• Tidak ada hasil yang ditemukan

AD-DAKHIL DALAM KITAB TAFSIR AL-JAWAHIR DAN AL-KHAZIN

N/A
N/A
Nur Aini. My

Academic year: 2023

Membagikan "AD-DAKHIL DALAM KITAB TAFSIR AL-JAWAHIR DAN AL-KHAZIN"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

“AD-DAKHIL DALAM KITAB TAFSIR AL-JAWAHIR DAN AL-KHAZIN”

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Pada Mata Kuliah Ad-Dakhil Fii At-Tafsir

UIN SUSKA RIAU

Oleh :

Meidita Aulia Panjaitan (12030225681) Muhammad Hasbi Al-Fijni (12030215774) Nur Aini (12030225549)

Dosen Pengampu :

Ustadzah Derhana Bulan., M. Ag.

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

2022-2023

(2)

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan kami kemudahan untuk dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Ad-Dakhil Dalam Kitab Tafsir Al-Jawahir Dan Al-Khazin” ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Shalawat beriring salam tidak lupa pula kita curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, mudah-mudahan kita semua selalu mendapat syafa’at dan dalam lindungan Allah SWT.

Kehadiran karya ilmiah ini di tengah-tengah masyarakat pembaca sangat berarti, karena makalah mengenai Ad-Dakhil Dalam Kitab Tafsir Al-Jawahir Dan Al-Khazin yang telah disusun oleh Penulis secara ilmiah sebagai tugas kelompok secara referensi melalui kitab-kitab tafsir, buku, skripsi, artikel, jurnal dan beberapa sumber internet lainnya yang dibimbing oleh yang terhormat Ustadzah Derhana Bulan., M. Ag.

Perlu diketahui bahwa penyusunan makalah ini, pada hakekatnya, sebagai salah satu usaha sungguh-sungguh yang dilakukan oleh penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, petunjuk, motivasi, dan berbagai kemudahan lainnya selama proses belajar ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnan, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun guna hasil yang lebih baik.

Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembacanya dan dapat menjadi salah satu amal jariah bagi Penulis. Aamiin !

Pekanbaru, 20 Juni 2023

Kelompok 12.

(3)

ii DAFTAR ISI

Isi Halaman

HALAMAN JUDUL ... i KATA PENGANTAR ... ii DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1 B. Rumusan Masalah ... 3 C. Tujuan Penulisan ... 3

BAB II PEMBAHASAN

A. Ad-Dakhil Dalam Kitab Tafsir Al-Jawahir ... 5 B. Ad-Dakhil Dalam Kitab Tafsir Al-Khazin ... 8

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ... 13 B. Saran ... 13

DAFTAR PUSTAKA

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Al-Qur’an merupakan bentuk anugrah yang di diberikan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai petunjuk umat manusia hingga saat ini, tidak hanya itu Al-qur’an merupakan petunjuk, yang mana di dalamnya berisikan tentang hukum-hukum sejarah dalam masyarakat. Dan norma- norma tersebut tidak berubah seiring perubahan zaman.1

Untuk memahami isi-isi dalam Al-Qur’an dibutuhkan penafsiran dalam A-Qur’an. Dengan demikian seorang mufassir memiliki tugas dan tanggung jawab yang besar. Namun terkadang secara tidak sadar pemahaman seorang mufassir bertolak belakang dengan pesan yang terdapat dalam Al-Qur’an.

Pada zaman Rasulullah, para sahabat langsung menanyakan pada Rasulullah mengenai penafsiran. Meski demikian Rasulullah SAW memprediksi akan munculnya penyimpagan terhadap makna Al-Qur’an.

Penafsiran Al-Qur’an mulai berkembang sejak abad 2 H seiring berkembangnya peradaban ilmu pengetahuan, diawali dengan munculnya kitab Jami’ul Bayan fi Tafsir al-Qur’an atau Tafsir Al-Thabari. Karya Imam Ibnu Jarir ini dianggap sebagai rujukan utama di kalangan para mufassir, dan mendapat julukan marja’ul maraji’. Perhatian para ulama pada masa itu mulai terfokus kepada penafsiran yang diawali dengan menafsirkan Al- Qur’an menggunakan metode, pendekatan serta corak yang berbeda-beda sesuai dengan perkembangan peradaban ilmu serta sesuai dengan keadaan sosial masyarakat dan disiplin ilmu yang dikuasai oleh setiap mufassir. Jika dilihat dari sumbernya terbagi menjadi dua metode penafsiran; penafsiran yang bersumber dari periwayatan (tafsir bi alma’tsur), dan penafsiran yang

1 Manna Khalil al-Qathan, Studi Ilmu-Ilmu Alquran, ter. Mudzakir (Bogor:

Pustaka Litera Antar Nusa, 2009, hlm. 12.

