• Tidak ada hasil yang ditemukan

04. Hunggul.cdr - Portal Publikasi Badan Litbang Kehutanan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "04. Hunggul.cdr - Portal Publikasi Badan Litbang Kehutanan"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

(Characteristic and Susceptibility of Deforestation in Kesungai Sub Watershed)*

Hunggul Y.S.H. Nugroho

Balai Penelitian Kehutanan Makassar

Jl. Perintis Kemerdekaan Km.16,5, Sudiang, Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia Telp. (+62) 411-554049; Fax. (+62) 411-554058

Email: [email protected], [email protected]

*Diterima: 9 September 2014; Direvisi: 17 Februari 2015; Disetujui: 18 Februari 2015

ABSTRACT

Potential continuation of deforestation caused by swidden farming and small scale agriculture in the future will be still high due to the fact that millions people have been living in and near the forest. Previous researches on deforestation triggered by swidden farming and small scale agriculture concluded that there were correlation between deforestation and accessibility as well as slope. The objective of the research was to present information of characteristic and susceptibility of deforestation in Kesungai Sub Watershed, Paser, East Kalimantan.

Analyses were conducted by employing ILWIS (Integrated Land and Water Information System), a Remote Sensing and GIS-based spatial analysis software. This research concluded that spatially, deforestation magnitude was influenced by accessibility and topography. The closer the forest to settlement, road and river, as well as the flatterthe slope, potentialof deforestation increasing.

Keywords: Spatial analysis, deforestation factor, deforestation susceptibility, accessibility, slope

ABSTRAK

Di Indonesia, potensi deforestasi akibat perladangan berpindah dan pertanian skala kecil diperkirakan akan cukup tinggi sampai beberapa tahun ke depan. Beberapa penelitian terkait deforestasi akibat perladangan berpindah dan pertanian skala kecil menyimpulkan bahwa ada korelasi yang nyata antara deforestasi dengan keterjangkauan (accessibility) dan kemiringan lereng. Penelitian tentang analisis keruangan (spatial analysis) deforestasi ditunjukkan untuk mendapatkan informasi karakteristik serta kerentanan deforestasi secara keruangan di Sub DAS Kesungai, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, dalam hubungannya dengan faktor aksesibilitas dan topografi lahan. Analisis dilakukan dengan menggunakan bantuan program ILWIS (Integrated Land and Water Information System), sebuah program analisis keruangan berbasis GIS (Geographic Information Systems) & Remote Sensing. Hasil penelitian disimpulkan bahwa secara keruangan besarnya deforestasi dipengaruhi oleh kemudahan dijangkau dan kondisi topografi. Semakin dekat lahan hutan dengan perkampungan, jalan dan sungai serta semakin datar topografi, maka potensi deforestasi akan semakin besar Kata kunci: Analisis keruangan, faktor deforestasi, kerentanan deforestasi, keterjangkauan, kemingan lereng

I. PENDAHULUAN

Secara ringkas deforestasi diartikan sebagai proses perubahan lahan dari berhutan ke tidak berhutan (Blaser, 2010; Boucher et al., 2011). Kementerian Kehutanan mendefinisikan deforestasi sebagai perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia (Kementerian Kehutanan, 2009). Pada periode 2005- 2010, dengan laju deforestasi 0,68 juta ha/tahun, Indonesia menjadi penyumbang 12%

deforestasi di dunia. Jumlah ini menurun dibandingkan periode 1990-2005 yang sebesar 1,9 juta ha/tahun atau 23% dari deforestasi di dunia (FAO, 2011).

Deforestasi yang diakibatkan oleh kegiatan pertanian dapat di kelompokkan ke dalam dua kelompok penyebab: komersial/industri dan pertanian skala kecil/subsisten/perladangan ber- pindah. Deforestasi skala besar umumnya terkait dengan pembangunan perkebunan dimana

(2)

untuk Indonesia khususnya adalah kebun kelapa sawit (Boucher et al., 2011; REDD-Net Bulletin Asia Pacific, 2011). Sementara itu, walaupun tidak menjadi penyebab utama (Lininger, 2011), di Indonesia dan juga belahan dunia lain seperti Afrika dan Asia, perladangan berpindah memberikan andil terhadap besarnya deforestasi dan kerusakan hutan (Boucher et al., 2011; Chen et al., 2012; de Neergaard et al., 2008).

Di Indonesia, potensi deforestasi akibat perladangan berpindah dan pertanian skala kecil yang dikelola oleh masyarakat diperkirakan akan cukup tinggi sampai beberapa tahun ke depan. Kurang lebih 25.800 desa (36,7% dari total desa di Indonesia) berada di dalam dan disekitar hutan dimana 98% dari jumlah penduduknya menggantungkan hidupnya pada kegiatan pertanian (Badan Planologi Kehutanan, 2007; Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, 2009).

Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji karakteristik serta kerentanan deforestasi akibat perluasan lahan pertanian dalam hubungannya dengan faktor aksesibilitas dan topografi lahan. Faktor aksesibilitas yang dimaksud dalam tulisan ini adalah jarak dari jalan, jarak dari sungai dan jarak dari pemukiman. Faktor topografi adalah kemiringan lereng. Beberapa penelitian terkait deforestasi akibat perladangan berpindah dan pertanian skala kecil menyimpulkan bahwa ada korelasi yang nyata antara deforestasi dengan keterjangkauan (accessibility) dan kemiringan lereng (Entwisle et al., 2008; Lininger, 2011; May-Tobin, 2011; Newman et al., 2014; Purnamasari, 2010).

Kajian dilaksanakan berbasis analisis keruangan (spatial analysis) menggunakan perangkat lunak berbasis GIS (Geographic Information Systems) dan penginderaan jauh (remote sensing) serta didukung dengan data hasil wawancara. Perangkat GIS yang digunakan adalah ILWIS (Integrated Land and Water Information System), sebuah program analisis keruangan berbasis GIS danpenginderaan jauh yang dibangun oleh International Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences(ITC), Belanda. Dengan pemahaman pola deforestasi secara keruangan, diharapkan pengendalian laju deforestasi bisa lebih tepat sasaran.

II. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian telah dilaksanakan pada tahun 2012. Lokasi penelitian meliputi dua wilayah kecamatan di Kabupaten Paser, Provinsi Kalimantan Timur, yaitu Batu Sopang dan Muara Komam. Dilihat dari sistem hidrologi, Sub DAS Kesungai merupakan bagian dari DAS Kendilo yang bagian hulunya berada di Hutan Lindung Gunung Lumut (1.210 m dpl) dan bagian hilirnya berada di Tanah Grogot, ibukota Kabupaten Paser. Hutan Gunung Lumut ditetapkan sebagai hutan lindung melalui Keputusan Menteri Kehutanan nomor 79/Kpts- II/2001. Secara geografis lokasi penelitian berada diantara 115 30'45”-116 0'15” Bujur Timur o o dan antara 1 20'25”-1 50'40” Lintang Selatan. Peta wilayah studi dapat dilihat padao o Gambar 1.

(3)

Gambar (Figure)1. Peta wilayah studi (Study site map)

B. Bahan dan Alat

Bahan penelitian terdiri dari cita landsat 2006 dan 2011, peta penggunaan dan penutupan lahan / landuse and landcover (LULC) map, peta kawasan hutan dan perairan Provinsi Kalimantan Timur, peta jaringan jalan dan jaringan sungai dari Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) digital, peta adiministrasi. Alat yang digunakan adalah seperangkat komputer dengan software ArcGis 10.1, ER mapper 7.1, Google Earth dan ILWIS 3.3., kuesioner dan perekam suara.

C. Metodologi Penelitian

Pengumpulan data keruangan dilakukan melalui dua kegiatan yaitu 1) analisis di atas meja (desk analysis) meliputi pengolahan citra dan peta dan 2) kunjungan lapangan (field visit) meliputi wawancara, diskusi dan pengamatan lapangan (ground check).

1. Analisis di Atas Meja (Desk analysis)

Kegiatan ini terbagi ke dalam empat kegiatan yaitu: pengolahan peta dasar, analisis deforestasi aktual, analisis faktor deforestasi dan analisis kerawanan deforestasi.

a. Pengolahan Peta Dasar

1). Peta Penggunaan dan Penutupan Lahan (Land Use and Land Cover/LULC)

Peta LULC diperoleh dari analisis citra landsat ETM resolusi spatial 30 meter menggunakan perangkat lunak (software ER mapper) 7.1 dan dikelaskan menjadi sembilan kelas dengan kriteria mengikuti sistem klasifikasi penutupan lahan menurut Badan Standarisasi Nasional Indonesia tahun 2010 (Badan Standarisasi Nasional Indonesia, 2010) yaitu: hutan lahan kering primer (primary dry land forest), hutan lahan kering sekunder

Sumber (Source): Tumpang susun Peta DAS dari hasil delineasi DEMSRTM dengan peta administrasi (Obtained from SRTMDEM delineation)

(4)

(secondary dry land forest), hutan tanaman (plantation forest), badan air (water bodies), pemukiman (settlement), perkebunan kelapa sawit (oil palm plantation), perkebunan karet (rubber plantation), ladang (dry cultivation land) dan semak (shrub). Untuk menentukan kelas penutupan lahan, digunakan klasifikasi multispektral terbimbing (supervised classification) dengan band lima, empat dan tiga dan areal sampel yang di validasi dengan kunjungan lapangan untuk membedakan hutan, kebun, semak, badan air, pemukiman dan tanah terbuka.

2). Peta Kemiringan Lereng

Peta kemiringan lereng (slope map) diinterpretasi dari DEM (Digital Elevation Model).

