• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Kawasan Konservasi Cagar Alam Di Indonesia

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "A. Kawasan Konservasi Cagar Alam Di Indonesia"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kawasan Konservasi Cagar Alam Di Indonesia

Banyak kawasan konservasi di Indonesia ditetapkan pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Timur. Penetapan tersebut didasarkan atas beberapa undang-undang dan peraturan mengenai perlindungan satwa liar, terutama mamalia besar dan burung yang menarik dan spesies mamalia kecil. Kebanyakan kawasan konservasi ditetapkan sebagai monumen alam (natuurmonumenten) dan suaka margasatwa (wildreservaat). Pemberlakuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan menyebutkan bahwa hutan untuk tujuan konservasi dibagi menjadi Hutan Suaka Alam dan Hutan Wisata. Oleh karenanya, natuurmonumenten dan wildreservaat dikelompokkan ke dalam Hutan Suaka Alam dan ditetapkan kembali sebagai Cagar Alam dan Suaka Margasatwa. Pada tahun 1979 - 1983, di bawah projek pembangunan Taman Nasional FAO/UNDP, disusun Rencana Konservasi Nasional (RKN) untuk Indonesia.

Kawasan konservasi yang telah ada dan yang diusulkan digambarkan berdasarkan pulau-pulau besar (wilayah bio- geografis) yaitu, Sumatera, Kalimantan, Jawa-Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua. Selain RKN, beberapa usulan rencana pengelolaan taman nasional juga disusun dengan melakukan penilaian terhadap cagar alam dan/atau suaka margasatwa dan kawasan hutan sekitarnya yang berdekatan menjadi kawasan yang berukuran sewajarnya/cukup.

Penilaian tersebut, yang juga merupakan kampanye untuk menjadi tuan rumah Kongres Taman Nasional Dunia Ketiga pada tahun 1982, menghasilkan Deklarasi Lima Taman Nasional pada Maret 1980, yaitu Gunung Leuser (Aceh), Ujung Kulon (Banten), Gunung Gede-Pangrango (Jawa Barat), Baluran (Jawa Timur), dan Komodo (Nusa Tenggara Timur).1Pada Oktober 1982, Indonesia benar-benar menjadi tuan rumah Kongres Taman Nasional Dunia Ketiga di Denpasar, Bali.Pada kesempatan itu, Menteri Pertanian melalui Keputusan Menteri No.

736/Mentan/X/1982 tanggal 14 Oktober 1982 menyatakan 11 kawasan lainnya sebagai taman nasional, yaitu Kerinci Seblat, Way Kambas, dan Bukit Barisan Selatan (Sumatera); Bromo-Tengger-Semeru, dan Meru Betiri (Jawa); Bali Barat (Bali); Tanjung Puting dan Kutai (Kalimantan); Lore Lindu, Dumoga Bone/Bogani Nani Wartabone (Sulawesi); dan Manusela (Maluku).

Berdasarkan RKN, potensi beberapa kawasan konservasi yang diusulkan juga dinilai dan ditetapkan sebagai cagar alam, suaka margasatwa atau taman wisata alam termasuk kawasan perairan pesisir dan perairan dangkal untuk melestarikan terumbu karang dan habitat kehidupan laut. Pada tahun 1983, FAO dan WWF mendukung Indonesia

1Soehartono, Tonny dan Ani Mardiastuti. 2013. Suara Taman Nasional di Kalimantan, Sejarah Perkembangan Taman Nasional di Indonesia (The Voice of National Parks in Kalimantan, Indonesia. History of National Park Development in Indonesia). Yayasan Nata Samastha. Jakarta. hlm 11

(2)

dalam memproduksi peta jalan (roadmap) untuk konservasi laut di Indonesia1. Tujuan utama peta jalan ini adalah untuk membangun sekitar 10 juta hektar habitat-habitat laut yang unik dan penting, termasuk mangrove (bakau), terumbu karang, laguna, persebaran rumput laut dan daerah pesisir.

