• Tidak ada hasil yang ditemukan

RKT DIT KESWAN TAHUN 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RKT DIT KESWAN TAHUN 2016"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

1

RKT DIT KESWAN

TAHUN 2016

(2)

2 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR i DAFTAR ISI ii BAB I PENDAHULUAN 3 A. Latar Belakang 3

BAB II VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN 5

A. Visi 5

B. Misi 5

C. Tujuan 6

D. Sasaran 6

BAB III KEBIJAKAN, STRATEGI, PROGRAM DAN KEGIATAN 9

A. Kebijakan 9

B. Strategi 9

C. Program dan Kegiatan 9

(3)

3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latarbelakang

Kebijakan dan Program Kesehatan Hewan tidak hanya mendukung program Swasembada Daging melalui Program Pemenuhan Pangan Asal Ternak dan AgribisnisPeternakan Rakyat dengan pendekatan penyakit (animal diseases approach) terkait dengan kesehatan ternak semata akan tetapi lebih luas lagi yaitu pendekatan kesehatan hewan secara menyeluruh (animal health approach). Pendekatan kesehatan hewan tidak bisa hanya ditinjau dari aspek produksi atau ekonomi semata, akan tetapi perlu orientasi yang lebih bertumpu kepada aspek kesehatan dan kesejahteraan manusia sebagai sasaran akhir. Karenanya bidang kesehatan hewan harus dipandang dari berbagai aspek antara lain sebagai bagian dari pembangunan pertanian melalui pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat baik berasal dari ternak sapi dan kerbau juga dari ternak atau hewan lain yang dikonsumsi manusia sebagai substitusi, produk hewan bagian dari kesehatan masyarakat melalui pencegahan penyakit yang dapat menular dari hewan kepada manusia (zoonosis) dan bagian dari kesehatan lingkungan melalui kelestarian hewan dan lingkungannya dan penyakit emerging dan reemerging disease.

Peranan kesehatan hewan dalam kehidupan masyarakat sangat penting meliputi berbagai sumbangan yang nyata bagi kesehatan manusia, kesejahteraan dan kualitas kehidupan manusia melalui peningkatan kesehatan, pemanfaatan dan produktifitas seluruh jenis hewan yang ada di dunia. Kesehatan hewan bukan hanya melindungi manusia dari resiko yang berkaitan dengan hewan dan produknya, akan tetapi juga memberikan sumbangan baru bagi ilmu pengetahuan biologik dan medik, melindungi kehidupan lingkungan serta mempertahankan kelestarian sumberdaya genetika. Peran profesi ini sangat beragam dan luas oleh karena melayani kebutuhan baik hewan maupun manusia. Dengan semakin meningkatnya usaha peternakan yang dikelola secara intensif dan bahkan terintegrasi dengan rantai produksi makanan (food production chain), maka aspek kesehatan hewan menjadi sangat penting karena terkait erat dengan metode pengendalian mutu (quality control methods).

Disamping pengkajian kesehatan hewan terhadap sumbangan yang nyata bagi kesehatan dan kesejahteraan manusia, maka pelaksanaan program kesehatan hewan juga harus dikaji dari keuntungan ekonomi yang diharapkan. Salah satu kajian yang selama ini belum dikembangkan secara maksimal adalah kurangnya memperhitungkan keuntungan antara (intermidiate benefit) maupun juga keuntungan yang tidak terlihat (intangible benefit) serta harga produk peternakan termasuk obat hewan yang bervariasi menurut waktu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keberhasilan dalam pencegahan, pengendalian maupun pemberantasan penyakit hewan menular adalah suatu prasyarat untuk kemajuan perkembangan ekonomi peternakan.

Disamping itu, profesi kedokteran hewan di masa depan semakin lebih berfokus kepada perawatan (care), kesehatan (health), kesejahteraan (welfare), penggunaan (utility) dan

(4)

4

produktivitas (productivity) hewan daripada hanya kepada penyakit (disease) dan pengendaliannya. Fokus perubahan ini terjadi lebih cepat pada hal-hal yang berkaitan dengan pangan (food), laboratorium, satwa air (aquatic animals) dan satwa liar (wild animals) daripada hewan kesayangan (companion animals).

Hasil pembangunan kesehatan hewan selama ini menunjukkan kinerja yang masih belum maksimal, sehingga untuk ikut mendukung program pembangunan peternakan nasional masih diperlukan adanya peningkatan maupun penyempurnaan program-program dengan jenis kegiatan yang relevan dengan perkembangan global saat ini. Hal ini tercermin antara lain dengan semakin besarnya ancaman penyakit eksotik, pengawasan lalu lintas hewan dan produknya yang belum dapat dilaksanakan secara maksimal, status kesehatan hewan masih rendah yang ditengarai oleh masih cukup tingginya angka kematian, masih rendahnya angka kelahiran dan produktifitas ternak, status kesehatan lingkungan yang masih rentan terhadap penyakit hewan menular dan masih sering terjadinya wabah, belum dapat diawasinya secara baik pembuatan, penyediaan, peredaran dan pemakaian obat hewan serta masih rendahnya kualitas pelayanan kesehatan hewan di lapangan.

