• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH: INTEGRASI METODE PENGEMBANGAN KEILMUAN (EPISTIMOLOGI)

N/A
N/A
hendi andi

Academic year: 2023

Membagikan "MAKALAH: INTEGRASI METODE PENGEMBANGAN KEILMUAN (EPISTIMOLOGI)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

(EPISTIMOLOGI)

Di Presentasikan Dalam Seminar Mata Kuliah Studi Integrasi Islam Dan Sains

Semester (2) lokal (2C)

Oleh : Rizal Eferi (NIM.211022015)

Dosen Pengampu

Prof. Dr. H. Masnur Alam. M.Pdi

PROGRAM PASCA SARJANA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KERINCI 2022/2023

(2)

ABSTRAK

Islam adalah agama yang mengajarkan bahwa ilmu pengetahuan dan agama merupakan sesuatu yang saling berkaitan dan saling melengkapi.

Agama merupakan sumber ilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan merupakan sarana untuk mengaplikasikan segala sesuatu yang tertuang dalam ajaran agama. Agama dan ilmu pengetahuan akan saling menguatkan dan bersinergi sehingga menghasilkan pribadi-pribadi yang taat dalam beragama dan terdepan dalam ilmu pengetahuan. Namun belakangan ini yang terjadi Ilmu pengetahuan umum (sains) berkembang pesat sedangkan ilmu pengetahuan Islam mengalami kemunduran, yang pada akhirnya muncullah dikotomi antara dua bidang ilmu tersebut. Tidak hanya sampai di sini tetapi muncul pula sekularisasi ilmu pengetahuan.

Namun sekularisasi ilmu pengetahuan ini mendapat tantangan dari kaum Gereja. Pemberian hukuman kepada para ilmuan yang berani berbeda pandangan dengan kaum Gereja menjadi pemicu lahirnya ilmu pengetahuan yang memisahkan diri dari doktrin agama. Kondisi inilah yang memotivasi para cendekiawan muslim berusaha keras dalam mengintegrasikan kembali ilmu dan agama. Pemikiran tentang integrasi atau Islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini yang dilakukan oleh kalangan intelektual muslim, tidak lepas dari kesadaran beragama. Secara totalitas ditengah ramainya dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan yang sesungguhnya merupakan hasil dari pembacaan manusia terhadap ayat-ayat Allah SWT, kehilangan dimensi spiritualitasnya, maka berkembangkanlah ilmu atau sains yang tidak punya kaitan sama sekali dengan agama.

Kata Kunci: Integrasi, Agama dan Ilmu Pengetahuan.

(3)

A. PENDAHULUAN

Dalam kajian epistemologi Islam, sumber segala ilmu adalah Allah. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya ayat- ayat Alquran yang menyatakan Allah sebagai pengajar atau guru. Menurut para ilmuwan Muslim,yang dikemukakan para filsuf Barat menyangkut cara-cara memperoleh pengetahuan tidak selengkap yang diinformasikan Allah dalam Alquran.

Alquran memperkenalkan cara-cara meraih ilmu yang sangat komprehensif, seperti menarik pelajaran dari perjalanan melakukan pandangan kritis terhadap alam dan fenomenanya memperhatikan da mengambil pelajaran dari sejarah manusia, mengamati manusia. Salah satu keistimewaan epistemologi Alquran adalah informasinya tentang objek yang tidak tampak betapapun tajamnya mata kepala atau pikiran dalam menganalisa objek tersebut.1

Mulyadhi Kartanegara dalam Al Rasyidin dan Ja’far menjelaskan bahwa di Barat hanya ada satu metode ilmiah yang diakui dalam menyibak ilmu pengetahuan, yaitu metode tajribi (observasi atau experiment), sedangkan dalam epistemologi Islam, selain metode tajribi masih ada tiga metode lagi yang tidak dikenal dan dipraktekkan oleh dunia intelektual Barat.

