E. Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal
6. Model Organisasi dan Kelembagaan Sistem Penjaminan Mutu Internal
Implementasi SPMI di suatu perguruan tinggi dilakukan baik pada tingkat perguruan tinggi (Universitas, Institut, Sekolah Tinggi, Polyteknik, Akademi, Akademi Komunitas), maupun pada tingkat fakultas (jika ada) dan tingkat unit pengelola program studi (Jurusan, Departemen, Bagian, jika ada).
Mengenai pengertian ‘program studi’, perlu dikemukakan bahwa berdasarkan UU Dikti program studi bukan merupakan unit organisasi. Hal ini diatur dalam Pasal 1 angka 17 UU Dikti yang menyatakan bahwa Program Studi adalah kesatuan kegiatan pendidikan dan pembelajaran yang memiliki kurikulum dan metode pembelajaran
22 tertentu dalam satu jenis pendidikan akademik, pendidikan profesi, dan/atau pendidikan vokasi.
Selanjutnya, dalam Pasal 33 ayat (4) UU Dikti diatur bahwa Program Studi dikelola oleh suatu satuan unit pengelola yang ditetapkan oleh Perguruan Tinggi. Adapun yang dimaksud unit pengelola sebagai unit organisasi dalam praktik adalah jurusan, departeman, bagian, atau sekolah.
Gambar 8. Tingkat Implementasi SPMI
Setiap perguruan tinggi bebas menentukan model organisasi atau kelembagaan dalam mengimplementasikan SPMI. Selain karena tidak terdapat peraturan yang mewajibkan mereka untuk memilih model tertentu, juga karena setiap perguruan tinggi memiliki perbedaan dalam hal latar belakang sejarah, tata nilai atau nilai dasar organisasi, kemampuan sumber daya, jumlah program studi, jumlah mahasiswa dsb., sehingga tidak tepat jika sebuah perguruan tinggi meniru model organisasi dan kelembagaan SPMI dari perguruan tinggi lain.
Pada prinsipnya, terdapat 3 (tiga) model pengorganisasian yang dapat dipilih oleh perguruan tinggi dalam mengimplementasi SPMI, yakni:
a. Membentuk unit khusus SPMI;
b. Mengintegrasikan implementasi SPMI ke dalam manajemen perguruan tinggi; atau c. Mengombinasikan model a dan b.
a. Membentuk unit khusus SPMI
Unit SPMI dibentuk pada tingkat perguruan tinggi dengan tugas dan fungsi memfasilitasi implementasi SPMI di perguruan tinggi yang bersangkutan. Unit ini memiliki struktur organisasi, mekanisme kerja, personalia dan anggaran. Pada tingkat yang lebih rendah (misal fakultas), dapat dibentuk juga unit SPMI yang lebih kecil yang secara hirarkhis bertanggung jawab kepada unit SPMI pada tingkat perguruan tinggi. Pengelola unit SPMI tidak boleh dirangkap oleh pemangku jabatan struktural lain.
Pada tingkat perguruan tinggi unit SPMI dapat ditempatkan di bawah Wakil Rektor/
Wakil Ketua/Wakil Direktur atau langsung di bawah koordinasi Rektor/ Ketua/ Direktur.
Sedangkan pada tingkat Fakultas (jika ada) unit SPMI dapat ditempatkan di bawah Wakil Dekan atau langsung di bawah koordinasi Dekan. Unit SPMI yang ditempatkan langsung di bawah pemimpin perguruan tinggi akan memberikan kemudahan dalam hal SPMI telah diterapkan pada segala aspek di perguruan tinggi yang bersangkutan.
• Kekuatan
Pertama, model ini dipandang sebagai cara pengorganisasian implementasi SPMI yang tepat, karena unit SPMI yang terpisah dari berbagai jabatan struktural secara teoretik maupun praktik dipandang lebih independen. Independensi yang melekat pada unit SPMI tersebut akan mendukung pelaksanaan monitoring & evaluation (termasuk Audit Mutu Internal) secara obyektif. Kedua, keberadaan unit SPMI dapat dipandang sebagai cara perguruan tinggi tersebut melaksanakan salah satu prinsip dari good university governance, yaitu akuntabilitas. Ketiga, unit SPMI yang dibentuk secara independen dan akuntabel akan membuatnya menjadi kuat dan disegani oleh berbagai pihak yang kinerjanya akan dimonitor, dievaluasi, dan diaudit oleh unit SPMI tersebut.
• Kelemahan
Pertama, model ini membutuhkan biaya serta sumber daya manusia yang relatif besar yang dapat memberatkan perguruan tinggi yang tidak memiliki SDM yang cukup, memiliki student body yang kecil, memiliki sedikit program studi, dan sumber dana yang terbatas. Model ini dapat menghambat implementasi SPMI pada perguruan tinggi yang relatif kecil. Kedua, keberadaan unit SPMI dapat memperbesar struktur organisasi perguruan tinggi dan memperpanjang mata rantai birokrasi, sehingga potensial membebani perguruan tinggi tersebut. Ketiga, apabila unit SPMI tersebut secara struktural berkedudukan tidak lebih tinggi dari fakultas atau unit pengelola program studi, efektivitasnya dalam melaksanakan fungsi implementasi SPMI rendah. Hal ini disebabkan fakultas atau unit pengelola program studi yang merasa berada pada posisi lebih tinggi atau sederajat dengan unit SPMI akan cenderung mengabaikan saran dan/atau rekomendasi dari unit SPMI.
b. Mengintegrasikan Implementasi SPMI ke dalam Manajemen Perguruan Tinggi Pada model ini, SPMI diimplementasikan oleh setiap pejabat struktural, misalnya Rektor/Ketua/Direktur, Dekan, Ketua Jurusan, Kepala Biro, Kepala Laboratorium.