Sampai saat ini, Indonesia telah menetapkan 521 kawasan konservasi meliputi total wilayah 27.108.486 ha, termasuk2: 221 cagar alam (4,08 juta ha); 75 suaka alam (5,03 juta ha); 50 taman nasional (16,34 juta ha); 23 taman hutan raya (0,35 juta ha); 115 taman wisata alam (0,75 juta ha); dan 13 taman buru (0,22 juta ha). Saat ini, pokok perhatian pengelolaan kawasan konservasi adalah pada taman nasional dengan mengembangkan institusi khusus untuk mengelola kawasan, yang disebut Balai Taman Nasional, yaitu unit pelaksana teknis Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Sedangkan kawasan konservasi non-taman nasional masih belum dikelola dengan baik oleh Kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam yang berada di tingkat provinsi.2 Meski dikelola oleh institusi khusus, pengelolaan taman nasional dinilai masih belum sepenuhnya efektif, seperti yang ditunjukkan oleh penilaian Perangkat Pemantau Efektivitas Pengelolaan (METT). Pengelola menghadapi tantangan yang lebih besar lagi di kawasan konservasi non- taman nasional. Situasi ini menyebabkan degradasi ekosistem antara lain karena pembalakan liar, perambahan, perburuan liar, penggembalaan ternak ilegal dan perubahan penggunaan lahan lainnya.

Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) yang sedang berjalan merupakan terobosan dalam pengelolaan kawasan konservasi.3 Tidak hanya taman nasional yang dikelola sejak tahun 1982, mendapat manfaat dari proses ini, namun pembentukan KPHK non-taman nasional juga akan mengarah pada pengelolaan kawasan yang lebih baik, terutama untuk cagar alam dan suaka alam dimana pengelolaannya saat ini terbatas untuk menjaga dan mengawasi kawasan. Demikian juga pengelolaan taman wisata dan taman buru yang dikerjasamakan dengan pihak ketiga (pemegang ijin) dapat diawasi lebih baik oleh KPHK. Selanjutnya, KPHK juga dapat memberikan saran teknis untuk pengelolaan Taman Hutan Raya yang berada di bawah otorisasi pemerintah kabupaten atau provinsi berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

Di Indonesia, secara garis besar cagar alam terbagi dalam Cagar Alam Daratan, baik tanah maupun perairan darat (biasa disebut sebagai “cagar alam saja”), Cagar Alam Laut, dan Cagar Alam Biosfer. Di pulau Jawa hanya dijumpai Cagar Alam dan Cagar Alam Laut Sampai dengan tahun 2008, di Indonesia telah ditetapkan sedikitnya 237 lokasi cagar alam, baik daratan maupun perairan, dengan luas keseluruhan

2Lihat Arimbi HP, SH, LL.M. dan Mas Achmad Santosa, S.H., LL.M. Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan, diterbitkan oleh WALHI dan Friends of the Earth – Indonesia,, 1993, hal. 1

25 Ibid, hal. 2

3Statistik Direktorat Jenderal PHKA 2012. 2013. Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Jakarta. Hlm 77

(3)

mencapai 4.730.704,04 hektare. Cagar alam tersebut tersebar di berbagai wilayah di Indonesia antara lain :4

1. Wilayah Kepulauan Maluku

Maluku terletak pada posisi 2°30′−9° LS sampai. 124°−135° BT memiliki 18 lokasi cagar alam (13 kawasan berada dalam wilayah provinsi Maluku dan 5 lokasi berada di kawasan provinsi Maluku Utara) dari 237 kawasan Kepulauan Maluku yang ditetapkan sebagai cagar alam di seluruh Indoneaia.

- Cagar Alam PULAU ANGWARMASE; Maluku Tenggara, Maluku, 295,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 403/Kpts-II/1988, 1 Agustus 1988.

- Cagar Alam GUNUNG API KISAR; Maluku Tengah, Maluku, 80,00 ha, GB 24 Staatsblad 157, 3 Desem-ber 1937..

- Cagar Alam BEKAU HUHUN; Maluku Tenggara, Maluku, 128.886,48 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 415/Kpts-II/1999, 15 Juni 1999.

- Cagar Alam DAAB; Maluku Tengara, Maluku, 14.218,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 836/Kpts-II/ 1993, 23 Desember 1993.

