• Tidak ada hasil yang ditemukan

admin, 1. DIPA NUGRAHA 9230 9244

N/A
N/A
ruhaya aya

Academic year: 2024

Membagikan "admin, 1. DIPA NUGRAHA 9230 9244"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

https://jbasic.org/index.php/basicedu

Literasi Digital dan Pembelajaran Sastra Berpaut Literasi Digital di Tingkat Sekolah Dasar

Dipa Nugraha

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Indonesia E-mail: dipa.nugraha@ums.ac.id

Abstrak

Pembicaraan tentang literasi digital di Indonesia masih dominan pada keterampilan penggunaan teknologi komunikasi & informasi dan internet serta pencegahan dari pengaruh negatif yang ada. Artikel ini bertujuan memberikan rujukan tambahan di dalam kepustakaan literasi digital agar pembicaraan tentang literasi digital dapat diperluas tidak sekadar pada isu tersebut. Artikel ini adalah artikel tinjauan pustaka. Tinjauan pustaka dilakukan terhadap artikel-artikel yang diperoleh dengan metode survei internet melalui penelusuran dengan menggunakan kata kunci “literasi digital” melalui Google Scholar. Literatur lainnya di dalam pembahasan adalah peta jalan literasi digital dari Kominfo dan tulisan-tulisan akademisi internasional yang dipilih secara selektif berdasarkan jumlah kutipan tertentu melalui metode gelinding bola salju (snowballing). Hasil dari tinjauan pustaka berkenaan dengan literasi digital menghasilkan satu pendefinisian literasi digital sebagai seperangkat keterampilan (skill), pengetahuan (knowledge), pemahaman (understanding), dan kesadaran (awareness) yang dapat membuat seseorang untuk kritis, kreatif, produktif, bertanggung jawab, dan aman di dalam menggunakan teknologi informasi & komunikasi dan internet serta hadir ke dalam dunia digital sesuai dengan konteks kebutuhan dan atau lingkungan tertentu. Artikel ini juga sampai pada kesimpulan bahwa integrasi literasi digital di dalam pembelajaran di sekolah merupakan satu kemestian meskipun perlu dicermati pula akan adanya hambatan kesenjangan digital (digital divide) dalam konteks keindonesiaan.

Kata Kunci: literasi digital, pembelajaran sastra, sekolah dasar, kesenjangan digital.

Abstract

Talks about digital literacy in Indonesia are still dominant in the skills of using communication & information technology and the internet as well as prevention from its negative influences. This article aims to provide additional references in the digital literacy literature so that the discussion about digital literacy can be expanded beyond just those issues. This article is a literature review article. A literature review was carried out on articles obtained using the internet survey method through searches using the keyword “literasi digital” through Google Scholar. Other literature on digital literacy under discussion is the digital literacy roadmap from the Ministry of Communication and Information and the writings of international academics which were selectively chosen based on a certain number of citations through the snowballing method. The results of the literature review regarding digital literacy produce a definition of digital literacy as a set of skills, knowledge, understanding, and awareness that can make a person critical, creative, productive, responsible, accountable, and safe in using information & communication technology and the internet as well as being present in the digital world according to the context of certain needs and or environments. This article also concludes that the integration of digital literacy in learning is a must, although it is also necessary to pay attention to the existence of digital divide barriers in the context of Indonesia.

Keywords: digital literacy, literary learning, primary school, digital divide.

Copyright (c) 2022 Dipa Nugraha

Corresponding author :

Email : dipa.nugraha@ums.ac.id ISSN 2580-3735 (Media Cetak)

DOI : https://doi.org/10.31004/basicedu.v6i6.3318 ISSN 2580-1147 (Media Online)

(2)

PENDAULUAN

Berdasar hasil survei di 34 provinsi di Indonesia yang melibatkan lebih dari 1600 responden, status literasi digital penduduk Indonesia pada tahun 2020 masih berada pada status sedang dan masih perlu untuk ditingkatkan (KIC & Kominfo, 2020, p. 60). Sementara itu, rilis pers yang dikeluarkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kominfo) pada bulan Januari 2022 berdasarkan hasil survei tatap muka pada tahun sebelumnya yang melibatkan 10.000 responden dari 514 kabupaten/kota mengisyaratkan adanya peningkatan pada beberapa pilar literasi digital tetapi masih tetap pada tingkat sedang (Kominfo, 2022). Lainnya lagi adalah laporan dari Microsoft dan TRG (2021, p. 54) berkenaan dengan Digital Civility Index atau Indeks Keadaban Digital tahun 2021 yang menempatkan Indonesia di posisi yang sangat buruk yakni peringkat ke-29 dari 32 negara. Hasil survei-survei ini menunjukkan bahwa tingkat literasi digital di Indonesia dapat dikatakan masih rendah dan perlu ditingkatkan.

Di sisi lain, beberapa pembicaraan tentang literasi digital di Indonesia seolah-olah memberi kesan bahwa literasi digital hanyalah tentang keterampilan di dalam menggunakan teknologi komunikasi &

informasi (TIK) dan internet serta upaya mencegah efek negatif yang ada semisal pencegahan dari penyebaran kabar bohong atau hoaks serta kecanduan pada penggunaan internet pada hal-hal yang tidak berguna (mis.

Arrajiv, Wahyuningsih, Kartini, & Rahmawati, 2021; Assidik, 2018). Meskipun ada juga artikel yang membicarakan literasi digital dengan cakupan yang sedikit lebih luas yaitu penggunaan internet untuk kegiatan menciptakan dan menulis seperti bisa dilihat di dalam artikel Fernanda dkk. (2020) tetapi bahasan yang disajikan masih saja berorientasi pada kemampuan menggunakan internet untuk mencari informasi.

Padahal sesungguhnya literasi digital lebih kompleks dari sekadar keterampilan memanfaatkan TIK dan internet serta urgensi dari paparan hal-hal negatif yang ada di dunia maya dan upaya pencegahan dari kecanduan penggunaan internet untuk hal-hal yang tidak berguna.

Sebelumnya, tinjauan sistematis mengenai definisi literasi digital telah dilakukan oleh Limilia dan Aristi (2019) tetapi mereka belum memberikan definisi yang lebih jelas dari beberapa pendefinisian istilah literasi digital yang mereka temukan dari artikel-artikel yang mereka kaji. Diperlukan satu artikel yang dapat memberikan pemahaman yang utuh dan luas di dalam membicarakan literasi digital sekaligus definisi yang jelas dari istilah literasi digital. Kejelasan definisi dari istilah literasi digital diharapkan dapat menjadi pijakan di dalam meningkatkan literasi digital dan penelitian tentangnya di Indonesia. Dalam konteks seperti itulah, artikel ini lahir.

Selain itu, artikel ini juga akan mengulas urgensi pembelajaran literasi digital di sekolah dasar dan contoh penerapannya di dalam pembelajaran sastra. Ini didasarkan pada kenyataan akan masih kurangnya pembicaraan yang menautkan pembelajaran literasi digital di dalam pembelajaran mata pelajaran yang ada di sekolah dasar. Kebanyakan artikel yang berbicara pembelajaran literasi digital masih meletakkan literasi digital sebagai sesuatu yang terpisah dan belum terintegrasikan dengan pembelajaran mata pelajaran yang ada di sekolah dasar. Sesuai dengan latar belakang penulis yang mengajar dalam lingkup pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, artikel ini berusaha menyajikan contoh penautan pembelajaran literasi digital di dalam pembelajaran sastra yang dapat diterapkan di tingkat sekolah dasar.

METODE PENELITIAN

Artikel ini adalah artikel tinjauan pustaka atau literatur (literature review article). Di dalam artikel ini, pembicaraan yang ada terkait dengan satu konsep atau isu disintesiskan sehingga menjadi satu tulisan yang berguna bagi para peneliti lainnya di dalam menyediakan referensi terkait dengan istilah tertentu, ruang lingkupnya, kontroversi dan perbedaan yang mungkin ada terkait dengan penggunaan sebuah istilah, serta perkembangan diskursif dari sebuah istilah (Baumeister & Leary, 1997, p. 312). Artikel tinjauan pustaka atau

(3)

literatur juga bermanfaat di dalam memberikan penjelasan yang lebih mudah untuk dimengerti terhadap sebuah isu sekaligus memberikan pondasi yang lebih kuat di dalam pengkajian sebuah isu dalam usaha pengembangan ilmu pengetahuan (Paul & Criado, 2020).

