• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.cover skripsix

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "1.cover skripsix"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Penyiapan Bahan

Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) yang diperoleh dari Desa Cibodas, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Determinasi tanaman dilakukan di Herbarium Bandungense Institut Teknologi Bandung. Dari hasil determinasi didapatkan bahwa tanaman yang digunakan bernama latin Lycopersicon esculentum Miller. Hasil dari determinasi dapat dilihat pada Lampiran 1.

5.2. Pemeriksaan Makroskopik

Hasil makroskopik daun tomat sebelum panen memiliki daun majemuk menyirip ganjil rata-rata berukuran 27x9,33 cm, dan daun tomat setelah panen memiliki daun majemuk rata-rata berukuran 35,1x13.1 cm, keduanya memiliki anak daun 7-8 tiap daunnya. Bentuk anak daun bulat telur sampai lonjong dengan ujung lancip dan bergerigi di bagian dasar, pertulangan anak daun menyirip dengan permukaan ditutupi oleh rambut-rambut halus. Perbedaan terletak pada ukuran daun, dan warna daun dimana daun sebelum panen memiliki warna hijau terang dengan ukuran lebih kecil sedangkan daun sesudah panen memiliki warna hijau dengan bercak kuning kecoklatan. Timbulnya bercak pada daun setelah

(2)

panen diduga karena adanya infeksi dari cendawan Hasil dari pemeriksaan makroskopik selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2.

5.3. Pemeriksaan Mikroskopik

Pada pemeriksaan mikroskopik, penampang melintang daun tomat segar sebelum dan setelah panen terdiri dari, epidermis atas, palisade, rambut kelenjar, kristal oksalat, dengan stomata bertipe anomositik (sel tetangga sama besar).

Sedangkan pada serbuk daun tomat sebelum dan setelah panen terdiri dari kristal oksalat, berkas pembuluh dan rambut kelenjar, untuk hasil selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3.

5.4. Parameter Standar Non Spesifik 5.4.1. Parameter kadar air

Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan metode azeotroph, Pelarut yang digunakan adalah toluen jenuh yang tidak dapat bercampur dengan air sehingga air yang terkandung pada simplisia mudah dihitung dan pelarut dapat menguap dibawah titik didihnya (Handayana, 2002:86). Toluen dijenuhkan agar toluen tidak dapat berikatan dengan air yang ada di dalam simplisia sehingga tidak mempengaruhi hasil akhir perhitungan. Jumlah air dalam simplisia harus dibatasi, karena air merupakan media yang baik untuk ditumbuhi mikroba, kadar air juga tidak boleh diatas 10% b/v karena reaksi enzimatis masih dapat terjadi sehingga akan merusak kualitas simplisia (Depkes RI, 2000;16). Pada pengujian ini didapatkan kadar air simplisia daun tomat setelah panen sebesar 9,469% b/v, hasil

(3)

selengkapnya dapat dilihat di Lampiran 4. Nilai tersebut memenuhi persyaratan kadar air secara umum, meskipun kurang baik karena sangat mendekati batas 10%

b/v, akan tetapi karena simplisia tidak disimpan dalam jangka waktu lama dan langsung diolah menjadi ekstrak, kestabilan simplisia masih terjaga.

5.4.2. Parameter kadar abu

Parameter kadar abu bertujuan untuk memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal hingga terbentuknya serbuk simplisia. Hasil kadar abu total daun tomat setelah panen ialah 20,454%, hasil selengkapnya dapat dilihat di Lampiran 5: Tabel 1. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kandungan mineral yang terkandung dalam daun cukup besar. Mineral yang terkandung dalam kadar abu total dapat berasal dari dalam tumbuhan maupun dari luar tumbuhan yang terserap oleh tumbuhan.