Digital Elevation Model dibuat dengan menggunakan perintah interpolate contour pada ILWIS dari peta garis kontur (25 m) yang diperoleh dari peta RBI digital. Dari proses ini diperoleh peta kelas kemiringan lereng.

3). Peta Jarak dari Jalan (Road Distance Map), Jarak dari Sungai (River Distance Map) dan Jarak dari Pemukiman(Settlement Distance Map)

Masing-masing peta jarak dibuat dari peta jaringan yang berasal dari peta RBI digital. Peta jarak dibuat dengan menggunakan perintah distance calculation pada ILWIS. Sebelum proses ini dilakukan, terhadap masing-masing peta jaringan dilakukan koreksi peta dengan menggunakan citra satelit dari Google Earth serta data dan informasi ground check atau kunjungan lapangan. Citra dari Google Earth yang digunakan adalah citra tertanggal 24 Mei 2007 dan 19 Mei 2012. Hasil akhir dari proses ini adalah peta jarak yang membagi seluruh wilayah studi ke dalam kelas-kelas jarak baik jarak dari jalan, jarak dari sungai maupun jarak dari pemukiman.

b. Analisis Deforestasi Aktual

Analisis deforestasi dilakukan dengan membandingkan peta LULC tahun 2006 dengan tahun 2011. Areal deforestasi adalah lahan yang pada peta LULC 2006 berdasarkan sistem klasifikasi BSNI diklasifikasikan sebagai hutanlahan kering primer maupun sekunder dan pada tahun 2011 berubah menjadi klasifikasi non hutan (ladang dan perkebunan) baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. Dalam standar klasifikasi BSNI yang mengacu pada Land Cover Classification Systems - United Nation Food and Agriculture Organization (LCCS- UNFAO) dan ISO 19144-1 Geographic Information Systems, hutan lahan kering didefinisi- kan sebagai hutan yang tumbuh pada lahan kering baik dataran rendah, pegunungan atau pun dataran tinggi yang belum menampakkan bekas tebangan (primer) maupun menampakkan bekas tebangan (sekunder). Hasil akhir dari proses ini adalah peta deforestasi 2006-2011.

c. Analisis Faktor Deforestasi

Peta faktor deforestasi mengindikasikan luasan dan persentase deforestasi berdasarkan kelas lereng, jarak dari jalan, sungai maupun pemukiman. Kemiringan, jarak dari jalan, jarak dari sungai dan jarak dari pemukiman digunakan sebagai faktor-faktor yang memberikan kontribusi terhadap perubahan penutupan hutan. Empat peta faktor deforestasi tersebut selanjutnya digunakan untuk membuat peta kerentanan deforestasi (deforestation suscepti- bility map).

d. Pembuatan Peta Kerentanan Deforestasi

Peta faktor deforestasi dibuat melalui tumpang susun antara peta jarak dan peta kemiringan lereng dengan peta deforestasi menggunakan fasilitas cross table pada ILWIS. Proses ini akan

(5)

menghasilkan empat peta faktor deforestasi dan masing-masing disertai dengan tabel data nilai kepadatan deforestasi (deforestation density) pada setiap kelasnya (kelas jarak atau kelas kemiringan). Nilai kepadatan ini dinyatakan dalam banyaknya piksel (pixel) area terdeforestasi dibagi dengan jumlah piksel total. Nilai kepadatan selanjutnya digunakan dalam menentukan bobot dari masing-masing faktor. Bagan alir proses pembuatan peta kerentanan deforestasi dan prosedur pembobotannya disajikan pada Gambar 2.

TUMPANG SUSUN (OVERLAY) Peta deforestasi aktual

(Actual Deforesta on Map) 2006-2011

-

Peta kelas jarak dan kemiringan (Distance and slope class map)

Penghitungan kepadatan (Density Calculation)

Darea

Penghitungan bobot relative (Relative Weight Calculation)

W rel

Penghitungan bobot temporer (Temporary Weight Calculation)

Wtemp

Penghitungan Bobot Kelas (Class Weight Calculation)

Wclass PETA FACTOR (Factor maps)

T A B L E C R O S S T A B L E C R O S S

Gambar (Figure) 2. Prosedur pembobotan dan pembuatan peta kerentanan deforestasi (Procedures of deforestation susceptibility weighing and mapping)

Rumus kepadatan deforestasi yang digunakan sebagai berikut:

D x = (Npixdef.x/Npix )*100def

Wrel = Density-Dx Wtemp = (Wrellow-W )-1rel Wclass = Wtemplow/Wtemp

Dimana:

Dx = Kepadatan deforestasi pada kelas jarak /kemiringan x (Deforestation density in certain distance class/slope)

Npixdef.x = Jumlah pixel terdeforestasi pada kelas jarak /kemiringan x

(Deforestation pixel number in certain distance class/slope)

Npixdef = Jumlah total pixel terdeforestasi (Total number of deforestation pixel)

Wrel = Bobot relatif (Relative weight)

Sumber (Source): Hamzah, H. (2012)

(DEFORESTATION SUSCEPTIBILITY MAP) PETA KERENTANAN DEFORESTASI

(6)

Wrelow = Nilai bobot relatif terkecil (Smallest value of relative weight)

Wtemp = Bobot temporer (Temporary weight)

Wtemplow = Nilai bobot temporer terkecil (Smallest value of temporary weight)

Wclass = Bobot kelas (Class weight)

Kombinasi bobot-bobot dari setiap peta faktor selanjutnya akan menghasilkan nilai-nilai kerentanan deforestasi dalam tampilan peta kerentanan deforestasi (Deforestation suscepti- bility map).

