• Tidak ada hasil yang ditemukan

221-Article Text-654-1-10-20201229

N/A
N/A
Rizki Satya Wardhana

Academic year: 2025

Membagikan "221-Article Text-654-1-10-20201229"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

162

PENGOLAHAN AIR LIMBAH MENGGUNAKAN BIOREAKTOR MEMBRAN (BRM)

ASTITI ADITIA INSTITUT TEKNOLOGI DEL

[email protected]

ABSTRACT

Knowing the origin of wastewater is the basic foundation for designing a waste treatment unit and selecting an effective technology for treating waste. The composition of the wastewater flow will fluctuate depending on the waste water contained in it. When untreated wastewater accumulates and discharged directly into the environment, the decomposition process of organic matter contained in wastewater will lead to conditions that can disrupt the life of living things around the wastewater disposal site, for example, foul smelling gas occurs. In general, wastewater treatment is carried out in four stages, preliminary treatment, primary treatment, secondary treatment, and tertiary treatment. Secondary treatment is also called biological treatment because it involves the role of several microbes in the waste or the addition of some microbes to the system. Activated sludge system is generally used in the wastewatwer treatment, but there are several disadvantages, one of the major problems is the quality of the effluent. Therefore, it is necessary to combine the activated sludge system with a membrane bioreactor which can produce good quality effluent, and it can be operated at high MLSS concentrations, so it can treat a larger volume of wastewater.

Keywords : Wastewater, Membrane Bioreactor, Wastewater Treatment PENDAHULUAN

Pengetahuan tentang asal air limbah merupakan pondasi dasar dari perancangan unit pengolahan limbah dan pemilihan teknologi yang efektif untuk mengolah limbah. Umumnya air limbah berasal dari air buangan rumah tangga atau unit komersil atau industri, bersama dengan air tanah, air permukaan dan air hujan. Komposisi aliran air limbah akan mengalir secara fluktuatif tergantung pada air buangan yang terkandung di dalamnya, yang dipengaruhi oleh berbagai macam faktor termasuk cuaca, jumlah komunitas atau populasi penduduk di suatu daerah (Tchobanoglous, 2014).

Ketika air limbah yang belum diolah terakumulasi kemudian langsung dibuang ke lingkungan, maka proses dekomposisi bahan organik yang terkandung dalam air limbah akan mengarah pada kondisi yang dapat mengganggu kehidupan makhluk hidup di sekitar tempat pembuangan air limbah tersebut, misalnya timbul gas yang berbau busuk.

Air limbah digolongkan menjadi dua kategori yaitu air limbah domestik dan air limbah non domestik/industri. Air limbah domestik dalam suatu komunitas berasal dari area perumahan/residensial dan kawasan komersial (hotel, restoran, rumah sakit, dll). Sumber penting lainnya yaitu berasal dari fasilitas institusional dan fasilitas rekreasi (Tchobanoglous, G, 2014).

Komponen yang terdapat di dalam air limbah umumnya merupakan kombinasi dari air buangan dapur, kamar mandi, air cucian pakaian, toilet, dan sebagainya. Air limbah non domestik/Industri berasal dari bahan cair, gas, padatan atau bahan sisa atau kombinasi dari semua bahan tersebut yang dihasilkan dari proses industri, manufaktur, perdagangan, pengembangan atau pemulihan sumber daya alam yang dapat menyebabkan/yang bertanggung jawab sebagai sumber pencemar air (Salvato, 2003). Sebelum dibuang langsung ke badan air, air limbah harus diolah terlebih dahulu agar tidak terjadi pencemaran. Sistem pengolahan air limbah yang umumnya digunakan adalah sistem lumpur aktif. Namun terdapat beberapa kelemahan dalam penggunaan sistem lumpur aktif untuk mengolah air limbah, salah satunya adalah kualitas efluen yang dihasilkan kurang baik. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka dilakukan penggabungan sistem lumpur aktif dengan bioreaktor membran yang diharapkan dapat menghasilkan kualitas efluen yang baik.

