• Tidak ada hasil yang ditemukan

7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pola Asuh Orangtua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pola Asuh Orangtua"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

Pola asuh otoritatif (berpusat pada orang tua) umumnya menggunakan pola komunikasi satu arah. Sisi positif dari pola asuh ini adalah anak menjadi patuh dan cenderung disiplin, yaitu mengikuti aturan yang ditetapkan orang tuanya. Pada umumnya pola asuh permisif ini menggunakan komunikasi satu arah karena meskipun orang tua mempunyai kekuasaan penuh dalam keluarga, terutama terhadap anak, namun anak tetap memutuskan sendiri apa yang diinginkannya untuk dirinya, apakah orang tua setuju atau tidak.

Strategi komunikasi pada pola asuh orang tua ini sama dengan strategi orang tua, yaitu win-lose solution. Sisi negatif dari pola asuh ini adalah anak kurang disiplin terhadap aturan sosial yang berlaku. Dari uraian di atas terlihat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua adalah hal-hal yang bersifat internal (berasal dari diri sendiri) dan eksternal (berasal dari luar).

Hal ini menentukan pola asuh anak untuk mencapai tujuan sesuai dengan norma yang berlaku. Pada masa remaja pertengahan, ciri-cirinya antara lain pencarian identitas diri, keinginan untuk berkencan, memiliki rasa cinta yang mendalam, mengembangkan kemampuan berpikir abstrak, dan berfantasi tentang aktivitas seksual.

Tabel 2.1 Pengaruh “Parenting Style” terhadap perilaku anak   Parenting
Tabel 2.1 Pengaruh “Parenting Style” terhadap perilaku anak Parenting

Jika orang tua tidak memahaminya, larang saja. Hal ini akan menimbulkan masalah dan remaja akan berperilaku tertutup terhadap orang tuanya. Hal ini terjadi karena remaja pada kelompok ini dapat terpenuhi kebutuhannya, seperti kebutuhan untuk dipahami, kebutuhan untuk diperhatikan, diperhatikan, dan diinginkan.

Perubahan masa remaja a. Perubahan fisik

Hal ini terjadi pada usia 12 atau 13 tahun, anak tidak lagi memperhatikan teman-temannya, mengucilkan diri dari kelompoknya dan lebih memilih duduk sendirian di kamar dengan pintu tertutup. Anak-anak yang dulunya selalu sibuk dan sepertinya tidak pernah lelah bekerja atau bermain, namun kini mereka selalu terlihat lelah. Padahal, bekerja saat ini bukanlah akibat dari kemalasan atau kemalasan atau perubahan taraf intelektual, melainkan hasil perkembangan fisik yang pesat.

Biasanya anak sering kali tidak menunaikan kewajibannya dan dikatakan malas, hal ini menimbulkan perasaan tidak puas pada diri anak dan perasaan enggan dalam menunaikan kewajibannya. Pada masa ini, anak akan kehilangan rasa percaya diri, ia selalu merasa tidak yakin apakah ia mampu melakukan sesuatu. Terkadang untuk menutupi rasa kurang percaya dirinya, anak melakukan hal-hal yang menurutnya tidak cukup baik hingga menjadi anak yang nakal... Anak perempuan pada tahap ini sangat pemalu, apalagi jika terkena tubuhnya, mereka akan sangat marah, jika seseorang di keluarganya memasuki ruangan saat mereka sedang berganti pakaian.

Gejolak emosi remaja yang berfluktuasi seperti diungkapkan di atas, menempatkan remaja pada posisi bertanya-tanya terhadap teman remaja lainnya. Mereka mempertanyakan penderitaan teman sebayanya dan hal ini membuat remaja terhubung secara emosional dengan sesama remajanya. Hubungan emosional yang terjalin terkadang malah menggeser hubungan emosional antara remaja dengan orang tua dan keluarganya.

Karena berbagai sebab, terdapat kondisi mental remaja yang secara dimensi dapat diekspresikan dari remaja sehat mental hingga remaja bermasalah. Remaja bermasalah akan ditandai dengan tingkat harga diri yang rendah, emosi yang sangat labil, sulit bersosialisasi, dan hanya terpaku pada gejolak emosi dan hasrat seksual.