2. Kunjungan Lapangan

Untuk melengkapi informasi karakteristik deforestasi, dilakukan survey lapangan dan wawancara perorangan sertadiskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion) di dua desa sampel yang terletak di dalam kawasan hutan, yaitu Desa Rantau Buta dan Rantau Layung.

Dua desa ini dipilih selain karena wilayahnya secara keseluruhan berada di dalam kawasan hutan, mata pencaharian utama seluruh penduduk adalah petani lahan kering dengan pola peladangan berpindah. Wawancara terhadap setiap kepala keluarga dilakukan dengan meng- gunakan kuesioner. Data yang dikumpulkan adalah data yang terkait dengan aktivitas pem- bukaan lahan dari tahun ke tahun meliputi jumlah, luas per persil dan lokasi lahan.

II I. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Deforestasi Secara Keruangan

Berdasarkan tumpang susun peta penggunaan lahan tahun 2006 dan 2011, diperoleh deforestasi aktual pada periode 2006-2011 seperti tergambar dalam Gambar 3.

Gambar (Figure) 3. Deforestasi pada periode 2006-2011(Deforestation in the period of 2006-2011) Sumber (Source): Tumpang susun peta penggunaan lahan 2006 – 2011

(Overlay of landuse maps 2006 – 2011)

(7)

Hasil analisis peta di atas, secara umum konversi lahan hutan ke pertanian terjadi di dekat desa dan lahan pertanian sebelumnya serta terkonsentrasi pada dataran rendah pada kemiringan yang relatif landai. Hal ini sejalan dengan penelitian lainnya yang terkait dengan hubungan antara deforestasi dan kemiringan lereng (Gao & Liu, 2012; Ochoa-Gaona &

Gonzales-Espinosa, 2000). Walaupun dalam luasan kecil, ada beberapa lokasi lahan pertanian baru yang berada jauh dari desa maupun lahan pertanian yang telah ada. Luas areal terdefo- restasi dan proporsinya berdasarkan fungsi kawasan disajikan pada Tabel 3 di bawah ini.

Tabel (Table) 3. Luas areal terdeforestasi di Sub DAS Kesungai berdasarkan fungsi kawasan (The extent of deforested area in Kesungai Sub Watershed based on area function)

Fungsi hutan (Forest function)

Luas (Ha) (Total area)

Deforestasi (Ha) (Deforestation)

Persen deforestasi (%)

(Deforestation percentage)

Proporsi area terdeforestasi (%)

(Proportion of deforestedarea) (%) Area penggunaan lain (Non-

forest area) 45.340 7.832 17,27 78

Hutan lindung(Protection

forest) 60.442 396 0,66 3

Hutan produksi (Production

forest) 48.759 1.012 2,07 9

Hutan produksi terbatas

(Limited production forest) 50.371 1.118 2,22 10

Total 204.912 10.359 22,23 100

Tabel di atas dapat dilihat bahwa pada periode 2006-2011 terjadi deforestasi seluas 10.359 ha. Luasan tersebut, 78% terjadi di luar kawasan hutan dan 22% terjadi di kawasan hutan.

Sampai dengan tahun 2011, konversi kawasan hutan menjadi lahan pertanian terbesar terjadi di dalam kawasan hutan produksi dan hutan produksi terbatas. Hanya sekitar 3% dari total deforestasi terjadi di dalam kawasan hutan lindung.

Melalui proses tumpang susun (overlay) antara deforestasi aktual dengan masing-masing peta faktor deforestasi (deforestation factor maps), diperoleh informasi luas areal terdefo- restasi berdasarkan faktor jarak dari pemukiman, jalan dan sungai serta kemiringan lereng seperti pada Gambar 4, Gambar 5, Gambar 6 dan Gambar 7. Hasil analisis menunjukkan bahwa semakin dekat jarak dengan jalan, sungai dan pemukiman serta semakin datar lahan, potensi deforestasi semakin besar.Hasil ini memperkuat hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa lahan hutan pada areal yang relatif datar dan dekat dengan sungai dan jalan akan dibuka terlebih dahulu oleh para peladang, baru kemudian mengarah ke lereng yang semakin curam dan jauh dari jalan, sungai dan pemukiman. Hal ini juga sejalan dengan hasil penelitian tentang deforestasi di Jamaica selama periode 1942-2010 (Newman, et al., 2014) dan di Cina selama periode 1896-2000 (Gao & Liu, 2012). Untuk lokasi Sub DAS Kesungai, kedekatan dengan jalan dan sungai sangat terkait dengan kemudahan transportasi peladang maupun transportasi sarana pertanian dan pengangkutan hasil pertanian. Dari analisis citra dan pengamatan lapangan, adanya jalan baru yang melintasi kawasan hutan merangsang munculnya pembukaan lahan baru di kawasan hutan. Selama ini sarana transportasi yang digunakan oleh masyaraklat selain transportasi darat juga transportasi air melalui sungai.

