• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akhir-akhir ini nilai Fisika Nala turun derastis.

N/A
N/A
TATA

Academic year: 2023

Membagikan "Akhir-akhir ini nilai Fisika Nala turun derastis."

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

AKSIOMA

Akhir-akhir ini nilai Fisika Nala turun derastis. Seperti terjun payung. Bu Mika selaku guru fisika cukup bingung untuk mengatasi hal ini. Sehingga ia memilih Dewa untuk menjadi guru tutor untuk Nala. Karena waktu lalu, Dewa pernah menawarkan diri menjadi pembimbing, jika ada siswa yang lemah dalam pelajaran Fisika.

Dewa dan Nala sudah memutuskan jadwal belajar mereka. Awalnya Dewa memberi pilihan jumlah pertemuan dalam satu minggu.

Seminggu dua kali atau seminggu tiga kali.

Nala memilih seminggu dua kali maka Dewa putuskan seminggu tiga kali. Keputusan yang mutlak dan tak bisa diganggu gugat.

Nala sempat kesal mengapa cowok itu memberinya pilhan jika ujung-ujungnya tidak dipilih.

“Dewa, kayaknya otak gue didesain untuk nggak memahami fisika deh.” Dewa memejamkan mata lantang menghembuskan napas jengah. Sejak dua jam terakhir Nala sudah mendeklarasikan kalimat itu lebih dari sepuluh kali.

Dewa menyiapkan laptop di hadapannya. Sambil menunggu Nala mengerjakan soal, dia memanfaatkan waktu untuk menyicil tugas.

Dilihatnya Nala yang sudah menengadah Lelah. Punggungnya bersandar pasrah pada kursi. Otakya udah nggak sanggup lagi memecahkan soal fisika yang diberikan Dewa.

Tangan Dewa meraih buku catatan Nala yang dipenuhi oleh berbagai macam rumus dan angka. Di soal pertama tulisannya masih bagus dan terlihat niat. Sampai di nomor- nomor selanjutnya mulai terlihat betapa frustasinya Nala memecahkan soal-soal itu.

“Nih, nomor satu benar.” Dewa berujar bangga.

“Nomor satu doang,” gerutu Nala tidak puas. “Itupun ngerjainnya setengah jam lebih.”

“Mending gitu kan daripada gak bisa sama sekali? Berarti artinya lo masih punya harapan,” Kata Dewa berusaha mengembalikan semangat cewek di hadapannya.

“lagian ini juga lo baru belajar, jadi nggak mungkin dong langsung jadi jenius dalam sekejap, harus ada prosesnya dulu. Pelan-pelan, sabar, telaten,” imbuhnya lagi.

Bukannya terhibur dengan kalimat Dewa, Nala justru menyangkal dengan pernyataan lain. “Banyak tuh di luar sana orang yang baru belajar tapi langsung bisa,”

katanya dengan ekspresi murung.

Dewa menarik kedua sudut bibirnya ke dalam. Dia udah pernah bilang kan kalo berhadapan dengan Nala itu dibutuhkan stok kesabaran dan pengertian yang berlimpah.

“Setiap orang kan beda-beda Nal. Lo nggak bisa samain proses lo sama orang lain.

Meskipun kelihatannya langsung bisa mereka juga berproses kok, Cuma emang waktunya aja yang beda, mereka cepat sedangkan lo sedikit lambat. Dan itu wajar, gapapa,” jelas Dewa Panjang lebar.

(2)

“Ya itu dia masalahnya, kenapa waktu gue lambat dan mereka cepat?”

“ Ya karena mereka udah terbiasa Nala,” jawab Dewa sabar. “Coba deh sekarang lo pikir lagi. Lo bisa nggambar bahkan nglukis hanya dari imajinasi lo, trus lo gambar langsung di kanvas. Sedangkan orang lain belum tentu bisa dan udah terbiasa. Kalaupun bisa ya harus ada prosesnya dulu, gak mungkin dong sekali ngedip langsung jadi lukisan yang keren.