Penelitian ini menggunakan metode survei internet sebagaimana sebelumnya telah dicontohkan oleh Crusoe (2016), Nugraha & Octavianah (2020), dan Bawden & Robinson (2020). Artikel-artikel yang menjadi objek analisis terkait dengan pendefinisian istilah literasi digital adalah artikel akademisi Indonesia yang diperoleh melalui pencarian dengan menggunakan kata kunci “literasi digital” melalui Google Scholar.

Artikel-artikel ini selanjutnya ditautkan dengan bahasan tentang literasi digital sebagaimana tertuang di dalam konsep pilar literasi digital Kominfo. Pembicaraan tentang literasi digital kemudian dilanjutkan dengan pembahasan yang terkait dengan literasi digital yang dapat ditemui di dalam tulisan-tulisan akademisi internasional yang setidaknya mendapatkan 30 kutipan. Tulisan-tulisan akademisi internasional ini diperoleh melalui metode gelinding bola salju (snowballing) dari referensi yang dipergunakan di dalam artikel-artikel akademisi Indonesia yang telah diperoleh sebelumnya dari metode survei internet. Metode ini di dalam tinjauan pustaka dapat dirujukkan pada tulisan Sayers (2007) dan Wohlin (2014). Sementara itu, pembahasan singkat tentang pembelajaran literasi digital di dalam pembelajaran sastra di sekolah dasar akan merujuk pada buku karya Len Unsworth (2005) dengan judul E-Literature for Children.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dengan menggunakan kata kunci “literasi digital,” ditemukan sembilan artikel teratas dari akademisi Indonesia yang muncul dari hasil penelusuran pada bulan Maret 2022 melalui Google Scholar. Artikel-artikel ini secara berturut adalah artikel tulisan Silvana & Darmawan (2018), Nurjanah, Rusmana, & Yanto (2017), Sutrisna (2020), Asari dkk. (2019), Sujana & Rachmatin (2019), Sahidillah & Miftahurrisqi (2019), Pratiwi &

Pritanova (2017), Kurnia & Astuti (2017), dan Kurnianingsih, Rosini, & Ismayati (2017).

Di dalam artikel pertama karya Silvana dan Darmawan (2018, pp. 147–148), literasi digital diartikan sebagai “kemampuan untuk mencari, mempelajari, dan memanfaatkan berbagai sumber media dalam berbagai bentuk.” Literasi digital menurut Silvana dan Darmawan (2018, p. 151) juga terkait dengan “kontrol individu terhadap media yang mereka gunakan untuk mengirim dan menerima pesan [di media sosial].”

Artikel kedua, garapan Nurjanah, Rusmana, & Yanto (2017, p. 119) mengutip definisi yang diberikan oleh Paul Gilster dalam buku Digital Literacy (1997, p. 215) bahwa literasi digital adalah “kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai format yang berasal dari berbagai sumber digital yang ditampilkan melalui komputer.” Masih di halaman yang sama, Nurjanah dkk. kemudian melanjutkan pendefinisian dari istilah literasi digital dengan merujuk pada pendapat David Bawden (2008) dalam Origins and Concepts of Digital Literacy yang melibatkan kelindan antara literasi komputer dan literasi informasi. Di dalam kelindan dua literasi yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari literasi digital ini, terdapat empat komponen utama di dalamnya yaitu kemampuan dasar literasi digital, latar belakang pengetahuan pengetahuan informasi, kompetensi utama literasi digital, serta sikap dan perspektif [atas] informasi.

Sutrisna (2020, p. 275) memberikan definisi literasi digital sebagai “kecakapan (life skills) yang tidak hanya melibatkan kemampuan menggunakan perangkat teknologi, informasi, dan komunikasi, tetapi juga kemampuan bersosialisasi, kemampuan dalam pembelajaran, dan memiliki sikap, berpikir kritis, kreatif, serta inspiratif [dalam lingkungan digital]” dengan merujuk dan mengolah beberapa pendapat seperti milik Gilster, Bawden, dan Belshaw terkait dengan literasi digital. Sementara itu, Asari dkk. (2019, p. 100) mengutip pendapat Setyaningsih dkk. (2019, p. 1203) yang menyatakan bahwa literasi digital adalah “ketertarikan, sikap dan kemampuan individu dalam menggunakan teknologi digital dan alat komunikasi untuk mengakses, mengelola, mengintegrasikan, menganalisis dan mengevaluasi informasi, membangun pengetahuan baru, membuat dan berkomunikasi dengan orang lain agar dapat berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat.”

(4)

Dengan mengolah pendapat Casey dan Bruce (2011, p. 84), Sujana dan Rachmatin (2019, p. 6) di dalam artikelnya yang merupakan artikel kelima dari sembilan artikel bahasan menyatakan bahwa literasi digital adalah “kemampuan untuk menggunakan, memahami, mengevaluasi dan menganalisis informasi dalam berbagai format dari berbagai sumber digital.” Di dalam literasi digital, menurut Sujana dan Rachmatin (2019, p. 6), ada tiga literasi yang tidak bisa dipisahkan yaitu literasi informasi, literasi media, dan literasi ICT (Information and Communications Technology) atau TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi).

Artikel kesembilan garapan Kurnianingsih dkk. (2017, p. 62) mengolah pendapat Paul Gilster (1997) di dalam memberikan definisi mengenai literasi digital. Menurut definisi hasil olahan ini, literasi digital diartikan sebagai “kemampuan menggunakan teknologi dan informasi dari piranti digital secara efektif dan efisien dalam berbagai konteks, seperti akademik, karier, dan kehidupan sehari-hari.” Definisi yang dipakai oleh Kurnianingsih dkk. ini sebenarnya lebih merupakan satu definisi yang tidak hanya merujuk pada pendapat Paul Gilster saja tetapi juga terlihat adanya tambahan dari pendapat Hague & Payton (2010, p. 19) yang menekankan literasi digital pada satu definisi yaitu “keterampilan, pengetahuan, dan pemahaman yang memungkinkan seseorang untuk kritis, kreatif, berlaku cerdas dan aman saat terlibat dengan teknologi digital di semua bidang kehidupan.” Apa yang disodorkan oleh Kurnianingsih dkk. ini dirujuk oleh artikel keenam milik Sahidillah & Miftahurrisqi (2019, p. 53).

Artikel ketujuh milik Pratiwi & Pritanova (2017) tidak terlalu jauh berbeda dengan artikel-artikel lainnya dari penelusuran dengan menggunakan Google Scholar. Mereka (2017, pp. 16–17) pada prinsipnya menuruti pendapat Paul Gilster dan David Bawden terkait dengan literasi digital. Hal senada juga dapat ditemui di dalam artikel kedelapan. Namun di dalam artikel kedelapan karya Kurnia & Astuti (2017, p. 152) ada tambahan penekanan dari definisi literasi digital. Dengan merujuk pada pendapat Jones dan Hafner (2012, p. 13), Kurnia & Astuti menambahkan cakupan dari definisi literasi digital pada sekumpulan praktik komunikasi, menautkan sesuatu, berpikir, dan mewujudkan diri atau mengada (being) yang terkait dengan media digital.

Sementara itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) di dalam laporan kajian peta jalan pengembangan literasi digital di Indonesia yang dipersiapkan oleh Deloitte Consulting dengan judul Roadmap Literasi Digital 2020-2024 (2021, p. 16) sebagaimana terdapati pada halaman 8-9 dalam buku laporan kajian peta jalan ini mengutip pada pada definisi istilah literasi digital yang diberikan oleh UNESCO (2018, p. 6), American Library Association atau ALA (2013, p. 2), dan DQ Insititute (2019, p. 14). Literasi digital di dalam peta jalan ini terlihat merupakan kombinasi dari kemampuan kognitif dan teknis, kematangan emosional, serta pemahaman etika di dalam menggunakan teknologi informasi dan komunikasi di dalam kehidupan sehari-hari.

