• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT LOKAL MELALUI KEGIATAN KOMPOSTING SKALA RUMAH TANGGA DI TIMIKA, PAPUA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBERDAYAAN MASYARAKAT LOKAL MELALUI KEGIATAN KOMPOSTING SKALA RUMAH TANGGA DI TIMIKA, PAPUA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT LOKAL

MELALUI KEGIATAN KOMPOSTING SKALA

RUMAH TANGGA DI TIMIKA, PAPUA

Firman L. Sahwan1), Sri Wahyono1) dan Feddy Suryanto2)

1)Peneliti di Pusat Teknologi Lingkungan

2)Perekayasa di Pusat Teknologi Lingkungan

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

Abstrak

Kegiatan pembuatan kompos menggunakan komposter aerobik oleh masyarakat lokal atau masyarakat binaan di wilayah kerja PT Freeport Indonesia (PTFI), dilatar belakangi oleh tiga hal utama yaitu: kewajiban atau tanggung jawab sosial perusahaan dalam rangka ikut memajukan kesejahteraan masyarakat, permasalahan keamanan transportasi untuk membawa sampah ke TPA yang tidak mendukung, serta kebutuhan kompos yang tinggi untuk mereklamasi area Mod-ADA seluas 230 km2. Sedangkan berapa potensi produksi kompos yang dapat dihasilkan, kualitas kompos serta potensi tambahan pendapatan yang dapat diterima oleh masyarakat binaan merupakan tiga hal lain yang melatar belakangi sekaligus menjadi tujuan dari penelitian ini. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa: potensi produksi kompos yang dapat dihasilkan oleh masyarakat binaan dengan menggunakan 125 buah komposter yang telah dibagikan oleh PTFI, sebesar 11 ton per tahun. Jumlah tersebut masih jauh dari kebutuhan kompos PTFI yang sebenarnya. Kualitas kompos yang dihasilkan cukup baik, sebagian besar memenuhi: kriteria kompos matang, standar Permentan No 70 tentang Pupuk Organik dan SNI Kompos. Sedangkan potensi tambahan pendapatan yang dapat diterima oleh masyarakat binaan, sebagai hasil dari pembuatan komposnya adalah sebesar Rp. 440.000 per orang per tahun.

Kata kunci: pemberdayaan masyarakat, komposting skala rumah tangga, komposter,

produksi kompos, dan kualitas kompos

Abstract

Composting activity using an aerobic composter by the people in the region of PTFI, against the background by three main things, i.e.: liability or corporate social responsibility in order to advance the public welfare, transportation security issues to dispose of waste to landfill is not supported, as well as the high need for compost for the reclamation of ADA-Mod area of 230 km2. While number of potential production of compost that can be generated, compost quality, and additional potential revenue that could be accepted by the target community are the others three things as background and also as the purpose of this study. The study concluded that: the potential production of compost that could be generated by using 125 units composter that has been distributed by PTFI was 11 tons per year. The number is still far from the compost needs of PTFI. The quality of compost produced quite well, most of them meeting the standard criteria of the mature compost, Permentan 70 regarding Organic Fertilizer and SNI Compost.

(2)

While the additional potential revenue that could be accepted by the target community, as a result of making compost is Rp. 440 000 per person per year

Key words: community empowerment, house hold scale compost, composter, compost production, and compost quality

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Sebagai salah satu perusahaan tambang penghasil tembaga dan emas terbesar di dunia, PT Freeport Indonesia (PTFI) menyadari pentingnya memanfaatkan hasil tambang tersebut untuk kemajuan perekonomian. Selain itu, PTFI juga mempunyai kewajiban tanggung jawab sosial perusahaan dalam rangka ikut memajukan kesejahteraan masyarakat1). Sehubungan

dengan hal tersebut, PTFI bekerja sama dengan Pusat Teknologi Lingkungan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, telah melakukan pembinaan terhadap masyarakat setempat, yang terdiri dari masyarakat lokal dan pendatang, untuk membuat kompos dari sampah dapur dan kebun dengan menggunakan komposter aerobik. Kompos yang dihasilkan, kemudian diambil oleh pihak PTFI dengan harga yang cukup memadai, sehingga masyarakat memperoleh tambahan pendapatan. Dengan tambahan pendapatan tersebut, harapannya adalah kesejahteraan masyarakat ikut meningkat.

