Mental Accounting, Self Control, Self Efficacy dan Evaluasi Emotional Value : Bingkai Makna Kebahagiaan Tersembunyi
Pasca Pembelian
Rendi Ardika
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, IAIN Kediri Corresponding Author : [email protected]
Abstract
This study aims to understand financial treatment in the application of mental accounting related to self-control and self-efficacy. This reality often occurs in life but has not been balanced with emotional value evaluation to find the meaning of happiness. This study used the literature review method to take the 25 most relevant articles. The meaning of happiness depends on one's conception in describing it. This conception provides a frame that a person is happy with every decision he makes. Whether it's just to be happy born or even both. Self- love and self-rewarding emphasize happiness from someone's birth side. However, the addition of spiritualism in carrying out actions forms inner and outer happiness because happiness is formed by serving God.
Keywords: Mental-Accounting, Self-Control, Self-Efficacy, Emotional Value Evaluation.
Abstrak
Penelitian ini memiliki tujuan untuk memahami perlakuan keuangan dalam penerapan mental accounting yang berhubungan dengan self control, self-efficacy dan ini merupakan sebuah realitas yang sering terjadi dalam kehidupan akan tetapi belum banyak diimbangi dengan evaluasi emotional value untuk menemukan makna kebahagiaan. Penelitian ini menggunakan metode literature review mengambil 25 artikel yang paling relevan. Makna kebahagiaan tergantung dari konsepsi seseorang dalam memggambarkannya. Konsepsi ini memberikan sebuah bingkai bahwa seseorang bahagia dalam setiap keputusannya. Baik hanya sebatas bahagia lahirnya saja atau bahkan keduanya. Self-love dan self-rewarding lebih menekankan kebahagiaan dari sisi lahir sesorang. Akan tetapi dengan tambahan sikap spiritualisme dalam melakukan tindakan membentuk kebahagiaan lahir batin karena kebahagiaannya terbentuk dengan mengabdi kepada Tuhannya.
Kata kunci: Mental Accounting, Self-Control, Self-Efficacy, Evaluasi Emotional Value.
PENDAHULUAN
Pasca Pandemi Covid-19 kehidupan manusia mulai tertata kembali. Sedikit demi sediki mulai bangkit dari keterpurukan. Lockdown sebuah istilah yang sering terdengar saat pandemi melanda. Keterbatasan akses untuk melakukan kegiatan mulai terbuka Kembali.
Interaksi antar manusia mulai terjalin. Perekonomian Kembali menunjukkan gairahnya.
Kendati demikian dampak dari merebaknya wabah covid-19 masih dapat dirasakan.
Informasi yang diterima masyarakat terkait dengan wabah ini masih melekat diingatan.
Kenangan pahit yang masih melakat menyebabkan stigma negatif bagi masyarakat.
Keraguan dalam menjalin interaksi masih dapat dirasakan. perasaan takut, was-was dan perubahan drastis suasana hati yang sewaktu-waktu dapat terjadi mengakibatkan tingkat kebahagiaan tidak kunjung meningkat seperti sedia kala.
Meskipun dalam keadaan yang masih diliputi oleh kecemasan dan keraguan pengambilan keputusan pembelian harus tetap mengedepankan rasionalitas sehingga hasil keputusannya tidak bias. Pengamatan fenomena sosial ini memberikan sebuah gambaran kejadian yang sedang berlangsung di masyarakat. Kemudian timbul sebuah pertanyaan
sehingga upaya mencari makna kebahagiaan dan mengelola keuangan keluarga dapat berjalan beriringan secara efektif, efisien, dan saling memberikan support kearah yang positif (Brata et al., 2022).
Teori mental accounting sebenarnya bukan hal yang baru, konsep mental accounting dikenalkan oleh Thaler (1985) yang dijadikan sebagai pola perilaku konsumen yang didasari atas beberapa aspek penting yakni psikologi dan mikro ekonomi (Thaler. H, 1999). Hal ini memberikan pandangan yang mensiratkan bahwa seperti hal yang sama dengan sebuah organisasi/perusahaan. Sehingga, masing-masing orang melakukan pencatatan dan memberikan kotak-kotak khusus atau mengkategorikan pengeluaran kedalam pos-pos yang ada dalam bayangan mereka. Pada pikiran manusia sebenarnya telah terinstal sebuah sistem yang dapat melakukan proses akuntansi seperti yang dilakukan dalam perusahaan yang terdiri dari pembukuan dan pengambilan keputusan dalam melakukan konsumsi, beserta evaluasinya (Eldista et al., 2019).
Pikiran terbentuk dari berbagai hal sehingga muncul sebuah gagasan dalam alam sadar seseorang. Dalam menjalani hidup manusia mengandalakan pikirannya untuk melakukan banyak hal terutama agar dapat membuat rencana dan mencapai tujuan. Pikiran manusia akan dapat mempermudah dalam menjalani hidup karena dapat menciptakan sesuatu yang baru dari berbagai masalah yang dihadapi. Keahlian ini meliputi benak, imajinasi, ingatan, kehendak, serta sensasi. Mereka bertanggung jawab atas bermacam fenomena mental, semacam anggapan, pengalaman rasa sakit, keyakinan, kemauan, hasrat serta emosi. “the part of a person that makes it possible for him or her to think, feel emotions, and understand things” inilah sebuah gagasan terkait dengan pikiran yang termuat dalam Cambridge dictionary. Pikiran yang dimaksud terdiri dari mental activity (kognitif) baik dengan atau tanpa perasaan dan emosi. Mental-accounting merupakan sebuah proses dengan menggunakan akal sehat dan tingkat kepandaian seseorang untuk melakukan pencatatan, meringkas, melakukan analisis, dan membuat laporan dari transaksi/kejadian finansial untuk mencari jejak aliran dana dan berusaha mengendalikan pengeluaran.
Sebuah faktor yang sangat penting dalam mempengaruhi mental accounting yakni faktor psikologi. Psikologi ikut memberikan efek dalam mempengaruhi alam sadar manusia untuk menentukan keputusannya. Faktor psikologi tersebut meliputi kekonsistenan seseorang terhadap sesuatu dan attitude toward debt. Sangat dibutuhkan ditumbuhkannya suatu pemahaman kepada masyarakat modern mengenai kartu kredit adalah digunakan menurunkan hutang yang mereka punya (Hariyana, 2017). Bukan menjadi hal yang mustahil apabila keputusan individu dipengaruhi tingkat pendidikannya, sehingga sangat memungkinkan bagi mereka mendapat pengetahuan, pengalaman dan pemahaman dalam bentuk sikap, kecakapan dan kemampuan. Dharma (1997: 326), Maria dan Ratna (2011) memiliki pemahaman semakin tinggi pendidikan individu, akan selaras dengan makin luasnya pengetahuan dan keilmuannya yang dapat memperlihatkan kemampuan dalam mengambil keputusan.
