• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Penyidikan Dalam Perkara Pidana

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "A. Penyidikan Dalam Perkara Pidana"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penyidikan Dalam Perkara Pidana

Dalam memproses seseorang yang diduga melakukan tindak pidana, proses hukum dimulai dari tahap penyelidikan, dalam proses penyelidikan orang yang berwenang melakukan hal tersebut adalah penyelidik, tugas dan wewenang dari penyelidik salah satunya adalah menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana sesuai dengan Pasal 5 KUHAP. Penyelidik dalam hal ini polisi sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 4 KUHAP, atas laporan atau pengaduan tersebut mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Selanjutnya setelah proses penyelidikan selesai, dapat dilakukan penyidikan. Penyidikan didasarkan pada Pasal 1 butir 2 KUHAP adalah

“Serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”

Dalam bahasa Belanda penyidikan sama dengan opsporing. Menurut De Pinto, menyidik (opsporing)berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat- pejabat yang ditunjuk oleh Undang-Undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi suatu pelanggaran.1

1 Andi Hamzah, Loc.cit

(2)

Penyidikan merupakan kegiatan pemeriksaan pendahuluan atau awal (vooronderzoek) yang seyogyanya dititik beratkan pada upaya pencarian atau pengumpulan bukti faktual penangkapan dan penggeledahan, bahkan jika perlu dapat di ikuti dengan tindakan penahanan terhadap tersangka dan penyitaan terhadap barang atau bahan yang diduga erat kaitannya dengan tindak pidana yang terjadi.2 Penyidikan adalah suatu tindak lanjut dari kegiatan penyelidikan dengan adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa setelah pengumpulan bukti permulaan yang cukup guna membuat terang suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana.

Di dalam Pasal 4 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana atau Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012, dasar dilakukan penyidikan adalah :

a) Laporan polisi/pengaduan;

b) Surat perintah tugas;

c) Laporan hasil penyelidikan(LHP);

d) Surat perintah penyidikan;

e) Surat pemberhentian dimulainya penyidikan(SPDP).

Sedangkan menurut Pasal 1 angka 21 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 menyatakan bahwa :

“Bukti permulaan adalah alat bukti berupa laporan Polisi dan 1 (satu) alat bukti yang sah, yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana sebagai dasar untuk dapat dilakukan penangkapan.”

2 Ali Wisnubroto, Praktek Peradilan Pidana (Proses Persidangan Perkara Pidana), PT. Galaxy Puspa Mega, Jakarta, 2002, hlm. 15.

(3)

Penyidik melakukan penyidikan melalui administrasi penyidikan seperti yang diatur di dalam Pasal 10 ayat (1) Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan yaitu :

“Administrasi penyidikan merupakan penatausahaan dan segala kelengkapan yang disyaratkan undang-undang dalam proses penyidikan meliputi pencatatan, pelaporan, pendataan, dan pengarsipan atau dokumentasi untuk menjamin ketertiban, kelancaran, dan keseragaman administrasi baik untuk kepentingan peradilan, operasional maupun pengawasan penyidikan.”

Administrasi penyidikan tersebut terdiri atas berkas-berkas perkara di dalam penyidikan, yang terdiri atas sampul berkas perkara (Pasal 10 Ayat (1) huruf a) dan isi berkas perkara (Pasal 10 Ayat (1) huruf b). Di dalam angka 50 berkaitan tentang isi berkas perkara tersebut terkait surat permintaan bantuan pemeriksaan laboratorium forensik (labfor), dan angka 51 berkaitan tentang surat hasil pemeriksaan labfor. Dimana yang keduanya tersebut sebagai dasar peranan labfor di dalam proses penyidikan.

Berdasarkan Pasal 1 butir 2 Jo Pasal 6 ayat (1) KUHAP, ada dua badan yang dibebani wewenang penyidikan, yaitu :

a. Pejabat polisi Negara Republik Indonesia

b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberikan wewenang khusus oleh undang-undang

Di dalam KUHAP, polisi ditempatkan sebagai penyidik utama dan tunggal diatur di dalam Pasal 6 ayat (2) Jo Pasal 284 ayat (2) KUHAP.