Beberapa permasalahan yang menyebabkan situasi kesehatan hewan tersebut antara lain adalah makin kecilnya peranan pemerintah pusat dalam pelaksanaan penanganan kesehatan hewan (otonomi daerah), masih rendahnya partisipasi dan peran serta masyarakat, kurangnya koordinasi antar instansi dan pihak-pihak yang terkait dengan bidang kesehatan hewan, kurangnya kualitas maupun kuantitas sumberdaya manusia yang menangani bidang kesehatan hewan, masih relatif kecilnya anggaran yang disediakan di masing-masing unit kerja serta beragamnya struktur dinas daerah yang melaksanakan fungsi kesehatan hewan.

(5)

5

BAB II

VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

A. VISI

Visi adalah rumusan umum mengenai keadaan yang ingin dicapai oleh Direktorat Kesehatan Hewan pada akhir periode renstra 2015 sampai 2019. Visi Direktorat Kesehatan Hewan menggambarkan konsistensi kinerja direktorat selama jangka waktu 5 tahun yang merupakan gambaran yang menyeluruh mengenai peranan dan fungsi Direktorat Kesehatan Hewan.

Visi yang dirumuskan perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1. Visi memberikan arah pandangan kedepan.

2. Visi memberikan gambaran kondisi masa depan yang ingin dicapai 3. Visi ditetapkan secara rasional, realistis, dan mudah dipahami. 4. Visi dirumuskan secara singkat, padat, dan mudah diingat. 5. Visi berlaku pada setiap kemungkinan perubahan.

Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut maka visi Direktorat Kesehatan Hewan dirumuskan sebagai berikut:

Terwujudnya pelayanan publik yang profesional dan maju dibidang kesehatan hewan. Visi tersebut mengandung 3 (tiga) nilai yang tinggi, yaitu:

1. Pelayanan publik berarti lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang baik (good veterinary practices).

2. Profesional yang berarti mampu menjalankan tugas pokok dan fungsi Direktorat Kesehatan Hewan dengan menerapkan ilmu pengetahuan dan pengalaman profesi dibidang kesehatan hewan.

3. Maju berarti menerapkan sistem dan prosedur operasional urusan kesehatan hewan berdasarkan kaidah ilmu pengetahuan modern.

B. MISI

Misi adalah rumusan umum mengenai upaya yang telah, sedang, dan akan dilaksanakan guna mewujudkan visi Direktorat Kesehatan Hewan. Atas dasar itu misi sebaiknya menggambarkan tugas pokok dan fungsi direktorat sekaligus menjembatani penjabaran visi ke arah tujuan dan sasarnnya.

Berdasarkan definisi dan uraian mengenai misi tersebut maka misi Direktorat Kesehatan Hewan disusun berdasarkan urutan isu-isu strategis kesehatan hewan dan struktur organisasi Direktorat Kesehatan Hewan sebagai berikut:

1. Pengamatan penyakit hewan (P2H).

2. Pencegahan dan pemberantasan penyakit hewan (P3H). 3. Perlindungan hewan (PH).

4. Kelembagaan dan sumber daya kesehatan hewan (KSKH). 5. Pengawasan obat hewan (POH).

(6)

6 C. TUJUAN

Tujuan disusun berdasarkan hasil identifikasi potensi dan permasalahan yang diuraikan mengenai isu-isu strategis. Berdasarkan arahan tersebut maka tujuan yang ingin dicapai adalah pencapaian status kesehatan hewan yang kondusif untuk pengembangan budidaya hewan/ternak, perdagangan hewan/ternak dan bahan asal hewan dalam era perdagangan bebas, dan kecukupan pangan dan gizi dari produk peternakan.

Atas dasar pertimbangan tersebut diatas, tujuan kesehatan hewan adalah : 1. Mempertahankan Indonesia bebas PMK dan penyakit eksotik lainnya.

2. Pembebasan Indonesia/ bagian dari wilayah Indonesia bebas penyakit hewan strategis melalui pencegahan dan pemberantasan penyakit hewan strategis.

3. Mencegah masuknya, berkembangnya, dan menyebarnya penyakit hewan baru melalui penerapan analisa resiko dan kesiagaan darurat.

4. Mengembangkan kelembagaan dan sumber daya kesehatan hewan.

5. Penyediaan obat hewan yang berkualitas melalui pengendalian mutu dan pengawasan peredarannya.

6. Pelayanan publik bidang kesehatan hewan yang prima dari pusat sampai daerah. D. Sasaran Strategis

Sasaran strategis disusun berdasarkan identifikasi potensi dan permasalahan yang dirumuskan dalam isu-isu strategis.

Sasaran strategis yang ditetapkan merupakan indikator tercapainya tujuan serta mencerminkan berfungsinya semua program/ kegiatan kesehatan hewan yang telah ditetapkan.

Target kinerja sasaran strategis harus bersifat spesifik, dapat diidentifikasi dengan jelas, terukur (measureable), dapat tercapai sesuai dengan kapasitasnya (achievable), mencerminkan adanya keterkaitan antara target keluaran (outputs) dan target masukan (inputs) yang relevan, dan waktu yang digunakan untuk pencapaiannya sesuai dengan yang ditetapkan (time bound).

Atas dasar itu sasaran yang ditetapkan untuk jangka waktu 3 (tiga ) tahun ke depan yaitu: 1. Indonesia tetap bebas PMK dan bebas penyakit eksotik lainnya.