Pada mental-accounting, beberapa komponen yang perlu diperhatikan antara lain akun yang spesifiik , framing effect, control diri, pengambilan keputusan, dan self-report, serta yang tidak kalah pentingnya yakni hedonic treadmill. Manusia menganggap ketika
melakukan pengeluaran maka itu dinilai sebagai pengalaman yang perlu untuk dievaluasi (Thaler. H, 1999). Tidak berbeda dengan system yang ada dalam akuntansi pada sebuah organisasi/perusahaan, masing-masing individu akan menganalisis cost benefit melalui ex- ante dan ex-post. Sehingga, manusia akan membuat perbandingan antara cost and benefit dari suatu keputusan dengan tujuan dapat menyimpulkan sejauh mana keputusan tersebut memberikan manfaat. Beberapa penelitian menggambarkan sekilas tentang pola kerja pikiran yang ternyata menyerupai cara kerja sistem akuntansi yang banyak diulas dalam literatur akuntansi konvensional atau mainstream (Guven & Sørensen, 2012; Thaler. H &
Sustein, 2008). Namun, berbagai studi tersebut tidak menelaah lebih dalam bagaimana dampak dan manfaatnya lebih jauh sejauh mana mental accounting dapat memberikan dukungan tentang upaya mendapatkan arti bahagian.
Teori tentang mental accounting sendiri mengacu pada kegiatan dalam membuat klasifikasi atau memberikan nilai yang berbeda oleh masing-masing individu pada jumlah uang yang sama, dengan dasar kriteria subjektif, seringkali dengan hasil yang kurang menguntungkan. Fenomena ini mengacu pada pengambilan keputusan yang tidak rasional dalam pengeluaran dan perilaku investasi mereka yang spekulatif. Menciptakan mental accounting yang sesuai dengan prinsip akuntansi membutuhkan perubahan dari segala lini secara fundamental, bukan parsial. Jika perubahan tersebut tidak menyentuh akar masalah yang ada, dampaknya tidak akan terlalu besar untuk dirasakan dan dikhawatirkan hanya menghasilkan ilusi.
Berbagai kejadian tentang fenomena mental accounting yang biasa terjadi dalam realitasnkehidupan sehari-hari yakni menentukan keputusan pembelian karena ada diskon.
Fenomena ini sering terjadi pada kalangan mahasiswa yang memiliki latarbelakang ekonomi yang kuat. Berbeda halnya dengan mahasiswa yang memiliki perekonmian yang pas-pasan dan menjalani kehidupannya di tempat kos. Tipe mahasiswa yang demikian ini tidak terpengaruh adanya diskon pembelian. Kedua, dapat dilihat dari segi sumber pendapatan mereka mengkategorikan uang saku tambahan dan uang bonus untuk current assets yaitu tabungan dan dana darurat. Rata-rata mahasiswa yang memilih tempat tinggal di kos memiliki benteng yang cukup kuat alias mental accounting yang terbangun dengan sendirinya. Mereka lebih mengedepankan pemenuhan kebutuhan dibandingkan dengan memenuhi gaya hidup.
Mengelola keuangan ibarat memegang “pisau bermata dua” dalam mempergunakannya harus penuh pertimbangan agar tidak menjadikan senjata makan tuan.
Mengedepankan gaya hidup dapat memunculkan dampak negatif bagi pengelolaan keuangan. Meskipun terkadang juga ada efek positif dari pemenuhan gaya hidup itu sendiri.
Semua tergantung bagaimana seseorang mengendalikan diri dalam membelanjakan uangnya. Mental accounting dan self-control merupakan serangkaian hal yang banyak dan harus terjadi dalam kehidupan. Amalia (2017) melakukan riset yang mirip dengan membandingkan wujud mental accounting pada mahasiswa akuntansi dan psikologi Universitas Airlangga. Penelitian serupa juga telah dilakukan Rospitadewi dan Efferin (2017) tujuan penelitiannya lebih kepada memahami pola fikir manusia dalam menemukan arti kebahagiaan dan spiritualitas dengan dasar teori mental-accounting.
Apabila dilihat dengan menggunakan kacamata konsep ekonomi mental accounting, kebahagiaan sebenarnya dapat tercapai ketika keputusan pembelian dapat memberikan sebuah keuntungan atau gain dan dapat mengoptimalkan fungsi nilai ekonominya. Akan tetapi, kebahagiaan mental manusia sesungguhnya jauh lebih kompleks dari kebahagiaan yang dipandang dari kacamata ekonomi. Gain atau loss ternyata bukanlah yang menjadi tujuan akhir keputusan pembelian, melainkan kemampuan kognitifi manusia dapat juga memahami unsur lain yang membentuk kebahagiaan, yaitu emosi dan religi. Untuk dapat mempertajam kognitif seseorang dalam evaluasi keputusan pembelian, penelitian ini akan berfokus pada prinsip mental accounting, Self Control, Self Efficacy dan evaluasi emotional value dari putusan pembelian yang dapat mengoptimalkan kepuasan baik lahir maupun batin pembelinya, yaitu evaluasi pemakaian sumber daya dalam bingkai rasa syukur kepada Tuhan dan evaluasi nilai kebermanfaatan dari penggunaan sumber daya bagi sesama.
KERANGKA TEORITIS Teori Utilitas
Teori utilitas adalah konsep dasar dalam ekonomi yang digunakan untuk menjelaskan bagaimana individu membuat keputusan konsumsi dan alokasi sumber daya mereka berdasarkan pada utilitas atau kepuasan yang mereka dapatkan dari berbagai pilihan. Teori utilitas digunakan untuk memahami perilaku konsumen dan pembentukan preferensi mereka. Utilitas sendiri merupakan istilah yang digunakan untuk mengukur kepuasan atau kebahagiaan yang diperoleh individu dari mengkonsumsi barang atau layanan tertentu.
Utilitas biasanya diukur secara abstrak dan tidak memiliki satuan ukur fisik. Dalam teori utilitas, diasumsikan bahwa individu mencoba untuk memaksimalkan utilitas mereka.