Penetapan kadar abu tidak larut asam bertujuan untuk memberikan gambaran kandungan mineral maupun anorganik yang terdapat dari luar tumbuhan itu sendiri (eksternal), yang berasal dari proses awal pembuatan simplisia hingga terbentuknya serbuk simplisia (Depkes RI, 2000:17). Hasil yang didapat ialah serbuk simplisia daun tomat setelah panen mengandung kadar abu tidak larut asam sebesar 18,498%, jumlah tersebut cukup besar. Hasil pengujian kadar abu tidak larut asam tidak terlalu berbeda jauh dengan kadar abu total, hal ini kemungkinan karena tingginya kandungan mineral yang terkandung dalam media tempat tumbuh tanaman, dimana tanaman merupakan hasil budidaya, sehingga sudah mengalami pemupukkan dan juga penyemprotan pestisida. Hasil

(4)

pengujian kadar abu tidak larut asam selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5: Tabel 2.

5.4.3. Parameter susut pengeringan

Penetapan susut pengeringan bertujuan untuk memberikan batasan maksimal atau rentang besarnya kandungan senyawa yang hilang pada proses pengeringan (Depkes, 2000:13). Senyawa yang hilang pada proses pengeringan ialah senyawa yang bersifat mudah menguap seperti minyak atsiri dan air. Namun jika simplisia tidak mengandung minyak atsiri maka penetapan susut pengeringan diidentikkan dengan perhitungan kadar air. Hasil susut pengeringan yang diperolah ialah 12,088%, hasil selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6.

Berdasarkan hasil tersebut diketahui simplisia masih mengandung cukup banyak senyawa-senyawa yang bersifat mudah menguap.

5.4.4. Parameter bobot jenis

Hasil perhitungan bobot jenis yang dilakukan terhadap ekstrak daun setelah panen didapatkan hasil yaitu bobot jenis ekstrak sebesar 1,0567 g/mL.

Penetapan bobot jenis bertujuan untuk memberikan batasan tentang besarnya massa per satuan volume yang merupakan parameter khusus ekstrak cair sampai ekstrak pekat (kental) yang masih dapat dituang dan memberikan gambaran kandungan kimia yang terlarut (Depkes RI, 2000:13). Perhitungan bobot jenis ini dilakukan dengan membandingkan terhadap berat etanol bukan air, karena etanol merupakan pelarut yang digunakan pada saat proses ekstraksi. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 8.

(5)

5.5. Parameter Standar Spesifik 5.5.1. Parameter organoleptik

Hasil pengujian organoleptik didapatkan bahwa terdapat perbedaan warna antara daun tomat segar sebelum panen dan setelah panen, dimana daun segar sebelum panen memiliki warna hijau terang dan daun segar setelah panen memiliki warna hijau dengan bercak kuning kecoklatan. Sedangkan pada serbuk tidak memiliki perbedaan warna yang cukup jauh, serbuk daun sama-sama berwarna hijau. Daun tomat memiliki rasa yang pahit dan bau yang khas, untuk hasil selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2. Pemeriksaan organoleptik ini dilakukan oleh 5orang berbeda, karena setiap orang memiliki kemampuan mencium, merasa, dan melihat yang berbeda. Berdasarkan hasil pemeriksaan tidak terdapat perbedaan hasil yang diperoleh dari 5 orang relawan.

5.5.2. Parameter senyawa terlarut dalam pelarut tertentu

Parameter senyawa terlarut dalam pelarut tertentu bertujuan untuk memberikan gambaran awal jumlah senyawa kandungan. Pelarut yang digunakan ialah etanol dan air, digunakan kedua pelarut tersebut karena kedua pelarut tersebut adalah pelarut universal yang lazim digunakan pada proses ekstraksi.

Hasil kadar sari larut air yang dilakukan terhadap simplisia daun setelah panen ialah 32,547%, hasil tersebut lebih besar dibandingkan dengan hasil penetapan kadar sari larut etanol yaitu 15,374%, untuk hasil selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7.

Pada simplisia daun tomat setelah panen memiliki senyawa terlarut dalam air lebih besar, ini disebabkan karena kandungan senyawa larut air seperti

(6)

metabolit primer dan lainnya terdapat lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan senyawa larut etanol, karena senyawa yang larut dalam air biasanya berupa metabolit sekunder yang jumlahnya di dalam tanaman sedikit. Simplisia yang diujikan tidak harus memiliki hasil senyawa terlarut air lebih besar dibanding terlarut etanol, begitupun sebaliknya. Hal ini disebabkan karena tiap simplisia memiliki kandungan senyawa yang berbeda-beda.