Selain sebagai sarana pembinaan, kegiatan tersebut juga sebagai sarana pengelolaan sampah di wilayah kerja PTFI. Sampah telah menjadi permasalahan serius bagi PTFI untuk mengelolanya, terutama setelah kondisi keamanan transportasi untuk membawa sampah ke TPA yang tidak mendukung. Lokasi TPA (tempat pemrosesan akhir sampah) yang terletak di wilayah yang sering terjadi kasus penembakan oleh orang tidak dikenal, telah membuat wilayah tersebut menjadi tidak aman. Dengan memanfaatkan sampah menjadi kompos, maka harapannya adalah jumlah sampah yang dibuang menjadi lebih sedikit, sehingga

pengelolaannya menjadi lebih mudah. Kegiatan tersebut diawali dengan p e l a t i h a n c a r a m e m b u a t k o m p o s menggunakan komposter yang diberikan oleh peneliti PTL-BPPT terhadap para kader lingkungan yang telah ditetapkan oleh PTFI. Selain itu, peneliti BPPT membuat disain komposter, yang dilanjutkan oleh pihak PTFI untuk membuat komposternya dengan menggunakan bahan dari tong bekas tempat bahan karbit yang tidak dipakai lagi. Komposter yang telah dibuat, kemudian dibagikan kepada kader lingkungan dan warga binaan yang selanjutnya melakukan pembuatan kompos dengan komposter tersebut. Untuk meyakinkan bahwa kader lingkungan tersebut telah benar-benar bisa membuat kompos dari sampah dapur dan kebun menggunakan komposter, dan dapat menghasilkan kompos yang berkualitas baik, maka pihak PTFI dan peneliti PTL-BPPT melakukan pendampingan kepada kader lingkungan dan warga binaan pada saat proses pembuatan komposnya. Kader lingkungan yang telah mendapat pelatihan dari peneliti PTL-BPPT, mempunyai kewajiban untuk menularkan ilmunya kepada masyarakat atau warga binaan lainnya. Proses tersebut telah berjalan dengan baik.

Me n u ru t p a ra p a ka r, ko mp o s merupakan salah satu jenis pupuk organik yang didefinisikan sebagai materi organik sederhana yang relatif stabil menyerupai humus sebagai hasil dari penguraian (dekomposisi) materi organik yang kompleks oleh konsorsium mikroorganisme dalam kondisi aerob dan termofilik yang terkendali

2,3,4 dan 5). Sedangkan yang disebut dengan

pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari tumbuhan mati, kotoran hewan dan/ atau bagian hewan dan/atau limbah organik lainnya yang telah melalui proses rekayasa,

(3)

berbentuk padat atau cair, dapat diperkaya dengan bahan mineral dan/atau mikroba, yang bermanfaat untuk meningkatkan kandungan hara dan bahan organik tanah, serta memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah6). Dengan difinisi tersebut, terlihat

bahwa pupuk kompos merupakan pupuk organik yang sengaja dibuat melalui suatu proses teknik komposting yang terkendali, dalam rangka untuk menghasilkan pupuk organik yang berkualitas.

Pupuk organik kompos ataupun pupuk organik lain sejenisnya, memiliki kehandalan untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas sumberdaya lahan, bahkan dapat memperbaiki sumberdaya lahan yang telah rusak sekalipun, seperti lahan-lahan kritis yang saat ini begitu luas penyebarannya. Kehandalan tersebut disebabkan karena kemampuannya yang dapat memperbaiki sifat fisik, biologi dan kimia tanah, secara sekaligus

Sifat fisik yang dapat diperbaiki adalah struktur dan tekstur tanah melalui pembentukan agregat yang lebih stabil, gembur serta aerasi dan drainase tanah yang baik. Tanah berpasir menjadi lebih kompak dan tanah liat menjadi lebih gembur, sehingga memudahkan pengolahan tanah. Penyerapan sinar matahari menjadi lebih banyak karena pengaruh warna gelap dari kompos. Selain itu, kemampuan menahan air meningkat sehingga terjadi efisiensi penggunaan sumberdaya air.

Perbaikan sifat biologi tanah terjadi karena pupuk organik kompos akan meningkatkan populasi dan keragaman biota tanah, terutama yang berpengaruh positif terhadap kondisi tanah itu sendiri. Aktivitas dan metabolisme dari biota tanah (mikroba, meso dan makrobiota) akan meningkatkan produktivitas tanah dan tanaman, melalui: peningkatan ketersediaan hara tanah, seperti pengambilan N dari udara dan pelarutan P yang tadinya tidak tersedia, terbentuknya zat yang dapat memacu pertumbuhan tanaman, terbentuknya zat yang dapat menekan pertumbuhan mikroorganisme penyebab

penyakit tanaman, selain dapat mengurangi unsur toksik (anti toksik) bagi tanaman maupun bagi biota tanah itu sendiri.

Sedangkan sifat kimia tanah menjadi lebih baik karena adanya unsur hara esensial yang lengkap, baik makro maupun mikro, pengambilan unsur hara dari pemupukan pupuk kimia yang semakin efisien, perbaikan pH tanah serta kapasitas tukar kation dan kapasitas sanggah tanah (buffer capacity) yang meningkat.

