• Tidak ada hasil yang ditemukan

Naskah Publikasi. Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Sains. Oleh : Titin Nuraeni NIM. M

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Naskah Publikasi. Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Sains. Oleh : Titin Nuraeni NIM. M"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

KADAR ALBUMIN, HEMOGLOBIN (Hb), DAN ZAT BESI (Fe) PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) SETELAH PEMBERIAN MAKANAN

ENTERAL BERFORMULASI BAHAN PANGAN LOKAL

Naskah Publikasi

Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Sains

Oleh : Titin Nuraeni NIM. M0405063

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2009

(2)

PENGESAHAN

Naskah Publikasi

KADAR ALBUMIN, HEMOGLOBIN (Hb), DAN ZAT BESI (Fe) PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) SETELAH PEMBERIAN MAKANAN

ENTERAL BERFORMULASI BAHAN PANGAN LOKAL

Oleh: Titin Nuraeni NIM. M0405063

Telah disetujui untuk dipublikasikan

Surakarta, Juni 2009 Pembimbing I

Shanti Listyawati, M.Si. NIP. 19690608 199702 2 001

Pembimbing II

Dra. Dini Ariani, M.Si. NIP. 19670605 199403 2 008

Mengetahui Ketua Jurusan Biologi

Dra. Endang Anggarwulan, M. Si NIP. 19500320 197803 2 001

(3)

KADAR ALBUMIN, HEMOGLOBIN (Hb), DAN ZAT BESI (Fe) PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) SETELAH PEMBERIAN MAKANAN

ENTERAL BERFORMULASI BAHAN PANGAN LOKAL

THE LEVEL OF ALBUMIN, HAEMOGLOBIN (Hb), AND IRON (Fe) IN WHITE RAT (Rattus norvegicus) AFTER THE FEEDING OF ENTERAL

NUTRITION FORMULATED WITH LOCAL FOOD MATERIAL

Titin Nuraeni, Shanti Listyawati, dan Dini Ariani

Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Sebelas Maret University, Surakarta

ABSTRACT

Enteral nutrition is nutrition used to fulfill the needs of nutrition entirely and as the suplement for malnutrition patient. In a certain condition of patient, this nutrition is usually given in the form of liquid. Local material foods such as tempe, rice, mung bean, and ganyong have adequate nutrition, therefore they are suitable for being used as main raw materials in the making of enteral nutrition. The aim of this research is to know the influence of feeding enteral nutrition formulated with local food material toward malnutritious white rats (Rattus norvegicus) of which the parameters are weight, albumin, haemoglobin, and iron level.

This research used Completely Random Design (CRD). Twenty seven of malnutritious male white rats were devided into 3 groups of treatment with 9 repetition for each groups of the treatment. Group A was given enteral nutrition diet of formula A (with the compositions are tempe, rice, and mung bean as the main raw material), group B was given enteral nutrition diet of formula B (with the compositions are tempe, rice, mung bean, and ganyong as the main raw material), and group C (as the positive control) was given comercial enteral nutrition diet. The daily giving of enteral nutrition is 20 gram/day during 30 days and the rest of food was weighed every day. The measurement of weight, albumin, haemoglobin, and iron level firstly was done before the treatment is given. The next measurement was conducted in 15th day and 31st day.

The result data of this research was analyzed by Anava and DMRT test on the level of 5%. The result showed that the treatment of the enteral nutrition feeding of formula B was more optimal than formula A in terms of the way to increase the level of haemoglobin, albumin, and iron. Those three components will give positive effect toward the increasing of the weight of malnutritious white rats (Rattus norvegicus). Therefore, formula B is more proper to be developed as the main material of making enteral food in order to treat the malnutrition. Key words : Enteral nutrition, malnutrition, local food material, weight, albumin,

(4)

PENDAHULUAN

Dewasa ini perhatian terhadap terjadinya malnutrisi pada penderita yang sedang dirawat di rumah sakit telah meningkat. Resiko terjadinya malnutrisi pada pasien rawat inap (hospital malnutrition) berkisar antara 6-55%. Malnutrisi merupakan semua kelainan gizi yang dapat disebabkan ketidakseimbangan atau ketidakcukupan asupan makanan ke dalam tubuh, atau adanya gangguan metabolisme makanan di dalam tubuh (Dorland, 1996). Resiko terjadinya malnutrisi dapat mengakibatkan penurunan berat badan, yang biasanya akan diikuti dengan rendahnya kadar zat besi, hemoglobin dan albumin sehingga status gizi menurun (Hartono, 1997). Penurunan status gizi ini disebabkan tubuh mengalami defisiensi zat-zat gizi makro, seperti protein dan defisiensi zat-zat gizi mikro seperti zat besi.

