Salah satu unsur yang menentukan rasa keadilan dalam pemungutan pajak bagi wajib pajak adalah tarif pajak yang besarnya harus dicantumkan dalam Undang-Undang Pajak. Besarnya tarif dalam Undang-Undang Pajak tidak selalu ditentukan secara nilai persentase tetapi bisa dengan nilai nominal (Ilyas dan Burton, 2007: 29).
Besarnya utang pajak pada umumnya ditentukan oleh kedua komponen utama, yakni jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak atau jumlah yang dikenai pajak (tax base) dan tarif yang diterapkan terhadapnya (tax rates). Oleh karena itu besarnya pajak dapat ditentukan dengan menggunakan rumus:
T = Tb x Tr
T adalah besarnya utang pajak (tax)
Tb adalah dasar pengenaan pajak (tax base) Tr adalah tarif Pajak (tax rates).
Dengan demikian terhadap suatu objek pajak yang nilai dasar pengenaannya sama akan dikenakan utang pajak yang berbeda apabila tarif pajaknya berbeda. Atau, suatu objek pajak yang nilai dasar pengenaannya berbeda dapat menghasilkan jumlah utang pajak yang lama apabila tarif yang diterapkan berbeda pula. Dapat dimengerti di sini bahwa tarif mempunyai arti yang penting untuk menentukan besarnya pajak.
Ada beberapa macam tarif yang dikenal di dalam pajak. Dari macam-macam tarif tersebut, tidak semuanya diterapkan di dalam praktik karena akan menimbulkan masalah keadilan. Macam-macam tarif itu dapat dikemukakan di bawah ini.
Mardiasmo (2011: 9-10), membagi tarif pajak kepada 4 (empat) macam tarif pajak, yaitu:
1. Tarif Sebanding/Proporsional, 2. Tarif Tetap,
3. Tarif Progresif, dan 4. Tarif Degresif.
Ad.1. Tarif Sebanding/Proporsional
Tarif berupa persentase yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak. Contoh: Untuk menyerahkan Barang Kena Pajak di dalam daerah pabean akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10 % (sepuluh persen).
Ad.2. Tarif Tetap
Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap. Contoh: Besarnya tarif Bea Materai untuk cek dan bilyet giro dengan nilai nominal berapapun adalah Rp. 3.000,00.
Ad.3. Tarif Progresif
Persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar. Contoh: Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri.
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp. 50.000.000,- 5 % Di atas Rp. 50.000.000,- s.d Rp. 250.000.000,- 15 % Di atas Rp. 250.000.000,- s.d Rp. 500.000.000,- 25 % Di atas Rp. 500.000.000,- 30 %
Menurut kenaikan persentase tarifnya, tarif progresif dibagi:
b. Tarif progresif tetap : kenaikan persentase tetap.
c. Tarif progresif degresif : kenaikan presentase semakin kecil.
Ad.4. Tarif Degresif
Persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.
Sedangkan Ilyas dan Richard (2007: 29-32), membagi tarif pajak kepada 6 (enam) macam, yaitu:
1. Tarif Progresif (Meningkat), 2. Tarif Degresif (Menurun), 3. Tarif Proporsional (Sebanding), 4. Tarif Tetap,
5. Tarif Advalorem, dan 6. Tarif Spesifik.
Ad.1. Tarif Progresif (Meningkat)
Tarif Progresif adalah tarif pemungutan pajak yang persentasenya semakin besar bila jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak juga semakin besar. Contoh Tarif Progresif adalah seperti yang diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan, yaitu sebagai berikut:
a. Untuk wajib pajak orang pribadi
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp. 25.000.000,- 5 % Di atas R. 25.000.000,- s.d Rp. 50.000.000,- 10 % Di atas Rp. 50.000.000,- s.d Rp. 100.000.000,- 15 % Di atas Rp. 100.000.000,- s.d Rp. 200.000.000,- 25 % Di atas Rp. 200.000.000,- 35 %
b. Untuk wajib pajak badan dan bentuk usaha tetap
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp. 50.000.000,- 10 % Di atas Rp. 50.000.000,- s.d Rp. 100.000.000,- 15 % Di atas Rp. 100.000.000,- 30 %
Dengan Tarif Progresif maka jumlah pajak yang terutang menjadi semakin besar sesuai dengan kenaikan tarif dan besarnya jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Hal ini dapat digambarkan dalam contoh berikut:
Tuan Budi mempunyai penghasilan sebesar Rp. 100.000.000,- maka besarnya pajak yang terutang adalah:
5 % x Rp. 25.000.000 = Rp. 1.250.000 10 % x Rp. 25.000.000= Rp. 2.500.000 15 % x Rp. 50.000.000= Rp. 7.500.000 Jumlah pajak terutang= Rp. 11.250.000 Ad.2. Tarif Degresif (Menurun)
Tarif Degresif adalah tarif pemungutan pajak yang persentasenya semakin kecil bila jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak semakin besar. Sekalipun persentasenya semakin kecil, tidak berarti jumlah pajak yang terutang menjadi kecil, tetapi bias menjadi besar karena jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajaknya juga semakin besar. Tarif ini tidak pernah dipergunakan dalam praktik perundang-undangan perpajakan.