Konsep utilitarianisme John Stuart Mill tolak ukurnya bukan sekedar angka yang besar (kuantitatif), namun kualitas juga patut mendapat perhatian khusus. Hal demikian disebabkan ada posisi kebahagiaan yang levelnya lebih tinggi, dan ada juga posisi yang standarnya dangkal. Pendapat kedua Mill yakni kesehatan atau kesenangan fisik dan mental harus dimiliki oleh semua orang. Hal ini tidak hanya berlaku pada individu tetapi juga untuk mendeteksi kesenjangan sosial dalam diri mereka (Saepullah, 2020). Dalam memberikan penilaian terkait konsekuensi tindakan, Utilitarianisme bergantung pada beberapa teori nilai intrinsik. Sesuatu yang dianggap baik dalam dirinya sendiri, terlepas dari konsekuensi lebih lanjut, dan semua nilai lain diyakini memperoleh nilainya dari hubungan mereka dengan barang intrinsik ini sebagai alat untuk mencapai tujuan (Ni ’am, 2008).
Mental Accounting
Mental accounting sebuah konsep dalam ekonomi perilaku yang merujuk pada cara individu mengelompokkan, mengkategorikan, dan mengelola uang mereka secara psikologis atau mental. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Richard H. Thaler, seorang ekonom perilaku terkenal, dan telah menjadi topik penelitian yang penting dalam memahami bagaimana manusia membuat keputusan finansial.
Berikut adalah beberapa poin penting yang berkaitan dengan mental accounting:
1. Akun Mental: Individu cenderung mengelompokkan uang mereka ke dalam "akun"
mental yang berbeda. Contohnya, seseorang mungkin memiliki akun mental khusus untuk uang tabungan, uang untuk hiburan, uang untuk kebutuhan sehari-hari, dan sebagainya. Ini membuat mereka memperlakukan uang dalam setiap akun dengan cara yang berbeda.
2. Nilai Subjektif: Uang dalam setiap akun mental memiliki nilai subjektif yang berbeda. Misalnya, seseorang mungkin lebih berhati-hati dalam menghabiskan uang yang dianggap sebagai "uang tabungan masa depan" daripada uang yang dianggap sebagai "uang hiburan."
3. Transaksi dan Keputusan: Mental accounting memengaruhi cara individu membuat keputusan finansial. Mereka cenderung lebih memperhatikan akun mental tertentu saat membuat keputusan, bahkan jika itu tidak rasional dari segi ekonomi.
4. Efek Uang Terpisah: Individu cenderung merasa lebih puas atau lebih tersakiti tergantung pada dari mana uang itu berasal. Sebagai contoh, jika seseorang memenangkan uang dalam lotere, mereka mungkin cenderung menganggapnya sebagai "uang ekstra" yang lebih mudah dihabiskan daripada uang yang diperoleh melalui pekerjaan keras.
5. Bias dan Kesalahan Keputusan: Meskipun mental accounting dapat membantu individu dalam mengelola keuangan mereka, itu juga dapat menyebabkan bias dan kesalahan dalam pengambilan keputusan finansial. Misalnya, seseorang mungkin mendasarkan keputusan investasi pada asal-usul uang tersebut daripada faktor-faktor ekonomi yang sebenarnya.
6. Implikasi Praktis: Pemahaman tentang mental accounting memiliki implikasi praktis dalam perencanaan keuangan pribadi, manajemen investasi, dan pemasaran. Bisnis dapat memanfaatkannya untuk merancang strategi promosi dan penawaran yang lebih efektif.
Mental accounting merupakan satu aspek penting dalam pemahaman perilaku finansial manusia. Studi tentang mental accounting telah membantu menjelaskan mengapa orang seringkali membuat keputusan finansial yang mungkin tidak sepenuhnya rasional dan bagaimana faktor-faktor psikologis memengaruhi perilaku finansial sehari-hari.
Akuntansi mental lebih mengacu pada perilaku atau cara berpikir seseorang atau seseorang yang cenderung mengelompokkan dan memperlakukan uang secara berbeda tergantung orangnya atau bagaimana uang itu diperoleh. Misalnya, uang yang diperoleh melalui kerja harian, mingguan, atau bahkan bulanan akan digunakan. berbeda dengan uang yang diperoleh melalui undian, hadiah, bonus bahkan tunjangan (Silooy. M, 2015).
Akuntansi mental adalah suatu kondisi di mana kita mengatur uang ke dalam kategori yang berbeda sehingga nilai yang dirasakan berbeda dari nilai sebenarnya. Jika seseorang rasional maka ia dapat mengelola keuangannya secara efektif item demi item dan tidak mengubah keputusannya, namun jika seseorang tidak rasional maka perhitungan mental sangat penting dalam pengelolaan keuangan (Amir, 2016). Perhitungan mental ini mudah
dilakukan jika pengelolaan keuangan dilakukan dengan disiplin, namun terkadang ada kendala dalam mengelola keuangan berdasarkan keinginan manusia.
METODE PENELITIAN
Penelitian menggunakan metode tinjauan literatur (literature review). Bertujuan untuk mengkaji lebih dalam terkait Mental Accounting, Self-Control, Self-Efficacy dan Evaluasi Emotional Value : Bingkai Makna Kebahagiaan Tersembunyi Pasca Pembelian.
Mencari literature merupakan bagian dari menemukan bahan kajian dalam penelitian ini.
Berbekal beberapa kata kunci yang relevan dengan tujuan penelitian yaitu “mental accounting” dan “Self Contol”, “Emotional Value” dan “Makna Kebahagiaan”. Pencarian referensi/literatur dengan mencari dibeberapa database elektronik antara lain Google- Scholar, Scopus, ScienceDirect dan lain sebagainya. Proses menelaah literature melalui beberapa indikator yakni telah melalui proses peer-review, ditulis dengan menggunakan bahasa inggris maupun bahasa indonesia, artikel literatur publikasi lebih mengutamakan yang terbit diantara tahun 2012-2022, dan artikel tersebut dapat diunduh dalam format full text(Pdf).
Penggunaan keyword di atas, menemukan berbagai macam artikel terkait didasarkan judul dan abstrak yang relevan sesuai dengan kata kunci. Selanjutnya, peneliti mendownloadd full text dari artikel yang relevan dan membaca cepat setiap artikel untuk melakukan seleksi. Dari berberapa literatur yang bersumber dari berbagai database, penulis mengambil 25 artikel yang paling relevan dan dapat menjawab fokus dari penelitian ini.
PEMBAHASAN
Tinjauan literatur dilakukan dengan menggunakan penelitian yang mempertimbangkan hubungan antara akuntansi mental dan pengendalian diri, self-efficacy dan nilai-nilai emosional. Menggunakan kriteria inklusi yang ditentukan, 15 studi yang tersedia diperoleh dan pencarian literatur yang lebih dalam dapat dilakukan. Ditambah dengan lebih dari 25 artikel yang berkaitan dengan fokus penelitian.
