• Tidak ada hasil yang ditemukan

administratio, Manajer Jurnal, 1 LOKA PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN TRANSFORMASI NEW PUBLIC SERVICE DALAM REFORMASI ADMINISTRASI BPOM

N/A
N/A
Fitroh Satrio

Academic year: 2023

Membagikan "administratio, Manajer Jurnal, 1 LOKA PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN TRANSFORMASI NEW PUBLIC SERVICE DALAM REFORMASI ADMINISTRASI BPOM"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

Volume 12 Nomor 1 Tahun 2021

L OKA P ENGAWAS O BAT DAN M AKANAN : T RANSFORMASI N EW P UBLIC

S ERVICE D ALAM R EFORMASI A DMINISTRASI BPOM

Eny Diana Mudrikah

1

, Alexander Arie Sanata Dharma

2

12Program Magister Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia

alexander.arie@ui.ac.id

Abstrak

Sejak implementasi otonomi daerah tahun 1999, sektor kesehatan menjadi urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh daerah. Konsekuensinya, Kementerian Kesehatan tidak lagi memiliki Kantor Wilayah seperti halnya Kementerian Keuangan dan Kementerian Agama. Walau demikian, sebagai tindak lanjut otonomi daerah pula, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden tentang Lembaga Pemerintah Non Departemen, yang antara lain mengatur berdirinya Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). BPOM berfungsi sebagai instansi pusat yang memiliki perangkat di daerah. Pada tahun 2018, BPOM melakukan reformasi administrasi melalui penambahan 40 Unit Pelaksana Teknis baru setingkat Eselon IV berupa Loka Pengawas Obat dan Makanan (Loka POM). Penelitian ini memotret reformasi administrasi tersebut dalam perspektif New Public Service menggunakan kerangka pikir evaluasi perubahan proses bisnis, yaitu PNS, masyarakat, institusi publik, dan proses. Kehadiran Loka POM melalui reformasi administrasi BPOM memperlihatkan hadirnya sejumlah nilai- nilai New Public Service baik pada elemen PNS, masyarakat, institusi publik, dan proses. Transformasi tersebut juga ditunjang dengan sejumlah data-data capaian yang memperlihatkan perluas cakupan pengawasan Obat dan Makanan yang memungkinkan masyarakat lebih terlindungi dari Obat dan Makanan yang dapat memberikan efek negatif terhadap kesehatan. Diperlukan suatu perangkat yang relevan dan komprehensif untuk dapat mengukur outcome terutama pada elemen masyarakat sehingga peran dari BPOM secara umum maupun Balai Besar, Balai, dan Loka POM secara khusus pada masyarakat dapat diketahui dengan lebih cermat.

Kata Kunci: BPOM, New Public Service, Obat dan Makanan, Reformasi Administrasi Abstract

Since the implementation of regional autonomy in 1999, the health sector has shifted a government function carried out by the regions. Consequently, the Ministry of Health no longer owns a Regional Office like the Ministry of Finance or the Ministry of Religion. However, as a follow-up to regional autonomy, President Abdurrahman Wahid issued a Presidential Decree on Non-Departmental Government Institutions, which regulates the Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). BPOM functions as a central agency that has regional apparatus. In 2018, BPOM carried out administrative reforms by establishing 40 new Echelon IV-level units in Loka Pengawas Obat dan Makanan. This research portrays administrative reform from the New Public Service perspective using an evaluation of the business process change framework, namely civil servants, citizens, public institutions, and processes. Loka POM's presence through BPOM administrative reform shows several New Public Service values in civil servants, citizens, public institutions, and processes. Several performance data show the expansion of drug and food control scope allows citizens to feel protected from drugs and foods that pose health risks and support this transformation. It requires comprehensive tools to measure outcomes, especially for citizens' elements. Through those tools, BPOM can identify their roles for citizens accurately.

Keywords: Administrative Reform, BPOM, Food and Drug, New Public Service

I. P

ENDAHULUAN

Implementasi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah menjadikan sektor kesehatan sebagai salah satu bidang pemerintahan yang wajib dikelola oleh daerah. Berbagai dinamika yang terjadi pada

regulasi tentang otonomi daerah tidak mengubah kondisi tersebut.

Pada UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, urusan pemerintahan absolut diatur terbatas pada politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Kesehatan bersama-sama

Copyright® 2021. Owned by Author(s), Published by Administratio.

This is an open-acces article under CC-BY- SA License

(2)

2 dengan pendidikan, pekerjaan umum dan penataan ruang, hingga sosial menjadi Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar.

Dengan demikian, Kementerian Kesehatan tidak lagi memiliki Kantor Wilayah (Kanwil) layaknya Kementerian Keuangan maupun Kementerian Agama. Dinas Kesehatan baik di provinsi maupun kabupaten/kota menjadi perangkat dari kepala daerah. Kementerian Kesehatan sendiri untuk fungsi-fungsi tertentu masih memiliki perangkat di daerah, antara lain seperti Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balai Litbangkes) di Magelang, Banjarnegara, Donggala, Aceh, Baturaja, Tanah Bumbu, serta Papua. Akan tetapi, secara umum, Kementerian Kesehatan fokus pada kebijakan sementara layanan kepada publik menjadi tanggung jawab Dinas Kesehatan di daerah.

Sebagai tindak lanjut UU Nomor 22 Tahun 1999, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 2000 yang kemudian diteruskan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dengan Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) . Regulasi ini berlaku untuk lebih dari 20 LPND antara lain Lembaga Administrasi Negara (LAN), Badan Kepegawaian Negara (BKN), Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), hingga Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Dalam perjalanannya kemudian, masing-masing LPND yang berada dalam Keppres Nomor 103 Tahun 2001 tersebut memperoleh dasar hukum yang lebih kuat, seperti LAN dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 57 Tahun 2013, BPKP dengan Perpres Nomor 192 Tahun 2014, hingga BPOM dengan Perpres Nomor 80 Tahun 2017.

BPOM sendiri pada mulanya adalah salah satu Direktorat Jenderal pada Kementerian Kesehatan yang dalam koridor sentralisasi memiliki perangkat di daerah berupa Balai Besar maupun Balai Pengawas Obat dan Makanan. Keppres 166/2000 dan peraturan-peraturan berikutnya hingga Perpres Nomor 80 Tahun 2017 memberi ruang kepada BPOM untuk menjadi institusi tersendiri.

BPOM kemudian berfungsi sebagai instansi pusat yang memiliki perangkat di daerah. Secara lebih luas, hal itu berarti urusan Obat dan Makanan memiliki pengaturan terpisah dengan urusan kesehatan yang didesentralisasikan. Desrina (2020) menyebut bahwa dalam urusan pemerintahan di bidang kesehatan, obat menjadi elemen dari Sub Urusan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Makanan Minuman. Secara spesifik, misalnya untuk konteks pengawasan obat di

apotek, pola pembagian kewenangannya adalah sebagai berikut:

1. Pengawasan post-market obat menjadi kewenangan Pemerintahan Pusat

2. Penerbitan izin apotek menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Dalam perspektif administrasi publik, posisi otoritas pengawasan Obat dan Makanan memang cukup dilematis. Pada konteks COVID-19 muncul kebutuhan akan adanya teknologi yang mampu menyelamatkan nyawa manusia baik melalui obat maupun vaksin secara cepat. Di sisi lain, pemerintah melalui otoritas pengawasan Obat dan Makanan tetap memiliki kewajiban untuk menjamin keamanan, mutu, dan khasiat dari produk-produk tersebut. Dilema terbentuk dengan persilangan antara kebutuhan untuk kecepatan serta kebutuhan penjaminan mutu, khasiat, dan terutama keamanan yang terkait dengan segala jenis risiko yang mungkin muncul dan menyertai suatu produk baru. Gusmano (2013) menyebut bahwa otoritas Obat dan Makanan sangat menghindari risiko yang mempengaruhi ketersediaan akan hadirnya teknologi terbaru.

Aversi pada risiko dapat dipahami sebagai bagian dari upaya otoritas sebagai elemen dari pemerintah untuk mengedepankan kepentingan publik akan hadirnya produk yang aman, bermutu, dan berkhasiat. Konteks ini kemudian menjadi kurang komprehensif apabila ditinjau dari perspektif New Public Management (NPM).

Denhardt and Denhardt (2015) menyebut bahwa NPM membawa konsep hubungan antar administrator publik dan masyarakat sebagai pemberi dan penerima layanan (pelanggan). Saat seseorang terikat suatu transaksi langsung dengan pemerintah masih relevan disebut sebagai pelanggan. Akan tetapi, ada kalanya seseorang menerima layanan profesional dari pemerintah, seperti pendidikan. Pada titik ini, seseorang tersebut lebih relevan disebut sebagai klien. Pada konteks kewajiban perpajakan, seseorang beralih peran sebagai subjek.