Dalam model ini, koordinasi pelaksanaan SPMI pada tingkat perguruan tinggi langsung dilakukan oleh pemimpin perguruan tinggi, tetapi kendali implementasi di tingkat Fakultas atau Jurusan/Departeman/Bagian/ Sekolah dilakukan oleh masing- masing pemimpin unit tersebut dan dikoordinasikan langsung oleh pemimpin perguruan tinggi.
• Kekuatan
Pertama, model ini cocok untuk perguruan tinggi kecil atau yang baru didirikan dengan sumber daya yang terbatas, jumlah program studi dan mahasiswa yang relatif sedikit.
Dengan melekatkan tugas mengimplementasikan SPMI pada jabatan struktural mulai dari tingkat tertinggi, yaitu pemimpin perguruan tinggi hingga tingkat fakultas atau unit pengelola program studi di dalam perguruan tinggi, membuat implementasi SPMI relatif menjadi lebih hemat dan fleksibel. Dengan model ini, struktur organisasi perguruan tinggi juga akan tetap ramping dan tidak memperpanjang mata rantai birokrasi. Kedua, melalui cara ini, setiap dosen, tenaga kependidikan, mahasiswa, bahkan juga para pejabat struktural relatif akan merasa lebih nyaman dalam bekerja mewujudkan budaya mutu sebab tidak ada perasaan dipaksa dan diawasi oleh pengawas.
• Kelemahan
Pertama, model ini dapat mengganggu efektivitas, obyektivitas, dan akuntabilitas, karena menyerahkan implementasi SPMI pada para pejabat struktural yang kinerjanya justru
24 model ini diragukan efektivitasnya karena model ini amat tergantung pada inisiatif dan ketegasan pejabat struktural. Kedua, model ini dapat mengakibatkan implementasi SPMI berlangsung tidak serentak, berbeda-beda, dan dengan kecepatan tidak sama apabila tidak ada koordinasi dari pemimpin perguruan tinggi.
c. Mengombinasikan model a dan b.
Perguruan tinggi dapat mengombinasikan kedua model di atas dengan alasan dan tujuan tertentu sebagai berikut:
1) Pertama, sebagai pemula sebuah perguruan tinggi membentuk sebuah task force atau tim ad hoc dengan tugas pokok menyusun Dokumen SPMI, setelah itu dibentuk unit SPMI untuk melanjutkan langkah sesuai mekanisme SPMI (lihat Gambar 6). Model ini dapat diadopsi jika jumlah SDM pada perguruan tinggi itu masih terbatas, sehingga pembentukan unit SPMI terkendala, padahal penetapan Standar dalam SPMI (Standar Dikti) sudah mendesak. Namun, ketika perguruan tinggi harus melaksanakan isi berbagai Standar dalam SPMI (Standar Dikti) lalu mengevaluasi dan mengendalikan pelaksanaannya, misalnya dengan melakukan monitoring dan evaluasi, maka model task force ini dipandang kurang efektif. Dalam keadaan tersebut, kemudian dipandang perlu dibentuk unit SPMI dan membubarkan task force atau mengubah personalia task force menjadi pengelola unit SPMI.
2) Kedua, perguruan tinggi membentuk unit SPMI di tingkat perguruan tinggi dengan tugas pokok mengimplementasikan SPMI. Tugas ini dijalankan secara sistematis, efektif, dan menimbulkan dampak psikologis bagi pemangku kepentingan internal sehingga mulai timbul kesadaran mutu, dan pada gilirannya tercipta budaya mutu.
Kemudian, setelah budaya mutu mulai terinternalisasi, secara bertahap tugas dan fungsi dari unit tersebut dapat dialihkan ke para pejabat struktural pada semua tingkat, dan unit tersebut dapat dihapuskan. Penghapusan unit SPMI tidak berarti implementasi SPMI terhenti, karena setiap pejabat struktural sesuai dengan tugas dan wewenangnya masing-masing harus melanjutkan implementasi SPMI di bawah koordinasi langsung pemimpin perguruan tinggi.
3) Ketiga, perguruan tinggi mengorganisasikan implementasi SPMI dengan membentuk unit SPMI di tingkat perguruan tinggi yang membawahi semua unit kerja di perguruan tinggi. Namun, pada tingkat unit kerja seperti fakultas tidak dibentuk unit SPMI yang lebih kecil, tetapi implementasi SPMI merupakan tugas pejabat struktural seperti Dekan, Wakil Dekan, Ketua Jurusan, Sekretaris Jurusan, Kepala Laboratorium, dsb. Sedangkan unit SPMI di tingkat perguruan tinggi bertugas memonitor, mengevaluasi, dan mengaudit pelaksanaan SPMI di semua unit kerja.
BAB III
SISTEM PENJAMINAN MUTU INTERNAL PENDIDKAN VOKASI