• Tidak ada hasil yang ditemukan

3 BUKU AJAR CASE FILES MIKROBIOLOGI Tim penyusun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "3 BUKU AJAR CASE FILES MIKROBIOLOGI Tim penyusun"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

1

(2)

2

(3)

3 BUKU AJAR

CASE FILES MIKROBIOLOGI

Tim penyusun : dr. Masfiyah, M.Si, Med., SpMK

Penerbit : UNISSULA PRESS

(4)

4

Ketentuan Pidana

Pasal 72 Undang-undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah)

BUKU AJAR

CASE FILES MICROBIOLOGY

Tim penyusun : dr. Masfiyah, M.Si, Med., SpMK Desain Sampul & tata letak :

Asisten Mikrobiologi FK Unissula Angkatan 2015 Penerbit : Unissula Press

Cetakan : Pertama

ISBN : xxxxxxxxxx

Hak cipta dilindungi undang-undang

@Copy right registered all rights reserved

(5)

5 KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim

Segala puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, barakah dan karunia-Nya sehingga penyusunan Buku Ajar Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Unissula ini dapat selesai.

Masalah infeksi masih menempati urutan teratas penyebab kesakitan dan kematian di negara berkembang, termasuk Indonesia. Infeksi selain menyebabkan penderitaan fisik, juga menyebabkan penurunan kinerja dan produktifitas, yang pada gilirannya akan mengakibatkan kerugian materiil yang berlipat-lipat. Tingginya kejadian infeksi di masyarakat akan menyebabkan penurunan produktifitas nasional secara umum, sedangkan dilain pihak menyebabkan peningkatan pengeluaran yang berhubungan dengan upaya pengobatannya.

Pemeriksaan mikrobiologi mutlak diperlukan dalam penegakan diagnosis penyakit infeksi.

(6)

6 Mahasiswa kedokteran diharapkan mampu mengelola masalah kesehatan individu, keluarga maupun masyarakat secara komprehensif, holistik, terpadu dan berkesinambungan dalam konteks pelayanan kesehatan primer. Mampu menggunakan data klinik dan pemeriksaan penunjang yang rasional untuk menegakkan diagnosis. Mampu menggunakan alasan ilmiah dalam menentukan penatalaksanaan masalah kesehatan berdasarkan etiologi, patogenesis, dan patofisiologi.

Buku Ajar ini diharapkan dapat menjadi acuan mahasiswa dalam pembelajaran di Fakultas Kedokteran terutama bagian Mikrobiologi, sehingga bisa mendukung pencapaian kemampuan dasar yang harus dicapai oleh mahasiswa di bagian Mikrobiologi.

Banyak pihak yang telah membantu dalam penyusunan Buku ini, untuk itu kami mengucapkan terima kasih, terutama kepada Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung Semarang

Kami menyadari bahwa Buku Ajar ini belum

(7)

7 sempurna, sehingga masukan untuk perbaikan dimasa datang sangat kami harapkan. Akhirnya kami berharap semoga buku ini dapat memberikan manfaat sesuai dengan harapan kami.

Semarang, Juli 2018

Tim Penyusun

(8)

8 DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...4

1. Sepsis...9

2. Patogenesis Sepsis...11

3. Mekanisme Resistensi bakteri...15

4. Kontrol Infeksi dan Resistensi Antibiotik...22

5. ESBL sebagai salah satu penyebab HAI(Health Care Associated Infection)...28

5.1 Deteksi Adanya Enzim ESBL...30

6. LAPORAN KASUS...35

6. PEMBAHASAN...59

8. KESIMPULAN...65

DAFTAR PUSTAKA...77

(9)

KASUS 1

Urosepsis oleh Klebsiella pneumonia spp pneumoniae Penghasil ESBL (Extended Spectrum Β-Lactamase)

Dasar Teori 1. Sepsis

Sepsis adalah suatu SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome) yang diakibatkan oleh suatu infeksi. Komplikasi yang dapat diakibatkan oleh sepsis, adalah kegagalan di berbagai organ antara lain kardiovaskuler, paru, ginjal, gastrointestinal, dan susunan saraf pusat. Sepsis merupakan penyebab kematian terbesar di ICU, ditemukan sebanyak 13 juta orang sepsis setiap tahun, sedangkan 4 juta diantaranya meninggal. Berbagai bakteri dapat menyebabkan terjadinya sepsis antara lain Streptococcus pneumonia, Escherichia coli, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, Klebsiella spp, β haemolytic Streptococcus , Candida spp, bakteri anaerob (Bacteroides fragilis maupun Clostridium), dan

(10)

bakteri yang menghasilkan enzim Extended Spectrum β- Lactamase(ESBL).

Bakteri yang memproduksi enzim ESBL dapat menghidrolisis antibiotik golongan oxyimino–cephalosporins dan golongan monobactam kecuali cephamycins dan carbapenem. Bakteri yang banyak menghasilkan

enzim ESBL adalah golongan

Enterobacteriaceae, terutama Klebsiella pneumonia (K. pneumoniae) dan Escherichia coli (E. coli).

Angka kejadian infeksi oleh bakteri penghasil enzim ESBL melalui darah yang didapat dari peta medan kuman di Rumah Sakit X di Semarang selama bulan Juli-Desember 2011, ditemukan kejadian yang lebih tinggi di bangsal intensif (80%) dibandingkan bangsalnon intensif (20%). Angka kejadian infeksi oleh MDRO (multi drug resistance organism) seperti Acinetobacter baumannii melalui darah juga lebih tinggi di bangsal intensif daripada bangsal non intensif (81 % VS 19%).

(11)

Bakteri penghasil enzim ESBL menimbulkan keterbatasan terapi terkait resistensinya, selain resisten terhadap cephalosporine dan aztreonam, dilaporkan juga resisten terhadap fluroquinolon, β laktam, β lactam dan antagonisnya, aminoglikosida, sulfa, dan hanya carbapenem yang masih sensitif terhadap bakteri ESBL.

Angka mortalitas infeksi bakteri penghasil ESBL meningkat dua kali dibandingkan dengan non ESBL, sedangkan lama perawatan menjadi dua kali lebih lama. Beban biaya yang dikeluarkan pada infeksi oleh bakteri penghasil ESBL pada penelitian diUnited State of America (USA) tiga kali lebih besar ($66,590 vs $22,231) dibandingkan infeksi non ESBL. Tingginya mortalitas, morbiditas dan beban biaya karena infeksi bakteri penghasil ESBL dapat ditekan dengan pengendalian berbagai faktor risiko yang mempengaruhi kejadian infeksi.

2. Patogenesis Sepsis

(12)

inflamasi yang penyebabnya mungkin dapat bermacam-macam diantaranya trauma, infeksi, luka bakar, maupun pancreatitis. Inflamasi dengan tanda klasik yang meliputi pembengkakan (tumor), kemerahan (rubor), nyeri (dolor), dan panas (calor). Dalam tingkat seluler perubahan yang terjadi meliputi leakage kapiler, oedem, dan keluarnya sitokin serta mediator inflammatory. Penjelasan selengkapnya akan ditampilkan dalam gambar di bawah ini

Gambar 1. Tinjauan SIRS secara selluler

(13)

Sepsis didefinisikan sebagai SIRS yang disebabkan oleh infeksi, selengkapnya hubungan antara SIRS dan sepsis akan ditampilkan dalam gambar berikut ini.