Pada akhirnya, Denhardt and Denhardt (2015) mengangkat pendapat bahwa masyarakat tidak serta merta merupakan pelanggan. Untuk itulah kemudian keduanya memaparkan konsep New Public Service (NPS) yang sangat mengedepankan peran masyarakat.

BPOM (2019) menyebut bahwa pengawasan Obat dan Makanan bersifat strategis dan prioritas karena mendukung dua hal besar yakni aspek kesehatan dan ketahanan bangsa. Kegiatan strategis pembinaan pelaku usaha, pengawalan produk yang beredar, maupun edukasi dan pemberdayaan masyarakat terkait keamanan, mutu dan khasiat maupun manfaat suatu Obat dan Makanan merupakan muatan dari ketahanan bangsa. Pada sektor ini, ada dua elemen yang sama pentingnya yaitu kualitas hidup manusia Indonesia

(3)

3 serta kemandirian ekonomi melalui gerak sektor- sektor strategis ekonomi domestik.

Upaya menyeimbangkan sisi masyarakat dan pelaku usaha juga tercermin dari visi BPOM yakni

"Obat dan Makanan Aman Meningkatkan Kesehatan Masyarakat dan Daya Saing Bangsa".

Demikian pula dengan rumusan misi yang menekankan perlindungan masyarakat pada poin pertama dan penguatan kapasitas serta komitmen pelaku usaha pada poin kedua. Rumusan visi dan misi yang sangat mengedepankan masyarakat memiliki penekanan yang sama dengan konsep NPS.

Salah satu bentuk peningkatan pelayanan BPOM kepada masyarakat adalah dengan menambah perangkat di daerah melalui kehadiran Loka Pengawas Obat dan Makanan (Loka POM) di 40 Kabupaten/Kota untuk memperkuat posisi 21 Balai Besar dan 12 Balai POM yang sudah ada sebelumnya. Penambahan Loka POM sendiri menjadi bagian dari penguatan organisasi BPOM sesuai dengan Perpres 80/2017 bersamaan dengan restrukturisasi di unit kerja pusat maupun daerah, termasuk dengan penambahan Kedeputian Penindakan serta peningkatan status Inspektorat menjadi Inspektorat Utama.

Penguatan organisasi BPOM telah menjadi isu yang mencuat dalam pembahasan dengan Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, sejumlah kajian termasuk oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bahkan juga muncul dalam hasil pemeriksaan kinerja yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. Masing-masing institusi tersebut memiliki porsi masing-masing sebagai pemangku kepentingan. Greve, Lægreid, dan Rykkja (2016) menyebut bahwa konsultasi dengan pemangku kepentingan merupakan bagian sentral dari suatu proses reformasi.

Kehadiran Loka POM sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) BPOM di tingkat Kabupaten/Kota juga menjadi tindak lanjut dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Peningkatan Efektivitas Pengawasan Obat dan Makanan, Perpres 80/2017, hingga Peraturan BPOM Nomor 26 Tahun 2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja BPOM. Masing-masing regulasi secara berkesinambungan mendasari penguatan organisasi BPOM.

Loka POM memiliki sejumlah tugas, yakni melakukan pemeriksaan dan penilaian sarana/

fasilitas produksi dan/atau distribusi Obat dan Makanan maupun sarana/fasilitas pelayanan kefarmasian; sertifikasi produk Obat dan Makanan;

pengambilan sampel serta pengujian Obat dan Makanan; intelijen dan penyidikan di bidang pengawasan Obat dan Makanan; koordinasi dan kerja sama di bidang pengawasan Obat dan Makanan; pengelolaan komunikasi, informasi, edukasi, dan pengaduan masyarakat di bidang

pengawasan Obat dan Makanan; serta pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga UPT.

Grossman and Lewis (2014) menyebut bahwa penambahan unit administrasi baru (administrative unit proliferation) yang merupakan pecahan dari unit yang sudah ada menjadi lebih kecil dapat dilakukan dengan syarat terdapat sumber daya untuk dioptimalkan, kewenangan, serta tanggung jawab. Penambahan Loka POM sebagai UPT sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya memiliki tujuan untuk meningkatkan kinerja BPOM.

Dalam terminologi Caiden—sebagaimana disampaikan oleh Effendi (2000)—tindakan sistematik untuk meningkatkan kinerja operasional sektor publik disebut sebagai reformasi administrasi. Penelitian ini akan mengeksplorasi transformasi NPS dalam reformasi administrasi yang dilakukan oleh BPOM melalui hadirnya Loka POM.

Pada umumnya, penelitian terkait BPOM lebih banyak difokuskan pada riset dan pengembangan obat dan makanan serta aspek hukum maupun regulasi yang relevan. Dengan demikian, upaya mengidentifikasi BPOM dari perspektif administrasi publik secara umum maupun reformasi administrasi pada khususnya dalam penelitian ini relevan untuk mengisi kekosongan tersebut. Secara lebih khusus lagi, perpaduan antara konsep New Public Service (NPS) serta reformasi administrasi dalam satu kesatuan implementasi lembaga publik yang relatif belum banyak dibahas .

II. T

INJAUAN

P

USTAKA

Reformasi Administrasi

Pada beberapa dekade terakhir telah terjadi percepatan upaya reformasi administrasi di berbagai belahan dunia. Sentralisme birokrasi mulai ditinggalkan, organisasi publik direkayasa ulang, serta penggalakan kembali sistem manajemen publik. Hal tersebut membutuhkan dukungan politik maupun dukungan publik yang kuat, serta mumpuni dalam fasilitasi. Reformasi administrasi memastikan bahwa kinerja keseluruhan implementasi pemerintahan membaik serta memberikan perhatian khusus pada beberapa titik kelemahan. Apabila sistem administrasi mampu diubah dengan mudah, maka sesungguhnya reformasi tidak diperlukan. Namun faktanya, mengubah sistem administrasi ternyata lebih sulit daripada mengubah sistem politik maupun sistem ekonomi. Setelah dilembagakan, pengaturan administratif cenderung melekat dan menjadi kebiasaan lama yang sulit dihilangkan (Caiden, 1999).

Christopher Pollitt dan Geert Bouckaert sebagaimana dikutip dalam penelitian Lynn (2013) mendefinisikan reformasi manajemen publik

(4)

4 sebagai perubahan yang disengaja pada struktur dan proses organisasi sektor publik dengan tujuan agar berjalan lebih baik. Pandangan lainnya sebagaimana dikemukakan oleh Ali Farazmand (2001) adalah lebih menekankan pada perubahan mendasar dalam upaya peningkatan kapasitas struktur dan proses sistem administrasi. UNDP (2015) menerjemahkannya sebagai perubahan komprehensif pada beberapa bidang, mencakup struktur organisasi, desentralisasi, manajemen pegawai, keuangan publik, pelayanan publik, manajemen berbasis hasil, reformasi peraturan dan sebagainya. Sehingga apabila ditarik benang merah bahwa reformasi administrasi merupakan suatu gerakan perubahan suatu organisasi secara struktural ataupun dari sudut pandang perubahan perilaku yang dapat meningkatkan produktivitas dalam rangka pencapaian visi misi organisasi.

New Public Service (NPS)

Sampai dengan awal abad ke-20 arus utama administrasi publik dikuasai oleh tokoh-tokoh seperti Woodrow Wilson, Luther Gulick, dan Herbert Simon. Walaupun selalu disebut bahwa administrasi publik ortodoks ini adalah netral dengan respek pada nilai-nilai, pada kenyataannya tidaklah demikian. Administrasi publik tetap merupakan model normatif untuk mengatur petugas publik. Paradigma ini kemudian berkembang menjadi Old Public Administration (OPA) yang mengedepankan dominasi antara lain dengan diskresi dan tanggung jawab yang lebih besar pada administrasi public (Denhardt &

Denhardt, 2015). Hal itu kemudian mulai berubah seiring hadirnya paradigma New Public Management ketika pengaturan administrasi publik menggunakan perspektif bisnis. Denhardt and Denhardt (2015) menyebut bahwa meskipun NPM disebut sebagai alternatif dari OPA, tetapi pada kenyataannya terdapat kesamaan terutama dalam ketergantungan terhadap model pilihan rasional. Berbasis kritik pada dua paradigma tersebut, New Public Service hadir sebagai alternatif.