- Cagar Alam PULAU LARAT; Maluku Tengara, Maluku, 4.505,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 169/Kpts-II/1995, 24 Maret 1995.

- Cagar Alam MASBAIT; Buru, Maluku, 6.250,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 249/Kpts-II/1985, 1 November 1985.

- Cagar Alam Pulau NUSTARAM; Maluku Tenggara, Maluku, 2.420,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 403/Kpts-II/1988, 1 Agustus 1988.

- Cagar Alam PULAU NUSWOTAR; Maluku Tenggara, Maluku, 2.052,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 403/Kpts-II/1988, 1 Agustus 1988.

- Cagar Alam PULAU POMBO; Maluku Tengah, Maluku, 4,68 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 392/Kpts- VI/1996, 30 Juli 1996.

- Cagar Alam GUNUNG SAHUWAI; Seram Bagian Barat, Maluku, 18,62 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 805/Kpts-II/1993, 30 Oktober 1993.

4https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Daftar_cagar_alam_di_Indonesia&oldid=14212565 diakses pada tanggal 21 oktober 2018, pukul 08.00 WIT

(4)

- Cagar Alam TAFERMAAR; Maluku Tenggara Barat (Pulau Molu), Maluku, 3.039,30 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor:

415/Kpts-II/1999, 15 Juni 1999.

B. Penguasaan Kawasan Konservasi Cagar Alam Di Pulau Pombo

1. Sejarah Pulau Pombo

Pulau Pombo telah dikenal masyarakat, baik nasional maupun internasional.

Dimana kawasan ini dinamakan Pulau Pombo karena banyaknya jenis Burung Pombo yang menjadikan pulau ini sebagai tempat bersarang. Nama pombo itu sendiri berasal dari bahasa Portugis yang berarti putih. Hal ini terkait dengan luasnya pantai Pulau Pombo yang berpasir putih, sehingga tampak dari kejauhan seperti pulau yang berwarna putih. Awal mula Pulau Pombo dan perairan laut di sekitarnya ditunjuk sebagai kawasan konservasi berdasarkan SK. Menteri Pertanian No. 327/Kpts/7/1973 tanggal 14 Juli 1973 tentang Penunjukan Pulau Pombo dan Perairan Laut Di Sekitarnya Seluas 1.000 Ha Terletak di Daerah Propinsi Maluku sebagai Cagar Alam dan Taman Laut. Dikarenakan arus pemanfaatan masyarakat yang semakin meningkat, maka Pulau Pombo dan perairan laut di sekitarnya mengalami perubahan fungsi menjadi 2 (dua) kawasan konservasi, yaitu Cagar Alam (2 Ha) dan Taman Wisata Alam (Laut) Pulau Pombo (998 Ha) dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 392/Kpts-II/1996 tanggal 30 Juli 1996 tentang Penunjukan dan Perubahan Fungsi Cagar Alam Taman Laut Pulau Pombo Seluas 1.000 Ha yang Terletak di Propinsi Maluku Menjadi Cagar Alam Pulau Pombo dan Taman Wisata Alam Pulau Pombo.

Dasar penetapan Pulau Pombo sebagai kawasan cagar alam dikarenakan Pulau Pombo merupakan tempat singgah dan bersarang salah satu jenis burung

(5)

khas/endemik Maluku yaitu Burung Pombo (Ducula bicolor) dan Burung Gosong Maluku (Megapodius reinwardii). 5