“Beda kasus Dewaaa.”

“Kasusnya beda tapi intinya sama kan? Sama-sama tentang bisa dan nggak bisa, sama-sama tentang terbiasa atau enggak, dan sama-sama tentang berproses,” tegas Dewa tak bisa didebat lagi.

Selanjutnya cowok itu setengah bangun dari duduknya, membungkuk ke depan lantas meraih kedua tangan nala dan menarik cewek itu agar Kembali duduk tegak.

Nala sempat mengerang karena dibangunkan dari posisi nyamannya .

“Dewaaa….”

“Udan cukup istirahatnya. Sekarang kita bahas bareng-bareng aja soalnya, dengerin baik-baik oke?”

Menit-menit di ruangan ini selanjutnya diisi dengan berbagai penjelasan dari Dewa.

Sesekali cowok itu melempar pertanyaan pada Nala untuk merangsang kemampuan berpikir cewek itu.

Dewa meletakkan dagunya di atas lipatan kedua tangannya, masih berusaha mencerna setiap penjelasan yang ia dengar. Tanpa sadar ia memandang wajah Dewa yang nampak serius. Nala yang belum pernah melihat sosok Dewa seserius ini. Dia mengakui fakta bahwa Dewa terlihat lebih mempesona sekarang ini.

Cowok ganteng itu memang attractive. Tapi cowok pintar yang gak membuat orang lain nampak bodoh jauh berkali-kali lipat lebih attractive.

Dan kalo boleh jujur, Dewa adalah perpaduan keduanya, Nala harus benar benar kuat jiwa raga kalo gak mau jatuh dalam pesona cowok itu.

“Tapi kalo nyaris setiap hari Nala harus dihadapkan sama yang modelan begini mana mungkin betah dia? Sekarang aja cewek dengan gengsi tinggi itu sama sekali gak berkedip saat memandang sosok Dewa.

Nala langsung disergap rasa panik. “Siapa juga sih yang ngelihatin? Orang dari tadi gue merhatiin penjelasan lo juga! Ge-er banget jadi orang!” sentak nala galak untuk menutupi kepanikannya.

“Yayayyayaya…” Dewa hanya bersenandung mengiyakan. Dewa udah terbiasa dengan sikap cewek itu . Nala dan gengsinya yang tak pernah usai.

Besok paginya

(3)

Hari ini Nala melaksanakan ulangan Fisika. Surprisingly soal yang keluar nyaris 80%

sama dengan yang diajarkan Dewa. Nala yang bisanya nyontek teman, akhirnya hari ini bisa ngasih contekan. Berasa balas budi tau nggak.

Ada untungnya juga dia belajar empat jam lebih bareng Dewa.

Hasil ulangan dibagikan hari itu juga. Di tengah-tengah jam istirahat, ketua kelas Nala masuk kelas dengan membawa beberapa lembar kertas ditangannya. Dia berjalan menghampiri Nala. “Tumben Nal nilai lo bagus?”

“Ngejek lo ya?” Nala menyahut kertas ulangannya, tak percaya dengan ucapan ketua kelas itu.

“Gila!” Nala benar-benar speechless melihat nilainya sendiri.

“Ini serius dapat 70?” Nala yang masih tak percaya apa yang dia dapat.

“Si Mila berapa si Mila? Nala bertanya tentang nilai sang juara kelas.

“78, tertinggi dia, habis itu lo.”

“Demi apaaa?”

“Lo kayaknya habis kerasukan jin fisika deh.”

“Kayaknya sih iya.” Membuat sang ketua kelas geleng-geleng kepala.

Hal pertama yang Nala lakukan saat sadar ini bukan mimpi. Ia langsung lari keluar kelas mencari keberadaan Dewa. Dan sebuah keajaiban atau nggak, kebetulan kelas dewa lagi olahraga di lapangan. Nala berlari kearah dewa yang sedang di pinggir lapangan.