Dengan demikian ada empat metode ilmiah yang diakui dalam dunia intelektual Islam, yaitu metode bayani (tafsir/takwil), metode burhani (logis), metode tajribi (observasi dan experiment) dan metode irfani (intuisi). Metode bayani digunakan oleh kaum mufasir untuk.2

Dalam makalah ini akan dibahas mengenai :

1. Apa saja yang dimaksud dengan metode observasi dan eksperimen?

2. Apa langkah-langkah metode eksperimen?

3. Apa yang di maksud dengan metode rasional, debat, kritik, komparasi dan analogi?

4. Bagaimana pandangan islam dan barat terhadap metode observasi eksperimen dan rasional?

1 M. Quraish Shihab, Membumikan Alquran jilid 2,(Jakarta: Lentera Hati, 2010), h. 348

2 Al Rasyidin & Ja’far, Filsafat ilmu dalam tradisi Islam,(Medan: Perdana Publishing, 2015), h. 93

(4)

B. PEMBAHASAN

1. METODE OBSERVASI DAN EKSPERIMEN

Tajribi artinya eksperimen, sehingga metode tajribi sama dengan “experiment method”. Metode tajribi dipakai sebagai metode ilmiah untuk meneliti bidang-bidang empiris, jadi termasuk di dalamnya metode observasi. Menurut K. Ajram metode eksperimen ini sebenarnya telah dipraktekkan pada masa awal kebangkitan ilmiah Islam (abad kesembilan- sepuluh). Banyak ilmuwan Muslim melakukan eksperimen- eksperimen untuk membuktikan teori-teori mereka sendiri atau teori-teori sebelumnya. Ahli fisika Muslim Ibn al- Haytsam misalnya ketika ia harus menentukan mana diantara dua teori tentang penglihatan langsung. Yang satu menyatakan bahwa “kita dapat melihat sesuatu karena mata kita mengeluarkan cahaya terhadap objek yang kita lihat”

sementara yang lain menyatakan bahwa “kita dapat melihat karena cahaya yang dipantulkan oleh benda, baik cahaya itu miliknya sendiri atau dipantulkan dari benda lainnya, ke mata kita”.

Maka Ibn al-Haytsam melakukan sebuah eksperimen original, dengan memanfaatkan ruangan gelap yang dimasuki seberkas cahaya. Hasilnya sangat luar biasa, karena dengan eksperimen yaitu ia telah melakukan pengujian terhadap teori-teori yang ada, dan menghasilkan teori ilmiah yang hingga saat ini masih absah, bahwa kita dapat melihat sebuah objek karena cahaya yang dipantulkan objek tersebut ke retina mata kita, dan bukan sebaliknya disebabkan oleh cahaya mata kita ke objek tersebut.

Namun, pengamatan kita terhadap benda-benda melalui alat indera ini tidak selalu akurat karena terdapat beberapa kelemahan intrinsik dalam alat-alat inderawi kita. Al-Ghazali dalam bukunya Misykat al-Anwar sebagaimana telah dikutip Mulyadhi dalam bukunya Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, mengemukakan beberapa kelemahan mata dibanding misalnya dengan akal. (1) mata tidak bisa melihat dirinya sendiri, sementara akal bisa; (2) mata tidak bisa melihat objek yang terlalu jauh jaraknya, misalnya galaksi, atau bintang-bintang, atau terlalu dekat,misalnya benda yang ditempelkan ke mata kita; (3) mata tidak bisa melihat benda dibalik hijab/tirai,sementara akal bisa, (4) mata hanya bisa

(5)

melihat aspek lahiriah dari benda hidup (manusia) sementara akal bisa melihat aspek batiniyahnya juga, dan(5) mata hanya bisa melihat benda-benda lahir, tapi akal bisa melihat entitasenti tasrasional disamping objek-objek indera.

Ibn al-Haytsam dalam buku al-Manazhir sebagaimana dikutip Mulyadhi dalam bukunya Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi Holistik menjelaskan ketidakmampuan mata untuk bisa mempersepsi objek-objeknya secara akurat, oleh beberapa faktor:

1) jarak yang terlalu jauh, 2) ukuran yang terlalu kecil,

3) pencahayaan yang terlalu terang, 4) pencahayaan yang terlalu redup, 5) terlalu lama memandang,

6) kondisi mata yang tidak sehat dan 7) transparansi.3

Menyadari begitu banyak kelemahannya, maka mata begitu juga alat-alat indera lainnya tidak bisa dengan begitu saja kita gunakan untuk mengamati objek-objek yang ditelitinya atau kaidah-kaidah serta prosedur-prosedur ilmiah, untuk menghasilkan pengamatan yang lebih fair dan objektif. Oleh karena itu, dapat dimengerti mengapa menurut Ibn Haitsam, metode observasi perlu dibantu oleh metode matematika, atau apa yang disebut Laplace sebagai

“kalkulasi”.