Salah satu perbedaan utama antar paradigma adalah patokan petugas publik dalam memberikan pelayanan. Pada OPA yang diutamakan adalah konstitusi, sedangkan dalam NPM titik fokusnya adalah pelanggan. Pada NPS, titik beratnya adalah masyarakat itu sendiri. Selain itu, dari sisi peran pemerintah, pada OPA disebut sebagai rowing dengan desain dan implementasi kebijakan yang fokus pada tujuan tunggal. Untuk NPM dikenal sebagai steering ketika petugas publik menjadi katalis. Sedangkan pada NPS, perannnya adalah sebagai serving, saat pemerintah menengahi berbagai kepentingan dari masyarakat maupun kelompok-kelompok di dalamnya serta kemudian menciptakan nilai bersama (Denhardt and Denhardt, 2015).

NPS sendiri dalam disederhanakan ke dalam tujuh value, yakni:

1. Serve Citizens, not Customers: Kebutuhan publik merupakan perpaduan nilai bersama alih-alih agregat minat individual.

PNS tidak serta merta merespon pelanggan, melainkan lebih fokus pada pembangunan hubungan berbasis kepercayaan dan kolaborasi dengan dan antar elemen masyarakat.

2. Seek the Public Interest: administrator publik berkontribusi membangun kepentingan kolektif yang tidak terpaku pada pilihan-pilihan individual.

3. Value Citizenship over Enterpreneurship:

publik dan kepentingannya lebih diutamakan ketimbang manajerial pola swasta yang memperlakukan dana publik seperti milik sendiri.

4. Think Strategically, Act Democratically:

target kebijakan dan program yang berpihak pada kepentingan publik tercapai dengan upaya bersama dan proses kolaboratif.

5. Recognize that Accountability isn’t Simple:

PNS tetap memperhatikan konstitusi, hukum, nilai-nilai komunitas, norma politik, standar profesi, serta kepentingan masyarakat, tidak serta merta fokus pada pasar.

6. Serve Rather than Steer: terjadi peningkatan urgensi bagi pegawai pemerintah dalam mengimplementasikan pola manajerial berbasis nilai dalam mendorong masyarakat memanifestasikan dan melaksanakan kepentingannya, ketimbang mencoba melakukan kontrol atau menyetir masyarakat dengan arahan baru.

7. Value People, not just Productivity:

Semakin besar peluang lembaga publik dan jejaringnya untuk sukses secara berkelanjutan apabila dijalankan dengan sistem kolaboratif serta menghormati hak- hak kemanusiaan.

Perubahan Proses Bisnis

Perkembangan sektor publik pada periode 1970 hingga awal 1980-an menimbulkan tekanan kepada pemerintah untuk melakukan reformasi.

Pemerintahan di seluruh dunia kemudian menyusun perencanaan reformasi yang komprehensif dan berprofil tinggi. Hal tersebut pada sisi lain menciptakan permasalahan dalam implementasinya, terlebih karena perencanaan reformasi tersebut mencakup spektrum perubahan yang sangat luas dan bahkan lintas kewenangan, seperti halnya hubungan pusat-daerah (Pateli and Philippidoi, 2010).

(5)

5 Pateli dan Philippidoi (2010) melakukan analisis komprehensif perihal reformasi pada tataran perubahan bisnis proses dengan ruang lingkup administrasi publik di Yunani. Perspektif dalam perubahan bisnis proses pada penelitian tersebut dimulai dari penguatan visi, inisiasi, diagnosis, redesain, rekonstruksi, evaluasi, dan perubahan kelembagaan. Penelitian tersebut menawarkan kerangka pikir untuk setiap tahapan sehingga cukup layak untuk dimanfaatkan sebagai perangkat analisis.

Lingkungan organisasi publik sendiri pada prinsipnya relatif stabil. Hal itu memunculkan kebutuhan akan adopsi dari perubahan secara inkremental untuk mengurangi potensi konflik yang terjadi. Perubahan yang inkremental dan terencana akan membawa organisasi pada titik keseimbangan yang baru. Walau demikian perubahan atau evolusi organisasi secara drastis tetap dimungkinkan untuk terjadi.

Fishbone analysis merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk mendiagnosa suatu permasalahan melalui pengklasifikasian kegiatan ataupun proses yang sedang berlangsung, sumber daya yang digunakan, wewenang, serta infrastruktur penunjang. Fishbone juga dapat berfungsi sebagai alat evaluasi kesesuaian antara program yang dilaksanakan dengan tujuan yang hendak dicapai (Pateli and Philippidoi, 2010).

Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini memanfaatkan fishbone analysis dalam mengevaluasi perubahan bisnis proses yang terjadi di BPOM dengan hadirnya Loka POM. Terdapat 4 elemen yang ditinjau perubahannya melalui diagram fishbone yaitu pegawai negeri sipil, masyarakat, proses, dan institusi publik.

Gambar 1.

Model Evaluasi Proses Bisnis Pada Tahap Evaluasi

III. M

ETODE

P

ENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu suatu pendekatan yang berupaya mengeksplorasi dan memahami arti individu atau kelompok dalam suatu fenomena sosial. Analisa data dilakukan secara induktif yang dibangun dari tema tertentu yakni evaluasi proses bisnis (Pateli dan Philippidoi, 2010) dan New Public Service

(Denhardt dan Denhardt, 2015). Demikian pula pada struktur pembahasan yang bersifat fleksibel namun dengan tetap mempertahankan pentingnya penyampaian kompleksitas suatu situasi (Creswell

& Creswell, 2018)

Data pada metode kualitatif berkembang secara terus menerus (snowball) dengan tujuan (purposive) sampai data yang dikumpulkan dianggap memadai. Penelitian ini menggunakan sumber data sekunder antara lain melalui laporan- laporan instansi BPOM yang tergolong informasi publik seperti Laporan Kinerja maupun Laporan Tahunan, baik BPOM secara umum maupun masing-masing UPT BPOM pada khususnya.

IV. H

ASIL DAN

P

EMBAHASAN

Reformasi administrasi di Indonesia lebih identik sebagai reformasi birokrasi. Visi reformasi birokrasi di Indonesia tertuang dalam Peraturan Presiden Indonesia Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi tahun 2010- 2025 yaitu “Terwujudnya Pemerintahan Kelas Dunia”. Visi tersebut dipahami sebagai pemerintahan yang profesional dan berintegritas tinggi yang memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan pelayanan prima kepada masyarakat dengan dukungan sistem tata kelola pemerintahan demokratis menuju good governance pada tahun 2025.

Reformasi pada manajemen publik, menurut Lynn (2013), dapat menghasilkan inovasi apabila memanfaatkan dua pengungkit yang berbeda yaitu strategi kewirausahaan dan perubahan dalam struktur organisasi atas nama efisiensi dan peningkatan layanan. Salah satu permasalahan birokrasi adalah organisasi pemerintahan yang belum tepat pada dua aspek yaitu fungsi dan ukuran, selain juga tepat proses. Diperlukan keseimbangan peran dan fungsi, integrasi rantai nilai, dan keseimbangan beban kerja yang mncerminkan keseimbangan beban sesuai struktur pelaksana suatu tugas.

Reformasi tidak serta merta dipahami sebagai perampingan karena kondisi yang terlalu ramping dapat menciptakan beban unit kerja yang terlalu berat atau overload sehingga berakibat pada pekerjaan yang tidak dapat diselesaikan secara tepat waktu, tepat mutu, dan tepat prosedur. Guna memfasilitasi kebutuhan akan ketepatan reformasi terutama dalam aspek kelembagaan, terdapat Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pedoman Evaluasi Kelembagaan Pemerintah.

Perubahan struktur bukanlah hal yang tabu dalam reformasi, termasuk apabila yang dimaksud adalah penambahan struktur. Farazmand (2001) menyebut bahwa struktur harus mampu beradaptasi dengan lingkungan agar dapat bertahan dan melanjutkan keberadaannya, serta

(6)

6 untuk mengembangkan pola organisasi yang fungsional dalam langkah pencapaian visi dan misi organisasi. Pemerintah dapat mendeteksi inovasi maupun tekanan dari lingkungan untuk kemudian bereaksi mengadopsi perubahan melalui reformasi dan reorganisasi. Satu hal yang perlu dipastikan adalah model kelembagaan hendaknya fokus pada kebutuhan untuk mengubah nilai bersama, budaya kerja, serta struktur disusun sedemikan rupa sehingga organisasi lebih adaptif dan dinamis.