Mental accounting pada dasarnya menunjukkan kesamaan yang sangat tinggi dengan sistem akuntansi yang dikembangkan dan digunakan di dunia bisnis. Pola fikir yang telah memiliki dasar mental accounting akan memiliki dampak kepada setiap langkah dalam pengambilan keputusan pada tataran individu maupun organisasi atau perusahaan (Rospitadewi & Efferin, 2017). Fenomena mental accounting pertama mengenai keputusan pembelian disebabkan oleh discount. Sebagian besar mahasiswa kos tidak terpengaruh adanya diskon dari seller yang menjual barang dagangnya. Apabila dilihat dari sisi gaya hidup, mereka yang menganut gaya hidup gemar berbelanja atau konsumtif tidak selalu menunjukkan berbelanja karena adanya discount event. Kedua, dari sumber pemasukan, mayoritas dari mereka memberikan klasifikasi terhadap uang saku tambahan dan uang bonus sebagai aset lancar yaitu untuk tabungan dan dana darurat. Ini memberikan gambaran bahwa beberapa mahasiswa akuntansi yang kos telah memiliki mental accounting yang cukup kuat dalam menghadapi rayuan discount pembelanjaan (Eldista et al., 2019).
Aspek lain yang turut memiliki andil yakni literasi keuangan yang dimiliki gen Z di daerah Priangan Timur mempengaruhi gaya hidup mereka dalam mengelola keuangan.
Begitu pula dengan mental-accounting yang dimiliki berpengaruh terhadap gaya hidup yang diterapkan sehari-hari. Sehingga gaya hidup yang diterapkan saat ini berpengaruh terhadap Perilaku keuangan pada generasi Z (Lestary Kusnandar et al., 2022). Setiap orang ternyata memiliki kerangka dan pola fikir yang disebut mental-accounting. Perilaku konsumtif tidak berpengaruh yang signifikan terhadap pengelolaan keuangan. Mental-accounting memiliki pengaruh signifikan terhadap pengelolaan keuangan. Apabila dilakukan tes secara simultan semua variabel bebas yaitu perilaku konsumtif dan mental accounting berpengaruh signifikan terhadap pengelolaan keuangan (Lely Cristanti et al., n.d.). pengetahuan dan keterampilan serta kemudahan akses terhadap teknologi informasi.
This survey also revealed that when a consumer makes a purchase, the first thing that comes to mind is the budget. According to research, people prefer to conduct mental calculations for all costs, and once they've done the math in their thoughts, they go through what we may call the accounting process. spirit, in which they examine the source of the money, reimburse these sources, and so on. However, the mental accounting process is generally very effective only in the case of complex purchases involving a high level of consumer involvement (Rizal, 2017). Temuan penelitian dari rizal ini juga mengungkapkan bahwa ketika konsumen melakukan pembelian, hal pertama yang terlintas dalam pikiran adalah anggaran. Menurut penelitian, orang lebih suka melakukan perhitungan mental untuk semua biaya, dan setelah mereka menghitung secara matematis, mereka menjalani apa yang kita sebut proses akuntansi. semangat, di mana mereka memeriksa sumber uang, mengganti sumber-sumber tersebut, dan sebagainya. Namun, secara umum, proses akuntansi mental sangat efektif hanya pada kasus pembelian kompleks yang melibatkan keterlibatan konsumen tingkat tinggi.
Mental accounting yang meliputi mental budgeting, self-control, dan short-term alignment. Ketiga indikator tersebut berpengaruh signifikan terhadap emosional, pengendalian diri, dan kepuasan individu. The experiment described here tested the spending behavior of cash payments in response to unanticipated discounts. However, the increased usage of credit and debit cards calls for further research into the variations in discount sensitivity between consumers who pay with cash and those who use credit (Ha, Hyun J. S, 2006). Untuk menguatkan temuan tersebut, sebagai contoh penggunaan kartu kredit yang tidak terkendali dapat disebabkan oleh kecenderungan setiap individu terhadap anggaran emosional yang besar, kurangnya pengendalian diri dan ekspektasi yang berlebih (Dewi, T.
H. R, (n.d).). Bukan hanya itu saja, variable demografis jenis kelamin ternyata memiliki hubungan yang signifikan juga dengan mental accounting. Variable demografis yang lain seperti halnya gender, dan pendapaatan terbukti mempunyai hubungan dengan mental accounting dalam pemanfaatan kartu kredit sedangkan umur tidak. Wanita maupun pria memiliki hubungan yang berbeda dalam mental accounting dalam pengambilan keputusan penggunaan kartu kredit. Wanita cenderung lebih sering terkena mental accounting karena wanita lebih konsumtif dan sering melakukan pembelanjaan secara impulsif (Agustina, 2019), (Ariany et al., n.d.).
Sebuah keputusan untuk melakukan investasi ternyata tidak luput dari konsep mental accounting. Sebuah riset yang telah dilakukan oleh (Abdani & Nurdin, 2019) dan (Anggini et al., 2020) menemukan bahwa mental accounting signifikan terhadap self efficacy sehingga tidak terbukti dapat memperkuat hubugan antara self efficacy dengan pengambilan keputusan untuk investasi. Investor menganggap bahwa sebuah keberhasilan investasi yang didapatkan merupakan hasil dari kemampuan diri mereka dalam menganalisis portofolio, dan mempertimbangkan untung rugi sebelum melakukan investasi, serta cenderung melakukan investasi pada perusahaan yang mereka kenal. Sehingga beberapa sikap tersebut menimbulkan bias dan mempengaruhi pengambilan keputusan investasi yang “irrasional”.
The findings demonstrated that loss aversion had little bearing on investors' investment decisions in the Indonesian capital market, although overconfidence and mental accounting did. Investors are confident in the investment decisions they have made since they have taken into account their knowledge and skills as well as easy access to information technology (Armansyah, 2021). Temuan ini menunjukkan bahwa keengganan terhadap kerugian tidak banyak berpengaruh terhadap keputusan investasi investor di pasar modal Indonesia, meskipun sikap terlalu percaya diri dan mental akuntansi berpengaruh besar terhadap keputusan investasi investor di pasar modal Indonesia. Investor yakin terhadap keputusan investasi yang diambilnya karena mempertimbangkan
Apabila dihubungkan dengan indikator perencanaan jangka panjang, keluarga akuntan cenderung melakukan investasi dalam bentuk benda sedangkan keluarga non akuntan cenderung menentukan investasi dalam bentuk usaha yang bersifat produktif dan menghasilkan rupiah. Realitas akuntansi rumah tangga yang telah dilakukan oleh 8 pasangan terdapat perbedaan. Letak dasar perbedaan praktik akuntansi dalam rumah tangga tersebut dilatarbelakangi oleh pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki terhadap akuntansi (Yulianti et al., 2016).