Topografi lahan sangat terkait dengan kemudahan dalam penggarapan.

Pada Gambar 4, Gambar 5, Gambar 6 dan Gambar 7 dapat dilihat bahwa konversi lahan tertinggi (30%) terjadi pada jarak kurang dari satu km dari jalan sedangkan sisanya sekitar 44% terjadi pada rentang jarak empat sampai dengan sembilan Km. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa tidak terdapat kegiatan pertanian di lokasi yang lebih tiga km dari

(8)

sungai. Sebagian besar (83%) dari ekspansi pertanian berada pada radius satu km dari sungai.

Selanjutnya dilihat dari aspek kemiringan lereng, ekspansi lahan pertanian terjadi pada kemiringan lereng kurang dari 35%. 82% dari lahan pertanian baru berada pada areal dengan kemiringan di bawah 10% dan hanya 3% berada pada kemiringan 25%-35%. Sementara itu, dari sisi kedekatan dengan pemukiman, lahan pertanian baru berada pada rentang jarak 0-7 km dimana 55% terkonsentrasi pada rentang jarak 1-3 km.

Gambar (Figure) 4. Grafik konsentrasi areal terdeforestasi berdasarkan jarak dari pemukiman (Graph deforestation concentration based ondistance from settlement)

Gambar (Figure) 5. Grafik konsentrasi areal terdeforestasi berdasarkan jarak dari sungai (Graph deforestation concentration based on distance from road)

Areal terdeforestasi berdasarkan jarak dari pemukiman (Deforested area based on distance from settlement)

Areal terdeforestasi berdasarkan jarak dari jalan (Deforested area based on distance from road)

Selang Jarak (Km), proporsi (%) dan luas (Ha) (Distance interval (Km), proportion (%) and extent (Ha))

Selang Jarak (Km), proporsi (%) dan luas (Ha) (Distance interval (Km), proportion (%) and extent (Ha))

Proporsi (%) (Proportion) (%)Proporsi (%) (Proportion) (%) Luas (Ha) (Extent )(Ha)Luas (Ha) (Extent )(Ha)

30 25 20 15 10 05 00

40 30 15 10 00

<1

<1

%

% Ha

Ha 137

300 274

836 276

956 142

748 944

996 492

120 244

102 12

760 0

436 0

24 0

0 14

30 27

08 28

10 14

07 09

10 05

12 02

10 00

08 00

04 00

00 00

00 1-2

1-2 2-3

2-3 3-4

3-4 4-5

4-5 5-6

5-6 6-7

6-7 7-8

7-8 8-9

8-9 9-10

9-10

>10

>10

3.000 2.500 2.000 1.500 1.000 500 0

4.000 3.000 2.000 1.000 0

(9)

Gambar (Figure) 6. Grafik konsentrasi areal terdeforestasi berdasarkan jarak dari sungai (Graph deforestation concentration based on distance from river)

Gambar (Figure) 7. Grafik konsentrasi areal terdeforestasi berdasarkan kemiringan lereng (Graph deforestation concentration based onslope)

Selanjutnya, melalui proses pembobotan terhadap faktor deforestasi dan kedekatan hubu- ngan antara setiap faktor dengan besarnya deforestasi, dihasilkan peta kerentanan deforestasi sebagaimana disajikan pada Gambar 8. Semakin tinggi nilai kerentanan semakin tinggi potensi terjadinya deforestasi pada daerah itu.

Areal terdeforestasi berdasarkan jarak dari sungai (Deforested area based on distance from river)

Areal terdeforestasi berdasarkan kemiringan lereng (Deforested area based on slope)

Selang Jarak (Km), proporsi (%) dan luas (Ha) (Distance interval (Km), proportion (%) and extent (Ha))

Kemiringan (%), proporsi (%) dan luas (Ha) (Slope (%), proportion (%) and extent (Ha))

Proporsi (%) (Proportion) (%)Proporsi (%) (Proportion) (%) Luas (Ha) (Extent )(Ha)Luas (Ha) (Extent )(Ha)