Ketentuan tersebut sangat berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam HIR, bahwa disamping polisi sebagai penyidik juga jaksa ditentukan sebagai penyidik lanjutan. Tetapi bila melihat pada peraturan peralihan KUHAP yaitu Pasal 284 ayat (2) KUHAP, maka tugas jaksa sebagai penuntut umum dan

(4)

sebagai penyidik masih tetap dan sama sekali tidak dikurangi yaitu jaksa yang diatur di dalam undang-undang tertentu yang mempunyai acara pidana sendiri seperti Undang-undang Tindak Pidana Korupsi.3

Tugas penyidikan yang dilakukan oleh penyidik POLRI (Polisi Republik Indonesia) adalah merupakan penyidik tunggal bagi tindak pidana umum, tugasnya sebagai penyidik sangat sulit dan membutuhkan tanggung jawab yang sangat besar, karena penyidikan merupakan tahap awal dari rangkaian proses penyelesaian perkara pidana yang artinya akan berpengaruh bagi tahap proses peradilan selanjutnya.4

Untuk memulai penyidikan tindak pidana, maka dikeluarkan Surat Perintah Penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu melakukan tindakan- tindakan hukum terhadap orang, maupun benda ataupun barang yang ada hubungannya dengan tindak pidana yang terjadi. Tindakan-tindakan dalam suatu penyidikan antara lain:5

1. Penangkapan

Untuk memperlancar proses pelaksanaan penyidikan tindak pidana, maka perlu dilakukan penangkapan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Dasar dikeluarkannya Surat Perintah Penangkapan tersebut adalah:

1) Pasal 5 ayat (1) b angka 1, Pasal 7 ayat (1) huruf d, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 37 KUHAP.

3 Oemar Seno Adji, Mass Media & Hukum, Erlangga, Jakarta, 1977, hlm. 14.

4 Yasmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana, Widya Padjadjaran, Bandung, 2009, hlm. 79.

5 Anonimous, KUHAP Dan KUHP, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 243.

(5)

2) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia.

Setelah penangkapan dilakukan, segera dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui perlu diadakannya suatu penahanan terhadap tersangka atau tidak, mengingat jangka waktu penangkapan yang diberikan oleh undang- undang hanya 1 x 24 jam, selain itu juga setelah penangkapan dilakukan, diberikan salinan surat perintah penangkapan terhadap tersangka dan keluarganya, sesudah itu dibuat berita acara penangkapan yang berisi pelaksanaan penangkapan yang ditandatangani oleh tersangka dan penyidik yang melakukan penangkapan.

2. Penahanan

Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah berwenang untuk melakukan penahanan atas bukti permulaan yang cukup bahwa tersangka diduga keras melakukan tindak pidana yang dapat dikenakan penahanan. Penahanan dilakukan dengan pertimbangan bahwa tersangka dikhawatirkan akan melarikan diri, merusak dan menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana yang telah dilakukannya.

Dasar dikeluarkannya surat perintah penahanan tersebut adalah:

1) Pasal 17 ayat (1) huruf d, Pasal 11, Pasal 20, Pasal21, Pasal 22, Pasal 24 ayat (1) KUHAP.

2) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia.

3. Pemeriksaan

(6)

Pemeriksaan dilakukan untuk mendapatkan keterangan atau kejelasan tersangka dan atau saksi dan atau barang bukti maupun tentang unsur-unsur tindak pidana yang telah terjadi, sehingga kedudukan dan peranan seseorang maupun Pemeriksaan (BAP).

4. Penggeledahan

Pertimbangan penggeledahan dan pembuatan surat perintah penggeledahan adalah laporan polisi, hasil pemeriksaan tersangka dan atau saksi-saksi dan laporan hasil penyelidikan yang dibuat oleh petugas atas perintah penyidik atau penyidik pembantu. Yang berwenang. mengeluarkan surat perintah penggeledahan adalah kepala kesatuan atau pejabat yang ditunjuk selaku penyidik atau penyidik pembantu. Sasaran penggeledahan adalah rumah dan tempat-tempat tertutup, pakaian serta badan.