Gambar 2. Hubungan antara SIRS dan Sepsis Berbagai bagian dari agent (bakteri , virus, jamur) dapat meng-induce terjadinya sepsis. Bagian itu antara lain lipopeptides, lipoteichoic acid, peptidoglycans, ds RNA, lipopolisakarida, flagella bakteri, maupun DNA dari bakteri. Bagian dari bakteri tersebut akan ditangkap oleh reseptor pada lekosit maupun makrofage. Gambaran selengkapnya akan diterangkan dalam gambar

(14)

Gambar 4. Patogenesis sepsis oleh Bakteri

(15)

3. Mekanisme Resistensi bakteri

Mekanisme resistensi bakteri terjadi karena didapat (acquired resistance) yaitu resistensi yang terjadi karena bakteri mendapat faktor genetik yang membawa sifat resistensi dan natural resistance yaitu resistensi terjadi karena mutasi spontan.

Acquired resistance merupakan mekanisme resistensi yang lebih sering ditemukan.

Mekanisme resistensi bakteri ESBL terhadap oxyimino–sefalosporin (cefotaxime, ceftazidime, ceftriaxone, cefuroxime, cefepime) dan golongan monobactam (aztreonam) termasuk dalam acquired resistance.

Perpindahan faktor resistensi dari bakteri yang peka dengan antibiotik kepada bakteri yang resisten dapat melalui berbagai cara antara lain transduksi, transformasi, maupun konjugasi. Transduksi terjadi jika faktor resistensi dipindahkan dari suatu bakteri resisten ke bakteri sensitif melalui

(16)

Konjugasi terjadi jika suatu bakteri yang sensitif mendapat faktor resistensi dari bakteri yang resisten melalui transfer plasmid.

Transformasi terjadi jika suatu bakteri mendapat faktor resistensi dari bakteri lain yang telah mati.

Gambar 4. Mekanisme perpindahan resistensi bakteri

Mekanisme resistensi dalam tinjauan biologi molekuler disebabkan karena berbagai hal misalnya perubahan tempat target (target

(17)

site), perubahan permeabilitas dari membran, pengeluaran antibiotik melalui suatu pompa, serta pengeluaran enzim untuk mendegradasi obat.

Perubahan target site disebabkan karena mutasi gen yang menghasilkan struktur baru dimana struktur baru tersebut mempunyai kemampuan fungsional untuk melakukan penghambatan antibiotik. Mekanisme methicillin resisten Staphylococcus aureus (MRSA) merupakan contoh yang mudah dipahami.

Perubahan protein PBP 2a , yang merupakan target site terhadap antibiotik β-lactam menyebabkan resistensi. Mekanisme lain adalah perubahan enzim DNA gyrase menyebabkan resistensi terhadap ciprofloksasin.

Perubahan pada membran sel merupakan mekanisme resistensi yang lain. Membran sel merupakan bagian yang penting pada bakteri.

Membran sel mempunyai fungsi barier terhadap berbagai molekul yang masuk ke dalam sel.

Sebagian kecil antibiotik seperti tetrasiklin,

(18)

memanfaatkan fungsi porin pada membran sel untuk masuk ke dalam sel. Perubahan protein pada membran dari bakteri dapat menyebabkan resistensi antibiotik. Mekaisme resistensi ini terdapat pada Pseudomonas aeruginosa yang resisten terhadap imipenem karena perubahan protein OprD pada membran sel.

Mekanisme ketiga adalah gangguan pada pompa efflux. Pompa efflux adalah protein transmembran yang secara fisiologi bekerja pada bakteri gram positif maupun gram negatif.

Pompa itu bisa memasukkan molekul yang dibutuhkan oleh bakteri maupun mengeluarkan zat yang bersifat toksik untuk bakteri. Adanya modifikasi pada protein yang berfungsi sebagai pompa efflux menyebabkan antibiotik yang sudah masuk ke dalam sel dikeluarkan kembali keluar sel. Gambaran pada mekanisme ini adalah Pseudomonas aeruginosa yang resisten terhadap carbapenem karena over ekspresi sistem efflux oleh gen MexAB-OprM .

Mekanisme terakhir adalah adanya enzim

(19)

antibiotik. Mekanisme ini didapat pada bakteri yang menghasilkan enzim β laktamase. Enzim ini dapat merusak amid di dalam cincin β laktam.

Beberapa antibiotik yang mempunyai cincin β laktam seperti penicillin, sefalosporin, monobactam, dan carbapenem dapat dirusak oleh bakteri penghasil β laktamase. Sebagian besar bakteri ESBL mempunyai mekanisme resistensi ini. Gambar dibawah ini menggambarkan beberapa antibiotik yang mempunyai cincin β laktam.

Gambar 5. Cincin β laktam beberapa macam

(20)

antibiotik.

Enzim ESBL merupakan sebagian kecil contoh enzim β laktamase yang dihasilkan bakteri. Disebut extended spectrum karena enzim ini mampu mendegradasi substrat yang lebih luas (extended spectrum) dari pada narrow spectrum β laktamase maupun broad spectrum β laktamase. Klasifikasi β laktamase secara lengkap tergambar pada tabel 1. Klasifikasi ini didasarkan pada Ambler molecular classification scheme dan Bush-Jacoby- Medieros functional classification sistem. Ambler membagi β laktamase menjadi 4 klas yaitu A-D.

Dasar penggolongan ini adalah protein homolog.

Klas A,C,D mengandung serine di dalam enzimnya, sedangkan klas B mengandung metalloenzim sedangkan Bush-Jacoby-Medieros membagi β laktamase berdasarkan fungsinya (berdasarkan substrat yang dihambat).

(21)

Tabel 1. Klasifikasi β laktamase

Functi onalgroup

Subgroup Mole cular class

Mainsubstrate Peculiarities of β- lactamase members 1

2

3

4

1

2a

2b

2be

2br

2c 2e

2f

2d

3a, 3b, 3c notdeterm ined

C

A

A

A

A

A A

A

D

B

all groups

of β-

lactam antibiotiks except carbapen ems

penicillins

penicillins ,cephalosp orins

penicillins ,cephalosp orins, monobact ams penicillins

penicillins ,carbenicill in

cephalosp orins

chromosome-

encoded AmpC β- lactamases, some plasmid-encoded

AmpC β-

lactamases — are notinhibited by clavulanic acid penicillinases of Gram-positive

bacteria are

inhibited by

clavulanic acid broad spectrum β- lactamases (TEM-1, TEM-2,SHV-1) are inhibited by clavulanic acid extended spectrum β-lactamases

(ESBL) are

inhibited by

clavulanic acid inhibitor-resistant β- lactamases of TEM and SHV types carbenicillin-

hydrolyzing PSE type β-lactamases

(22)

penicillins ,cephalosp orins, carbapen ems penicillins , oxacillin

most β- lactams, including carbapen ems penicillins

inducible

cephalosporins from Proteus spp. areinhibited by clavulanic acid serine

carbapenemases — are inhibited by clavulanicacid

OXA type β-

lactamases hydrolyzing

oxacillin — aremainly

inhibited by

clavulanic acid metallo-β-

lactamases — are not inhibited by clavulanic acid but are inhibited by EDTA

penicillinases not belonging to other groups

Menurut klasifikasi Ambler molecular classification scheme dan Bush-Jacoby- Medieros functional classification sistem, ESBL termasuk dalam klas 2be.

4. Kontrol Infeksi dan Resistensi Antibiotik

(23)

Perkembangan resistensi pada decade ini merupakan hasil dari kurangnya kontrol infeksi. Penggunaan antibiotik yang rasional serta kontrol terhadap penyebaran infeksi merupakan solusi yang efektif untuk mengendalikan resistensi antibiotik.

Terjadinya penyebaran pada bakteri resisten disebabkan adanya mekanisme seleksi.

Pemberian antibiotik yang pada hakekatnya membunuh mikroorganisme patogen ternyata bisa menghasilkan seleksi yaitu hidupnya bakteri yang resisten yang kemudian berkembang dan dapat menyebar jika terjadi kelemahan pada kontrol infeksi.