Sambil meneriaki Namanya dan meyeret tangannya kearah taman dekat lapangan itu.

“Pelan-pelan Nall, ntar jatuh.” Dewa langsung mengomel khawatir.

Nala tak ambil pusing. Dia melepaskan cengkramannya dari tangan Dewa, lantas menunjukkan kertas hasil ulangannya di depan wajah Dewa dengan senyum paling lebar yang pernah ia tunjukkan pada cowok itu. “Lihat deh! Keren kan gue? Yaa mungkin aja nggak sebagus kalau lo yang ngerjain. Tapi tetap aja keren kan. Soalnya hasil kerja keras gue. Dan gue juga jarang dapat nilai sebagus ini.”

Dewa sepat mengernyit lalu mengarahkan pandangan ke sudut kertas. Perlahan senyumnya ikut mengembang. Dia mengambil alih kertasnya dan melihat lebih jelas.

“Siapa dulu coba yang ngajarin?” Dengan wajah tengilnya.

“Iya deh iya.” Sepersekian detik wajah yang datar berubah menjadi lesu.

“Beracanda Nalaa…Lo hebat kok.” Ucap Dewa dengan senyum manisnya.

“Nih ya, mau gue ajarin gimanapun kalau diri lo ga niat ya percumakan. Jadi apa yang lo dapat sekarang ya karena kemauan dan hasil kerja keras lo, gue hanya bagian kecil dari itu semua.

Ucapan Dewa membuat terharu dengan segala perbuatan dan perkataannya.

Seperti sekarang ini.

(4)

Setelah Nala ingat-ingat cowok itu selalu menghargai semua hal, mau sekecil dan sesederhana hal yang lain.

Mungkin dia punya alasan, hanya saja semua alasan tersebut abu-abu hingga abstrak, dan tidak jelas. Mungkin juga alasan itu tampak jelas. Tetapi Nala selalu menyangkalnya.

“Nih”. Dikembalikannya kertas ulangan itu ke pemilikanya.

“Bawa aja.”

“hah?” Membuat Dewa terkejut.

“Lo aja yang bawa Dewa.”

“Kok gitu? Itukan punya lo, hasil kerja keras lo.” Dewa menolak karna tidak berhak atas kertas tersebut.

Ucapan Dewa memang benar. Itu adalah miliknya, hasil usahanya, dan sudah seharusnya Nala menyimpannya.

“Kenapa harus gue yang simpan? Kenapa nggak orang lain aja?.” Dewa bertanya.

“Karena lo tadi bilang gue hebat. Walau cuma dapat nilai 70. Karna lo tau proses dan usaha gue lebih berarti daripada dua angka nilai itu.” Jelas Nala penuh arti.

“Jadi simpan baik-baik buat gue yaa.” Penuh permohonan.

Dia senang dengan pandangan Nala terhadap dirinya. Dia senang dengan fakta bahwa Nala menganggapnya demikian. Dia senang karna Nala mempercayai dirinya daripada orang lain.

Semua hal itu yang sangat Dewa harapkan.

“Oke bakal gue simpan baik-baik.” Dia tidak akan menolak jika Nala yang memintanya. “Gue sekalian figurain aja deh.”

“Yaa nggak usah segitunya Dewa.” Jawab Nala sambil diiringi tawanya.

Keesokan harinya

Nggak ada yang lebih menyebalkan dari hari ini. Mataharinya dua kali lebih terik dan jarum jamnya sepuluh kali lebih lama. Suasananya cukup menegangkan untuk mata pelajaran pertama pagi ini. Belum ada tanda-tanda guru masuk kelas dari awal bel berbunyi.

Ketua kelas akhirnya masuk setelah sekian kali bolak-balik dari ruang guru. Dia mengetuk-ngetuk papan tulis dengan spidol, mengumpulkan perhatian seisi kelas. Mereka dapat menebak apa yang akan keluar dari mulut si ketua kelas dalam beberapa detik lagi.