Perubahan struktur organisasi dengan semangat penguatan kelembagaan dilakukan oleh BPOM melalui Perpres 80 Tahun 2017 yang diikuti dengan sejumlah regulasi terkait lainnya. Penataan organisasi dan tata kerja unit pelaksana teknis yang proporsional efektif dan efisien merupakan salah satu langkah perubahan guna meningkatkan kinerja pelaksanaan tugas BPOM. Pada tahun 2020, komitmen tersebut dimutakhirkan melalui Peraturan BPOM Nomor 22 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Pemutakhiran ini dilakukan terhadap Peraturan BPOM Nomor 26 Tahun 2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja BPOM.

Unit Pelaksana Teknis (UPT) di lingkungan BPOM merupakan satuan kerja yang bersifat mandiri yang menjalankan kegiatan teknis operasional dan/atau kegiatan teknis penunjang tertentu di bidang pengawasan Obat dan Makanan.

UPT BPOM sendiri berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Badan.

Adapun secara teknis, UPT BPOM dibina oleh Deputi sesuai bidang tugas dan secara administratif pembinaan dilakukan oleh Sekretaris Utama. Pembentukan UPT BPOM pada tingkat kabupaten/kota merupakan salah satu Proyek Prioritas Nasional Bidang Kesehatan Tahun 2018.

Penataan dan penguatan UPT BPOM menggunakan kriteria klasifikasi organisasi UPT sebagai instrumen penilaian dalam penataan susunan organisasi, tugas, fungsi, klasifikasi, jumlah, nomenklatur, maupun lokasi dan wilayah kerja UPT di lingkungan BPOM. Tercakup di dalamnya adalah pembentukan UPT BPOM pada tingkat kabupaten/kota.

Klasifikasi UPT BPOM terbagi atas Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan, Balai Pengawas Obat dan Makanan, serta Loka Pengawas Obat dan Makanan. Dari sisi jumlah terdapat 21 (dua puluh satu) Balai Besar POM, 12 (dua belas) Balai POM, dan 40 (empat puluh) Loka POM. Setiap unsur tersebut harus mengedepankan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi baik dalam lingkup internal maupun dalam hubungan antar instansi pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Sebagai landasan dalam objektivitas penilaian kelayakanan untuk menentukan kelas bagi UPT BPOM sebagaimana termuat dalam Peraturan BPOM Nomor 11 Tahun 2018 tentang Kriteria

Klasifikasi Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan BPOM, organisasi UPT BPOM yang mempunyai tugas dan fungsi sejenis dikelompokkan dengan unsur kriteria klasifikasi yang meliputi:

a. Jumlah sampel obat dan makanan yang beredar untuk dilakukan sampling dan pengujian laboratorium, serta penilaian mutu dan keamanan secara kimia dan mikrobiologi.

b. jumlah sarana/fasilitas

produksi/distribusi obat, obat tradisional, kosmetik, dan pangan olahan, untuk mengetahui pemenuhan terhadap persyaratan Cara Produksi Obat yang Baik c. Jumlah sertifikasi yang mencakup antara lain Surat Keterangan Impor dan/atau Surat Keterangan Ekspor produk Obat dan Makanan.

d. Jumlah rekomendasi atau sertifikat kepada fasilitas/sarana atas pemenuhan cara pembuatan dan/atau distribusi obat, obat tradisional, kosmetik, dan pangan olahan yang baik.

e. Jumlah investigasi dan perkara tindak pidana kegiatan intelijen dan penyidikan obat dan makanan yang diselesaikan, maupun nilai keekonomian barang bukti perkara tindak pidana bidang pengawasan Obat dan Makanan untuk keperluan pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.

f. Jumlah layanan informasi masyarakat di bidang pengawasan Obat dan Makanan, yang meliputi pemberian Komunikasi, Informasi, dan Edukasi kepada masyarakat dan layanan pengaduan masyarakat di bidang pengawasan Obat dan Makanan.

g. Tingkat risiko daerah yang menjadi keterjangkauan pengawasan yaitu waktu tempuh perjalanan darat, laut, dan/atau udara yang dibutuhkan dalam satuan jam dari lokasi kantor UPT BPOM ke kabupaten/kota yang menjadi cakupan wilayah kerjanya, jumlah penduduk, jumlah item obat beredar, serta Produk Domestik Regional Bruto Pengeluaran Konsumsi Makanan dan Minuman sebagai faktor yang mempengaruhi beban kerja pelaksanaan pengawasan Obat dan Makanan.

h. Sarana dan prasarana teknis, yang dimiliki oleh UPT BPOM untuk mendukung secara teknis pelaksanaan tugas dan fungsi UPT BPOM yang meliputi laboratorium pengujian Obat dan Makanan, mobil laboratorium keliling dan/atau mobil penyidikan Obat dan Makanan, instalasi pengolahan air limbah, dan tempat

(7)

7 penyimpanan barang bukti sitaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di bidang pengawasan Obat dan Makanan.

i. Sumber daya manusia teknis, yaitu aparatur sipil negara jabatan fungsional dan pelaksana yang melaksanakan tugas dan fungsi teknis pengawasan.

Selain unsur pokok yang memiliki bobot sebesar 80 persen dari kriteria klasifikasi, terdapat pula unsur penunjang yang meliputi anggaran yang terdiri atas Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), sumber daya manusia administrasi, sarana dan prasarana penunjang non teknis, serta sertifikasi maupun akreditasi. Tugas dan fungsi yang belum dapat dijalankan oleh Loka POM secara optimal masih tetap dapat dikoordinasikan pelaksanaannya oleh Balai Besar maupun Balai POM sampai dengan Loka POM mandiri secara bertahap.

Belajar dari reformasi administrasi di Tiongkok (Dong et al., 2010), reorganisasi hanyalah satu langkah dari berbagai program reformasi administrasi dalam periode yang panjang, terutama berkaitan dengan pembuatan kebijakan, implementasi, dan pengawasan. Pada tahun 2020, struktur administrasi di Tiongkok terbilang stabil. Dapat dilihat bahwa reformasi tidak selalu harus berkaitan dengan penghapusan dan perampingan suatu Kementerian/Lembaga secara berlebihan, namun lebih diarahkan pada penyempurnaan pembuatan kebijakan serta peran pengawasan pemerintah pusat melalui rasionalisasi fungsional dari suatu lembaga pemerintahan.

Negara-negara Nordik juga menunjukkan struktur organisasi yang stabil. Selain Islandia, seluruh negara memiliki sistem 3 (tiga) tingkat yaitu pemerintah pusat, pemerintah regional, dan pemerintah daerah. Hubungan antara kementerian dan lembaga sebagaimana pada umumnya dengan kementerian bertanggung jawab atas pengembangan kebijakan, penganggaran, serta penetapan target untuk intervensi. Adapun pelaksana di daerah melaksanakan tugas yang diputuskan pemerintah pusat. Dalam konteks BPOM hal ini menjadi penting karena Balai Besar, Balai, maupun Loka POM adalah perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah dan harus bersinergi dengan pemerintah daerah dalam koridor otonomi daerah yang disepakati di Indonesia.

Greve et al. (2006) menyebut bahwa evaluasi terhadap aktivitas reformasi administrasi seringkali tidak mudah. Reformasi telah dilakukan oleh banyak negara namun keyakinan perihal tingkat keberhasilannya menjadi pertanyaan lebih lanjut. Hal itu antara disebabkan oleh belum meluasnya teori yang memfasilitasi keberhasilan

reformasi administrasi serta tantangan lain perihal keterbatasan data efektivitas reformasi adminsitrasi.

Penelitian ini mencoba mengkaji aktivitas reformasi administrasi dengan menggunakan perspektif NPS. Secara lebih sederhana, penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan 'seberapa NPS Loka POM?' dengan menggunakan dimensi evaluasi proses bisnis sebagaimana ditawarkan Pateli dan Philippidoi (2010). Analisis dilakukan terhadap data sekunder yang diperoleh dari Laporan Tahunan BPOM, Laporan Tahunan Loka POM, Laporan Kinerja BPOM, serta dokumen- dokumen lain yang sejenis dan memuat evaluasi dari pihak Loka POM sendiri. Dengan demikian, penelitian ini lebih diarahkan pada meletakkan perspektif NPS pada setiap evaluasi yang telah dilakukan sendiri oleh BPOM pada umumnya dan Loka POM pada khususnya.

