Akibat dari penggunaan lahan yang tidak bijaksana ini adalah berkurangnya pasokan sumber daya lahan yang berkualitas tinggi dan masyarakat semakin bergantung pada sumber daya lahan yang semakin berkualitas rendah. Secara teoritis, pemanfaatan lahan yang paling efisien terletak pada tingkat pemanfaatan yang dapat mencapai hasil mufakat yang maksimal. Sedangkan disebut nilai tambah yang timbul karena kualitas kesuburan tanah melebihi kesuburan lahan lainnya.
Untuk memenuhi kebutuhan yang semakin meningkat ini, penggunaan lahan yang kualitasnya semakin buruk semakin meluas, dan sumber daya alam yang berkualitas semakin langka. Sewa tanah adalah kelebihan pendapatan atas harga tanah, yang memungkinkan penggunaan faktor-faktor produktif tanah dalam proses produksi. Semakin subur tanah maka sewa tanah semakin tinggi, dan tanah yang terletak dekat pusat pasar juga mempunyai nilai sewa yang lebih tinggi.
Meningkatnya kelangkaan sumber daya lahan yang berkualitas tinggi mendorong pemilik sumber daya lahan untuk memilih alternatif penggunaan yang paling menguntungkan. Konsep ini didasarkan pada pengertian land rent menurut Ricardo, yaitu surplus ekonomi atas tanah yang dapat dilakukan diferensiasi. Analisis David Ricardo didasarkan pada asumsi bahwa di kawasan pemukiman baru terdapat sumber daya lahan yang subur dan melimpah.
Nilai Lahan dan Pola Penggunaan Lahan Efisien
Ricardo berpendapat, harga produk pertanian ditentukan oleh biaya produksi seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat. Harga produk harus naik seiring dengan perluasan lahan pertanian dan semakin intensifnya pemanfaatan lahan subur. Dalam sistem pasar, keputusan pemanfaatan ruang cenderung memperhitungkan sewa Ricardian dan lokal, yang disebut dengan sewa tanah ekonomi atau sewa tanah. Karena sewa tanah merupakan dinamika perubahan penggunaan lahan, maka jika sewa tanah tidak memperhitungkan memperhitungkan rente lingkungan, maka pembangunan yang menghasilkan rente ekonomi cenderung merugikan lingkungan. (Rustiadi Ernan.
Keterkaitan Land rent, Social Land Rent dan Konversi Lahan
Tanpa adanya perencanaan, sulit untuk mengoptimalkan ketiga rente tersebut, hal ini dikarenakan distribusi tanah melalui mekanisme pasar pada umumnya tidak menghargai rente lingkungan. Meskipun hukum pasar masih mengarah pada penggunaan lahan dengan sewa lahan tertinggi, namun konversi atau peralihan penggunaan lahan juga terjadi satu arah dan bersifat irreversible (tidak dapat dibatalkan), seperti lahan hutan yang telah terkonversi menjadi lahan pertanian pada umumnya sulit untuk diubah. menghutankan kembali. Secara teoritis, permasalahan konversi lahan muncul karena nilai sewa lahan dalam mekanisme pasar tidak mencerminkan seluruh nilai barang, jasa, dan biaya yang tidak diperdagangkan di pasar, seperti nilai jasa lingkungan.
Akibatnya, mekanisme pasar akan selalu gagal mencapai manfaat sosial maksimum dalam mengalokasikan sumber daya untuk produktivitas riil terbaik dalam jangka panjang dan berkelanjutan. Dalam konteks yang lebih luas, permasalahan konversi lahan, apapun skalanya, baik konversi lahan skala besar maupun skala kecil seringkali mempunyai permasalahan klasik berupa: Ketiga permasalahan tersebut di atas sangat berkaitan erat satu sama lain, sehingga permasalahan tersebut tidak berdiri sendiri dan tidak melibatkan pendekatan parsial yang dapat diselesaikan, namun memerlukan pendekatan terpadu (Rustiadi Ernan.
