“ETHICAL GOVERNANCE PT GARUDA INDONESIA”
Disusun Oleh :
Angelliani (1814190016) Claudia (1814190020)
Dinni Muliani (1814190012)
Felia Putri Angraini (1814190014)
Risda Julianti Fajriah (1814190034)
KASUS
“KEANEHAN LAPORAN KEUNGAN PT GARUDA INDONESIA 2018”
Jakarta, CNN Indonesia
PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk tanpa diduga berhasil mencatatkan kinerja cemerlang pada 2018. Bukan ruginya lagi yang menurun, tapi perusahaan mencetak laba bersih US$809, 84 ribu atau Rp11,33 miliar (Rp 14.000 per dolar Amerika Serikat).
Namun, berita itu rupanya tak disambut baik oleh seluruh pihak. Dua komisaris Garuda Indonesia, Chairal Tanjung dan Dony Oskaria menolak menandatangani laporan buku tahunan Garuda 2018. Keduanya merupakan perwakilan dari PT Trans Airways dan Finegold Resources Ltd selaku pemilik dan pemegang 28,08 persen saham Garuda Indonesia. Mereka tak sepakat dengan salah satu transaksi kerja sama dengan PT Mahata Aero Teknologi yang dibukukan sebagai pendapatan oleh manajemen.
Dalam surat yang didapatkan oleh awak media ketika Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) berlangsung pada Rabu (24/4) tertulis bahwa Mahata bekerja sama secara langsung dengan PT Citilink Indonesia. Melalui kesepakatan itu, keuntungan yang diraih Grup Garuda Indonesia sebesar US$239.940.000, dengan US$28.000.000 di antaranya merupakan bagi hasil Garuda Indonesia dengan PT Sriwijaya Air.
Hanya saja, perusahaan sebenarnya belum mendapatkan bayaran dari Mahata atas kerja sama yang dilakukan. Namun manajemen tetap menuliskannya sebagai pendapatan, sehingga secara akuntansi Garuda Indonesia menorehkan laba bersih dari sebelumnya yang rugi sebesar US$216,58 juta.
Kejanggalan yang diungkapkan kedua komisaris lewat sepucuk surat ini nyatanya tak mengubah sikap manajemen. Bahkan, dalam RUPST laporan keuangan Garuda Indonesia tahun lalu diterima oleh mayoritas pemegang saham."Laporan tidak berubah, sudah diterima. Tapi dengan catatan ada dua opini yang berbeda," ucap Chairal yang ditemui usai RUPST di Hotel Pullman, Jakarta. Bahkan, surat itu tak bisa dibacakan dalam rapat. Ini lantaran pimpinan RUPST menilai tak ada keharusan membacakan surat keberatan dari Chairal dan Dony.
Pihak dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pun seakan diam
dengan kondisi tersebut. Deputi Bidang Usaha Jasa Keuangan, Jasa Survei dan
Jasa Konsultasi Kementerian BUMN Gatot Trihargo yang mewakili pemerintah
dalam RUPST menolak berkomentar perihal pendapat yang berbeda dalam
laporan keuangan 2018 tersebut."Tanya ke direktur keuangan, kan sudah
diaudit," tutur Gatot. Sedikit menengok ke belakang, kinerja Garuda Indonesia
memang tertekan beberapa tahun terakhir.
Pada 2014, perusahaan merugi sebesar US$370,04 juta. Beruntung, pada 2015 mencatatkan laba sebesar US$76,48 juta. Tak bertahan lama, kinerja Garuda Indonesia justru merosot tajam pada 2016 menjadi hanya US$8,06 juta. Kemudian, perusahaan pun merugi pada 2017 sebesar US$216,58 juta.
Mantan Direktur Utama Garuda Indonesia Pahala N. Mansury saat itu mengklaim penyebab kerugian karena ada biaya luar biasa yang dikeluarkan, yakni
tax amnesty(pengampunan pajak) dan denda US$145,8 juta. Tanpa itu, kerugian yang dibukukan tak akan lebih dari US$67,6 juta. "Kami membukukan biaya yang terkait dengan keterlibatan kami di program
tax amnesty juga yang lebih kecil daripada itu terkaitkasus hukum di Australia sebesar US$7,5 juta," ujar dia pada 2018 lalu.