5.6. Penapisan Fitokimia

Hasil penapisan fitokimia terhadap simplisia dan ekstrak daun tomat setelah panen dapat dilihat pada Tabel V.1

Tabel V.1 Hasil penapisan fitokimia ekstrak dan simplisia daun tomat setelah panen

Keterangan: (+) = terdeteksi, (-) = tidak terdeteksi

Penapisan fitokimia merupakan langkah awal untuk melihat kandungan golongan senyawa apa saja yang terdapat dalam simplisia dan ekstrak yang akan diteliti. Berdasarkan Tabel V.1 baik simplisia maupun ekstrak memiliki kandungan golongan senyawa yang sama, yaitu mengandung golongan senyawa alkaloid, monoterpen dan sesquiterpen juga triterpenoid dan steroid. Sedangkan untuk polifenolat, flavonoid, saponin, kuinon, tannin hasilnya adalah negatif.

(7)

Menurut Cronquist (1981:892), suku Solanaceae menghasilkan berbagai macam alkaloid dan kelompok steroid, dan biasanya tidak mengandung tannin, hal ini sesuai dengan hasil pengujian yang dilakukan.

Untuk alkaloid hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya endapan merah bata jika ditambahkan dengan pereaksi Dragendorff dan larutan putih keruh hingga endapan keruh jika ditambahkan dengan pereaksi Mayer. Terbentuknya endapan dikarenakan pereaksi tersebut berikatan dengan elektron bebas yang berada pada gugus N yang merupakan ciri khas dari alkaloid. Hasil positif polifenolat ditunjukkan dengan timbulnya warna hitam atau endapan coklat, sedangkan pada pengujian tidak didapati perubahan warna, begitu pula dengan senyawa golongan flavonoid, saponin, kuinon, dan tannin pengujian tidak menimbulkan perubahan warna-warna.

Untuk senyawa golongan monoterpen dan sesquiterpen hasil positif ditunjukkan dengan terdapatnya warna merah muda, munculnya warna karena adanya penambahan vanillin dalam HCl 10%. Golongan senyawa triterpenoid dan steroid hasil positif ditunjukkan dengan timbulnya warna ungu atau hijau ketika ditambahkan pereaksi Lieberman Buchard, pereaksi ini memberikan warna yang spesifik untuk tiap golongan senyawa, warna ungu menandakan positif mengandung triterpenoid dan warna hijau meandakan positif mengandung steroid.

Sampel simplisia dan ekstrak yang diujikan menimbulkan warna hijau yang menandakan sampel positif mengandung senyawa steroid.

(8)

5.7. Ekstraksi

Teknik ekstraksi yang digunakan pada penelitian ini adalah maserasi, pelarut yang digunakan adalah pelarut etanol 95%. Digunakan pelarut etanol 95%

karena kebanyakan alkaloid yang terdapat dalam tanaman sebagai garam organik dan lazimnya garam-garam tersebut larut dalam etanol 95% (Sinung, 1997: 98) dan etanol 95% merupakan pelarut organik sehingga alkaloid bebas juga dapat terlarut, maka keseluruhan alkaloid dapat tertarik. Maserasi juga dipilih untuk menjaga senyawa yang bersifat termolabil, terutama menjaga alkaloid dari kemungkinan penguraian oleh pemanasan karena maserasi tidak menggunakan pemanasan.

Sebanyak 190 gram daun tomat sebelum panen dan 820 gram daun tomat setelah panen dilakukan ekstraksi dengan pelarut etanol 95% masing-masing menghasilkan ekstrak dengan rendemen 17,894% dan 14,631% untuk perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9: Tabel 1. Rendemen ekstrak daun sebelum panen lebih besar dibanding ekstrak setelah panen, hal ini di mungkinkan karena perbedaan kandungan senyawa yang dapat tersari dari kedua jenis simplisia tersebut. Rendemen ekstrak dihitung setelah ekstrak cair hasil maserasi dipekatkan, dimana suhu yang digunakan tidak boleh terlalu tinggi mengingat pemanasan dengan suhu tinggi dapat merusak senyawa-senyawa terutama senyawa alkaloid yang telah disari.