Pada sisi lain, PTFI memiliki permasalahan lain akibat operasi penambangannya. Kondisi lahan yang terkena dampak dari buangan limbah proses produksi tembaga PTFI, menjadi wilayah padang pasir yang memerlukan proses rehabilitasi. Hal ini disebabkan karena pengolahan batuan bijih di Mile 74 hanya menghasilkan 3% konsentrat tambang. Selebihnya, 97% merupakan pasir sisa tambang (SIRSAT) yang dialirkan melalui sungai Aghawagon, lalu dilanjutkan oleh sungai Otomona dan diendapkan di dataran rendah pada suatu kawasan seluas 230 km2

yang disebut Daerah Pengendapan Ajkwa dimodifikasi (Mod-ADA). Pengendapan SIRSAT di area Mod-ADA ini merupakan salah satu dampak penting yang harus dikelola PTFI1).

SIRSAT merupakan media yang sangat miskin unsur hara (N,P,K) dan bahan organik1). Dengan sifat-sifat dan karakteristik

kompos yang mempunyai kehandalan untuk memperbaiki sifat fisik, kima dan biologi tanah secara bersamaan, maka penggunaan kompos untuk merehabilitasi kawasan pengendapan SIRSAT, merupakan salah satu upaya yang paling tepat. Untuk itu, program reklamasi PTFI dilakukan dengan terlebih dahulu menanam kelompok tumbuhan yang mampu memfiksasi nitrogen yang dikombinasi dengan penggunakan kompos untuk membantu pertumbuhan awalnya1). Hal ini berati bahwa kebutuhan

PTFI akan kompos untuk program reklamasi area Mod-ADA cukup tinggi, belum lagi untuk kebutuhan lainnya.

(4)

Dengan mengacu pada kenyataan di atas, maka kegiatan pengomposan sampah dapur dan kebun, selain merupakan kegiatan pembinaan masyarakat dalam rangka tanggung jawab sosial perusahaan,dan sebagai upaya penanganan masalah persampahan, pada sisi lain produksi kompos yang dihasilkan memang dibutuhkan untuk merehabilitasi area pengendapan SIRSAT yang sangat luas. Pertanyaannya adalah berapa potensi produksi kompos yang dapat dihasilkan oleh masyarakat dengan menggunakan komposter yang telah dibagikan oleh PTFI? Bagaimana kualitas komposnya? Berapa banyak potensi tambahan pendapatan yang dapat diterima oleh warga binaan dalam rangka menjaga kelanggengan produksi? Hal-hal itulah yang melatar belakangi dilakukannya penelitian ini.

1.2 Tujuan Penelitian

Seperti yang telah disampaikan dalam latar belakang, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan:

a. Mengetahui potensi produksi kompos yang dapat dihasilkan oleh masyarakat binaan PTFI, dengan menggunakan komposter yang telah dibagikan.

b. Mengetahui kualitas kompos yang dihasilkan.

c. Mengetahui potensi tambahan pendapatan masyarakat binaan PTFI, yang dapat diperoleh dari memproduksi kompos. 2. METODOLOGI

2.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di tiga kota yang termasuk wilayah kerja PTFI, yaitu Timika, Kuala Kencana dan Tembagapura.

Rentang waktu penelitian pembuatan komposter serta pendampingan pembuatan kompos untuk mengevaluasi proses komposting dan mengetahui kualitas kompos

secara visual, dilakukan pada tahun 2010-2012. Sedangkan pengambilan sampel kompos untuk dianalisa kualitasnya secara laboratorium, dan wawancara dengan warga binaan di lapangan, terutama berkaitan dengan pemasaran komposnya dilakukan pada bulan Maret 2012.

2.2. Jenis Komposter

Komposter yang digunakan merupakan komposter aerobik rancangan peneliti PTL-BPPT, yang dibuat dengan menggunakan bahan: tong bekas kemasan karbit bervolume 110 liter, styrofoam bekas, net/jaring, dan karpet (lihat Gambar 1 dan Gambar 2). Komposter tersebut khusus dirancang, dibuat dan digunakan untuk kebutuhan PTFI, sehingga belum pernah digunakan di tempat lain.

(5)

2.3. Proses Pembuatan Kompos

Proses pembuatan komposnya dilakukan dengan sistem aerobik terkendali, dengan tahapan sebagai berikut:

Tahap 1. Sampah organik yang baik untuk dikomposkan, setelah dipisahkan dari sampah yang lain, dipotong-potong kecil sehingga berukuran 0,5-1 Cm.

Tahap 2. Memasukkan sampah ke dalam komposter, dicampur dengan kompos sekitar 3 kg yang berfungsi sebagai starter sekaligus conditioner. Sampah diaduk merata dengan kompos, kemudian diselimuti dengan karpet dan ditutup.