100 80 60 40 20 00

80 60 40 20 00

10.000 8.000 6.000 4.000 2.000 0

8.000 6.000 4.000 2.000 0

<1

<5

%

% Ha

Ha 827

592 138

223 284

788 48

356

0

192

0

168

0

124

0

52

0

32

0

24

0

20 12 4 4

83

60 14

22 03

08 00

04

00

02

00

02

00

01

00

01

00

00 00

00

00 00

00

00 00

1-2

5-10

2-3

10-15

3-4

15-20

4-5

20-25

5-6

25-30

6-7

30-35

7-8

35-40

8-9

40-45

9-10

45-5050-5555-6060-65

>10

>65

(10)

Gambar (Figure) 8. Peta kerentanan deforestasi (Deforestation susceptibility map)

Gambar di atas nampak bahwa daerah-daerah yang dekat dengan pemukiman, jalan, sungai serta daerah yang relatif datar lebih rentan mengalami deforestasi akibat konversi ke lahan pertanian dibandingan dengan daerah lainnya.

B. Perkembangan Deforestasi Berdasarkan Pencermatan di Lapangan

Hasil wawancara dengan masyarakat di desa sampelmengenai perkembangan pembukaan lahan disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2 serta Gambar 3 dan Gambar 4.

Tabel (Table) 1. Luas dan jarak lahan dari pemukiman di Desa Rantau Buta (Extent, and distance from settlement of land in Rantau Buta Village)

Tahun (Year )

Pembukaan kawasan hutan (Forest clearing) Luas persil rata-rata (Ha)

(Average parcel extent ) (Ha)

Jarakrata-rata(km) (Average distance) (km)

2005 0,2

2006 0,5

2007 0

2008

1 1 0

1 1

2009 0,3 0,7

2010 1 1,3

2011 0,8 1,5

2012 1,125 4

(11)

Tabel 1 dapat dilihat bahwa luas lahan per persil relatif tidak berubah dari tahun ketahun pada kisaran satu hektar. Luasan persil yang dibuka tidak ada kaitannya dengan jarak dari pemukiman. Sementara itu, luas dan jumlah persil total (akumulasi) selama delapan tahun di seluruh lokasi mengalami kenaikan (Gambar 3).

Dalam bentuk grafik, luas pembukaan lahan dalam kawasan hutan untuk perladangan di Desa Rantau Buta serta jumlah persil dan rata-rata jarak dari desa dari tahun ke tahun disajikan pada Gambar 3.

Gambar (Figure)3. Grafik perkembangan perladangan di Desa Rantau Buta (Chart of swidden expansion in Rantau Buta Village)

Untuk Desa Rantau Layung, informasi yang bisa digali hanya dari tahun 2008. Di Desa Rantau Layung pola pembukaan lahan juga menunjukkan kecenderungan yang sama dengan Desa Rantau Buta seperti tercantum dalam Tabel 2 dan Gambar 4.

Tabel (Table) 2. Luas dan jarak rata-rata perladangan dari pemukiman di Desa Rantau Layung (Extent and distance from settlement of swidden land in Rantau Layung Village)

Tahun

(Year ) Pembukaan kawasan hutan (Forest clearing)

Luas persil rata-rata (Ha) (Average parcel extent ) (Ha)

Jarakrata-rata(km) (Average distance)(km)

2008 2 2,3

2009 1 2,3

2010 1,67 2,6

2011 1,5 2,5

2012 1,5 2,7

Luas Akumulasi (Ha) (Accumulated Area in Hectares) Luas Total Tahunan (Ha) (Total Area per Year in Hectares)

Jumlah Lahan Akumulasi (Accumulated Number of Parcel) Jumlah Lahan Tahunan (Number of Parcel per Year)

Rata-rata Jarak dari Desa (Km) (Average Distance from Village (Km)) Luas (Ha) Extent (Ha)

30 25 20 15 10 5 0

Jumlah (persil) Number (parcel) 30 25 20 15 10 5 0

Jarak (Km) Distance (Km) 5 4 3 2 1 0

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

(12)

Dalam bentuk grafik, luas pembukaan lahan dalam kawasan hutan untuk perladangan di Desa Rantau Layung serta jumlah persil dan rata-rata jarak dari desa dari tahun ke tahun disajikan pada Gambar 4.

Gambar (Figure) 4. Grafik perkembangan perladangan di Desa Rantau Layung (Chart of swidden expansion in Rantau Layung Village)

Tabel dan gambar di atas dibuat berdasarkan hasil wawancara dan peninjauan lapangan, terlihat bahwa dari tahun ke tahun jumlah dan luasan lahan yang dibuka per tahun per kepala keluarga relatif tidak berubah namun jaraknya semakin jauh dari pemukiman. Masyarakat membuka lahan dengan jumlah dan luas yang secukupnya sesuai dengan kemampuan mereka dalam membuka dan mengolah lahan. Rata-rata luas pembukaan lahan per persil per KK adalah 1,5 hektar. Gambar 3 dan Gambar 4 terlihat pada tahun 2010-2011 terjadi peningkatan jumlah maupun luasan per persil lahan baru di dua desa namun jumlah ini menurun kembali pada tahun berikutnya. Peningkatan jumlah dan luasan pembukaan lahan baru pada tahun tersebut bertepatan dengan berkembangnya perkebunan sawit di Kabupaten Paser pada tahun 2010 sesuai dengan data yang diperoleh dari statistik Kabupaten Paser .