Oleh sebab itulah, literasi digital menurut peta jalan ini kemudian menjadi seperangkat kemampuan yang memiliki empat komponen yaitu: 1.) kemampuan menggunakan teknologi digital (digital skill), 2.) budaya digital (digital culture), 3.) etika digital (digital ethics), dan 4.) literasi keamanan digital (digital safety).

Dengan metode gelinding bola salju atas referensi yang terdapati di dalam kesembilan artikel tersebut, ditemukan beberapa tulisan akademisi internasional yang mendapatkan kutipan lebih dari 30 yaitu tulisan milik Lankshear & Knobel (2015), Martin & Grudziecki (2006), Bawden (2001, 2008), Son, Park, & Park (2017), buku panduan literasi digital garapan Hague & Payton (2010), serta disertasi dari Belshaw (2012).

Pembahasan mengenai literasi digital dari tulisan-tulisan tersebut adalah sebagai berikut:

Lankshear & Knobel (2015) membahas istilah literasi digital berdasarkan dua hal yaitu definisi konseptual dan standarisasi seperangkat poin dalam upaya menormalisasi literasi digital. Setelah memaparkan pendapat Richard Lanham dan Paul Gilster berkenaan dengan literasi digital serta pandangan dari Global Digital Literacy Council (GDLC) dan Educational Testing Service Amerika Serikat (ETS) terkait dengan seperangkat set dari operasionalisasi literasi digital, Lankshear & Knobel (2015, p. 11) sampai pada kesimpulan bahwa di dalam arus utama pembicaraan literasi digital terdapat tiga hal yaitu: 1.) literasi digital dikaitkan dengan kompetensi di dalam pengelolaan informasi di dalam lingkungan TIK (Teknologi Informasi

(5)

dan Komunikasi) baik dalam konteks menciptakan maupun mengkomunikasikan, 2.) literasi digital dikaitkan dengan kompetensi untuk berinteraksi dengan informasi yang melimpah sehingga mampu secara kritis dapat mengidentifikasi validitas, kredibilitas, reliabilitas satu informasi, dan 3.) literasi digital dikaitkan dengan kemampuan dan keterampilan di dalam mengonsumsi dan memproduksi informasi secara efektif dari sumber informasi yang dapat diperoleh di dalam lingkungan TIK untuk dipergunakan sesuai dengan kebutuhan konteks latar (setting) atau peran (role).

Lankshear & Knobel (2015, p. 13) mengajukan kritik atas tiga hal yang menjadi arus utama pembicaraan literasi digital tersebut. Mereka menyatakan bahwa literasi digital seharusnya tidak dilihat sebagai satu literasi yang tunggal (unitary) dan mengkritik adanya batasan pada seperangkat set kompetensi atau keterampilan dari literasi digital. Literasi digital seharusnya dilihat sebagai praktik sosial dan konsep yang terpaut dengan kebermaknaan yang dimediasi oleh teks yang diproduksi, diterima, disebarkan, dipertukarkan melalui kodifikasi digital. Masih di halaman yang sama menurut Lankshear & Knobel, ada beberapa perbedaan dari praktik sosial dan konsepsi yang berkutat pada tindak penelusuran (searching), memilah dan memilih tautan (navigating link), mengevaluasi kredibilitas sumber informasi, dsb. Praktik sosial dan konsepsi literasi digital mahasiswa yang sedang menyusun skripsi, menyimak berita politik, melibatkan diri ke dalam forum ilmiah daring, bergabung ke dalam komunitas gaming daring, dan berbelanja barang secara daring tentu berbeda-beda. Jadi, literasi digital perlu untuk mulai dilihat tidak hanya sebagai satu paket tunggal. Dengan demikian, bahasan literasi digital di dalam formulasi kebijakan, pedagogi, dan penelitian yang terkait dengan pembelajaran di sekolah disarankan agar benar-benar dapat disesuaikan dengan konteks kebutuhan yang ada.

Martin & Grudziecki (2006, p. 250) merujuk pada tiga model evolusi literasi ala Claire Bélisle sebelum berbicara lebih jauh mengenai literasi digital; model fungsional, model praktik sosio-kultural, dan model pemberdayaan intelektual. Model fungsional menekankan pemahaman literasi sebagai keterampilan yang diperlukan oleh setiap individu sehingga ia dapat berfungsi secara efektif di dalam masyarakat. Model praktik sosio-kultural memberikan definisi literasi sebagai keterampilan yang terkait dengan konteks sosialnya sehingga seseorang disebut memiliki literasi bilasanya ia mempunyai akses pada struktur sosial, ekonomi, dan politik di dalam masyarakat. Model ketiga menekankan pengertian literasi sebagai sesuatu yang dapat memberdayakan pemiliknya, atau literasi sebagai sesuatu yang sifatnya transformatif.

Martin & Grudziecki (2006, pp. 250–253) kemudian memaparkan perkembangan istilah-istilah yang terkait dengan literasi digital. Dimulai dari munculnya istilah literasi komputer dan teknologi informasi pada akhir tahun 60-an. Disusul dengan hadirnya istilah literasi teknologi pada tahun 70-an dan literasi informasi pada akhir tahun 80-an. Selanjutnya ada tiga istilah lainnya yaitu literasi media, literasi visual, dan literasi komunikasi. Istilah literasi-literasi yang ada ini beberapa poinnya saling tumpang tindih dan konvergen satu sama lainnya terutama pada pendefinisian yang sebelumnya fokus pada penguasaan aplikasi kepada kekritisan, refleksi dan penilaian, serta identifikasi atas kemampuan kognitif.

Martin & Grudziecki (2006, p. 254) juga menyinggung pendefinisian literasi digital menurut European Comission yang merujuk pada kemampuan untuk menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (ICT, information communication technology) dan internet yang menjadi prasyarat di dalam kreativitas, inovasi, dan kewirausahaan serta kebutuhan setiap manusia sehingga ia dapat berpartisipasi serta memperoleh keterampilan dan pengetahuan pada abad 21. Masih di halaman yang sama, mereka juga membicarakan pendefinisian istilah literasi digital yang dilakukan oleh Paul Gilster. Menurut Paul Gilster (1997, pp. 1–2), literasi digital menekankan pada adanya kemampuan berpikir kritis dari penggunaan teknologi digital dan tidak sekadar pada kompetensi teknis, menekankan pada evaluasi kritis pada segala sesuatu yang bisa diperoleh dari dunia internet dan tidak sekadar pada kemampuan mengakses internet, serta menekankan pada adanya kebermanfaatan penggunaan literasi ini di dalam kehidupan sehari-hari.

(6)

Poin penting lain dari pembicaraan mengenai literasi digital yang disinggung oleh Martin & Grudziecki (2006, pp. 254–255) seperti dikemukakan oleh Menteri Riset dan Pendidikan Norwegia, SØby, bahwa literasi digital perlu ditautkan dengan penciptaan individu baik sebagai satu individu yang memiliki keunikan masing- masing dan sebagai anggota dari satu kebudayaan. Sampai pada akhirnya Martin & Grudziecki (2006, p. 255) memformulasikan definisi dari istilah literasi digital sebagai “the awareness, attitude and ability of individuals to appropriately use digital tools and facilities to identify, access, manage, integrate, evaluate, analyse and synthesize digital resources, construct new knowledge, create media expressions, and communicate with others, in the context of specific life situations, in order to enable constructive social action; and to reflect upon this process” atau “kesadaran, sikap, dan kemampuan individu untuk menggunakan secara tepat alat dan fasilitas digital untuk mengidentifikasi, mengakses, mengelola, mengintegrasikan, mengevaluasi, menganalisis, dan mensintesis sumber daya digital, membangun pengetahuan baru, membuat ekspresi media, dan berkomunikasi dengan orang lain, dalam konteks situasi kehidupan tertentu, sehingga memungkinkan [terjadinya] tindak sosial yang konstruktif; dan [kemampuan] untuk merefleksikan proses ini [semuanya].”