Mekanisme seleksi akan diterangkan pada gambar berikut ini:

(24)

Gambar 6. Mekanisme berkembangnya bakteri yang resisten.

Bulatan putih menunjukkan klon yang sensitif dan bulatan hitam menunjukkan klon yang resisten.

Berkembangnya bulatan yang hitam karena kurangnya kontrol antibiotik dan kontrol infeksi.

WHO mencanangkan suatu global strategy

Populasi sensitif Klon resisten outbreak, epidemic,

pandemic

Berkembang Seleksi

Paparan

Kontrol Kontrol

(25)

satunya melalui peningkatan penggunaan antibiotik yang rasional dan memperkuat pengaturan penggunaannya. Strategi yang lain adalah memperkokoh sistem kesehatan, surveillance, pengembangan obat baru, dan pengembangan vaksin. Strategi itu nampaknya memunculkan subjek yang berperan dalam pengendalian resistensi. Mereka adalah prescribers, dispensers, dan hospitals (para medis, apotik, toko obat, perusahaan farmasi, maupun rumah sakit). WHO merekomendasikan intervensi terhadap ketiganya untuk menghasilkan pengendalian pada resistensi antibiotik.

(26)

Tabel 2. Rekomendasi WHO untuk peningkatan penggunaan antibiotik dengan target pada para prescribers dan dispensers (18).

No Rekomendasi

Peningkatan pengetahuan tentang :

1 Penggunaan antibiotik yang rasional dan kontrol terhadap resistensi

2 Pencegahan penyakit dan kontrol infeksi

3 Diagnosis dan managemen yang akurat terhadap penyakit infeksi

4 Instruksi terhadap pasien tentang penggunaan antibiotik dan peningkatan ketaatan terhadap peresepan obat

5 Faktor- faktor yang berpengaruh terhadap peresepan obat seperti faktor ekonomi serta pengaruh dari industri farmasi

Managemen, pedoman, dan formularium

1 Dukungan dan supervisi terutama pada strategi diagnosis dan terapi

2 Audit pada peresapan obat serta aktivitas apotik dan toko obat

3 Dukungan terhadap peresepan terhadap antibiotik yang rasional melalui kelompok-kelompok diskusi dan standard dari luar sebagai pembanding untuk memperoleh umpan balik yang berguna

(27)

4 Dorongan penggunaan pedoman dan penggunaan algoritme terapi

5 Pemberdayaan manager formularium untuk mengurangi penggunaan antibiotik dalam peresepan obat dan seleksi terhadap penggunaan antibiotik

Pengaturan

Peningkatan hubungan antara dokter dan apotik melalui pelatihan serta pendidikan yang berkelanjutan

Tabel 3. Rekomendasi WHO untuk peningkatan penggunaan antibiotik di rumah sakit (18).

No Rekomendasi

Management rumah sakit

1 Pembentukan program kontrol infeksi di rumah sakit yang bertanggung jawab terhadap resistensi antibiotik di rumah sakit

2 Pembentukan komite terapetik yang bertanggung jawab terhadap pengawasan penggunaan antibiotik di rumah sakit

3 Pengembangan up date pedoman untuk terapi antibiotik dan profilaksis serta formularium rumah sakit

(28)

4 Monitor terhadap perkembangan penggunaan antibiotik, termasuk kuantitas dan pemberian umpan balik kepada pemberi resep(dokter)

Diagnostik laboratorium

1 Tersedianya akses ke laboratorium mikrobiologi 2 Perbaikan kinerja dan kualitas laboratorium

mikrobiologi dalam hal identifikasi, test kepekaan maupunturn around time

3 Tersedianya data laboratorium yang dapat digunakan untuk data epidemiologi dan umpan balik untuk program kontrol infeksi

Interaksi dengan industri farmasi

Supervisi dan dukungan dari industri farmasi dalam peningkatan aktivitas yang lebih baik di lingkungan rumah sakit

5. ESBL sebagai salah satu penyebab HAI (Health Care Associated Infection)

The Infectious Diseases Society of America (IDSA) tahun 2008 menyatakan bahwa ESKAPE (Enterococcus faecium, Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter baumannii, Pseudomonas aeruginosa, dan kelompok Enterobacteriaceae ) merupakan bakteri

(29)

terbesar penyebab HAI. ESKAPE merupakan panresisten bakteri, dimana ESBL termasuk didalmnya. ESKAPE terdiri atas Vancomycin- resistant E. faecium(VRE), Methicillin-resistant S. aureus (MRSA), ESBL, carbapenem resisten Klebsiella pneumoniae dan E. coli, Acinetobacter baumannii MDRO (multi drug resistant), dan Pseudomonas aeruginosa MDRO(20-21).

HAI adalah infeksi yang terjadi selama pasien berada di rumah sakit atau fasilitas kesehatan tetapi bukan merupakan suatu inkubasi penyakit, termasuk infeksi pada petugas kesehatan yang didapat saat mereka melakukan perawatan pasien. Dahulu HAI disebut sebagai infeksi nosokomial.

Perubahan istilah disebabkan karena berkembangnya sistem pelayanan kesehatan kususnya dalam bidang perawatan pasien, sekarang perawatan tidak hanya di rumah sakit saja, melainkan juga fasilitas pelayanan kesehatan, bahkan pelayanan di rumah (home

(30)

tenaga kesehatan dimaksudkan untuk tujuan perawatan atau penyembuhan pasien bila tidak sesuai prosedur dapat berpotensi menularkan penyakit infeksi, baik kepada pasien maupun pada petugas kesehatan itu sendiri.

5.1Deteksi Adanya Enzim ESBL

Skrening ESBL dapat dilakukan dengan menggunakan disk diffusion dan broth microdilution. Skrening untuk K. pneumonia, K oxytoca dan E.coli dilakukan dengan menggunakan disk cefpodoxime 10 µg atau ceftazidime 30 µg atau aztreonam 30 µg atau cefotaxime 30 µg atau ceftriaxone 30 µg, sedangkan untuk isolat Proteus mirabilis menggunakan disk cefpodoxime 10 µg atau ceftazidime 30 µg atau cefotaxime 30 µg.

Skrening ESBL positif jka zona hambat isolat K.

pneumonia, K oxytoca dan E.coli adalah cefpodoxime ≤17 mm atau ceftazidime ≤20 mm atau aztreonam ≤27 mm atau cefotaxime

(31)

untuk isolat Proteus mirabilis didapatkan diameter zona hambat cefpodoxime ≤22 mm atau ceftazidime ≤22 mm atau cefotaxime ≤27 mm. Sensitivitas untuk skrening ESBL menggunakan metode difusi cakram paling baik adalah cefpodoxime kemudian disusul ceftazidim, aztreonam, dan cefotaxim (93,0 %, 89,6%, 84,4%, 81,6%), sedangkan spesifisitas yang terbaik adalah aztreonam disusul cefpodoxime, cefotaxime, dan ceftazidime (88,0 %, 85,7%, 85,7%, 80,9% ). Skrening ESBL dapat juga dilakukan dengan metode broth microdilution menggunakan pedoman kadar minimum inhibitory concentration (MIC).

Disebut ESBL jika didapatkan kadar MIC untuk K. pneumonia, K oxytoca dan E.coli adalah ≥ 8 µg/mL untuk cefpodoxime atau ≥ 2 µg/mL untuk ceftazidime, aztreonam, cefotaxime atau ceftriaxone serta untuk Proteus mirabilisMIC ≥ 2 µg/mL untuk cefpodoxime, ceftazidime atau cefotaxime.