Satu, dua, tiga….

“Guru-guru lagi rapat. Kalian bisa lanjut istirahat sampai jam pulang sekolah nanti.”

Ketua kelas berwajah datar itu langsung kembali ke tempat duduknya setelah menyampaikan “kabar gembira” barusan. Seisi kelas langsung bersorak girang seperti napi yang baru saja bebas dari penjara. Anak laki laki langsung berlarian ke luar kelas. Ada yang ke kantin dan ada juga yang ke lapangan untuk bermain bola. Sementara anak-anak

(5)

perempuan, hanya dikelas dan langsung berkerumun. Berkumpul menjadi satu membentuk suatu forum gosip paling panas minggu ini.

“Nall, sini deh gabung.” Kiran tiba-tiba bersuara. “Arsa, lo juga sini deh.”

Sambungnya lagi memanggil teman lain yang duduk di pojok ruangan.

“Skip dulu. Gue lagi makan Karin…” Sahutnya dengan muka yang sangat tergoda dengan makanan yang ia bawa.

“Tinggal bawa kesini kan bisa. Minimal bagi-bagi lah. Jawab Arsa.

“ Apa lo liat-liat!” Sahut Nala menuju meja teman-temannya. Arsa yang tiba-tiba ingin menyomot makanan yang ia bawa.

“Minta dikit doang, pelit banget. Dikit kok dikit. Segini nih segini (sambil mengaitkan antara jari telunjuk dan jempolnya). Kata orang nih ya, biasanya yang modelan pelit kek lo gini kuburannya sempit. Mau gak lo kayak gitu.”

“Sok tau banget lo. Tanpa lo minta juga bakal gue kasih. Nihh..” sambil menyodorkan makanannya.

Karin yang menyimak interaksi kedua sahabatnya hanya bisa geleng-geleng kepala.

Nggak tau kenapa setiap mereka ngobrol pasti terlibat cekcok. Antara si paling ngeselin yang hobinya ngeledek dan si gamau ngalah dalam artian teguh pendirian. Bisa jadi bagaikan kucing dan harimau. Hanya Tuhan yang tau.

“Astaga Nala pagi-pagi malah makan beginian! Gimana penyakit ngga makin doyan?” Kiran langsung mengomel saat melihat berbagai macam gorengan penuh minyak yang dibawa Nala. Ditambah lagi sahabatnnya ini juga membeli sebotol minuman dingin yang kaya akan pemanis buatan.

“Hush, ga usah bawel!” Nala memasang gestur meletakkan jari depan bibir, menghentikan cerocosan Kiran sebelum cewek itu makin ngomel panjang lebar. Dia lagi gak mood buat diomelin sekarang.

Kemudian Nala dan Arsa mulai menyantap makanan dengan santai. Kiran yang melihat itu cuma bisa menghela napas sabar.

“Hobi banget kalian mengundang penyakit.”

“Lo sengaja ya Nar biar bisa ngandu sama Dewa kalo sampai sakit. Ntar bisa dapet puk-puk di kepala. Ngaku gak lo!” Sarkas Kiran yang langsung membuat nafsu makan Nala hilang seketika.

Cewek itu menatap menghentikan kunyahannya, menatap Kiran datar, lantas bergumam, “Dewa lagi… Dewa lagi…”

“Siapa sih yang kemarin-kemarin curhat ngomongin Dewa mulu.” Sarkas Arsa.

“Nih kayaknya kalo gue kesurupan juga pasti lo sangkut pautin sama Dewa deh.”

Kiran menggerutu kesal.

Arsa refleks menendang kaki Nala. “Omongan lo jelek banget. Hati-hati samping jendela lo pohon beringin banyak penunggunya tuh!”

