• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN INTELIJEN NEGARA DALAM UPAYA CEGAH DINI TERHADAP ANCAMAN KONFLIK PASCA PEMILIHAN PRESIDEN 2019

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAN INTELIJEN NEGARA DALAM UPAYA CEGAH DINI TERHADAP ANCAMAN KONFLIK PASCA PEMILIHAN PRESIDEN 2019"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

408

PERAN INTELIJEN NEGARA DALAM UPAYA CEGAH DINI

TERHADAP ANCAMAN KONFLIK PASCA PEMILIHAN PRESIDEN 2019

Muhammad Dzaky Akbar ABSTRAK

Intelijen negara menurut Undang-undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara merupakan lembaga pemerintah yang berperan melakukan deteksi dini dan peringatan dini dalam rangka mewujudkan kepentingan nasional dan keamanan nasional. Ancaman nasional saat ini berkembang signifikan seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah Ancaman apakah yang dapat terjadi pasca Pemilihan presiden 2019. Tindakan apakah yang dapat dilakukan untuk mencegah konflik pasca pemilihan presiden 2019. Penelitian ini menggunakan pendekatan deduktif empiris. Pendekatan deduktif dilakukan terhadap peristiwa-peristiwa yang telah terjadi sebelumnya dan berkaitan dengan penelitian, sedangkan pendekatan empiris dilakukan untuk mempelajari peraturan hukum dan kenyataannya yang terjadi pada perilaku. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diketahui bahwa: Ancaman pada ruang siber merupakan ancaman nyata yang harus diwaspadai oleh Intelijen Negara. Demonstrasi yang digerakkan melalui propaganda dan penciptaan opini lewat media masa harus mampu diantisipasi. Intelijen Negara harus mampu mengoptimalkan fungsi deteksi dini dan peringatan dini terutama pada ruang siber untuk mencegah setiap potensi ancaman terhadap keamanan dan kepentingan nasional. Diperlukan modernisasi peralatan intelijen serta peningkatan kemampuan personil intelijen guna menghadapi ancaman pada era 4.0. Badan Intelijen negara sebagai koordinator Intelijen Negara harus mampu mensinergiskan kinerja antar instansi intelijen baik di tingkat nasional maupun daerah.

Kata Kunci: Ancaman, Pilpres 2019, Siber, Peran, Intelijen. ABSTRACT

State intelligence according to Law Number 17 of 2011 concerning National Intelligence is a government institution whose role is to conduct early detection and early warning in order to realize national interests and national security. National threats are currently developing significantly along with the development of technology and information. The problem in this study is what threat can occur after the 2019 presidential election. What actions can be taken to prevent conflict after the 2019 presidential election. This research uses a deductive empirical approach. A deductive approach is made to events that have occurred before and are related to research, while an empirical approach is carried out to study legal regulations and the reality that occurs in behavior. Based on the results of research and discussion, it can be seen that: Threats in cyber space are a real threat that National Intelligence must watch out for. Demonstrations that are driven through

(2)

409

propaganda and the creation of opinions through mass media must be able to be anticipated. State Intelligence must be able to optimize the function of early detection and early warning, especially in cyber space to prevent any potential threats to national security and interests. Modernization of intelligence equipment is needed and the ability of intelligence personnel to deal with threats in era 4.0 is needed. The State Intelligence Agency as the coordinator of State Intelligence must be able to synergize performance among intelligence agencies both at the national and regional levels.

Keywords: Threats, 2019 Presidential Election, Cyber, Role, Intelligence.

I. Pendahuluan

Indonesia merupakan sebuah negara besar dengan masyarakatnya yang bersifat majemuk. Ciri sebuah masyarakat majemuk ialah terdiri dari beberapa suku bangsa. Penduduk Indonesia saat ini mencapai 270.054.853 juta jiwa pada tahun 2018. Selain itu terdapat lebih dari 1.340 suku bangsa1

dan 6 agama yang diakui. Di Indonesia juga terdapat kepentingan-kepentingan baik dari dalam ataupun luar negeri yang turut mempengaruhi situasi politik nasional.