Konfirmasi fenotip ESBL dapat dilakukan

(32)

dan automated method. Doble-disk synergy test (DDST) adalah suatu test untuk mendeteksi ESBL secara fenotip dengan menggunakan disk cefotaxim dan atau ceftriaxone dan atau ceftazidime dan atau aztreonam dan disk amoxicillin clavulanat yang mengandung 10 µg clavulanat dengan jarak 30 mm antara pusat disk yang satu dengan disk yang lain. Test menunjukkan hasil positif jika terdapat penambahan zona hambat pada disk clavulanat seperti bentukan tutup botol sampanye atau lubang kunci. Penelitian menunjukkan bahwa memperpendek jarak antara disk antibiotik menjadi 20 mm meningkatkan sensitifitas secara significant.

Menurut Clinical and Laboratory Standard Institute (CLSI) DDST dilakukan dengan menggunakan disk antibiotik ceftazidime atau cefotaxime secara sendiri yang didekatkan dengan disk cefotaxime atau ceftazidime dengan clavulanat. Penambahan zona diameter ≥ 5 mm menunjukkan hasil positif

(33)

CLSI adalah dengan memakai borth microdilution. Pengurangan MIC ≥ 3 pada antibiotik yang mengandung clavulanat menunjukkan hasil positif ESBL. Pedoman CLSI hanya dipergunakan untuk isolat K.

pneumonia, K oxytoca, E.coli dan Proteus mirabilis.

Gambar 7. Konfirmasi test ESBL dengan menggunakan DDST.

Penambahan zona hambat ≥5 mm menunjukkan ESBL (+)

Beberapa isolat seperti Enterobacter sp, C.

freundii, M. morganii, P. stuartii dan S.

(34)

tetapi pedoman CLSI tidak merekomendasikan DDST untuk isolat ini . Beberapa cara dilakukan untuk memodifikasi DDST dalam mendeteksi ESBL pada isolat Enterobacter aerogenes dan Enterobacter cloacae. Disk cefepime secara sendiri didekatkan 30 mm dengan disk cefepime dengan clavulanat bisa meningkatkan sensitivitas 61% lebih tinggi daripada menggunakan disk cefotaxime, ceftazidime, ceftriaxone maupun aztreonam dan sensitivitas meningkat secara significan bila jarak disk lebih didekatkan menjadi 20 mm.

Cefotaxime ESBL Etest dapat juga dipakai untuk skrening ESBL. Cefotaxime ESBL Etest strip ditempatkan pada inoculate agar, setelah inkubasi, ratio MIC cefotaxime dengan cefotaxime-clavulanat dibandingkan. Adanya penambahan bayangan zona hambat di bawah cefotaxime sehingga tidak terjadi bentukan elips menandakan adanya enzim ESBL.

Skrening ESBL dapat juga dengan menggunakan automated method dengan mesin

(35)

pemeriksaan untuk konfirmasi test ESBL hanya DDST yang direkomendasikan oleh CLSI untuk konfirmasi ESBL secara fenotipik.

LAPORAN KASUS

Identitas :

Nama : Tn X

Umur : 77 tahun Masuk dari UGD

Keluhan Utama : Penurunan Kesadaran

Dirawat di RSUD XX selama 5 hari, selama di RSUD XX pasien dipasang selang infuse, selang untuk makanan dan selang untuk kencing. Pasien sudah sakit sejak 2 tahun yang lalu, berjalan harus dipegangi, makan dan minum masih bisa sendiri, kencing dan berak masih bisa sendiri. 1 tahun sebelum masuk RSUD XX aktivitas hanya di tempat tidur, makan dan minum disuapi tetapi pasien masih dapat berkomunikasi, tidak pelo . Riwayat kencing manis dan jantung disangkal

(36)

Berdasarkan data diatas dapat dilakukan analisis:

Dari data mengenai RPS dan RPD dapat dianalisis berbagai faktor risiko yang dijumpai pada psien ini :

1. Merupakan pasien usia tua Analisis :

Insiden terjadinya sepsis akan semakin meningkat seiring dengan peningkatan usia dan case fatality rate akan semakin meningkat seiring dengan peningkatan usia.

Selengkapnya gambaran tentang peningkatan insiden sepsis dan peningkatan case fatality rate akan dijelaskan oleh Perawatan

di rumah Perawatan

di RSUD XX

Perawatan di RS XXX

(37)

Gambar 8. Hubungan usia dengan insiden sepsis dancase fatality rate (28)

Dikutip dari Martin GS, Mannino DM, Moss M. The effect of age on the development and outcome of adult sepsis. Crit Care Med. 2006;34.

2. Pasien terjadi tirah baring yang lama

Tirah baring yang lama merupakan faktor risiko terjadinya pneumonia dan ulcus decubitus.

Analisis

Terbukti terjadi ulcus decubitus, dan pneumonia, dan memburuk setelah pemasangan ventilator.

(38)

Foto Awal

(39)

Foto lanjutan

Selanjutnya tetang pneumonia tidak akan dibahas dalam laporan kasus kali ini dan akan dibahas dalam laporan kasus yang lain.

3. Perawatan di rumah sakit yang lama, rujukan dari rumah sakit lain merupakan faktor risiko terjadinya health care associated infection (HAI).

Analisis :

HAI atau infeksi nosocomial adalah infeksi yang berasal dari lingkungan rumah sakit.

Ditinjau dari tempat asalanya, infeksi dapat berasal dari komunitas (community acquired infection)atau berasal dari lingkungan rumah sakit (hospital acquired infection) yang sebelumnya dikenal dengan istilah infeksi nosokomial. Dengan berkembangnya system pelayanan kesehatan khususnya perawatan pasien, sekarang perawatan tidak hanya dirumah sakit saja tetapi juga di fasilitas kesehatan lainya , bahkan perawatan di

(40)

dilakukan untuk tujuan perawatan atau penyembuhan pasien , bila dilakukan tidak sesuai dengan prosedur berpotensi untuk menularkan penyakit infeksi baik bagi pasien (yanglain), atau bahkan pada petugas kesehatan sendiri. Karena seringkali tidak bisa ditentukan asal infeksi maka istilah infeksi nosokomial (hospital acquired infection) diganti dengan istilah baru yaitu

``Health care associated infection (HAI)

``dengan pengertian yang lebih luas tidak hanya dirumah sakit tetapi juga difasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Juga tidak terbatas infeksi pada pasien saja tetapi juga infeksi pada petugas kesehatan yang didapat pada saat melakukan tindakan perawatan pasien. Khusus untuk infeksi yang terjadi atau didapat dirumah sakit selanjutnya disebut sebagai infeksi rumah sakit (hospital infection).

HAI sesuai dengan kriteria CDC didefinisikan sebagai infeksi yang terjadi lebih dari 48 jam

(41)

kurang dari 48 jam setelah masuk rumah sakit tetapi sudah menjalani perawatan di rumah sakit selama minimal 2 minggu, atau kurang dari 48 jam setelah masuk rumah sakit tetapi merupakan rujukan dari rumah sakit lain ataupun menjalani perawatan di rumah sakit lain.

Pasien ini merupakan rujukan dari rumah sakit lain, masuk ke Rumah Sakit XXX dengan sepsis kemungkinan HAIs sepsis

4. Perawatan rumah sakit sebelumnya memicu terjadinya MDR pathogen. Sebelum pasien ini dilakukan pemeriksaan kultur untuk memastikan penyebab infeksi, kita sudah dapat memprediksikan pathogen yang akan muncul merupakan golongan ESKAPE (VRE atau Vancomisin resisten Enterococcus, Methicillin resisten Staphylococcus aureus atau epidermidis,klebsiella pneumoniaESBL, Acinetobacter baumannii MDRO, Pseudomonas aeruginosa MDRO, E. coli

(42)

ESBL maupun Carbapenemase resisten Enterobacteriaceae)

Analisis

Pada pasien ini pathogen yang didapat dari pemeriksaan darah adalah Klebsiella pneumonia ESBL, urin Klebsiella pneumonia ESBL, candiduria, dari aspirate trachea Acinetobacter baumannii MDRO.