Produksi Padi Sawah
Lahan sawah adalah lahan yang digunakan untuk budidaya padi sawah, baik secara terus menerus sepanjang tahun maupun digilir dengan tanaman palawija. Istilah lahan sawah bukan merupakan istilah taksonomi tetapi merupakan istilah umum seperti lahan hutan, lahan perkebunan, lahan perkebunan dan lain sebagainya. Lahan sawah dapat berasal dari lahan kering yang diairi kemudian ditanami sawah, atau dari lahan rawa yang dikeringkan dengan membuat saluran drainase (Prasetyo dkk, 2004 dalam jurnal “Rancang Bangun Alat Ukur Resistivitas Tanah Sebagai Alat untuk Mengenal Tanah) Indikator Mutu Tanaman Padi” oleh Dariska Kukuh Wahyudianto, Rika Rokhana, Eru Puspita). Menurut Lahuddin dan Muklis (2006), lahan sawah adalah lahan yang dikelola sedemikian rupa untuk menumbuhkan tanaman padi sawah, yang umumnya sering terjadi banjir. dilakukan selama atau sebagian masa tanam padi.
Walaupun tergolong lahan basah, namun agak berbeda dengan tanah rawa (Mars Soils) atau tanah terendam (Submerged Soils) atau tanah bawah air (Subaquatic Soils) dalam hal pengelolaannya, karena tidak terus-menerus tergenang air, maka disebut juga Wetland of Wetland. Beras. Ciri khas tanah berpasir yang membedakannya dengan tanah tergenang lainnya adalah adanya lapisan oksidasi di bawah permukaan air akibat difusi O2 setebal 0,8 – 1,0 cm, kemudian lapisan pereduksi setebal 25-30 cm dan diikuti lapisan bajak kedap air. Selain itu, pada saat tanaman padi tumbuh, akan terjadi pengeluaran O2 dari akar tanaman padi sehingga menimbulkan kesan tersendiri pada sawah. merendam dan menghaluskan tanah hingga jenuh air, (iii) menggenangi tanah dengan air setinggi 5-10 cm selama 4-5 bulan, (iv) mengalirkan air dan mengeringkan tanah pada saat panen, dan (v) menggenangi kembali setelah panen. interval kira-kira beberapa minggu sampai 8 bulan. Jurnal “Rancang Bangun Alat Ukur Resistivitas Tanah Sebagai Alat Untuk Mengenali Indikator Kualitas Tanah Bagi Tanaman Padi” oleh Dariska Kukuh Wahyudianto, Rika Rokhana, Eru Puspita).
Iklim yang mendukung dengan curah hujan yang tinggi sangat mempengaruhi pertumbuhan padi, karena tanaman padi berkerabat dengan.
Pengertian dan Ketersediaan Air Irigasi
Tujuan Irigasi
Manfaat Irigasi
Konsep Swasembada Pangan, Kemandirian Pangan, Kedaulatan Pangan, dan Ketahanan Pangan
Upaya atau harapan yang dimaksud adalah meningkatkan produksi pangan yang berdaya saing pangan sehingga hasil yang diperoleh adalah ketersediaan pangan dari produk dalam negeri yang diperoleh dari hasil petani sebagai pemangku kepentingan dalam negeri sedangkan impor hanya digunakan sebagai pelengkap saja. Ruang lingkup kedaulatan pangan tidak jauh berbeda dengan swasembada pangan dan kemandirian pangan, yaitu lingkup nasional dengan sasaran petani sebagai pengelola lahan produktif dapat memproduksi pangan yang beragam dan selain itu dengan prioritas petani adalah konversi pangan. lahan sebagai sumber pangan juga dapat mengurangi kebijakan mengenai hak-hak petani. Dalam konsep ketahanan pangan ruang lingkupnya berbeda dengan yang lain, yaitu mencakup rumah tangga dan individu.
Hasil yang diharapkan adalah masyarakat sehat dan produktif (harapan hidup lebih tinggi). Konsep ketahanan pangan yang sempit mengulas sistem ketahanan pangan dari aspek input yaitu produksi dan penyediaan pangan. Sebagaimana diketahui, baik secara nasional maupun global, melimpahnya ketersediaan pangan yang melebihi kebutuhan gizi penduduk tidak menjamin seluruh penduduk akan terbebas.
Konsep ketahanan pangan secara luas diawali dari tujuan akhir ketahanan pangan, yaitu tingkat kesejahteraan manusia. Apabila salah satu aspek tersebut tidak terpenuhi maka suatu negara belum dapat dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang cukup. Ketersediaan pangan ini diharapkan mampu menyediakan pangan yang cukup, yang diartikan sebagai jumlah kalori yang diperlukan untuk hidup aktif dan sehat.
Budidaya: Peningkatan produksi pangan dan mutu pangan dapat dicapai melalui intensifikasi budidaya dan program diversifikasi pangan, termasuk pengolahan bahan pangan menjadi pangan yang bernilai tambah. Konsumsi beras terdiri dari dua bagian, yaitu konsumsi beras dalam rumah tangga dan konsumsi beras di luar rumah tangga. Konsumsi rumah tangga dipisahkan menjadi makanan dan non makanan, apapun asal barangnya, dan dibatasi hanya pada pengeluaran untuk kebutuhan rumah tangga.