Habitat Burung Gosong Maluku sebagai fauna endemik Maluku dapat dijumpai di 3 (tiga) tempat yaitu Pulau Kassa, Desa Kailolo (Pulau Haruku) dan Pulau Pombo. Dari ketiga lokasi tersebut Pulau Kassa dan Pulau Pombo telah ditunjuk sebagai kawasan konservasi yaitu Suaka Margasatwa Pulau Kassa dan Cagar Alam Pulau Pombo. Sedangkan di desa Kailolo, burung Gosong dimanfaatkan dengan menerapkan kearifan tradisional sistem SASI. Selanjutnya dengan adanya pemanfaatan masyarakat yang tidak terkendali menyebabkan kerusakan habitat Burung Gosong Maluku di Pulau Pombo, sehingga satwa ini tidak dapat ditemukan lagi di Pulau Pombo. Demikian halnya dengan keberadaan pantai Pulau Pombo yang menjadi salah satu tempat pendaratan Penyu Sisik untuk meletakkan telurnya. Pada musim bertelur masih dapat dijumpai penyu sisik yang mendarat di pantai Pulau Pombo untuk bertelur. Namun keberadaan telur-telur penyu ini tidak aman dan selalu diambil oleh masyarakat. Selain itu pada musim tertentu, di kawasan Pulau Pombo sering diketemukan burung migran seperti Pelikan dan Belibis. Kondisi saat ini sudah jarang menjumpai lagi beberapa jenis satwa langka pada kawasan Pulau Pombo. Selain disebabkan kegiatan pemanfaatan oleh masyarakat, juga disebabkan aktivitas yang berkaitan dengan kunjungan wisata ke kawasan ini yang memang memiliki daya tarik wisata alam khususnya untuk wisata bahari.6

Guna menunjang kegiatan wisata di kawasan Pulau Pombo, pengelola membangun sarana prasarana penunjang kegiatan wisata di Pulau Pombo antara lain

5Pola Pengelolaan Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, Taman Buru dan Hutan Lindung.

Direktoral Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, Departemen Kehutanan, Desember 1996, Hal. 3

6Lebih jauh lihat Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Perlindungan Lingkungan, Konservasi Sumber Daya

Alam Hayati dan Ekosistemnya, Gajahmada University Press, 1993, dan Salim, H.S., Dasar-dasar Kehutanan, Sinar Grafika, 1997

(6)

1 (satu) buah pondok kerja, 1 (satu) buah pondok jaga, pos jaga 2 (dua) buah, sarana MCK 1 (satu) buah, shelter 3 (tiga) buah dan menara pengamat. Selain itu dibangun pula 1 (satu) unit dermaga speed boat dan garasinya, 1 (satu) buah pondok kerja serta penyediaan 3 unit speed boat di Liang untuk menunjang pengelolaan kawasan Pulau Pombo. Namun demikian, sarana dan prasarana ini telah rusak pada waktu terjadinya konflik sosial di Maluku yang terjadi pada Tahun 1999. Disamping pembangunan sarana dan prasarana untuk pengembangan wisata, di kawasan Pulau Pombo dalam rangka pengelolaan keanekaragaman hayati juga pernah digunakan sebagai laboratorium penelitian biota laut berupa pengembangan budidaya Lola Merah dan Kima. Kegiatanini merupakan kerja sama dengan LON-LIPI dan Universitas Pattimura. Demikianhalnya kegiatan penanaman hutan pantai yang dilaksanakan dalam upaya mempertahankan keberadaan daratan Pulau Pombo yang terkena abrasi gelombang laut.

2. Letak, Luas dan Batas

Secara geografis Pulau Pombo ini terletak di antara Pulau Ambon dan Pulau Haruku dengan koordinat 128°22'09" BT dan 3°31'35" LS. Sedangkan secara administratif pemerintahan kawasan ini termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 392/Kpts-II/1996 tanggal 30 Juli 1996 Pulau Pombo ditunjuk sebagai cagar alam dengan luasan 4,68 Ha dan taman wisata alam laut dengan luasan 998 Ha. Posisi Pulau Pombo berada di perairan Selat Pulau Haruku yaitu antara Pulau Ambon dan Pulau Haruku. Batas-batas administratif Pulau Pombo adalah sebagai berikut :

Barat : dibatasi oleh Kecamatan Salahutu Timur : dibatasi oleh Kecamatan Haruku

(7)

Selatan : dibatasi oleh Kecamatan Salahutu (Desa Tulehu) Utara : dibatasi oleh Pulau Seram

C. Perlindungan Kawasan Cagar Alam Di Pulau Pombo

Perlindungan dan pengawasan kawasan CA dan TWAL Pulau Pombo belum maksimal, hal ini dapat dilihat dari masih adanya aktivitas masyarakat di dalam kawasan tersebut diantaranya pemanfaatan kawasan yang tidak sesuai peruntukannya. Adapun perlindungan kawsan CA dan TWAL ini diatur dalam bebrapa peraturan perundang- undangan antara lain :