(9)

5.8. Fraksinasi dan Pemantauan Fraksi

Ekstrak etanol pekat dari daun sebelum panen dan setelah panen kemudian difraksinasi menggunakan teknik asam basa, dimana ekstrak kental yang diperoleh diasamkan terlebih dahulu dengan HCL 10% kemudian dibasakan kembali dengan ammonium hidroksida hingga pH 9 setelah itu di ekstraksi cair- cair dengan pelarut etil asetat. Pengasaman dilakukan untuk membuat alkaloid manjadi dalam bentuk garam secara keseluruhan karena mayoritas alkaloid yang terekstrak pada tahap ekstraksi adalah alkaloid dalam bentuk garam namun ada pula sebagian dalam bentuk bebas yang tertarik. Setelah alkaloid secara keseluruhan dalam bentuk garam dilakukan pembasaan dengan ammonium hidroksida. Larutan basa berair kemudian diekstrak dengan pelarut organik yang cocok, biasanya etil asetat (Sinung, 1997:98). Pembasaan ini dilakukan untuk mengubah alkaloid garam menjadi bentuk bebasnya yang larut dalam pelarut organik.

Sebanyak 25 gram ekstrak kental daun sebelum panen dan sesudah panen yang difraksinasi dihasilkan fraksi pekat daun sebelum panen sebesar 4.5301 gram dengan rendemen 18.009% dan fraksi pekat setelah panen sebesar 4.063 gram dengan rendemen 14.631%, hasil selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9:

tabel 2.

Hasil fraksi daun tomat setelah panen kemudian dilakukan pemantauan secara kromatografi lapis tipis (KLT) dengan fase diam (FD) silika gel GF254 dan fase gerak (FG) kloroform:metanol (8:2). Kemudian hasil pengembangan dilihat

(10)

dengan detektor lampu UV 254 nm dan UV 365 nm, dan penampak bercak Dragendorff.

Pemantauan fraksi positif alkaloid akan menghasilkan warna merah bata hingga kehitaman dengan latar berwarna oranye jika disemprot dengan penampak bercak Dragendorff. Dari pemantauan didapatkan satu bercak yang positif seperti terlihat pada Gambar V.2: a, dan bercak tersebut terletak berjauhan dengan bercak lainnya ketika dilihat di bawah sinar UV. Fase gerak dapat digunakan untuk proses isolasi dengan kromatografi preparatif.

a b

Gambar V.2 Pola kromatografi lapis tipis fraksi FD silica gel GF254 FG kloroform:methanol (8:2). (a) penampak bercak Dragendorff, (b) dibawah sinar UV 365nm, (c) dibawah sinar UV 254nm.

5.9. Uji aktivitas Antibakteri

Uji aktivitas anti bakteri dilakukan terhadap ekstrak dan fraksi daun tomat sebelum panen juga setelah panen. Ekstrak dan fraksi diujikan daya hambatnya pada bakteri Ralstonia solanacearum, yaitu bakteri aerob penyebab penyakit layu pada tanaman khususnya menyerang tanaman keluarga Solanaceae, yang tumbuh