Tahap 3. Pada hari berikutnya dilakukan hal yang sama dengan tahap 1 dan tahap 2 sampai komposter penuh. Namun pemberian komposter sebanyak 3 kg, tidak diberikan lagi kalau kompos sebanyak 3 kg tersebut sudah diberikan semua pada hari pertama. Kalau pemberian komposnya dilakukan

sedikit demi sedikit, maka pemberian kompos tetap dilakukan sampai kompos sebanyak 3 kg habis. Setelah penuh, penambahan sampah tidak dilakukan lagi, namun proses pengadukan diusahakan tetap dilakukan setiap minggu sekali, sampai kompos matang dan siap dipakai.

2.3. Cara Penelitian

Untuk mengetahui potensi produksi kompos yang dihasilkan oleh seluruh komposter yang telah dibagikan oleh PTFI, serta tambahan pendapatan yang dapat diterima oleh warga binaan dari upaya pembuatan komposnya, dilakukan wawancara dengan perwakilan PTFI serta survai dan wawancara langsung ke warga binaan di lapangan.

Sedangkan untuk mengetahui kualitas kompos yang dihasilkan, dilakukan analisa lapangan dan laboratorium. Analisa lapangan merupakan analisa kualitas produk kompos secara visual langsung di lapangan berdasarkan parameter fisik seperti kadar air (kebasahan), bau, warna, kehancuran (struktur) fisik, keberadaan belatung, komposisi campuran sampah dan kesempurnaan pengadukan. Kegiatan tersebut dilakukan bersamaan dengan kegiatan pendampingan proses pembuatan kompos. Sedangkan analisa laboratorium dilakukan untuk mengetahui kualitas kompos secara laboratoris. Pengambilan sampel kompos yang mewakili 3 (tiga) lokasi wilayah kerja PTFI dilakukan di Kota Timika, Kuala Kencana dan Tembagapura. Analisa laboratorium dilakukan di Balai Penelitian Tanah Bogor, dengan parameter analisa mengikuti ketentuan Permentan No 70/ Permentan/SR.140/10/2011, Tentang Pupuk Organik, Pupuk Hayati dan Pembenah Tanah6). Analisa kualitas kompos dilakukan berdasarkan analisa parameter tingkat kematangan yaitu: rasio C/N, N-NH4/N-total dan N-NO3/N-NH4; serta kesesuaian dengan parameter berdasarkan Permentan Pupuk Organik6) atau SNI Kompos7)

Gambar 2. Proses Pendampingan Pembuatan Kompos

(6)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Potensi Produksi Kompos

Yang dimaksud dengan potensi produksi kompos pada kajian ini adalah produksi kompos maksimal per tahun yang dapat dihasilkan dari keseluruhan komposter yang telah dibagikan ke masyarakat binaan, dengan menggunakan asumsi waktu untuk satu periode proses pengomposan yang paling cepat.

Saat penelitian ini dilakukan, jumlah komposter yang dibagikan sebanyak 125 buah, dengan sebaran 80 komposter untuk warga binaan di Kota Timika, 30 komposter di Kuala Kencana dan 15 komposter di Tembagapura. Masing-masing warga binaan mendapatkan 1 (satu) buah komposter. Dengan volume tiap komposter yang kurang lebih 110 liter, maka total volume sampah dapur dan sampah kebun yang dikomposkan untuk setiap periode pembuatan kompos sebanyak: 125 X 110 liter = 13.750 liter atau 13,75 m3. Dari jumlah tersebut, yang

menjadi kompos untuk satu periode proses komposting sebanyak 25% nya, yaitu 3.437,5 liter atau 3,4375 m3, yang setara

dengan 1,7 ton (BJ kompos 0,5). Berat jenis kompos sebesar 0,5, sesuai dengan hasil penelitian lain pada umumnya8,9,10,11 & 12).

Berdasarkan wawancara di lapangan diperoleh informasi bahwa: untuk mengisi setiap komposter dengan sampah rumah tangga atau sampah kebun, setiap warga binaan membutuhkan waktu rata-rata selama 1 (satu) minggu, apabila bahan baku yang digunakan merupakan campuran antara sampah dapur dan sampah kebun. Sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk 1 (satu) periode pembuatan kompos sampai diperoleh kompos matang selama 6 (enam) minggu, hal ini sama dengan waktu proses pembuatan kompos secara umum8,9,10,11 & 12). Kemudian waktu untuk

panen kompos diasumsikan 1 (satu) minggu. Dengan demikian untuk satu periode proses

komposting dibutuhkan waktu selama 8 (delapan) minggu. Dengan menggunakan asumsi waktu tersebut, maka dalam periode satu tahun akan dihasilkan kompos sebanyak (52:8) X 1,7 ton = 11 ton.