Kerugian itu terus berlanjut sampai kuartal III 2018. Pada kuartal I misalnya, kerugian perusahaan sebesar US$65,34 juta dan akumulasi semester I tahun lalu kerugiannya US$116,85 juta. Lalu, sembilan bulan pertama 2018 tercatat rugi bersih US$114,08 juta, turun dibandingkan dengan periode yang sama pada 2017 sebesar US$222,03 juta.
Membaiknya kerugian perusahaan maskapai penerbangan pelat merah itu
dikarenakan peningkatan pendapatan usaha sebesar 3,21 persen menjadi US$3,21
miliar. Dengan kontribusi terbesar berasal dari penerbangan berjadwal sebesar
US$2,56 miliar. Pendapatan usaha juga diperoleh dari penerbangan tidak berjadwal
sebesar US$254,75 juta dan pendapatan lainnya sebesar US$397,96 juta. Untuk
penerbangan tak berjadwal tercatat turun tipis.
Saat itu, Direktur Keuangan Garuda Indonesia Fuad Rizal sempat menargetkan rugi bersih perusahaan bisa ditekan di bawah US$50 juta pada 2018. Sementara, Direktur Utama Garuda Indonesia Ari Askhara menargetkan kerugian menjadi di bawah US$100 juta.
Hasilnya, neraca keuangan tahun lalu berhasil berubah 180 derajat menjadi untung. Tapi, hal itu tak diiringi dengan kenaikan pendapatan usaha yang signifikan. Perusahaan meraih pendapatan usaha sebesar US$4,37 miliar sepanjang 2018. Angka itu hanya naik 4,79 persen dari posisi 2017 yang sebesar US$4,17 miliar.
Menariknya, pendapatan bersih lain-lain perusahaan melonjak 1.308 persen dari US$473,85 juta menjadi US$567,93 juta. Kenaikan signifikan itu ditopang oleh pendapatan kompensasi atas hak pemasangan peralatan layanan konektivitas dan hiburan dalam pesawat dan manajemen konten sebesar US$239,94 juta. Pada 2017, pendapatan kompensasi itu tercatat nol rupiah. Tak heran, lonjakan pendapatan lain-lain bersih terjadi tahun lalu. Ditelisik lebih jauh, layanan konektivitas dalam penerbangan dan hiburan itu berasal dari kerja sama yang diteken Garuda Indonesia dengan Mahata pada 31 Oktober 2018 dan diperbaharui pada 26 Desember 2018 lalu.
Dalam kerja sama itu, Mahata berkomitmen untuk menanggung seluruh biaya penyediaan, pelaksanaan, pemasangan, pengoperasian, perawatan dan pembongkaran dan pemeliharaan termasuk jika ada kerusakan, mengganti atau memperbaiki peralatan layanan konektivitas. Pemasangan peralatan layanan itu dipasang dalam penerbangan untuk 50 pesawat Garuda Indonesia tipe A320, 20 pesawat A330, 73 pesawat Boeing 737- 800 NG, dan 10 pesawat Boeing 777 dengan nilai US$131,94 juta. Kemudian, layanan hiburan dipasang di 18 pesawat tipe A330, 70 pesawat Boeing 737-800 NG, satu pesawat Boeing 737-800 Max, dan 10 pesawat Boeing 777 dengan nilai US$80 juta.
Bila merujuk pada surat yang dibuat oleh Chairal dan Dony, pihak Mahata sebenarnya belum membayar satu sen pun dari total kompensasi yang disepakati US$239,94 juta kepada Garuda Indonesia hingga akhir 2018. Namun, manajemen memutuskan untuk mencatatkannya sebagai pendapatan. Chairal dan Dony menyebut tanpa kompensasi itu sebenarnya perusahaan masih merugi US$244,95 juta. Keputusan manajemen memang berhasil membuat pasar terlena dengan catatan positif di laporan keuangan. Namun, Chairal dan Dony berpendapat hal ini justru merugikan perusahaan dari sisi arus kas.
Sebab, ada kewajiban bayar Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari laba yang diraih Garuda Indonesia.