Sebagai upaya untuk mengatasi malnutrisi adalah dengan pemberian asupan makanan yang adekuat salah satunya adalah dengan pemberian makanan enteral. Makanan enteral merupakan makanan yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan gizi secara keseluruhan maupun sebagai suplemen pada pasien yang diindikasikan akan atau mengalami malnutrisi (Madjid, 1987). Makanan enteral yang beredar saat ini umumnya impor sehingga harganya mahal dan tidak dapat dijangkau oleh masyarakat Indonesia golongan ekonomi bawah. Guna mengatasi masalah tersebut, maka dikembangkan makanan enteral dengan memanfaatkan bahan baku lokal Indonesia yaitu dari tempe, kacang hijau, beras, dan ganyong sebagai bahan utamanya.

Tempe dipilih sebagai salah satu bahan utama berdasarkan keunggulan yang dimiliki. Tempe dapat dijadikan sumber protein yang aman dan murah pada makanan dengan nilai cerna (digestibility) yang tinggi (Karyadi dan Hermana, 1995). Kacang hijau memiliki kelebihan dibanding kacang-kacangan yang lain, yaitu adanya tripsin inhibitor yang sangat rendah, paling mudah dicerna, dan paling kecil memberi pengaruh flatulensi (gas dalam lambung). Kacang hijau juga mempunyai nilai gizi yang tinggi serta dapat digunakan sebagai sumber vitamin dan mineral (Saneto dan Susanto, 1994). Sedangkan penggunaan beras karena merupakan salah satu bahan makanan sumber energi bagi manusia. Ganyong

(5)

selain mengandung karbohidrat yang cukup tinggi, juga mempunyai kandungan zat besi yang tinggi yakni 20–22 mg/100 gram (Numala, 2005).

Salah satu cara untuk mengetahui status gizi adalah dengan melakukan pengukuran berat badan dan biokimia darah (albumin, Hb dan zat besi). Berat badan digunakan karena berat badan sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang terjadi pada keadaan gizi, sehingga pada umumnya berat badan akan turun dengan menurunnya asupan makanan dan asupan gizi (Rohke, 1979).

Albumin merupakan protein yang penting untuk transport dan pengikat berbagai substansi dalam plasma, serta berperan untuk menjaga tekanan osmotik plasma (Hasan dan Indra, 2008). Kadar albumin dalam plasma berhubungan dengan simpanan protein dalam tubuh, sehingga adanya penurunan kadar albumin plasma dapat dijadikan indikasi adanya defisiensi protein di dalam tubuh.

Hemoglobin merupakan komponen utama eritrosit dan merupakan suatu protein yang banyak mengandung besi dan berperan penting dalam membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh (Meliana, 2004). Pemeriksaan kadar Hb sering dilakukan sebagai salah satu pemeriksaan yang dapat mengindikasikan adanya anemia dan malnutrisi yang dapat mengakibatkan penurunan status gizi.

Zat besi merupakan unsur mikronutrien yang penting bagi manusia. Zat besi terutama diperlukan dalam hemopoesis (pembentukan darah), yaitu dalam sintesa hemoglobin (Achmad, 2000). Dengan berkurangnya penyerapan zat besi, maka jumlah feritin (zat besi yang tersimpan dalam tubuh) juga akan berkurang yang akan berdampak pada menurunnya jumlah zat besi yang akan digunakan untuk sintesa hemoglobin sehingga dapat menimbulkan anemia (Susilo, 2002).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian makanan enteral berformulasi bahan pangan lokal terhadap tikus putih (Rattus norvegicus) malnutrisi dengan parameter berat badan, kadar albumin, kadar Hb, dan kadar zat besi, dan mengetahui formula makanan enteral yang memberikan hasil paling optimal dalam meningkatkan parameter tersebut di atas.

(6)

BAHAN DAN METODE Bahan

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah hewan uji tikus putih (R. norvegicus) jantan strain Wistar, umur 2 bulan yang diperoleh dari Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu Layanan Penelitian Pra-Klinik dan Pengembangan Hewan Percobaan (LPPT-LP3HP) UGM Yogyakarta, makanan enteral formula A, formula B dan formula C (sebagai kontrol), pakan gogek, KIT dari DIASYS untuk pemeriksaaan kadar albumin dan hemoglobin, HCl, HNO3 pekat. Sedangkan peralatan utama yang digunakan antara lain

Spektrofotometer HACH DR/2000, F-AAS (Flame Atomic Absorption Spectrofotometer) Perkin Elmer model 3110, peralatan gelas, mikrohematokrit. Tabel 1. Formulasi Makanan Enteral yang Digunakan sebagai Perlakuan

(jumlah/100 gram bahan) :

Formula A Formula B Formula C

Nama Bahan Jumlah Nama Bahan Jumlah Nama Bahan

Tepung beras 35 % Tepung beras 20 % Kaseinat

Tepung tempe 20 % Tepung tempe 20 % Lesitin kedelai Tepung kacang hijau 15 % Tepung kacang hijau 15 % Minyak nabati