1. Dasar Pengukuhan CA dan TWA Laut Pulau Pombo :

1. Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 327/Kpts/Um/7/1973 tanggal 14 Juli 1973, Pulau Pombo dan perairan di sekitarnya yang terletak di Propinsi Daerah Tingkat I Maluku Kabupaten Daerah Tingkat II Maluku Tengah ditunjuk sebagai cagar alam dan taman laut. Selanjutnya berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 392/Kpts-II/1996 tanggal 30 Juli 1996, maka kawasan Pulau Pombo mengalami perubahan fungsi dari cagar alam taman laut menjadi kawasan cagar alam dengan luas 2 Ha dan taman wisata alam laut seluas 998 Ha.

2. Sesuai dengan peruntukannya, kawasan konservasi Pulau Pombo merupakan kawasan penyangga kehidupan flora dan fauna darat maupun terumbu karang, biota laut langka lainnya sehingga perlu dipertahankan keberadaannya sebagai sumber plasma nutfah. Disamping dapat dimanfaatkan secara terkendali karena merupakan obyek daya tarik wisata alam (ODTWA) untuk kegiatan rekreasi alam yang dapat memberi manfaat bagi masyarakat sekitar.

3. Kawasan Pulau Pombo merupakan habitat dari jenis-jenis avifauna dan jenis burung endemik Maluku seperti Burung Pombo (Ducula bicolor) dan Burung

(8)

Maleo Maluku (Megapodius frecynet) serta perairan di sekitarnya merupakan habitat beberapa jenis biota laut langka yang dilindungi seperti Duyung (Dugong dugon), jenis-jenis Kima (Tridacna) dan Lola Merah (Trochus niloticus). Selain itu kawasan ini memiliki potensi sumberdaya alam berupa terumbu karang dengan berbagai jenis biota laut dan keindahan panorama bawah air yang merupakan obyek wisata alam yang potensial untuk dikembangkan, sehingga kawasan ini menjadi target konservasi yang perlu dilindungi dan dilestarikan;

4. Pengelolaan kawasan belum optimal disebabkan penunjukan Pulau Pombo dan perairan laut sekitarnya sebagai cagar alam dan taman wisata alam laut belum menunjuk dengan jelas batas antara kawasan cagar alam dan taman wisata alam laut. Berhubung dengan itu dipandang perlu untuk merubah fungsi cagar alam Pulau Pombo menjadi taman wisata alam dan menunjuk kembali kawasan Pulau Pombo dan perairan yang mengelilinginya menjadi taman wisata alam dengan batas-batas kawasan yang jelas, sehingga pengelolaannya lebih optimal dan terintegrasi.

2. Dasar Hukum Perlindungan Kawasan Cagar Alam Pulau Pombo Perlindungan Kawasan Cagar Alam Pulau Pombo diatur dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan antara lain:

1. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya;

2. Undang-undang Nomor 9 tahun 1990 tentang Kepariwisataan;

3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;

(9)

4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nation Convention On Biological Diversity (Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati);

5. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak;

6. Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;

7. Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan;

8. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;

9. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah;

10. Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam;

11. Peraturan Pemerintah No. 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Pariwisata;

12. Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;

13. Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam;

14. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2004 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa;

15. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2004 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa;

16. Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan;

17. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan;

(10)

18. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Pengunaan Hutan;

19. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.

20. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 167 / Kpts-II / 1994 tentang Sarana Prasarana Pengusahaan Pariwisata Alam di Kawasan Pelestarian Alam;

21. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 446 / Kpts-II / 1996 tentang Tata Cara Permohonan, Pemberian dan Pencabutan Izin Pengusahaan Pariwisata Alam;

22. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447 / Kpts-II / 1996 tentang Pembinaan dan Pengawasan Pengusahaan Pariwisata Alam;

23. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 448 / Kpts-II / 1996 tentang Pengalihan Kepemilikan Sarana dan Prasarana Kepariwisataan Kepada Negara.