Selain itu, untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih akurat dari metode observasi dan eksperimen ini, maka diperlukan alat bantu berupa observatorium (penggunaan alat optik, seperti teleskop) untuk mendapatkan gambaran yang akurat tentang benda angkasa. Contoh lainnya seorang ensiklopedis Muslim abad ke 11 (Al-biruni), berusaha mengukur keliling bumi. Namun, karena sangat mustahil untuk berlayar keliling bumi, maka beliau menggabungkan metode observasi dengan teoritri gonometri matematika4. Pertama, diasumsikan bahwa bumi ini bulat lalu observasi dilakukan dengan berdiri di atas gunung dan melihat tempat matahari tenggelam disebelah Barat. Selanjutnya menggunakan rumus trigonometri (lingkaran, garis

3 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, (Bandung: Arasy, 2005),

4 5 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, (Bandung: Arasy, 2005)

(6)

lurus,segitiga), dilakukan pula penjumlahan, pembagian dan perkalian sudut akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa keliling bumi adalah 24.778,5 mil dan berdiameter 7.878 mil.

Hanya berselisih sedikit saja dengan penghitungan era modern yangdilakukan dengan alat yang sangat canggih bahwa keliling bumi adalah 24.585 mil dan diameter 7.902 mil. Tentu saja ini merupakan kontribusi yang luar biasa akuratnya pada masa itu

Untuk melakukan pengamatan yang lebih akurat dan objektif terhadap sebuah benda (objek fisik), dan untuk menghindarkan kesan subyektif dari seorang pengamat, maka para ilmuwan Muslim dan kemudian dilanjutkan dan dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan Barat sampai taraf yang begitu canggih melakukan berbagai pengukuran baik terhadap jarak, misalnya meter, hektometer, kilometer bahkan sentimeter, milimeter dan sebagainya, maupun beban, misalnya gram, kilogram, pons, ons dan lain-lain.

Tentu saja alat-alat ukur harus diciptakan untuk tujuan pengukuran ini, sehingga muncullah satuan-satuan ukuran dengan alat-alat yang dibutuhkannya seperti timbangan dan meteran. Pada masa modern pengukuran menjadi sangat canggih sehingga dapat mengukur bukan hanya jarak dan beban,tetapi juga tekanan, seperti tekanan darah yang menghasilkan tensometer, tekanan udara, barometer dan lain-lain. Terakhir metode tajribi juga harus mengikuti prosedur pengambilan keputusan atau kesimpulan bagi pengamatannya itu baik yang bersifat deduktif biasadisebut qiyas (analogi) pengambilan kesimpulan dari prinsip-prinsip umum menuju yang khusus, atau yang bersifat induktif disebut dalam tradisi Islam sebagai istiqra’,yaitu menarik kesimpulan dari objekobjek partikular, yang telah memberi sumbangan penting pada metode ilmiah modern .

2. LANGKAH-LANGKAH METODE EKSPERIMEN a. menyusun hipotesis atau daftar pertanyaan

b. menyiapkan bahan atau objek yang akan diuji coba, seperti binatang kera, anjing atau gajah, tumbuh- tumbuhan, bahan makanan, minuman, dan sebagainya c. menyiapkan peralatan laboratorium yang akan

digunakan;

d. melakukan langkah-langkah yang ditetapkan

(7)

e. menganilisis dengan pendekatan komparasi, dan menyimpulkan.5

Metode ini digunakan untuk pengembangan sains atau ilmu terapan. Al-Razi, ahli kimia dan ahli kedokteran klinik dengan bukunya al-Hawiy; Ibn Sina, ahli kedokteran klinik dan medik dengan bukunya al-Qanun fi al-Thibb adalah hasil penelitian eksperimen6. Penggunaan metode ijbari dalam ilmu pendidikan Islam, nampak masih belum banyak menarik minat dan perhatian sarjana Muslim dibandingkan dengan metode bayani, irfani atau jadali. Metode ijbari banyak menarik minat para peneliti pendidikan Barat yang menghasilkan model-model dan pendekatan dalam model pembelajaran, model evaluasi, disain kurikulum, teori-teori motivasi dengan menggunakan teori-teori dasar psikologi.