(5)

bersumber dari akal yang dikenal dengan tafsir bi al-ra’yi. Dan tidak jarang juga ada mufassir yang menggabungkan antara dua metode tersebut.

Perbedaan dalam metode yang digunakan atau corak yang dipakai bukanlah suatu permasalahan, yang menjadi permasalahan adalah perbedaan penafsiran terlebih lagi jika terdapat dakhil di dalamnya.

Maka dari itu, penulis menilai pentingnya menganalisis dakhil tersebut dengan memfokuskan penelitiannya pada kitab tafsir al-Khazin karya ‘Ala al-Din Abu Hasan Ali Abu Muhammad Ibnu Ibrahi dan kitab tafsir al-Jawahir karya Thanthawi bin Jawhari al-Misri.

(6)

B. RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah pada makalah ini sebagai berikut:

1. Bagaimana ad-dakhil dalam kitab al-Jawahir?

2. Bagaimana ad-dakhil dalam kitab al-Khazin?

C. TUJUAN

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini sebagai barikut:

1. Untuk mengetahui ad-dakhil dalam kitab al-Jawahir 2. Untuk mengetahui ad-dakhil dalam kitab al-Khazin

(7)

BAB II PEMBAHASAN

A. AD-DAKHIL DALAM KITAB TAFSIR AL-JAWAHIR

Sebelum kita masuk pada pembahasan dakhil dalam kitab tafsir Al- Jawahir, kami memaparkan latar belakang kitab tafsir dan biografi mufassir.

Biografi Mufassir

Imam Thanthawi memiliki nama lengkap Thanthawi bin Jawhari al- Misri. Beliau diketahui lahir pada 1287 H/1862 M di wilayah timur negara Mesir, tepatnya di desa Iwadullah Hijazi dan wafat pada 1358 H/ 1940 M di Kairo Mesir. 2

Sebagaimana Imam Ghazali, Thanthawi juga berpendapat bahwa ilmu-ilmu sains dan teknologi adalah disiplin ilmu yang harus di pelajari oleh umat Islam. Selain menambah khazanah keilmuan juga sebagai alat untuk menepis anggapan orang-orang yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang bertentangan bahkan tidak setuju dengan disiplin ilmu tersebut dalam perkembangannya pada masa modern.

Ketertarikan Thanthawi terhadap ilmu pengetahuan tidak terbatas kepada ilmu sains dan teknologi saja, ilmu tafsir juga termasuk salah satu yang menarik perhatiannya Sehingga Thanthawi sangat produktif dalam menggagas ide-ide dan menyampaikan pemikirannya yang dari hal tersebut menghasilkan banyak karya tulis Antara lain:

1. Al-Taj al-Marsu’

2. Bahjat al-Ulum fi al-Falsafat al-Arabiyat wa Mawazinatuha bi al-Ulum al-Ashriyyah

3. Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an 4. Jawahir al-‘Ulum

2 Muhammad Ali Iyazi, Al-Mufassirun Hayatuhum Wa Manhajuhum, II (Tehran: Mu’min Quraish, 1386), hlm 751–52.

(8)

5. Al-Nizhom wa al-Islam

6. Nizhom al-‘Alim wa al-Umam 7. Usul al-‘Alim

8. Al-Hikmah wa al-Hukama’

9. Aina al-Insan

10. Al-Faraid al-Jauhariyah fi al-Turuq al-Nahwiyah3

Karya beliau yang berbicara tentang penafsiran Al-Qur’an adalah kitab tafsir al-Jawahir, kata al-jawahir dianalogikan sebagai mutiara yang berkilau (gemerlap) yang darinya bermunculan intan permata. Yaitu ayat- ayat (kauniyah) diumpamakan dengan mutiara sedangkan ilmi yang terkandung di dalam ayat tersebut adalah intan permata. Kitab ini lebih akrab dikenal dengan kitab Tafsir Thanthawi yang menggunakan tafsir ilmi sebagai pendekatannya.