Contoh pemakaian Tarif Degresif:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp. 10.000.000,- 30 % Di atas Rp. 10.000.000,- s.d Rp. 50.000.000,- 25 % Di atas Rp. 50.000.000,- 15 %
Jika Tuan Ali mempunyai penghasilan sebesar Rp. 100.000.000, maka besarnya pajak yang terutang adalah:
30 % x Rp. 10.000.000 = Rp. 3.000.000 25 % x Rp. 40.000.000= Rp. 10.000.000 15 % x Rp. 50.000.000= Rp. 7.500.000 Jumlah pajak terutang= Rp. 20.500.000 Ad.3. Tarif Proporsional (Sebanding)
Tarif Proporsional adalah tarif pemungutan pajak yang menggunakan persentase tetap tanpa memperhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian semakin besar jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak, akan semakin besar pula jumlah pajak terutang (yang harus dibayar). Tarif ini diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai yang menggunakan Tarif Proporsional sebesar 10 % (sepuluh persen).
Misalnya Tuan Alex melakukan transaksi (penjualan) suatu Barang Kena Pajak, sebagai berikut:
Jumlah Penjualan Tarif Besarnya Pajak
Rp. 500.000 10 % Rp. 50.000
Rp. 1.000.000 10 % Rp. 100.000
Rp. 5.000.000 10 % Rp. 500.000
Rp. 10.000.000 10 % Rp. 1.000.000 Demikian pula dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) menggunakan Tarif Proporsional sebesar 0,5 % (nol koma lima persen) serta Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan menggunakan Tarif Proporsional sebesar 5 % (lima persen). Karena Tarif Proporsional ini hanya menggunakan satu tarif yang persentasenya tetap, maka sering disebut juga dengan tarif tunggal.
Tarif Tetap adalah tarif pemungutan pajak yang besar nominalnya tetap tanpa memperhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Tarif ini diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai. Dalam Undang-Undang Bea Materai, tarif yang digunakan adalah Bea Materai dengan nilai nominal sebesar Rp. 500 dan Rp. 1.000. Nilai nominal dalam perkembangannya selalu berubah-ubah. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1995, tarif Bea Materai di atas dinaikan menjadi Rp. 1.000 dan Rp. 2.000 yang selanjutnya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000, tarifnya dinaikan lagi menjadi Rp. 3.000 dan Rp. 6.000.
Ad.5. Tarif Advalorem
Tarif Advalorem adalah suatu tarif dengan persentase tertentu yang dikenakan/ditetapkan pada harga atau nilai suatu barang.
Misalnya PT ABC mengimpor barang jenis X sebanyak 1.000 unit dengan harga per unit Rp. 100.000. Jika tarif Bea Masuk atas impor barang tersebut 10 %, maka besarnya Bea Masuk yang harus dibayar adalah:
Nilai Barang Impor = 1000 x Rp. 100.000 = Rp. 100.000.000 Tarif Bea Masuk 10 %, maka
Bea Masuk yang harus dibayar = 10 % x Rp. 100.000.000 = Rp. 10.000.000
Ad.6. Tarif Spesifik
Tarif Spesifik adalah tarif dengan suatu jumlah tertentu atas suatu jenis barang tertentu atau suatu satuan jenis barang tertentu.
Misalnya PT BCD mengimpor barang jenis x sebanyak 1000 unit dengan harga Rp. 100.000. Jika tarif Bea Masuk atas impor barang Rp. 100.000 per unit, maka besarnya Bea Masuk yang harus dibayar adalah:
Jumlah Barang Impor = 1000 unit Tarif Rp. 100.000, maka
Bea Masuk yang harus dibayar = Rp. 100.000 x 1000 = Rp. 100.000.000