Ke depan para pakar pendidikan Islam perlu memperbanyak pengembangan ilmu pendidikan dengan menggunakan metode ijbari, sebagaimana yang telah dirintis oleh Mahmud Yunus dalam bukunya al-Thariqah al-Mubasyarah dengan pendekatan all in one atau three in one, yakni aspek bahasa:

nahu, syaraf dan balaghah. Uji coba metode ini dilakukan di Sumatera Thawalib di Sumatera Barat, yang selanjutnya dikembangkan oleh salah seorang muridnya, Imam Zarkasyi, di Pondok Modern Darussalam, Gontor Ponorogo, Jawa Timur. Kemudian disusul oleh H.D.Hidayat dengan bukunya al-Arabiyah bi Nawaziz.

3. METODE RASIONAL, DEBAT, KRITIK, KOMPARASI DAN ANALOGI DAN LANGKAH-LANGKAHNYA

a. Metode Rasional

Metode Rasional adalah metode yang dipakai untuk memperoleh pengetahuan dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan atau kriteria kebenaran yang bisa diterima rasio. Menurut metode ini sesuatu dianggap benar apabila bisa diterima oleh akal, seperti sepuluh lebih banyak dari lima. Tidak ada orang yang mampu menolak kebenaran ini berdasarkan penggunaan akal sehatnya, karena secara rasional sepuluh lebih banyak dari lima.

5 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2012), hal. 89-90.

6 Mulyadhi Kartanegara, op, cit, hal. 146.

(8)

Metode ini dipakai dalam mencapai pengetahuan pendidikan Islam, terutama yang bersifat apriori. Akal memberi penjelasan yang logis terhadap suatu masalah sedangkan indera membuktikan penjelasan-penjelasan itu. Penggunaan akal untuk mencapai pengetahuan termasuk pengetahuan pendidikan Islam mendapat pembenaran agama Islam. Machfudz Ibawi berani menegaskan, bahwa bahasa Al-Quran seluruhnya bersifat filosofis, dengan pengertian tidak mudah dimengerti tanpa mencari, menganalisis atau menggali sesuatu yang tersimpan dibalik bahasa harfiah. Oleh karena itu dibutuhkan pemikiran yang makin rasional dan logis sebagai media atau alat untuk mendapatkan pengetahuan dan pemahaman terhadap kandungan Al- Quran sebagai cermin dari ajaran Islam.

Teori-teori yang diformulasikan oleh ilmuwan- ilmuwan Islam tidak banyak dipakai sebagai landasan dalam membahas masing-masing disiplin ilmu karena masih kalah oleh teori barat. Bahkan yang paling berbahaya secara intelektual adalah bahwa teori-teori barat telah dianggap baku dan disakralkan karena tidak pernah digugat. Teori-teori pendidikan Islam yang dirumuskan pemikir-pemikir Islam zaman dahulu juga menjadi sasaran pencermatan kembali dengan menggunakan metode rasional. Seharusnya metode rasional telah lama menjadi pegangan para filosof pendidikan Islam dalam merumuskan teori. Namun, dalam kenyataan belum banyak ahli filsafat pendidikan Islam yang memanfaatkan metode rasional ini.

Pendidikan Islam selama ini secara sinis masih dianggap meniru pendidikan Barat. Jika diperhatikan landasan pendidikan Islam itu berupa Quran dan Sunnah, dan seharusnya tidak ada lagi peniruan.

Mekanisme kerja metode rasional yang kesekian kali dalam mencapai pengetahuan pendidikan Islam dilakukan dengan cara mengembangkan objek pembahasan. Sebenarnya melalui metode rasional saja dapat diperoleh khazanah pengetahuan pendidikan Islam dalam jumlah yang amat besar7.