Gula - Gula - Maltodekstrin

Margarine - Margarine - Sukrosa

Tepung ganyong 15 % Oligosakarida Vitamin Mineral Sumber: (Angwar dkk., 2008). Keterangan : Jumlah dari gula dan margarine pada formulasi A dan B tiap 100 gr

(7)

Tabel 2. Nilai Nutrisi Makanan Enteral yang Digunakan sebagai Perlakuan (kadar/100 gram bahan) :

Komposisi Formula A Formula B Formula C

Kadar air 3,66 g 3,67 g 2,89 g Kadar abu 1,26 g 1,56 g 2,04 g Lemak 9,45 g 9,49 g 10,35 g Protein 16,56 g 16,32 g 11,9 g Serat kasar 7,92 g 6,34 g - Karbohidrat 61,78 g 62,65 g 71,4 g

Kalori 398 Kal 401 Kal 425 Kal

Na 0,10 mg 0,11 mg 221 mg K 0,11 mg 0,16 mg 306 mg Ca 0,23 mg 0,24 mg 226,1 mg Mg 0,03 mg 0,03 mg 107,1 mg Fe 3,11 mg 3,48 mg 2,89 mg P 0,13 mg 0,14 mg 25, 86 mg Cl 0,15 mg 0,15 mg 10,34 mg Glukosa 17,77 mg 17,21 mg - Osmolaritas - - 300 mOsm/L Sumber: (Angwar dkk., 2008). Metode Penelitian

Rancangan percobaan berupa RAL (Rancangan Acak Lengkap) menggunakan 3 kelompok perlakuan dengan 9 ulangan pada masing-masing kelompok perlakuan. Kondisi malnutrisi dibuat dengan cara pemberian pakan gogek sebanyak 20 gram/hari selama 14 hari secara ad libittum. Pakan gogek merupakan pakan yang terbuat dari singkong yang parut, dan dimasak dengan cara dikukus, kemudian dikeringkan (seperti gaplek, namun ukurannya lebih kecil). Setelah pemberian pakan gogek selama 14 hari, tikus-tikus tersebut diperiksa berat badan, kadar albumin, zat besi dan hemoglobinnya (hari ke-0). Parameter tikus malnutrisi adalah berat badan kurang dari 150 gram, kadar

(8)

albumin kurang dari 3,0 g/dL, kadar hemoglobin kurang dari 10 g/dL, dan kadar zat besi total dalam darah kurang dari 350 µg/ml (Speicher, 1994).

Makanan enteral dalam bentuk tepung dibuat pellet. Tikus putih diberi perlakuan pakan pellet yang dibuat dari makanan enteral formula A, B, dan C sebanyak 20 gram/tikus/hari. Pakan dan minum tikus diberikan secara ad libittum. Perlakuan diberikan setiap pagi hari sekitar pukul 07.00-08.00 WIB selama 30 hari. Setiap hari dilakukan penimbangan sisa pakan untuk dapat mengetahui asupan makanan dari tikus tersebut tiap harinya. Pada hari ke-15 dan ke-31 setelah perlakuan, dilakukan penimbangan berat badan tikus dan diambil darahnya untuk dilakukan pengukuran kadar albumin, kadar hemoglobin, dan kadar zat besi.

Pengukuran berat badan dilakukan dengan cara kandang tikus ditimbang terlebih dahulu, setelah itu tikus dimasukkan ke dalam kandang dan dilakukan penimbangan kembali terhadap kandang dan tikus. Berat badan tikus diperoleh dengan menghitung selisih antara berat tikus dan kandang dikurangi berat kandang.

Pengukuran kadar albumin dilakukan dengan menggunakan kit dari DiaSys. Darah diambil sebanyak 10 µl dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian dicampur dengan reagen (yaitu campuran dari bromocresol green dan citrate buffer) sebanyak 1000 µl. Sebagai blanko, digunakan 10 µl aquades yang dicampur dengan 1000 µl reagen. Kedua larutan tersebut kemudian diinkubasi selama 10 menit dan dibaca absorbansinya terhadap blanko reagen dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm. Perhitungan kadar albumin dilakukan dengan menggunakan rumus: Skala sampel / Skala standar x Konsentrasi standar.

Pengukuran kadar hemoglobin juga dilakukan dengan menggunakan kit dari DiaSys. Cara pengukurannya adalah sebanyak 20 µl darah dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan reagen (yang terdiri dari campuran potassium cyanida, potassium hexacyanoferrate, fosfat buffer, dan detergen) sebanyak 5000 µl dan dicampur dengan menggunakan vorteks hingga homogen. Detergen digunakan untuk mempercepat dan menyempurnakan reaksi antara

(9)

sampel dan reagen. Setelah itu, diinkubasi selama 3 menit lalu dibaca absorbansinya pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 540 nm. Sebagai blanko digunakan larutan reagen sebanyak 5000 µl. Kadar Hb dapat dihitung dengan rumus : absorbansi x 36,8 g/dL.