Sampai 2014 ukuran bebas dengan surveilans. Dokumen renstra untuk surveilans penyakit eksotik misal PMK (sinergis dengan roadmap SEAFMD).

2. Bagian wilayah Indonesia bebas penyakit strategis (rabies, AI, SE, Brucellosis (sesuaikan dengan situasi penyakit di wilayahnya).

Road map anthrax belum ada.

Th. 2015 yang dimaksudkan wilayah indonesia yang bebas wilayah yang mana untuk per penyakit :

Brucellosis : Sumut, Aceh, Papua, Madura

(7)

7

Anthrax : mempertahankan bebas kasus pada daerah endemis dan mempertahankan daerah yang masih bebas

Hog Cholera : pembebasan regional II

Rabies : pembebasan bali, kepri, babel, kalbar (kab. Ketapang)

Akan dilengkapi lagi setelah rapat master plan/road map pembebasan rabies dan brucellosis.

3. New emerging dan Re-emerging Disease. (apa yang akan dicapai). Ada perub. Metodologi,

Sedang dipersiapkan peng

uatan kesiagaan darurat veteriner indonesia/kiat vetindo. Ada hal teknis dimana daerah kurang antusias. Akan dilakukan simulasi (nipah, paratb, hendra, ebola). Mekanisme pelaporan peny. eksotik akan disosialisasikan ke pemda (dalam keadaan darurat sah saja pelaporan daerah langsung ke pusat).

Bagaimana pengujian di pintu masuk sudah kuat, agar efektif pencegahan thd peny. eksotik.

Kiat vetindo lintas departemen, bagaimana me-link ke departemen lain. Misal bagaimana dukungan kemenkeu untuk kompensasi  masuk ke strategi umum.

Dulu ada tripartit (SKB)

4. Penguatan surveilans dan SIKHNAS

Surveilans terstruktur dalam rangka pembebasan dan mempertahankan bebas, deteksi penyakit, dan surveilans post vaksinasi.

Pengembangan dan aplikasi Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional (SIKHNAS)  seluruh dinas kab/kota, (termasuk puskeswan2 di kabupaten lokasi pilot project NVS) Pengembangan sistem informasi laboratorium (infolab) di BBVET/BVet seluruh Indonesia berbasis website.

Pembuatan pedoman surveilans penyakit strategis 5. Kelembagaan dan sumber daya mantap.

Peningkatan jumlah dokter hewan dan paramedik yang bertugas di puskeswan terutama pada wilayah yang potensial bagi pengembangan peternakan.

Peningkatan kompetensi tenaga kesehatan hewan (bagaimana mendapatkan legalitas tenaga paramedik veteriner)

Peningkatan sarana dan prasarana puskeswan, laboratorium Peningkatan kompetensi fungsional medik dan paramedik.

Menjadi urusan wajib bagi daerah untuk menyediakan tunjangan sesuai dengan jenjang fungsional medik dan paramedik.

Urusan kesehatan hewan harus menjadi urusan wajib.

Bagaimana supaya puskeswan bisa berkembang seperti rumah sakit  peningkatan kompetensi puskeswan, adanya farm identification dan recording, antisipasi pasar global  penjaminan mutu ternak untuk ekspor (status kesehatan ternak)  pengawasan mulai dari pakan dan obat yang diberikan.

(8)

8

Bagaimana meng-edukasi peternak untuk melakukan recording. Pengembangan siskeswannas

Bagaimana puskeswan peran dan fungsi yang optimal bagi pemberi informasi bagi sikhnas (pelaporan)  masukkan permen, dapat mencontoh dari puskesmas (revisi permen)

Perlunya jejaring kerja antara lab keswan, lab kesehatan, lab perguruan tinggi, Penambahan jumlah laboratorium keswan.

Bagaimana pengelolaan check point  pedoman.

Cari ttg Buku PSTS (Peternak Sehat Ternak Sehat), pedoman puskesmas  bagaimana mengadopsi sistem pelaporan

Pengembangan SIKHNAS  P2H 6. Obat hewan yang beredar di Indonesia.

Jaminan mutu obat hewan

Peningkatan kapasitas produksi industri obat hewan dalam negeri Peningkatan jumlah obat hewan yang mendapatkan nomor registrasi

Peningkatan jumlah perusahaan yang sudah menerapkan CPOHB (Cara Pembuatan Obat Hewan Yang Baik)

Pengembangan kompetensi pengawas obat hewan

Peningkatan penertiban peredaran dan pengawasan obat hewan. Sertifikasi CPOHB oleh assesor yang kompeten.

(9)

9

BAB III

KEBIJAKAN, STRATEGI, PROGRAM DAN KEGIATAN

1. Arah Kebijakan dan Strategi Umum

Strategi pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan ditempuh melalui kegiatan perlindungan hewan, pengamatan penyakit hewan, pengendalian dan pemberantas penyakit hewan menular strategis termasuk zoonosis, penguatan kelembagaan kesehatan hewan serta peningkatan kompetensi dokter hewan dan paramedik veteriner, dan pengobatan dan pengawasan obat hewan.