(2)

163 Pengolahan Air Limbah

Secara umum pengolahan air limbah dilakukan dengan empat tahap, yaitu pengolahan awal (preliminary treatment), pengolahan primer (primary treatment), pengolahan sekunder (secondary treatment), dan pengolahan tersier (tertiary treatment). Pengolahan awal (preliminary treatment) dilakukan untuk membuat efluen layak digunakan pada proses selanjutnya. Proses pengolahan awal terdiri dari unit operasi fisika seperti penyaringan dan penghancuran (comminution), dan flotasi untuk menghilangkan minyak dan lemak. Operasi pengolahan awal lainnya meliputi ekualisasi aliran dan netralisasi. Pengolahan primer (primary treatment) meliputi penyisihan parsial padatan tersuspensi dan bahan organik yang berasal dari air limbah dengan operasi fisika seperti penyaringan dan sedimentasi. Tujuan utama yaitu untuk memisahkan padatan sebagai lumpur yang dapat diolah dengan mudah dan ekonomis sebelum dibuang ke lingkungan. Pengolahan sekunder (secondary treatment) bertujuan untuk menghilangkan bahan organik terlarut dan koloid serta padatan tersuspensi yang lolos pada pengolahan primer dan mengurangi konsentrasi BOD (Biological Oxygen Demand) dan COD (Chemical Oxygen Demand) melalui proses biologis. Pada proses ini, mikroorganisme, umumnya bakteri, mengubah bahan organik karbon terlarut dan koloid menjadi berbagai macam gas dan melalui jaringan sel bakteri, mengurangi BOD dan COD.

Pengolahan tersier (tertiary treatment) digunakan untuk proses pemurnian air dengan kata lain penghilangan komponen nitrogen, fosfor, logam berat, bahan organik yang mudah hancur, bakteri dan virus secara signifikan (Cheremisinoff, 1996;

Tchobanoglous, 2014).

Pengolahan Air Limbah Secara Biologi – Sistem Lumpur Aktif

Pengolahan sekunder disebut juga pengolahan biologi karena melibatkan peran beberapa mikroba yang ada pada limbah ataupun penambahan beberapa mikroba ke dalam sistem tersebut. Proses yang umumnya digunakan pada pengolahan sekunder yaitu oksidasi aerob, nitrifikasi, denitrifikasi, dan penyisihan fosfor. Pengolahan sekunder juga berfungsi sebagai unit tambahan yang kemudian menjadi bagian pengolahan awal untuk lumpur aktif. Tujuan utama dari pengolahan sekunder konvensional adalah untuk mengoksidasi BOD yang lolos pada pengolahan primer dan untuk melengkapi proses penyisihan padatan tersuspensi (Cheremisinoff, 1996; Tchobanoglous, 2014). Proses lumpur aktif merupakan proses di mana biomassa terbentuk ketika udara diinjeksikan secara terus menerus ke dalam air limbah. Selama mikroorganisme tumbuh dan tercampur oleh agitasi udara, organisme tunggal akan terflokulasi menjadi bentuk massa mikroba yang aktif (flok biologis) yang disebut lumpur aktif (Tchobanoglous, 2014). Campuran lumpur aktif dan air limbah pada tangki aerasi disebut mixed liquor. Konsentrasi biomassa aktif disebut mixed liquor volatile suspended solids (MLVSS). Konsentrasi dari biomassa aktif ditambah dengan padatan inert dinyatakan sebagai mixed liquor suspended solids (MLSS). Pada proses oksidasi aerob konvensional, mixed liquor mengalir dari tangki aerasi ke penjernih (clarifier) sekunder di mana lumpur aktif diendapkan (Davis, 2010). Kebanyakan lumpur yang mengendap dikembalikan ke tangki aerasi (disebut return sludge) untuk mempertahankan populasi mikroba yang tinggi. Karena lumpur aktif yang dihasilkan lebih banyak daripada yang diinginkan, maka sejumlah lumpur yang dikembalikan akan dibuang atau dialihkan ke sistem pengolahan lumpur untuk pengolahan lebih lanjut dan kemudian dibuang. Waktu tinggal sel rata-rata (mean cell residence time, MCRT) atau bisa juga disebut solids retention time (SRT) atau umur lumpur didefinisikan sebagai jumlah rata-rata waktu mikroorganisme berada di dalam sistem. Pada sistem lumpur aktif konvensional, umumnya limbah cair diaerasi sekitar 6 sampai 8 jam. Udara yang cukup disediakan agar lumpur tetap berada di dalam suspensi. Udara diinjeksikan di dekat dasar tangki aerasi melalui sebuah sistem penyemprot (diffusers). Volume lumpur yang dikembalikan ke kolam aerasi sekitar 20-30 % dari laju aliran limbah (Tchobanoglous, 2014). Gambar 1 menunjukkan skema proses pengolahan air limbah secara konvensional (Cheremisinoff, 1996).