Padahal, beban itu seharusnya belum menjadi kewajiban karena pembayaran dari kerja sama dengan Mahata belum masuk ke kantong perusahaan. Mereka melihat hal ini bertentangan dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) nomor 23 paragraf 28 dan 29. Pada paragraf 28 tertulis pendapatan yang timbul dari penggunaan aset entitas oleh pihak lain yang menghasilkan bunga, royalti, dan dividen diakui dengan dasar yang dijelaskan di paragraf 29 jika kemungkinan besar manfaat ekonomi sehubungan dengan transaksi tersebut akan mengalir ke entitas dan jumlah pendapatan dapat diukur
secara andal.
Dikutip dari berbagai sumber, Mahata adalah perusahaan rintisan (startup) penyedia teknologi wifi on board. Perusahaan ini didirikan oleh M. Fitriansyah atau akrab disapa Temi. Ia adalah Ketua Dewan Kehormatan Himpunan Pengusaha Muda Indonesi (HIPMI) Bangka Belitung (Babel). Perusahaan itu menggunakan teknologi bernama GX Aviation Sistem atau layanan konektivitas nirkabel global berkecepatan tinggi. Namun, Mahata di sini rupanya bertindak sebagai perantara atau broker antara Garuda Indonesia dengan pemilik teknologi bernama Inmarsat Aviation, Lufthansa Technik, dan Lufthansa System.
Berikut Sanksi dari OJK untuk Garuda Indonesia
Polemik laporan keuangan ini berujung dengan segudang sanksi yang dijatuhkan oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk Garuda Indonesia. Berikut sanksinya seperti dikutip dari CNBC,
• Garuda diminta untuk memperbaiki laporan keuangan dan menyajikan perbaikan itu ke publik paling lambat 14 hari setelah ditetapkannya surat sanksi (28 Juni)
• Garuda dijatuhi sanksi administratif berupa denda sebesar Rp 100 juta
• Seluruh anggota Direksi dikenakan denda Rp 100 juta
• Mengenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp
100 juta secara tanggung renteng kepada seluruh Direksi dan
Dewan Komisaris yang menandatangani laporan keuangan
tahun 2018.
PERTANYAAN
Governance system
PT Garuda Indonesia secara konsisten berpedoman pada standar terbaik yang berlaku di dunia usaha internasional dan berbagai peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Pemerintah, UU Republik Indonesia,dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai berikut:
Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara No. PER-01/MBU/2011 tanggal 1 Agustus 2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara No. PER-09/MBU/2012 tanggal 6 Juli 2012;
Undang-Undang RI No 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara;
Undang-Undang RI No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT);
Pedoman Umum GCG Indonesia oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) Tahun2006;
Principles of Corporate Governance oleh Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD);
ASEAN Corporate Governance Scorecard Tahun 2012;
Peta Arah Tata Kelola Perusahaan Indonesia (Roadmap Good Corporate Governance) yang diluncurkan Otoritas Jasa Keuangan pada tahun 2014.
Budaya Etika
Pedoman Etika Bisnis dan Etika Kerja memuat di antaranya sebagai berikut:
Jati Diri Perusahaan, yang berisi mengenai Visi dan Misi PT Garuda Indonesia, Tata Nilai
PT Garuda Indonesia serta Perilaku Utama yang harus ditampilkan oleh pegawai PT Garuda Indonesia.
Perilaku Terpuji yang menjelaskan mengenai hubungan dengan PT Garuda Indonesia, hubungan dengan pelanggan, hubungan dengan mitra kerja, hubungan dengan pemegang saham hubungan dengan kreditur, dan hubungan dengan pesaing.
Kepatuhan dalam bekerja yang menjelaskan mengenai bagaimana transparansikomunikasi dan informasi keuangan, penanganan benturan kepentingan, pengendalian gratiikasi, perlindungan terhadap aset PT Garuda Indonesia dan perlindungan terhadap rahasia PT Garuda Indonesia.
Tanggung jawab insan PT Garuda Indonesia yang menjelaskan mengenai tanggung jawab kepada masyarakat, tanggung jawab kepada pemerintah dan tanggung jawab kepada lingkungan.
Penegakan Etika Bisnis dan Etika Kerja yang menjelaskan mengenai pelaporan pelanggaran Whistle Blowing System (WBS), sanksi atas pelanggaran, sosialisasi Etika Bisnis dan Etika Kerja, penandatanganan Fakta Integritas oleh seluruh insan PT Garuda Indonesia.