Konsep investasi yang dimiliki oleh masyarakat awam ternyata berbeda dengan masyarakat yang memiliki literasi yang baik, konsep mental-accounting digunakan untuk membuat kategorisasi, mengelompokan keuangan untuk kebutuhan yang bersifat penting dan keuangan dengan kebutuhan yang bersifat kurang penting. Kebahagian para konsumen nomor buntut ini diperoleh pada saat masyarakat konsumen nomor buntut ini memenangkan undiannya (Cattravelly & Minarso, 2022).
Penelitian yang berkaitan dengan Mental Accounting sebenarnya sudah banyak dilakukan akan tetapi belum ada yang menemukan dengan pasti dan jelas kaitannya mental accounting, Self-Control, Self-Efficacy dan Evaluasi Emotional Value. Berbagai penelitian diatas merupakan bagian dari puzzle yang dapat digunakan untuk menggambarkan hubungan antara mental accounting, self-control, self-efficacy dan evaluasi emotional value.
Self-control dalam mental accounting idealnya memberikan Batasan-batasan diri terhadap setiap pengelolaan keuangan. Tujuan dari self-control ini seharusnya dapat menemukan rumusan dan membuat pos-pos pengeluaran yang dibutuhkan. Ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Thaler, R. H, 1999) yang menyatakan akun-akun mental yang terbentuk akan menjadi sebuah pola anggaran mental yang memiliki fungsi untuk mengendalikan tinggi rendahnya pengeluaran seseorang, akan tetapi tidak semua
orang memiliki pembatasan diri yang kuat. (Cristanti et al., 2021) melalui penelitiannya menemukan fakta yang cukup menarik bahwa mayoritas mahasiswa tidak mengedepankan merk dari suatu barang, status sosial, bahkan bagaimana iklan itu memberikan gambaran yang menarik tentang produk, promosi suatu produk juga tak terlepas dari point ini.
Fenomena ini dikaitkan dengan kemampuan mahasiswa untuk melakukan self-control secara baik seperti halnya pada saat membuat kerangka berfikir sehati-hati mungkin sebelum melakukan aksi atau mengambil keputusan dan lebih mengedepankan kebutuhan dari pada keinginan.
Sebaliknya apabila mahasiswa lemah dalam mengendalikan kontrol diri yang baik atau mempunya kontrol diri tidak menentu alhasil mahasiswa akan melakukan pembelian produk dikarenakan brand dan bukan kualitas, membeli barang sesuai dengan keinginan untuk meningkatkan status sosial, potongan harga maupun iming-iming mendapatkan tambahan barang secara gratis. Sebuah kendali diri yang tidak menentu akan menjadi penyebab mahasiswa tidak memiliki kemampuan untuk mengelola pola mawas diri sehingga akan mendahulukan barang yang memiliki merk terkenal tanpa melihat kegunaan atau kebutuhannya sebagai seorang mahasiswa, dan mampu melakukan sesuatu yang cenderung ekstrem seperti membohongi orang-tua, tak jarang ditemui juga yang mengunakan uang kuliah untuk membeli barang sesuai keinginannya (Anggreini & Mariyanti, 2014). Beberapa orang memiliki kecenderungan untuk berubah setiap saat, dan memiliki keraguan dalam menentukan keputusan. Terlebih dalam kondisi dimana adanya berbagai macam diskon barang yang ditawarkan. Apabila seseorang mengelami kejadian yang demikian maka hal inilah yang disebut dengan malleable mental accounting. Malleable terbentuk dari godaan eksternal yang menyebabkan self-control seseorang menjadi lemah (Cheema & Soman, 2006).
Fakta menarik dapat kita rasakan saat pandemic menjadi bencana internasional yang mewabah ke seluruh penjuru dunia. Usia bukan menjadi tolok ukur seseorang untuk menemui akhir perjalananya. Semua berlomba dan berusaha agar tetap dapat bertahan hidup.
Berbagai hal telah dilakukan agar pandemic dapat segera teratasi, diantaranya degan memberikan vaksin dan tetntunya social distancing yang ketat. Sebuah penelitian menemukan fakta bahwa pada saat seperti itu manusia cenderung untuk membuat framing yang relevan dan dapat diterima sebagai konteks mental dan rasional. Implikasinya pengeluaran asset harus memiliki fungsi nilai yang optimal dan efisien agar dapat mencapai kebahagiaan (Rospitadewi & Efferin, 2017; R.H. Thaler, 1999). Ilustrasinya, tekanan yang meningkat akibat target pekerjaan dan adanya social distancing adalah bagian dari konteks mental yang positif untuk menjustifikasi pengeluaran tambahannya walaupun penghasilan seseorang sedikit menurun selama pandemi.
Semakin cepatnya perkembangan teknologi memberikan akses kemudahan bagi setiap orang untuk mendapatkan informasi. Berbagai macam informasi tersedia di dunia maya, hanya dengan sekali klik maka akan muncul informasi yang diinginkannya. (Lidwina.
A, 2021) memberikan gambaran bahwa sebanyak 88,1% pengguna internet yang ada di Indonesia menggunakan internet untuk berselancar dalam situs e-commerce, presentase ini menjadi yang tertinggi di dunia dalam hasil survei “We Are Social” pada April 2021. Ini
membuktikan bahwa masyarakat Indonesia cenderung menggunakan internet untuk berbelanja. Keingintahuan terhadap produk akan memberikan efek peningkatan keinginan untuk memiliki produk tersebut. Masyarakat Indonesia tidak jarang menggunakan cara pembayaran pay-later untuk mendapatkan barang yang diinginkan. Kemudahan mendapatkan akses pay-later akan membuat self-control seseorang terhadap pengeluaran semakin menurun. (Dewi. T) Mental accounting yang meliputi mental budget, self control dan short term orientation ketiga indikator tersebut mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penggunaan kartu kredit. Ini berarti penggunaan kartu kredit menjadi tidak terkendali atau dapat dikatakan melebihi anggaran yang telah disusun. Kejadian demikian disebabkan dari kecenderungan tingginya mental budget, kurangnya self-control, dan orientasi jangka pendek dalam setiap diri individu.