Dibutuhkan seorang pemimpin yang memiliki kapabilitas dan integritas untuk memimpin masyarakat yang majemuk serta mengelola berbagai tantangan yang ada. Presiden, sebagai pemimpin negara dan pemimpin pemerintahan di Indonesia dipilih secara

1Hendri Akhsin Naim,Sensus Penduduk 2010,

Badan Pusat Statistik 2011.

langsung oleh seluruh rakyat Indonesia melalui sistem pemilihan presiden yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil2. Diharapkan

melalui sistem yang demikian, pemimpin yang terpilih dapat diterima dan dipatuhi oleh rakyat Indonesia. Pemilihan presiden yang dilakukan oleh bangsa Indonesia setiap lima tahun sekali memiliki dampak yang luas terhadap ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan dan keamanan bangsa Indonesia. Fenomena yang terjadi selama ini, pasca pelaksanaan pemilihan presiden selalu diwarnai dengan demonstrasi dan aksi unjuk rasa oleh pendukung pasangan calon yang tidak terpilih terhadap KPU sebagai penyelenggara karena ketidakpuasan hasil penghitungan suara. Selain itu juga terjadi perselisihan antar kelompok pendukung pasangan calon presiden

(3)

410 baik secara fisik maupun psikis. Permasalahan di atas tentu berkorelasi dengan peningkatan gangguan keamanan nasional serta menimbulkan kecemasan pada masyarakat.

Perselisihan akibat hasil penghitungan suara pemilihan presiden 2019 dapat terjadi pula pada level elit politik nasional baik ditingkat daerah ataupun nasional. Hal ini sangat mungkin terjadi apabila pasangan presiden dan wakil presiden terpilih bukanlah pasangan calon yang didukung oleh mayoritas anggota parlemen.

Mewujudkan keamanan nasional merupakan salah satu tugas intelijen negara. Karena pada hakikatnya intelijen negara merupakan lini terdepan dalam sistem keamanan nasional3.

Tentu bukan perkara mudah bagi Intelijen Negara untuk mewujudkan keamanan nasional di tahun politik mengingat banyaknya kepentingan yang ada. Diperlukan kemampuan deteksi dini dan peringatan dini yang mumpuni dalam rangka mencegah setiap ancaman baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

3Undang-undang Nomor 17 Tahun 2011

Tentang Intelijen Negara Pasal 3

Intelijen Negara mempunyai fungsi penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan terhadap setiap potensi ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan. Selain itu Badan Intelijen Negara sebagai koordinator penyelenggaraan Intelijen Negara memiliki wewenang untuk melaksanakan koordinasi dengan aparat keamanan terkait dalam mewujudkan keamanan nasional.

Pasca penyelenggaraan Pemilihan Presiden 2014 terjadi demonstrasi besar-besaran oleh pendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 1 Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa yang kalah dalam Pemilihan Presiden Tahun 2014. Demonstrasi yang digelar oleh pendukungnya seringkali berakhir ricuh.

Selain demonstrasi, pada periode awal pemerintahan pasca Pemilihan Presiden 2014 juga terjadi perpecahan dalam parlemen. Dimana pasangan terpilih pada pemilihan presiden 2014 tidak didukung oleh mayoritas anggota DPR-RI. Presiden dan wakil presiden

(4)

411 terpilih merupakan pasangan calon yang didukung oleh Koalisi Indonesia Hebat (37,4%). Sedangkan parlemen mayoritas kursi di parlemen dikuasai oleh Koalisi Merah Putih (62,6%)4.

Ancaman saat ini bertambah kompleks dengan kemajuan teknologi dan informasi serta keberadaan ruang siber. Masyarakat akan lebih mudah terpropaganda dengan berita yang diciptakan dan disebar secara masif melalui internet. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi Intelijen Negara untuk mencegah penyebaran hoaks, berita palsu, dan atau ujaran kebencian yang dapat menjadi ancaman terhadap keamanan nasional semakin meningkat. Intelijen sering dinilai kecolongan oleh masyarakat apabila tidak mampu mencegah peristiwa yang mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat. Masyarakat beranggapan bahwa intelijen tidak mampu menjalankan peran deteksi dini dan peringatan dini terhadap setiap ancaman yang akan terjadi.

Hal ini meninggalkan pertanyaan sangat besar pada masyarakat: ancaman apa saja yang mungkin terjadi?

4Koalisi Indonesia Hebat,

diaksesdarihttps://id.wikipedia.org/wiki/Koalisi_Ind

Tindakan apakah yang dapat dilakukan oleh Intelijen Negara untuk mencegah ancaman tersebut?

Permasalahan dalam jurnal ini adalah:

1. Ancaman apakah yang mungkin terjadi pasca Pemilihan presiden 2019? 2. Bagaimanakah pemanfaatan

ruang siber sebagai sarana penggalangan?