Penggeledahan rumah dilakukan dengan surat perintah penggeledahan setelah mendapat surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat kecuali dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak tidak memerlukan izin terlebih dahulu dari Ketua Pengadilan Negeri. Dalam hal tertangkap tangan penggeledahan dilakukan tanpa surat perintah penggeledahan maupun surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat. Adapun dasar penggeledahan sebagai berikut:

1) Pasal 1 butir 17, Pasal 5 ayat (1) angka 1, Pasal 7 ayat (1) huruf d, Pasal 11, Pasal 33, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 KUHAP.

2) Permintaan dari penyidik

3) Surat izin penggeledahan dari Ketua Pengadilan Negeri.

5. Penyitaan

(7)

Perkembangan penyitaan dan pembuatan surat perintah penyitaan adalah laporan polisi, hasil pemeriksaan, laporan hasil penyelidikan yang dibuat oleh petugas atas perintah penyidik atau penyidik pembantu dan hasil penggeledahan. Yang mempunyai wewenang mengeluarkan surat perintah penyitaan adalah Kepala Kesatuan atau pejabat yang ditunjuk selaku penyidik atau penyidik pembantu. Penyitaan dilakukan dengan surat perintah penyitaan setelah mendapat izin dan izin khusus dari Ketua Pengadilan Negeri setempat. Benda-benda yang dapat disita antara lain:

1) Benda atau tagihan tersangka bila seluruh atau sebagian diduga di peroleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana.

2) Benda yang digunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya.

3) Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan suatu tindak pidana.

Adapun dasar penyitaan adalah sebagai berikut:

1) Pasal 5 ayat (1) huruf I angka 1, Pasal 7 ayat (10) huruf d, Pasal 11, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 44, Pasal 128, Pasal 129, Pasal 130, Pasal 131 KUHAP.

2) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia

Apabila penyidik telah selesai maka penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara tersebut kepada penuntut umum yang merupakan penyerahan pada tahap pertama yaitu hanya berkas perkaranya saja (Pasal 8 ayat (3) sub a dan Pasal 110 ayat (1) KUHAP). Jika dalam empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan (karena sesuai dengan Pasal 138 ayat (1) KUHAP dalam waktu tujuh hari penuntut

(8)

umum wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu telah lengkap atau belum) tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik, maka penyidikan dianggap telah selesai (Pasal 110 ayat (4) KUHAP).

Tetapi apabila penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan tersebut masih kurang lengkap. Penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dan penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk tadi dan dalam waktu empat belas hari sesudah tanggal penerimaan kembali berkas tersebut penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum (Pasal 110 ayat (2) dan Pasal 138 ayat (2) KUHAP). Dalam hal ini dimana penyidikan sudah dianggap selesai, maka penyidk menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum (Pasal 8 ayat (3) sub b).

B. Faktor Penghambat Didalam Penyidikan Tindak Pidana Incest

Penyidikan yang dilakukan kepada pelaku tindak pidana incest dilakukan dengan asas praduga tidak bersalah. Asas praduga tak bersalah diatur dalam Penjelasan Umum KUHAP butir ketiga huruf c, adalah pedoman bagi penegak hukum menggunakan prinsip akuisator dalam pemeriksaannya. Aparat penegak hukum menjauhkan diri dari cara-cara pemeriksaan yang inkuisator atau inkuisitorial sistem yang menempatkan tersangka atau terdakwa dalam pemeriksaan sebagai objek yang dapat

(9)

diperlakukan sewenang-wenang. Prinsip inkuisitor ini dulu dijadikan landasan dalam pemeriksaan, sama sekali tidak memberi hak dan kesempatan yang wajar bagi tersangka atau terdakwa untuk membela diri dan mempertahankan hak dan kebenarannya. Dalam inkuisator aparat sudah menganggap tersangka atau terdakwa bersalah, tersangka atau terdakwa dianggap dan dijadikan sebagai objek pemeriksaan tanpa mempedulikan hak- hak asasi manusia. Akibatnya, sering terjadi dalam praktik, seorang yang benar-benar tidak bersalah terpaksa menerima nasib sial, yaitu dengan di penjara

Maksud dari penggunaan asas ini supaya penyidikan dapat menemukan fakta secara obyektif, Penyidikan yang dilakukan terhadap pelaku tindak pidana incest haruslah mendapat bantuan hukum, supaya hak- haknya tersampaikan tanpa tekanan. dalam melakukan proses penyidikan.

Penyidik harus mencari bukti-bukti dalam penyidikan Pembuktian berasal dari kata bukti yang berarti sesuatu hal (perisitiwa dan sebagainya) yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran sesuatu hal (peristiwa dan sebagainya) apa-apa saja yang menjadi tanda sesuatu perbuatan (kejahatan dan sebagainya). Pembuktian perbuatan (hal dan sebagainya) membuktikan ; pembuktian (memperlihatkan) bukti.

Pembuktian ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian, pembuktian hanya diperlukan dalam persengketaan atau perkara di muka hakim atau pengadilan. Oleh karenanya seseorang tidak dapat dihukum,

(10)

kecuali jika hakim berdasarkan alat-alat bukti yang sah memperoleh keyakinan, bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa terdakwa telah bersalah melakukannya. Permasalahan terkait pembuktian ini adalah masalah yang pelik (ingewikkeld) dan menempati titik sentral dalam hukum acara pidana. Adapun tujuan dari pembuktian adalah untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materil, dan bukannya untuk mencari kesalahan seseorang.

Adapun kasus incest yang terjadi dilingkup Polres pulau Ambon dan P.P. Lease iyalah Seorang Ayah dengan inisial BP(49 tahun) tega memerkosa anak kandungnya yang berinisial JP(8 tahun) alasan pelaku melakukan pemerkosaan terhadap anaknya karena pelaku telah berpisah dengan istrinya sehingga untuk memenuhi kepuasaan seksualnya pelakun nekat memerkosa anak kandungnya sendiri setelah memerkosa anaknya pelaku menelantarkan anaknya di depan Bank BCA pasar mardika kota Ambon Pada pukul 3:00 WIT, tidak lama kemudian ada orang yang menemukan si korban dengan berlumuran darah dan langsung melaporkan kejadian tersebut di kantor polisi.6 untuk menentukan pelaku atau tersangka tindak pidana incest dalam penyidikan alat bukti sangat berperan penting dikarenakan pada setiap pemeriksaan, baik itu pemeriksaan dengan acara biasa, acara singkat, maupun acara cepat, diperlukan alat bukti untuk membantu hakim mengambil keputusannya. Adapun alat bukti yang sah menurut Undang-Undang Nomor

6 Hasil wawancara dengan Brigpol Nur Hidayanti selaku penyidik unit PPA Polres

pulau Ambon dan P.P. Lease pada tanggal 10 juli 2019

(11)

8 Tahun 1981 tentang KUHAP diatur di dalam Pasal 184 yaitu , Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk, Keterangan Terdakwa

Alat-alat bukti ini menjadi sesuatu yang penting, oleh karena itu hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan berdasarkan pada keyakinan hakim bahwa suatu tindak pidana tersebut benar-benar terjadi dan terdakwalah yang melakukan perbuatan tersebut. Maka dengan demikian alat bukti itu sangatlah penting dalam menemukan pelaku tindak pidana dan perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana tersebut.

Mencari alat bukti dalam penyidikan tindak pidana incest penyidik sering mendapatkan hambatan-hambtan dalam penyidikan. Hambatan- hambatan yang dihadapi oleh penyidik Polres Pulau Ambon dan P.P. Lease dalam melakukan proses penyidikan terhadap pelaku tindak pidana incest berupa faktor internal dan faktor eksternal:7

1. Faktor Internal

a. Faktor kemampuan penegak hukum

Pesatnya kemajuan dalam berbagai bidang terutama dalam hal tindak pidana incest yang semakin marak terjadi, maka penyidik dituntut untuk lebih profesional dalam melakukan penyidikan yang semakin sulit dideteksi, dicegah dan diselesaikan dalam waktu yang singkat.

Bahkan dalam melakukan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana

7Hasil wawancara dengan Bripda Cici N. Slamat Selaku Ba Min Unit lll PPA Polres Pulau Ambon dan P.P.Lease pada tanggal 26 Juni 2019.

(12)

incest masih banyak hambatan-hambatan yang ditemukan oleh penyidik Polres Pulau Ambon dan P.P. Lease.

b. Faktor penegak hukum

Kurangnya sosialisasi dari penegak hukum kepada masyarakat mengenai tindak pidana incest sehingga kasus tersebut masih marak terjadi di lingkungan masyarakat karena masyarakat jarang untuk melaporkan kasus tersebut .

c. Faktor Saksi

Kasus pemerkosaan yang berupa tindak pidana incest merupakan tindak pidana tersembunyi dimana tidak ada saksi yang dapat melihat atau mengalaminya secara langsung maka dari itu untuk memenuhi keterangan dalam proses penyidikan penyidik sering menggunakan saksi testimony de auditu atau saksi yang tidak melihat atau mengalami secara langsung kejadian itu tetapi dia mendengar dari pihak lain.

2. Faktor Eksternal a. Faktor Masyarakat

Dalam penanggulangan tindak pidana incest, tidak mungkin aparat penegak hukum dapat mengungkap sendiri tentang adanya suatu tindak pidana yang berkaitan dengan incest. Oleh karena itu dalam kenyataannya perlu adanya perhatian dari publik atau masyarakat, namun hingga kini partisipasi masyarakat dalam penanggulangan dan pencegahan tindak pidana incest di kota Ambon masih kurang karena

(13)

masih banyak masyarakat yang berpikir bahwa tugas dalam pemberantasan tindak pidana incest adalah kewenangaan dari aparat penegak hukum dan sifat masyarakat yang tidak mau tau bahkan menutup-nutupi permasalahan tindakan pidana incest yang diketahuinya.

b. Faktor kebudayaan

Budaya merupakan suatu kebiasaan yang timbul didalam masyarakat, kebiasaan masyarakat yang acuh terhadap tindak pidana didalam keluarga seperti incest masyarakat enggan untuk ikut campur dalam urusan masalah keluarga orang lain, sehingga banyak terjadi kasus tindak pidana incest yang tidak di laporkan kepada polisi.

C. Taktik Dan Teknik Penyidikan Perkara Tindak Pidana Incest

Taktik dan teknik penyidikan adalah pengetahuan yang mempelajari problema-problema taktik maupun teknik dalam bidang penyidikan perkara pidana. Dalam hal penyidikan Tidak dapat dipungkiri para penegak hukum seperti penyidik sering menggunakan taktik maupun teknik terhadap tindak pidana untuk menemukan dan membuat terang suatu tindak pidana tersebut yang bertujuan untuk menentukan tersangka tindak pidana itu seperti tindak pidana incest, penyidik mempunyai taktik dan teknik untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tersebut berupa:8

1) Taktik dan Teknik introgasi

8 Abintoro Prakoso, Hukum dan Psikologi Hukum, Laksbang Grafika, Yogyakarta,

2014 , hlm 75.

(14)

Introgasi yaitu memeriksa atau mendengar keterangan orang yag di curigai dan saksi-saksi yang juga berada di tempat kejadian perkara, merupakan bagian dari teknik penyidikan sebagai langkah untuk pengembangan penyidikan untuk mengetahui:

a. Motif pelaku

b. Pihak yang terkait secara langsung maupun tidak c. Cara atau metode melakukan tindak pidana d. Alat bantu yang digunakan dalam tindak pidana

Teknik dan taktik yang paling mendasar yang digunakan para penyidik terutama penyidik kepolisian ada 3 langkah pokok yaitu:

1.Seorang introgator mempelajari taktik psikologi seseorang yang sedang diperiksa dan dimintai keterangan.

2.Seorang introgator mempelajari latar belakang dan pengaruh sosial lingkungan seseorang yang sedang di periksa dan dimintai keterangan.

3.Seorang introgator juga biasanya menggunakan kombinasi dari dua langkah di atas.

Introgasi berperan penting yang mana mengetahui jawaban-jawaban yang diberikan oleh seseorang sehingga penyidik dapat menganalisa dari jawaban tersebut apakah jawaban yang diberikan sesuai dengan pertanyaan dari penyidik dari jawaban tersebut maka kepolisian bisa menduga seseorang mejadi tersangka dalam kasus tersebut.

2) Taktik dan Teknik Visum et Repertum

Visum et Repertum adalah laporan tertulis yang dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik, tentang hasil pemeriksaan medis terhadap tubuh

(15)

manusia (baik hidup maupun mati) untuk kepentingan peradilan. Dasar hukum permintaan pasal 120 KUHAP Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus pasal 133 KUHAP (1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. Teknik ini di pakai penyidik untuk membantu dalam proses penyidikan yang tujuannya mengetahui keadaan atau sakit yang di alami korban guna sebagai bukti dalam pembuatan Berita acara Pemeriksaan( BAP).

3) Taktik dan Teknik Psikologi

Dalam proses pemeriksaan tersangka pada tahap penyidikan, seorang penyidik harus banyak menggunakan atau menerapkan teknik Personal Approach yaitu teknik pendekatan secara pribadi dimana pendekatan ini bersifat subjektif. Dengan pendekatan yang subjektif ini, penyidik dapat mengetahui dan menggambarkan bagaimana kepribadian si tersangka atau terdakwa, dimana letak kelebihan atau kelemahannya. Setelah mengetahui kepribadian tersangka atau terdakwa ini, maka proses pemeriksaan selanjutnya akan berjalan dengan lancar karena penyidik sudah bisa menempatkan posisinya dan bisa mengarahkan pemeriksaan sehingga tersangka dapat memberikan keterangan tanpa berbelit-belit.

(16)

Oleh karena disini penyidik menghadapi tersangka yang belum jelas kesalahannya maka lebih diperlukan banyak psychological approach.

Pemeriksaan tersangka yang belum jelas kesalahannya dipergunakan taktik sebagai berikut:9

1. Pada permulaan pemeriksaan ditanyakan kepada sesorang apa sebab sehingga dia dipanggil. Dari pertanyaan itu saja sudah bisa dilihat apakah ia bersalah atau tidak. Yang bersalah akan menjadi peka, sesudah berfikir sebentar dia akan cepat menjawab dan membela diri.

Sebaliknya yang tidak bersalah akan menjawab tidak tahu apa sebab dia di panggil.

2. Taktik yang kedua ialah kepada seseorang diminta menceritakan panjang lebar mengenai apa saja yang ia ketahui tentang peristiwa itu sendiri, tentang korban dan orang-orang yang di curigai. Dari jawaban-jawaban tersangka dapat di tarik kesimpulan-kesimpulan tertentu yang selanjutnya merupakan patokan untuk menyusun pertanyaan lebih lanjut.

3. Hendaklah ditanyakan kepada seseorang segala aktifitasnya selama dan sesudah terjadinya tindak pidana. Dalam keterangannya yang panjang lebar nanti dapat diketahui salah atau tidaknya tersangka.

4. Selanjutnya, jika penyidik mempunyai fakta-fakta yang menjurus, hal tersebut harus ditanyakan kalau bisa secara mendetail. Kalau dia

9 Ibid, hlm 76.

(17)

bersalah akan nyata jika dicocokan dengan fakta yang ada ditangan penyidik.

5. Dalam memberikan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada tersangka hendaklah seakan-akan jawabannya telah diketahui oleh penyidik jadi, jawaban tersangka seakan hanya untuk memperkuat atau menegaskan jawaban yang telah diketahui oleh penyidik.

6. Methods of detecting deception atau association method ( metode memperdaya tersangka).

Referensi

Dokumen terkait

Simpulan Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana perkosaan terhadap anak yang diatur dalam Pasal 81 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak telah di

Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Undang-undang nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran termaktub dalam pasal 335 yang menyebutkan sebagai berikut : Dalam hal tindak pidana di