Bukan hanya itu saja, terkadang ada istilah self-love yang menjadi salah satu hal yang mempengaruhi mental accounting. Self-love menjadi titik tolak balik dari self-control, karena pada konsepnya self-love akan memberikan dorongan kepada individu untuk tidak berpikir panjang dalam mengeluarkan uang. Faktor utamanya yakni adanya sebuah keinginan yang mendasar untuk mengapresiasi diri (self-rewarding). Sebagai contoh seseorang akan membelanjakan Sebagian uangnya untuk bersenang-senang, nonton bioskop, berbelanja apapun yang disenangi dan lain sebagainya atau generasi milenial menyebutnya healing. Keadaan seperti ini akan terjadi pada seseorang yang telah mengalami penatnya pekerjaan yang ia hadapi dan tuntutan kerja yang semakin tinggi. Puncaknya dia akan mendapatkan gaji sebagai imbalan atas kerja kerasnya. Kemudian hal ini akan memberikan efek kepada psikologis individu untuk segera membelanjakan uangnya demi kesenangan pribadi. Hal lain mengenai self-love ini dibuktikan dari penelitian (Brata et al., 2022) setelah melakukan dan menyelesaikan tugas atau pekerjaan yang sangat sulit, seseorang selalu memberikan dirinya self reward. Pesan yang ingin disampaikan dalam konsep ini yakni apresiasi terhadap diri sendiri atau self rewarding dengan caranya masing-masing agar terhindar dari mental illness dan dapat beraktivitas dengan kondisi psikologis yang sehat.
Self-Love ini dapat dipandang menjadi sesuatu yang positif ketika dapat memberikan manfaat, sebaliknya self-love juga dipandang sebagai sesuatu yang dapat mengacaukan anggaran apabila seseorang terlalu over dalam menyikapi self-rewarding. Inilah yang sering sekali orang katakana bahwa posisi self-love menjadi pos yang ambigu dalam penyusunan sebuah anggaran. Thaler (1999) dan Zhang & Sussman (2018) berargumentasi bahwa ketidakmampuan mental accounting seseorang dalam mengidentifikasi akun yang sesuai untuk pos ambigu demikian akan memicu overspending. Saat individu mampu untuk menemukan self-love maka disitulah mereka mendapatkan kepuasaan dan kebahagiaan atas suatu pencapaian yang telah ia lakukan. Dengan kata lain, seseorang rela untuk mengeluarkan uang meskipun diluar pos yang telah ditentukan hanya untuk mendapatkan kepuasaan dari jerih payahnya, walaupun mereka mengetahui akibat dari tindakannya.
Seseorang yang menginginkan self-rewarding tinggi mengindikasikan bahwa individu tersebut sedang dan dipastikan mengalami tingkat stress yang tinggi juga. Sisi positifnya, seseorang dengan tingkat stress dan tekanan yang tinggi justru melahirkan individu dengan etos kerja yang tinggi. Hal ini dapat kita pahami pada saat-saat tertentu
terutama pada saat tertekan seseorang akan mengeluarkan segala kemampuannya. Yang memperkenalkan Self-efficacy pertama kali yakni (Bandura, 1978) mengemukakan self efficacy merupakan justifikasi sesorang terhadap kemampuanna sendiri dalam mencapai titi8k puncak maksimal dia kerja yang diharapkan atau ditentukan, selanjutnya hal ini secara tidak sadar akan berpengaruh kepada tindakan yang akan dilakukannya.
Sejatinya didalam diri masing-masing individu akan muncul kemampuan dan keyakinan adanya rasa yang menantang serta bagaimana cara mengatasi sekaligus berusaha menguasai dan menyelesaikan tekanan yang sedang dialaminya agar dapat segera terselesaikan. Bandura dalam sebuah artikelnya mengatakan Self-efficacy memiliki tiga aspek yakni level/magnitude, generality, dan strength (Bandura, 1986). Self-efficacy berkaitan erat dengan subjective well being atau kebahagiaan. Apabila ada pertanyaan tentang tujuan hidup, beberapa individu akan memberikan jawaban yakni kebahagiaan.
Kebahagiaan secara tidak langsung menjadi bentuk kebutuhan yang dimiliki setiap individu walaupun tingkatannya berbeda. Setiap orang memiliki kriteria untuk memberikan sebuah penilaian terhadap tingkat kebahagiaannya sendiri. Setiap keadaan yang dialami masing- masing individu akan membentuk berbagai tingkatan kebahagiaan, baik untuk sesuatu yang sederhana atau harus menyelesaikan tugas yang sangat berat. Meskipun merupakan hal yang ingin dicapai, tapi bahagia tidak mudah dimiliki pada kehidupan ini. Banyak orang yang belum merakan bahagia sehingga berusaha mencari cara agar mencapai kebahagiaan.
Penelitian mengenai aspek self-efficacy dalam menemukan kebahagiaan, membuat individu dapat memahami arti dan bentuk kebahagiaan. Self efficacy yang baik membantu individu untuk berkembang lebih baik. Individu dengan self efficacy tinggi menyelesaikan setiap hal atau kegiatan dengan lebih baik, sehingga akan menimbulkan rasa senang atau kepuasan dan memunculkan rasa bahagia.
Self-efficacy memiliki peran pula dalam menentukan hal-hal apa saja yang penting dalam menentukan keputusan penggunaan anggaran. Benteng yang kuat untuk masing- masing individu dalam menerapkan mental accounting. Ini berlaku sebaliknya ketika seseorang dalam mengelola self-efficacy maka penggunaan anggaran semakin tidak dapat dikontrol. Sebagai contoh dia akan membelanjakan lebih dari separuh uang yang dihasilkan hanya untuk memenuhi self-love, yang berarti menginginkan kebahagiaan sesaat yang tinggi dan tidak dapat dikontrol. Seseorang yang memiliki intelegency tinggi akan dapat manfaat kemampuannya untuk mengukur seberapa besar tingkat kebahagiaan yang ingin dicapai.
Mental accounting tidak terjadi dalam kondisi pemilihan alternatif keputusan yang berarti memberikan nilai yang sama apabila diukur dalam bentuk rupiah (misalnya alternatif untuk membuat pilihan mengambil tabungan atau membuka kredit; membeli tiket dan mengeluarkan uang) karena evaluasi terhadap sebuah keputusan yang telah diambil akan dilakukan secara integrasi. Kebanyakan orang akan memiliki anggapan bahwa dua alternatif yang harus diambil memiliki nilai yang sepadan. Akan tetapi, dalam sebuah pilihan keputusan salah satunya pasti mempunyai nilai yang berbeda dan dapat dinilai serta diukur secara rupiah/uang (misalnya berhemat saat membeli pakaian atau benda yang lain dengan cara melakukan pembelian ke lain tempat). Evaluasi atas pengambilan keputusan yang telah dilakukan dengan cara segregasi, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat sebuah
fenomena mental-accounting. Evaluasi pengambilan keputusan yang dilakukan secara segregasi akan memunculkan titik abu-abu dalam menentukan keputusan. Dengan demikian, seseorang harus melakukan de-biasing dengan cara mengkalkulasikan dan memberikan konversi atas setiap alternatif keputusan dalam nilai uang. Ketika hal ini dilakukan setidaknya akan terjadi treatment yang 50:50 antara pilihan keputusan sehingga tidak terdapat “a hard-to- evaluate attribute” yaitu pilihan yang tidak mempunyai nilai yang dapat diukur secara moneter dan “an easy-to-evaluate attribute” yaitu mempunyai nilai yang dapat diukur secara moneter (Supramono & Damayanti, 2013). Pada akhirmya, evaluasi keputusan akan dilakukan secara integrasi.