Ad-Dakhil Dalam Kitab Al-Jawahir

Contoh penafsiran Thantawi yang terdapar dakhil di dalamnya adalah pada pada QS. Al-Baqarah ayat 61:

ماَعَط مىَلَع َِبِۡصَّن نَل مىَسوُمَيَ ۡمُت ۡلُ ق ۡذِإَو ٖ

دِحمَو ٖ ۢنِم ُضۡرَ ۡلۡٱ ُتِبۢنُ ت اَِّمِ اَنَل ۡجِرُۡيُ َكَّبَر اَنَل ُعۡدٱَف

ُلِدۡبَ ت ۡسَتَأ َلاَق ۖاَهِلَصَبَو اَهِسَدَعَو اَهِموُفَو اَهِئٓاَّثِقَو اَهِلۡقَ ب ٌۚرۡيَخ َوُه يِذَّلٱِب مَنَۡدَأ َوُه يِذَّلٱ َنو

ر ۡصِم ْاوُطِب ۡهٱ بَضَغِب وُءَٓبََو ُةَنَكۡسَم ۡلٱ َو ُةَّلِ ذلٱ ُمِه ۡيَلَع ۡتَبِرُضَو ۡۗۡمُتۡلَأَس اَّم مُكَل َّنِإَف ا ٖ

ٖ َنِ م

ِب َنوُرُف ۡكَي ْاوُناَك ۡمَُّنََِّبِ َكِلمَذ َِّۡۗللّٱ َنوُلُ تۡقَ يَو َِّللّٱ ِتمَيأَ ٔ

ِ ِبَّنلٱ ْاوَصَع اَِبِ َكِلمَذ ِۡۗ قَ ۡلۡٱ ِۡيَغِب َن ٔ

َنوُدَتۡعَ ي ْاوُناَكَّو ٦١

Artinya: Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia

3 Iyazi, Al-Mufassirun Hayatuhum Wa Manhajuhum, 752

(9)

mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya". Musa berkata: "Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta". Lalu ditimpahkanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi yang memang tidak dibenarkan. Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas.4

Thanthawi menyampaikan al-fawa’id al-thabi’iyah dalam ayat di atas dengan menggunakan penjelasan ilmu kedokteran modern dan metode pengobatan. Dengan disertai penjelasan metodelogi kedokteran di Eropa dalam pengobatan. Yaitu tentang kehidupan orang-orang Badui yang hidup di pedesaan atau pegunungan Eropa yang mengkonsumsi makanan yang tidak memiliki efek samping (manna wa salwa), lalu membedakannya dengan makanan yang dikonsumsi oleh orang-orang yang hidup di perkotaan, yaitu makanan-makanan instan, daging-daging, dan makanan lainnya yang diserti dengan polusi udara yang tidak lebih baik dan bersih dibandingkan di pegunungan dan sangat membahayakan kesehatan. Bahkan sebagian dari dampak yang ditimbulkan adalah menyebabkan obesitas remaja dan penyakit berbahaya lainnya.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulan bahwa penyataan akan kehidupan di pedesaan lebih baik daripada hidup di kota tidak sesuai dengan apa yang terjadi di kehidupan sekarang. Terlebih pada masa sekarang ini yang mana akses keluar masuk penduduk kota menuju desa dan sebaliknya sangatlah mudah. Serta informasi yang ada, pola dan gaya hidup juga dengan mudahnya menyebar ke pelosok daerah tak terkecuai barang-barang

4 Tim Al-Qosbah, Al-Qur’an Hafazan Metode 7 Kotak. (Bandung: Al-Qur’an Al-Qosbah, 2020), hlm 9.

(10)

yang mengandung bahan kimia dan lain sebagainya yang dianggap mencemari polusi dan mungkin membahayakan bagi kesehatan.32 Jika dilirik dari segi kesehatan, pola hidup yang sehat menjadi titik pembahasannya, tidak menutup kemungkinan bahwa penduduk desa dapat dikatakan tidak lebih baik dibandingkan penduduk kota jika mereka tidak menjaga pola hidup yang sehat, begitu juga sebaliknya. Dan bukan suatu kemustahilan bagi penduduk desa dan kota mendapat hidup sehat jika keduanya menjaga dan memiliki pola hidup yang sehat.