3. Perlindungan dan Pengamanan Kawasan

Perlindungan dan pengamanan kawasan pada dasarnya adalah upaya untuk melindungi dan mengamankan kawasan dari gangguan manusia baik yang ada di sekitar kawasan maupun yang jauh dari kawasan namun mempunyai akses dan ketergantungan yang tinggi terhadap kawasan tersebut. Selain itu, kegiatan perlindungan juga dilakukan terhadap gangguan kawasan yang diakibatkan oleh alam seperti hama dan penyakit serta kebakaran.

Perlindungan dan pengamanan terdiri atas kegiatan yang dilaksanakan secara pre-emtif, preventif, represif dan yustisi merupakan kegiatan yang pelaksanaannya dilakukan secara terus menerus (kontinyu) dalam upaya menjaga kelestarian kawasan Cagar Alam dan Taman Wista Alam Laut Pulau Pombo. Perlindungan dan pengamanan dilaksanakan dengan kegiatan time Identifikasi daerah-daerah rawan gangguan.

(11)

Kegiatan ini merupakan dasar perolehan informasi sebagai tempat atau target keseharian pengamanan kawasan.

1. Perlindungan dan pengaman fisik kawasan, kegiatan ini dapat dilakukan dengan kegiatan yang telah menjadi TUPOKSI dari pengelola, antara lain :

a. Patroli Rutin

b. Operasi Gabungan fungsional c. Operasi Mendadak

d. Operasi khususa Operasi Justisi Operasi khusus e. Penjagaan

2. Sosialisasi Batas Kawasan

Sosialisasi Batas Kawasan dapat dilaksanakan secara partisipatif bersama dengan masyarakat sehingga masyarakat sebagai target kegiatan dapat lebih mengenal dengan jelas batas-batas kawasan yang telah ditetapkan, dan dapat turut menjaga keberadaan pal-pal batas kawasan tersebut.

3. Sosialisasi Perundang-undangan KSDAE

Sosialisasi ini bertujuan untuk mengenalkan kepada masyarakat di sekitar Cagar Alam dan TWAL Pulau Pombo mengenai status dan fungsi Cagar Alam dan TWAL Pulau Pombo, kawasan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya beserta peraturan perundang-undangan yang melindunginya.

4. Pengembangan kemitraan bersama masyarakat.

Upaya perlindungan dan pengamanan kawasan sebaiknya tidak dilakukan dengan secara represif, namun dapat dikembangkan suatu pendekatan yang dapat mengikutsertakan masyarakat di sekitar kawasan. Peran serta masyarakat dalam kegiatan perlindungan dan pengamanan kawasan menjadi hal penting selama kondisi kehidupan masyarakat masih tergantung pada keberadaan

(12)

kawasan. Kegiatan ini dilaksanakan dengan jalan pembentukan Pengamanan Hutan (Pamhut) Swakarsa, serta optimalisasi peran Sentra Penyuluh Kehutanan Pedesaan (SPKP) yang telah dibentuk di Negeri Waai.

5. Pembuatan dan pemasangan papan pengumuman dan tanda larangan

Pemasangan papan pengumuman maupun informasi dapat berguna baik masyarakat sekitar maupun para pengunjung, papan ini mulai dari papan pengenalan lokasi kawasan sampai pada papan larangan aktifitas yang dipebolehkan maupun tidak Papan ini disesuaikan dengan kebutuhan lokasi sekitar tempat pemasangan.

6. Penegakan Hukum

Proses penegakan hukum dilaksanakan secara konsisten pada saat terjadi pelanggaran kejahatan KSDAHE serta gangguan terhadap fungsi kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Laut Pulau Pombo, antara lain : Penyerobotan kawasan Cagar Alam, pengeboman ikan, pencurian telur penyu, penggunaan pothasium dan lain-lain.

4. Permasalahan dan Isu-isu Strategis

Permasalahan dan isu strategis yang dihadapi dalam pengelolaan dan pengawasan CA dan TWAL Pulau Pombo dapat dilihat dari permasalahan umum dalam pengelolaan suatu kawasan konservasi terdiri dari :

1) permasalahan dari luar yang disebut ancaman, dan 2) permasalahan dari dalam disebut kelemahan.

Sedangkan untuk faktor pendukung dalam pengelolaan CA dan TWAL Pulau Pombo dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu :

1) Faktor pendukung dari luar yang disebut peluang, dan 2) Faktor pendukung dari dalam yang disebut kekuatan.