Kenyataanya, seseorang akan menemukan sebuah gagasan tentang suatu pembelian itu bernilai atau memiliki value ketika pembelian yang telah dilakukan dapat menjadi perantara dalam membangkitkan emotional value. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh (Rospitadewi & Efferin, 2017) menemukan bahwa emotional value meliputi materi, kenangan, suasana, atau pengalaman yang menjadikan seseorang merasa senang atau bahagia. Sayangnya, literatur sebelumnya tidak merinci bagaimana seseorang mengevaluasi emotional value dari setiap putusan keuangan yang telah dibuat. (Brata et al., 2022) dalam sebuah penelitian menemukan bahwa evaluasi emotional value dengan bersumber dari kesadaran spiritual yang dimiliki seseorang akan membentuk pertanggungjawaban atas pemanfaatan nilai barang yang diperoleh ke Sang Pemberi (Tuhan) dan pertanggungjawaban pemanfaatan nilai barang ke sesama dalam bentuk kebermanfaatan. Dengan demikian seseorang akan memiliki prinsip bahwa Tuhan telah memberikan berkah dan kenikmatan oleh karena itu semaksimal mungkin pemanfaatan sumber daya yang diperoleh harus dilandasi dengan rasa syukur dan tanggung jawab. Saat mendapatkan dan menemukan titik yang diinginkan maka dapat memunculkan sebuah kenikmatan yang beragam. Perasaan seakan terbebas dari sebuah beban dan bersyukur akan dirasakan saat sebuah usaha dan hasil keringat yang telah dilakukan memberikan akhir yang menguntungkan (Ardika, 2022).
Mensyukuri yang diperoleh dan dapat mengontrol keinginan yang berlebih untuk mendapatkan yang lebih lagi adalah salah satu cara yang sangat bijak dalam pengelolaan keuangan.
KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN
Lingkup tataran sosial, mental-accounting dimanfaatkan dengan tujuan mengkategorisasikan, memberikan pos-pos keuangan yang mereka punya yang dibagi menjadi 2, yaitu ; dana/keuangan untuk semua kebutuhan yang bersifat premier dan keuangan untuk kebutuhan yang bersifat skunder. Mental accounting sebenarnya dipengaruhi oleh berbagai aspek seperti halnya kondisi perekonomian seseorang, lingkungan kerja, lingkungan sosial, gender, dan tekanan yang dialaminya.
Setiap orang sebenarnya telah memiliki anggarannya masing-masing dalam mengelola keuangan. Akan tetapi pada situasi tertentu mengharuskan mereka untuk mengeluarkan Sebagian uangnya untuk membeli barang maupun jasa tertentu untuk memenuhi hasratnya.
Sebagai contoh membeli gadget bermerk untuk pengakuan status sosial. Terkadang seseorang rela mengeluarkan uang untuk bepergian kesuatu tempat wisata alam untuk
melepaskan kepenatan setelah mengalami tekanan kerja yang cukup tinggi. Dengan dalih self-love dan self-rewarding ini akan membuat kebenaran untuk melakukan hal tersebut dan akan melemahkan self-control terhadap mental accounting yang telah dibangun.
Sebaliknya seseorang dengan prinsip spiritualitas yang mumpuni akan berfikir dua kali untuk membelanjakan uangnya untuk memenuhi keinginannya. Hal ini disebabkan karena adanya sara pertanggungjawaban kepada Tuhan yang telah memberikan kenikmatan kepadanya. Rasa syukur akan memberikan satu hal yang sulit untuk diutarakan. Sehingga evaluasi emotional value yang ia rasakan tidak hanya secara horizontal akan tetapi juga adanya kepuasan dan ketentraman hati karena telah berjalan sesuai dengan ajaran spiritual yang ia miliki.
Penelitian ini terbatas pada literasi yang lebih berfokus pada kondisi psikologis seseorang setelah melakukan pembelian baik berupa barang maupun jasa. Sehingga aspek lain yang mendukung terjadinya tujuan pembelian menjadi kurang terlihat secara jelas.
Referensi yang terbatas menjadikan penelitian ini kurang mendalam dalam memahami
“kebahagiaan yang sebenarnya”.
Alangkah baik kiranya untuk penelitian yang akan datang dilakukan dalam sebuah eksperimen. Hal ini diperuntukkan guna menunjukkan bahwasannya evaluasi emotional value ini sangat diperlukan bagi setiap orang. Selain untuk membentuk dinding yang kokoh dalam membentuk self-control. Alasan yang lain karena dapat digunakan untuk memprediksi pengeluaran yang tak terduga. Sehingga tidak ada penyesalan bagi seseorang setelah melakukan transaksi yang mengeluarkan sejumlah uang. Terlebih lagi transaksi yang didasarkan atas emosional sesaat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdani, F., & Nurdin, F. (2019). Kausalitas Mental Accounting dan Pengambilan Keputusan Investasi Mesin Produksi: Suatu Studi Eksperimen. Akuntabilitas, 12(2), 145–156.
https://doi.org/10.15408/akt.v12i2.11703
Agustina, Y. (2019). Performance of SME Managers with Accounting System Management as Intervening. repository.lppm.unila.ac.id. http://repository.lppm.unila.ac.id/id/eprint/20759 Amir, T. (2016). Corporate Entrepreneurship & Innovation Melejitkan Semangat
Intrapreneurship di Organisasi. PT. Kharisma Putra Utama.
Andrea Lidwina. (2021, April). Penggunaan E-Commerce Indonesia Tertinggi di Dunia.
Katadata.Com.
Anggini, N. D., Wardoyo, C., Wafaretta, V., Akuntansi, J., & Ekonomi, F. (2020). Pengaruh Self-Attribution Bias, Mental Accounting, dan Familiarity Bias terhadap Pengambilan Keputusan Investasi Mahasiswa Akuntansi. Jurnal Riset Bisnis Dan Investasi, 6(3).