(11)

optimum pada suhu 30-37°C (Pracaya, 2010: 262). Media Nutrient Agar (NA) adalah media yang cocok sebagai media berkembangnya bakteri Ralstonia solanacearum (John. 2000: 156), untuk itu media NA digunakan sebagai media

agar pada pengujian. Pelarut untuk melarutkan sediaan uji ialah DMSO (Dimetil Sulfoksida), DMSO dipakai karena kempuan difusi DMSO yang baik pada media agar dan tidak memberikan daya hambat. Pengujian ekstrak dari semua konsentrasi yang diujikan baik ekstrak sebelum panen maupun setelah panen memberikan daya hambat kecuali pada pengujian ekstrak konsentrasi 1%. Hal ini diduga karena ekstrak kurang mampu berdifusi dalam media. Pada fraksi, baik fraksi sebelum panen ataupun setelah panen hanya memberikan daya hambat pada konsentrasi 5%. Untuk antibiotik pembanding yang digunakan ialah Streptomisin 20% dalam bentuk bubuk yang biasa dijual khusus untuk obat penyakit layu tanaman. Streptomisin merupakan antibiotik golongan aminoglikosida yang efektif terhadap bakteri gram negatif dan memiliki kerja bakterisid jika diberikan dalam konsentrasi tinggi, dengan mekanisme kerja menghambat sintesis dinding sel (Rahardjo, 2008: 631). Konsentrasi antibiotik yang digunakan sebesar 0,4%

sesuai dengan dosis lazim yang tertera pada kemasan. Setiap pengujian antibiotik pembanding menghasilkan zona hambat namun tidak bening sekali, hal ini diduga karena bakteri Ralstonia solanacearum sudah resisten terhadap antibiotik yang beredar di pasaran. Hasil zona hambat ekstrak dan fraksi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 10.

Untuk mengetahui apakah daun sebelum panen, setelah panen dan antibiotik pembanding memiliki perbedaan aktivitas menghambat bakteri

(12)

dilakukan analisis secara statistika dengan menggunakan statistik uji Annova satu arah. Hasil pengujian statistik Annova satu arah dapat dilihat pada Tabel V.2:

Tabel V.2 Hasil perhitungan statistik uji Annova pada ekstrak sebelum, setelah panen dan antibiotik

Tabel V.3 Hasil perhitungan statistik uji Annova pada fraksi sebelum, setelah panen dan antibiotik

Berdasarkan Tabel V.2 di atas didapatkan hasil bahwa p-value > α maka H0 diterima, dan dapat disimpulkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada zona hambat yang dihasilkan antara ekstrak daun sebelum, setelah panen dan antibiotik. Tetapi pada Tabel V.3 didapatkan hasil bahwa p-value < α, maka H0

ditolak dan H1 diterima, sehingga dapat disimpulkan terdapat perbedaan yang signifikan pada zona hambat yang dihasilkan antara fraksi sebelum dan setelah panen dan juga antibiotik. Untuk itu perlu dilakukan pengujian Tukey untuk melihat letak perbedaan tersebut.

(13)

Tabel V.4 Hasil pengujian Tukey terhadap fraksi sebelum, setelah panen, dan antibiotik

Pada Tabel V. 4 didapatkan bahwa fraksi sebelum panen dengan setelah panen tidak ditemukan perbedaan karena nilai p-value > α, maka dapat disimpulkan bahwa antara daun sebelum panen dan daun setelah panen tidak terdapat perbedaan aktivitas antibakteri, sehingga baik daun sebelum ataupun setelah panen memberikan rata-rata zona hambat yang hampir sama pada konsentrasi yang sama.

Untuk mengetahui perbedaan zona hambat yang dihasilkan antara ekstrak dan fraksi digunakan analisis statistik uji T-student, dengan hasil seperti terlihat pada Tabel V.5:

Tabel V.5 Hasil uji T-student terhadap ekstrak dan fraksi daun tomat

Berdasarkan Tabel V.5 didapatkan hasil bahwa p-value < α maka H0 ditolak dan H1 diterima. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan terdapat perbedaan yang signifikan pada zona hambat yang dihasilkan antara ekstrak dan fraksi. Hal ini terjadi karena pada ekstrak konsentrasi 0,2% sudah memberikan zona hambat dan semakin tinggi konsentrasi ekstrak, zona hambat yang dihasilkan semakin besar. Sedangkan untuk fraksi, zona hambat baru dihasilkan pada

(14)

konsentrasi 5%. Perbedaan ini terjadi karena banyaknya kandungan metabolit sekunder pada ekstrak yang kemungkinan menimbulkan efek sinergis terhadap aktivitas anti bakteri, sedangkan pada fraksi alkaloid diduga hanya terdapat senyawa alkaloid saja yang memberikan efek sebagai antibakteri dan tidak dominan memiliki aktivitas sebagai anti bakteri. Disamping itu konsentrasi senyawa tersebut dalam jumlah sedikit sehingga dibutuhkan konsentrasi fraksi yang lebih tinggi untuk menghasilkan daya hambat. Hal ini juga yang mendasari terdapatnya perbedaan daya hambat antara fraksi dengan antibiotik pembanding.