Konsumsi non rumah tangga adalah konsumsi pangan yang berbahan dasar beras yang diperoleh/dibeli di luar rumah tangga. Penurunan terbesar terjadi pada tahun 2007 dimana konsumsi beras dalam keluarga mengalami penurunan masing-masing sebesar 5,4% dari 96,41 kg/kapita/tahun menjadi 91,2 kg/kapita/tahun.
Perlindungan Lahan Pertanian
- Undang – undang Tentang Pangan No 18 Tahun 2012
- Instruksi Presiden Target Surplus Beras 10 Juta Ton dan Target Surplus Gabah Kabupaten Karawang
- Kebijakan Penataan Ruang
- RTRW Nasional (PP 26 tahun 2008)
- RTRW Provinsi Jawa Barat (Perda No 22 Tahun 2010)
- RTRW Kabupaten Karawang
Dalam upaya mencapai target surplus 10 juta ton, Kabupaten Karawang dibebani surplus gabah kering giling sebesar 1,5 juta ton. Tujuan penataan ruang kabupaten merupakan arah untuk mewujudkan rencana tata ruang kabupaten yang akan terwujud pada masa yang akan datang (20 tahun). Kebijakan Penataan Ruang Kabupaten merupakan arah tindakan yang harus ditetapkan untuk mencapai tujuan Penataan Ruang Kabupaten.
Strategi penataan ruang daerah merupakan penjabaran kebijakan penataan ruang daerah ke dalam langkah-langkah operasional untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kawasan Pengembangan Purwasuka sebagai penjabaran dari Kawasan Pendukung Purwasuka meliputi Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Subang, dan Kabupaten Karawang. Pada dasarnya perlakuan terhadap aspek keruangan pada sektor-sektor penting di Kabupaten Karawang termasuk dalam arah pengembangan struktur dan pola tata ruang.
Sedangkan pola spasial menggambarkan fungsi spasial di Kabupaten Karawang (seperti industri, pertanian, pertambangan, pariwisata dan lain-lain) serta indikasi sebaran spasial. Kawasan strategis adalah bagian kawasan yang penataan ruangnya menjadi prioritas, karena mempunyai dampak yang sangat penting terhadap perekonomian, sosial budaya, dan/atau lingkungan hidup di dalam kawasan tersebut. Batas fisik kawasan strategis kawasan akan ditentukan lebih rinci dalam rencana tata ruang kawasan strategis.
Mengembangkan, melestarikan, melindungi dan/atau mengkoordinasikan pengembangan terpadu nilai strategis kawasan untuk mendukung penataan ruang kabupaten; Sebagai peruntukan ruang bagi berbagai kegiatan sosial ekonomi masyarakat dan kegiatan pelestarian lingkungan hidup pada wilayah kabupaten yang dinilai mempunyai dampak yang sangat penting terhadap wilayah kabupaten yang bersangkutan; Struktur dan pola tata ruang Kabupaten Karawang telah menjadi pedoman penataan ruang pada bagian wilayah yang terdapat industri, maupun pada wilayah yang diperuntukkan bagi industri.
Perhatian besar Pemerintah Kabupaten Karawang terhadap keberlanjutan pembangunan industri di wilayahnya antara lain ditunjukkan dengan menetapkan beberapa bagian wilayahnya yang mempunyai kawasan dan/atau kawasan industri yang terancam keberadaannya akibat banjir di kawasan strategis. Ancaman alih fungsi yang terjadi akan mengganggu keberlanjutan produksi pangan daerah dan pada akhirnya juga menghambat upaya menjaga kebijakan ketahanan pangan yang diterapkan Kabupaten Karawang. Untuk itu lahan pertanian (sawah) di sepanjang koridor Karawang Barat dan Cikampek perlu mendapat perhatian khusus agar tidak mengalami konversi, yaitu dengan menetapkannya sebagai Kawasan Strategis Pertanian di sekitar Kawasan Perkotaan Karawang Barat – Cikampek.
Kawasan strategis ini meliputi lahan pertanian pangan sepanjang Tol Jakarta – Cikampek ruas Karawang Barat – Cikampek di kecamatan Karawang Barat, Karawang Barat, Telukjambe Timur, Klari, Purwasari dan Cikampek.
Definisi Operasional