Jumlah kompos yang dapat diproduksi tersebut (11 ton) per tahun, dapat membantu memenuhi kebutuhan kompos di wilayah kerja PTFI, namun masih jauh dibandingkan dengan kebutuhan kompos untuk mereklamasi kawasan pengendapan SIRSAT seluas 230 km2. Belum lagi untuk memenuhi kebutuhan yang lain. Menurut informasi di lapangan, permintaan kompos di Timika akhir-akhir ini meningkat setelah masyarakat mengetahui kualitas kompos yang diproduksi oleh warga binaan.

3.2. Kualitas Produksi Kompos

Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dapat dikatakan bahwa sebagian besar masyarakat binaan dapat membuat kompos dengan cara pembuatan kompos yang benar, seperti apa yang telah diajarkan dan dicontohkan oleh peneliti PTL-BPPT. Hanya sebagian kecil saja dari masyarakat binaan yang mengalami permasalahan dengan proses pembuatan komposnya. Permasalahan tersebut antara lain: terlalu basah, bau, muncul belatung, pengadukan yang tidak sempurna dan ukuran sampah yang masih terlalu besar karena tidak dilakukan proses pengecilan ukuran. Secara visual, produk komposnya berkualitas baik dan sesuai dengan ciri-ciri kompos matang yaitu: berwarna coklat kehitaman, strukturnya telah hancur dan berbau seperti tanah humus.

Sedangkan berdasarkan hasil analisa laboratorium, secara umum menunjukkan kualitas kompos yang baik. Hal ini dapat dilihat berdasarkan tingkat kematangan dan kesesuaiannya dengan Permentan 70 maupun dengan SNI Kompos, seperti terlihat pada Tabel 1.

(7)

NO Parameter Satuan

Kualitas Produk Kompos

Permentan

70 Th 2011 KomposSNI

Timika KencanaKuala Tembagapura

1 C-Organik % 20,00 12,25 9,24 min 15 9,8-32 2 C/N rasio 16 18 23 15-25 20-Oct 3 Kadar air % 37,04 70,30 32,21 15-25 <50 4 Logam berat AS Ppm td td Td maks 10 <13 Hg Ppm td 0,06 0,04 maks 1 <0,8 Pb Ppm 4 3 8 maks 50 <150 Cd Ppm 0,3 0,2 0 maks 10 <3 5 pH 7,4 7,4 8,9 4-9 6,8-7,49 6 Kadar total N Organik % 1,12 0,55 0,34 N-NH4 % 0,11 0,07 0,06 N-NO3 % 0,02 0,08 0,01 N-total % 1,25 0,70 0,41 >0,4 P205 % 0,26 0,16 0,22 >0,1 K20 % 0,65 0,44 1,05 >0,2 N+P205+K20 Min 4 7 Mikroba kontaminan

E. coli cfu/g;cfu/ml negatif negatif negatif <102 <103

Salmonella sp cfu/g;cfu/ml negatif negatif negatif <102 <12

8

Kadar unsur mikro

Fe Ppm 3898 2143 5714 0-8000 <20.000 Mn Ppm 212 191 169 0-5000 <1.000 Cu Ppm 94 13 37 0-5000 <100 Zn Ppm 136 82 135 0-5000 <500 9 Unsur lain La Ppm 0,0 0,0 0,0 0 Ce Ppm 0,0 0,0 0,0 0

Tabel 1. Kualitas Produk Kompos Berdasarkan Hasil Analisa Laboratorium

3.2.1. Analisa Tingkat Kematangan Kompos

Ada beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menilai tingkat kematangan kompos. Masing-masing parameter sebaiknya tidak digunakan secara mutlak (sendiri)4), melainkan dikombinasikan

dengan parameter yang lain. Salah satu parameter untuk menilai tingkat kematangan kompos adalah rasio C/N2,3,4 & 5). Kompos

dikatakan matang apabila rasio C/N nya turun menjadi lebih kecil dari 20 2,3,4 & 5).

Penggunaan rasio C/N untuk mengukur tingkat kematangan kompos menjadi valid apabila rasio awal dari bahan baku yang digunakan adalah 20-404), seperti umumnya rasio C/N sampah organik yaitu 37,9).

Hasil analisa rasio C/N kompos untuk lokasi Timika dan Kuala Kencana, sudah lebih kecil dari 20. Hanya untuk lokasi Tembagapura yang lebih besar dari 20, yakni

(8)

23. Namun nilai tersebut masih lebih kecil dari yang dipersyaratkan oleh Permentan 70. Dengan demikian produk kompos yang dihasilkan dari Timika dan Kuala Kencana dapat dikatakan memenuhi kriteria kompos matang berdasarkan rasio C/N. Adanya nilai rasio C/N yang berbeda pada masing-masing lokasi, menggambarkan perbedaan tingkat kematangan, karena pada akhirnya rasio C/N akan mendekati rasio C/N tanah yaitu 1213).