Contoh penafsiran lainnya yang di kritik oleh al-Dzahabi adalah penafsiran Thantawi pada ayat pertama dari surat Ali-Imran, yaitu ahruf al- muqaththa’ah dengan penjelasan yang luas tentang zat kimia yang berasal dari huruf hijaiyyah (ahruf al-muqaththa’ah) yang ada pada awal dari beberapa surat Al-Qur’an. Kemudian dia menjelaskan bahwa sesungguhnya huruf hijaiyyah memiliki arti seperti halnya Bahasa yang ada di bumi ini yang tidak dipahami kecuali oleh orang-orang yang menggunakannya (native speaker) atau dikembalikan ke kata asalnya seperti Bahasa Arab dan Bahasa lainnya. Tapi untuk yang tidak memiliki sharf, imla’ atau bukan diambil dari suatu kata maka tidak dapat dipahami kecuali dengan melakukan analisa terhadap huruf atau kata tersebut. Inilah yang disebut kaidah dalam suatu ilmu dan seni. Selain hal tersebut, al-Dzahabi juga menambahkan penafsiran Thantawi pada surat Taha ayat 5 dan 6 yang dikaitkan dengan cuaca (awan) dan ilmu listrik. Begitu juga kritik atas ayat 30 dari surat al-Anbiya’ yang pada penafsirannya beliau jelaskan tentang matahari dan tata surya. Dan penafsiran lainnya yang dinilai terlalu berlebihan dan memaksakan akan relevansi ilmiah atas makna ayat tersebut..5

Dari sini penulis menyimpulkan bahwa dalam penafsirannya, Thantawi dinilai menyimpang dari kaidah-kaidah tafsir dan menjelaskan sesuatu yang tidak relevan dengan ayat yang ditafsirkan, di antara kritik

5 Jauhari, Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an, 1350, 80–90; Departemen Agama RI, Al-Qur’an al-Karim Dan Terjemahannya, hlm 90.

(11)

terhadap karyanya; Thanthawi dalam penafsirannya, menjelaskan ayat Al- Qur’an secara lafziyah (tekstual) dan ringkas, menggunakan teori sains yang tidak sesuai dengan kaidah dan kandungan ayat dengan porsi yang sangat banyak untuk menunjukkan bahwa Al-Qur’an juga membicarakan sains.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan segala keluasan berfikir Thanthawi akan sains, dengan menerapkannya dalam porsi yang melimpah.

B. AD-DAKHIL DALAM KITAB TAFSIR AL-KHAZIN

Seperti pembahasan sebelumnya, sebelum masuk pada pembahasan mengenai dakhil dalam kitab tafsir At-Tahrir Wa At-Tanwir, kita akan penulis menguraikan sedikit mengenai biografi mufassir dan latar belakang kitab tafsir.

Biografi Mufassir

Al-Khazin atau yang memiliki nama lengkap ‘Ala al-Din Abu Hasan Ali Abu Muhammad Ibnu Ibrahi Ibnu Umar Ibnu Khalil al-Syaikhi al- Baghdadi al-Syafi’i al-Khazin, merupakan seorang cendikiawan muslim sekaligus seorang mufassir asal Baghdad. Ia lahir di Baghdad pada tahun 678 H dan wafat pada tahun 741 H (sedangkan dalam sampul kitab tafsir al- Khazin, disebutkan wafat tahun 725 H). Ia wafat di salah satu sudut kota Halb. Gelar al-Khazin diberikan kepadanya karena ia merupakan seorang penjaga kitab-kitab di perpustakaan Khanqah alSamistiyah, Damaskus. Ia dikenal sebagai seorang sufi, baik hati, serta muka yang cerah.6

Dari beberapa karya yang ia tulis, telah membuktikan bahwa ia banyak menguasai keilmuan agama. Diantara karyanya: Syarakh Umdatu al-Ahkam, Maqbul al-Manqul, Musnad al-Syafi’i, Musnah Ahmad, Muwatha’, Sunan Daruqutni yang ditulis sesuai bab serta Sirah Nabi. Untuk mengembangkan pengetahuan dan keilmuannya, al-Khazin pernah berguru

6 Muhammad Fadhil Amir dan Muhammad Rasyid Ridho, Analisa Lubab al- Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil Karya al-Khazin. (UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, 2018).

hlm 63.