3. Bagaimanakah cara deteksi dini dan peringatan dini terhadap suatu ancaman dalam ruang siber?

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deduktif dan empiris. Sumber data yang dipakai adalah data primer dan data sekunder yang berkaitan dengan penelitian.

II Pembahasan

A. Ancaman Pasca Pilpres 2019.

Penyelenggaraan Pemilihan Presiden 2019 tidak lepas dari berbagai potensi ancaman yang akan terjadi

onesia_Hebat, pada tanggal 23 Februari 2019 pukul 12.00

(5)

412 setelah pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden terutama yang diakibatkan oleh ketidakpuasan masyarakat terhadap hasil pemilihan presiden dan wakil presiden. Bentuk ketidakpuasan masyarakat pada umumnya diwujudkan melalui aksi unjuk rasa dan demonstrasi yang sering kali berjalan anarkis atau di luar kendali aparat keamanan.

Berdasarkan catatan pada beberapa pemilihan presiden, pemilihan legislatif, dan pemilihan kepala daerah seringkali terjadi sengketa hasil pemilihan dan memunculkan beberapa penolakan terhadap hasil perolehan dan penghitungan suara5.

Dalam melaksanakan pemilihan presiden dan wakil presiden, pemerintah Indonesia melalui KPU menerapkan prinsip pemilihan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dimana setiap warga negara memiliki nilai satu suara yang sama sesuai dalam peraturan perundang-undangan.

Pasangan calon presiden dan wakil presiden merupakan pasangan

5Stepi Anriani, Intelijen dan Pilkada Pendekatan

Strategis Menghadapi Dinamika Pemilu, Gramedia Pustaka Utama, 2018, Hal. 107

yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik secara satu paket untuk satu periode kepemimpinan selama 5 tahun. Sesuai peraturan, partai politik atau gabungan partai politik yang dikenal dengan koalisi jika ingin berpartisipasi dalam pemilihan presiden disyaratkan memiliki suara sebesar 20 persen di parlemen atau 25 persen suara sah nasional6.

Kondisi parlemen Indonesia yang menerapkan sistem banyak partai menjadikan perolehan suara pada pemilu atau jumlah kursi yang dimiliki oleh tiap partai politik jarang mencapai batas minimal agar dapat mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden secara mandiri. Kondisi ini menjadikan partai politik harus berkoalisi dengan partai lain agar dapat mengajukan calonnya pada pemilihan presiden.

Koalisi yang dibentuk pada umumnya didasarkan pada kesamaan visi yang dimiliki oleh masing-masing partai. Pada pembentukan koalisi tersebut tentu disertai pula dengan kesepakatan-kesepakatan politik apabila

6Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang

(6)

413 calon yang mereka usung nantinya memenangi pemilihan presiden. Dibutuhkan biaya yang sangat besar pada penyelenggaraan pemilihan presiden tersebut.

Sistem pemilihan yang dilaksanakan secara langsung dengan mekanisme setiap warga negara memiliki satu suara yang sama, tentu tidak dapat mewadahi keinginan seluruh masyarakat. Berdasarkan peraturan, presiden dan wakil presiden terpilih merupakan pasangan calon yang mendapatkan suara sebesar 50 persen dari suara sah nasional dan sedikitnya harus memperoleh 20 persen di setiap provinsi yang tersebar lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.7

Ketidakpuasan pendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden yang kalah pada pemilihan presiden ini berekses negatif terhadap kondisi keamanan nasional. Jika pada Pemilihan Presiden 2014 demonstrasi terkait hasil pemungutan suara pemilihan presiden belum banyak terjadi di ruang siber. Maka pada Pemilihan Presiden 2019 ancaman di ruang siber berupa

7Undang-undangNomor 42 tahun 2008

TentangPemilihanPresiden dan Wakil PresidenPasal 159 ayat 1

penyebaran hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian diperkirakan akan berlangsung secara masif.

Penyebaran hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian tersebut dapat dimanfaatkan oleh kelompok tertentu dengan tujuan menimbulkan kekacauan sebagai bentuk kekecewaan hasil pemilihan presiden.

Sejak pertengahan 2015, proliferasi dan penyebaran berita bohong atau hoaks, berita palsu (fake news), dan ujaran kebencian (hate speech) semakin meningkat di Indonesia, khususnya melalui situs internet dan media sosial8.