Dari sisi jarak ke pemukiman, nampak bahwa pembukaan lahan dari tahun ke tahun cenderung semakin jauh dari pemukiman. Pada awalnya pembukaan lahan untuk peladangan terjadi di daerah yang dekat dengan pemukiman dan sejalan dengan waktu bergerak menjauh dari pemukiman. Hasil ini senada dengan hasil beberapa penelitian sebelumnya yang menya- takan bahwa deforestasi diawali dari areal yang dekat ke pemukiman terlebih dahulu, baru kemudian bergerak ke daerah yang lebih jauh setelah lahan yang dekat tidak tersedia (; ). Pada kasus ke dua desa sampel di atas, hal ini selain karena lahan-lahan yang dekat dengan pemu- kiman sudah diusahakan atau sudah di dalam pengelolaan perorangan, juga disebabkan adanya perbaikan akses jalan dan alat transportasi yang memadai seperti motor roda dua.

Penyebab lainnya adalah adanya sistem baru dalam cara berladang yang dilakukan oleh masyarakat. Pada lima sampai dengan enam tahun terakhir ada perbedaan dalam pengelolaan lahan hutan untuk perladangan di Sub DAS Kesungai. Ada introduksi tanaman karet maupun

Luas (Ha) Extent (Ha) 25 20 15 10 5 0

20 15 10 5 0 Jumlah Number

2008 2008

2008

2009 2009

2009

2010 2010

2010

2011 2011

2011

2012 2012

2012 Luas Akumulasi (Ha) (Accumulated Area in Hectares)

Luas Total Tahunan (Ha) (Total Area per Year in Hectares)

Jumlah Lahan Akumulasi (Accumulated Number of Parcel) Jumlah Lahan Tahunan (Number of Parcel per Year)

Jarak (Km) Distance (Km) 2,8 2,6 2,4 2,2 2

Rata-rata Jarak dari Desa (Km) (Average Distance from Village (Km))

(13)

sawit pada ladang petani dicampur dengan padi. Perbedaan antara pola peladangan awal dengan lima sampai dengan enam tahun terakhir, yaitu pada pola awal masyarakat akan membuka kembali lahannya untuk tanaman padi setelah periode tertentu sedangkan pada pola baru masyarakat akan terus membuka hutan setiap tiga tahun sekali dan tidak pernah kembali ke lahan awalnya karena sudah ada tanaman karet/sawit. Ketika tajuk tanaman karet atau sawit telah menghalangi pertumbuhan padi, maka akan dilakukan pembukaan lahan baru dan akan diperlakukan dengan pola tanam yang sama, yaitu kombinasi antara padi dengan sawit atau karet.

Berdasarkan hasil wawancara dan diskusi dengan masyarakat, diperoleh informasi bahwa pembukaan lahan tidak terkait dengan fungsi kawasan. Pertimbangan lokasi mana yang akan dibuka oleh masyarakat pada umumnya hanya terkait dengan jarak, kemudahan dijangkau/

aksesibilitas dan kemiringan. Fungsi kawasan hutan tidak menjadi perhatian masyarakat dalam menentukan pilihan lahan mana yang akan diolah. Artinya dalam membuka lahan, masyarakat akan bergerak kemanapun dan tidak terpengaruh status kawasan sepanjang lokasinya dekat, mudah dijangkau dan relatif datar.

I . KESIMPULAN DAN SARANV A. Kesimpulan

Hasil analisis deforestasi aktual dapat disimpulkan bahwa lokasi deforestasi berhubungan dengan kemudahan dijangkau dan kondisi topografi. Semakin dekat lahan hutan dengan perkampungan, jalan dan sungai serta semakin datar topografi, deforestasi semakin banyak terjadi. Berdasarkan analisis kerentanan, daerah-daerah yang dekat dengan pemukiman, jalan, sungai serta daerah yang relatif datar lebih rentan mengalami deforestasi akibat konversi ke lahan pertanian.

B. Saran

Untuk menekan laju deforestasi lebih lanjut, pada daerah-daerah yang rentan deforestasi perlu dilakukan pembinaan pengelolaan lahan untuk meningkatkan produktivitas lahan sekaligus perlindungan lahan dari kerusakan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Muh. Saad, S.Hut dan Wahyudi Isnan S.Hut selaku teknisi pada Kelti Konservasi Sumberdaya Hutan BPK Makassar dan Budi Narendra, S.Hut, M.Si, M.Sc selaku peneliti Pusat Litbang Hutan atas kerjasamanya dalam pengum- pulan data lapangan. Ucapan yang sama disampaikan kepada Tropenbos Indonesia (TBI) atas fasilitasinya selama kunjungan lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

Avoided Deforestation Partners (2009). REDD Methodological module “location and quantification of the threat of unplanned baseline deforestation” version 1.0. Avoided Deforestation Partners.