Mengembangkan Struktur Korporasi
Saat itu Direktur Keuangan Garuda Indonesia Fuad Rizal sempat menargetkan rugi bersih perusahaan bisa ditekan di bawah US$50 juta pada 2018. Sementara, Direktur Utama Garuda Indonesia Ari Askhara menargetkan kerugian menjadi di bawah US$100 juta.
Hasilnya, pendapatan bersih lain-lain perusahaan melonjak 1.308 persen dari US$473,85 juta menjadi US$567,93 juta. Kenaikan signifikan itu ditopang oleh pendapatan kompensasi atas hak pemasangan peralatan layanan konektivitas dan hiburan dalam pesawat dan manajemen konten sebesar US$239,94 juta.
Kode Perilaku Korporasi (Corporate Code of Conduct)
Kebijakan Tata Kelola Perusahaan PT Garuda Indonesia dimaksud, bertujuan untuk:
Mengoptimalkan nilai Perseroan, agar Perseroan memiliki daya saing yang kuat, baik secara nasional maupun internasional, sehingga mampu mempertahankan keberadaannya dan tumbuh berkembang untuk mencapai maksud dan tujuan Perseroan;
Mendorong pengelolaan Perseroan secara profesional, efisien dan efektif serta memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian organ Perseroan;
Mendorong organ Perseroan agar dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakannya dilandasi dengan nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, serta kesadaran akan adanya tanggung jawab sosial Perseroan terhadap pemangku kepentingan (stakeholders) maupun pelestarian lingkungan di sekitar BUMN;
Meningkatkan kontribusi Perseroan dalam perekonomian nasional dan;
Meningkatkan iklim yang kondusif bagi perkembangan investasi nasional.
Evaluasi Terhadap Kode Perilaku Korporasi (Corporate Code of Conduct)
PT Garuda Indonesia memiliki komitmen untuk selalu menerapkan standar tata kelola yang terbaik melalui berbagai usaha perbaikan dan peningkatan, serta tidak hanya merujuk pada minimal standar maupun rekomendasi yang harus dipenuhi.
Sesuai ketentuan Peraturan Menteri BUMN Nomor: PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) Pada Badan Usaha Milik Negara, yang mengatur bahwa setiap BUMN wajib untuk melakukan pengukuran terhadap penerapan GCG, melalui penilaian (assessment) yang dilaksanakan setiap 2 tahun oleh penilai independen dan evaluasi (review) yang dilakukan sendiri oleh BUMN (self assessment) yang meliputi evaluasi terhadap hasil penilaian yang dilakukan oleh pihak independen dan tindak lanjut atas rekomendasi perbaikan yang disampaikan dari hasil akhir penilaian.
Pada tahun 2019 Perseroan telah melaksanakan evaluasi (review) penerapan GCG
untuk tahun buku 2018 dengan asistensi oleh MUC Consulting. Dalam evaluasi
(review) tersebut, Perseroan mencapai skor 93,850 dari skor maksimum 100 atau
93,850%, dengan predikat “Sangat Baik".
Prinsip-prinsip Etika Bisnis Menurut Sony Keraf (1998)
Prinsip Otonomi
Dalam kasus ini, PT Garuda Indonesia tidak bertanggung jawab atas pembayaran tax amnesty (pengampun pajak) dan denda sebesar US$145,48 juta. Apabila di bayar rutin tidak akan lebih dari US$67,6 juta. Kerugian itu terus berlanjut hingga Kuartal III Tahun 2018.
Prinsip Kejujuran
Dalam kasus ini, PT Garuda Indonesia tidak menerapkan prinsip kejujuran karena telah memanipulasi penyajian laporan keuangan khususnya pada pengakuan pendapatan atas perjanjian kerja sama dengan PT Mahata Aero Teknologi yang diindikasikan tidak sesuai dengan standar akuntansi.
Prinsip Keadilan
Dalam kasus ini, tidak adil nya pembagian hasil antara PT Garuda Indonesia dengan PT Sriwijaya Air, sehingga perusahaan belum mendapatkan bayaran. Namun manajemen tetap menuliskan nya sebagai pendapatan, hal ini dapat dilihat sebagai dampak keputusan manajemen untuk mengakui piutang sebagai pendapatan sehingga konsekuensinya persero harus membayar pajak atas pendapatan yang tidak diterima sehingga merugikan investor.