Kebutuhan masa remaja

Teori Sikap

  • Pengertian sikap
  • Struktur sikap
  • Fungsi sikap
  • Kategori sikap
  • Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Sikap a. Faktor intern
  • Kriteria pemilihan skala sikap

Komponen kognitif merupakan representasi dari apa yang diyakini oleh individu yang memegang sikap tersebut. Komponen kognitif mengandung keyakinan stereotip yang dianut individu tentang sesuatu yang dapat disamarkan sebagai perlakuan (pendapat), terutama jika menyangkut isu atau permasalahan yang kontroversial. Aspek emosional ini biasanya berakar kuat sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling tahan terhadap pengaruh-pengaruh yang dapat mengubah sikap seseorang.Komponen afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu. Misalnya sikap kita harus tetap ramah terhadap atasan kita, meskipun kita tidak menyukainya, agar kita bisa terus bekerja di perusahaannya.

Sikap bekerja dengan mengarahkan orang lain untuk memastikan penilaian atau kesan positif terhadap diri kita. Menjawab pertanyaan, melaksanakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan merupakan indikator dan sikap. Misalnya seorang ibu yang mengajak ibu-ibu lain (tetangga, saudara, dll) untuk menimbang anak di posyand atau berdiskusi tentang gizi merupakan bukti bahwa ibu mempunyai sikap positif terhadap pola makan anak. 4) Bertanggung jawab.

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dipilih dengan segala resikonya adalah sikap tertinggi. Kita tidak dapat menangkap seluruh rangsangan eksternal melalui persepsi, sehingga kita harus memilih rangsangan mana yang perlu dipertimbangkan dan mana yang harus dihindari. Menurut Djaali (2008), skala Likert adalah skala yang dapat digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang terhadap suatu gejala atau fenomena pendidikan.

Skala Likert merupakan skala psikometri yang biasa digunakan dalam kuesioner, dan merupakan skala yang paling umum digunakan dalam penelitian survei. Skala likert juga merupakan alat pengukuran (mengumpulkan data dengan cara mengukur dan menimbang item-item pertanyaan yang mengandung pilihan-pilihan berlapis. Kemudian indikator-indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun item-item instrumen yang dapat berupa pertanyaan atau pernyataan.

Respon setiap item instrumental dengan menggunakan skala likert mempunyai gradasi dari sangat positif hingga sangat negatif.

Pernikahan Dini

Pengertian pernikahan usia dini

Masa remaja merupakan masa dimana individu sedang mengalami pertumbuhan khususnya kematangan fisik.

Faktor-faktor pernikahan usia dini

Bukan hal yang aneh jika kita menemukan pernikahan terjadi pada usia yang sangat muda, salah satunya karena remaja menginginkan status ekonomi yang lebih tinggi. Perkawinan ini mempunyai dua manfaat, yaitu tanggung jawab terhadap anak perempuan menjadi tanggung jawab suami atau keluarga suami dan adanya pekerjaan tambahan dalam keluarga yaitu pihak mempelai laki-laki dengan sukarela membantu keluarga isterinya. Seringkali ditemukan orang tua menikahkan anaknya pada usia yang masih sangat muda karena keinginan untuk meningkatkan derajat sosial keluarga, mempererat hubungan antar keluarga dan/atau menjaga garis keturunan keluarga.

Di beberapa daerah di Indonesia, terdapat persepsi bahwa anak perempuan yang sudah dewasa namun belum berkeluarga akan dipandang sebagai “aib” bagi keluarganya. Upaya orang tua untuk mengatasi hal tersebut antara lain dengan segera menikahkan anak perempuannya sehingga mendorong terjadinya pernikahan dini. Pandangan dan keyakinan yang salah di masyarakat juga dapat mendorong terjadinya pernikahan dini.

Contoh keyakinan yang salah dan diyakini masyarakat antara lain anggapan bahwa kedewasaan seseorang dinilai dari status perkawinannya, status janda lebih baik dari perawan tua, dan kejantanan seseorang dinilai dari jumlah. kali dia menikah. Pernikahan dini seringkali terjadi karena tokoh masyarakat tertentu menyalahgunakan kewenangan atau kekuasaan yang dimilikinya, yaitu dengan menggunakan posisinya untuk menikah lagi dan lebih memilih menikahi perempuan muda, bukan perempuan yang lebih tua. Masyarakat yang tingkat ekonominya kurang memuaskan seringkali memilih pernikahan sebagai solusi untuk mengatasi kesulitan ekonomi.