Perlindungan hewan adalah tindakan yang dilaksanakan dalam rangka melindungi/mengamankan hewan, manusia dan lingkungan terhadap penyakit hewan menular dan eksotik yang dilakukan melalui penetapan dan penerapan persyaratan kesehatan hewan bagi hewan yang akan masuk ke dalam dan/atau keluar dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pengamatan penyakit hewan adalah tindakan pemantauan (surveilans) terhadap ada tidaknya penyakit hewan tertentu di suatu wilayah (pulau atau kawasan pengamanan hayati hewan) sebagai langkah awal dalam rangka kewaspadaan dini dan penyusunan pemetaan penyakit hewan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) . Pemberantasan penyakit hewan adalah tindakan untuk membebaskan suatu wilayah dan/atau kawasan pengamanan hayati dan/atau pulau dari penyakit hewan menular yang meliputi usaha penutupan daerah tertentu terhadap keluar-masuk dan lalu-lintas hewan dan produk hewan, penanganan hewan tertular dan bangkai, serta tindakan penanganan wabah yang meliputi eradikasi penyakit hewan dan depopulasi hewan. Sedangkan pengobatan penyakit hewan adalah tindakan untuk menghilangkan rasa sakit, penyebab sakit, mengoptimalkan kebugaran dan ketahanan hewan melalui usaha perbaikan gizi, tindakan transaksi terapetik, penyediaan dan pemakaian obat hewan, penyediaan sarana dan prasarana, pengawasan dan pemeriksaan, serta pemantauan dan evaluasi pasca pengobatan.

Peningkatan kuantitas meliputi pemberian iklim yang kondusif kepada para pengusaha dan calon pengusaha untuk bergerak dalam usaha produksi, distribusi obat hewan. Sedangkan peningkatan kualitas dimaksudkan untuk dapat bersaing di pasar internasional dan strategi dilakukan dengan mendorong perusahaan produsen obat hewan menerapkan Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik (CPOHB) sehingga memiliki sertifikat. Untuk meningkatkan pengawasan terhadap peredaran obat hewan ilegal strategi operasional adalah melakukan koordinasi dengan instansi terkait dari unsure badan karantina pertanian, direktorat bea dan cukai, kepolisian, badan POM, dan Dinas Peternakan atau yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan di seluruh Indonesia.

(10)

10

Pendayagunaan peran dan fungsi kelembagaan serta SDM peternakan dan kesehatan hewan untuk kebijakan dan pengambilan keputusan sehinga perumusan kebijakan maupun pengambilan keputusan menjadi lebih tepat. Oleh karena itu kelembagaan akan dilengkapi disertai dengan ketatalaksanaan, pengelolaaan SDM dalam rangka melaksanakan misi untuk mencapai visi yang telah ditetapkan. Strategi yang akan ditempuh akan dilakukan melalui pendayagunaan peran dan fungsi yang dilakukan oleh SDM peternakan dan kesehatan hewan pusat untuk proses pengambilan keputusan melalui fungsi-fungsi perencanaan, evaluasi, kepegawaian dan keuangan serta perlengkapan. Pendayagunaan ini diarahkan agar SDM yang ada untuk melayani pembangunan peternakan bukan hanya lingkup organisasinya saja.

Agar supaya pembangunan kesehatan hewan dapat dicapai, maka perlu dilakukan langkah-langkah strategi secara menyeluruh sebagai berikut :

a. Menyusun perencanaan program pembangunan kesehatan hewan nasional yang sifatnya top-down policy berdasarkan periode pembangunan jangka pendek, menengah dan panjang yang implementasi pembangunannya mengakomodir kepentingan dan situasi kondisi status kesehatan hewan daerah sehingga model pembangunan kesehatan hewannya bersifat buttom-up planning.

b. Penataan ulang dan penegasan kembali kewenangan urusan kesehatan hewan antara pusat dan daerah.

c. Pendegelasian sebagian kewenangan veteriner (veterinary authority) kepada dokter hewan swasta (praktisi, mandiri dan technical service) dengan akreditasi.

d. Membangun sistem kompetensi profesi medik dan paramedik veteriner. e. Mengembangkan jejaring laboratorium veteriner.

f. Mengembangkan sistem akreditasi laboratorium veteriner.

g. Mengembangkan program surveilans yang mempunyai target peluang pasar (market requirement).

h. Meningkatkan kepedulian dan kesadaran masyarakat (public awareness) dan proposi secara berkelanjutan.

i. Menyusun rencana dan kewajiban bersama antara pusat dan propinsi dalam program pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular dan urusan kesehatan hewan lainnya.

j. Mengembangkan program biosekuriti berdasarkan resiko (riks based).

k. Mengembangkan integrasi sektor swasta dalam pembiayaan dan penyediaan sarana untuk kesiagaan darurat dan pemberantasan penyakit hewan menular.Mengembangkan sistem sertifikasi penerapan Cara Pembuatan Obat Hewan Yang Baik (CPOHB).

l. Mengembangkan sistem akreditasi penerapan manajemen kesehatan hewan dan biosekuriti di peternakan berdasarkan kompartemen (compartment based).