Menurut pemahaman penulis,

hoaks merupakan berita yang diselewengkan dari fakta yang sebenarnya. Berita yang terdapat dalam hoaks tidak seluruhnya palsu, tetapi ada beberapa fakta yang memang benar adanya. Hal ini memiliki arti bahwa peristiwa yang ada dalam berita tersebut sebenarnya ada tetapi diberitakan secara tidak sesungguhnya atau diselewengkan dan bertujuan untuk mebelokkan dan atau menyesatkan

8Budi Gunawan dan Barito MulyoRatmono,

Kebohongan di Dunia Maya,

(7)

414 pemahaman pembacanya. Hal ini sesuai dengan teori Alex Sokal, Marie Sekor, dan Linda Walsh (2004:71) bahwa

hoaks, merupakan perangkat retorik yang digunakan dengan sengaja untuk menyerang pihak-pihak yang berlawanan dengan si pembuat hoaks.

Berita palsu merupakan berita yang sengaja diciptakan oleh pengarangnya untuk tujuan tertentu. Fakta yang ada dalam berita palsu sebenarnya sama sekali tidak ada. Selain itu juga disertai bukti-bukti pendukung yang juga palsu, seperti foto yang tidak sesuai dengan peristiwanya.

Sedangkan ujaran kebencian merupakan pernyataan seseorang yang sengaja dikeluarkan untuk menyerang seseorang atau merendahkan martabat seseorang.

Sifat anonimitas atau tanpa nama pada ruang siber menjadikan pelaku penyebar hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian merupakan keuntungan bagi pencipta dan penyebarnya. Kemampuan pelaku untuk menyembunyikan identitas yang sebenarnya dengan bantuan protokol IP tersebut menjadikan mereka merasa lebih aman untuk menyuarakan

9 Ibid

aspirasinya yang kadang kala dapat merugikan orang lain dan mengancam keamanan nasional.

Pengguna media sosial di Indonesia yang sangat tinggi mencapai 92 juta orang9 menjadi faktor penunjang

penyebaran informasi melalui media sosial. Terlebih belum seluruh pengguna media sosial memahami literasi media sosial dengan baik sehingga hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian menjadi suatu ancaman serius pada ruang siber.

Dalam sudut pandang intelijen, keberadaan hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian merupakan salah satu media penggalangan yang efektif. Selain itu juga dapat digunakan dalam hal cipta opini terhadap masyarakat.

Penggalangan secara umum memiliki pengertian segala langkah dan upaya agar kondisi lingkungan, apakah itu perorangan atau masyarakat, menjadi kondusif bagi pelaksanaan tugas atau bagi upaya pencapaian target-tujuan. Penggalangan dapat dilakukan dengan berbagai bentuk dan langkah, utamanya adalah langkah-langkah yang bersifat persuasif dan lunak dengan 65

(8)

415 memanfaatkan pendekatan psikologis. Adapun penggunaan bentuk yang bersifat paksaan, apalagi kekerasan, sejauh mungkin dihindari, sebab cara seperti ini tidak akan efektif dan bertahan lama, bahkan dapat kontra-produktif10.

Dalam suatu penggalangan itu sendiri terdapat lima aspek yang menjadi sasaran untuk dipengaruhi yaitu: emosi, sikap, tingkah laku, opini, dan motivasi sasaran.

B. Ruang Siber Sebagai Sarana Penggalangan

Kecanggihan teknologi dan informasi saat ini yang mampu memetakan apa yang menjadi tren pencarian dan topik bahasan pada masyarakat. Kemampuan ini sangat memudahkan penggalang, dalam hal ini penulis hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian, semakin mudah menyusun perencanaan penggalangan terhadap masyarakat.

Aksi Bela Islam atau Gerakan 212 sendiri merupakan salah satu contoh efektivitas penggunaan media sosial dan ruang siber sebagai sarana penggalangan dan penggerak terhadap

10SuponoSoegirman, IntelijenProfesiUnik

Orang-orang Aneh, Media Bangsa 2012, Hal. 15

masa. Sehingga masa dari berbagai daerah ikut berpartisipasi dalam aksi yang dilakukan menjelang pemilihan gubernur DKI Jakarta pada tahun 2017 lalu.

Aksi Bela Islam yang merupakan sebuah aksi demonstrasi umat Islam yang disebabkan oleh pernyataan Basuki Tjahja Purnama alias Ahok karena tuduhan ucapan penistaan agama. Pernyataan kontroversial tersebut dapat menyebar dengan cepat pada masyarakat karena memanfaatkan fasilitas media sosial dan ruang siber dalam penyebarannya.