(12)

kepada al-Qasimi ibn alMuhdzafar yang berada di Damaskus. Kemudian ia melanjutkan ke Mesir dan berguru kepada Wazirah binti Umar ibn As’ad Ummi Abdullah. Untuk belajar hadis ia pernah tercatat belajar ke Maghrib kepada al-Tsa’labi al-Jazair yang dikenal dengan nama Zaid Abdu al- Rahman ibn Muhammad ibn Makhluf.

Latar belakang intelektual yang dimiliki al-Khazin memang dapat dikatakan menakjubkan, sebagaimana pernyataan oleh Qadhi Syahbah bahwa al-Khazin merupakan seorang yang memiliki keahlian dalam berbagai disiplin ilmu yang tercermin dari hasil karya-karyanya. Selain keunggulan dalam bidang intelektual, al-Khazin yang merupakan seorang sufi juga memiliki kepribadian dan akhlak yang sangat santun.

Ad-Dakhil Dalam Kitab Tafsir Al-Khazin

Penafsiran Al-Khazin dalam Surah Al-Anbiya’ Ayat 83-84:

َينِِحِمَّرلٱ ُمَحۡرَأ َتنَأَو ُّرُّضلٱ َِنَِّسَم ِ نَّأ ٓۥُهَّبَر مىَدَنَ ۡذِإ َبوُّيَأَو۞

ۥُهَل اَنۡ بَجَت ۡسٱَف ٨٣ اَم اَن ۡفَشَكَف

رُض نِم ۦِهِب ةَۡحَِر ۡمُهَعَّم مُهَل ۡ ثِمَو ۥُهَلۡهَأ ُهمَنۡ يَ تاَءَو ۖٔ ٖ

ٖ َنيِدِبمَع ۡلِل مىَرۡكِذَو َنَِدنِع ۡنِ م ٨٤

Artinya: dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: "(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang".

Maka Kamipun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah.7

Dalam menafsirkan ayat ini, al-Khazin mengutip kisah-kisah yang bertentangan dengan akal dan risalah Islam. Ia memasukkan pemberitaan

7 Tim Al-Qosbah, Al-Qur’an Hafazan Metode 7 Kotak, hlm 329.

(13)

yang disampaikan oleh Wahab bin Munabbih yang berkata bahwa: “Nabi Ayub merupakan seorang laki-laki dari bangsa Rum (Romawi). Nama lengkapnya adalah Ayub bin Amoz bin Tarih bin Rum bin Ishak bin Ibrahim, ibunya merupakan keturunan daripada Nabi Luth bin Arom. Allah SWT memilihnya sebagai Nabi dan membentangkan bumi untuknya. Ia memiliki bangunan di Negeri Balqa, ibu kota Jawazim. Ia mempunyai sapi, kambing, kuda, keledai dan mempunyai harta yang berlimpah ruah, tanah yang berbidang-bidang, dan keturunan yang banyak. Ia juga mempunyai 500 orang budak. Dan Allah memberinya keturunan berupa lakilaki dan perempuan. Ia juga memberi makan anak-anak yatim, janda-janda janda dan juga memuliakan tamu.8

Ia senantiasa bersyukur atas nikmat Allah, senantiasa memenuhi kewajibannya kepada Allah dan enggan mengikuti iblis yang merupakan musuh Allah. Kemudian di langit iblis mendengar ucapan atau sholawat dari malaikat kepada nabi Ayub, begitupun Allah yang senantiasa menyebut nama Nabi Ayub. Iblis merasa cemburu sehingga ia merasa iri dan dengki kepada Nabi Ayub. Kemudian ia naik dengan cepat sehingga berada di langit dan dia berkata: “aku melihat perihal tentang Nabi Ayub. (Allah) telah memberinya nikmat dan Kau ‘afiatkan lalu dia memuji-Mu, lalu iblis berkata: “ujilah dia dengan Kau ambil seluruh harta ataupun nikmatnya pasti dia tidak lagi bersyukur dan beribadah kepada-Mu”. Lalu Allah berkata: “pergilah, Aku mempersilahkanmu wahai iblis untuk mengujinya lewat hartanya”. Lalu iblis berangkat dan mengumpulkan para syaitan dan jin untuk menguji Nabi Ayub.