(11)

11 2. Program dan Kegiatan

a. Pengamatan Penyakit Hewan

Kebijakan operasional pengamatan penyakit hewan mencakup: (1) Laboratorium Kesehatan Hewan

Kebijakan ini dilakukan dengan peningkatan pembinaan laboratorium kesehatan hewan (Balai Besar Veteriner/Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional, Laboratorium Kesehatan Hewan Propinsi/Type B dan Laboratorium Kesehatan Hewan Kabupaten/Type C) dalam pengamatan penyakit hewan antara lain sebagai diagnosis dan pengamatan penyakit, pusat informasi kesehatan hewan regional, pemetaan penyebaran penyakit dan analisis veteriner terapan, pusat pengembangan kewaspadaan penyakit, lembaga rujukan standarisasi metoda dan sertifikasi pengujian veteriner untuk ekspor dan impor hewan dan produk hewan serta pelayanan teknis laboratorium kesehatan hewan dan laboratorium kesehatan masyarakat veteriner.

Peningkatan kapasitas laboratorium dalam hal ini Balai Besar Veteriner atau Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional (BBVet/BPPV), Laboratorium Kesehatan Hewan Propinsi/Tipe B dan Laboratorium Kesehatan Hewan Kabupaten/Tipe C antara lain melalui penambahan jumlah laboratorium, peningkatan kuantitas dan kualitas SDM laboratorium yang kompeten dan profesional, standardisasi metode pengujian, penyedian bahan diagnosa dan pengujian.

(2) Surveilans dan Monitoring

Kebijakan surveilans ini dilakukan agar kegiatan surveilans (aktif dan pasif) dapat dilakukan secara baik, benar dan teratur yang melibatkan semua stakeholder bersama masyarakat untuk mengetahui status kesehatan hewan suatu populasi dengan mengontrol dan mendeteksi secara dini suatu penyakit yang penting secara ekonomi, keamanan pangan dan perdagangan serta untuk dapat memberikan informasi yang bermanfaat untuk sistem peringatan dini (early warning system) dan mencegah peningkatan intensitas kasus dan penyebaran serta meluasnya penyakit di suatu wilayah yang berpedoman kepada suatu pedoman surveilans penyakit hewan yang baku. Adapun monitoring yang merupakan rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mendeteksi perubahan penyakit dengan menggunakan parameter epidemiologi perlu lebih diprogramkan secara sistematis dan terencana. Tujuan spesifik dari surveilans dan monitoring antara lain adalah untuk memperkirakan aras dan intensitas penyakit (prevalensi/insidensi),

(12)

12

mendeteksi penyakit yang baru muncul, mendeteksi letupan (wabah) penyakit dan untuk meyakinkan keberadaan penyakit dalam populasi.

(3) Sistem Informasi Kesehatan Hewan

(a) Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional (SIKHNAS)

Penyediaan data dan informasi penyakit hewan sangat penting terutama dalam memfasilitasi penentuan kebijakan pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan serta perdagangan hewan/produk hewan, dimana kebijakan importasi didasarkan pada status penyakit hewan dan situasi penyakit di suatu negara/wilayah negara untuk menghindari tertularnya penyakit dari luar negeri (penyakit eksotik). Kebijakan yang dilaksanakan adalah mengembangkan dan menyempurnakan secara terus menerus sistem informasi sesuai perkembangan IPTEK agar informasi penyakit hewan dapat dilaporkan secara berkala dari lapangan sampai di pusat secara on-line system dengan transfer data elektronik (Electronic Data Transfer). Dengan cara itu maka analisis terhadap data dapat segera dilakukan sebagai dasar dalam penentuan kebijakan. Indonesia sebagai salah satu anggota lembaga kesehatan hewan dunai atau OIE wajib melaporkan perkembangan informasi penyakit hewan secara berkala melalui sistem World Animal Health Information System (WAHIS) dan secara regional melalui ASEAN Regional Animal Health Information System (ARAHIS). (4) Epidemiologi dan Ekonomi Veteriner

Semua kegiatan surveilans dan monitoring dilakukan berdasarkan kaidah-kaidah epidemiologi yang panduannya diterbitkan oleh Direktorat Kesehatan Hewan yang berisi antara lain cara pengambilan jumlah sampel, cara menghitung sampel, cara menganalisis sampel. Untuk mengetahui dampak penyakit hewan diperlukan perhitungan secara ekonomi (ekonomi veteriner). Hal ini sangat diperlukan untuk perencanaan kerugian ekonomi akibat penyakit hewan langsung (kematian ternak, penurunan produktifitas, bahaya zoonosis) maupun tidak langsung (kehilangan pekerjaan, pendapatan menurun, dampak psikis, dampak pariwisata).

b. Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan

(1) Pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan merupakan penyelenggaraan kesehatan hewan dan kesehatan lingkungan dalam bentuk pencegahan, pemberantasan dan/atau pengobatan penyakit hewan. Pengendalian dimaksudkan sebagai suatu usaha yang terorganisir di daerah atau di pusat untuk mengurangi kejadian (incidence) atau kerugian suatu penyakit sampai pada tingkat terkendali atau tidak mempunyai dampak yang

(13)

13

serius terhadap kestabilan kesehatan hewan dan masyarakat. Sedangkan pemberantasan dimaksudkan sebagai suatu usaha yang terorganisirr untuk menghilangkan atau mengeliminasi suatu penyakit pada suatu daerah tertentu sampai tidak terjadi lagi.