Dengan gambaran AST seperti dibawah ini : Asal material darah:

Kuman :Klebsiella pneumoniaESBL

Resisten : Amoksisilin, Ampisilin, Amoksisilin clavulanat, Piperacilin tazobactam, Cefotaxim, Ceftazidim, Ceftriaxon , Cefepime, gentamisin , tobramisin, ciprofloxacin, levofloxacin, kotrimoksazole

Sensitif :Amikasin, Ertapenem, Meropenem, Imipenem, Tigecyclin

Asal material urin :

Kuman :Klebsiella pneumoniaESBL Hitung kuman > 100.000

Resisten : Amoksisilin, Ampisilin, Amoksisilin

(43)

Cefotaxim, Ceftazidim, Ceftriaxon , Cefepime, gentamisin , tobramisin, ciprofloxacin, levofloxacin, kotrimoksazole

Sensitif :Amikasin, Ertapenem, Meropenem, Imipenem, Tigecyclin

Juga ditemukan : Candida Hitung kuman > 100.000

Asal material : aspirate trachea Kuman :Acinetobacter baumannii

Resisten : Amoksisilin, Ampisilin, Amoksisilin clavulanat, Piperacilin tazobactam, Cefotaxim, Ceftazidim, Ceftriaxon , Cefepime, gentamisin , tobramisin, ciprofloxacin, levofloxacin, kotrimoksazole, Ertapenem, Meropenem, Imipenem

Sensitif :Amikasin,Tigecyclin

Selanjutnya tentang ESBL akan dibahas dalam pokok bahasan khusus.

5. Rujukan rumah sakit juga memungkinkan terjadinya urosepsis dari pemakaian kateter urin serta terjadinya kateter related sepsis

(44)

Analisis ;

Pada pasien ini terjadi urosepsis karena hasil kultur darah maupun urin sama.

Data selanjutnya tentang perawatan selama pasien menjalani perawatan di ICU akan ditampilkan dalam tabel dibawah ini :

(45)
(46)
(47)

Ceftriaxon Ciprofloxacin

Meropenem Levofloxacin

Meropenem Levofloxacin Fluconazole

Amikasin Meropenem Fluconazole

Meropenem Amikasin

Ceftazidim

GDS : 148 GDS : 122 GDS : 120 GDS : 133 Procalcitonin : 18,24

Ur : 120 Cr: 1,89 Ur : 102 Cr: 1,44

Ur : 141 Cr: 1,7

Ur : 154 Cr: 1,40

Ur : 156 Cr: 1,3

Ur : 77 Cr: 1,1

(48)

Peralatan Invasif yang dipasang pada

pasien :

CVC ET

Kateter urin

(49)

Pembahasan Selanjutnya tentang urosepsis oleh Bakteri penghasil enzim ESBL

Pasien ini pada hari pertama perawatan diambil kultur darahnya, hari ke 2 perawatan kultur darah positif, dan hasil AST baru keluar 2 hari kemudian.

Bakteri penyebab sepsis adalah Klebsiella pneumonia spp pneumonia penghasil ESBL, dengan gambaran AST adalah :

Resisten : Amoksisilin, Ampisilin, Amoksisilin clavulanat, Piperacilin tazobactam, Cefotaxim, Ceftazidim, Ceftriaxon , Cefepime, gentamisin , tobramisin, ciprofloxacin, levofloxacin, kotrimoksazole

Sensitif : Amikasin, Ertapenem, Meropenem, Imipenem, Tigecyclin.

Tinjauan berbagai faktor risiko terjadinya sepsis oleh bakteri penghasil ESBL akan ditampilkan dalam tabel berikut ini :

(50)

Tabel 4 Faktor risiko ESBL

NO Faktor Risiko Statistik Dikutip dari daftar pustaka 1 Usia > 65 tahun 3,7(2,7-4,9) no

p<0,001 (29-30)

2 Perawatan di

rumah sakit

sebelumnya

2,9 (2,0-4,2)

p<0,001 (29-32) 3 Penggunaan

kateter urin 4,3(2,8-6,7)

p<0,001 (29, 32) 4 Pengunaan

antibiotic sebelumnya

1,5(1,1-2,1)

p=0,02 (29-30) 5 Penggunaan

sefalosporin generasi ketiga

3,7(1,8-7,8)

p<0,001 (29, 33- 37)

6 Prosedur invasif 5,6 (2,46- 12,77) p<0,001

(30)

7 Pemakaian

ventilator mekanik 2,46(1,26-

5,4) p=0,01 (30, 38) 8 Penggunaan

kateter urin 2,71 (1,26- 5,9)p=0,005

(30)

9 Neoplasma 2,59(1,21- 5,61) p=0,007

(30)

10 Perawatan di

bangsal intensif 6,16(1,68-

28,17) (39)

(51)

p<0,001 11 Peritonitis 9,6(3,27-

28,17) p<0,001

(39)

12 Penggunaan

kateter vena sentral

7,2(2,7- 1,99) p<0,001

(38)

Analisis :

Berbagai faktor risiko terjadinya infeksi oeh bakteri penghasil ESBL ditemukan pada pasien ini antara lain Usia > 65 tahun Perawatan di rumah sakit sebelumnya, penggunaan kateter urin, penggunaan antibiotik sebelumnya, penggunaan sefalosporin generasi ketiga , prosedur invasif , pemakaian ventilator mekanik , penggunaan kateter urin, perawatan di bangsal intensif , penggunaan kateter vena sentral

Yang menarik untuk dianalisis dari berbagai faktor risiko diatas hampir sebagian jurnal menyatakan bahwa penggunaan sefalosporin generasi ketiga seperti antibiotik cefixime, atau cefpodoxime, atau

(52)

ceftibuten, atau cefdinir, atau cefotaxime, atau ceftizoxime, atau ceftriaxone , atau moxalactam, atau cefmenoxime, atau cefoperazone, atau ceftazidime, atau cefperamide, sebagai faktor risiko utama terjadinya infeksi oleh bakteri penghasil ESBL.

Hal ini dikuatkan oleh data bahwa restriksi penggunaannya bisa menurunkan angka kejadian .

Sefalosporin generasi ketiga menyebabkan terjadinyaESBL melaluiinducing gen, sehingga bakteri yang sebelumnya tidak mengekspresikan sifat setelah pemberian sefalosporin generasi ke tiga mengekspresikan sifatnya. Bakteri yang telah mengekspresikan sifatnya menjadi susah untuk diterapi karena menunjukkan resisten dengan berbagai golongan antibiotik.

Pada pasien ini tidak ada data mengenai penggunaan sefalosporin generasi ketiga sebelumnya, tetapi data mengenai pernahnya pasien ini dirawat di rumah sakit lain, sangat besar kemungkinan untuk diberikannya sefalosporin

(53)

generasi ketiga. Data yang menarik disebutkan juga dibagian farmasi sebagian besar rumah sakit di Indonesia pemakaian sefalosporin generasi ketiga menunjukkan angka yang fantastik. Hal ini disebabkan karena sefalosporin generasi ketiga mempunyai toksisitas yang rendah, konsentrasina di SSP lebih baik, dan bersifat broad spectrum, sehingga dapat untuk terapi gram negatif maupun gram positif, dan poten untuk Pseudomonas aeruginosa.

Pasien dengan infeksi ESBL terapi yang efektif adalah penggunaan carbapenem seperti meropenem, imipenem, maupun doripenem.