7 Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam, Erlangga, Jakarta, 2008,

(9)

b. Metode debat

Kosakata Jadali berasal dari bahasa Arab, al-jidal yang secara harfiah berarti perdebatan atau dialektik yang oleh Mulyadhi Kartanegara sebagaimana dikemukakan di atas, terdiri dari yang paling paling rendah pada yang tertinggi, yaitu: syi’ri (puitis), khitabi (retorik), mughalithi (sofistik) jadali (dialektik) dan burhani (demonstratif). Mujamil Qomari memasukan metode jadali sebagai salah satu metode epistimologi pendidikan Islam8. yaitu upaya menggali pengetahuan pendidikan Islam yang dilakukan melalui karya tulis yang disajikan dalam bentuk percakapan (tanya jawab) antara dua orang ahli atau lebih berdasaran argumentasi- argumentasi yang bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Metode ini banyak ditujukan oleh al-Qur’an antara lain dengan kalimat “yas’aluunaka (mereka bertanya kepamu), dan Qul yang berarti katakanlah. Misalnya tentang apa yang mereka nafkahkan (Q.S. al-Baqarah, 2:215), berperang di bulan Haram (Q.S.al-Baqarah, 2:217), khamar dan judi, (Q.S.al-Baqarah, 2: 219) anak yatim (Q.S. al-Baqarah, 2:, 220), haid (Q.S.al-Baqarah, 2:

222), (Q.S.al-Maidah, 5:4, (Q.S. al-Anfaal, 8:1), (Q.S.al- Isra’, 17:85).

Dialog menimbulkan sikap saling terbuka, saling memberi dan menerima, memahami pola pikir orang lain yang diajak dialog, saling introspeksi diri, menghargai pandangan atau pendapat orang lain. Dialog ilmiah tidak mengenal kepentingan ideologi, politik dan sebagainya, melainkan hanya kebenaran pengetahuan. Dialog ilmiah tersebut berperan dalam memperkaya peradaban, kebudayaan atau lebih spesifik lagi ilmu pengetahuan, serta dapat melahirkan pemahaman yang jernih, wawasan yang luas dankomprehensif serta pengetahuan yang baru sama sekali. Dari tradisi dialog ini dapat ditumbuhkan ketajaman analisis, ketajaman berfikir, ketajaman mengkritik dan ketajaman menjawab pertanyaan-pertanyaan yang duajukan. Melalui dialog dapat terjadi saling pengertian antara konsep teoritis- empiris dengan konsep normatif agama apa yang dimaui

8 Mujamil Qomari, Epistimologi Pendidikan Islam, dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, (Jakarta:Erlangga, 2005), cet. I, hal. 207.

(10)

oleh ilmu sosial dan apa yang dimaui oleh ilmu agama, yang bermuara pada kemauan yang sama, yakni kebahagiaan dan ketenteraman hidup manusia.

Pendidikan Islam perlu didialogkan dengan nalar kita untuk memperoleh jawaban-jawaban yang signifikan daam mengembangkan pendidikan Islam tersebut.

Dalam aplikasinya, metode dialog ini dapat dilakukan dengan pasangan dialog, membentuk forum dialog, mempertemukan dua forum dialog, atau dengan mengundang para pakar pendidikan Islam untuk berdialog. Langkah selanjutnya dengan mengidentifikasi tema-tema dialog yang berkaitan dengan persoalan- persoalan pendidikan yang terdapat di dalam al-Qur’an dan hadis yang selanjutnya akan ditemukan prinsip- prinsip dan inspirasi-inspirasi yang membutuhkan penafsiran dan penjelasan lebih lanjut. Riset pendidikan Islam dengan menggunakan metode jadali jadali antara lain dilakukan oleh Omar Muhammad al-Toumy al- Syaibani, dengan bukunya Filsafat Pendidikan Islam, Muzayyin Arifin dengan bukunya Filsafat Pendidikan Islam.

c. Metode Kritik

Metode jadali (kririk) adalah sebagai usaha menggali pengetahuan tentang pendidikan Islam dengan cara mengoreksi kelemahan suatu konsep atau aplikasi pendidikan, kemudian menawarkan solusi sebagai alternatif pemecahannya. Dengan demikian, dasar atau motif timbulnya kritik bukan karena adanya kebencian, melainkan karena adanya kejanggalan-kejanggalan atau kelemahan yang harus diluruskan. Kritik diperlukan dalam rangka menguji validitas pengetahuan. Kritik lahir dari proses berfikir secara cermat, jernih dan mendalam, sehingga ditemukan celah-celah kelemahan dari konsep- konsep, teori-teori, pemikiran-pemikiran maupun praktek- praktek yang dikritik.

