus cocok untuk kepentingan masyarakat. Pada dasarnya hukum harus berbasis manfaat bagi kebahagiaan manusia. Itu sebabnya teori keadilan dan utility

merupakan perwujudan hukum yang harus diimplementasikan

(Suhariningsih, 2009, h. 43).

Membicarakan hukum tidak cukup hanya sampai wujudnya sebagai suatu bangunan yang formal, tetapi perlu juga melihatnya sebagai ekspresi dari cita-cita keadilkan masyarakat. Dapat dikatakan bahwa unsur keadilan merupakan unsur yang rumit dan abstrak dalam hukum, karena pada keadilanlah hukum itu bermuara. Mengingat abstraknya unsur-unsur keadilan tersebut, maka berbagai pakar mengemukakan keadilan itu dengan perumusan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing.

(37)

Filsuf Hukum Alam Thomas Aquinas, membedakan keadilan atas dua kelompok yaitu (Aristoteles dalam Darji Darmodiharjo, hal. 167):

a. Keadilan Umum (justitia generalis), adalah keadilan menurut kehendak undang-undang, yang harus ditunaikan demi kepentingan umum. Keadilan ini juga disebut dengan keadilan legal.

b. Keadilan Khusus, adalah keadilan atas dasar kesamaan atau proporsionalitas. Keadilan khusus ini dapat dibedakan lagi, yaitu : 1) Keadilkan distributif (justitia distributiva); directs the distribution

of goods and honours to each according to his place in the community, adalah keadilan yang secara proporsional diterapkan dalam lapangan hukum publik secara umum, yakni apabila setiap orang mendapatkan hak atau jatahnya secara proporsiobal.

2) Keadilan komutatif (justitia commutativa), adalah keadilan dengan mempersamakan antara prestasi dan kontraprestasi.

3) Keadilan vindikatif (justitia vindicativa), adalah keadilan dalam menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Seseorang dianggap adil apabila ia dipidana badan atau denda sesuai dengan besarnya hukuman yang telah ditentukan atas tindak pidana yang dilakukannya.

Dalam mengoperasionalkan konsep pembaruan agraria sebagaimana diatur dalam TAP MPR Nomor IX/MPR/2001, diperlukan prinsip-prinsip yang menjadi landasan dan arahan yang mendasari pelaksanaannya. Prinsip-prinsip itu seyogyanya bersifat holistik, komprehensip, dan mampu menampung hal-hal pokok yang menjadi tujuan pembaruan agraria, salah satu yang menjadi prinsip-prinsip dasar pembaruan agraria tersebut menurut Maria S.W. Sumardjono (2001, hal. 4) adalah :

Keadilan dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agrarian (keadilan gender, keadilan dalam satu generasi dan antar generasi, serta pengakuan kepemilikan masyarakat adat terhadap sumber-sumber agraria yang menjadi ruang hidupnya)

(38)

Berdasarkan uraian teori keadilan diatas, Nampaknya keadilan ditinjau dari hakekat dan isinya tidak dapat dipisahkan dalam menganalisis apakah kehendak Pemerintah dalam menetapkan Peraturan Pemerintah 41 Tahun 1964 Tentang Pengecualian Larangan Kepemilikan Kepemilikan Tanah Pertanian secara Guntai (absentee) Yang Berlaku Bagi Pegawai Negeri jo Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1977 Tentang Pemilikan Tanah Pertanian Secara Guntai (absentee) dengan Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Pokok Agraria. Keduanya harus saling melengkapi agar mendapatkan pemahaman yang utuh kemudian dapat diwujudkan dalam tindakan nyata khususnya dalam hal menerapkan penetapan tentang larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee.

Dalam hal ini, keadilan harus dipahami dalam makna yang substansial (substatial justice) (Maria S.W. Sumardjono, 2001, hal. 157). Lebih lanjut dikatakan bahwa, keadilan itu sendiri bersifat universal dan merupakan proses yang dinamis serta senantiasa bergerak diantara berbagai faktor, termasuk equality atau persamaan hak itu sendiri. Namun dalam kenyataannya, menurut Maria S.W. Sumardjono menyatakan bahwa setiap orang berbeda dalam hal kemampuan atau jasanya dan kebutuhannya bila dibandingkan dengan orang lain. Dalam situasi dimana lebih banyak orang yang membutuhkan sesuatu (terlebih untuk hal-hal yang merupakan kebutuhan dasar manusia), namun kemampuan untuk memperolehnya

(39)

kurang, maka perlakuan yang sama justru akan menimbulkan ketidakadilan. Perkecualian terhadap hal ini yang berupa perlakuan khusus dapat dilakukan asalkan dapat dipertanggungjawabkan. Hal demikian biasa disebut sebagai corrective justice atau positive discrimination.

Dalam pemahaman substansial, gagasan dasar keadilan terdiri atas tiga hal, bahwa (Maria S.W. Sumardjono, 2001, hal. 221):

a. Orang harus diperlakukan sama dalam hal atau kasus yang sama. b. Hal yang baik harus memperoleh penghargaan.

c. Secara moral setiap orang berhak untuk memperoleh dan mempertahankan hak-hak dasarnya.

Ketiga gagasan dasar keadilan tersebut di atas mutlak diacu dalam hal penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan sumber daya agraria, karena hak atas sumber-sumber agraria adalah merupakan hak bagi setiap orang.

Referensi

Dokumen terkait

4.b SPAM di Kawasan Kumuh/Nelayah Pembangunan SPAM di Kawasan Kumuh/Nelayan Pembangunan sarana air bersih di Kawasan Kumuh/Nelayan Optimalisasi sarana air minum di Kawasan

OVERSIGHT CONSULTANT (OC) REGIONAL MANAGEMENT FOR PACKAGE 3 (DKI JAKARTA, BANTEN AND WEST KALIMANTAN)I. BREAKDOWN

dengan lebih baiknya pencapaian kelas eksperimen daripada kelas kontrol dalam hal kemampuan berpikir kreatif pada indikator keterampilan elaborasi dari postes yang

menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang berjudul “ KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH PADA SMAN 1 MARABAHAN, SMAN 1 ANJIR PASAR, DAN SMA GLOBAL ISLAMIC BOARDING SCHOOL

Hasil pengamatan mendapatkan bahwa hutan mangrove Batuline Desa Bahoi masih dalam kondisi yang baik dimana tutupan kanopi secara umum berada pada kisaran 80-90

Suatu penelitian dilakukan karena mempunyai tujuan yang hendak dicapai oleh karena itu dari perumusan masalah diatas, maka Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah

Pengumuman Bupati Bandung nomor: 800/811/BKPSDM tanggal 1 April 2019 tentang Hasil Akhir Seleksi Pengadaan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja di Lingkungan

Subjek Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan pengujian kendaraan bermotor termasuk kendaraan bermotor di