Penggunaan carbapenem sudah diberikan pada pasien ini tetapi tidak didapat perbaikan secara klinis. Hasil analisis yang dapat dikemukakan karena antibiotik hanyalah sebuah alat yang dia dapat bekerja bila dia dibantu oleh yang lain. Pada pasien ini didapatkan keadaan hemodinamik yang tidak stabil, mikrosirkulasi yang tidak baik, albumin yang rendah, laktat yang tinggi, dan didapatkan keadaan asidosis, yang menyebabkan tidak ada

(54)

``angkutan`` yang membawa antibiotic itu pada target site of infection. Penanganan pada pasien ini dan banyak pasien yang lain yang pertama harus dilakukan adalah ``resusitasi`` karena sebagus apapun antibiotik kalau kondisi pasien tidak baik, tidak akan tercapai target yang optimal.

KASUS 2

DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER (DHF)

IDENTITAS PASIEN :

Nama : Ny X

Umur : 22 tahun

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Pasien masuk rumah sakit melalui UGD dengan keluhan Utama : panas

3,5 bulan panas naik turun. 1 minggu ini panas terus-menerus. Batuk kadang-kadang, tidak pilek, tidak mual, tidak muntah, nyeri ulu hati di sebelah kanan atas, dada berdebar-debar, tidak sesak, kaki tidak bengkak, BAB dan BAK tidak terdapat

(55)

kelainan. Sudah diperiksakan ke rumah sakit lain tetapi tidak ada perubahan

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

3,5 bulan yang lalu melahirkan secara spontan di rumah sakit, sejak hamil 4 bulan sudah diketahui mempunyai penyakit jantung. Setelah melahirkan mendapat transfuse darah merah 4 kantong.

Dirawat di rumah sakit selama 1 bulan. Setelah pulang aktivitas hanya tiduran.

Keadaan umum : sadar, tampak kurus, dispneu Tanda Vital : Tensi : 100/80 mmHg

Nadi : 120 kali/ menit RR : 32 kali/ menit Suhu: 39,20C

Terapi : O2Nasal 5 liter/ menit Paracetamol 500 mg Tindakan invasif yang dilakukan : Infus

(56)
(57)
(58)
(59)

6. PEMBAHASAN

 Pada kasus diatas pasien didiagnosis infective endocarditis (IE) dengan pathogenesis di bawah ini :

(60)

Gambar 1. Patogenesis IE

Protection from neutrophile Valvular

endometrium

Mucous membrane or other colonized tissue

Local ecological factor

IgA protease Bacteriocins

Metabolic changes Turbulence

Trauma

Bacterial adherence

Trauma

Non Bacterial Trombotic Endocarditis Plateled fibrin deposition

Fibrin deposition Bacterial division

Mature vegetation

Complement antibody

Colonization Adherence

Extracelluler protease Platelated agregation Bacteremia

(61)

 Karena adanya kerusakan otot jantung menyebabkan turbulensi di daerah tersebut sehingga menyebabkan deposit platelet dan fibrin, dan penempelan bakteri, yang kemudian mengalami perkembangan.

Alasan lain yang dapat dikemukaan adalah pada saat post partum terjadi kerusakan jaringan sehingga terjadi bakteremia, yang mengadakan kolonisasi pada jantung.

Kriteria IE:

 Kriteria Patologik :

o Ditemukan mikroorganisme melalui kultur

o Patologi : intra cardiac abses yang secara patologi menunjukkan adanya endokarditis

 Kriteria klinik :

o 2 mayor kriteria

 Mayor kriteria

 Kultur darah positif endokarditis

(62)

 ditemukannya mikroorganisme kas untuk endokarditis dari 2 kultur darah yang berbeda tempat yaitu Streptococcus viridans, Streptococcus bovis,

HACEK grup

(Haemophilus, Acinobacillus, Cardiobacterium, Eikenella, Kingella) Community acquired blood culture : Staphylococcus aureus, Enterococcus

Persisten positive blood culture for any microorganism

 Positif separated blood culture dengan jarak

(63)

pengambilan kurang dari 1 jam

 Ditemukan bukti endokarditis melalui :

o Echo cardiografi

o 1 mayor dan 3 minor

 Kriteria minor

 Ada faktor predisposisi : penyakit jantung

 Demam > 380C

 Fenomena vaskuler

 Fenomena immunologik

 Ecocardiogram (diluar kriteriamayor)

 Kultur darah positif ( diluar mikroorganisme yang ditemukan dalam krteria mayor)

o 5 minor

(64)

Pada kasus -kasus IE terjadi dengan kultur darah yang negatif. Hal ini disebabkan karena berbagai faktor antara lain :

1. Sub akut endokarditis

2. Kultur diambil pada fase kronik

3. Pertumbuhan yang lambat dari fastidius mikroorganisme ( Haemophilus, Actinobacillus, Cardiobacterium, Brucella) 4. Pemberian antibiotik sebelumnya

5. Jamur 6. Parasit

7. Non infektive endocarditis

 Pada perjalanannya terjadi infeksi oleh karena virus dengue , hal ini bisa memperburuk keadaan pasien, meskipun secara kriteria WHO untuk DHF tidak memenuhi karena penurunan trombosit hanya pada level 125.00, sedangkan WHO mensyaratkan sebagai < 100.000.

Hal ini mungkin disebabkan karena pengambilan darah 1 minggu setelah panas

(65)

tingi, mungkin kasus ini adalah DHF tapi dalam masa penyembuhan, terbukti dari peningkatan trombosit dari hari ke hari

 Tubex® yang positif bukan merupakan indikasi adanya infeksi Salmonella jika tidak didukung oleh klinis, karena tergantung endemisitas penyakit. Pada pasien ini meskipun didapat pemeriksaan tubex +5 tetapi klinis tidak mendukung, infeksi Salmonelladapat disingkirkan

 Hipo albumin yang terjadi pada pasien ini mungkin disebabkan karena infeksi berat

 Anemia yang terjadi mungkin disebabkan karena kegagalan pompa jantung membawa oksegen dan nutrisi ke jaringan

8. KESIMPULAN

1. Infektive Endocarditis (IE) pada kasus ini belum dapat disingkirkan, mungkin suatu proses kronis, atau pemberian antibiotik sebelumnya (karena pasien sudah demam

(66)

selama 3,5 bulan), atau bukan bacterial endokarditis mungkin jamur atau parasit, atau mungkin bacterial endokarditis yang disebabkan oleh kuman-kuman yang fastidious.

2. Non Infective Endocarditis mungkin terjadi karena pada penderita ini terjadi demam yang terus menerus(demam yang terjadi kemungkinan suatu inflamasi dan bukan suatu infeksi)

3. Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) terjadi dalam perjalanannya meskipun penurunan trombosit tidak memenuhi criteria WHO. Hal ini disebabkan karena pengambilan darah 1 minggu setelah demam.

4. Bukan merupakan infeksi Salmonella karena tidak didukung klinis

(67)

KASUS 3

BRONKOPNEUMONIA, PJB ASIANOTIK, DAN

GIZI KURANG IDENTITAS PASIEN :

NAMA PASIEN : An. X

UMUR : 9 bulan

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG :

anak masuk ke IGD dengan keluhan utama : sesak nafas

RPS :

5 hari anak batuk dan pilek , tetapi tidak panas, tidak muntah, tidak mencret, dibawa ke puskesmas diberi obat tapi belum ada perbaikan.

3 hari anak panas, tidak kejang, tidak ada manifestasi perdarahan, masih batuk dan pilek, tidak muntah, tidak mencret, tidak keluar cairan di telinga

1 hari masih panas, masih batuk dan pilek, anak nampak sesak, kemudian di bawa ke poli anak, oleh dokter poli dianjurkan ke IGD Rumah sakit

(68)

RPD : Sering biru-biru pada saat menetek, menangis, atau BAB (-), sering kelelahan saat menetek (-), menetek sering terputus-putus (-).