Kadar zat besi total dalam darah diukur dengan F-AAS. Sebanyak 1 ml sampel darah dimasukkan ke dalam cawan porselen, dipanaskan dengan menggunakan oven pada suhu 1100 C selama 5 jam. Kemudian dilanjutkan dengan memanaskan sampel tersebut ke dalam mufel furnase dengan suhu 500-6000 C selama 6 jam. Setelah terbentuk abu, sampel dipindahkan ke dalam gelas labu/labu ukur 100 ml, ditambahkan 50 ml aquarigia (merupakan campuran dari HCl : HNO3 = 1 : 3) dan dipanaskan di atas hot plate dengan suhu 1000 C selama

semalam. Jika telah kering, sampel dipindahkan kembali ke dalam gelas labu yang baru, ditambahkan 1-2 ml HNO3 pekat, kemudian dipanaskan kembali hingga

jernih. Sampel yang telah jernih dipindahkan ke dalam botol film. Setelah itu dilakukan pengenceran dengan menambahkan 10 ml aquades. Sampel kemudian dianalisis dengan menggunakan alat F-AAS pada panjang gelombang 248,3 nm dan hasilnya dibandingkan dengan hasil kurva pada larutan standar besi.

Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan menggunakan Analysis Of Variance (ANAVA) kemudian dilakukan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada taraf 5% apabila menunjukkan hasil yang signifikan untuk mengetahui letak perbedaan antar perlakuan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Berat Badan

Berat badan pada umumnya akan turun dengan menurunnya asupan makanan dan asupan gizi (Rohke, 1979), dan pada saat kondisi asupan makanan dan gizi tercukupi, berat badan akan mengalami peningkatan hingga mencapai berat badan normal. Dari hasil pengukuran berat badan, menunjukkan bahwa berat badan tikus putih (R. norvegicus) malnutrisi meningkat dengan pemberian formula makanan enteral, hal ini dapat dilihat pada Gambar 1. Peningkatan berat badan paling besar terjadi pada kelompok perlakuan A (diet makanan enteral

(10)

formula A) yaitu 93,89 gram, sedangkan pada kelompok perlakuan B 83,11 gram dan pada kelompok perlakuan C nilai rata-rata peningkatan berat badannya adalah 71,00 gram. 1 2 4 .3 3 2 1 8 .2 2 9 3 .8 9 1 4 0 .5 6 2 2 3 .6 7 8 3 .1 1 1 3 5 .2 2 2 0 6 .2 2 7 1 .0 0

0%

25%

50%

75%

100%

B e ra t b a d a n ( G ra m )

A

B

C

Kelom pok perlakuan

Peningkatan berat badan

Berat badan hari ke-31

Berat badan hari ke-0

Gambar 1. Histogram rata-rata peningkatan berat badan pada tikus putih (Rattus norvegicus) setelah perlakuan pemberian makanan enteral dengan formula yang berbeda selama 30 hari

Hasil uji Anava memperlihatkan bahwa perbedaan formula makanan enteral yang diberikan adalah faktor yang signifikan berpengaruh terhadap peningkatan berat badan tikus putih yang mengalami malnutrisi (p<0,05). Hasil uji DMRT pada taraf signifikansi 5% menunjukkan beda nyata pada semua kelompok perlakuan.

Pertumbuhan berat badan dinyatakan dengan pengukuran berat badan tiap hari atau tiap minggu, yang ditentukan oleh banyaknya jumlah makanan yang masuk ke dalam tubuhnya (Tillman et al., 1994). Pakan sebagai faktor yang sangat besar pengaruhnya untuk metabolisme di dalam tubuh, aktivitas produksi, dan kelebihannya akan disimpan dalam tubuh dalam bentuk lemak dan daging. Menurut Rahardjo (2005), rata-rata jumlah konsumsi makanan mempunyai pengaruh yang kuat dan nyata terhadap kenaikan berat badan. Hal ini juga sesuai dengan yang dikatakan Soetjiningsih (1988), bahwa asupan makanan merupakan salah satu faktor penyebab kenaikan berat badan.