Mana kala iblis melihat bahwasanya dia telah memusnahkan hartanya Nabi Ayub namun Nabi Ayub tetap tidak tergoyahkan imannya.

Lalu iblis kembali menghadap Allah dan berkata “wahai Tuhanku, sesungguhnya Nabi Ayub itu telah Kau berikan anak, bagaimana kalau aku menggoda Nabi Ayub lewat anaknya karena musibah yang menimpa lewat

8 Al-Khazin, Tafsir Lubab Al- Ta’wil Fi Ma’ani Al-Tanzil Jilid 3 (Dar Al-Kutub AlIlmiyah, Lebanon: 2004).

(14)

anak ini tidak akan bisa disandang oleh siapapun, lalu Allah menjawab

“silahkan kamu menggoda Nabi Ayub lewat anaknya”. Lalu berangkatlah iblis mendatangi anaknya, ketika itu anak-anaknya.

berada di istana lalu mereka (iblis) menggoncangkan istana tersebut sehingga istana tadi bergoncang lalu rubuh akhirnya menimpa anak-anak Nabi Ayub dan akhirnya meninggal semua. Lalu iblis datang kepada Nabi Ayub dan berwujud sebagai seorang penasehat dan berpenampilan seperti orang luka diwajahnya, lalu mengabarkan kepada Nabi Ayub bahwa anak- anaknya telah meninggal dunia.

Lalu Nabi Ayub bersedih dan menangis karna mendengar berita tersebut. Setelah itu ia mengambil segenggam tanah lalu berkata “andaikan ibuku tidak melahirkanku”. Lalu iblis pun bergembira. Namun seketika itu Nabi Ayub langsung sadar dan beristighfar dan Allah pun mengampuninya.

Lalu iblis pun merasa kalah lagi karena tidak berhasil menggoda Nabi Ayub.

Kemudian iblis kembali berkata kepada Allah, “wahai Tuhanku sesungguhnya Engkau telah memberi nikmat berupa harta, anak dan kesehatan badan kepada Nabi Ayub”, lalu iblis meminta ijin untuk menguji Nabi Ayub melalui kesehatan badannya dan Allah pun mengijinkannya.

Kemudian iblis pergi mendatangi Nabi Ayub, dimana ketika itu Nabi Ayub sedang bersujud, kemudian iblis meniup hidung Nabi Ayub dan muncullah penyakit gatalan diseluruh tubuhnya, bahkan karena sangat gatal ia menggaruk badannya dengan batu atau sesuatu yang kasar bahkan hingga dagingnya terlepas dan akhirnya membusu, dan akhirnya ia diusir oleh penduduk kampung dan ditempatkan disuatu tempat. Semua orang menjauhinya kecuali istrinya. Kemudian 3 orang sahabatnya melihat apa yang sedang menimpa dirinya dan ikut menjauhi Nabi Ayub.9

Lalu ada anak kecil yang membela Nabi Ayub atas ujian yang dideritanya, kemudian anak kecil itu berkata “Kalian tidak mengetahui dan juga tidak diperlihatkan oleh Allah. Penyakit ini bukan murka Allah atau

9 Ratu Suntiah dan Ruslandi, Nilai-Nilai Pendidikan dalam Kisah Nabi Ayub As

(Tafsir Q.S. Shad Ayat 41-44) Jurnal Perspektif, Vol.2, No.1, Mei 2018, hlm 54-57.

(15)

dihilangkannya kemulian Nabi Ayub. Allah memberikan ujian kepada orang-orang shiddiqin (orang yang benar) atau orang beriman itu bukan bukti bahwa Allah itu murka, namun ujian tersebut adalah untuk meninggikan derajatnya.10

Penulis simpulkan bahwa kisah israiliyat yang dikutip dari Wahab bin Munabbih ini tergolong dalam ad-dakhil. Secara eksplisit, kisah yang disebutkan di atas tidaklah masuk akal bahkan bertentangan dengan risalah Islam. Dimana dalam kisah israiliyat tersebut diceritakan dialog antara iblis dan Allah SWT., yang menggambarkan bahwa iblis iri kepada Nabi Ayub dan meminta Allah untuk mengujinya, lalu Allah mengikuti keinginan iblis untuk menguji keimanan Nabi Ayub, yang mana hal ini sangat bertentangan dengan sifat-sifat Allah.