Gerakan masa pada Aksi Bela Islam yang digerakkan melalui media sosial dan ruang siber terbukti sukses memenjarakan Basuki Tjahja Purnama dan menggagalkan Basuki Tjahja Purnama dalam kontestasi Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017.

Aksi Bela Islam dapat terselenggara sampai dengan tujuh kali dan dengan jumlah masa relatif besar juga dikarenakan penggunaan hash tag

atau tagar. Hashtag sendiri adalah instrumen yang menunjukkan tren

(9)

416 bahasan pengguna media sosial yang akan menggerakkan pengguna lain untuk mengetahuinya.

Dapat dibayangkan apabila hash tag dan gerakan perlawanan melalui media sosial dan ruang siber seperti pada peristiwa menjelang pemilihan gubernur DKI Jakarta pada tahun 2017 lalu juga terjadi pada pelaksanaan pemilu dan pilpres 2019. Akan timbul kekacauan dimana-mana yang akan mengancam keamanan nasional.

Namun sesuai dengan peraturan tentang hak asasi manusia, pemerintah tidak dapat melarang masyarakatnya untuk menyuarakan aspirasi yang dimiliki baik itu melalui ruang siber maupun secara langsung. Karena kebebasan berpendapat bagi tiap orang dijamin dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28.

Selain ancaman pada ruang siber. Tingginya angka masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya atau golput juga menjadi ancaman tersendiri, diperkirakan sebesar 20 persen masyarakat Indonesia tidak

11IndikatorPerkirakan 20 PersenPemilihGolput di

Pilpres 2019,diakses dari

https://nasional.tempo.co/read/1162860/indikato

menggunakan hak pilihnya pada Pemilihan Presiden 201911. Menjadikan

hasil pemilihan presiden nantinya rawan dijadikan alasan untuk tidak diterima. Terutama oleh kelompok masyarakat yang calon presiden yang ia dukung kalah.

Merujuk pada situasi nasional yang ada saat ini dan rangkaian peristiwa yang telah terjadi sebelumnya. Ancaman penolakan hasil pemilihan presiden oleh masyarakat merupakan ancaman yang sangat nyata yang akan dihadapi bangsa Indonesia.

Pada pemilihan presiden yang hanya diikuti oleh dua pasang calon, maka akan ada dua kemungkinan yang akan terjadi. Kemungkinan pertama, pemilihan presiden dimenangkan oleh pasangan nomor urut 1 dan kemungkinan kedua, pemilihan presiden dimenangkan oleh pasangan nomor urut 2. Keduanya memiliki peluang yang sama untuk menang.

Asumsi pertama, diasumsikan jika yang menjadi pemenang nantinya adalah Pasangan nomor urut 1, Joko

Widodo- r-perkirakan-20-persen-pemilih-golput-di-pilpres-2019, pada tanggal 23 Februari 2019 pukul 12.05

(10)

417 Ma’ruf Amin. Ancaman berupa aksi demonstrasi oleh kelompok konservatif Islam seperti pada Pilkada DKI 2017 sangat mungkin terjadi dalam situasi yang demikian. Perkiraan tersebut didasarkan pada kedekatan pasangan nomor urut 2 dengan beberapa tokoh Islam seperti Habib Rizieq dan Amien Rais, serta kedekatan dengan beberapa kelompok Islam seperti FPI dan PA 212 yang merupakan motor gerakan Aksi Bela Islam.

Kedekatan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno dengan beberapa tokoh dan ormas kanan termasuk FPI dan PA 212/Aksi Bela Islam menjadikan situasi sosial politik pada Pemilihan Presiden Tahun 2019 ini mirip dengan situasi saat Pemilihan Gubernur DKI Jakarta Tahun 2017.

Jika pada Pilkada DKI 2017 demonstrasi yang hanya terjadi di Jakarta bisa menimbulkan efek sebesar itu. Dapat dipastikan bahwa pada tahun 2019 ini akan menimbulkan efek yang lebih besar. Mengingat PA 212/Aksi Bela Islam juga memiliki jaringan di daerah.

Indikasi akan adanya demonstrasi penolakan apabila hasil penghitungan suara apabila dimenangkan oleh pasangan calon nomor 1 sebenarnya sudah terlihat dari sekarang. Dimana beberapa bulan sebelum pelaksanaan pemungutan suara sudah terjadi demonstrasi di berbagai daerah yang dilakukan oleh kelompok konservatif islam dengan tagar #2019gantipresiden (2019 ganti presiden).

Gerakan tagar

#2019gantipresiden tersebut juga berawal dari media sosial dan ruang siber yang kemudian diaktualisasikan pada aksi turun ke lapangan.

Selain itu juga terdapat beberapa pernyataan tokoh-tokoh PA 212/Aksi Bela Islam yang mengindikasikan penolakan terhadap pasangan calon nomor 1. Seperti hasil ijtima ulama yang mendukung pasangan calon nomor 2 serta puisi Neno Warisman yang menyamakan penyelenggaraan Pemilihan Presiden 2019 ini dengan Perang Badar.

Kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk menjadikan proses pemilihan umum di Indonesia cenderung diwarnai oleh primodialetnisitas,

(11)

418 kekerabatan, pengaruh agama, peran elite lokal atau raja-raja kecil yang dominan12. Menjadikan isu SARA yang

sangat cepat dan mudah disebar dalam ruang siber menjadi ancaman serius Bangsa Indonesia.

Asumsi kedua, diasumsikan jika pemilihan presiden nanti dimenangkan oleh pasangan nomor urut 2 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Kondisi yang terjadi di parlemen Indonesia atau DPR, dikuasai oleh partai yang berkoalisi mendukung pasangan nomor urut 1 Joko Widodo-Ma’ruf Amin.

Maka akan sangat rawan jalannya pemerintahan akan mendapat hambatan dari tidak adanya dukungan dari parlemen. Hal tersebut merupakan tantangan yang sangat mungkin terjadi terhadap pemerintahan nantinya dipimpin oleh presiden yang didukung oleh minoritas partai di parlemen.

Berkaca pada apa yang terjadi pasca pelaksanaan Pemilihan Presiden Tahun 2014, maka potensi adanya hambatan seperti di atas sangat berpotensi terjadi. Pada pemilihan

12StepiAnriani, Intelijen dan Pilkada Pendekatan Strategis Menghadapi Dinamika Pemilu,

Gramedia Pustaka Utama, 2018, Hal. 101

presiden periode sebelumnya, pasangan yang ditetapkan sebagai pemenang sesuai dengan hasil perhitungan suara KPU adalah pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Sedangkan kondisi yang terjadi saat itu, pasangan calon tersebut merupakan pasangan yang didukung oleh Koalisi Indonesia Hebat, yang merupakan minoritas partai dalam DPR-RI.

Kurang kooperatifnya partai oposisi terhadap rancangan kebijakan pemerintah tersebut menjadikan presiden kesulitan dalam mengambil beberapa kebijakan yang harus melalui persetujuan DPR RI. Hal ini terjadi karena rancangan kebijakan yang akan diambil oleh presiden seringkali ditolak oleh parlemen yang didominasi oleh partai kelompok oposisi pemerintah.

Keberadaan oposisi pada pemerintahan sebenarnya sangat diperlukan dalam kehidupan demokrasi dalam mengontrol pemerintahan. Selain itu parlemen juga digunakan sebagai penyalur apa yang menjadi aspirasi masyarakat.

(12)

419 Namun apabila oposisi parlemen tidak dapat bertindak objektif dan hanya mementingkan kepentingan kelompok maka hanya akan mempersulit kinerja presiden serta mengancam kepentingan nasional bangsa Indonesia. Kondisi itulah yang pernah dialami oleh Presiden RI Joko Widodo di awal kepemimpinannya.

Berdasarkan perkiraan yang telah diuraikan di atas. Dapat dibayangkan apabila pasca Pemilihan Presiden 2019 ini terjadi aksi-aksi penolakan akibat ketidakpuasan penghitungan suara kemudian ketidakpuasan itu disebarluaskan dan dipropagandakan melalui media sosial dan ruang siber, demonstrasi dan kerusuhan besar-besaran dapat terjadi di berbagai daerah pada waktu yang bersamaan. Kondisi yang demikian merupakan ancaman bagi keamanan nasional dan stabilitas pemerintahan.

Apabila ancaman di atas tidak mampu dicegah, maka dapat dipastikan bahwa negara akan kesulitan dalam menanggulangi demonstrasi dan kerusuhan besar-besaran yang diciptakan melalui propaganda dalam ruang siber tersebut. Pemerintah juga

akan menghabiskan sumber daya yang besar baik dari segi personil maupun materiil.