Keterangan: A :Makanan enteral formula A B :Makanan enteral formula B C :Makanan enteral formula C

(11)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ariani dkk., (2009), kelompok perlakuan A memiliki kadar trigliserida yang paling tinggi jika dibandingkan dengan kelompok B dan C. Menurut Sun (2006), trigliserida merupakan lemak utama di dalam tubuh, dibentuk di hati dari gliserol dan lemak yang berasal dari makanan. Hampir seluruh trigliserida terutama yang bersifat jenuh dapat diserap oleh tubuh sehingga konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh tinggi memberikan kontribusi besar dalam meningkatkan kadar trigliserida dalam darah. Fungsi utama trigliserida adalah sebagai zat energi. Lemak disimpan di dalam tubuh dalam bentuk trigliserida. Kandungan karbohidrat dalam makanan dapat mempengaruhi kadar trigliserida dalam darah, yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap berat badan (Almatsier, 2001). Trigliserida tinggi seringkali berkaitan dengan kegemukan. Kelebihan trigliserida akan ditimbun dalam jaringan di bawah kulit, sehingga berat badan akan cenderung mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan kadar trigliserida di dalam tubuh.

Kadar Albumin

Kadar albumin dalam plasma berhubungan dengan simpanan protein dalam tubuh. Albumin memiliki ekskreta simpanan sintesis di hati yang cukup besar, sehingga adanya penurunan kadar albumin dalam plasma dapat dijadikan indikasi adanya defisiensi protein dalam tubuh. Salah satu faktor yang dapat menyebabkan perubahan konsentrasi albumin adalah malnutrisi. Dari hasil pengukuran kadar albumin, menunjukkan bahwa kadar albumin tikus putih (R. norvegicus) malnutrisi mengalami peningkatan setelah pemberian perlakuan formula makanan enteral, hal ini dapat dilihat pada Gambar 2. Peningkatan nilai rata-rata kadar albumin paling besar terjadi pada kelompok perlakuan B yaitu sebesar 2,13 g/dL, sedangkan pada kelompok perlakuan A dan C, nilai rata-rata peningkatan kadar albumin masing-masing sebesar 1,35 g/dL dan 1,56 g/dL.

(12)

2 .6 0 3 .9 4 1 .3 5 2 .6 2 4 .7 6 2 .1 3 2 .6 1 4 .1 8 1 .5 6

0%

25%

50%

75%

100%

K a d a r a lb u m in ( g /d l)

A

B

C

Kelompok perlakuan Peningkatan kadar albumin

Kadar albumin hari ke-31

Kadar albumin hari ke-0

Gambar 2. Histogram rata-rata peningkatan kadar albumin pada tikus putih (Rattus norvegicus) setelah perlakuan pemberian makanan enteral dengan formula yang berbeda selama 30 hari

Hasil analisis statistik dengan uji Anava dan DMRT pada taraf 5%, menunjukkan kadar albumin berbeda nyata pada semua kelompok perlakuan. Menurut Suliantari (1994), daya cerna protein cenderung meningkat dengan semakin banyaknya variasi bahan pangan yang ditambahkan ke dalam pembuatan suatu bahan makanan, sehingga akan semakin meningkatkan jumlah asam amino yang diserap oleh tubuh. Hal ini penting, karena dengan semakin banyaknya asam amino suatu protein dapat diserap oleh tubuh, maka pemanfaatan asam-asam amino pada protein tersebut juga semakin maksimal sehingga akan dapat meningkatkan kadar albumin dalam darah.

Kandungan protein pada formula makanan enteral A lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang terkandung pada formula makanan enteral B (Tabel 2), namun peningkatan kadar albumin pada kelompok perlakuan A lebih rendah daripada kelompok perlakuan B. Hal ini karena adanya kandungan serat kasar yang juga cukup tinggi pada formula makanan enteral A (pada Tabel 2). Menurut Zahidah (2000), serat kasar mengandung selulosa yang tinggi. Selulosa akan mencegah menggumpalnya makanan dalam lambung dan usus dengan cara memberi pengaruh pencahar dan mempertahankan tanus otot dalam saluran pencernaan. Efek pencahar ini mengakibatkan makanan lebih cepat melewati

Keterangan: A :Makanan enteral formula A B :Makanan enteral formula B C :Makanan enteral formula C

(13)

saluran pencernaan sehingga dapat menurunkan absorpsi terhadap zat-zat makanan, salah satunya adalah protein sehingga zat-zat makanan yang terkandung dalam makanan tersebut lebih banyak yang terbuang.

Kadar Hemoglobin (Hb)

Hemoglobin merupakan komponen utama eritrosit dan merupakan suatu protein yang banyak mengandung besi dan berperan penting dalam membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh (Meliana, 2004). Sintesis hemoglobin selain dipengaruhi oleh ketersediaan zat besi, juga dipengaruhi oleh kecukupan protein. Adanya defisiensi zat besi maupun protein dalam asupan makanan sehari-hari dapat menyebabkan terjadinya gangguan sintesis Hb. Dari hasil pengukuran kadar hemoglobin, menunjukkan bahwa kadar hemoglobin tikus putih (R. norvegicus) malnutrisi meningkat setelah pemberian perlakuan formula makanan enteral, hal ini dapat dilihat pada Gambar 3.