Anggreini, R., & Mariyanti, S. (2014). Hubungan Antara Kontrol Diri Dan Perilaku Konsumtif Mahasiswi Universitas Esa Unggul. Jurnal Psikologi Esa Unggul, 12(01), 34–42.
Ardika, R. (2022). Laba Menarik Ketika Tepat Dalam Mengiteprestasikan Meningkatkan Kesejahteraan atau Memunculkan Keserakahan (Studi Fenomenologi pada Pedagang Di Sekitar Kota Kediri). Proceedings of Islamic Economics, Business, and Philanthropy, 1(1), 89–
Ariany, L., Katarina, M., Wiharjo, K., Ekonimika, F., Universitas, B., Setya, K., & Salatiga, W. (n.d.). Mental Accounting dan Variabel Demografi : Sebuah Fenomena Pada Penggunaan Kartu Kredit (Linda Ariany Mahastanti dan Katarina Kumalasari Wiharjo) MENTAL ACCOUNTING DAN VARIABEL DEMOGRAFI : SEBUAH
FENOMENA PADA PENGGUNAAN KARTU KREDIT.
http://en.wikipedia.org/wiki/Prospect_theory
Armansyah, R. F. (2021). Over Confidence, Mental Accounting, and Loss Aversion In Investment Decision. Journal of Auditing, Finance, and Forensic Accounting, 9(1), 44–
53. https://doi.org/10.21107/jaffa.v9i1.10523
Bandura, A. (1978). Self-Efficacy: Toward a Unifying Theory of Behavioral Change.
Advances in Behaviour Research and Therapy, 1(4), 139-161. Biyanto, F. (2001).
Hubungan Pembing, 1(4), 139–161.
Bandura, A. (1986). Sosial Foundation oh Thought and Action.
Brata, H., Hartiningsih, D. M., & Dosinta, N. (2022). MALLEABLE MENTAL ACCOUNTING DAN MAKNA KEBAHAGIAAN SELAMA PANDEMI COVID-19.
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 13 (1), 16–31.
Cattravelly, P. V, & Minarso, B. (2022). MENTAL ACCOUNTING, ILUSI KEBAHAGIAN PADA KONSUMEN NOMOR BUNTUT ATAU TOGEL.
Cheema, A., & Soman, D. (2006). Malleable Mental Accounting: The Effect of Flexibility on the Justification of Attractive Spending and Consumption Decisions. Journal of Consumer Psychology, 16(1), 33–44. https://doi.org/10.1207/s15327663jcp1601_6 Cristanti, I. L., Luhsasi, D. I., & Sitorus, D. S. (2021). Pandemi Covid-19: Pengaruh Perilaku
Konsumtif dan Mental Accounting Terhadap Pengelolaan Keuangan Mahasiswa FKIP
UKSW. Jurnal Akuntansi Dan Pajak, 22(1), 128.
https://doi.org/10.29040/jap.v22i1.2690
Dewi, T. H. R. (n.d.). PENGARUH MENTAL ACCOUNTING DAN PSYCHOLOGICAL FACTORS TERHADAP PERILAKU KONSUMEN DALAM PENGGUNAAN KARTU KREDIT.
Eldista, E., Jember, U., & Hisamuddin, N. (2019). MENTAL ACCOUNTING:
MEMAKNAI KEBAHAGIAAN DARI SISI LAIN GAYA HIDUP MAHASISWA KOS. In Jurnal Akuntansi Universitas Jember (Vol. 17, Issue 2).
Guven, C., & Sørensen, B. E. (2012). Subjective Well-Being: Keeping Up with the Perception of the Joneses. Social Indicators Research, 109(3), 439–469.
https://doi.org/10.1007/s11205-011-9910-x
Ha, H. H., Hyun, J. S., & Pae, J. H. (2006). Consumers’ “mental accounting” in response to unexpected price savings at the point of sale. Marketing Intelligence and Planning, 24(4), 406–416. https://doi.org/10.1108/02634500610672134
Hariyana, R. D. T. (2017). PENGARUH MENTAL ACCOUNTING DAN PSYCHOLOGICAL FACTORS TERHADAP PERILAKU KONSUMEN DALAM PENGGUNAAN KARTU KREDIT. Jurnal Penelitain Ekonomi Dan Akuntansi, 2(3).
Lely Cristanti, I., Iga Luhsasi, D., & Sambara Sitorus, D. (n.d.). PANDEMI COVID-19:
PENGARUH PERILAKU KONSUMTIF DAN MENTAL ACCOUNTING
TERHADAPPENGELOLAAN KEUANGAN MAHASISWA FKIP UKSW.
http://jurnal.stie-aas.ac.id/index.php/jap
Lestary Kusnandar, D., Kurniawan, D., & Sahroni, N. (2022). Pengaruh Mental Accounting dan Literasi Keuangan Pada Generasi Z Terhadap Financial Behaviour Pada Masa Pandemi Covid 19 dengan dimediasi Gaya Hidup. In Valid Jurnal Ilmiah (Vol. 19, Issue 2).
Ni ’am, H. (2008). Utilitarianism: History, Concepts and Roles. Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional, 5(2), 89–108.
Rizal, S. (2017). Use of Mental Accounting in Purchase Decision Making with Reference to Demographic Characteristics of Consumer. International Journal of Scientific and Research Publications, 7(9). www.ijsrp.org
Rospitadewi, E., & Efferin, S. (2017). Mental Accounting dan Ilusi Kebahagiaan:
Memahami Pikiran dan Implikasinya bagi Akuntansi. Jurnal Akuntansi Multiparadigma. https://doi.org/10.18202/jamal.2017.04.7037
Saepullah, A. (2020). Konsep Utilitarianisme John Stuart Mill: Relevansinya terhadap Ilmu- ilmu atau Pemikiran Keislaman. Aqlania: Jurnal Filsafat Dan Teologi Islam, 11(2), 243–261.
Supramono, & Damayanti. (2013). Identifikasi Fenomena Mental Accounting: Antara Evaluasi Segregasi dan Integrasi. Jurnal Bina Akuntansi, 1(1), 39–50.
Thaler, H., & Sustein, C. (2008). Improving decisions about health, wealth, and happiness.
Constitutional Political Economy, 19(4), 356–360. https://doi.org/10.1007/s10602- 008-9056-2
Thaler, R. H. (1999). Mental Accounting Matters. Journal of Behavioral Decision Making, 12(3), 183–206.
Yulianti, M., Akuntansi, J., & Padang, P. N. (2016). Akuntansi dalam Rumah Tangga : Study Fenomenologi pada Akuntan dan Non Akuntan. In Jurnal Akuntansi dan Manajemen (Vol. 11, Issue 2). www.mediaberita.net