C. Deteksi Dini dan Peringatan Dini Terhadap Ancaman Dalam Ruang Siber

Belajar dari apa yang terjadi pada gerakan Aksi Bela Islam/212 dan situasi nasional pasca Pemilihan Presiden 2014 di Indonesia serta pemanfaatan siber dan media sosial pada berbagai aksi masa saat ini. Segenap aparat keamanan yang ada di Indonesia harus mempersiapkan diri dan meningkatkan kemampuan untuk mengantisipasi ancaman yang mungkin akan terjadi pasca Pemilihan Presiden Indonesia tahun 2019 nanti.

Ancaman tidak hanya terjadi di Ibu Kota Jakarta. Di berbagai daerah juga sangat mungkin terjadi demonstrasi dan kerusuhan pasca pelaksanaan pemilihan presiden 2019 ini. Mengingat pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPRD, dan DPD di seluruh provinsi dilaksanakan serentak dan bersamaan dengan pelaksanaan Pemilihan Presiden 2019. Di samping itu baru pertama kalinya sistem pemilihan serentak ini diselenggarakan di

(13)

420 Indonesia menjadikan kerawanan pada pemilu nanti akan meningkat.

Mewujudkan keamanan nasional melalui deteksi dini, peringatan dini, dan pencegahan dini merupakan sebuah keharusan bagi Intelijen Negara. Karena sesuai dengan apa yang digariskan melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011, Intelijen Negara merupakan lini terdepan dalam mewujudkan keamanan nasional.

Kemampuan deteksi dini yang hanya mengandalkan keberadaan jaring-jaring agen yang dimiliki oleh lembaga intelijen di era 4.0 dirasa dinilai tidak akan mampu menandingi cepatnya penyebaran informasi di era siber.

Ancaman yang pada dunia siber membuat Intelijen Negara juga harus mengoptimalkan penggunaan siber dalam melaksanakan tugasnya. Baik sebagai sarana pengumpulan data ataupun sebagai sarana penggalangan dan cipta opini terhadap masyarakat.

Keberadaan Deputi VI BIN/Siber pada Badan Intelijen Negara harus dioptimalkan untuk mencegah serta menghadapi ancaman yang terjadi pasca Pemilihan Presiden 2019 ini. Tugas Deputi Siber yang meliputi upaya deteksi

dini, tindakan kontra, melakukan analisa dan forensik, serta melakukan respon dan pemulihan harus maksimalkan untuk mencegah dan menanggulangi ancaman pada ruang siber.

Ancaman dunia siber merupakan ancaman yang tak kasat mata tapi memiliki dampak nyata. Selain itu juga memiliki korelasi dengan ancaman konvensional yang ada. Karena apa yang diopinikan melalui ruang siber akan direalisasikan dengan aksi nyata oleh pendukungnya.

Bagaimana mungkin seorang personel intelijen mampu menghadapi ancaman di bidang siber tanpa adanya peralatan dan kemampuan pribadi yang mumpuni. Oleh karena itu diperlukan modernisasi peralatan dan teknologi intelijen yang dimiliki oleh setiap personel Badan Intelijen Negara. Selain itu juga diperlukan pelatihan-pelatihan khusus terkait penguasaan teknologi dan siber bagi setiap personel Badan Intelijen Negara.

Badan Intelijen Negara harus memiliki sebuah sistem pengumpulan informasi yang efektif dan efisien terkait seluruh data yang terdapat di dunia siber. Informasi yang didapat melalui

(14)

421

monitoring ruang siber sangat diperlukan guna memetakan keadaan masyarakat dan penciptaan opini tandingan untuk menjaga stabilitas keamanan.

Selain itu Badan Intelijen Negara juga harus mampu memetakan siapa saja yang berperan dalam penciptaan opini negatif pada ruang siber serta melakukan take over terhadap akun-akun dan situs yang mempropaganda negatif masyarakat. Hal itu perlu dilakukan sehingga ancaman yang mungkin terjadi dapat diminimalisir.

Keberadaan data dari ruang siber juga sangat dibutuhkan sebagai pertimbangan dalam mengambil setiap kebijakan baik oleh badan intelijen maupun presiden, yang merupakan user

tunggal dari badan intelijen negara. Tentu bukan hal yang mudah bagi Badan Intelijen Negara dalam mewujudkan keamanan nasional di era siber ini seorang diri. Sebagai koordinator penyelenggara intelijen, Badan Intelijen Negara harus mampu menjalankan fungsi koordinasi terhadap keseluruhan lembaga intelijen dan aparat keamanan yang ada.