7 .7 7 1 1 .8 0 4 .0 3 8 .0 4 1 3 .3 7 5 .3 3 7 .7 8 1 2 .6 9 4 .9 1

0%

25%

50%

75%

100%

K a d a r H b ( g /d l)

A

B

C

Kelompok perlakuan Peningkatan Kadar Hb

Kadar Hb hari ke-31 Kadar Hb hari ke-0

Gambar 3. Histogram rata-rata peningkatan kadar hemoglobin pada tikus putih (Rattus norvegicus) setelah perlakuan pemberian makanan enteral dengan formula yang berbeda selama 30 hari

Hasil uji Anava memperlihatkan bahwa perbedaan formula makanan enteral yang diberikan adalah faktor yang signifikan berpengaruh terhadap peningkatan kadar hemoglobin tikus putih malnutrisi (p<0,05). Hasil uji DMRT taraf signifikansi 5% menunjukkan beda nyata pada semua kelompok perlakuan.

Keterangan: A :Makanan enteral formula A B :Makanan enteral formula B C :Makanan enteral formula C

(14)

Peningkatan kadar zat besi pada kelompok perlakuan A lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok perlakuan B, namun kadar hemoglobin pada kelompok perlakuan A lebih rendah jika dibanding dengan kelompok perlakuan B. Hal ini terjadi karena untuk menjadikan hemoglobin tidak hanya dibutuhkan zat besi saja tetapi juga asam amino khususnya asam amino glisin dan suksinil-koA untuk menjadikan protoporfirin dan akhirnya menjadi heme setelah berinteraksi dengan zat besi dengan bantuan enzim ferrocelatase, sedangkan untuk sintesis globin diperlukan asam amino, biotin, asam folat, vitamin B6, dan vitamin B12 (Susilo, 2002). Vitamin B12 berperan dalam menjaga agar sel-sel berfungsi normal, terutama sel-sel dalam sumsum tulang dan saluran pencernaan. Dalam sumsum tulang, koenzim vitamin B12 sangat diperlukan untuk sintesis DNA. Bila DNA tidak diproduksi, erythroblast tidak membelah diri tetapi membesar menjadi megaloblast (Winarno, 2004). Hal ini akan mengakibatkan terjadinya anemia karena daya angkut hemoglobin menjadi sangat terbatas.

Selain sebagai bahan pembentuk heme dan globin, protein juga diperlukan sebagai pembawa zat besi. Zat besi yang telah diserap oleh mukosa usus masuk ke dalam darah dan selanjutnya akan diikat oleh protein menjadi transferin dan disimpan di hati, limpa, dan sumsum tulang belakang untuk pembentukkan sel darah merah (eritropoiesis), sehingga apabila tubuh kekurangan asupan protein, juga akan mengakibatkan terganggunya sintesis hemoglobin.

Kadar Zat Besi (Fe)

Zat besi merupakan unsur mikronutrien yang penting bagi manusia. Zat besi terutama diperlukan dalam sintesa hemoglobin (Achmad, 2000). Pemeriksaan kadar zat besi total dalam darah dapat digunakan sebagai progres terjadinya malnutrisi. Hal ini karena zat besi merupakan unsur mikronutrien yang berperan penting untuk metabolisme di dalam tubuh, sehingga adanya penurunan kandungan zat besi dalam tubuh akan dapat mengganggu proses metabolisme tersebut dan dapat menyebabkan malnutrisi. Dari hasil pengukuran kadar zat besi yang dilakukan, menunjukkan bahwa kadar zat besi tikus putih (R. norvegicus)

(15)

malnutrisi mengalami peningkatan setelah diberi perlakuan formula makanan enteral, hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.

63.58 4 4 1 .9 8 4 1 7 .9 9 113.59 4 7 2 .8 0 3 9 9 .5 6 112.52 3 6 5 .5 4 2 7 5 .1 5 0% 25% 50% 75% 100% K a d a r z a t b e s i (µ g /m l A B C Kelompok perlakuan Peningkatan Fe Kadar Fe hari ke-31 Kadar Fe hari ke-0

Gambar 4. Histogram rata-rata peningkatan kadar zat besi pada tikus putih (Rattus norvegicus) setelah perlakuan pemberian makanan enteral dengan formula yang berbeda selama 30 hari

Berdasarkan Gambar 4, terlihat bahwa nilai rata-rata peningkatan kadar zat besi paling besar terjadi pada kelompok perlakuan A yaitu sebesar 417,99 µg/ml. Pada kelompok perlakuan B, peningkatan kadar zat besi sebesar 399,56 µg/ml, sedangkan pada kelompok perlakuan C peningkatan kadar zat besi hanya sebesar 275,15 µg/ml. Hasil analisis statistic menunjukkan kadar zat besi tidak berbeda nyata antara kelompok perlakuan A dan B, sedangkan dengan kelompok perlakuan C menunjukkan beda nyata.