Kemudian, penggambaran tentang penyakit yang diderita oleh Nabi Ayub dimana iblis hanya meniup hidung Nabi Ayub dan seketika Nabi Ayub menderita penyakit gatal yang sangat parah hingga kulitnya terlepas dan membusuk. Kisah ini sangat tidak masuk akal dan berlebihan. Secara nalar, segala ujian yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Ayub tersebut bukanlah didasarkan atas rasa iri iblis yang kemudian menginginkan ujian bagi Nabi Ayub. Akan tetapi, ujian-ujian tersebut adalah kehendak Allah yang diberikan untuk orang-orang terpilih agar mengetahui tingkat keimanannya, salah satunya kepada Nabi Ayub yang merupakan seorang Nabi pilihan Allah SWT.

10 Ratu Suntiah dan Ruslandi, Nilai-Nilai Pendidikan dalam Kisah Nabi Ayub As (Tafsir Q.S. Shad Ayat 41-44), hlm 54-57.

(16)

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam tulisan mengenai ad-dakhil dalam kitab tafsir al-Jawahir, kami menemukan dakhil dalam penafsiran surah Al-Baqarah ayat 61 dimana mufassir terlalu memaksakan penafsiran mengenai sains didalamnya, padahal menurut mufassir lain hal itu tidak sesuai dengan tupoksinya.

Kemudian dalam kitab tafsir al-Khazin, daam menafsirkan surah Al-Anbiya ayat 83-84 Secara eksplisit, kisah yang disebutkan di atas tidaklah masuk akal bahkan bertentangan dengan risalah Islam. Dimana dalam kisah israiliyat tersebut diceritakan dialog antara iblis dan Allah SWT., yang menggambarkan bahwa iblis iri kepada Nabi Ayub dan meminta Allah untuk mengujinya, lalu Allah mengikuti keinginan iblis untuk menguji keimanan Nabi Ayub, yang mana hal ini sangat bertentangan dengan sifat-sifat Allah.

B. Saran

Setelah kita dapat mengetahui tentang Ad-Dakhil dalam kitab tafsir semoga kita dapat memahami setiap apa yang dijelaskan didalamnya dan semoga kita tidak mengikuti penafsiran yang tidak sesuai dengan porsinya.

Mohon ma’af atas segala kekurangan dalam pembuatan makalah ini, kritik dan saran sangat dibutuhkan dalam pembuatan makalah selanjutnya agar lebih baik dan benar.

(17)

DAFTAR PUSTAKA

Ali Muhammad Iyazi, 1386. Al-Mufassirun Hayatuhum Wa Manhajuhum. Tehran: Mu’min Quraish.

Al-Khazin, 2004. Tafsir Lubab Al- Ta’wil Fi Ma’ani Al-Tanzi, Lebanon: Dar Al-Kutub.

Fadhil Muhammad Amir dan Muhammad Rasyid Ridho, “Analisa Lubab al- Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil Karya al-Khazin”. (UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, 2018). hlm 63.

Jauhari, Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an, 1350. Departemen Agama RI, Al-Qur’an al-Karim Dan Terjemahannya.

Khalil Manna al-Qathan, 200. Studi Ilmu-Ilmu Alquran, ter. Mudzakir. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa.

Suntiah Ratu dan Ruslandi, 2018. “Nilai-Nilai Pendidikan dalam Kisah Nabi Ayub As (Tafsir Q.S. Shad Ayat 41-44)” Jurnal Perspektif, Vol.2, No 1.

Tim Al-Qosbah. 2020. Al-Qur’an Hafazan Metode 7 Kotak. Bandung: Al-Qur’an Al-Qosbah.

Tim Penyusun Pedoman Skripsi (Edisi Revisi) Fakultas Ushuluddin Universitas Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. 2019. Pedoman Penulisan Skripsi (Edisi Revisi).

Yogyakarta: Magnum Pustaka Utama.

Referensi

Dokumen terkait