(2) Kebijakan yang dilaksanakan dalam program pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular adalah dilakukan secara bertahap berdasarkan prioritas yang dikenal sebagai penyakit hewan menular strategis, yaitu penyakit hewan yang berdampak kerugian ekonomi luas/tinggi oleh karena bersifat menular, menyebar cepat serta berakibat angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi (memiliki eksternalitas tinggi) atau berpotensi mengancam kesehatan masyarakat.

(3) Kebijakan operasional yang dilaksanakan dalam penanggulangan wabah penyakit hewan menular yang merupakan penyakit dadakan (emergency) dari semua jenis penyakit hewan menular (infeksius) eksotis maupun endemis yang dapat terjadi kapan dan dimana saja yang dampaknya secara luas berskala nasional, regional atau lintas propinsi adalah pemerintah bersama pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kebupaten/kota mengalokasikan dana yang memadai untuk pengamanan, pemberantasan dan pengobatan hewan. Dalam hal penyakit hewan menular eksotik, tindakan pemusnahan harus dilakukan terhadap seluruh hewan yang tertular dengan memperhatikan status konservasi hewan yang bersangkutan.

Oleh karena itu dalam program pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular dari 13 (tigabelas) jenis penyakit strategis terdapat 5 (lima) jenis penyakit yang perlu mendapatkan prioritas dan perhatian khusus di tingkat nasional karena kerugian ekonomi dan dampak kesehatan masyarakat yang ditimbulkan.

c. Perlindungan Hewan

Kebijaksanaan operasional perlindungan hewan meliputi pengamanan Negara Indonesia terhadap penyakit hewan eksotik, pengamanan pengeluaran hewan dari Negara Indonesia dan peningkatan kesiagaan terhadap penyakit hewan eksotik dengan strategi mencakup:

Pengamanan terhadap Penyakit Hewan Eksotik dan Penyakit Hewan Menular dari Luar Negeri

(a) Penyakit eksotik yaitu penyakit hewan yang belum pernah ditemukan di Indonesia atau penyakit yang pernah ada, tetapi telah lama tidak ditemukan kembali. Penyakit eksotik yang perlu diwaspadai adalah yang memiliki kriteria: berbahaya secara luas (internasional), misalnya Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE), penyakit yang telah menyerang/ada di Negara

(14)

14

tetangga misalnya penyakit Nipah, penyakit Hendra, Japanese Encephalitis dan Ebola; penyakit yang mampu menimbulkan kerugian ekonomi yang besar dan diperkirakan mampu menimbulkan dampak politik, sosial, dan budaya misalnya PMK; Pengamanan terhadap penyakit hewan eksotik perlu lebih ditingkatkan tanpa mengurangi kewaspadaan terhadap penyakit hewan yang baru muncul yang disebut Emerging Animal Disease atau re- Emerging Animal Disease.

(b) Pengamanan penyakit hewan menular yang berasal dari luar negeri merupakan tanggung jawab pemerintah pusat yang dilaksanakan melalui penerapan kebijakan yang mampu mencegah dan menangkal setiap ancaman pemasukan penyakit hewan dari luar negeri, yang dilakukan secara tegas dan konsisten dengan menerapkan standar kesehatan hewan yang ketat dalam pemasukan/importasi hewan dan bahan pakan asal hewan tanpa mengesampingkan kepada ketentuan yang tercantum di dalam Terrestrial Animal Health Code-OIE.

(c) Langkah-langkah pengamanan terhadap penyakit hewan eksotik dan penyakit hewan menular dari luar negeri, dilakukan melalui kebijakan pengamanan pemasukan hewan dan produk hewan dengan berpedoman kepada status kesehatan hewan dan perkembangan situasi epidemiologi penyakit hewan dari suatu negara yang dinyatakan oleh Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE), persyaratan pemasukan hewan dan produk hewan serta kajian analisa risiko berdasarkantingkat perlindungan yang tepat terhadap tindakan Sanitary dan Phytosanitary (SPS) dalam rangka melindungi kesehatan manusia, hewan dan lingkungan di wilayahnya (Appropriate Level Of Protection/ALOP). (d) Pengamanan penyakit hewan dari luar negeri, juga dilakukan melalui

kerjasama bilateral dan/atau multilateral dalam bidang kesehatan hewan antara lain harmonisasi SPS, peningkatan capacity building, working group meeting dan lain-lain.

d. Pengawasan Obat Hewan

(1) Dari aspek kesehatan hewan, meningkatnya impor ternak dan produk ternak termasuk obat hewan akan membawa resiko antara lain kemungkinan masuknya penyakit hewan ke wilayah Indonesia yang dapat mengancam keutuhan sumberdaya ternak di dalam negeri. Disamping itu obat hewan mempunyai peranan yang sangat penting dalam upaya pemeliharaan dan peningkatan status kesehatan hewan yang pada gilirannya akan sangat menunjang upaya pengembangan dan pembangunan peternakan.

(2) Pada prinsipnya pembinaan terhadap usaha dan pengawasan obat hewan dilaksanakan oleh pemerintah pusat oleh karena jangkauan operasional pelayanan yang sifatnya nasional dan internasional, perlunya pola pembinaan

(15)

15

yang seragam secara nasional serta terkait erat dengan bahaya yang timbul dan mengancam keselamatan masyarakat umum akibat efek samping dari pemakaian obat hewan.