Zat besi dalam tubuh terdiri atas dua bagian yaitu cadangan dan fungsional. Zat besi cadangan tidak mempunyai fungsi fisiologi selain sebagai buffer, yaitu menyediakan zat besi jika dibutuhkan untuk fungsi fisiologi. Zat besi yang bersifat fungsional berbentuk hemoglobin dan mioglobin. Apabila tubuh kekurangan asupan zat besi, maka tubuh akan mengaktifkan zat besi cadangan (Nurmiyati, 2006). Absorpsi besi tidak dipengaruhi oleh banyak sedikitnya makanan yang masuk ke dalam lambung. Faktor yang kemungkinan berpengaruh adalah kadar feritin, seperti yang dibuktikan pada penelitian yang dilakukan oleh Bovell-Benjamin et al., (2000), bahwa absopsi besi dipengaruhi oleh status besi

Keterangan: A :Makanan enteral formula A B :Makanan enteral formula B C :Makanan enteral formula C

(16)

dalam tubuh. Absorpsi besi akan meningkat pada tubuh dengan cadangan besi yang rendah.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Triawati (2002), pada keadaan defisiensi besi, kemampuan sel-sel mukosa usus dalam mengabsorpsi zat besi meningkat 10% hinggga 30%, sehingga jumlah zat besi yang masuk ke dalam darah cukup untuk meningkatkan kadar zat besi dalam serum. Tubuh yang kekurangan Fe akan mengatur agar kebutuhan zat besi untuk pembentukkan sel-sel darah merah tetap dapat terpenuhi. Oleh karena itu, sumsum tulang bekerja lebih aktif serta semua kegiatan pencernaan dan absorpsi berlangsung lebih efisien. Dengan demikian akan lebih banyak Fe yang diserap oleh tubuh.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, menunjukkan bahwa pemberian makanan enteral berformulasi bahan pangan lokal selama 30 hari mampu meningkatkan berat badan, kadar albumin, kadar hemoglobin, dan kadar zat besi pada tikus putih (R. norvegicus) malnutrisi. Peningkatan paling optimal terjadi pada kelompok perlakuan yang diberi makanan enteral formula B (dengan komposisi tempe, beras, kacang hijau, dan ganyong sebagai bahan utama), sehingga formula B lebih layak untuk dikembangkan sebagai bahan penyusun utama dalam pembuatan makanan enteral.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, D. S. 2000. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi di Indonesia Jilid I. Dian Rakyat, Jakarta.

Almatsier, Sunita. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Angwar, M., D. Ariani., Y. Khasanah., Ratnayani., P. Ditahardiyani. 2008. ' Pengembangan Formula Makanan Lewat Pipa (Mlp) Menggunakan Bahan Pangan Lokal'. Laporan Teknis Kegiatan Penelitian DIPA 2008. UPT BPPTK LIPI Yogyakarta.

Ariani, Dini., M. Angwar., Y. Khasanah., Ratnayani., P. Ditahardiyani. 2009. ' Pengembangan Formula Makanan Lewat Pipa (MLP) Menggunakan

(17)

Bahan Pangan Lokal'. Rencana Kegiatan Penelitian DIPA 2009. UPT BPPTK LIPI Yogyakarta.(Belum dipublikasikan)

Bovell-Benjamin AC, Viteri FE, and Allen LH. 2000. 'Iron Absorption from Ferrous Bisglycinate and Ferric Triglycinate in Whole Maize is Regulated by Iron Status '. American Journal Clinic and Nutrition (71) : 1563-1569 Dorland. 1996. Kamus Kedokteran Edisi 26. EGC Penerbit Buku Kedokteran,

Jakarta.

Hartono, Andry. 1997. Asuhan Nutrisi Rumah Sakit. EGC Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.

Hasan, Irsan., dan Tities Anggraeni Indra. 2008. ‘Peran Albumin dalam Penatalaksanaan Sirosis Hati’. Medicinus 21 (2) : 3-6

Karyadi, D dan H. Hermana. 1995. Potensi Tempe untuk Gizi dan Kesehatan. Pusat Penelitian Gizi, Bogor.

Madjid, Amir., dkk. 1987. ’Nutrisi Enteral pada Penderita Kritis’. Cermin Dunia Kedokteran 42 : 14-18

Meliana, Dina. 2004. ‘Studi Banding Beberapa Metode Pengukuran Kadar Hemoglobin’. Skripsi. Fakultas Kedokteran-UNS, Surakarta.