Gambar 1. Skema Proses Pengolahan Lumpur Aktif Konvensional

(3)

164

Proses lumpur aktif menggunakan bakteri sebagai mikroorganisme primer; meskipun mikroorganisme lainnya pun berperan penting dalam proses pengolahan air limbah menggunakan lumpur aktif. Penguraian bahan organik dalam air limbah dipengaruhi oleh penggunaan bahan organik tersebut sebagai sumber makanan oleh mikroorganisme untuk membentuk jaringan sel baru. Keberhasilan pengolahan limbah secara biologi dalam batas tertentu diatur oleh kemampuan bakteri untuk membentuk flok, dengan demikian akan memudahkan pemisahan partikel dan air limbah. Lumpur aktif adalah ekosistem yang kompleks yang terdiri dari bakteri, protozoa, virus, dan organisme-organisme lain. Proses lumpur aktif dalam pengolahan air limbah tergantung pada pembentukan flok lumpur aktif yang terbentuk oleh mikroorganisme (terutama bakteri), partikel anorganik, dan zat polimer eksoselular. Selama pengendapan flok, material yang terdispersi, seperti sel bakteri dan flok kecil, menempel pada permukaan flok. Proses lumpur aktif (activated sludge) pada pengolahan air limbah memiliki kelebihan dan kekurangan apabila diterapkan untuk penanganan dan pengolahan air limbah (Cheremisinoff, 1996;

Davis, 2010; Tchobanoglous, 2014) : a. Kelebihan yang dimiliki yaitu :

• Dapat menghilangkan bahan organik

• Dicapainya oksidasi dan nitrifikasi, pemisahan padatan/cairan

• Mampu mengurangi padatan tersuspensi

• Daya larut oksigen dalam air limbah lebih besar b. Kekurangan proses lumpur aktif yaitu :

• Tidak menghilangkan nutrien sehingga memerlukan penanganan tersier

• Daur ulang biomassa menyebabkan konsentrasi biomassa yang tinggi di dalam tangki aerasi sehingga diperlukan waktu tinggal yang tepat

• Areal instalasi luas, sehingga membutuhkan dana investasi cukup besar

• Proses operasional yang rumit mengingat proses lumpur aktif memerlukan pengawasan yang cukup ketat seperti kondisi suhu dan bulking control endapan

• Membutuhkan energi yang besar dalam proses pengolahannya

• Membutuhkan penanganan lumpur lebih lanjut.

Bioreaktor Membran

Teknologi bioreaktor membran (BRM) untuk pengolahan limbah telah menyita perhatian dunia selama lebih dari 10-15 tahun yang lalu. Teknologi ini berdasarkan kombinasi dari proses lumpur aktif dengan pemisahan biomassa menggunakan membran filtrasi. Dibandingkan dengan proses lumpur aktif konvensional, bioreaktor membran menghasilkan kualitas efluen yang lebih baik karena proses ini menghilangkan semua suspensi, padatan koloid dan bakteri serta virus atau komponen yang teradsorpsi. Selain itu, bioreaktor membran dapat dioperasikan pada konsentrasi MLSS yang tinggi sehingga dapat mengolah limbah dengan volume yang lebih banyak (Baker, 2004; Judd, S., & Judd, C., 2006).