Perbandingan nilai antara N-NH4 dan N-total, dapat juga dijadikan untuk mengevaluasi nilai kematangan4). Kompos

dikatakan matang apabila nilai N-NH4 lebih kecil dari 10% N-total. Hasil penelitian pada Tabel 1, sudah menunjukkan nilai yang memenuhi kriteria kematangan, kecuali produk kompos yang berasal dari Tembagapura.

Begitu juga dengan perbandingan nilai N-NO3 dan N-NH4 dapat digunakan untuk menilai tingkat kematangan kompos

4,14). Kompos dikatakan matang apabila

rasio N-NO3/N-NH4>114). Hasil penelitian rentang rasio N-NO3/N-NH4 menunjukkan hanya untuk lokasi Kuala Kencana yang >1. Sedangkan untuk dua lokasi yang lain masih <1.

Berdasarkan pembahasan semua parameter tesebut di atas, dapat disimpulkan bahwa produk kompos yang dihasilkan dari lokasi Timika dan Kuala Kencana sudah memenuhi kriteria kompos matang, apalagi didukung dengan hasil pengamatan visual di lapangan. Yang tidak memenuhi kriteria kompos matang berdasarkan hasil analisa laboratorium adalah produk kompos yang berasal dari Tembagapura.

3.2.2. Kesesuaian Dengan Permentan Pupuk Organik dan SNI Kompos Secara umum dapat dikatakan bahwa kompos yang dihasilkan oleh warga binaan sudah memenuhi persyaratan Permentan Pupuk Organik atau SNI Kompos, walaupun ada beberapa parameter yang tidak

memenuhi, sehingga perlu dibahas lebih mendalam.

Kandungan C-organik kompos yang berada pada rentang 9,24% sampai 20%, memperlihatkan adanya produk kompos yang tidak memenuhi Permentan 70 yaitu > 15 %, atau SNI kompos yang membatasi batas bawahnya pada 9,8%. Data tersebut memberikan gambaran adanya produk kompos yang kurang kandungan C-organiknnya, namun tidak berarti bahwa kualitas komposnya rendah. Proses pengomposan merupakan proses penguraian C-organik yang terus berlangsung sampai terbentuk kestabilan Karbon. Besarnya persentase nilai kestabilan C-organik sangat ditentukan oleh nilai persentase besaran C-organik pada bahan baku awal, serta rasio C/N kompos yang dihasilkan. Adanya batas bawah kandungan C-organik, karena C organik merupakan unsur penting bagi pupuk organik dalam rangka untuk meningkatkan kandungan C-organik tanah yang pada umumnya sudah rendah sampai sangat rendah yaitu di bawah 2 %15).

Kadar air yang dipersyaratkan oleh Permentan 70 sebesar 15-25%, sedangkan yang dipersyaratkan SNI sebesar 50% (maksimum) atau yang umumnya disarankan oleh para ahli sebesar 35-45%2,3,4 & 5). Kalau

dianalisis, maka angka kadar air yang ditentukan oleh Permentan 70, merupakan angka yang terlalu rendah untuk kadar air kompos. Angka yang ideal adalah angka yang banyak dikemukakan para ahli, yaitu 35-45%. Kadar air kompos penelitian sebesar 32,21-70,30% memberikan gambaran kadar air yang masih terlalu tinggi, terutama apabila kompos tersebut akan dikemas. Tingginya kadar air tersebut disebabkan oleh penggunaan sampah dapur yang memang berkarakter basah. Kondisi demikian harus mendapatkan perhatian, karena akan menghambat proses pengomposan. Cara mengatasinya adalah dengan menambahkan bahan organik berkarakter kering (daun kering atau kompos) pada saat proses pengomposan

(9)

berlangsung, atau mengangin-anginkan terlebih dahulu kompos yang telah matang sebelum dilakukan pengemasan.

Kandungan logam berat dari kompos yang diteliti memenuhi persyaratan Permentan 70 ataupun SNI kompos. Dengan demikian tidak perlu ada keraguan untuk menggunakan produk komposnya karena khawatir terkontaminasi logam berat.

Tingkat keasaman (pH) merupakan parameter yang perlu pula untuk diperhatikan, karena pada awal proses pengomposan akan terjadi penurunan pH sebagai akibat penguraian bahan organik menjadi asam-asam organik 2,3,4,5). Setelah itu pH terus

naik menjadi netral sampai cenderung basa. Kalau pH suatu produk pupuk kompos asam, berarti kompos tersebut ada kecenderungan belum matang dan berbahaya bagi tanaman, terutama untuk pembibitan tanaman. Standar pH menurut Permentan 70 sebesar 4-9, sebenarnya kalau dicermati, nilai batas bawahnya terlalu rendah. Sebagai perbandingan nilai pH menurut SNI adalah 6,8-7,49. Kompos hasil penelitian memiliki rentang pH 7,4-8,9, memberikan nilai pH yang cukup baik.