Pegawai Negeri Sipil

Pada proses awal hadirnya Loka POM, mekanisme pengisian PNS yang bertugas di 40 kantor baru pada 40 Kabupaten/Kota adalah dengan memutasi sejumlah pegawai dari Balai Besar/Balai POM induk. Sebagai contoh, untuk Loka POM Aceh Selatan, sejumlah PNS dimutasikan dari Balai Besar POM di Banda Aceh. Demikian pula untuk mengisi Loka POM Kabupten Kotawaringin Barat, sejumlah PNS dimutasikan dari Balai Besar POM di Palangkaraya. Contoh lainnya adalah Loka POM Tanimbar yang pada laporan tahunannya menyebut bahwa seluruh pegawainya adalah perantauan. PNS Loka POM Tanimbar sendiri berasal dari Balai POM di Ambon.

Pola mutasi dan distribusi pegawai semacam ini pada sebagian personel memberikan pengaruh karena secara umum seorang PNS sudah tinggal menetap maupun memiliki keluarga di kota tempat Balai Besar/Balai POM berada. Pada sebagian besar perpindahan, disyaratkan adanya perpindahan domisili karena faktor jauhnya lokasi Loka POM dengan Balai Besar/Balai POM yang pada umumnya terletak di ibukota provinsi.

Pada prosesnya kemudian dilakukan rekrutmen PNS dengan 1.078 formasi pada periode penerimaan CPNS 2018 yang alokasi formasinya cukup besar di Loka POM. Sesudah para CPNS ditempatkan dan diberikan pelatihan yang memadai, sejumlah pegawai dapat kembali bertugas di Balai Besar/Balai POM asal.

Pengadaan CPNS baru tentu tidak serta merta langsung membantu proses pengawasan yang dilakukan oleh Loka POM. Untuk itu, perlu dilakukan pengembangan kompetensi terlebih dahulu sehingga kemudian para CPNS baru memiliki kompetensi untuk melakukan tugas pengawasan Obat dan Makanan. Pengembangan ini menjadi fokus dari setiap pimpinan Loka POM yang melakukan berbagai percepatan-percepatan antara

(8)

8 lain dengan Pelatihan di Kantor Sendiri (PKS), coaching, maupun mentoring.

Salah satu yang juga krusial pada aspek PNS BPOM adalah integritas. Di BPOM misalnya, telah ada peraturan bahwa PNS BPOM tidak dapat menjadi penanggung jawab maupun pemilik sarana di apotek. Hal ini sejalan dengan fungsi dari BPOM sendiri sebagai pengawas. Kondisi ketika apabila pemilik sarana maupun penanggung jawab suatu apotek sebagai sarana distribusi sediaan farmasi adalah PNS BPOM memungkinkan terjadinya konflik kepentingan. Larangan yang berlaku se-Indonesia ini ditetapkan kepada PNS baik pusat, Balai Besar/Balai POM, maupun Loka POM.

Pada konsep New Public Service yang sangat mengedepankan faktor citizens, kehadiran PNS yang meninggalkan zona nyaman dengan harus berpindah ke lokasi kantor yang baru merupakan bagian dari upaya melayani masyarakat demi pengawasan Obat dan Makanan yang lebih baik di kota tempat Loka POM berada. Terlebih, sebagai instansi pusat di daerah, BPOM secara umum tidak mengenal pola mutasi sebagaimana PNS yang bertugas dalam bidang kewenangan pemerintah pusat absolut seperti PNS Mahkamah Agung maupun PNS Kementerian Keuangan yang secara default memiliki peluang untuk berpindah kantor dan kota dalam periode tertentu.

Pelayanan publik yang dilakukan oleh Loka POM cenderung tidak berbasis pelanggan-pemberi layanan. Hal itu berbeda misalnya dengan proses bisnis di BPOM pusat ketika industri farmasi atau makanan berperan sebagai pelanggan dan BPOM wajib memberikan layanan yang terbaik. Loka POM sendiri hadir sebagai perpanjangan tangan BPOM di daerah dengan terutama melakukan pengambilan sampel produk yang beredar serta menyelenggarakan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) kepada masyarakat setempat. Di sisi lain, ketika masyarakat datang untuk mengurus izin atau membuat pengaduan, posisinya sebagai pelanggan tetap dapat berjalan. Pada kondisi inilah NPM menjadi tidak cukup luas untuk menampung sistematika kerja BPOM sehingga paradigma NPS menjadi lebih relevan.

PNS sendiri dikondisikan dengan pengembangan kompetensi serta pengaturan konflik kepentingan dalam upaya untuk memenuhi public interest dengan sebaik-baiknya, sebagaimana Denhardt and Denhardt (2015) mendefinisikan elemen NPS. Di sisi lain, pengaturan PNS untuk kembali ke kota asal sesudah pengembangan kompetensi CPNS baru telah memenuhi syarat merupakan upaya untuk tetap dapat memenuhi tugas-tugas yang ada tetapi tetap memberikan penghargaan pada aspek manusia. Sehingga, Loka POM mampu untuk menerapkan prinsip 'value people, not just productivity'.

Masyarakat

Upaya untuk menjangkau masyarakat dengan lebih luas adalah salah satu tujuan berdirinya Loka POM. Kondisinya selama ini adalah Balai Besar/Balai POM yang pada umumnya berlokasi di ibukota provinsi akan berkeliling dalam 1 tahun anggaran dari kota ke kota untuk melakukan berbagai kegiatan pengawasan. Pada kenyataannya, terdapat sejumlah daerah dengan karakteristik tertentu yang membutuhkan pengawasan lebih baik, tetapi harus terkendala faktor jarak dan personel.

Sebagai contoh, Kabupaten Aceh Selatan atau sering dikenal dengan Tapak Tuan, adalah daerah yang berada di sisi selatan provinsi Aceh. Padahal, Aceh merupakan salah satu provinsi yang ibukotanya terletak di salah satu ujung dari daerah tersebut. Kehadiran Loka POM Aceh Selatan mampu memangkas jarak lebih dari 400 km yang tercipta antara Tapak Tuan ke Banda Aceh. Hal yang sama terjadi dengan Loka POM Tulangbawang yang berada di sisi utara provinsi, sementara Bandar Lampung sebagai ibukota ada di sisi selatan. Ada jarak lebih dari 150 km yang terbentang antara kedua wilayah sehingga kehadiran Loka POM mampu mereduksi constrain jarak tersebut.

Loka POM juga hadir dalam upaya mewujudkan visi Presiden untuk membangun Indonesia dari pinggir atau selaras dengan agenda Nawa Cita ke-3. Sebagai contoh, Loka POM Tanimbar atau Maluku Tenggara Barat. Secara geografis, letak Kepulauan Tanimbar ini bahkan lebih dekat ke kota Darwin di Australia ketimbang Ambon yang merupakan ibukota provinsi Maluku.

Hal yang sama juga terjadi pada pembangunan Loka POM di Kepulauan Sangihe maupun Loka POM di Merauke.

Seringkali pula ada aktivitas produksi maupun distribusi obat dan makanan yang membutuhkan pengawasan lebih melekat. Di daerah Cilacap, Jawa Tengah, misalnya terdapat usaha obat tradisional yang pada masanya pernah dikenal karena terdapat oknum yang menggunakan Bahan Kimia Obat (BKO) dalam produksi jamu. Lokasi Cilacap sendiri ada di selatan Jawa Tengah, sementara Balai Besar POM ada di Semarang yang notabene terletak di utara Jawa Tengah. Untuk itu hadir Loka POM Banyumas yang menjadi perpanjangan tangan pengawasan BPOM di daerah Jawa Tengah bagian selatan termasuk Cilacap (Nugroho, S et al., 2020).

Sejumlah kabupaten/kota juga dikenal dengan aktivitas perdagangan yang cukup tinggi, bahkan ada yang lebih aktif dibandingkan ibukota provinsinya sendiri. Kota Dumai, misalnya, memiliki volume perdagangan dengan Malaysia yang cukup tinggi. Kabupaten Kotawaringin Barat atau Pangkalan Bun menjadi pintu masuk Kalimantan Tengah dari sisi laut, sementara

(9)

9 ibukota Palangka Raya ada di tengah-tengah.

Demikian pula dengan Papua Barat ketika Sorong cenderung lebih ramai dibandingkan Manokwari.

Loka POM hadir di kota-kota tersebut untuk mendukung kinerja dari Balai Besar/Balai POM yang sudah lebih dahulu hadir di ibukota provinsi.

Kondisi sebaliknya terjadi di provinsi Kepulauan Riau. Selama ini, Balai POM di Kepulauan Riau terletak di Pulau Batam.

Sementara itu, ibukota dari provinsi tersebut adalah di Tanjung Pinang. Untuk mendukung kinerja Balai POM di Batam, didirikan pula Loka POM Tanjung Pinang.