(6)

“Lagian lo juga sih! Dikit-dikit Dewa, dikit-dikit Dewa! Protes Nala tak terima. “Maksud gue diantara sekian banyak hal yang bisa kita bahas kenapa ujung-ujungnya selalu Dewa?”

“Ya karena sejak awal lo kenal sama dia, pernah sharing is caring, bahkan sering pulang bareng, bisa jadi lo udah memutuskan buat masuk ke hidupannya Dewa. Dan naasnya lo nggak bisa kabur, mungkin bisa sekarang atau bahkan nanti, pasti ada aja kejadian yang bikin kalian tetap berhubungan!” Arsa dan segala teorinya yang tak pernah usai.

“Kenapa setiap pulang bareng Dewa, pasti malemnya itu gue liat wajah dia di plafon kamar gue. Aneh banget kan yaa?” Ujar Nala kebingungan.

“ANJIRRRR.” Umpat Arsa.

“Lo beneran nggak tau atau nggak nyadar sih Nall. Itu tandanya lo lagi mikirin dia.

Yakali sering jalan bareng nggak ada sesuatu. Siapa tau timbul benih-benih cinta.” Kesal Kiran

“Masa sihh, kok bisa!” Timpal Nala.

“Ibaratnya nih ya, lo udah tau nggak bisa berenang tetap aja maksa nyebur. Giliran udan kelelep nyalahin keadaan, padahal dari awal lo sendiri yang salah. Udah membuka ruang. Nikmatin dah tuh sekarang.”

“Orang kelelep apanya yang dinikmatin?” Balas Nala asal dengan muka cemberut, yang langsung dihadiahi toyoran tepat di kepala oleh Arsa.

“Kebiasaan deh kalo dibilangin jawab mulu!”

Mendengar ucapan kedua sahabatnya membuat Nala semakin ingin menyumpah serapahi dirinya sendiri.

Nala melahap tahu isinya dengan satu gigitan besar sampai mulutnya penuh.

Mengunyah dengan tak niat untuk melampiaskan kekesalannya. “Udah ah, mending kita ngomongin yang lain.”

Kiran melirik Nala sekilas, “ngomongin apaan?”

Nala termenung menatap sebotol es teh dan gorengan di hadapannya secara bergantian. “Kenapa nyamuk lebih suka darah padahal es teh lebih nikmat? Kenapa kucing lebih suka whiskas padahal tahu isi pake cabe lebih nikmat.”

Kiran dan Arsa menatap Nala lamat-lamat, ekspresinya sudah jelas menunjukkan adanya kilatan amarah, tapi dia berusaha tersenyum tabah. “kenapa lo punya otak kalo cuma buat pajangan?”

Nala mendelik. “Siapa bilang? Dengan otak ini gue bisa mikir inspirasi buat gambar bahkan lukisan yang nggak semua orang bisa. Keren kan?” Nala menaik turunkan alisnya, tersenyum bangga. Di mata Kiran muka Nala sekarang menggundang toyoran banget.

Terserah lo deh Nal. Gue sama Arsa capek. Angkat tangan.” Ujar Karin mutlak.

(7)

Karin bersorak dalam hati, walaupun agak kesal. Asal kalian tau, Karin tuh sebenarnya cuma ingin menciptakan momen diantara keduannya. Tiap liat Nala dan Dewa jiwa mak comblangnya otomatis muncul ke permukaan.

Dengan begini siapa tau lama-kelamaan mereka makin terbiasa dengan satu sama lain dan berakhir terikat dalam sebuah hubungan. Bosen juga dia lihat Nala nggak ada gandengan. Pengen gitu sekali-kali lihat Nala bucin ke cowok. Kayaknya seru!

Referensi

Dokumen terkait

AWARE that the National Ethical Guidelines for Health and Health-Related Research needs to be updated every five years due to scientific, technological, and social advancements and

Article 32 No liability shall attach to a nuclear installation operator for nuclear damage caused by a nuclear incident directly due to an act of international or non-international