Standar Permentan 70, membatasi total kandungan unsur pupuk (N+P2O5+K2O) pada batas minimal 4%, sedangkan SNI membatasi pada batas bawah untuk masing-masing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai masing-masing unsur yaitu N total, P2O5 dan K2O dari kompos yang diteliti lebih besar dari batas minimal masing-masing unsur menurut SNI kompos, sehingga dapat dikatakan berkualitas baik. Namun kalau mengikuti standar Permentan 70, maka nilai total (N+P2O5+K2O) hasil penelitian tidak memenuhi, karena standar Permentan 70 memang terlalu tinggi untuk pupuk organik murni.

Unsur mikro merupakan zat yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah sedikit dan tidak boleh berlebihan. Kandungan unsur mikro dari kompos yang diteliti secara keseluruhan memenuhi standar Permentan atau SNI Kompos.

3.3. Potensi Tambahan Pendapatan yang Dapat Diperoleh Masyarakat Binaan Yang dimaksud dengan potensi tambahan pendapatan pada kajian ini adalah tambahan pendapatan maksimal yang dapat diperoleh oleh masyarakat binaan apabila memproduksi kompos secara terus menerus, dengan menggunakan asumsi waktu untuk satu periode proses pengomposan yang paling cepat.

Sudah disampaikan bahwa dari 125 buah komposter, potensi kompos yang dapat dihasilkan sebanyak 11 ton per tahun. Kalau masing-masing masyarakat binaan memproduksi kompos dengan menggunakan satu buah komposter, maka potensi jumlah kompos yang dapat dihasilkan oleh setiap masyarakat binaan sebanyak 88 kg. per tahun.

Informasi yang diperoleh dari lapangan, baik dari perwakilan PTFI maupun dari masyarakat binaan, dinyatakan bahwa seluruh kompos yang dihasilkan oleh masyarakat binaan akan diambil oleh pihak PTFI sebagai bantuan pemasaran. Dengan produksi kompos yang dihargai Rp.5.000,- per kg, maka setiap masyarakat binaan per tahunnya mempunyai potensi tambahan pendapatan dari memproduksi kompos sebanyak Rp.440.000,-. Nilai tersebut mungkin tidak ada artinya bagi masyarakat binaan yang keluarganya bekerja sebagai karyawan PTFI, sehingga bagi mereka produksi komposnya biasanya tidak dijual, tapi cenderung digunakan sendiri untuk pupuk tanaman hias di rumahnya masing-masing. Tapi bagi masyarakat binaan yang merupakan penduduk asli, nilai tersebut cukup bermanfaat untuk digunakan sebagai tambahan membeli kebutuhan hidupnya. 4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat ditarik beberapa

(10)

kesimpulan sebagai berikut:

1. Kegiatan masyarakat binaan di wilayah kerja PTFI dalam pembuatan kompos dengan menggunakan komposter aerobik, dilatar belakangi oleh tiga hal utama yaitu: kewajiban atau tanggung jawab sosial perusahaan dalam rangka ikut memajukan kesejahteraan masyarakat, permasalahan keamanan transportasi untuk membawa sampah ke TPA yang tidak mendukung, serta kebutuhan kompos yang tinggi untuk mereklamasi area Mod-ADA seluas 230 km2.

2. Potensi produksi kompos yang dapat dihasilkan oleh masyarakat binaan dengan menggunakan 125 buah komposter yang telah dibagikan oleh PTFI, sebesar 11 ton per tahun. Jumlah tersebut masih jauh dari kebutuhan PTFI.

3. Kualitas kompos yang dihasilkan cukup baik, sebagian besar memenuhi kriteria kompos matang serta standar Permentan Pupuk Organik dan SNI Kompos.

4. Potensi tambahan pendapatan yang dapat diterima oleh masyarakat binaan, sebagai hasil dari pembuatan komposnya adalah sebesar Rp. 440.000 per orang per tahun.

4.2. Saran

Untuk meningkatan produksi kompos dalam rangka memenuhi kebutuhan kompos di Timika dan sekitarnya, disarankan untuk dilakukan upaya-upaya sebagai berikut:

1. Meningkatkan/menambah jumlah komposter yang dibagikan kepada masyarakat binaan.

2. Memberikan bimbingan dan pendampingan yang berkelanjutan terhadap warga binaan, sehingga tetap semangat untuk memproduksi kompos.

3. Membangun plant-plant komposting skala lingkungan, yang dikelola oleh masyarakat binaan.

DAFTAR PUSTAKA

1. PT Freeport Indonesia, 2010. Tembagapura: Tambang, Keunikan dan Keindahan Alam di Sekitarnya, PTFI Jakarta.

2. Haug, R.T., 1980. Compost Engineering. Principles and Practice, An Arbor Science Publisher Inc., Michigan. 3. Tchobanouglous, G., H. Theisen and

S. Vigil, 1993. Integrated Solid Waste Management, Engineering Principles and Management Issues. Mc Graw-Hill Inc., USA.

4. Epstein, E., 1997. The Science of Composting. Technomic Publishing Company Inc., USA.

5. Wahyono, S., F.L. Sahwan dan F. Suryanto, 2003. Menyulap Sampah Menjadi Kompos. Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan, BPPT, Jakarta.