Lahir spontan, langsung menangis

Pemeriksaan Fisik

KU : sadar, kurang aktif, nafas spontan adekuat

HR :130 x/ menit

Nadi : Reguler isi dan tegangan cukup

t : 38°C

RR : 60 x/ menit Terapi :

O2 nasal Antibiotik (-)

Tindakan Invasif yang dilakukan : pasang infus

Pasang NGT

(69)

GRAFIK HEART RATE

GRAFIK SUHU

GRAFIK RR

(70)

HEMOGLOBIN

LEKOSIT

(71)

PEMBAHASAN

 Anak ini malnutrisi usia 9 bulan dengan berat 9 kg pada WHZ berada pada -2,3 SD, anak dengan bronkopneumonia memang sering bersamaan dengan malnutrisi, sehingga tanda- tanda infeksi menjadi tidak jelas, sebab tubuh tidak mampu membentuk suatu imun respon terhadap infeksi, seperti yang terlihat pada kasus ini dimana suhu dan lekosit tidk menunjukkan suatu keadaan infeksi.

(72)

 Anak dalam kasus ini didiagnosis dengan bronkopneumonia dengan etiologi spesifik, dan non spesifik kemudian dicari penyebab melalui bilasan lambung. Berdasarkan literature bilasan lambung hanya dilakukan pada pasien yang didiagnosis dengan bronkopneumonia dengan penyebabM. tuberculosis

( Skoring TBC pada pasien ini adalah : Riwayat kontak : (-) skor 0, Status gizi kurang skor 1, demam > 2 mg tanpa sebab yang jelas (-) skor 0, Batuk > 3 minggu denga pengobatan antibiotic yang adekuat (-)  skor 0, pembesaran nnll (-)  skor 0, pembesaran sendi / gibbus di tulang belakang (-)  skor 0, rontegn torax terdapat pembesaran daerah hillusskor 1, mantoux test tidak ada data)

(73)

Tahap pre analitik :

o Sampling diulang untuk mendapatkan sampel yang representative

o Pada tahap pertama sampling hanya didapatkan 1 cc bilasan lambung, dan pada pengecatan gram tidak dijumpai adanya lekosit maupun kuman

o Pada tahap ke dua sampling didapatkan 10 cc bilasan lambung hasil sentrifugasi didapatkan hasil

Hasil pengecatan gram : Diplococcus gram positif (dominan)

Kuman Bentuk batang gram negative

Lekosit 8-10/LP Epitel 2-4 /LP

Hasil pengecatan Ziehl Neelsen : BTA (-) negatif

Diplococcus

Kuman Bentuk batang Lekosit 8-10/LP Epitel 2-4 /LP

(74)

Tahap analitik

Indol : (-)

Bilasan lambung

Centrifuge, 3000 rpm selama 15

Gram Ziehl

Hasil pengecatan gram : Diplococcus gram positif (dominan)

Kuman Bentuk batang gram negative Lekosit 8-10/LP Epitel 2-4 /LP

Hasil pengecatan Ziehl Neelsen :

BTA (-) negatif Diplococcus

Kuman Bentuk batang Lekosit 8-10/LP Epitel 2-4 /LP

Kultur di Mc Conkey dan Blood Agar

Dekontaminasi NaOH selama 15 pH diukur sekitar 7 dengan penambahan asam

Stabilkan dengan buffer Centrifuge dengan 3000 rpm selama 15`

Kultur di MGIT dan

(75)

Pada tahap analitik ini kuman yang berhasil diidentifikasi dari bilasan lambung adalah E.coli, karena hanya dilakukan TSIA saja, padahal setelah dilakukan pemeriksaan indol hasilnya (-) negative

Tahap post analitik

1. Kultur darah diambil dengan kecurigaan adanya sepsis .

Kultur di Blood

Koloni Koloni 2

Hasil pengecatan gram koloni 1:

Batang gram negatif

Hasil pengecatan gram koloni 2:

Kokus gram positif

Kultur di Mc conkey:

Lactose fermented

TSIA : Asam/asam, gas (+), H2S (-)

Indol : (-)

E. coli

(76)

Hasil ditemukan kuman pada darah tidak ditemukan kuman.

2. Hasil bilasan lambung tidak dapat dijadikan patokan terapi, karena kuman yang ditemukan bukan kuman yang sering menyebabkan bronkopneumonia.

(77)

DAFTAR PUSTAKA

1. Daniels R. ABC of Sepsis. 1 ed. UK: Blackwell Publishing; 2010.

2. Mandell GL, Bennett JE, Dolin R, editors.

Principles and Practice of Infectious Disease. 9 ed. USA: Churchill Livingstone; 2000.

3. Livermore DM. Defining an extended-spectrum b-lactamase. Clin Microbiol Infect.

2008;14(1):3-10.

4. Winarto. Prevalensi Kuman ESBL (Extended Spectrum Beta Lactamase) dari Material Darah di RSUP Dr. Rumah Sakit Tahun 2004-2005.

MEDIA MEDIKA INDONESIANA.

2009;45(5):260-7.

5. Pitout JDD. Infections with Extended-Spectrum b-Lactamase-Producing Enterobacteriaceae.

Changing Epidemiology and Drug Treatment Choices. Drugs. 2010;70(3):313-33.

6. MENASHE G, BORER A, YAGUPSKY P, PELED N, GILAD J, FRASER D, et al. Clinical Significance and Impact on Mortality of Extended-spectrum Beta Lactamase-producing Enterobacteriaceae Isolates in Nosocomial Bacteremia. Scand J Infect Dis. 2001;33:188- 7. Schwaber MJ, Carmeli Y. Mortality and delay in93.

effective therapy associated with extended- spectrum b-lactamase production in Enterobacteriaceae bacteraemia: a systematic

(78)

review and meta-analysis. Journal of Antimicrobial Chemotherapy. 2007;60:913-20.

8. lautenbach E, Patel jB, Bilker WB, Edelstein PH, Fishman NO. Extended-Spectrum beta Lactamase-Producing Escherichia coli and Klebsiella pneumoniae:Risk factor for Infection and Impact of Resistance on Outcomes. CID.

2001;32:1162-71.

9. Guilfoile pG. Antibiotic-Resistant Bacteria.

Alcamo IE, editor. New York: Infobase publishing; 2007.

10. Giedraitienė A, Vitkauskienė A, Naginienė R, Pavilonis A. Antibiotic Resistance Mechanisms of Clinically Important Bacteria. Medicina (Kaunas). 2011;47(3):137-46.

11. Chroma M, Kolar M. GENETIC METHODS

FOR DETECTION OF ANTIBIOTIC

RESISTANCE: FOCUS ON EXTENDED- SPECTRUM β-LACTAMASES. Biomed Pap Med Fac Univ Palacky Olomouc Czech Repub.

2010 Dec 2010;154(4):289-96.

12. Walsh C. Antibiotics: action, origin,resistance.

Washington DC: ASM Press; 2003.

13. Segal H, Paulsen J, Elisha B. Identification of Novel Mutations in oprD from Imipenem- resistant clinical isolates of Pseudomonas aeruginosa. South Afr J Epidemiol Infect.

2003;18:85-8.

14. Rubtsova MY, Ulyashova MM, Bachmann TT, Schmid RD, Egorov1 AM. Multiparametric Determination of Genes and Their Point

(79)

Mutations for Identification of Beta-Lactamases.

Biochemistry (Moscow). 2010;75(13):1628-49.