Penggunaan membran merupakan bagian yang sangat penting dalam teknologi proses pemisahan air dan limbah. Secara umum terdapat 3 jenis membran, yaitu membran Isotropik (membran mikropori, membran tidak berpori atau Non-porous Dense Membranes, dan Electrically Charged Membranes), membran Anisotropik, dan membran yang terbuat dari keramik, logam dan lapisan film cair. Sedangkan proses pemisahan menggunakan membran yang digunakan secara umum yaitu mikrofiltrasi (MF), ultrafiltrasi (UF), nanofiltrasi (NF), reverse osmosis (RO), elektrodialisis (ED) dan elektro deionisasi (EDI), di mana keempat proses pertama menghasilkan permeat dan konsentrat (Baker, 2004; Judd, S., & Judd, C., 2006; Norman, dkk., 2008).

Prinsip Proses Bioreaktor Membran

Pada proses biorektor membran, membran akan memisahkan MLSS menjadi fasa bebas-partikel “permeat” (filtrate, effluent) dan fasa “konsentrat” (biomassa, lumpur yang dikembalikan ke bioreaktor; MLSS) yang tetap berada di dalam bioreaktor yang tersaji pada Gambar 2 (Norman, dkk., 2008).

(4)

165 Gambar 2. Prinsip Operasi Bioreaktor Membran (BRM)

Untuk penggunaan teknologi bioreaktor membran pada aplikasi pengolahan limbah biologis, beberapa aspek yang harus diperhatikan, yaitu (Chang dkk., 1998; Cho dkk., 2002; Judd, S., & Judd, C., 2006; Meng, dkk., 2009) :

1. Bahan Dan Modul Membran

Membran umumnya terbuat dari bahan plastik dan keramik, tetapi ada juga membran yang terbuat dari logam. Bahan yang paling sering digunakan adalah selulosa, poliamida, polisulfona, charged polysulphone dan bahan polimer lainnya seperti poliakrilonitril (PAN), polivinilidin florida (PVDF). Polietilsulfona (PES), polietilena (PE), dan polipropilena (PP).

Polimer-polimer tersebut bersifat hidrofobik, dan diketahui bahwa membran yang bersifat hidrofobik cenderung lebih cepat mengalami pembuntuan (fouling) daripada membran yang bersifat hidrofilik karena interaksi antara membran dan bahan penyumbat (foulant) merupakan sifat alami dari membran hidrofobik.

2. Konfigurasi Membran

Konfigurasi membran menggambarkan bentuk geometri dari membran, misalnya, planar, tubular, dan hollow fiber, tetapi juga bagaimana membran dibuat menjadi suatu elemen atau modul, dan cara modul tersebut diintegrasikan pada proses.

3. Fenomena pembuntuan (fouling) pada membran.

4. Perancangan proses lumpur aktif sebagai pengolahan awal (pretreatment).

Integrasi Modul Membran Pada Proses Lumpur Aktif

Secara umum terdapat dua pilihan dari pengintegrasian modul membran pada proses lumpur aktif yaitu: konfigurasi terendam dan konfigurasi aliran samping. Pada konfigurasi pertama, membran direndam dalam campuran limbah dan lumpur, dan kemudian permeat dihisap secara mekanis atau dialirkan begitu saja (gravitasi). Gambar 3 memperlihatkan sistem membran terendam di dalam tangki aerasi sedangkan Gambar 4 memperlihatkan sistem membran terendam di luar tangki aerasi (Judd, S., & Judd, C., 2006; Norman, dkk., 2008).

Gambar 3. Sistem Membran Terendam (Di Dalam Tangki Aerasi)

(5)

166 Gambar 4. Sistem Membran Terendam (Di Luar Tangki Aerasi)

Pada konfigurasi aliran samping, Gambar 5, MLSS dipompa melewati modul membran. Sistem aliran samping umumnya menggunakan membran tubular. Akibat pengendalian pembuntuan dengan aerasi atau dengan memompa MLSS melewati membran, maka penggunaan membran akan menghasilkan kebutuhan energi yang lebih besar jika dibandingkan dengan proses sedimentasi konvensional untuk pemisahan lumpur-air. Perkiraan energi yang diperlukan sekitar 0,4 kWh/m3 untuk sistem terendam dan sekitar 3 kWh/m3 untuk modul tubular (Norman, dkk., 2008).

Gambar 5. Sistem Aliran Samping

Kendala Atau Tantangan Dalam Bioreaktor Membran

Kendala dalam proses pengolahan air limbah menggunakan membran adalah fenomena pembuntuan. Pembuntuan pada membran dapat didefinisikan sebagai pengurangan laju alir filtrat secara bertahap pada tekanan konstan atau peningkatan tekanan lintas membran, TLM (Trans Membrane Pressure, TMP) untuk menjaga fluks tetap konstan. Pembuntuan pada membran akan mengurangi produktivitas seiring dengan meningkatnya TLM, karena akan meningkatkan biaya operasional dan perawatan. Gambar 6 menunjukkan ilustrasi dari kenaikkan TLM (Drews, 2010).

Gambar 6. Ilustrasi Proses Kenaikkan TLM

Cho dan Fane (2002) menyatakan bahwa kenaikkan TLM merupakan perubahan fluks lokal selama pembuntuan yang akan mengakibatkan fluks lokal akan lebih besar daripada fluks kritik. Kemudian Zhang dkk., (2006a) menyatakan bahwa kenaikkan TLM yang tiba-tiba tidak hanya disebabkan oleh fluks lokal tetapi juga disebabkan oleh perubahan tiba-tiba dari struktur biofilm atau lapisan cake. Karena terbatasnya transfer oksigen, bakeri yang berada di bagian dalam biofilm akan mati dan melepaskan lebih banyak zat polimer ekstraselular (ZPE). Pembuntuan membran dapat terjadi secara fisika atau kimia (Judd, 2004). Hal ini disebabkan oleh disposisi dari biosolids, spesies koloid, scalants, atau spesies makromolekular pada permukaan membran dan mengarah ke berkurangnya fluks dan permeabilitas (Le-Clech dkk., 2006). Menurut Chang

(6)

167

dkk. (2002), pembuntuan reversibel (reversible fouling) didefinisikan sebagai pembuntuan pada permukaan membran yang dapat dihilangkan dengan pencucian secara fisika, sedangkan pembuntuan ireversibel (irreversible fouling) diindikasikan sebagai pembuntuan internal ke dalam pori membran, yang dapat dihilangkan hanya dengan pencucian secara kimiawi.

Deskripsi dari pembuntuan (fouling) membran cukup sulit karena sifat heterogen lumpur aktif.

Penyebab utama pembuntuan pada membran adalah (Meng, dkk., 2009) : 1. Adsorpsi dari senyawa makromolekul dan koloid.

2. Deposisi flok lumpur pada permukaan membran.

3. Pembentukkan lapisan cake pada permukaan membran.

4. Perubahan spasial dan temporer dari komposisi foulant (bahan pembentuk pembuntuan) selama jangka waktu operasi yang lama (perubahan komunitas bakteri dan komponen biopolimer pada lapisan cake).

KESIMPULAN

Teknologi pengolahan air limbah menggunakan bioreaktor membran (BRM) memiliki banyak kelebihan jika dibandingkan dengan proses pengolahan air limbah dengan sistem konvensional, diantaranya adalah menghasilkan kualitas efluen yang lebih baik karena proses ini menghilangkan semua suspensi, padatan koloid dan bakteri serta virus atau komponen yang teradsorpsi, serta bioreaktor membran dapat dioperasikan pada konsentrasi MLSS yang tinggi sehingga dapat mengolah limbah dengan volume yang lebih banyak. Beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam penggunaan BRM yaitu bahan dan modul membran, konfigurasi membran, fenomena pembuntuan, dan perancangan proses pengolahan awal.

Tantangan terbesar yang dihadapi untuk proses pengolahan limbah menggunakan BRM adalah terjadinya fenomena pembuntuan, sehingga diharapkan untuk ke depannya dilakukan lebih banyak penelitian mengenai cara mengatasi pembuntuan pada BRM.

REFERENSI

Baker, R. W. 2004. Membrane Technology and Applications. John Wiley & Sons, Ltd.

Chang, In-Soung dkk,. 2002. Membrane Fouling in Membrane Bioreactors for Wastewater Treatment. Journal of Environmental Engineering 128(11) 2002, 1018-1029.

Cheremisinoff, N., P. 1996. Biotechnology for Waste and Wastewater Treatment. Noyes Publications, Ney Jersey.

Cho, B., D.; Fane, A., G. 2002. Fouling Transients in Nominally Sub-Critical Flux Operation of A Membrane Bioreactor.

Journal of Membrane Science, vol. 209, pp. 391 – 403.

Davis, Mackenzie L. 2010. Water and Wastewater Engineering Design Principles and Practice. McGraw-Hill Companies, Inc.

Drews, A. 2010. Review: Membrane fouling in membrane bioreactors-Characterisation, contradictions, cause and cures.

Journal of Membrane Science 363, 1-28.

Joseph A. Salvato, Nelson L. Nemerow, Franklin J. Agardy. 2003. Environmental Engineering. John Wiley & Sons.

Judd, S. J. 2004. A review of fouling of membrane bioreactors in sewage treatment. Wat. Sci. Tech. 49(2), 229-235.

Judd, S., & Judd, C. 2006. The MBR Book: Principles and Applications of Membrane Bireactors in Water and Wastewater Treatment. Great Britain: Elsevier.

Le-Clech, P., Chen, V., & Fane, T. A. 2006. Fouling in Membrane Bioreactors Used in Wastewater Treatment. Journal of Membrane Science, 284:17-53.

(7)

168

Li, Norman N., Fane, A. G., Ho, W.S. Winston, Matsuura, T. 2008. Advanced Membrane Technology and Applications. John Wiley & Sons.

Meng, F., Chae, S., R., Drews, A., Kraume, M., Shin., H., S., Yang, F. 2009. Recent Advances in Membrane Bioreactors (MBRs): Membrane Fouling and Membrane Material. Water Research 43, 1489-1512.

Tchobanoglous, G; Burton, F., L., Stensel, D.H. 2003. Wastewater Engineering: Treatment and Reuse, 4th edition, Metcalf &

Eddy Inc., Mc-Graw-Hill Companies Inc.

Tchobanoglous, G; Burton, F., L., Stensel, D., H. 2014. Wastewater Engineering: Treatment and Resource Recovery, Volume 1. 5th edition, Metcalf & Eddy Inc., Mc-Graw-Hill Companies Inc.

Referensi

Dokumen terkait

Tampilan Halaman Cetak Nilai KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian pada SMK Negeri 3 Sumbawa Besar yang telah selesai penulis rancang dan bangun yaitu Sistem

ID Deskripsi Pengujian Hasil yang diharapkan Hasil Pengujian Kesimpulan 6 Select tabel LoginID Sistem akan menampilakn isi dari tabel loginID Sistem menerima dan menampilkan

Berdasarkan hasil pemeriksaan dan pengalaman operator IPAL, untuk sementara dapat disimpulkan bahwa kombinasi padatan yang terkandung dalam air limbah tidak memungkinkan untuk mengendap

Hal ini Gambar 3 Nilai COD mgL-1 pada pengolahan limbah pemeliharaan ikan lele menggunakan teknik elektrokoagulasi dengan besar tegangan dan waktu kontak yang berbeda.. Gambar 4

Jika dibandingkan dari sisi sistem pemilu presiden baik Amerika Serikat maupun Indonesia di masa sekarang, kita bisa melihat bahwa kedua negara memiliki sistem pemilihan umum presiden

Dalam perencanaan sistem distribusi air bersih, beberapa faktor yang harus diperhatikan antara lain daerah layanan dan jumlah penduduk yang akan dilayani, kebutuhan air, letak topografi

Ayakan pasir no 10, dengan ukuran 2 mm sbg bahan Filter Setelah bahan filter dituang pada tempatnya, maka selanjutnya dipersiapkan air limbah domestik yang diambil dari IPAL komunal

Menurut asumsi peneliti, bahwa dengan adanya kesadaran yang dimiliki rumah sakit untuk menyediakan fasilitas sarana prasarana yang ada di rumah sakit terutama dalam pengolahan limbah