Hasil dari pengujian ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak maupun fraksi daun tomat dapat digunakan sebagai alternatif pembasmian penyakit layu tanaman, dan daun setelah panen tidak memiliki perbedaan ativitas dibandingkan dengan daun sebelum panen.

5.10. Pemurnian

Fraksi daun setelah panen dilakukan pemurnian dengan menggunakan KLT-preparatif dengan fasa diam (FD) silika gel 254nm dan fasa gerak (FG) kloroform:metanol (8:2). Dari pemurnian ini dihasilkan 4 pita dibawah sinar UV 254nm dan 365nm, dan ketika disemprot dengan pereaksi Dragendorrff bercak yang berada pada Rf 0,46 memberikan hasil positif (Gambar V.3: c), maka pada Rf 0,46 bercak dikerok kemudian dilarutkan dengan metanol dan diuapkan, hasil penguapan disebut dengan isolat X.

(15)

a b c

Gambar V.3 Pola pemisahan hasil pemurnian dengan KLT preparatif (a) Dibawah sinar UV 254nm, (b) Dibawa sinar UV 365nm, (c) Setelah disemprot penampak bercak Dragendorff.

5.11. Uji Kemurnian

Uji kemurnian dilakukan untuk melihat apakah isolat X telah murni dan tidak terdapat pengotor lain yang dapat merusak kemurniannya. Uji kemurnian dilakukan dengan dua cara yaitu teknik kromatografi lapis tipis (KLT) dua dimensi dan kromatografi pengembang tunggal. KLT dua dimensi dilakukan dengan fasa diam silica gel GF254nm dengan dua pengembang berbeda sifat yaitu dikembangkan dengan pengembang polar dan semi polar. Untuk fasa gerak(FG) pertama digunakan campuran kloroform:metanol (8:2) kemudian plat diputar 90°C dan dikembangkan kembali dengan fasa gerak kedua yaitu kloroform:metanol (4:6). Uji kemurnian dengan KLT dua dimensi ini bertujuan untuk melihat isolat murni dengan memberikan satu bercak tanpa adanya bercak lain ketika selesai dikembangkan dengan pelarut kedua. Hasil yang diperoleh isolat X diduga telah murni karena pada pola kromatografi hanya didapatkan satu bercak dari dua pengembangan yang dilakukan. Pola kromatografi dapat dilihat pada Gambar V.4.

(16)

a b c

Gambar V.4 Pola kromatografi dua dimensi dengan FD silica gel GF254nm dan FG (a) kloroform:metanol 8:2, (b) kloroform:metanol 4:6, (c) setelah disemprot Dragendorff.

Selain dilakukan dengan KLT dua dimensi, uji kemurnian juga dilakukan dengan KLT pengembang tunggal. Tiga plat yang telah ditotolkan isolat X dikembangkan dengan tiga eluen yang memiliki perbedaan kepolaran. Fasa diam (FD) yang digunakan ialah plat silica gel GF254nm. Fasa gerak (FG) yang digunakan ialah n-heksan:kloroform (6:4) sebagai pengembang yang bersifat non polar, kloroform:metanol (8:2) untuk pengembang yang bersifat semi polar dan kloroform:metanol (4:6) untuk pengembang bersifat polar. Hasil uji kemurnian harus didapatkan bercak yang menaik dari pengembang non polar hingga ke polar.