Numala, Sri. 2005. Tanaman Ganyong Bisa Jadi Substitusi Tepung Terigu. Http//www.Pikiranrakyat.com. [6 November 2008]

Nurmiyati, Irna. 2006. 'Hubungan Tingkat Konsumsi Protein dan Zat Besi dengan Kadar Hemoglobin pada Ibu Hamil di Puskesmas Kandangan Tahun 2005'. Berkala Kedokteran 5 (1) : 62-69

Rahardjo, Sri Setyo., Ngatijan., dan Suwijiyo Pramono. 2005. 'Influence of Etanol Extract of Jati Belanda Leaves (Guazuma ulmifolia Lamk.) On Lipase Enzym Activity of Rattus norvegicus Serum'. INOVASI Online Vol.4/XVII/Agustus 2005

Rokhe, J. E. 1979. Prioritas Pediatri di Negara Berkembang. Yayasan Estetika Medika, Penerbit Buku-buku Ilmiah Kedokteran, Yogyakarta.

Saneto, dan T. Susanto. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian. PT. Bina Ilmu, Surabaya.

Soetjiningsih, 1988, Obesitas Pada Anak, dalam Tumbuh Kembang Anak. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Surabaya, Hal. 185-90.

(18)

Speicher, Carl E., & Jack W. Smith. 1994. Pemilihan Uji Laboratorium yang Efektif. Editor: Siti Boedina Kresno. EGC Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.

Suliantari. 1994. 'Komplementasi Kedelai dengan Beras untuk Pembuatan Tempe'. Buletin Teknologi dan Industri Pangan 5 (2) : 61-66

Sun, Hembing. 2006. Mengendalikan Kolesterol Tinggi dengan Herba & Pola Hidup Sehat. http://cybernews.cbn.net.id/cbprtl/cybernews/index.htm [14 Mei 2009]

Susilo, Joko., dan Hamam Hadi. 2002. 'Hubungan Asupan Zat Besi dan Inhibitornya sebagai Prediktor Kadar Hemoglobin Ibu Hamil di Kabupaten Bantul Propinsi DIY'. Berita Kedokteran Masyarakat 18 (1) : 1-8

Tillman., et al. 1994. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta.

Triawanti. 2002. 'Pengaruh Pemberian Zat Besi dan Kalsium dengan Kombinasi Dosis terhadap Kadar Besi Serum'. Berkala Kedokteran 2 (2) : 9-16 Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Zahidah, Ida Irfan. 2000. 'Pengaruh Pemberian Pakan Tepung Ampas Tahu dan

Pakan Bekatul terhadap Peningkatan Berat Badan Burung Puyuh (Catuirnix-caturnix japanica) Umur 1 Hari sampai 35 Hari'. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan-UGM, Yogyakarta.

Gambar

Tabel  1.  Formulasi  Makanan  Enteral  yang  Digunakan  sebagai  Perlakuan  (jumlah/100  gram bahan) :
Tabel  2.  Nilai  Nutrisi  Makanan  Enteral  yang  Digunakan  sebagai  Perlakuan  (kadar/100 gram bahan) :
Gambar  1.  Histogram  rata-rata  peningkatan  berat  badan  pada  tikus  putih  (Rattus norvegicus) setelah perlakuan pemberian makanan enteral  dengan formula yang berbeda selama 30 hari
Gambar  2.  Histogram  rata-rata  peningkatan  kadar  albumin  pada  tikus  putih  (Rattus norvegicus) setelah perlakuan pemberian makanan enteral  dengan formula yang berbeda selama 30 hari
+3

Referensi

Dokumen terkait

Hamvas érsek javaslatokat is tett a görög püspöknek a liturgia előkészületeire: egy bemondó kijelölését, aki latin nyelven ismerteti a szertartás történetét és

Berdasarkan data di dapatkan Kemandirian penderita stroke pada perawatan kulit yang di bantu terdapat 8 responden (53,7%) dan yang mandiri terdapat 7

Tentunya untuk menjaga id ini dan password admin ini, seorang administrator harus menjaganya selayaknya dia menjaga keluarganya sendiri.. All

Program utama terdiri dari: Observasi lapangan, proses belajar mengajar, dan peserta didik, Pembuatan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Pembuatan media

Berdasarkna uraian yang telah dipaparkan, maka dalam penelitian ini penulis tertarik untuk meneliti lebih dalam apakah disiplin kerja akan berpengaruh terhadap kinerja dengan

Likuiditas, Tingkat Kecukupan Modal, Dan Efisiensi Operasional Terhadap Profitabilitas Bank Perbankan Yang Terdaftar Di BEI

Hal kedua adalah bahwa gagasan pemikiran aliran hukum kodrat bertolak dari filsafat idealisme, sesuatu yang tidak klop dengan keinginan Pak Tjip untuk menjadikan hukum

QUANTITIES REPRESENT ACTUAL REPORTED WEIGHT, NOT ESTIMATED FROM THE NUMBER OF PACKAGES. 4) SALES HELD DURING A WEEK OVERLAPPING THE END OF THE MONTH ARE ATTRIBUTED WHOLLY TO THE