15. Paterson DL, Bonomo RA. Extended-Spectrum beta-Lactamases: a Clinical Update. CLINICAL MICROBIOLOGY REVIEWS. 2005;18(4):657- 16. Samaha-Kfoury86. JN, Araj GF. Recent developments in beta lactamases and extended spectrum beta lactamases. BMJ.

2003;327:1209-13.

17. Lestari ES, Severin JA. Antimicrobial Resistance in Indonesia [Disertasi]. Rotterdam:

Erasmus University; 2009.

18. WHO Global Strategy for Containment of Antimicrobial Resistance, (2001).

19. WHO. Emerging and other communicable diseases: antimicrobial resistance. Geneva:

WHO; 2004 [updated 30 Nov 2011]; Available from: http://policy.who.int/cgi- bin/om_isapi.dll?infobase=wha&softpage=Docu ment42.

20. CDC. Health care Associated Infections

(HAIs)2011: Available from:

http://www.cdc.gov/hai/.

21. Boucher HW, Talbot GH, Bradley JS, Edwards JE, Gilbert D, Rice LB, et al. Bad Bugs, No Drugs: No ESKAPE! An Update from the Infectious Diseases Society of America. Clinical Infectious Diseases. 2009;48:1–12.

22. Depkes. Pedoman pengendalian infeksi nosokomial di rumah sakit. In: Depkes, editor.

Jakarta: Departemen kesehatan; 2001.

(80)

23. Depkes. Pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya:

kesiapan menghadapi emerging infectious disease. In: depkes, editor. jakarta: depkes;

2009.

24. CLSI. Performance Standards for Antimicrobial Susceptibility Testing; Twenty-First Informational Supplement2011.

25. Jain A, Mondal R. Detection of extended spectrum b-lactamase production in clinical isolates of Klebsiella spp. Indian J Med Res.

2008 April 2008;127:344-6.

26. Drieux L, Brossier F, Sougakoff W, Jarlier V.

Phenotypic detection of extended-spectrum b- lactamase production in Enterobacteriaceae:

review and bench guide. CMI. 2008;14(90- 1031).

27. Tzelepi E, Giakkoupi P, Sofianou D, Loukova V, Kemeroglou A, Tsakris A. Detection of extended-spectrum beta lactamases in clinical isolate Enterobacter cloacae and Enterobacter aerogenes. J Clin Microbiol. 2000;38:542-46.

28. Martin GS, Mannino DM, Moss M. The effect of age on the development and outcome of adult sepsis. Crit Care Med. 2006;34(1).

29. Ben-Ami R, Rodrı´guez-Ban˜o Js, Arslan H, Pitout JDD, Quentin C, Calbo ES, et al. A Multinational Survey of Risk Factors for Infection with Extended-Spectrum b- Lactamase–Producing Enterobacteriaceae in

(81)

Nonhospitalized Patients. Clinical Infectious Diseases. 2009;49:682–90.

30. Tumbarello M, Sali M, Trecarichi EM, Leone F, Rossi M, Fiori B, et al. Bloodstream Infections Caused by Extended-Spectrum--Lactamase- Producing Escherichia coli: Risk Factors for Inadequate Initial Antimicrobial Therapy.

ANTIMICROBIAL AGENTS AND

CHEMOTHERAPY. 2008 Sept.

2008;52(9):3244–52.

31. Serefhanoglu K, Turan H, Timurkaynak FE, Arslan H. Bloodstream Infections Caused by ESBL-Producing E. coli and K. pneumoniae:

Risk Factors for Multidrug-Resistance. The Brazilian Journal of Infectious Diseases.

2009;13(6):403-7.

32. Lee DS, Lee CB, Lee S-J. Prevalence and Risk Factors for Extended Spectrum Beta- Lactamase-Producing Uropathogens in Patients with Urinary Tract Infection. Korean J Urol 2010;51:492-7.

33. Martı´nez JA, Aguilar J, Almela M, Marco F, Soriano A, Lo´pez F, et al. Prior use of carbapenems may be a significant risk factor for extended-spectrum b-lactamase-producing Escherichia coli or Klebsiella spp. in patients with bacteraemia 2006. Journal of Antimicrobial Chemotherapy 1 September 2006 58:1082–5 34. Graffunder EM, Preston KE, Evans AM,

Venezia RA. Risk factors associated with extended-spectrum b-lactamase-producing

(82)

organisms at a tertiary care hospital. Journal of Antimicrobial Chemotherapy 2005; 56:139–45.

35. SUPERTI SV, AUGUSTI G, ZAVASCKI AP.

RISK FACTORS FOR AND MORTALITY OF EXTENDED-SPECTRUM-b-LACTAMASE- PRODUCING Klebsiella pneumoniae AND

Escherichia coli NOSOCOMIAL

BLOODSTREAM INFECTIONS. Rev Inst Med trop S Paulo. 2009;51(4):211-6.

36. Rodrıguez-Bano J, Navarro MD, Romero L, Muniain MA, Cueto Md, Galvez J, et al. Risk- factors for emerging bloodstream infections caused by extended-spectrum b-lactamase- producing Escherichia coli. CMI. 2007;14(174- 189).

37. Pena C, Gudiol C, Tubau F, Saballs M, Pujol M, Dominguez MA, et al. Risk-factors for acquisition of extended-spectrum b-lactamase- producing Escherichia coli among hospitalised patients. Clin Microbiol Infect. 2006;12:279-84.

38. Bellíssimo-Rodrigues F, Gomes ACF, Passos ADC, Achcar JA, Perdoná GdSC, Martinez R.

Clinical outcome and risk factors related to extended-spectrum beta-lactamase-producing Klebsiella spp. infection among hospitalized patients. Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de Janeiro. 2006;101(4):415-21.

39. Kang C-I, Kim S-H, Park WB, Lee K-D, Kim H- B, Kim E-C, et al. Bloodstream Infections Due to Extended-Spectrum -Lactamase-Producing Escherichia coli and Klebsiella pneumoniae:

Risk Factors for Mortality and Treatment

(83)

Outcome, with Special Emphasis on Antimicrobial Therapy. ANTIMICROBIAL

AGENTS AND CHEMOTHERAPY.

ANTIMICROBIAL AGENTS AND

CHEMOTHERAPY, Dec. 2004, p. 4574–4581 Vol. 48, No. 12 Dec. 2004; 48(12):4574–81.

40. MURKI S, JONNALA S, MoHAMMED F, REDDY A. Restriction of Cephalosporins and Cpntrol of Extended Spectrum y^Lactamase Producing Gram Negative Bacteria in a Neonatal Intensive Care Unit '. INDIAN PEDIATRICS. 2010 17 sept 2010;47:785-8.

41. Wahjono H. PERAN MIKROBIOLOGI KLINIK PADA PENANGANAN PENYAKIT INFEKSI.

Semarang: Universitas Diponegoro2007.

42. Murray PR, baron EJ, Jorgensen JH, landry ML, Pfaller MA. Manual of Clinical Microbiology. 9th ed.Wasington DC : ASM Press; 2007

43. Mandell GL, Bennett JE, Dolin R. Principles and Practice of Infectious Disease. 5th ed. USA : Churchill Livingstone; 2000

44. WHO.Management of The Chld with Cough or Difficult Breathing. IUATLD.; 2005

45. Bailey, Scott`s. Diagnostic Microbiology. 9 th.

Mosby; 1994

Gambar

Gambar 1. Tinjauan SIRS secara selluler
Gambar 2. Hubungan antara SIRS dan Sepsis Berbagai bagian dari agent (bakteri , virus, jamur) dapat meng-induce terjadinya sepsis
Gambar 4. Patogenesis sepsis oleh Bakteri
Gambar 4. Mekanisme perpindahan resistensi bakteri
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait