LAPORAN RESMI
PRAKTIKUM BIOREMEDIASI FITOREMEDIASI LIMBAH LAUNDRY
Disusun Oleh : Abdullah Arkan
21308144012 Biologi E 2021
Kelompok 3 Rombel A
PROGRAM STUDI BIOLOGI DEPARTEMEN PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2023
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Industri laundry merupakan suatu usaha yang menawarkan jasa pencucian pakaian, karpet, dan sejenisnya. Saat ini industri laundry mengalami perkembangan yang pesat setiap tahunnya. Hal ini dikarenakan pertumbuhan permintaan akan jasa pencucian pakaian yang terus meningkat. Perkembangan ini tentunya dapat membawa dampak positif dan negatif bagi kehidupan. Salah satu dampak negatifnya yaitu pencemaran terhadap lingkungan. Pencemaran yang diakibatkan karena limbah laundry merupakan isu lingkungan yang perlu diperhatikan.
Menurut Wibisono (2018) bahwa intensitas dari pembuangan limbah laundry yang umumnya tidak dikelola terlebih dahulu serta dilakukan secara berlanjut, dikhawatirkan dapat berdampak negatif pada lingkungan. Mungkin saat ini dampaknya belum bermunculan, akan tetapi dalam jangka waktu yang panjang dapat berdampak serius.
Menurut Apriyani (2017), umumnya digunakan detergen dalam industri laundry sebagai bahan pembersih. Detergen mengandung bahan aktif yang tidak ramah lingkungan seperti Linear Alkyl Sulfonate, Natrium Carbonate, Ammonium Chloride, Natrium Deodecyl Benzene Sulfonate, Sodium Tripolyphospate, dan sebagainya (Arini, 2020). Yuliani dkk.
(2015) menjelaskan bahwa deterjen memiliki kandungan surfaktan, builder, dan bahan aditif. Senyawa pembentuk builder dalam deterjen yaitu salah satunya adalah fosfat.
Senyawa fosfat yang berasal dari limbah laundry, dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi pada ekosistem air sekitar (Arini, 2020).
Oleh karena itu dalam mengatasi permasalahan yang ditimbulkan dari limbah laundry diperlukan pengelolaan yang benar dan tepat. Pengelolaan limbah laundry dapat dilakukan dengan metode fitoremediasi. Metode fitoremediasi merupakan metode metode perawatan lingkungan yang memanfaatkan kemampuan dari sebagian spesies tanaman (Widowati, dkk., 2018). Tanaman yang digunakan dalam proses fitoremediasi memiliki kemampuan untuk menyerap, menghilangkan, ataupun mengubah berbagai kontaminan berbahaya yang terkandung dalam limbah laundry. Metode fitoremediasi ini dilakukan karena mudah dilakukan dan biaya yang dikeluarkan relatif murah.
B. Tujuan
1. Mengenal limbah laundry sebagai polutan yang dapat membahayakan lingkungan 2. Mengetahui manfaat tumbuhan sebagai fitoremediator
3. Membandingkan efektivitas berbagai jenis tumbuhan air sebagai fitoremediator limbah laundry
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Limbah Laundry
Menurut Masduqi (2004) dalam Astiyani (2019), kegiatan pencucian pakaian dalam proses laundry mengakibatkan penggunaan jumlah deterjen meningkat. Pengerjaan cucian pada industri laundry ditaksir dapat mencapai 75 kg sampai dengan 80 kg setiap harinya dan limbah laundry yang dihasilkan dapat mencapai 35 liter sampai dengan 50 liter setiap harinya (Wandhana, 2013) (IIS Astiyani). Air limbah laundry mengandung deterjen yang merupakan suatu derivatik zat organic sehingga pada proses akumulasinya dapat menyebabkan peningkatan kandungan organik (Astiyani, 2019) (IIS Astiyani).
Zat dominan yang terdapat dalam deterjen yaitu senyawa ionic berupa natrium tripolifospat memiliki fungsi sebagai builder dan surfaktan pada deterjen (Wardhana dkk., 2009 dalam Astiyani, 2019) (IIS Astiyani). Kandungan fosfat yang tinggi sekitar 9,9 ml/l yang terkandung dalam limbah laundry serta nilai Chemical Oxygen Demand dalam limbah laundry sebesar 280 MgO2/l melebihi baku mutu yang telah ditetapkan sehingga pada proses pembuangannya diperlukan pengolahan terlebih dahulu sebelum dibuang ke badan air (Sostar – Turka dkk., 2005 dalam Astiyani, 2019) (IIS Astiyan). Surfaktan memiliki dua gugus molekukul yang dapat larut dalam air (hidrofilik) dan yang tidak dapat larut dalam air (hidrofobik). Gugus ini juga bersifat polar dan nonpolar. Ketika molekul surfaktan berada di dalam air, maka gugus hidrofiliknya akan berikatan kuat dengan air, sedangkan gugus hidrofobiknya akan cenderung menjauh dari molekul air. Gugus hidrofilik surfaktan akan bergerak ke bagian permukaan air dan akan berikatan dengan molekul udara, sehingga dapat menyebabkan tegangan pada permukaan air menurun dan kotoran menjadi terangkat (Noviana, L., dan Prinajati, D., 2021).
Faktor pemakaian jenis surfaktan serta gugus pembentuknya merupakan salah satu penyebab timbulnya masalah akibat pemakaian deterjen. Surfaktan akan menyebabkan timbulnya busa di atas permukaan air yang akan terus bertambah seiring dengan penggunaannya. Fenomena ini dapat memicu terjadinya eutrofikasi pada perairan. Selain surfaktan, terdapat juga builders yang berperan dalam melunakkan air dengan cara mengikat mineral – mineral yang terlarut. Builders juga dapat menciptakan kondisi asam yang tepat supaya proses pembersihan dapat berjalan dengan baik serta berperan dalam mensuspensikan dan mendispersikan kotoran yang telah terlepas. Contoh builders yang banyak digunakan dalam deterjen adalah fosfat (Noviana, L., dan Prinajati, D., 2021).
B. Karakteristik Limbah Laundry
Limbah yang dihasilkan dari kegiatan laundry memiliki kandungan yang berbeda – beda. Hal ini disebabkan karena adanya variasi dalam komposisi serta kuantitas deterjen yang digunakan, kandungan kotoran, dan teknologi yang diaplikasikan dalam laundry.
Berikut merupakan zat pencemar yang terdapat pada limbah laundry :
- Surfaktan
Surfaktan merupakan bahan aktif permukaan yang bersifat racun bagi ekosistem perairan, selain itu semakin panjang rantai alkil pada surfaktan dapat menghambat perpindahan oksigen dari udara ke perairan sehingga intensitas oksigen terlarut dalam air dapat menurun yang menyebabkan pencemaran pada ekosistem perairan (Noviana, L., dan Prinajati, D., 2021).
- Biological Oxygen Demand
Biological Oxygen Demand merupakan suatu karakteristik yang mengindikasikan jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme guna mendekomposisi bahan organic dalam kondisi aerobik (Metcalf dan Edy, 2004 dalam Noviana, L., dan Prinajati, D., 2021). Semakin tinggi nilai Biologycal Oxygen Demand dapat mengindikasikan bahwa jumlah oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk mendekomposisi bahan pencemar di perairan tersebut besar. Perairan yang memiliki nilai Biological Oxygen Demand yang tinggi umumnya memiliki bau yang tidak sedap (Noviana, L., dan Prinajati, D., 2021).
- Chemical Oxygen Demand
Chemical Oxygen Demand merupakan parameter untuk ukuran bahan organic dalam air limbah dalam hal oksigen yang dibutuhkan guna mengoksidasi bahan organic secara kimia. Angka Chemical Oxygen Demand yang didapatkan merupakan ukuran bagi pencemaran air yang disebabkan zat organik, dimana secara alami dapat dioksidasikan melalui proses mikrobiologi yang dapat menyebabkan berkurangnya oksigen terlarut dalam ekosistem perairan (Meiliasari, 2016).
- Fosfat
Keberadaan fosfat dalam ekosistem perairan memberikan manfaat bagi mikroorganisme air yakni sebagai nutrisi dalam proses penguraian. Namun, apabila kandungan fosfat cukup banyak dalam ekosistem perairan dapat menyebabkan pengkayaan unsur hara atau eutrofikasi yang berlebihan (Devina dan Ali, 2003 dalam Noviana, L., dan Prinajati, D., 2021). Eutrofikasi akan memicu pertumbuhan alga dan tanaman air lainnya yang merupakan makanan dari bakteri. Kemudian, badan air akan mengalami kekurangan oksigen akibat dari populasi bakteri yang berlebihan di perairan (Noviana, L., dan Prinajati, D., 2021).
- Minyak dan Lemak
Minyak dan lemak pada limbah laundry berasal dari kotoran pakaian yang terangkat bersamaan dengan proses pencucian oleh surfaktan dalam deterjen. Minyak dan lemak memiliki massa jenis yang lebih kecil dari air sehingga minyak dan lemak akan berbentuk berupa lapisan tipis pada permukaan air yang dapat menyebabkan tertutupnya permukaan air pada suatu ekosistem perairan. Tertutupnya permukaan air tersebut dapat mengakibatkan keterbatasan oksigen dan sinar matahari yang masuk dalam air. Akibatnya proses penguraian anaerobik oleh aktivitas mikroba menjadi terganggu, sehingga rantai makanan dalam air menjadi tidak seimbang dan ekosistem perairan menjadi tercemar (Noviana, L., dan Prinajati, D., 2021).
- Total Suspended Solid
Total Suspended Solid merupakan padatan yang menyebabkan kekeruhan air, bersifat tidak terlarut, dan tidak dapat mengendap langsung. Total Suspended Solid terdiri dari partikel – partikel yang berukuran lebih kecil daripada sedimen. Selain adanya padatan tersuspensi, air limbah laundry juga sering mengandung bahan yang sifatnya koloid (Fardiaz, 1992 dalam Noviana, L., dan Prinajati, D., 2021).
C. Baku Mutu Air Limbah
Menurut peraturan yang mengatur mengenai baku mutu deterjen dapat ditemukan pada Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 7 Tahun 2016 mengenai baku mutu air limbah.
Parameter Kadar paling banyak (mg/L)
Beban pencemaran paling banyak (kg/ton)
BOD5 75 1,5
COD 150 3
TSS 100 2
TDS 2000 40
Deterjen 5 0,1
Suhu 3°C terhadap suhu udara
pH 6,0 – 9,0
Debit limbah paling banyak (L/kg)
20
Tabel 1
Standar baku mutu deterjen
D. Fitoremediasi
Fitoremediasi merupakan teknologi pemanfaatan tanaman dalam mengakumulasi logam berat untuk memulihkan suatu lingkungan yang terkontaminasi dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan. Syarat dalam metode fitoremediasi ini adalah tanaman hiperakumulator yang memiliki kemampuan untuk tumbuh dalam kondisi lahan manapun, yang memiliki tingkat toleransi terhadap zat kontaminan serta dapat meremediasi lebih dari satu polutan (Wang, dkk., 2017). Mekanisme pada proses fitoremediasi ini berdasarkan pada jenis kontaminan, media yang tercemar, dan juga tujuan dari remediasi itu sendiri (Titah, dkk., 2022).
BAB III METODE
A. Waktu dan Tempat
Waktu : 1 – 15 September 2023
Tempat : Greenhouse dan Laboratorium FMIPA UNY
B. Alat dan Bahan Alat
1. Turbidimeter
2. Hanna DO meter portable 3. pH stik universal
4. Botol bekas UC 1000 5. Tabung reaksi
6. Gelas beaker 1 liter 7. Gelas ukur 250 ml 8. Bak baskom 9. Phospate test kit 10. Label
11. Spidol 12. Erlenmeyer
Bahan
1. Limbah laundry 2. Air
3. Akuades
4. Tanaman eceng gondok (Eichornia crassipes) 5. Tanaman kayu apu (Pistia
stratiotes)
C. Cara Kerja
1. Tanaman eceng gondok dan kayu apu dipersiapkan dengan cara diaklimatisasi pada ember berisi ar selama 3 hari.
2. Limbah laundry disiapkan pada hari praktikum.
3. Limbah laundry dicampur dengan air dengan perbandingan 1 : 1 pada bak perlakuan.
4. Tanaman eceng gondok dan kayu apu selanjutnya dimasukkan ke dalam bak sesuai dengan perlakuan yang telah ditentukan.
5. Hasil pengenceran air limbah diambil dengan gelas untuk dilakukan pengukuran DO, pH, kekeruhan, dan kadar fosfat.
6. Hasil pengenceran air limbah diambil lalu dimasukkan ke dalam botol kaca yang ditutup dengan alumunium foil untuk dilakukan pengukuran DO5 dan disimpan pada tempat yang gelap selama 5 hari.
7. Setelah 5 hari, DO5 diukur dengan alat DO meter.
8. BOD dihitung dengan rumus DO5 – DO1.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Perlakuan Parameter Hari ke -
0 7 14
Kontrol pH 7 7 6
BOD5 1,83 2 2,92
DO 4,74 6,32 8,9
Fosfat 0,39 mg/L 0,21 mg/L 1,04 mg/L
Turbiditas 16 NTU 3 NTU 8 NTU
Suhu 26,9°C 26,7°C 27,3°C
Warna Keruh
Bau Bau
menyengat Klorosis
Tanaman
0% 0% 0%
Respon Morfologi (warna, bentuk)
- - -
1 pH 7 7 Kering
BOD5 1,83 0,95 -
DO 4,74 5,11 -
Fosfat 0,39 mg/L 0,77 mg/L -
Turbiditas 16 NTU 6,9 NTU -
Suhu 26,9°C 26,5°C 26,8°C
Warna Keruh Bening Kering
Bau Wangi (kuat) Netral (Hampir
tidak berbau)
Kering
Klorosis
Tanaman 0% 12,50% 25%
Respon Morfologi (warna, bentuk)
Daun sehat berwarna hijau, batang menggembung
sehat
Daun sedikit menguning,
kering, batang sedikit mengempis
Daun kecokelatan,
mengering, batang kempis
2 pH 7 7 6
BOD5 1,83 0,53 0,48
DO 4,74 5,33 5,67
Fosfat 0,39 mg/L 0,69 mg/L 0,36 mg/L
Turbiditas 16 NTU 8 NTU 16 NTU
Suhu 26,9°C 26,2°C 27°C
Warna Keruh Sedikit
keruh
Bening
Bau Berbau
menyengat
Hampir tidak berbau
Tidak berbau Klorosis
Tanaman
0% 16,70% 33,30%
Respon Morfologi (warna, bentuk)
Daun segar berwarna
hijau
Beberapa daun sedikit
menguning dan mengering
Sebagian besar daun
semakin menguning
dan mengering
di pinggirnya
3 pH 7 7 -
BOD5 1,83 1,32 -
DO 4,74 4,95 -
Fosfat 0,39 mg/L 0,84 mg/L -
Turbiditas 16 NTU 4 NTU -
Suhu 26,9°C 26°C -
Warna Keruh Bening kering
Bau Bau
menyengat
Hampir tidak berbau
kering
Klorosis
Tanaman 0% Pistia:5,9 %
Eceng gondok:
21,1%
Pistia:
30,4%
Eceng gondok:
35,2%
Respon Morfologi (warna, bentuk)
Daun segar berwarna
hijau
Beberapa daun layu
dan menguning
Daun layu, menguning, kering pada
bagian ujung, dan
robek Tabel 2
Hasil Praktikum
Grafik 1
pH Limbah setiap Perlakuan
7 7
0 0
7 7
0 0
7 7
0 0
7 7
0 0
0 5 10 15 20 25 30
Hari ke - 0 Hari ke - 7
pH Limbah setiap Perlakuan
Perlakuan kontrol Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3
26,9 26,7
0 0
26,9 26,5
0 0
26,9 26,2
0 0
26,9 26
0 0
0 20 40 60 80 100 120
Hari ke - 0 Hari ke - 7
Suhu Limbah pada Setiap Perlakuan
Perlakuan kontrol Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3
Grafik 2
Suhu Limbah pada Setiap Perlakuan
Grafik 3
Persentase Klorosis pada Tanaman Fitoremediasi Seluruh Perlakuan
Perlakuan Tanaman Parameter
Berat awal Berat akhir
1 Eceng gondok 850 gr 800 gr
2 Kayu apu 300 gr 625 gr
3 Eceng gondok 600 gr 1000 gr
Kayu apu 150 gr 400 gr
Data 3
Data berat awal dan akhir tanaman fitoremediasi
B. Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan fitoremediasi air limbah laundry dengan menggunakan empat jenis perlakuan yaitu perlakuan pertama menggunakan tanaman eceng gondok, perlakuan kedua menggunakan tanaman kayu apu, perlakuan ketiga menggunakan kedua tanaman yaitu eceng gondok dan kayu apu, dan perlakuan kontrol yang tidak menggunakan tanaman. Eceng gondok memiliki kemampuan dalam menyerap zat organic, zat anorganik, serta logam berat yang merupakan bahan pencemaran (Djo, dkk., 2017). Sedangkan kayu apu merupakan salah satu tanaman fitoremediator yang dapat menyerap limbah baik berupa logam berat, zat organic, maupun anorganik (Audiyanti, dkk., 2019). Pada hari ke – 14 beberapa perlakuan mengalami kekeringan diduga karena pengaruh dari tanaman eceng gondok. Eceng gondok ini memiliki struktur tubuh yang mendukung dalam penyerapan bahan – bahan organic maupun zat lain dalam air sehingga dapat menyebabkan kekeringan dalam bak perlakuan (Sundariani, 2017).
Praktikum kali ini menggunakan beberapa parameter untuk mengetahui efektivitas dari setiap perlakuan dalam pengelolaan limbah, parameter yang digunakan antara lain :
- pH
Terjadi penurunan pH pada perlakuan kontrol hari ke – 14 dan perlakuan ke – 2 pada hari ke – 14 yang semula 7 menjadi 6. Pada proses fitoremediasi pH memiliki pengaruh dalam kelarutan logam berat didalam air dan mempengaruhi kondisi tanaman fitoremediator (Ni’mah, dkk., 2019). Terjadinya penurunan
0
0,125
0,025 0
0,167
0,333
0
0,211
0,352
0
0,059
0,304
Hari ke - 0 Hari ke - 7 Hari ke - 14
PERSENTASE KLOROSIS PADA TANAMAN FITOREMEDIASI SELURUH PERLAKUAN
Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3 (Eceng gondok) Perlakuan 3 (Kayu apu)
pH ini disebabkan karena intensitas CO2 yang dihasilkan dari proses respirasi apabila semakin banyak akan secara bertahap melepaskan ion H+ yang dapat menyebabkan pH air menjadi turun dan hal ini berlaku sebaliknya (Ni’mah, dkk., 2019).
- BOD5
BOD5 merupakan jumlah dari oksigen yang diperlukan bakteri dalam mengoksidasi zat organik yang terlarut dan sebagian zat – zat tersuspensi dalam air (Sari dan Sukanta, 2017). Pada hasil pengukuran parameter BOD5 didapatkan hasil yang menurun pada perlakuan 1, 2, dan 3 sedangkan pada perlakuan kontrol mengalami peningkatan pada hari ke – 14. Penurunan ini disebabkan karena turunnya kadar polutan pada air limbah laundry yang disebabkan karena adanya proses penyerapan oleh akar tanaman fitoremediator dimana polutan tersebut dijadikan unsur hara yang bermanfaat bagi tanaman (Al’ amin, 2018). Semakin lama waktu kontak tanaman fitoremediator dengan limbah maka akan semakin cepat penurunan konsentrasi BOD pada air limbah (Ruzzi, dkk., 2023). Pada kenaikan BOD5 perlakuan kontrol disebabkan oleh kenaikan kandungan organik pada air limbah laundry yang diduga karena tidak adanya tanaman fitoremediator.
- DO
DO merupakan oksigen terlarut yang digunakan dalam pengukuran kualitas air (Prahutama, 2013). Dari hasil praktikum didapatkan hasil bahwa ketiga perlakuan beserta kontrol dapat meningkatkan DO pada air limbah. Tanaman eceng gondok memiliki efisiensi removal terbesar dalam mereduksi zat – zat polutan, hal ini disebabkan karena eceng gondok memiliki kemampuan dalam laju pertumbuhan yang tinggi. Selain itu, sistem perakaran pada tanaman eceng gondok memungkinkan mikroorganisme untuk hidup dan tumbuh. Sistem perakaran pada tanaman eceng gondok itulah yang menjadikan akar eceng gondok sebagai alat penyerap polutan dari air limbah (Raissa, 2017). Kayu apu juga mampu mengolah limbah cair dari laundry (Wandana dan Laksmono, 2012).
- Fosfat
Pada hasil pengukuran kadar fosfat didapati hasil kenaikan dan penurunan kadar fosfat. Kenaikan terjadi pada perlakuan 1 hari ke – 7, perlakuan 2 hari ke – 7, perlakuan 3 hari ke – 7, serta perlakuan kontrol yang terus meningkat di setiap minggunya. Sedangkan pada perlakuan 2 hari ke – 14 terdapat penurunan apabila dibandingkan pada hari ke – 7. Penurunan kadar fosfat pada perlakuan 2 hari ke – 14 sesuai dengan teori Ruzzi, dkk. (2023) bahwa semakin lama waktu kontak tanaman fitoremediator dengan limbah maka akan menyebabkan peningkatan nilai efisiensi dari pengurangan kadar organic pada limbah oleh tanaman akan semakin baik. Sedangkan pada kenaikan kadar fosfat ini disebabkan karena endapan dan pembusukan yang terjadi pada bagian tanaman yang sudah mati sehingga menghasilkan bahan organic berupa fosfat (Firmansyah dan Situmorang, 2019; Juwitanti, dkk., 2013).
- Turbiditas
Pada turbiditas didapatkan hasil penurunan pada hari ke – 7 pada semua perlakuan, namun juga didapakan hasil kenaikan pada hari ke – 14 pada perlakuan ke – 2 dan kontrol. Kenaikan turbiditas pada hari ke – 14 perlakuan ke – 2 dan kontrol diduga karena perbandingan jumlah endapan dengan kuantitas tanaman fitoremediator yang tidak seimbang sehingga endapan terus terbentuk yang menyebabkan kekeruhan pada air limbah. Sedangkan penurunan turbiditas pada hari ke – 7 di semua perlakuan dapat terjadi karena tanaman fitoremediator mampu menyerap kontaminan dari limbah ke dalam akar dan pada waktu itu perbandingan endapan dengan jumlah tanaman fitoremediator masih stabil.
- Suhu
Pada parameter suhu didapatkan hasil kenaikan pada perlakuan 1 hari ke – 14, perlakuan 2 hari ke – 14, dan perlakuan kontrol pada hari ke – 14. Sementara itu, juga didapatkan hasil penurunan suhu pada perlakuan 1 hari ke – 7, perlakuan ke 2 hari ke – 7, perlakuan 3 hari ke – 7 dan perlakuan kontrol pada hari ke – 7. Terjadinya penurunan suhu pada praktikum ini disebabkan karena terjadinya penurunan kadar oksigen terlarut dalam air limbah. Sedangkan kenaikan suhu disebabkan karena kenaikan kadar oksigen terlarut dalam air limbah (Shoimah, 2018).
- Warna
Warna pada ketiga perlakuan didapatkan hasil yang positif yaitu berkurangnya kekeruhan pada air limbah setiap perlakuan. Menurut Lestari dan Aminatun (2018), warna pada air limbah dipengaruhi oleh adanya materi terlarut, tersuspensi, dan senyawa – senyawa koloid. Penurunan kekeruahn warn aini disebabkan karena keberadaan rhizosfera sebagai biofilter (Rukmi, 2014).
- Bau
Pada parameter bau didapatkan hasil yang baik pada seluruh perlakuan.
Terjadi perubahan bau dari menyengat menjadi netral. Peningkatan oksigen yang ditandai dengan naiknya nilai DO menyebabkan terjadinya proses oksidasi senyawa – senyawa kimia dalam air limbah serta dapat menghilangkan bau (Madussa, 2017 dalam Hibatullah, 2019).
- Klorosis Tanaman
Klorosis merupakan kerusakan pada jaringan tanaman yang mengakibatkan terhambatnya sintesis klorofil pada daun sehingga daun berubah warna menjadi kuning dan kemudian timbul gejala lain yaitu nekrosis. Nekrosis merupakan kematian sel pada organ tanaman sehingga akan timbul bercak dan warna kecoklatan pada daun bagian ujung maupun tepi (Darmono, 1995 dalam Rosmiati, dkk., 2014). Gejala klorosis ini disebabkan oleh beban polutan yang tinggi sehingga dapat menurunkan kualitas dan kuantitas dari klorofil tumbuhan (Widiarso, 2011 dalam Putriarti, dkk., 2021). Peristiwa klorosis ini dapat menghambat pembentukan klorofil dan fotosintesis pada tanaman (Herlambang dan Hendriyanto, 2015). Semakin tinggi kandungan kadar surfaktan pada limbah laundry maka semakin tinggi juga tingkat klorosis yang terjadi (Haryati, 2012). Pada seluruh perlakuan didapatkan hasil persentase dari klorosis yang meningkat, hal ini menunjukkan kemampuan adaptasi dari tanaman eceng gondok dan kayu apu kurang baik terhadap kandungan limbah laundry.
- Respon Morfologi (Warna dan Bentuk)
Pada kedua tanaman yang digunakan sebagai tanaman fitoremediator mengalami perubahan morfologi pada daun dan akarnya. Perubahan pada daun ini berupa daun yang mulanya berwarna hijau segar menjadi kuning dan layu, selain itu terdapat beberapa daun yang menempel pada badan tanaman menjadi terlepas dari badan tanaman. Perubahan juga terjadi pada bagian batang yang mulanya sebelum diberi perlakuan kondisinya menggembung dan berisi, namun setelah diberi perlakuan limbah dan diamati beberapa hari kemudian menjadi menguning, mengering, dan mengecil. Perubahan yang terjadi pada tanaman fitoremediator ini dipengaruhi oleh proses penyerapan logam berat yang diserap oleh bagian akar tumbuhan (Dwi, dkk., 2018 dalam Oktaviani, 2020).
Turunnya metabolisme pada tanaman fitoremediator dapat diidentifikasi melalui perubahan fisik yang terjadi. Mulai dari daunnya yang terlihat cepat sekali menguning serta rontoknya beberapa akar. Turunnya metabolisme pada
tanaman fitoremediator ini juga disebabkan karena adanya hiperakumulasi ion logam yang terlalu banyak (Dwi, dkk., 2018 dalam Oktaviani, 2020).
Penurunan metabolisme pada tanaman fitoremediator mengakibatkan jaringan sel dalam akar cepat rusak yang nantinya akan berdampak pada fitokelatin (Dwi, dkk., 2018 dalam Oktaviani, 2020). Fitokelatin merupakan yang terdapat pada tanaman yang berperan dalam pengikatan logam. Kerontokan yang terjadi pada akar dan daun tanaman ini disebabkan karena proses klorosis (Oktaviani, 2020).
- Berat Awal dan Akhir Tanaman
Hasil dari penimbangan berat tanaman air selama proses fitoremediasi mengalami kenaikan berat pada eceng gondok perlakuan ke – 3, kayu apu pada perlakuan ke – 3, dan kayu apu pada perlakuan ke – 2. Sedangkan penurunan berat dialami pada tanaman eceng gondok perlakuan ke – 1. Kedua peristiwa ini ditunjukkan dengan adanya daun yang layu dan batang yang membusuk pada kedua tanaman yang mengalami penyusutan berat, sedangkan pada tanaman yang mengalami pertambahan berat ditemukan tunas baru. Munculnya tunas baru pada tanaman air saat fitoremediasi ini diduga karena berkurangnya unsur hara dalam limbah dan terdapatnya zat toksik (Audiyanti, dkk., 2019).
Perubahan warna yang terjadi pada daun kedua tanaman disebabkan karena pencemaran bahan organik, sedangkan tumbuhnya akar tunas baru diduga merupakan bentuk upaya bertahan hidup dari tanaman (Hermawati, 2005 dalam Audiyanti, dkk., 2019).
Penurunan berat tanaman pada proses fitoremediasi ini juga dipengaruhi oleh kerapatan populasi tanaman di dalam bak yang terlalu rapat sehingga proses fotosintesis yang dilakukan menjadi terhambat (Ni’ma, dkk., 2014).
Keberadaan logam berat pada limbah diketahui juga dapat membantu pertumbuhan pada tanaman sebagai respon positif, namun disisi lain juga dapat menghambat pertumbuhan tanaman bahkan kematian pada tanaman sebagai respon negatif dari tanaman (Mangkoediharjo dan Samudro, 2010 dalam Utami, dkk., 2017). Penurunan berat pada kedua tanaman ini juga disebabkan karena kadar larutan limbah yang berlebihan dan gangguan osmotic karena ion – ion yang terkandung dalam limbah laundry yang menyebabkan tanaman kesulitan dalam mendapatkan pasokan air dan nutrisi yang cukup (Fatikasari dan Purnomo, 2022).
Tahapan dalam fitoremediasi ini terbagi menjadi tiga proses. Proses yang pertama yaitu penyerapan oleh bagian akar dengan membentuk zat khelat atau fotosiderofor yang akan mengikat logam lalu membawanya ke dalam sel akar melalui transport aktif. Proses kedua yaitu translokasi logam dari bagian akar menuju bagian lain tumbuhan melalui jaringan xylem dan floem. Proses ketiga yaitu keberadaan logam pada bagian sel tertentu untuk menjaga agar tidak menghambat metabolisme tumbuhan (Syahputra, 2005 dalam Ni’mah, dkk., 2019).
C. Diskusi
1. Bahaslah mekanisme fitoremediasi yang digunakan oleh setiap tanaman di atas dalam hal tahapan seperti fitoakumulasi, rizofiltrasi, fitostabilisasi, rizodegradasi, dan fitovolatilisasi. Mengapa terdapat permbedaan?
Fitoremediasi ini dapat diklasifikasikan berdasarkan proses penyerapan dan penghilangan logam yaitu (Pamela, 2020) :
- Fitoekstraksi
Fitoekstraksi merupakan penyerapan logam berat yang dilakukan oleh akar tanaman yang kemudian logam – logam berat yang telah diserap akan diakumulasikan ke bagian – bagian tanaman seperti akar, batang, dan daun.
- Rhizofiltrasi
Rhizofiltrasi merupakan penyerapan logam berat melalui akar tanaman yang selanjutnya akan diendapkan.
- Fitodegradasi
Fitodegradasi merupakan proses penguraian logam berat pada limbah dengan memanfaatkan peranan mikroba dan enzim yang berada di sekitar akar tumbuhan.
- Fitostabilisasi
Fitostabilisasi merupakan proses eksresi suatu zat senyawa kimia tertentu yang dapat mengimobilisasi logam berat di daerah akar atau penempelan zat -zat kontaminan tertentu pada daerah akar yang tidak dapat diserap ke dalam batang tumbuhan.
- Fitovolatilisasi
Fitovolatilisasi merupakan kemampuan tanaman dalam menyerap kandungan logam berat dan melepaskannya ke udara melalui daun dan sudah mengalami proses degradasi terlebih dahulu sehingga tidak berbahaya jika dilepaskan ke udara.
- Fitotransformasi
Fitotransformasi merupakan penyerapan zat – zat kontaminan logam berat oleh tumbuhan guna menguraikan zat kontaminan yang memiliki rantai molekul yang kompleks menjadi bahan dengan susunan molekul yang lebih sederhana dan tidak berbahaya.
2. Respon tanaman berhubungan dengan stres fisiologi yang berbeda dialami oleh tanaman dari faktor lingkungan, yang berimplikasi pada proses pemindahan fosfat dari lingkungan ke dalam jaringan tanaman berbeda – beda atau adaptasi terhadap kondisi limbah yang berbeda. Mengapa demikian dan apa yang menjadikannnya efektif?
Stres fisiologis merupakan respon yang terjadi apabila tanaman fitoremediator mengalami stress logam karena terjadinya pembentukan protein stress (phytochelatins) yang dipicu oleh ion – ion logam. Perbedaan stres fisiologi yang dialami oleh tanaman karena faktor lingkungan ini dipengaruhi oleh perbedaan proses fisiologis biokimia serta serangkaian ekspresi gen – gen yang berperan dalam proses penyerapan, akumulasi, dan toleransi tanaman terhadap logam. Yang menjadikannya efektif dalam hal ini yaitu kemampuan tanaman tersebut sendiri dalam merubah logam. Contohnya pada tumbuhan hiperakumulator yang memiliki kemampuan lebih tinggi dalam merubah logam pada zona perakaran menjadi bentuk yang lebih sederhana. Pada tanaman hiperakumulator diketahui memiliki kemampuan dalam mempercepat terlarutnya logam pada rizosfer (Hidayati, 2013).
3. Dalam dunia pengolahan limbah yang memanfaatkan bantuan tanaman, memiliki nilai ekonomis, dan ekologis yang tinggi dibandingkan dengan pengolahan limbah secara fisik maupun kimia. Mengapa demikian?
Fitoremediasi memiliki nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi dibandingkan dengan pengolahan limbah secara fisik maupun kimia karena dalam penerapannya fitoremediasi ini tidak memerlukan biaya operasional yang tinggi sehingga lebih ekonomis dibandingkan dengan pengolahan limbah secara fisik maupun kimia.
Fitoremediasi juga lebih bernilai ekologis dibandingkan dengan pengolahan limbah secara fisik maupun kimia karena dalam pengaplikasiannya menggunakan tanaman untuk mengolah limbah yang menghasilkan produk akhir tanpa menimbulkan efek samping terhadap lingkungan sekitar atau ramah terhadap lingkungan.
4. Apakah ada perbedaan terhadap masing – masing perlakuan?
Terdapat perbedaan pada tanaman yang digunakan pada masing – masing perlakuan.
Pada perlakuan kontrol tidak menggunakan tanaman, perlakuan ke – 1 menggunakan tanaman eceng gondok, perlakuan ke – 2 menggunakan tanaman kayu apu, dan perlakuan ke – 3 menggunakan eceng gondok serta kayu apu.
5. Apakah peran tumbuhan air dalam praktikum kali ini?
Pada praktikum kali ini kayu apu berperan dalam mengurangi konsentrasi limbah laundry. Tunas tunas baru yang muncul dari tanaman kayu apu dapat mengurangi kandungan fosfat pada limbah laundry (Raissa, 2017). Sedangkan eceng gondok berperan dalam penyerapan zat organic maupun anorganik dalam limbah laundry (Setyowati, dkk., 2015).
6. Perlakuan mana yang paling efektif menurunkan kadar polutan? Mengapa?
Perlakuan yang paling efektif pada praktikum paling efektik yaitu pada perlakuan 2 atau menggunakan tanaman kayu apu dikarenakan pada perlakuan tersebut, kayu apu mampu menurunkan kadar BOD lebih tinggi dibandingkan perlakuan yang lain.
7. Baku mutu limbah yang layak “dibuang ke lingkungan” ditentukan oleh banyak faktor seperti faktor kimia, fisik, biologis, mengapa demikian?
Baku mutu limbah yang layak “dibuang ke lingkungan” dapat ditentukan oleh beberapa faktor seperti faktor kimia, fisik dan biologis. Limbah dapat menimbulkan dampak yang beragam bagi lingkungan apabila tidak diolah secara benar. Maka dari itu dalam pengolahannya perlu memperhatikan beberapa faktor yang saling berhubungan.
- Faktor kimia
Faktor kimia ini mencakup parameter – parameter seperti konsentrasi senyawa beracun pada limbah, kandungan logam berat, ataupun kandungan zat polutan berbahaya lainnya.
- Faktor fisik
Faktor fisik terdiri dari sifat – sifat fisik limbah seperti pH, suhu, serta turbiditas.
- Faktor biologis
Faktor biologis terdiri dari kontaminasi mikroorganisme yang muncul akibat pencemaran.
Ketiga faktor ini harus selalu diperhatikan sebelum pembuangan limbah ke lingkungan, karena ketiga faktor tersebut dapat menjadi dasar untuk memastikan keamanan limbah yang akan dibuang ke lingkungan.
8. Apa kelebihan dan kekurangan dari metode Eksitu dalam pengolahan limbah organik?
Kelebihan metode Eksitu antara lain yaitu optimasi dalam kondisi pengolahan, pengendalian pada proses, pengolahan lebih cepat, dan dapat mengimplementasikan mikroorganisme khusus. Sedangkan kekurangan dari metode Eksitu yaitu diperlukan pemindahan bahan pencemar sehingga lebih rumit, biaya yang diperlukan cukup mahal, dan materi volatile kurang terkontrol pada saat pemindahan limbah. (Ghassani dan Titah, 2022).
BAB V Penutup
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari praktikum yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Limbah laundry memiliki kandungan polutan yang dapat membahayakan lingkungan
apabila tidak diolah secara benar. Kandungan kimia dalam deterjen yang digunakan seperti surfaktan, builder, dan sebagainya dapat merusak lingkungan sekitar apabila tidak diolah terlebih dahulu. Polutan ini dapat mengganggu proses biologis, kimiawi, dan fisik pada suatu ekosistem.
2. Berdasarkan hasil praktikum tumbuhan air seperti eceng gondok dan kayu apu memiliki kemampuan dalam mendegradasi polutan limbah laundry sehingga memiliki potensi sebagai tanaman fitoremediator. Kedua tanaman tersebut dapat menurunkan konsentrasi BOD yang mengindikasikan penurunan kadar polutan pada air limbah.
3. Berdasarkan hasil praktikum didapati bahwa tanaman kayu apu memiliki efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan eceng gondok. Hal ini dikarenakan pada perlakuan fitoremediasi menggunakan kayu apu dapat menurunkan kadar BOD lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya.
B. Saran
Berdasarkan dari hasil praktikum dan kesimpulan praktikum, terdapat beberapa saran yang dapat dilakukan :
1. Diperlukan tambahan variabel seperti kerapatan tanaman serta kandungan limbah laundry yang digunakan guna mengetahui efektivitas lebih lanjut.
2. Diperlukan perlakuan lebih lanjut supaya klorosis yang terjadi tidak menganggu proses fitoremediasi yang sedang dilakukan.
3. Perlu memerhatikan aspek parameter pada lingkungan, supaya mengetahui pengaruh parameter yang terdapat di lingkungan sekitar terhadap fitoremediasi yang sedang dilakukan.
Daftar Pustaka
Al’ Amin, Z. A. (2018). Kemampuan Tanaman Kiambang (Salviana molesta) Dalam Menurunkan Kadar Biological Oxygen Demand (BOD) pada Limbah Cair Industri Tahu. Doctoral dissertation. Universitas Muhammadiyah Semarang.
Apriyani, N. (2017). Penurunan Kadar Surfaktan dan Sulfat dalam Limbah Laundry. Media Ilmiah Teknik Lingkungan, Vol. 2 No. 1: 37 – 44.
Arini, F. C. (2020). Bioremediasi Limbah Jasa Laundry di Surabaya dengan Bakteri Pseudomonas aeruginosa Untuk Penurunan Kadar Fosfat. Skripsi. Universitas Airlangga.
Astiyani, I. (2019). Fouling pada Membran Hybrid dari Zeolit Alam – PVA (Polivinil Alkohol) Untuk Aplikasi Limbah Air Laundry. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Audiyanti, S., Hasan, Z., Hamdani, H., dan Herawati, H. (2019). Efektivitas Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) dan Kayu Apu (Pistia stratiotes) Sebagai Agen Fitoremediasi Limbah Sungai Citarum. Jurnal Perikanan dan Kelautan, Vol. X No. 1: 111 – 116.
Djo, Y.H. W., Suastuti, D. A., Suprihatin, I. E., dan Sulihingtyas, W. D. (2017). Fitoremediasi Menggunakan Tumbuhan Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) untuk Menurunkan COD dan Kandungan CU dan Cr Limbah Cair Laboratorium Analitik Universitas Udayana. Cakra Kimia, Vol. 5 No. 2: 137 – 144.
Fatikasari, R., & Purnomo, T. (2022). Efektivitas Hydrilla verticillata dan Lemna minor sebagai Fitoremediator LAS pada Deterjen Limbah Domestik. LenteraBio, 11(2): 263-272.
Firmansyah, R. M. L., dan Situmorang, C. (2019). Pengaruh Waktu Kontak Terhadap Efektifitas Fitoremediasi Fosfat dan COD Dengan Eceng Gondok (Eichornia crassipes) dan Kiambang (Salvania natans) pada Limbah Cair Pencucian Pakaian. Jurnal TechLINK, 3(1): 17-23.
Ghassani, K. N., dan Titah, H. S. (2022). Kajian Fitoremediasi untuk Rehabilitasi Lahan Pertanian Akibat Tercemar Limbah Industri Pertambangan Emas. Jurnal Teknik ITS, Vol. 11 No. 1:
ISSN 2337 – 3539.
Haryati, M. (2012). Kemampuan Tanaman Genjer (Limnocharis Flava (L.) Buch.) Menyerap Logam Berat Timbal (Pb) Limbah Cair Kertas pada Biomassa dan Waktu Pemaparan yang berbeda. LenteraBio, 1(3): 131-138.
Herlambang, P., & Hendriyanto, O. (2015). Fitoremediasi Limbah Deterjen Menggunakan Kayu Apu dan Genjer. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan, 7 (2): 100 – 114.
Hibatullah, H. F. (2019). Fitoremediasi Limbah Domestik (Grey Water) Menggunakan Tanaman Kiambang (Salvinia molesta) dengan Sistem Batch. Tugas Akhir. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel.
Hidayati, N. (2013). Mekanisme Fisiologis Tumbuhan Hipearkumulator Logam Berat. Jurnal Teknik Lingkungan, Vol. 14 No. 2: ISSN 1411 – 318X.
Juwitanti, E., Ain, C., & Soedarsono, P. (2013). Kandungan Nitrat Dan Fosfat Air Pada Proses Pembusukan Eceng Gondok (Eichhornia sp.). Diponegoro Journal of Maquares, 2(4): 46-52.
Lestari, Y. P., & Aminatun, T. (2018). Efektivitas Variasi Biomassa Tanaman Hydrilla verticillata dalam Fitoremediasi Limbah Batik. Kingdom (The Journal of Biological Studies), 7(4): 233- 241.
Meiliasari, A. (2016). Efisiensi Penyisihan COD, BOD, dan Fosfat pada Air Limbah Laundry dengan Fluidized Bed Reactor (FBR) Menggunakan Effective Microorganism 4 (EM4).
Skripsi. Universitas Indonesia.
Ni’ma, N., Widyorini, N., & Ruswahyuni. (2014). Kemampuan Apu-Apu (Pistia Sp.) Sebagai Bioremediator Limbah Pabrik Pengolahan Hasil Perikanan (Skala Laboratorium).
Diponegoro Journal of Maquares, 3(4): 257-264.
Ni’mah, L., Anshari, M. A., dan Saputra, H. A. (2019). Pengaruh Variasi Massa dan Lama Kontak Fitoremediasi Tumbuhan Parupuk (Phragmites karka) Terhadap Derajat Keasaman (pH) dan
Penurunan Kadar Merkuri pada Perairan Bekas Penambangan Intan dan Emas Kabupaten Banjar. Jurnal Konversi, Vol. 8 No. 1: 55 – 61.
Noviana,L., dan Prinajati, D. (2021). Tingkat Toksisitas Limbah Laundry terhadap Ikan Mas (Cyprinus carpio). Laporan Penelitian Dosen. Universitas Sahid Jakarta.
Oktaviani, L. (2020). Fitoremediasi Logam Berat Seng (Zn) dengan Memanfaatkan Tanaman Apu – Apu (Pistia stratiotes) Menggunakan Sistem Batch. Tugas Akhir. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel.
Pamela, R. Z. N. (2020). Phytoremediation of lead on arid land: A review. Doctoral dissertation.
Uin Ar-Raniry).
Prahutama, A. (2013). Estimasi Kandungan DO (Dissolved Oxygen) di Kali Surabaya dengan Metode Kriging. Statistika, Vol. 1 No. 2: 9 – 14.
Putriarti, D. Mudloifah, I., Rosyidah, N. F., dan Putri, M. (2021). Kemampuan Hydrilla verticillate Sebagai Agen Fitoremediasi Linear Alkylbenzene Sulphonate (LAS) Detergen. Prosidong Semnas Bio: 1025 – 1035.
Raissa, D. G. (2017). Fitoremediasi Air yang Tercemar Limbah Laundry dengan Menggunakan Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) dan Kayu Apu (Pistia stratiotes). Tugas Akhir. Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Rosmiati, Arsyad, A., & Zubair, A. (2014). Fitoremediasi Logam Berat Kadmium (Cd) Menggunakan Kombinasi Eceng Gondok (Eichornia Crassipes) Dan Kayu Apu (Pistia Stratiotes) Dengan Aliran Batch. Jurnal Teknik Sipil. Universitas Hasanuddin.
Rukmi, D. P. (2014). Efektivitas Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) dalam Menurunkan Kadar Deterjen, BOD, dan COD pada Air Limbah Laundry (Studi di Laundry X di Kelurahan Jember Lor Kecamatan Patrang Kabupaten Jember). Skripsi. Universitas Jember.
Ruzzi, F., Irawan, A., & Lisha, S. Y. (2023). Uji Efektivitas Tanaman Salvinia molesta dan Eichhornia crassipes dalam Menurunkan Kadar BOD, COD, dan TSS pada Limbah Cair Tahu. Journal of Civil Engineering and Vocational Education, Vol. 10 No. 1: EISSN 2622 - 6774.
Sari, D. A., dan Sukanta. (2017). Kajian Kualitas Limbah Cair secara Anaerobik Melalui COD, BOD5, dan TDS: Studi Kasus pada PT JKLMN. Journal of Chemical Process Engineering, Vol. 02 No. 02: 52 – 56.
Setyowati, S., Nanik, H. S., & Erry, W. (2015). Kandungan Logam Tembaga (Cu) dalam Eceng Gondok (Eichhornia crasipes) Perairan dan Sedimen Berdasarkan Tata Guna Lahan di Sekitar Sungai Banger Pekalongan. Bioma, 7 (1): ISSN 1410 - 8801.
Shoimah, A. N. (2018). Perbedaan Waktu Kontak Media Batu Zeolit terhadap Penurunan Kadar Chemical Oxygen Demand Air Limbah Laundry CV. Wahyu Dewata. Skripsi. Politeknik Kesehatan Kemekes Denpasar.
Sundariani, N. (2017). Pemanfaatan Eceng Gondok (Eicchornia crassipes) Sebagai Pakan Cacing Tanah (Lumbricus rubellus). Skripsi thesis. Universitas Pasundan.
Titah, H.S., Astuti, A.D., Nursagita, Y.S., & Pratikno, H. (2022). Fitoremediasi pencemar limbah organik dan anorganik di wilayah pesisir menggunakan tumbuhan mangrove. Malang: MNC Publishing.
Utami, L. D. N., dan Rahayu, U. (2017). Kemampuan Tanaman Apu – Apu (Pistia stratiotes L.) Dalam Menurunkan Kadar Logam Berat Niker (Ni) Limbah Cair. Gema Lingkungan Kesehatan, 15 (1). https://doi.org/10.36568/kesling.v15il.576.
Wandhana, R. (2013). Pengolahan Air Limbah Laundry secara Alami (Fitoremediasi) dengan Ranaman Kayu Apu (Pistia Stratiotes). Skripsi. Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur.
Wandana, R., dan Laksmono, R. (2012). Pengguanaan Tanaman Kayu Api (Pistia stratiotes) untuk Pengolahan Air Limbah Laundry secara Fitoremediasi. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan, Vol. 5 No. 2: 60 – 64.
Wang, L., Ji, B., Hu, Y., Liu, R., & Sun, W. (2017). A review on in situ phytoremediation of mine tailings. Chemosphere, 184, 594–600.
Widowati, H., Sutanto, A., dan Sulistiani, W. S. (2018). Fitoteknologi dan Efek Fitoremediasi.
Metro: LPPM UMMetro Press.
Yuliani, R. I., Purwanti, E., dan Pantiwati, Y. (2015). Pengaruh Limbah Detergen Industri Laundry terhadap Mortalitas dan Indeks Fisiologi Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Seminar Nasional XII Pendidikan Biologi FKIP UNS 2015.
Lampiran
Gambar 1
Penimbangan berat tanaman yang akan digunakan
Gambar 2
Klorosis yang terjadi pada daun kayu apu
Gambar 3
Pengukuran pH pada air limbah
Gambar 4
Pengukuran DO air limbah menggunakan DO meter
Gambar 5
Pengukuran turbiditas air limbah menggunakan turbidity meter
Gambar 6
Pengukuran kadar fosfat menggunakan Hanna phosphate checker