Secara umum, BPOM mengantisipasi pertumbuhan daerah baru yang berimbas pada pentingnya upaya peningkatan pengawasan Obat dan Makanan. Selain itu, reformasi administrasi yang dilakukan merupakan bentuk transformasi yang merupakan konsekuensi atas definisi filosofis BPOM sebagai koordinator pengawasan Obat dan Makanan yang independen, efektif, dan integratif.

Kehadiran Loka POM juga diupayakan untuk mendukung pengembangan pariwisata. Sebelum dihantam oleh pandemi COVID-19, setidaknya ada 10 destinasi unggulan yang menjadi penekanan pemerintah dan disebut sebagai Bali Baru. Tempat tujuan wisata akan berkorelasi dengan jumlah orang yang beredar dan setiap orang pasti akan mengonsumsi setidak-tidaknya produk pangan.

Untuk itu, pengawasan Obat dan Makanan juga menjadi penting pada daerah-daerah ini. Loka POM dihadirkan oleh BPOM di 5 kabupaten/kota tempat 5 destinasi Bali Baru berada masing-masing adalah Loka POM Toba Samosir (Danau Toba), Loka POM Belitung (Tanjung Kelayang), Loka POM Baubau (Wakatobi), Loka POM Manggarai Barat (Labuan Bajo), dan Loka POM Kepulauan Morotai (Morotai).

Adapun 5 destinasi Bali Baru lainnya masih dapat diakomodasi oleh Balai Besar/Balai POM setempat seperti Tanjung Lesung oleh Balai Besar POM di Serang, Kepulauan Seribu oleh Balai Besar POM di Jakarta, Candi Borobudur oleh Balai Besar POM di Semarang, Mandalika oleh Balai Besar POM di Mataram, serta Gunung Bromo yang terletak di 4 Kabupaten/Kota sehingga menjadi cakupan kerja Balai Besar POM di Surabaya dan Loka POM di Jember.

Kehadiran Loka POM didasarkan pada sejumlah analisis yang pada intinya adalah mengedepankan citizens dan public interest.

Sehingga elemen 'Serve Citizens, Not Customers' serta 'Seek the Public Interest' dapat dilihat dengan jelas pada kehadiran Loka POM.

Upaya jemput bola dengan memperluas kantor pengawasan juga dapat dianggap sebagai bagian untuk 'Serve Rather Than Steer' pada prinsip-prinsip NPS. Penetapan daerah tempat hadirnya Loka POM juga didasarkan pada perencanaan strategis yang mempertimbangkan banyak aspek sehingga sebagaimana telah

dijelaskan sebelumnya relevan dengan prinsip 'Think Strategically, Act Democratically' pada NPS.

Perlu dipahami pula bahwa pada periode awal kehadiran Loka POM, kegiatannya difokuskan pada pengambilan sampel produk Obat dan Makanan serta KIE. Adapun pengujiannya masih dilakukan di Balai Besar/Balai POM induk mengingat untuk melakukan pengujian Obat dan Makanan secara memadai sangat diperlukan peralatan uji yang memadai, berikut ketersediaan personil yang memiliki kualifikasi tertentu terkait dengan suatu alat. Dengan demikian, jaminan keamanan produk beredar dalam hal ini adalah koordinasi antara Loka POM dan Balai Besar/Balai POM induk.

Koordinasi semacam ini juga merupakan manifestasi 'Think Strategically, Act Democratically'. Pada periode-periode selanjutnya, sejumlah Loka POM akan terus dilengkapi dengan fasilitas pengujian sehingga pada tahun-tahun mendatang proses pengawasan di tingkat Loka POM dapat berjalan dengan simultan dan komprehensif.

Kehadiran Loka POM merupakan salah satu unsur penunjang terhadap layanan sertifikasi serta ketersediaan berbagai media layanan pengaduan dan informasi obat dan makanan yang dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat. Selain akuntabilitas, kinerja birokrasi juga perlu memperhatikan faktor responsivitas, yaitu kemampuan birokrasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, penyusunan agenda dan prioritas pelayanan, serta pengembangan program-program pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat (Cahyadi, 2013). Beberapa pimpinan daerah mulai melakukan penandatanganan serta penyampaian hibah serah terima barang milik daerah berupa tanah untuk pembangunan kantor Loka POM (Sekretariat Daerah Pemkab Buleleng, 2020; Saefuloh, 2020). Hal tersebut merupakan salah satu bentuk dukungan dan respon positif masyarakat atas dibentuknya Loka POM, agar kebutuhan dan jaminan atas keamanan makanan bagi masyarakat dapat terlayani dengan mudah.

Institusi Publik

Pada elemen ini, value yang diangkat tidak langsung pada citizens, melainkan pada hubungan antar bagian yang terlibat dalam administrasi publik sehingga dua value utamanya adalah 'think strategically, act democratically' dan 'value people, not just productivity'. Masing-masing elemen dapat digambarkan dengan pola pengadaan kantor Loka POM. Dari 40 Loka POM, tidak sampai 50 persen yang harus menyewa kantor. Sisanya, kantor diperoleh melalui berbagai mekanisme administrasi pemerintahan yang tersedia.

Terdapat 4 Loka POM yang gedungnya sudah tersedia sejak lama karena keempat kantor ini merupakan pengembangan dari Pos POM yang telah lebih dahulu eksis. Pos POM di Bima, Ende,

(10)

10 Kepulauan Sangihe, dan Baubau pada mulanya adalah bagian integral dari Balai Besar POM di Mataram, Balai POM di Kupang, Balai Besar POM di Manado, dan Balai POM di Kendari. Ketika keempat kantor ini dinaikkan statusnya menjadi Loka POM, secara praktis tidak banyak penyesuaian yang dibutuhkan karena organisasi maupun jejaring lintas instansi telah dimiliki.

Sekurang-kurangnya 6 Loka POM menempati kantor secara pinjam pakai dari pemerintah daerah setempat. Pada saat yang sama, Loka POM di Aceh Tengah, Aceh Selatan, Payakumbuh, Merauke, Rejang Lebong, dan Dharmasraya telah menerima hibah tanah dari pemerintah daerah. Hal ini menjadi bukti komitmen kepala daerah pada penguatan pengawasan Obat dan Makanan di daerah masing-masing. Tanah yang tersedia sebagian besar sudah diserahterimakan secara resmi dan sudah masuk ke dalam Laporan Keuangan BPOM.

Sejumlah Loka POM juga beroperasi dengan gedung pinjam pakai seperti di Tulangbawang, Surakarta, Kediri, Jember, Buleleng, Manggarai Barat, Balikpapan, dan Tarakan. Loka POM tersebut menempati gedung atau bagian gedung dari pemerintah daerah setempat yang juga dapat dimaknai sebagai dukungan atas upaya peningkatan pengawasan Obat dan Makanan setempat.

Di sisi lain, sejumlah Loka POM masih menyewa tempat namun telah menerima hibah tanah dari pemda setempat, seperti Toba Samosir, Sungai Penuh, Tasikmalaya, Sanggau, Kepulauan Tanimbar, Sorong, dan Mimika. Sama halnya dengan kondisi sebelumnya, pembangunan gedung fisik akan dilakukan sesuai dengan ketersediaan anggaran dan izin dari Pemerintah Pusat.

Jejaring dengan Pemda sebenarnya sudah dibentuk oleh Balai Besar/Balai POM. Sejak lama, koordinasi dijalin pada level provinsi dan kemudian kabupaten/kota. Akan tetapi dengan hadirnya Loka POM, terjadi peningkatan intensitas pengawasan karena reduksi faktor jarak. Dengan demikian, kegiatan inspeksi mendadak ke pasar oleh BPOM dan dinas terkait tidak lagi harus menunggu waktu yang tepat ketika petugas Balai Besar/Balai POM hadir dari ibukota provinsi ke suatu kabupaten/kota, melainkan dapat lebih fleksibel. Hal ini memberi manfaat kepada masyarakat karena pengawasan pada Obat dan Makanan yang beredar menjadi lebih maksimal.

Selain pengawasan melalui pengambilan sampel dan sidak serta fungsi-fungsi penindakan, fungsi lain yang dibawa Loka POM dari Balai Besar/Balai POM adalah layanan informasi konsumen. Bagian Layanan Informasi Konsumen (LIK) ini dibuka pada setiap kantor Loka POM sehingga input dari masyarakat menjadi lebih banyak ketimbang jika dibandingkan saat BPOM hanya ada di ibukota provinsi. Input dari

masyarakat merupakan masukan untuk fungsi pemeriksaan dan/atau penindakan baik di Loka POM setempat, diangkat ke Balai Besar/Balai POM, maupun juga BPOM pusat. BPOM sendiri secara umum masuk ke dalam Top 46 Pengelola Pelayanan Publik Tahun 2020 untuk kategori Outstanding Achievement. BPOM merupakan satu- satunya Kementerian/Lembaga karena nominasi lainnya adalah pemerintah daerah. Pengelolaan pengaduan sendiri dibentuk dengan jejaring internal yang melibatkan pusat dan daerah (Balai Besar, Balai, dan Loka POM).

Jejaring yang prima dengan instansi lain baik pusat maupun pemerintah daerah setempat merupakan kunci pengawasan Obat dan Makanan yang lebih optimal. BPOM sendiri berangkat dari Inpres Nomor 3 Tahun 2017 tentang Efektivitas Pengawasan Obat dan Makanan serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2018 tentang Peningkatan Koordinasi Pembinaan dan Pengawasan Obat dan Makanan di Daerah. Melalui kedua regulasi tersebut, BPOM dapat memperluas rantai pengawasan hingga pelosok daerah melalui UPT dan bersama lintas sektor terkait seperti Dinas Kesehatan, Dinas Perdagangan, Dinas Pertanian, Dinas Perindustrian, Dinas Ketahanan Pangan, maupun Dinas Kelautan dan Perikanan di kabupaten/kota untuk melakukan pengawasan dan tindak lanjut secara efektif sehingga berbagai langkah pemberantasan obat ilegal, obat palsu, makanan yang mengandung bahan berbahaya dapat dicegah dan ditumpas secara masif.

Koordinasi lintas sektor tersebut dilakukan dengan tujuan yang sama yaitu melindungi masyarakat. Dengan demikian esensi NPS menjadi sangat relevan dengan konteks institusi pulbik dalam kehadiran Loka POM.

Proses

Elemen PNS, elemen masyarakat, maupun elemen institusi publik pada akhirnya tidak akan berinteraksi tanpa proses dari suatu organisasi.

PNS bersama institusi publik lain bersinergi untuk melayani masyarakat. Masyarakat membantu kinerja PNS dengan menjalankan hasil edukasi dan memberikan pengaduan pada hal-hal yang tidak sesuai. Persilangan-persilangan itu terjadi pada elemen proses.

(11)

11 Gambar 2.

Perbandingan Pemeriksaan Sarana Produksi Obat dan Makanan Tahun 2018 dan 2019 Sumber : Laporan Tahunan BPOM 2018 dan 2019

(diolah oleh penulis)

Sejauh ini, kehadiran Loka POM sebagai bagian dari upaya mendukung public interest dapat dilihat manfaatnya dari peningkatan cakupan pengawasan. Seiring dengan lebih dekatnya sejumlah kantor pada sarana, maka pengawasan menjadi lebih masif pula. Hal itu terjadi baik untuk sarana produksi maupun sarana distribusi Obat dan Makanan.

Salah satu hal yang menarik dari kehadiran Loka POM adalah organisasi dijalankan dengan tidak membebani anggaran secara drastis. Sebagai gambaran, dengan penambahan 40 kantor, realisasi anggaran BPOM secara keseluruhan tidak naik secara signifikan. Hal itu dapat dipahami sebagai upaya efisensi mengingat secara sumber daya diperoleh dengan redistribusi dari Balai Besar/Balai POM, sebagian gedung kantor diperoleh dengan mekanisme pinjam pakai atau hibah, anggaran juga dialokasikan dari Balai Besar/Balai POM. Redistribusi sumber daya, mulai dari pegawai, kendaraan operasional, hingga alat pengolah data secara umum mendorong efisiensi kerja dari Loka POM pada awal kehadirannya.

Aspek anggaran ini kemungkinan akan meningkat sejalan dengan peningkatan kapasitas dari masing- masing Loka POM, akan tetapi hal itu juga didasarkan pada kinerja dari suatu Loka POM terlebih dahulu.

Tabel 1.

Realisasi Anggaran BPOM 2018 dan 2019

TA Pagu Anggaran (Rp) Realisasi (Rp) 2018 2.174.979.492.000 1.915.261.699.349 2019 2.090.500.025.000 2.028.647.493.570

Salah satu prinsip utama NPS adalah penekanan pada akuntabilitas. Kehadiran Loka POM selain ditandai dengan evaluasi kelembagaan juga dapat dilihat dampaknya pada peningkatan indeks Reformasi Birokrasi dan nilai Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) yang dikeluarkan Kementerian PAN dan RB. Hal ini sekaligus menjadi pemacu BPOM untuk mempertahankan reformasi birokrasi dan akuntabilitas kinerja pada unit kerja yang bertambah. Penambahan unit kerja selain memperluas cakupan pekerjaan juga berkorelasi dengan upaya pembangunan lingkungan kerja baru, termasuk upaya lanjutan untuk menginternalisasikan aspek-aspek reformasi birokrasi dalam operasional kerja sehari-hari pada suatu organisasi baru.

Indeks Reformasi Birokrasi mengilustrasikan capaian lembaga pemerintah dalam mengimplementasikan perbaikan tata kelola pemerintahan menuju sistem yang efektif, efisien, bersih dari KKN, serta mampu memberikan pelayanan prima kepada publik. Pencapaian sasaran strategis terwujudnya reformasi birokrasi dapat diukur dari 2 indikator yaitu indeks RB dan nilai SAKIP. Nilai indeks RB BPOM pada tahun 2019 naik 10 poin apabila dibandingkan tahun 2015. Salah satu program yang memiliki kontribusi pada peningkatan capaian tersebut adalah penataan dan penguatan organisasi.

Tabel 2.

Capaian Nilai RB dan AKIP BPOM

TA Nilai RB Nilai SAKIP

2015 70,89 68,08

2016 73,19 73,44

2017 76,36 74,37

2018 77,65 76,77

2019 80,12 78,60

Evaluasi implementasi SAKIP sendiri dilakukan untuk menjajaki posisi instansi pemerintah dalam mengimplementasikan Sistem Akuntabilitas Kinerjanya, sekaligus untuk mendorong peningkatan kinerja instansi pemerintah itu sendiri. Nilai AKIP BPOM sendiri juga terus naik sehingga menggambarkan bahwa kinerja pelayanan publik yang dilakukan juga mengalami peningkatan. Dalam hal ini,

(12)

12 pembentukan UPT BPOM di kabupaten/kota melalui Loka POM tentunya turut memberikan kontribusi melalui pelayanan terkait perizinan, pemeriksaan, pengaduan, serta edukasi yang menjadi lebih dekat dan mudah diakses oleh masyarakat.

Kehadiran Loka POM sebagaimana telah dijelaskan merupakan bagian dari penguatan kelembagaan. Oleh Kementerian PAN dan RB, BPOM telah diberikan peringkat P-5 atau sangat efektif untuk evaluasi kelembagaan sesuai PermenPAN dan R Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pedoman Evaluasi Kelembagaan. BPOM menjadi 1 sari 12 K/L yang sudah memperoleh nilai tersebut.

Pada tahun 2014 dan 2015, evaluasi reformasi baru dilaksanakan sebagian K/L, provinsi, dan kabupaten/kota yang menjadi proyek awal. Pada tahun 2018, evaluasi reformasi birokrasi sudah mencakup keseluruhan lembaga pemerintah baik tingkat pusat maupun level daerah. Evaluasi dilakukan untuk membuat pemetaan pelaksanaan reformasi birokrasi dan memberikan rekomendasi dalam rangka perbaikan dan percepatan pelaksanaan reformasi birokrasi. Dari hasil evaluasi dapat diperoleh gambaran pemerintahan yang bersih, akuntabel, efektif, efisien, serta mampu memberikan pelayanan prima kepada publik.

Pollitt dan Bouckaert dalam Lynn (2013) mengidentifikasi empat jenis hasil dari inisiatif reformasi yaitu hasil operasional, hasil proses, peningkatan kapasitas kelembagaan, dan kemajuan menuju suatu tujuan. Dengan demikian, evaluasi kelembagaan yang diselenggarakan oleh Kementerian PAN dan RB dapat menjadi instrumen untuk mengevaluasi proses reformasi yang tengah berjalan.