(3) Kegiatan-kegiatan yang terkait dengan pengawasan obat hewan dan menjadi kewajiban pemerintah untuk mengatur dan mengawasinya mencakup pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan pembuatan, penyediaan, peredaran serta pemakaian obat hewan.

e. Pelayanan Kesehatan Hewan

(1) Di bidang pelayanan kesehatan hewan yang sifatnya lebih merupakan public goods seperti surveilans dan pelayanan laboratorium dilakukan pemberdayaan sarana, prasarana pelayanan kesehatan hewan serta sumberdaya manusia yang tersedia dengan masih mempertimbangkan campur tangan pemerintah (public intervention).

Oleh karena itu rasionalisasi harus terus dilaksanakan terutama yang diarahkan untuk memberdayakan sarana, prasarana pelayanan kesehatan hewan dan sumberdaya manusia yang dimiliki pemerintah baik itu Pos Kesehatan Hewan (Poskeswan) maupun laboratorium kesehatan hewan (labkeswan). Untuk pelayanan kesehatan hewan yang memiliki nilai private goods diarahkan menuju kepada swastanisasi/privatisasi dengan mengoptimalkan swadaya masyarakat.

(2) Untuk itu pemerintah perlu melakukan langkah-langkah kegiatan yang mendorong pengelola prasarana tersebut untuk mampu mengatur diri sendiri, mandiri dan mendapatkan pengakuan terhadap keberadaannya di tengah masyarakat yang memerlukan. Prinsip untuk mendorong kearah kemandirian dilakukan dengan menerapkan dana bergulir (revolving fund) dan penarikan biaya pelayanan dari penerima jasa (user pay system).

(3) Pemberdayaan prasarana pelayanan kesehatan hewan tersebut dalam jangka panjang diarahkan kepada swastanisasi (privatisasi) yang dalam pelaksanaannya swastanisasi/privatisasi pelayanan kesehatan hewan lebih bersifat sebagai evolusi daripada revolusi yang harus dilaksanakan secara bertahap, sistematis dan terencana.

2.1 Pendekatan Program

1. Sejalan dengan semangat otonomi yang tercermin dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang menempatkan pemerintah daerah (kabupaten/kota) sebagai pelaksana pembangunan di wilayahnya dan propinsi melakukan koordinasi berbagai kegiatan pembangunan lintas kabupaten/kota, maka proses perencanaan program dekonsentrasi pembangunan peternakan umumnya dan kesehatan hewan khususnya dilakukan dengan pendekatan buttom-up planning, namun

(16)

16

tetap terkontrol mengacu kepada strategi program pembangunan nasional yang bersifat top-down policy.

2. Untuk dapat mewujudkan sasaran program pembangunan kesehatan hewan nasional yang dilaksanakan melalui program pembangunan kesehatan hewan di daerah, maka perencanaan kegiatan di daerah harus disusun dengan mengacu pada sasaran yang jelas dan terukur terutama yang mencakup lokasi, waktu, kelompok sasaran dan manfaat bagi kelompok sasaran.

3. Pengawasan pembangunan dari dominasi pemerintah kearah peran kontrol masyarakat yang mengikat, yang menuntut transparansi, keterbukaan dan kejujuran dengan mengacu pada rencana yang disertai indikator masukan, output dan dampak yang jelas sehingga dapat diukur dan dipertanggung jawabkan secara publik.

4. Fungsi pelayanan pemerintah dilaksanakan secara terpadu oleh semua pihak terkait, baik lintas unit kerja maupun sub sektor. Setiap institusi yang berperan memfungsikan berbagai subsistem kesehatan hewan, termasuk subsistem penunjangnya secara proporsional, sehingga memberikan kontribusi dan membangun sinergi bagi berfungsinya sistem kesehatan hewan nasional secara utuh.

2.2 Pelaksanaan Program

1. Dengan mempelajari pengalaman masa lalu, berberapa perencanaan yang sudah menjadi program kesehatan hewan nasional maupun daerah sering tidak dapat dilaksanakan dengan konsekuen, oleh karena itu implementasi setiap program perlu memperoleh kajian lebih mendalam agar program-program pembangunan kesehatan hewan yang sudah ditetapkan dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan pembangunan. Lemahnya pelaksanaan terhadap kebijaksanaan dan peraturan atau perundang-undangan (law enforcement) dalam kegiatan peternakan di masa lalu menjadi faktor penghambat utama dalam kegiatan peternakan nasional.

2. Program kesehatan hewan dirancang dengan mencermati posisinya yang sangat strategis, oleh karena fungsinya yang sangat erat sebagai pendukung dalam mewujudkan masyarakat sehat yang berwawasan lingkungan. Penetapan strateginya disesuaikan dan dengan memperhatikan perubahan kondisi lingkungan strategis baik internasional (global), nasional maupun regional yaitu :

3. Pengaruh berbagai masalah kesehatan hewan yang terjadi di luar negeri akhir-akhir ini seperti wabah Avian Influenza di kawasan benua Asia, wabah Nipah beberapa tahun lalu di Malaysia, masih belum bebasnya Malaysia dan Philipina terhadap PMK telah memberikan isyarat bagi jajaran kesehatan hewan di Indonesia bahwa strategi penolakan/pelarangan atau pemberian syarat-syarat khusus perlu dilakukan terhadap importasi hewan, bahan asal hewan dan hasil bahan asal hewan dari negara-negara tersebut.