Definisi literasi digital yang diberikan oleh Martin & Grudziecki memang sangat panjang dan detail.

Sesudah penyodoran definisi yang panjang dan detail tersebut, Martin & Grudziecki (2006, pp. 255–

259) selanjutnya memilah literasi digital menjadi tiga jenjang atau tingkatan yaitu: 1.) kompetensi digital (digital competence), 2.) penggunaan digital (digital usage), dan 3.) transformasi digital (digital transformation). Kompetensi digital mencakup pada topik yang terdiri dari hal-hal yang paling dasar mulai dari pengenalan secara visual dan keterampilan mengoperasikan hingga kemampuan menerapkan pendekatan kritis, evaluatif, dan konseptual serta pemilikan sikap dan kesadaran berkenaan dengan dunia digital.

Penggunaan digital merupakan tingkatan di mana seseorang telah mampu menerapkan kompetensi digitalnya yang relevan dengan konteks atau situasi tertentu. Tingkatan ini meletakkan seseorang di dalam penggunaan digital yang terikat dengan komunitas atau lingkungan profesional atau bidang tertentu. Pada tingkatan tertinggi yaitu transformasi digital, seseorang atau sebuah organisasi telah berkembang sedemikian rupa sehingga memungkinkan terjadinya inovasi dan kreativitas sekaligus menstimulasi perubahan yang signifikan di dalam lingkup profesional dan atau ranah pengetahuan.

Sementara itu, Bawden (2001, p. 219) setelah menelusuri artikel sejak tahun 1980-an hingga tahun 1999 di dalam artikelnya yang mengulas berbagai konsep mengenai literasi informasi dan literasi digital menghasilkan temuan enam istilah yang saling silang sengkarut yaitu: 1.) literasi informasi, 2.) literasi komputer atau literasi tenologi informasi, 3.) literasi perpustakaan (yang dikaitkan dengan kemampuan mencari dan menggunakan informasi), 4.) literasi media, 5.) literasi network (jaringan komputer) atau literasi internet, dan 6.) literasi digital atau literasi informasi digital. Ia (2001, pp. 220–223) juga kemudian menunjukkan bahwa istilah literasi sendiri menghasilkan pendefinisian yang berbeda-beda dari beberapa ahli dan terkait dengan berbagai perbedaan seperti konteks waktu dan konteks budaya atau negara. Keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan seseorang untuk dapat dianggap sebagai literat atau melek satu literasi di suatu negara bisa berbeda jika dibandingkan dengan di negara lain. Di dalam simpulannya, Bawden menyatakan bahwa “it is not of importance whether this is called information literacy, digital literacy, or simply literacy for an information age” atau tidak begitu penting buat dipermasalahkan sekiranya literasi ini hendak disebut sebagai literasi informasi, literasi digital, atau cukup disebut dengan istilah literasi di era informasi.

Lepas dari simpulan di dalam artikel tersebut, Bawden (2008, p. 28) di dalam tulisannya yang terbaru terlihat mulai mengarah pada penggunaan istilah literasi digital dengan mengekor pada konsep yang utamanya disodorkan oleh Paul Gilster. Di dalam konsep ini, literasi digital adalah “a broad concept, linking together other relevant literacies, based on computer/ICT competences and skills, but focused on ‘softer’ skills of information evaluation and knowledge assembly, together with a set of understandings and attitudes” atau satu konsep yang luas, mempertautkan beberapa literasi, yang bersandar pada kompetensi dan keterampilan

(7)

komputer atau teknologi komputer & informasi, tetapi fokus pada keterampilan yang lebih lunak dari evaluasi informasi dan perakitan pengetahuan, bersamaan dengan kepemilikan seperangkat pemahaman dan sikap.

Beranjak dari kesepakatan atas konsep tersebut, Bawden (2008, pp. 29–30) menyatakan adanya empat komponen di dalam literasi digital yaitu: 1.) keterampilan dasar komputer dan teknologi informasi, 2.) pengetahuan latar tentang dunia informasi dan karakteristik sumber informasi pada era digital, 3.) kompetensi dan keterampilan pokok yaitu: a. keterampilan membaca dan memahami format digital dan non-digital, b.

menciptakan dan menyampaikan informasi digital, c. kompetensi mengevaluasi informasi, d. kompetensi merakit informasi dan pengetahuan, d. literasi informasi, e. literasi media, dan 4.) kepemilikan sikap dan perspektif yang berkelindan dengan dunia digital (pembelajaran mandiri dan literasi moral-sosial dalam lingkungan digital yang turut mencakup isu keamanan dan privasi).

Son, Park, & Park (2017, pp. 78–80) melalui artikelnya yang membicarakan literasi digital dan pembelajaran bahasa secara digital turut membahas adanya perbedaan fokus dari banyak ahli yang membicarakan istilah literasi digital. Mereka membandingkan bahasan dari istilah literasi digital dan ruang lingkupnya dengan merujuk pada beberapa artikel misalnya dari Martin (2005), Hague & Payton (2010), Ferrari (2012), Ng (2012), Eshet-Alkalai (2004), Dudeney, Hockly, & Pegrum (2013), Son, Robb, &

Charismiadji (2011), Calvani dkk. (2008). Di dalam pendefinisian literasi digital dan elemen dari literasi digital, Son, Park, & Park (2017, pp. 79–80) akhirnya mengambil definisi mengenai literasi digital sebagai

the ability to use digital technologies at an adequate level for creation, communication, collaboration, and information search and evaluation in a digital society. It involves the development of knowledge and skills for using digital devices and tools for specific purposes” atau kemampuan untuk menggunakan teknologi digital pada tingkat yang memadai untuk berkreasi, komunikasi, kolaborasi, serta pencarian dan evaluasi informasi dalam masyarakat digital. Ini melibatkan pengembangan pengetahuan dan keterampilan untuk menggunakan perangkat dan alat digital untuk tujuan tertentu.” Dari definisi ini, juga disebutkan lima elemen di dalam literasi digital yaitu: 1.) pencarian dan evaluasi informasi, 2.) kemampuan berkreasi (menciptakan sesuatu), 3.) kemampuan berkomunikasi, 4.) kemampuan berkolaborasi, 5.) keamanan daring.

Selanjutnya ada buku pegangan dari Hague & Payton berjudul Digital Literacy Across the Curriculum yang juga membahas tentang literasi digital. Hague & Payton (2010, p. 2) menyatakan bahwa seseorang disebut memiliki literasi digital bilamana ia memiliki “access to a broad range of practices and cultural resources that you are able to apply to digital tools. It is the ability to make and share meaning in different modes and formats; to create, collaborate and communicate effectively and to understand how and when digital technologies can best be used to support these processes” atau akses ke berbagai macam praktik dan sumber daya budaya yang dapat diterapkan ke alat digital. [Literasi digital] ini adalah kemampuan untuk membuat dan berbagi makna dalam berbagai mode dan format; untuk membuat, berkolaborasi, dan berkomunikasi secara efektif dan untuk memahami bagaimana dan kapan teknologi digital dapat digunakan dengan baik untuk mendukung proses ini. Masih menurut Hague & Payton (2010, p. 3) mencakup kemampuan berpikir kritis di dalam menggunakan teknologi dan mengembangkan kesadaran (awareness) sosial termasuk agenda komersial tertentu dan pemahaman lintas budaya yang dapat mempengaruhi berbagai macam cara teknologi dapat dipergunakan dalam rangka menyampaikan makna dan pesan tertentu. Ini juga mencakup kemampuan di dalam mencari dan mengevaluasi pengetahuan atau informasi yang relevan, mengkontekstualisasikannya, serta mengkomunikasikan dan menyajikan pengetahuan atau informasi yang sesuai dengan konteks dan audiens yang berbeda. Tidak ketinggalan pula di dalam konsep tentang literasi digital adalah pemahaman yang cukup atas diri seseorang sehingga ia dapat terlibat di dalam dunia digital secara bermakna dan aman. Hague & Payton (2010, p. 19) kemudian membuat definisi yang lebih pendek dari literasi digital yaitu “the skills, knowledge and understanding that enables critical, creative, discerning and safe practices when engaging with digital technologies in all areas of life” atau keterampilan, pengetahuan,

(8)

dan pemahaman tertentu yang memungkinkan seseorang untuk kritis, kreatif, praktik secara cerdas dan aman saat terlibat dengan teknologi digital di semua bidang kehidupan.

Hague & Payton (2010, p. 19) menyebut ada delapan komponen di dalam literasi digital. Delapan komponen literasi digital tersebut adalah: 1.) keterampilan fungsional yaitu kemampuan mengoperasikan peralatan digital sesuai kebutuhan, 2.) kreativitas yaitu kemampuan berpikir kreatif serta kemampuan memproduksi, membangun, dan menyebarkan informasi secara kreatif, 3.) berpikir kritis dan kemampuan mengevaluasi yaitu kemampuan untuk tidak menerima infromasi yang ada secara pasif tetapi dapat mentransformasikan, menganalisis, atau memroses informasi, data, atau ide yang diterima dengan menggunakan penalaran yang melibatkan proses mempertanyakan, menganalisis, meneliti, dan mengevaluasi, serta kemampuan membuat argumen tentangnya, 4.) pemahaman budaya dan sosial yaitu memahami ucapan dan tindakan yang dilakukan dapat ditafsirkan secara lain di dalam konteks budaya dan sosial yang berbeda sekaligus memahami bahwa pemahaman dan pembelajaran setiap individu dapat dipengaruhi oleh situasi sosial, budaya, dan sejarah yang melingkupi dirinya, 5.) kolaborasi yaitu memahami, mempraktikkan, serta dapat memaksimalkan potensi teknologi digital di dalam kegiatan kolaboratif atau kerja tim, 6.) kemampuan mencari dan memilih informasi yang dibutuhkan atau relevan dan dapat diandalkan, 7.) komunikasi yang efektif, dan 8.) keamanan elektronik atau e-safety yaitu pemahaman yang terkait dengan isu keamanan data dan diri pribadi di dunia maya, keamanan dari dilanggar atau melanggar hak cipta dan praktik plagiarisme, dan keamanan perangkat dari potensi serangan virus dan sejenisnya.

Yang terakhir dari pembahasan tentang rujukan dari pendefinisian dan lingkup literasi digital ini adalah disertasi milik Belshaw (2012). Di dalam disertasi yang berjudul What is Digital Literacy? ini, Belshaw (2012, pp. 176–193) membicarakan literasi digital dalam konteks evolusi dari literasi (cetak) tradisional atau traditional (print) literacy dan literasi-literasi baru (new literacies). Teknologi digital menghadirkan cara berkomunikasi yang berbeda dari sekadar dapat menulis dan membaca teks cetak. Teknologi digital melibatkan praktik sosial di dalam lingkungan yang benar-benar berbeda dari tradisi teks cetak yaitu lingkungan digital. Lingkungan yang berbeda ini tentu saja turut mempengaruhi orientasi seseorang berkenaan dengan dunia sosial dan kulturalnya. Di dalam lingkungan digital, interaksi yang berlangsung lewat mediasi teknologi mampu menghadirkan seseorang dalam proses komunikasi tanpa kehadiran fisik, dengan identitas yang beraneka macam, dan tanpa batasan komunitas. Kehadiran individu di dunia digital membawa individu dari satu kenyataan dunia fisik kepada kenyataan dunia lainnya yaitu dunia digital. Jadi, usaha memahami literasi digital perlu mempertimbangkan beberapa hal tersebut.

Menurut Belshaw (2012, p. 4), literasi digital adalah istilah yang kompleks sebab ia merupakan perpaduan dari beberapa literasi baru yang terkait dengan kehadiran dunia digital di dalam kehidupan manusia. Literasi digital juga merupakan literasi yang sifatnya plural atau majemuk. Belshaw (2012, pp. 206, 214) menyodorkan delapan elemen esensial yang saling tumpang tindih di dalam lingkup keliterasian lingkungan digital yang diharapkan dapat membantu pendefinisian keliterasian digital. Delapan elemen esensial tersebut adalah: 1.) budaya (cultural) yaitu adanya kebutuhan untuk memahami keanekaragaman konteks digital yang mungkin dialami oleh setiap individu, 2.) kognitif (cognitive) yaitu keterampilan menggunakan perangkat teknologi sebagai alat pengembangan kognitif, 3.) konstruktif (constructive) yaitu keterampilan untuk menghasilkan sesuatu yang baru termasuk di dalam menggunakan dan mengolah content atau materi dari sumber-sumber lain sehingga menghasilkan sesuatu yang original, 4.) komunikatif (communicative) yaitu pemahaman tentang cara kerja internet dan media komunikasi serta mampu berkomunikasi dan terlibat di dalam lingkungan-lingkungan yang saling terkoneksi dalam dunia digital, 5.) kepercayaan diri (confident) yaitu adanya kepercayaan diri di dalam melibatkan diri ke dalam dunia digital yang berbeda dengan dunia nyata sehingga memiliki kepercayaan diri dalam memecahkan masalah, 6.) kreatif (creative) yaitu kemampuan untuk melakukan hal-hal baru dengan cara-cara baru dengan memaksimalkan potensi dari perkembangan teknologi komputer dan internet, 7.) kritis (critical) yaitu keterampilan untuk

(9)

berpikir kritis di dalam berbagai ranah semiotik terkait dengan struktur kekuasaan, asumsi-asumsi yang berlaku, siapa saja yang dikesampingkan dalam suatu praktik pewacanaan, dan 8.) kewargaan (civic) yaitu adalah keterampilan untuk berpartisipasi dengan pantas, berlaku adil, dan memiliki rasa tanggung jawab kewargaan (civic responsibility) di dalam lingkungan digital.

Belshaw (2012, p. 212) selanjutnya mengatakan bahwa literasi digital tidak sekadar atau sesempit sesuatu yang berhubungan dengan (baca tulis) teks di lingkungan digital. Ini jelas tidak tepat. Di sisi lain, ia juga menandaskan bahwa literasi digital sebagai sesuatu majemuk. Ini sendiri terkait dengan konsep literasi yang menurut Belshaw (2012, p. 224) adalah suatu kondisi yang sifatnya kontekstual sekaligus merupakan satu kondisi yang kategorisasinya muncul melalui satu konstruksi sosial. Ia merujuk perkara ini pada apa yang disampaikan oleh Pinker (2002, p. 202) bahwa beberapa kategori sebenarnya terlahir sebagai konstruksi sosial yang dapat eksis sebab disepakati bersama sehingga seolah-olah benar-benar eksis. Jadi, tolok ukur atau takaran kategorisasi dari status keliterasian digital seseorang bakal mengikuti konteks waktu dan tempat (negara, masyarakat) seseorang.

Pembahas Literasi Digital Poin Penting

Silvana & Darmawan (2018), Nurjanah, Rusmana,

& Yanto (2017), Sutrisna (2020), Asari dkk. (2019), Sujana & Rachmatin (2019), Sahidillah &

Miftahurrisqi (2019), Pratiwi & Pritanova (2017), Kurnia & Astuti (2017), dan Kurnianingsih, Rosini,

& Ismayati (2017)

Definisi dan lingkup literasi digital merujuk pada beberapa nama seperti Paul Gilster dan David Bawden.

Kominfo & Deloitte Consulting (2021) Ada empat komponen literasi digital: 1.) kemampuan menggunakan teknologi digital (digital skill), 2.) budaya digital (digital culture), 3.) etika digital (digital ethics), dan 4.) literasi keamanan digital (digital safety).

Lankshear & Knobel (2015) Literasi digital seharusnya tidak dilihat sebagai satu literasi yang tunggal (unitary) sehingga bahasan literasi digital di dalam formulasi kebijakan, pedagogi, dan penelitian yang terkait dengan pembelajaran di sekolah disarankan agar benar- benar dapat disesuaikan dengan konteks kebutuhan yang ada.

Martin & Grudziecki (2006) Literasi digital memiliki tiga jenjang atau tingkatan yaitu: 1.) kompetensi digital (digital competence), 2.) penggunaan digital (digital usage), dan 3.) transformasi digital (digital transformation).

Bawden (2001, 2008) Istilah literasi memiliki pendefinisian yang berbeda- beda menurut beberapa ahli dan terikat dengan berbagai perbedaan seperti konteks waktu dan konteks budaya atau negara. Keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan seseorang untuk dapat dianggap sebagai literat atau melek satu literasi di suatu negara bisa berbeda jika dibandingkan dengan di negara lain. Ada empat komponen di dalam literasi digital yaitu: 1.) keterampilan dasar komputer dan teknologi informasi, 2.) pengetahuan latar tentang dunia informasi dan karakteristik sumber informasi pada era digital, 3.) kompetensi dan keterampilan pokok yaitu: a. keterampilan membaca dan memahami format digital dan non-

(10)

digital, b. menciptakan dan menyampaikan informasi digital, c. kompetensi mengevaluasi informasi, d. kompetensi merakit informasi dan pengetahuan, d. literasi informasi, e. literasi media, dan 4.) kepemilikan sikap dan perspektif yang berkelindan dengan dunia digital.

Son, Park, & Park (2017) Terdapat lima elemen di dalam literasi digital yaitu:

1.) pencarian dan evaluasi informasi, 2.) kemampuan berkreasi (menciptakan sesuatu), 3.) kemampuan berkomunikasi, 4.) kemampuan berkolaborasi, 5.) keamanan daring.

Hague & Payton (2010) Ada delapan komponen literasi digital yakni: 1.) keterampilan fungsional, 2.) kreativitas, 3.) berpikir kritis dan kemampuan mengevaluasi, 4.) pemahaman budaya dan sosial, 5.) kolaborasi, 6.) kemampuan mencari dan memilih informasi yang dibutuhkan atau relevan dan dapat diandalkan, 7.) komunikasi yang efektif, dan 8.) keamanan elektronik atau e-safety.

Belshaw (2012) Literasi adalah suatu kondisi yang sifatnya

kontekstual sekaligus merupakan satu kondisi yang kategorisasinya muncul melalui satu konstruksi sosial sehingga tolok ukur atau takaran kategorisasi dari status keliterasian digital seseorang bakal mengikuti konteks waktu dan tempat (negara, masyarakat) seseorang. Literasi digital sifatnya majemuk dan tidak sekadar atau sesempit sesuatu yang berhubungan dengan (baca tulis) teks di lingkungan digital. Ada delapan elemen esensial literasi digital yaitu: 1.) budaya (cultural), 2.) kognitif (cognitive), 3.) konstruktif (constructive), 4.) komunikatif (communicative), 5.) kepercayaan diri (confident), 6.) kreatif (creative), 7.) kritis (critical), dan 8.) kewargaan (civic).

Dari pembahasan atas sembilan artikel akademisi Indonesia, konsep pilar literasi digital Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, serta tulisan Lankshear & Knobel (2015), Martin &

Grudziecki (2006), Bawden (2001, 2008), Son, Park, & Park (2017), Hague & Payton (2010), Belshaw (2012) di atas, lalu apakah literasi digital itu? Berdasarkan dari pembahasan yang ada, dapatlah dirumuskan satu definisi hasil sintesis dari beberapa pendapat yang ada bahwa literasi digital adalah “seperangkat keterampilan (skill), pengetahuan (knowledge), pemahaman (understanding), dan kesadaran (awareness) yang dapat membuat seseorang untuk kritis, kreatif, produktif, bertanggung jawab, dan aman di dalam menggunakan teknologi informasi & komunikasi dan internet serta hadir ke dalam dunia digital sesuai dengan konteks kebutuhan dan atau lingkungan tertentu.”

Definisi tersebut menekankan definisi literasi digital yang tidak hanya sekadar pada kompetensi teknis di dalam menggunakan teknologi informasi dan komunikasi serta internet seperti yang sudah dijelaskan oleh Gilster (1997, pp. 1–2) sebagai rujukan utama dari beberapa artikel yang ada. Sekilas, definisi literasi digital tersebut terlihat mirip definisi yang diberikan oleh Hague & Payton (2010, p. 19) tetapi ada bagian yang menyebut adanya kesadaran dan kespesifikan konteks kebutuhan dan atau lingkungan tertentu. Kesadaran ini penting karena ini terkait dengan sikap yang misalnya disinggung oleh Belshaw (2012) dalam kaitannya dengan budaya, kognitif, kepercayaan diri, dan kewargaan sehingga keliterasian ini tidak terpusat hanya pada

(11)

diri sendiri. Ini juga sesuai dengan pendapat Bawden (2008, p. 28) terkait dengan seperangkat pemahaman dan sikap. Begitu juga ini sejalan dengan pernyataan Martin & Grudziecki (2006, p. 255) mengenai literasi digital yang menyebutkan sikap, kesadaran, tindak sosial yang konstruktif, dan proses yang reflektif. Semua ini terkait dengan kehadiran dan keterlibatan seseorang di dalam dunia digital yang berbeda dengan dunia nyata fisik. Masalah kehadiran dan keterlibatan seseorang di dalam dunia digital juga selaras dengan salah satu bagian dari literasi digital yang mengisyaratkan pada “the practices of communicating, relating, thinking and ‘being’ associated with digital media” atau praktik berkomunikasi, terkait dengan, berpikir, dan being yang terasosiasikan dengan media digital sebagaimana diutarakan oleh Jones & Hafner (2012, p. 13).

Terlihat bahwa definisi literasi digital tersebut bersesuaian dengan peta jalan literasi digital milik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang dipersiapkan oleh Deloitte Consulting di dalam Roadmap Literasi Digital 2020-2024 (2021). Dengan demikian, pembicaraan tentang literasi digital seharusnya tidak hanya sekadar menyorot perihal kemampuan mengoperasikan komputer jinjing, mengakses dan memanfaatkan internet di dalam mencari informasi, dan pemanfaatan gawai untuk kegiatan produktif sebagaimana dilakukan oleh Fernanda dkk. (2020) dan Arrajiv dkk. (2021) dan tidak atau belum menyentuh pada aspek-aspek semisal kekritisan (mampu mendapatkan informasi yang relevan dan dapat diandalkan), kekreatifan (mampu menciptakan hal-hal baru dengan cara-cara baru, melakukan sintesis dari informasi yang ada, atau menghasilkan sesuatu yang original), kearifan (efisien, efektif, bijak, cerdas), keamanan (menjaga diri dari tindak melanggar hukum hak cipta dan hukum lainnya, plagiarisme, dan kejahatan terkait dengan data pribadi, diri pribadi, dan perangkat di dalam melakukan aktivitas di dunia maya), dan keadaban (mampu menerapkan etika kewarganetan di dalam menghadirkan diri di dunia maya, memiliki perilaku yang bertanggung jawab dan konstruktif di dunia maya) yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari literasi digital. Masih belum dipahaminya ruang lingkup literasi digital di Indonesia membuat fokus pembicaraan mengenai literasi digital masih berkutat pada hal-hal tersebut. Jikapun menyinggung masalah aspek kekritisan di dalam literasi digital, misalnya, pembicaraannya masih hanya sekadar pada melek dan antisipasi hoaks seperti sudah disebutkan di bagian pendahuluan artikel ini.

Ada beberapa alasan mengapa literasi digital kini menjadi bagian penting di sekolah. Dengan merujuk pada beberapa pendapat, Casey dan Bruce (2011, p. 77) menyebut setidaknya ada tiga alasan yakni: 1.) teknologi digital telah membentuk dan berlanjut membentuk kehidupan dan pengalaman anak-anak muda usia, 2.) karena teknologi terus berkembang, guru juga bakal turut beradaptasi dengan keadaan ini dan berusaha menggunakan perangkat digital untuk dipergunakan di dalam kelas, dan 3.) penggunaan teknologi digital dan kebutuhan literasi digital di dalam kelas selanjutnya bukan lagi tentang kompetensi guru di dalam menggunakan teknologi digital dan bagaimana peserta didik nyaman, tepat, dan aman menggunakan teknologi digital tetapi kemudian bergeser pada satu praktik pembelajaran yang melibatkan kedua belah pihak pembelajar-pemelajar sebagai bagian penting dari kebutuhan literasi kelas. Oleh sebab itulah, alih-alih membuat pembelajaran literasi digital sebagai satu mata pelajaran khusus, pembelajaran literasi digital dapat diimplementasikan ke dalam pembelajaran mata pelajaran yang sudah ada, misalnya ke dalam pembelajaran sastra di dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah dasar.

Lalu bagaimanakah dengan contoh praktik pembelajaran literasi digital melalui pembelajaran sastra di sekolah dasar? Unsworth (2005, pp. 38–39) di dalam bukunya E-literature for Children memberikan contoh urutan kegiatan pembelajaran sastra di SD Dalton di New York yang dapat diadaptasi untuk peserta didik kelas lima atau enam sebagai berikut: 1.) Pembelajar atau guru satu buku cerita anak atau folklor semisal Si Kancil, 2.) Peserta didik (kelompok dua atau tiga orang) memilih satu bab dari buku sastra anak tersebut, 3.) Peserta didik diminta untuk membuat ilustrasi cerita atau gambar sesuai dengan bab yang sudah dipilih, 4.) Peserta didik diberikan latihan cara menggunakan mesin pemindai dan diminta memindai gambar yang sudah mereka kerjakan, 5.) Peserta didik diajari menambahkan teks cerita ulang dengan bahasa mereka sendiri di bawah pindaian gambar mereka masing-masing, 6.) Guru kemudian melibatkan peserta didik dalam

(12)

mengunggah gambar-gambar yang sudah diberi teks cerita ulang ini ke blog atau laman web sekolah sesuai urutan cerita dari buku. Kegiatan ini melatih beberapa hal kepada peserta didik mulai dari literasi tradisional (baca tulis) hingga literasi digital melalui pembelajaran sastra di dalam pelajaran Bahasa Indonesia.

Peserta didik di tingkat selanjutnya dapat diminta untuk membuat pertunjukan drama berdasarkan pada buku cerita anak yang sama (atau berbeda) sebagai tugas liburan. Mereka sekelas atau per kelompok diminta membuat naskah drama sederhana dengan bahasa mereka dan kostum sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Selanjutnya peserta didik diminta untuk merekam pentas drama yang mereka buat dengan meminjam gawai orang tua mereka. Tatkala liburan selesai, mereka diminta mengumpulkan rekaman video mereka dan dilibatkan di dalam pengunggahan video ke kanal YouTube milik sekolah. Dengan demikian, peserta didik akan mendapatkan pengalaman untuk produktif dan bekerja kreatif serta kolaboratif melalui pembelajaran sastra yang terselenggara berpautan dengan pembelajaran literasi digital.

Pembelajaran keadaban digital pada siswa sekolah dasar dapat dilakukan melalui WhatsApp.

Penggunaan media sosial di dalam pembelajaran keadaban digital belum bisa dilakukan sebab ada batasan usia minimal untuk dapat memiliki akun media sosial yang tidak dapat dipenuhi oleh peserta didik. Melalui WhatsApp, peserta didik dapat diberikan tautan video yang sebelumnya sudah diunggah di kanal YouTube milik sekolah dan diminta untuk memberikan komentar atas hasil karya teman-teman mereka. Pembelajar dapat mengarahkan peserta didik agar dapat berperilaku positif dan apresiatif. Pembelajar tidak hanya bisa memberikan pembelajaran kepada peserta didik terkait kesantunan berbahasa tetapi juga dapat memberikan pembelajaran berkenaan dengan penggunaan emoji berkonteks keindonesiaan (sebab ada emoji yang memiliki penggunaan berbeda di Indonesia bila dibandingkan dengan penggunaan di dunia internasional seperti emoji high five atau tepuk tos misalnya), pemanfaatan rekaman audio, dan pemakaian stiker (sticker) di WhatsApp dalam kegiatan berkomunikasi di lingkungan digital yang beradab. Pembelajar dapat memberikan pembelajaran terkait dengan kehadiran dan partisipasi peserta didik di dunia digital untuk menciptakan lingkungan digital yang sehat, non-toksik, dan bebas dari tindak bully atau perundungan.

Namun ada satu hal yang perlu untuk dipertimbangkan di dalam adaptasi praktik pembelajaran sastra seperti itu. Meskipun perangkat digital (teknologi komunikasi dan informasi) dan internet terus berkembang dan penggunaannya menjadi sesuatu yang kian lazim, tetapi tidak semua orang memiliki akses yang sama akan perangkat digital dan internet. Laporan dari OECD (2021, pp. 36, 42) menunjukkan bahwa kesenjangan digital (digital divide) Indonesia adalah salah satu yang terburuk di dunia. Tidak hanya mempengaruhi kesempatan memperoleh informasi dan kemampuan membaca kritis sebagaimana diungkap oleh OECD, kesenjangan digital ini berkontribusi pada terjadinya kesenjangan tingkat literasi digital di Indonesia. Adanya kesenjangan digital tentu meniscayakan perbedaan tolok ukur tingkat kebutuhan dan capaian literasi digital sebagaimana dapat dirujuk pada apa yang disampaikan oleh Bawden (2001) dan Belshaw (2012). Ini tentu telah dipahami oleh para pembuat kebijakan berkenaan dengan program keliterasian digital dan setiap pembelajar terkait dengan pembelajaran literasi digital di Indonesia. Oleh sebab itulah, contoh praktik pembelajaran sastra berpaut pembelajaran literasi digital tersebut belum tentu dapat diterapkan di seluruh sekolah dasar yang ada di Indonesia.

KESIMPULAN

Dunia mengalami perubahan yang pesat dengan semakin majunya perkembangan teknologi informasi

& komunikasi serta kehadiran internet. Keadaan ini mengarahkan umat manusia pada peradaban pasca-galaksi Gutenberg. Cara manusia berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain telah berubah. Perubahan ini turut mengubah cara manusia eksis dan mengekspresikan dirinya. Bersamaan dengan itu pula, kebutuhan akan literasi-literasi baru muncul.

(13)

Literasi-literasi baru ini terkait dengan kebutuhan dasar manusia di dalam menjalani kehidupan di dalam situasi di mana dunia digital menjadi kian terintegrasi dengan dunia nyata manusia. Batasan antara yang maya dengan yang nyata menjadi kian kabur. Inilah yang membuat dunia pendidikan perlu untuk mulai mengintegrasikan pembelajaran literasi digital, sebagai payung dari literasi-literasi baru, di dalam pembelajaran secara umum. Ini sudah bukan lagi berkutat tentang pertanyaan atas sebuah pilihan melainkan telah menjadi satu kemestian yang tak terelakkan. Seperti telah diulas di dalam artikel ini, sebagai contoh di dalam pembelajaran sastra, ternyatakan bahwa peserta didik di tingkat sekolah dasar dapat diberi pembelajaran sastra yang berpautan dengan pembelajaran literasi digital.

DAFTAR PUSTAKA

American Library Association. (2013). Digital Literacy, Libraries, and Public Policy: Report of the Office for the Information Technology Policy’s Digital Literacy Task Force. Chicago, IL: American Library Association. Retrieved from https://literacy.ala.org/digital-literacy/

Arrajiv, D. A., Wahyuningsih, T., Kartini, K., & Rahmawati, L. E. (2021). Tingkat Kemandirian Belajar Siswa Ditinjau dari Implementasi Literasi Digital Siswa SMA Negeri 2 Sukoharjo. Buletin Literasi Budaya Sekolah, 3(1), 55–64.

Asari, A., Kurniawan, T., Ansor, S., & Putra, A. B. N. R. (2019). Kompetensi literasi digital bagi guru dan pelajar di lingkungan sekolah kabupaten Malang. BIBLIOTIKA: Jurnal Kajian Perpustakaan Dan Informasi, 3(2), 98–104.

Assidik, G. K. (2018). Pemanfaatan media sosial sebagai alternatif media pembelajaran berbasis literasi digital yang interaktif dan kekinian. In Seminar Nasional SAGA# 3 (Sastra, Pedagogik, dan Bahasa) (Vol. 1, pp. 242–246). Yogyakarta: Universitas Ahmad Dahlan.

Baumeister, R. F., & Leary, M. R. (1997). Writing narrative literature reviews. Review of General Psychology, 1(3), 311–320.

Bawden, D. (2001). Information and digital literacies: a review of concepts. Journal of Documentation.

Bawden, D. (2008). Origins and concepts of digital literacy. In C. Lankshear & M. Knobel (Eds.), Digital literacies: Concepts, policies and practices (pp. 17–32). New York: Peter Lang Publishing, Inc.

Bawden, D., & Robinson, L. (2020). Information Overload: An Overview. Oxford Encyclopedia of Political Decision Making.

Belshaw, D. A. J. (2012). What is’ digital literacy’?: a pragmatic investigation. Department of Education, Durham University.

Calvani, A., Cartelli, A., Fini, A., & Ranieri, M. (2008). Models and instruments for assessing digital competence at school. Journal of E-Learning and Knowledge Society, 4(3), 183–193.

Casey, L., & Bruce, B. C. (2011). The Practice Profile of Inquiry: Connecting Digital Literacy and Pedagogy.

E-Learning and Digital Media, 8(1), 76–85.

Crusoe, D. (2016). Data Literacy defined pro populo: To read this article, please provide a little information.

The Journal of Community Informatics, 12(3).

Dudeney, G., Hockly, N., & Pegrum, M. (2013). Digital literacies: Research and resources in language teaching. Harlow, UK: Pearson Education Limited.

Eshet-Alkalai, Y. (2004). Digital literacy: A conceptual framework for survival skills in the digital era.

Journal of Educational Multimedia and Hypermedia, 13(1), 93–106.

Fernanda, F. F. H., Rahmawati, L. E., Putri, I. O., & Nur’aini, R. (2020). Penerapan Literasi Digital Di SMP Negeri 20 Surakarta. Buletin Literasi Budaya Sekolah, 2(2), 141–148.

(14)

Ferrari, A. (2012). Digital competence in practice: An analysis of frameworks. Sevilla: JRC IPTS, 10, 82116.

Gilster, P. (1997). Digital literacy. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Hague, C., & Payton, S. (2010). Digital literacy across the curriculum. Bristol: Futurelab.

Jones, R., & Hafner, C. (2012). Understanding digital literacies: A practical introduction. Oxford: Routledge.

KIC & Kominfo. (2020). Status Literasi Digital Indonesia 2020 Hasil Survei di 34 Provinsi. Jakarta:

Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Kominfo. (2022). Budaya Digital Membaik, Indeks Literasi Digital Indonesia Meningkat - Siaran Pers No.

15/HM/KOMINFO/01/2022. Jakarta.

Kominfo & Deloitte Consulting. (2021). Roadmap Literasi Digital 2020-2024. Jakarta: Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Kurnia, N., & Astuti, S. I. (2017). Peta gerakan literasi digital di Indonesia: studi tentang pelaku, ragam kegiatan, kelompok sasaran dan mitra. Informasi, 47(2), 149–166.

Kurnianingsih, I., Rosini, R., & Ismayati, N. (2017). Upaya peningkatan kemampuan literasi digital bagi tenaga perpustakaan sekolah dan guru di wilayah Jakarta pusat melalui pelatihan literasi informasi.

Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat (Indonesian Journal of Community Engagement), 3(1), 61–76.

Lankshear, C., & Knobel, M. (2015). Digital literacy and Digital Literacies:-policy, pedagogy and research considerations for education. Nordic Journal of Digital Literacy, 10(Jubileumsnummer), 8–20.

Law, N., Woo, D., & Wong, G. (2018). A global framework of reference on digital literacy skills for indicator 4.4. 2. Montreal, Quebec: UNESCO.

Limilia, P., & Aristi, N. (2019). Literasi Media dan Digital di Indonesia: Sebuah Tinjauan Sistematis.

KOMUNIKATIF: Jurnal Ilmiah Komunikasi, 8(2), 205–222.

Martin, A. (2005). DigEuLit–a European framework for digital literacy: a progress report. Journal of ELiteracy, 2(2), 130–136.

Martin, A., & Grudziecki, J. (2006). DigEuLit: Concepts and Tools for Digital Literacy Development.

Innovation in Teaching and Learning in Information and Computer Sciences, 5(4), 249–267.

Microsoft & TRG. (2021). Civility, Safety & Interaction Online - 5th Edition. Bellevue, Washington:

Microsoft Corporation.

Ng, W. (2012). Can we teach digital natives digital literacy? Computers & Education, 59(3), 1065–1078.

Nugraha, D., & Octavianah, D. (2020). Diskursus Literasi Abad 21 di Indonesia. Jurnal Pendidikan Edutama, 7(1), 107–126.

Nurjanah, E., Rusmana, A., & Yanto, A. (2017). Hubungan literasi digital dengan kualitas penggunaan e- resources. Lentera Pustaka: Jurnal Kajian Ilmu Perpustakaan, Informasi Dan Kearsipan, 3(2), 117–140.

OECD. (2021). 21st-Century Readers: Developing Literacy Skills in a Digital World. Paris: PISA, OECD Publishing.

Park, Y., & Gentile, D. (2019). DQ Global Standards Report 2019: Common Framework for Digital Literacy, Skills and Readiness. Singapore: DQ Institute.

Paul, J., & Criado, A. R. (2020). The art of writing literature review: What do we know and what do we need to know? International Business Review, 29(4), 101717.

Pinker, S. (2002). The Blank Slate: The Modern Denial of Human Nature. New York: Viking.

Pratiwi, N., & Pritanova, N. (2017). Pengaruh literasi digital terhadap psikologis anak dan remaja. Semantik, 6(1), 11–24.

Sahidillah, M. W., & Miftahurrisqi, P. (2019). Whatsapp sebagai media literasi digital siswa. Jurnal Varidika,

(15)

31(1), 52–57.

Sayers, A. (2007). Tips and tricks in performing a systematic review. The British Journal of General Practice, 57(542), 759.

Setyaningsih, R., Abdullah, A., Prihantoro, E., & Hustinawaty, H. (2019). Model penguatan literasi digital melalui pemanfaatan e-learning. Jurnal Aspikom, 3(6), 1200–1214.

Silvana, H., & Darmawan, C. (2018). Pendidikan literasi digital di kalangan usia muda di kota bandung.

Pedagogia, 16(2), 146–156.

Son, J.-B., Park, S.-S., & Park, M. (2017). Digital literacy of language learners in two different contexts. Jalt Call Journal, 13(2), 77–96.

Son, J.-B., Robb, T., & Charismiadji, I. (2011). Computer literacy and competency: A survey of Indonesian teachers of English as a foreign language. Computer-Assisted Language Learning Electronic Journal (CALL-EJ), 12(1), 26–42.

Sujana, A., & Rachmatin, D. (2019). Literasi digital abad 21 bagi mahasiswa PGSD: apa, mengapa, dan bagaimana. In Current Research in Education: Conference Series Journal (Vol. 1, pp. 3–13).

Sutrisna, I. P. G. (2020). Gerakan literasi digital pada masa pandemi covid-19. Stilistika: Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Seni, 8(2), 269–283.

Unsworth, L. (2005). E-literature for children: Enhancing digital literacy learning. London & New York:

Routledge.

Wohlin, C. (2014). Guidelines for snowballing in systematic literature studies and a replication in software engineering. In EASE’14: Proceedings of the 18th international conference on evaluation and assessment in software engineering (pp. 1–10). London: Association for Computing Machinery (ACM).

Referensi

Dokumen terkait