Dengan hasil P-5 dapat dimaknai bahwa BPOM memiliki struktur proses pada level ‘sangat efektif’, yang berarti bahwa memiliki kapabilitas sangat tinggi untuk mengakomodasi kebutuhan internal organisasi serta kemampuan yang kuat untuk beradaptasi terhadap dinamika perubahan lingkungan eksternal organisasi. Capaian tersebut tidak dapat dibandingkan dengan periode sebelumnya karena dalam periode 2017, sasaran kinerja Kementerian PAN dan RB terkait peningkatan kelembagaan dan tata laksana organisasi pemerintahan yang tepat fungsi, tepat ukuran, dan tepat proses indikatornya adalah persentase lembaga yang efektif setelah penataan berdasarkan hasil evaluasi/audit, namun tidak dilakukan penjabaran secara terbuka terhadap nama-nama lembaga pemerintahan yang masuk dalam kategori efektif tersebut.

V. P

ENUTUP

Dalam upaya untuk mewujudkan reformasi birokasi, BPOM melakukan penguatan kelembagaan pada area perubahan organisasi.

Hasil yang diharapkan adalah meningkatnya ketepatan ukuran, fungsi, dan sinergi kelembagaan dengan ukuran keberhasilannya ialah organisasi BPOM yang tepat fungsi dan tepat ukuran melalui penataan dan pembentukan UPT BPOM berupa Loka. Pada titik ini, reformasi tidak serta merta dimaknai sebagai perampingan, tetapi lebih kepada ketepatan ukuran dan fungsi suatu organisasi.

Manfaat dari reformasi tersebut pada penelitian ini dianalisis melalui perspektif transformasi organisasi menggunakan kombinasi fishbone analysis evaluasi proses bisnis dan nilai- nilai NPS. Berdasarkan analisis, kehadiran Loka POM merupakan upaya pemerintah untuk mendekatkan diri pada kebutuhan citizens sesuai dengan inti dari paradigma NPS.

Sampai dengan 2 tahun Loka POM berjalan, hasil yang dapat dipotret sejauh ini adalah peningkatan-peningkatan yang cenderung masih bersifat output seperti peningkatan cakupan pengawasan Obat dan Makanan, sinergi pusat dan daerah untuk satu tujuan yang sama yaitu pengawasan Obat dan Makanan, dll. Dalam konteks output, semakin banyak jumlah sarana yang diperiksa memiliki korelasi pada semakin terlindunginya masyarakat.

Diperlukan suatu perangkat yang relevan dan komprehensif untuk dapat mengukur outcome terutama pada elemen masyarakat sehingga peran dari BPOM secara umum maupun Balai Besar, Balai, dan Loka POM secara khusus pada masyarakat atau citizens dapat diketahui dengan lebih cermat. Hal ini merupakan titik kunci karena dalam paradigma NPS, citizens merupakan kunci sehingga outcome yang diterima dan dirasakan oleh masyarakat adalah hal penting yang dapat dikembangkan metode pengukurannya oleh peneliti-peneliti selanjutnya.

VI. D

AFTAR

P

USTAKA

BPOM. (2019). Laporan Tahunan 2018. Jakarta:

BPOM.

_______. (2020). Laporan Keuangan TA 2019.

Jakarta: BPOM.

_______. (2020). Laporan Kinerja 2019. Jakarta:

BPOM.

_______. (2020). Laporan Tahunan 2019. Jakarta:

BPOM.

Balai Besar POM di Banda Aceh. (2019). Serah Terima Hibah Tanah Kantor Loka POM di Kabupaten Aceh Selatan. Retrieved from https://www.pom.go.id/new/view/more/be rita/16256/Serah-Terima-Hibah-Tanah- Kantor-Loka-POM-di-Kabupaten-Aceh-

(13)

13 Selatan.html

Balai Besar POM di Medan. (2019). Serah Terima Hibah Tanah Loka POM di Kabupaten Toba

Samosir. Retrieved from

https://www.pom.go.id/new/view/more/be rita/17595/Serah-Terima-Hibah-Tanah- Loka-POM-di-Kabupaten-Toba-Samosir.html Cahyadi, Robi. (2013). Reformasi Pelayanan

Birokrasi. Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan ADMINISTRATIO, 4 (2).

pp. 118-125. ISSN 2087-0825

Caiden, G. E. (1999). Administrative Reform, Proceed with Caution. International Journal of Public Administration, 22(6), 815-832, DOI: 10.1080/01900699908525406

Creswell, J. W., & Creswell, J. D. (2018). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. Fifth edition. Los Angeles: SAGE.

Denhardt, J. V., & Denhardt, R. B. (2015). The new public service: Serving, not Steering.

Routledge.

Desrina, S. (2020). Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah dalam Pengawasan Obat di Apotek. University Of Bengkulu Law Journal,

5(1), 12-34.

https://doi.org/10.33369/ubelaj. 5.1.12-34 Dong, L., Christensen, T., & Painter, M. (2010). A

Case Study of China’s Administrative Reform:

The Importation of the Super-Department.

The American Review of Public Administration, 40(2), 170–188.

https://doi.org/10.1177/

0275074009334075

Farazmand, A. (2001). Administrative reform in developing nations. Westport: Greenwood Publishing Group, Incorporated.

Greve, C., Lægreid, P., Rykkja, L.H. (2016). Nordic Administrative Reforms: Lessons for Public Management. UK: Palgrave Macmillan.

Grossman, G., & Lewis, J. I. (2014). Administrative Unit Proliferation. The American Political Science Review, 108(1), 196-217.

https://www.jstor.org/stable/43654055 Gusmano, M.K. (2013), FDA Decisions and Public

Deliberation: Challenges and Opportunities.

Public Admin Rev, 73: S115-S126.

https://doi.org/10.1111/puar.12121

Loka POM Kabupaten Aceh Selatan. (2020).

Laporan Tahunan Loka POM di Kabupaten Aceh Selatan 2019. Tapak Tuan: BPOM.

Loka POM Kabupaten Aceh Tengah. (2020).

Laporan Tahunan Loka POM di Kabupaten Aceh Tengah 2019. Takengon: BPOM.

Loka POM Kabupaten Bima. (2020). Laporan Tahunan Loka POM di Kabupaten Bima 2019.

Bima: BPOM.

Loka POM Kabupaten Manggarai Barat. (2020).

Laporan Tahunan Loka POM di Kabupaten Manggarai Barat 2019. Labuan Bajo: BPOM.

Loka POM Kabupaten Maluku Tenggara Barat.

(2020). Laporan Tahunan Loka POM di Kabupaten Maluku Tenggara Barat 2019.

Saumlaki: BPOM.

Loka POM Kabupaten Tulang Bawang. (2020).

Laporan Tahunan Loka POM di Kabupaten Tulang Bawang 2019. Tulang Bawang: BPOM.

Loka POM Kota Balikpapan. (2020). Laporan Tahunan Loka POM di Kota Balikpapan 2019.

Balikpapan: BPOM.

Lynn, L. E. (2013). "Innovation and reform in public administration: one subject or two?". In SP.

Osborne & L. Brown (Eds.), Handbook of Innovation in Public Services. Cheltenham, England: Edward Elgar Publishing.

https://doi.org/10.4337/9781849809740.00 Nugroho, S et al. (2020). Laporan Tahunan Loka 010

POM di Kabupaten Banyumas 2019.

Banyumas: BPOM.

Pateli, Adamantia, & Philippidou, Sofia. (2011).

Applying Business Process Change (BPC) to Implement Multi-agency Collaboration: The Case of the Greek Public Administration.

Journal of theoretical and applied electronic commerce research, 6(1), 127-142.

http://dx.doi.org/10.4067/S0718- 18762011000100009

Saefuloh, AM. (2020). Kota Tasikmalaya Segara Miliki Kantor Loka POM, Jaminan Keamanan Makanan Akan Lebih Baik. Retrieved from https://www.pikiran-rakyat.com/jawa- barat/pr-011022245/kota-tasikmalaya- segara-miliki-kantor-loka-pom-jaminan- keamanan-makanan-akan-lebih-baik

Sekretariat Daerah Pemkab Buleleng. (2020).

Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Buleleng Melalui Optimalisasi Pengawasan Obat dan Makanan. Retrieved from https://prokomsetda.bulelengkab.go.id/berit a/peningkatan-kesejahteraan-masyarakat- buleleng-melalui-optimalisasi-pengawasan- obat-dan-makanan-99

UNDP. (2015). Public Administration Reform Practice Note. Retrieved from https://www.undp.org/content/undp/en/ho me/librarypage/capacity-building/public- administration-reform-practice-note.html

(14)

14

Referensi

Dokumen terkait

2.5 Khảo sát các điều kiện nuôi cấy thích hợp cho sinh tổng hợp amylase Các điều kiện nuôi cấy thích hợp cho sinh tổng hợp amylase của các chủng vi nấm nghiên cứu được khảo sát theo

[r]