Dengan demikian, melalui kritik ini sebuah konsep atau teori makin kokoh, karena hal-hal yang lemah dari teori dan konsep tersebut akan dapat disingkirkan.

Selama ini bangunan ilmu pendidikan Islam masih terlihat rapuh, karena didasarkan pada tiruan-tiruan pendidikan Barat yang diterimanya tanpa kritik. Metode kritik dapat

(11)

dimanfaatkan untuk menunjukan kelemahan-kelemahan dari bangunan ilmu pendidikan Islam secara mendetail, kemudian memberikan dorongan untuk melakukan pembongkaran terhadap bangunan ilmu pendidikan Islam itu. Dengan cara demikian, bangunan ilmu pendidikan Islam akan kokoh.

d. Metode Komperatif

Metode komparatif adalah metode yang membandingkan teori atau praktek pendidikan Isam dengan pendidikan lainnya. Metode ini ditempuh dengan mencari keunggulan-keunggulan maupun memadukan pengertian atau pemahaman untuk mendapatkan ketegasan maksud dari permasalahan pendidikan.

Metode komparatif sebagai salah satu metode epistimologi pendidikan Islam memiliki objek yang beragam untuk diperbandingkan, yaitu meliputi perbandingan antara ayat al-Qur’an tentang pendidikan, atau antara ayat al-Qur’an dengan hadis, atau antara sesama teori dari para pemikir pendidikan Islam, antara teori dari para pakar pendidika Islam dengan non Islam, antara sesama lembaga pendidikan, antara lembaga pendidikan Islam dan non Islam, dan seterusnya untuk mencari titik persamaan dan perbedaan, dalam hal keunggulan, dan saling menerima dan memberi serta memperkaya, sehingga terjadi proses saling belajar.

Selain itu metode komparatif tersebut juga digunakan dalam metode bayani sebagaimana terlihat dalam tafsir

4. PANDANGAN ISLAM DAN BARAT TERHADAP METODE OBSERVASI EKPERIMEN DAN RASIONAL

a. Pandangan Barat

penganut aliran Empirisme mengembalikan pengetahuan dengan semua bentuknya kepada pengalaman inderawi Dalam masa klasik, aliran Empirisme dipelopori oleh Aristoteles,14 sedangkan pada masa modern dipelopori oleh F. Bacon, T. Hobbes, John Locke, David Hume dan John Stuart Milss. Pengetahuan inderawi menurut Aristoteles merupakan dasar dari semua pengetahuan. Tak ada ide-ide natural yang mendahuluinya. Akan tetapi, ilmu hakiki dalam pandangannya adalah ilmu tentang konsep-konsep dan

(12)

makna-makna universal yang mengungkapkan hakikat dan esensi sesuatu9.

Menurut Thomas Hobbes (1588-1678), pengalaman inderawi merupakan permulaan dari segala pengenalan. Hanya sesuatu yang dapat disentuh oleh inderalah yang merupakan kebenaran, sedangkan pengetahuan intelektual (rasio) tidak lain hanyalah merupakan penggabungan data inderawi belaka.

Dalam perdebatan Plato dan Aristoteles yang merupakan prototipe cikal bakal aliran Rasionalisme dan Empirisme, terlihat jelas bahwa Plato lebih menekankan akal sebagai sumber pengetahuan, sedangkan Aristoteles lehih menekankan indera daripada akal sebagai sumber pengetahuan. Menurut Plato, hasil pengamatan inderawi tidak memberikan pengetahuan yang kokoh karena sifatnya selalu berubah-ubah, sehingga kebenarannya tidak dapat dipercayai. Dalam proses pencariannya, Plato menemukan, bahwa ada kebenaran diluar pengamatan inderawi yang disebut