6. Menteri Pertanian Republik Indonesia, 2011. Peraturan Menteri Pertanian No 70/Permentan/SR.140/10/2011, Tentang Pupuk Organik, Pupuk Hayati dan Pembenah Tanah. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 137.

7. Badan Standarisasi Nasional, 2004. Standar Nasional Indonesia, SNI 19-7030-2004, Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik.

8. Sahwan, F.L., 1999. Karakteristik Kompos dari Sampah Kota di Plant P e n g k o m p o s a n Ta m b a k b o y o , Kabupaten Dati II Sleman, Yogyakarta. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia, BPPT, Volume 1 Nomor 4.

(11)

9. Sahwan, F.L., R. Irawati dan F. Suryanto, 2004. Efektivitas Pengkomposan Sampah Kota dengan Menggunakan “Komposter” Skala Rumah Tangga. Jurnal Teknologi Lingkungan, Pusat Teknologi Lingkungan-BPPT, 5(2): 134-139.

10. Sahwan, F.L., 2010. Kualitas Produk Kompos dan Karakteristik Proses Pengomposan Sampah Kota Tanpa Pemilahan Awal. Jurnal Teknologi L i n g k u n g a n , P u s a t Te k n o l o g i Lingkungan-BPPT, 11 (1): 79-85. 11. Sahwan, F.L., S. Wahyono dan F.

Suryanto, 2010. Kualitas dan Produksi Pupuk Organik Granul (POG) Sampah Kota serta Manfaatnya untuk Mengurangi Pengaruh Emisi Gas Rumah Kaca. Jurnal Teknologi L i n g k u n g a n , P u s a t Te k n o l o g i Lingkungan-BPPT, Edisi Khusus Global Warming.

12. Sahwan, F.L., S. Wahyono dan F. Suryanto, 2012. Kualitas Kompos Sampah Rumah Tangga yang Dibuat dengan Menggunakan “Komposter” Aerobik. Jurnal Teknologi Lingkungan, Pusat Teknologi Lingkungan-BPPT, 12 (3): 233-240.

13. Munawar, A., 2011. Kesuburan Tanah dan Nutrisi Tanaman. IPB Press, Bogor. 14. Hogg, D., J. Bart, E. Favoino, M.

Centemero, V. Caimi, F. Amlinger, W. Devliegher, W. Brinton and S. Antler, 2002. Review of Compost Standards in Belgium (Flanders). Nation Specific Supplement 2, The Waste and Resources Action Programme (WRAP). 15 Kementerian Pertanian Republik

I n d o n e s i a , 2 0 1 0 . P e m u l i h a n Kesuburan Tanah pada Lahan Sawah Berkelanjutan. Badan Litbang Pertanian dan Ditjen Tanaman Pangan.

Gambar

Gambar 1. Komposter yang Dipergunakan
Gambar 2. Proses Pendampingan Pembuatan  Kompos
Tabel 1. Kualitas Produk Kompos Berdasarkan Hasil Analisa Laboratorium

Referensi

Dokumen terkait

Menyusun kubus menyerupai stupa, digunakan untuk , mengenalkan warna mengenalkan jumlah motorik halus konsentrasi Harga Rp.45.000,- Menara Balok Digunakan untuk :

Energi surya yang diterima kolektor surya sebagian diserap oleh kaca penutup, sebagian dipantulkan kembali ke udara dan sebagian lagi diteruskan ke pelat kolektor. Dengan demikian,

kesempatan kepada siswa untuk memilih atau membuat keputusan sendiri terkait tugas-tugas akedemik sesuai dengan.. sekolah; adanya involvement dimana teman sebaya

Governance dalam setiap kegiatan usaha Bank pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi. 5) Direksi dalam penyelenggaraan tugas yang bersifat strategis

Selain itu, dampak liniernya yaitu menyebabkan banyaknya para lulusan SMK yang menganggur bahkan melanjutkan kuliah yang tidak relevan dengan kejuruan yang mereka miliki

Pada penelitian ini, akan dibahas mengenai open problems yang diberikan oleh Cechlarova (2005) yaitu menentukan generator-generator untuk himpunan semua possible eigenvector dari

Dalam Undang-undang No 23 tahun 2004 ini meskipun memberikan perlindungan bagi korban tindak kekerasan dalam rumah tangga tapi dalam undang-undang terdapat unsur-unsur

  Penilaian  proses  dan  hasil    Aip Syarifudin, Muhadi.  (1993). Pendidikan  Jasmani dan Ksehatan.  Dirjen Dikti Depdikbud