Melalui keberadaan Komite Intelijen Pusat di tingkat nasional dan

Komunitas Intelijen Daerah di tingkat daerah. Badan Intelijen Negara, Badan Intelijen Strategis TNI, Badan Intelijen Keamanan Polri, Intelijen Kejaksaan, serta intelijen lembaga dan kementerian harus mampu bersinergis dalam melaksanakan fungsi deteksi dini dan peringatan dini guna melakukan pencegahan dini terhadap setiap ancaman yang dapat terjadi.

Selain itu juga diperlukan koordinasi dengan BSSN dan Kementrian Komunikasi dan Informasi untuk menyaring setiap informasi yang ada di ruang siber. Bahkan jika perlu menutup akun media sosial dan website

yang disalahgunakan untuk kepentingan politik tertentu, terutama yang bertujuan untuk cipta opini negatif terhadap masyarakat.

Keseluruhan tindakan tersebut harus dilakukan secara sinergis dengan tujuan mewujudkan keamanan nasional dan mengamankan kepentingan nasional. Tentu akan menjadi tantangan sendiri bagaimana menyaring informasi di era keterbukaan dan kebebasan informasi ini.

(15)

422 Perkembangan teknologi dan informasi yang sangat pesat menjadikan ancaman pada ruang siber merupakan ancaman nyata yang harus dicegah melalui sistem deteksi dini dan peringatan dini yang dimiliki oleh Badan Intelijen Negara.

Tahun 2019 merupakan tahun politik, dimana diselenggarakan pemilihan umum untuk memilih anggota legislatif dan pemilihan presiden secara serentak di seluruh Provinsi di Indonesia. Berbagai kepentingan dari dalam atau luar negeri yang sifatnya mengancam keamanan nasional dan kepentingan nasional harus diwaspadai.

Berkaca dari agenda politik nasional pada tahun 2019 ini, berbagai peristiwa yang pernah terjadi sebelumnya di Indonesia, serta situasi politik global. Maka tingkat kerawanan keamanan nasional Indonesia diperkirakan akan meningkat pada tahun 2019 ini.

Mewujudkan negara yang aman dan sejahtera merupakan tantangan besar bagi seluruh elemen bangsa, terkhusus Intelijen Negara. Diperlukan modernisasi peralatan, peningkatan kemampuan personil, dan koordinasi

lintas instansi untuk menciptakan Indonesia yang aman dan sejahtera.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Gunawan, B., & Ratmono, B. M. (2018). Threats to the Ideology of Pancasila In the Reform Era: Praxis Case of Regional Development Policy. Jurnal Studi Pemerintahan, 9(1), 56-82. Gunawan, B., & Ratmono, B. M. (2017).

Social Media, Cyberhoaxes and National Security: Threats and Protection in Indonesian Cyberspace. International Journal of Network Security, Vol. 22, No. 1, PP. 93-101

Gunawan, B., & Ratmono, B. M. (2018). Perspectives on the Development of Border Regions in Indonesia. Research of Humanities and Social Science, Vol.8, No.6, 2018

Gunawan, B., & Ratmono, B. M. (2018). Kebohongan di Dunia Maya. Memahami Teori Dan Praktik-prantiknya Di Indonesia, Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta.

Naim, Hendri Akhsin. 2011. Sensus Penduduk 2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik

(16)

423 Anriani, Stepi. 2018. Intelijen dan Pilkada

Pendekatan Strategis Menghadapi Dinamika Pemilu. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Gunawan, Budi dan Barito Mulyo Ratmono. 2018. Kebohongan di Dunia Maya. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Soegirman, Supono. Intelijen Profesi Unik Orang-orang Aneh. 2012. Jakarta: Media Bangsa.

Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Dasar 1945 Pasal 22E

Ayat 1

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara Pasal 3 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017

Tentang PresidentialThreshold Pasal 222

Undang-undang Nomor 42 tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden

Website

Indikator Perkirakan 20 Persen Pemilih Golput di Pilpres 2019,diakses dari https://nasional.tempo.co/ (tanggal 23 Februari 2019)

Koalisi Indonesia Hebat, diakses dari https://id.wikipedia.org/ (tanggal 23 Februari 2019).

Referensi

Dokumen terkait