Badan Planologi Kehutanan (2007). Identifikasi desa dalam kawasan hutan 2007. Jakarta: Kerjasama Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan, Departemen Kehutanan dengan Direktorat Statistik Pertanian, Badan Pusat Statistik.

Badan Standarisasi Nasional (2010). Standar nasional Indonesia : klasifikasi penutup lahan. SNI 7645:2010.

ICS 07.040. BSN. Jakarta.

(14)

Blaser, J. (2010). Forest law compliance and governance in tropical countries. A region-by-region assessment of the status of forest law compliance and governance in the tropics, and recommendations for improvement. FAO and ITTO. p 28.

Boucher, D. (2011). Introduction. In: Boucher D, Elias P, Lininger K, May-Tobin C, Roquemore S, and Saxon E, editors. The root of the problem : what's driving tropical deforestation today?chapter 1. Cambridge:

Tropical Forest and Climate Initiative, Union of Concerned Scientists. 1-126 p.

Chen, H.Y., Shivakoti, G., Zhu, T., & Maddox, D. (2012). Livelihood sustainability and community based co- management of forest resources in China: changes and improvement. Environmental Management, 49(1), 219-228.

de Neergaard, A., Magid, J., & Mertz, O. (2008). Soil erosion from shifting cultivation and other smallholder land use in Sarawak, Malaysia. Agriculture, Ecosystems & amp; Environment, 125 (1-4), 182-190.

Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan (2009). Identifikasi desa dalam kawasan hutan 2009. Jakarta:

Kerjasama Departemen Kehutanan dengan Badan Pusat Statistik.

Entwisle B, Rindfuss RR, Walsh SJ, and Page PH. (2008). Population growth and its spatial distribution as factors in the deforestation of Nang Rong, Thailand. Geoforum, 39 (2), 879-897.

FAO (2011). The state of the world's land and water resources for food and agriculture (SOLAW) - Managing systems at risk. Summary Report. Rome and Earthscan, London: Food and Agriculture Organization of the United Nations.

Gao, J., & Liu Y. (2012). Deforestation in heilongjiang Province of China, 1896-2000: Severity, spatiotemporal patterns and causes. Applied Geography, 35 (1-2), 345-352.

Hamzah, H. (2012). Modeling of tropical forest conservation to oil palm expansion using area production model:

a case study of Nyuatan watershed, Indonesia. Thesis. Enschede: University of Twente Faculty of Geo- Information and Earth Observation (ITC), p 63.

Kementerian Kehutanan (2009). Tata cara pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi Hutan (REDD). Jakarta: Kementerian Kehutanan.

Lambin, E.F., & Meyfroidt, P. (2010). Land use transitions: socio-ecological feedback versus socio-economic change. Land Use Policy, 27 (2), 108-118.

Lininger, K. (2011). Small-scale farming and shifting cultivation. In: Boucher, D., Elias, P., Lininger, K., May- Tobin, C., Roquemore, S., & Saxon, E., editors. The root of the problem: what's driving tropical deforestation today? chapter 9.Cambridge: Tropical Forest and Climate Initiative, Union of Concerned Scientist. p 89-93.

May-Tobin, C. (2011). Wood for fuel. In: Boucher D, Elias P, Lininger K, May-Tobin C, Roquemore S, and Saxon E, editors. The root of the problem: what's driving tropical deforestation today? chapter 8. Cambridge:

Tropical Forest and Climate Initiative, Union of Concerned Scientists. p 79-87.

Newman, M.E., McLaren, K.P., & Wilson, B.S. (2014). Assessing deforestation and fragmentation in a tropical moist forest over 68 years; the impact of roads and legal protection in the Cockpit Country, Jamaica.

Forest Ecology and Management, 315 (0), 138-152.

Ochoa-Gaona, S., & González-Espinosa, M. (2000). Land use and deforestation in the highlands of Chiapas, Mexico. Applied Geography, 20 (1), 17-42.

Purnamasari, R.S. (2010). Dynamics of small-scale deforestation in Indonesia: examining the effects of poverty and socio-economic development. In: Perlis A, editor. XIII World Forestry Congress. Unasylva No.

234/235, Vol. 61, 2010/1-2 ed. Rome: Food and Agriculture Organization of the United Nations. p 14-20.

REDD-Net Bulletin Asia-Pacific (2011). Drivers of deforestation and REDD+ —can REDD+ compete? In:

Zuzuki R, editor. Networking for equity in forest climate policy: RECOFTC-the center for people and forests.

Referensi

Dokumen terkait