Prinsip Saling Menguntungkan
Dalam kasus ini, PT Garuda indonesia melanggar prinsip saling menguntungkan karna terdapat pihak yang dirugikan yaitu bagi Bursa Efek Indonesia (BEI) di mana PT Garuda juga menjual sahamnya kepada masyarakat umum jadi hal ini dapat dikategorikan sebagai penipuan publik.
Prinsip Integritas Moral
Dalam kasus ini, PT Garuda Indonesia tidak menerapkan prinsip integritas moral. Pasalnya akuntan PT Garuda Indonesia memasukkan keuntungan dari PT Mahata Aero Teknologi sebagai pendapatan dalam laporan keuangannya, sementara PT Mahata Aero Teknologi sendiri memiliki utang terkait pemasangan WIFI yang belum dibayarkan, seharusnya utang yang belum dilunasi tersebut dimasukkan ke dalam piutang oleh PT Garuda Indonesia.
Bertens (2013)
Hati Nurani
Dalam kasus PT Garuda Indonesia terlihat adanya kejanggalan yang membuat dua komisaris Garuda Indonesia tidak mau menandatangani laporan buku tahunan Garuda 2018. Dua komisaris tersebut adalah Chairal Tanjung dan Dony Oskaria, mereka menunjukan bahwa mereka memiliki hati nurani dan integritas dengan mengikuti prosedur pencatatan laporan keuangan per tahun sesuai dengan prosedur Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). Contoh kejangalan tersebut terjadi pada pendapatan yang seharusnya belum dapat dicatat sebagai pendapatan tetapi oleh pihak manajemen sudah dicatat sebagai pendapatan. Dalam hal ini juga pihak BUMN (Badan Usaha Milik Negara) tidak memiliki prinsip integritas moral dikarenakan mereka diam dengan kondisi tersebut.
Kaidah Emas
Dalam kasus PT Garuda Indonesia dua komisaris telah memberikan surat kepada pihak manajemen terkait adanya kejanggalan yang terjadi pada laporan keuangan tahun 2018, namun tidak dapat mengubah keputusan pihak manajemen hingga pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST). Maka dari itu Chairal Tanjung dan Dony Oskaria tidak akan menyetujui dan menandatangani laporan buku tahunan Garuda 2018.
Penilaian Umum
Terkait banyaknya kasus pada PT Garuda Indonesia membuat penilaian masyarakat menurun serta hilangnya kepercayaan kepada PT Garuda Indonesia yang akan berdampak pada reputasi perusahaan serta akan menimbulkan kehilangan investor atau pemegang saham karena performance perusahaan yang buruk.
110.1-A1
Lima Prinsip Dasar Etika untuk Akuntan
Integritas
Dalam kasus ini, Garuda Indonesia tidak menjaga integritasnya, karena diduga telah melakukan manipulasi laporan keuangan dan tidak menyampaikan hal yang sebenarnya. Akuntan profesional diharuskan tidak boleh terkait dengan pernyataan resmi, laporan, komunikasi, atau informasi lain ketika akuntan meyakini bahwa informasi tersebut terdapat : kesalahan material atau pernyataan yang menyesatkan, informasi atau pernyataan yang dilengkapi secara sembarangan, penghilangan atau pengaburan informasi yang seharusnya diungkapkan sehingga akan menyesatkan.
Objektifitas
Dalam kasus, ini Garuda Indonesia diduga tidak objektif karena telah merekayasa laporan keuangan sehingga hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu yang berada dan terikat dengan Garuda Indonesia, khususnya manajemen garuda. Hal ini juga melanggar prinsip independen yang harus dimiliki oleh Akuntan Publik dan tidak terdapat Conflict of Interest dengan siapapun dalam melaksanakan pekerjaannya.
Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional
Dalam kasus ini, Auditor Garuda Indonesia tidak melaksanakan kehati-hatian professional tersebut sehingga tidak mengetahui terjadinya rekayasa pencatatan yang mengakibatkan Garuda Indonesia yang seharusnya rugi namun laporan keuangan mengalami keuntungan, namun disisi lain harus membayar pajak atas pendapatan yang sebenarnya belum diterima.