Jika suatu daerah memiliki tingkat kesehatan yang kurang memuaskan namun angka kematian yang tinggi, maka sering ditemukan pernikahan dini di daerah tersebut. Jika peraturan perundang-undangan masih membenarkan pernikahan dini, maka pernikahan dini akan tetap terjadi.

Masalah dan dampak yang terjadi

Semakin tua usia seseorang, semakin nyata kemungkinan terjadinya kematangan dalam bidang sosial ekonomi. Karena perkawinan anak seringkali mengakibatkan kehamilan dini, akses mereka terhadap pendidikan berkurang, yang pada akhirnya mengakibatkan berkurangnya potensi penghasilan dan meningkatnya ketergantungan pada pasangan. Resiko tertular penyakit menular seksual i) Kehilangan kesempatan untuk berkembang.. a) Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) sangat tinggi, diperlukan lebih banyak nutrisi untuk kehamilan dan kebutuhan tumbuh kembang ibu itu sendiri.

Pola Asuh dan Sikap Remaja Putri terhadap Pernikahan Dini

23 Tahun 2012 yaitu mereka yang belum berusia delapan belas tahun, maka siapa pun yang menikah di bawah batasan usia tersebut dapat dikatakan menikah dini. Faktor dalam keluarga itu sendiri meliputi status sosial ekonomi keluarga, tingkat pendidikan keluarga, kepercayaan dan/atau adat istiadat keluarga, serta kemampuan keluarga dalam mengatasi permasalahan remaja. Sebagai komponen sosial terkecil dalam lingkungan pergaulan anak, keluarga memegang peranan penting dalam perkembangan kepribadian anak.

Selain itu, nilai-nilai sosial, norma agama, dan prinsip hidup yang diinternalisasikan remaja melalui kontak sosial dan interaksi yang intensif dengan anggota keluarga akan lebih mudah terkonsolidasi dalam kesadaran remaja, yang nantinya akan menjadi sistem internal pengendalian perilakunya. Pola asuh juga berarti kegiatan orang tua dalam mendidik, mengasuh, mengasuh, dan memenuhi kebutuhan anaknya. Remaja yang dibesarkan dengan pola asuh yang baik dan tepat akan memiliki emosi yang terkendali sehingga mudah berkembang di lingkungannya.

Pendidikan seks informal dalam keluarga biasanya berlangsung dalam bentuk komunikasi hangat antara anak dengan anggota keluarga lainnya, namun sebagian orang tua cenderung menganggap tabu membicarakan kesehatan reproduksi dengan anaknya. Pendekatan yang baik antara remaja dan orang tua sangat diperlukan agar remaja dapat terbuka dengan orang tuanya mengenai apa yang dialaminya termasuk kesehatan reproduksi, dan orang tua dapat menularkan informasi tersebut kepada anaknya (Purwandari, 2002). Menurut penelitian yang mendeskripsikan sikap remaja putri terhadap pernikahan dini di MTs Sunan Kabupaten Jombang (2014), sebagian besar mempunyai sikap positif (menolak) pernikahan dini karena remaja putri tersebut sudah memilikinya.

Sementara itu, hampir separuh remaja putri di MT Sunan Gunung Jati mempunyai sikap negatif (mendukung) pernikahan dini karena kurangnya pengetahuan tentang bahaya pernikahan dini. Menurut Notoatmodjo (2010) semakin banyak informasi dapat mempengaruhi atau menambah pengetahuan seseorang dan dengan adanya pengetahuan maka akan tercipta kesadaran sehingga pada akhirnya seseorang berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Oleh karena itu, akses dan pemberian informasi baik melalui media elektronik/cetak, oleh tetangga/teman dekat maupun oleh petugas kesehatan dengan bahasa yang jelas dan mudah dipahami sangat diperlukan dalam upaya meningkatkan pengetahuan remaja putri tentang bahaya pernikahan dini.

Pencegahan yang dapat dilakukan adalah orang tua harus menyadari bahwa pernikahan dini bagi anak-anaknya penuh dengan resiko yang berbahaya baik secara sosial, psikologis dan kesehatan, sehingga orang tua harus menghindari pernikahan dini bagi remaja dan generasi muda harus diberitahu tentang hak-hak reproduksinya dan risiko pernikahan dini dan bagi remaja Bagi yang belum menikah, kehamilan remaja dapat dicegah dengan menghindari hubungan intim.

Kerangka Konsep

Referensi

Dokumen terkait