(13)

1. Weakness/Kelemahan

Kelemahan yang ada dalam pengelolaan CA dan TWAL Pulau Pombo merupakan kelemahan-kelemahan dari dalam dikarenakan pengelolaan yang belum optimal. Belum tersedianya rencana pengelolaan kawasan dan pendanaan dari pemerintah pusat (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) yang masih sangat terbatas, minimnya sarana prasarana pengelolaan, kurangnya tenaga pengelola baik kuantitas maupun kualitas serta belum terlibatnya pemerintah kabupaten dan propinsi dalam pengelolaan kawasan dan pembinaan daerah penyangga menyebabkan minimnya upaya-upaya yang mengarah kepada peningkatan kualitas pengelolaan kawasan. Demikian halnya dengan lembaga

pengelolaan yang masih sentralistis di Ambon dengan wilayah kerja yang luas (meliputi dua provinsi) dan terbatasnya transportasi ke kawasan menyebabkan pengelolaan kawasan tidak dapat dilaksanakan secara optimal.

Pengukuhan kawasan yang belum selesai/jelas, dimana saat ini kawasan CA dan TWAL Pulau Pombo masih memiliki status penunjukan menjadi suatu kelemahan tersendiri dalam pengelolaan lebih lanjut. Selain itu sistem data dan informasi CA dan TWAL Pulau Pombo yang belum optimal juga merupakan kelemahan yang perlu mendapatkan perhatian lebih. Pada akhirnya kelemahan- kelemahan tersebut apabila tidak secepatnya diselesaikan dapat menghambat proses pengelolaan CA dan TWAL Pulau Pombo.

2. Threat/Ancaman

Ancaman yang dimaksud dalam hal ini adalah ancaman-ancaman yang berasal dari faktor luar yang dapat menghambat proses pengelolaan kawasan.

Ancaman dapat berasal dari masyarakat sekitar kawasan atau dari masyarakat dunia secara secara umum. Perilaku masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang bersifat eksploitatif destruktif (merusak), tingkat ekonomi

(14)

masyarakat sekitar kawasan yang relatif masih rendah, ketergantungan masyarakat yang masih tinggi terhadap sumberdaya alam dalam kawasan, serta klaim beberapa desa di sekitar kawasan bahwa Pulau Pombo sebagai daerah pertuanan mereka merupakan ancaman yang dapat menghambat proses pengelolaan yang berasal dari masyarakat sekitar kawasan.

Aksesibilitas kawasan yang sangat terbuka merupakan ancaman serius, terutama dalam segi perlindungan dan pengamanan kawasan. Banyaknya pintu masuk ke kawasan akan meningkatkan kunjungan masyarakat ke dalam kawasan secara ilegal dengan berbagai kepentingan, yang secara tidak langsung dapat mengancam kelestarian sumber daya alam hayati di dalam kawasan.

Ancaman yang berasal dari masyarakat dunia internasional yang dapat mempengaruhi pengelolaan kawasan CA dan TWAL Pulau Pombo secara tidak langsung adalah adanya krisis ekonomi global yang saat ini melanda dunia internasional. Dengan adanya krisis ekonomi global ini secara tidak langsung dapat menurunkan minat wisatawan baik domestik maupun asing untuk melakukan perjalanan wisata dikarenakan terjadinya inflasi harga pada barang dan jasa di semua bidang. Kondisi tersebut menyebabkan mereka cenderung lebih mengutamakan kebutuhan hidup pokok dibandingkan melakukan perjalanan wisata.

3. Strenght/Kekuatan

Kekuatan merupakan faktor pendukung dari dalam dalam rangka pengelolan kawasan CA dan TWAL Pulau Pombo. Adanya dukungan kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam pengembangan kawasan Pulau Pombo, letak CA dan TWAL Pulau Pombo yang strategis dan potensi wisata CA dan TWAL Pulau Pombo yang beragam merupakan modal dasar dalam pengembangan wisata

(15)

alam di CA dan TWAL Pulau Pombo. Sementara itu, keunikan CA dan TWAL Pulau Pombo sebagai pulau dengan karang atol yang melingkar tidak sempurna mengurung pulau dengan lagun di tengah-tengahnya dengan potensi biota laut yang beragam di dalamnya merupakan daya tarik wisatab yang dapat memberikan kepuasan bagi wisatwan yang dating ke Pulau Pombo. Kekuatan-kekuatan tersebut di atas apabila dimanfaatkan dengan optimal dapat dihasilkan pengelolaan CA dan TWAL Pulau Pombo yang mantap.