“idea”. Dunia idea bersifat tetap dan tidak berubah-ubah dan kekal. Berbeda dengan Aristoteles, menurutnya bahwa ide-ide bawaan ini tidak ada dan dia tidak mengakui dunia semacam itu. Dia lebih mengakui bahwa pengamatan inderawi itu berubah-ubah, tidak tetap, dan tidak kekal, tetapi dengan pengamatan inderawi dan penyelidikannya yang terus-menerus terhadap hal-hal dan benda-benda konkret, maka akal/rasio akan dapat melepaskan atau mengabstraksikan idenya dengan benda-benda yang konkret tersebut10

b. Pandangan Islam

Epistemologi Islam disamping epistemologi secara umum yang menyangkut wahyu dan ilham sebagai sumber pengetahuan. Epistemologi pada umumnya menganggap, bahwa kebenaran berpusat pada manusia karena manusia mempunyai otorita untuk menentukan kebenaran (pengetahuan). Epistemologi dalam al-Quran diteruskan secara luas, dengan mengibaratkan tinta yang

9 Fu’ad Farid Ismail dan Abdul Hamid Mutawalli, Cepat Menguasai Ilmu Filsafat, (Yogyakarta:

IRCiSoD, 2003), h. 76

10 Amin Abdullah, dkk., Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis Perspektif, (Yogyakarta: LESFI, 1992), h. 30

(13)

dibuat dari air laut untuk menulis ilmu dan kalimat Tuhan.

Menulis kalimat Tuhan berarti meneliti dan menyelidiki lewat proses ilmiah untuk menentukan rumusan-rumusan dan hukumhukum regularitas yang melekat dalam karya- karya dan kreativitas Tuhan yang menjelma dalam alam semesta. Al-Quran menegaskan, bahwa ilmuilmu yang berusaha merumuskan hukum-hukum regularitas hanya Tuhan kehabisan tinta. Lantaran banyaknya objek studi yang perlu dikaji manusia

C. KESIMPULAN

Epistemologi Islam berbeda dengan Barat, epistemologi Islam mengenal entitasentitasnon fisik, seperti konsep-konsep mental dan metafisika, di samping entitasentitas fisik.

Karenanya, lingkup epistemologi Islam harus menggunakan bukan hanya metode yang cocok dengan objek-objek fisik empiris, tetapi juga dengan objek-objek yang lainnya (nonfisik);

seperti matematika dan metafisika. Maka ilmuwan Muslim telah memikirkan dan menciptakan metode-metode lain yang cocok untuk objek nonfisik, yaitu: burhani, irfani dan bayani.

Metode-metode ilmiah sebagaimana pembahasan di atas, mempunyai basis dan karakter yang berbeda. Metode observasi atau eksperimen (tajribi) untuk objek-objekfisik dengan menggunakan indera, metode logis (burhani) untuk objek-objek nonfisik,metode intuitif (‘irfani) juga untuk objek- objek nonfisik dengan cara yang lebih langsung, dan metode bayani yang berdasarkan atas teks suci. Perbandingan ketiga epistemologi itu adalah bahwa bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogi furu’ kepada yang asal; irfani menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan ruhani pada Allah Swt., burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya dengan menggunakan aturan silogisme, tajribi menghasilkan pengetahuan lewat indera.

Perlu kita ingat bahwa, semua metode di atas dipandang sah sebagai metode ilmiah. Metode-metode diatas terbukti pada ilmuwan-ilmuwan Muslim yang telah menunjukkan hasil luar biasa pada masanya dan telah menghantarkan kemajuan peradaban umat manusia. Selanjutnya, metode ini telah dikembangkan serta diwariskan kepada generasi Muslim saat ini, dan menjadi kewajiban kita untuk mengkaji,memahami serta

(14)

mempraktekkan dalam keilmuwan dan bila perlu melakukan revisikonstruktif.

D. REFERENSI

Al Rasyidin & Ja’far, Filsafat ilmu dalam tradisi Islam,(Medan:

Perdana Publishing, 2015), h. 93

Amin Abdullah, dkk., Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis Perspektif, (Yogyakarta: LESFI, 1992), h.

30

Fu’ad Farid Ismail dan Abdul Hamid Mutawalli, Cepat Menguasai Ilmu Filsafat, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), h. 76

M. Quraish Shihab, Membumikan Alquran jilid 2,(Jakarta: Lentera Hati, 2010), h. 348

Mujamil Qomari, Epistimologi Pendidikan Islam, dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, (Jakarta:Erlangga, 2005), cet. I, hal. 207.

Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, (Bandung: Arasy, 2005)

Uddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2012), hal. 89-90.Mulyadhi Kartanegara, op, cit, hal.

146.Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam, Erlangga, Jakarta, 2008,

Referensi

Dokumen terkait