(17)

17

4. Semakin banyaknya tawaran untuk melakaukan importasi daging dari negara-negara seperti India, Argentina, Brazilia atau negara lain menyebabkan Indonesia perlu melakukan strategi peningkatan kewaspadaan terhadap penyakit eksotik.

5. Timbulnya berbagai letupan kejadian penyakit hewan menular yang sering mewabah seperti Rabies, Anthrax, Septichaemia Epizootica dan yang terakhir Avian Influenza di Indonesia sebagai akibat dari perubahan alam seperti pengaruh iklim/cuaca, bencana banjir dan bencana lainnya.

6. Derasnya lalu lintas niaga dan transportasi terutama jalan darat dan laut antar daerah di Indonesia memberikan dampak kepada terbukanya kemungkinan yang lebih besar penyebaran penyakit hewan menular dari satu daerah/pulau ke daerah/pulau lain. Arus transportasi ini telah menyebabkan menyebarnya penyakit rabies ke Propinsi Maluku dan penyakit Hog Cholera ke Kabupaten Mimika- Propinsi Papua.

(18)

18

MATRIK RENCANA KINERJA KESWAN TAHUN 2016 No Kegiatan

Fisik Anggaran (Rp) Target Volume Pagu A. Program Pemenuhan Pangan Asal Ternak dan Agribisnis Peternakan Rakyat

1. Kegiatan Penyediaan Benih dan Bibit serta Peningkatan Produksi Ternak

1) Produksi Benih Ternak (dosis/embrio)

2) Produksi Calon Indukan/Calon Bibit/Bakalan (ekor)

3) Penguatan Sarana dan Prasarana SPR (paket)

4) Penguatan Perbibitan Terpilih (paket)

5) Optimalisasi Reproduksi (ekor)

6) Penambahan Ternak Impor/Eks Impor (ekor)

2. Kegiatan Peningkatan Produksi Pakan Ternak

1) Pengembangan Hijauan Pakan Ternak (Ha)

2) Pengembangan Pakan Olahan/Bahan Pakan (ton)

3) Pengawasan Mutu dan Keamanan Pakan/Bahan Pakan (sampel)

4) Pengadaan Indukan Untuk Pengembangan Integrasi, Padang Penggembalaan, dan Lahan Eks Tambang (ekor)

3. Kegiatan Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan

1) Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan (dosis)

8.500.000

81.397.159.000 2) Penyidikan Penyakit dan Pengawasan Obat Hewan

(sampel)

365.000

50.154.807.000

3) Produksi Vaksin dan Bahan Biologik (dosis) 10.100.000

24.403.540.000

4) Penanganan Gangguan Reproduksi (ekor) 106.000

13.254.169.000

4. Kegiatan Pengembangan Pengolahan dan Pemasaran Hasil Ternak

1) Pengembangan Pengolahan Hasil Peternakan (unit)

2) Pengembangan Usaha dan Peluang Investasi (lokasi)

3) Pengembangan Sarana dan Kelembagaan Pemasaran

(unit)

4) Penguatan Kelembagaan Peternak (lokasi)

5. Kegiatan Penjaminan Produk Hewan yang ASUH

1) Peningkatan Pemenuhan Persyaratan Produk Hewan ASUH (unit usaha)

2) Penerapan Kesejahteraan Hewan (unit)

3) Pencegahan Penularan Zoonosis (unit)

6. Kegiatan Dukungan Manajemen dan Dukungan Teknis Lainnya Ditjen PKH

1) Penerapan SAKIP (dokumen)

(19)

Referensi

Dokumen terkait

Bila nilai indeks keseragaman mendekati 1, maka ekosistem tersebut berada dalam kondisi yang relatif merata, yaitu jumlah individu untuk setiap spesies relatif sama

Kegiatan observasi dilakukan untuk membantu dalam menemukan program yang akan dilaksanakan selama PPL dan memberikan gambaran penyusunan segala sesuatu yang dibutuhkan

Berbagai sifat yang melekat dalam diri PNS tersebut tidak terlepas dari pengaruh kultur atau budaya yang sangat mempengaruhi kehidupan mereka. Terutama budaya administrasi yang

Chrystina Pardede, Nomor Induk Mahasiswa 04 02 00094, Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara dengan judul skripsi “ UPAYA KEPOLISIAN DAN PERAN

Keempat jenis faktor tersebut kemudian dianalisis dan dimasukkan ke dalam matriks SWOT sehingga dihasilkan delapan alternatif strategi yang dapat dilakukan agar tujuan

Bila hanya terdapat satu benda atau jalur, maka posisi penempatan kamera dapat langsung diperkirakan dengan cara menaruh kamera pada titik tengah dari benda

Diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan untuk mengkaji topik yang berkaitan dengan topik yang dibahas dalam penelitian ini yaitu mengenai pengaruh income

Hasil dari penelitian adalah dengan melihat pola sebaran pengunjung sehingga dapat dilihat bagaimana fasilitas pendukung dapat menjadi salah satu obyek pasif ataupun