4. Opportunity/Peluang

Peluang merupakan faktor pendukung pengelolaan kawasan yang berasal dari luar. Keberagaman potensi wisata dan budaya di sekitar kawasan CA dan TWAL Pulau Pombo merupakan suatu peluang dalam pengembangan ekowisata, hal ini terkait dengan penyusunan paket-paket wisata yang melibatkan potensi wisata disekitarnya. Ditambah dengan dukungan masyarakat setempat terhadap sektor pariwisata di Pulau Pombo merupakan suatu peluang yang baik dalam pengelolaan wisata. Dewasa ini keinginan masyarakat untuk berwisata semakin meningkat sejalan dengan semakin meningkatnya rutinitas pekerjaan masyarakat.

Saat ini masyaraka bahkan menganggap wisata/rekreasi sebagai suatu kebutuhan yang harus dipenuhi. Selanjutnya dengan semakin berkembangnya paradigma kembali ke alam (back to nature) merupakan suatu peluang yang harus ditindaklanjuti dengan pengelolaan kawasan CA dan TWAL Pulau Pombo yang optimal.

Pembangunan ekowisata di CA dan TWAL Pulau Pombo secara tidak langsung akan meningkatkan peluang investasi dalam bidang pariwisata baik bagi masyarakat setempat, pemerintah, swasta, LSM/NGO, lembaga pendidikan maupun para pihak yang lain. Dukungan dari berbagai pihak tersebut, khususnya

(16)

dari LSM/NGO dan lembaga pendidikan merupakan peluang pembangunan ekowisata dalam hal penelitian dan pengembangan. Selain itu, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi akan turut berperan langsung dalam pengelolaan kawasan CA dan TWAL Pulau Pombo.

D. Posisi Kawasan dalam Perspektif Tata Ruang dan Pembangunan Daerah

Perairan Pulau Pombo ditunjuk sebagai kawasan konservasi Taman Wisata Alam Laut Pulau Pombo dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 392/Kpts- II/1996 Tanggal 30 Juli 1996.Peruntukan TWAL Pulau Pombo sebagai sebuah kawasan konservasi dengan fungsi wisata alam sesuai dengan kriteria dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Maluku Tengah yaitu :

1. Kawasan yang memiliki keanekaragaman biota, ekosistem, serta gejala dan keunikan alam yang khas.

2. Mempunyai fungsi utama sebagai kawasan pengawetan keanekargaman jenis biota, ekosistem, serta gejala dan keunikan alam yang terdapat di dalamnya.

Pengelolaan kawasan dengan kriteria tersebut di atas, dilaksanakan dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

1. Melindungi keanekaragamnan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kualitas kehidupa.

2. Menetapkan daerah yang berbatasan dengan kawasan suaka alam sebagai daerah penyangga.Sehubungan dengan penunjukannya sebagai taman wisata alam, maka kawasan Pulau Pombo peruntukan utamanya adalah untuk kegiatan wisata alam.

Maka ketentuan pengembangannya adalah sebagai berikut :

a. Memanfaatkan potensi keindahan alam dan budaya di kawasan pariwisata guna mendorong pengembangan pariwisata.

(17)

b. Memperhatikan kelestarian nilai budaya, adat-istiadat, serta mutu dan keindahan lingkungan alam.7

7http://www.dephut.go.id/informasi/PHPA/ca_rekap.html diakses pada tanggal 24 oktober 2018 pukul 20.00 WIT

Referensi

Dokumen terkait

1) Kawasan Peruntukan Pariwisata dengan arahan pengembangan wisata alam dan rekreasi di Sungai Cisadane. Kawasan Sungai Cisadane meliputi kawasan sempadan sepanjang