Semakin tinggi kepolaran suatu pengembang akan lebih mampu berikatan dengan fasa diam dibandingkan dengan senyawa uji, sehingga senyawa uji akan terdorong ke atas. Hasil uji kemurnian pengembang tunggal yang dilakukan menunjukkan isolat X diduga telah murni, dan bercak yang dihasilkan menaik seiring meningkatnya kepolaran baik dilihat dibawah sinar UV 365 nm maupun dilihat dengan disemprot oleh penampak bercak Dragendorff (Gambar V.5).

(17)

a b

Gambar V.5. Pola kromatografi pengembang tunggal dengan FD silica gel GF254nm, (a) Dibawah sinar UV 365nm, (b) menggunakan penampak bercak pereaksi Dragendorff.

5.12. Karakterisasi dan Identifikasi Alkaloid

Isolat X yang didapat kemudian di karakterisasi dan identifikasi menggunakan spektrofotometer UV-Vis dan spektroskopi FTIR.

5.12.1. Spektrofotometer UV-Sinar Tampak

Karakterisasi isolat X dengan spektrofotometer UV-Visibel dilakukan dengan melihat panjang gelombang maksimum dan absorbansi yang terbaca pada panjang gelombang maksimum tersebut. Hasil karakterisasi isolat x menunjukkan adanya serapan pada panjang gelombang 293 nm dengan absorbansi 0,362.

Spektrum UV- Sinar tampak dari isolat X dapat dilihat pada Lampiran 11.

Adanya serapan pada panjang gelombang 293nm menunjukkan bahwa isolat X memiliki kromofor. Kromofor ialah bagian dari molekul yang mengabsorbsi dalam daerah ultraviolet atau sinar tampak (Herman, 1981: 368).

(18)

5.12.2. Spektroskopi Inframerah Transformasi Fourier

Isolat X yang didapat juga dilakukan karakterisasi dengan menggunakan Spektroskopi Inframerah Transformasi Fourier. Molekul akan menyerap radiasi inframerah, energi yang diserap menyebabkan molekul berada dalam keadaan vibrasi tereksitasi, energi yang diserap ini kemudian akan dibuang dalam bentuk panas bila molekul itu kembali ke keadaan dasar. Energi yang diserap bergantung pada macam-macam getaran yang dihasilkan dari suatu tipe ikatan, tipe ikatan berlainan akan menyerap radiasi inframerah pada panjang gelombang yang berlainan. Dengan demikian spektrofotometer ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya gugus fungsi dalam suatu molekul (Supratman, 2010:66).

Pada spektrum isolat X yang dihasilkan (Lampiran 11) terdapat beberapa gugus fungsi yang terdeteksi seperti yang terlihat pada Tabel V.6. Pembacaan spektrum dilakukan pada daerah gugus fungsi yaitu bilangan gelombang 1500 cm-1 keatas.

Tabel V.6 Hasil pembacaan bilangan gelombang spektum inframerah dari isolat X.

Berdasarkan Tabel V.6, terdeteksi gugus N pada spektrum inframerah isolat X. Hal ini sesuai dengan hasil pemantauan selama proses isolasi dimana pemantauan dilakukan dengan menggunakan penampak bercak Dragendorff.

(19)

Adanya gugus N yang terdeteksi menunjukkan bahwa isolat X diduga merupakan alkaloid. Gugus N terdeteksi pada bilangan gelombang 3483,59 cm-1 dan 3419.42 cm-1 sebagai N yang berikatan dengan atom hidrogen , lalu pada bilangan gelombang 1655.48 cm-1 terdeteksi sebagai atom nitrogen berikatan ganda dengan atom karbon, dan pada bilangan gelombang 1558.68 cm-1 terdeteksi sebagai ikatan nitrogen dengan atom oksigen.

Referensi

Dokumen terkait

Data hasil pengujian secara keseluruhan dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 2 Hasil Uji Multikolonieritas Model Collinearity Statistics Tolerance VIF 1 Constant Hutang

Hasil Pengujian Parameter Model regresi Poisson Secara Serentak Statistik uji Keputusan uji Menolak Berdasarkan Tabel 3 nilai statistik , pada pengujian hipotesis ini