• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akhir Pekan Buku - caridokumen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Akhir Pekan Buku - caridokumen"

Copied!
1
0
0

Teks penuh

(1)

24

KOMPAS, SABTU, 11 MARET 2 01 7

Akhir Pekan Buku

Demokrasi Digital

Judul:Demokrasi di Tangan Netizen:

Tantangan & Prospek Demokrasi Digital

Pe n u l i s :Fayakhun Andriadi

Pe n e r b i t :RMBOOKS, Jakarta

Ce t a ka n :I, 2016

Te b a l :xii + 349 halaman

ISBN:978 – 602 – 7936 – 62 – 1

berjejaring daripada nilai demokrasi se- belumnya lebih bersifat kolektif, yakni lebih bersifat organik.

Masyarakat kelas menengah Indo- nesia sekarang ini pada umumnya lebih melihat politik dalam perspektif infor- mal, komunal, multilateral, dan populis.

Dunia politik hari ini sudah mengarah pada masa ”akhir teori” (end of theory) dan juga pasca ”ke b e n a r a n ” (post-truth) yang mereduksi secara perlahan proses politik yang elitis, normatif, dan sere- monial. Berkat adanya beragam infor- masi, masyarakat kini mampu berperan sebagai kelompok kepentingan ataupun kelompok penekan secara langsung ataupun tidak langsung. Kedua nilai utama demokrasi digital yaitu demo- krasi seduktif dan konektif itulah yang kini sedang dan akan terus berkembang dalam politik Indonesia ke depan.

Buku ini secara garis besar berkon- tribusi penting dalam menciptakan wa- cana terhadap prospek dan tantangan demokrasi digital di Indonesia. Sebe- lumnya buku-buku sejenis telah ber- upaya mengupas tema sama seperti hal-

nya David T Hill & Krishna Sen (2005) The Internet in Indonesia's New De- m o c ra c y, Anwar Abugaza (2013) Social Media Politica, ataupun Rulli Nasrullah (2015) Sosial Media.

Adapun Hill dan Sen mengupas temuan awal relasi internet dan politik di Indonesia dalam membentuk perju- angan nilai dan prinsip demokrasi, baik sebelum maupun pasca era otorita- rianisme. Sementara Abugaza dan Nas- rullah lebih mencermati adanya kemun- culan media baru (new media) melalui tumbuhnya beragam platform media sosial dalam adopsi teknologi informasi di kalangan kelas menengah telah men- ciptakan nalar politik kritis publik yang menginginkan adanya politik yang mengedepankan proses dialogis, inter- aktif, negosiasi, ataupun juga advokatif

daripada relasi hierarkis dan monolitik.

Buku ini melengkapi kajian-kajian se- belumya tersebut melalui bahasan transformasi demokrasi yang semula sifatnya spasial menjadi digital melalui terbentuknya beragam ruang siber (c y b e rs p a c e ) sebagai ruang publik

baru.

Prinsip demokrasi digital Secara garis besar, pem- bahasan demokrasi digital terbagi atas beberapa kata kunci, seperti relasi dunia maya (online) dan dunia nyata (offline), representasi dan partisipasi, serta n e t i ze n . Pertama, relasi dunia maya (online) dan dunia nyata (off - line) berperan penting dalam konstruksi nalar politik kritis publik yang berusaha dan ber- lomba membentuk jejaring ber- dasarkan pada isu dan kepen- tingan yang sama untuk mem- bentuk adanya gerakan.

Kedua, representasi dan par- tisipasi adalah prinsip demokrasi digital hari ini yang pada intinya meminta adanya keterbukaan dan aksesibilitas publik terhadap pe- merintahan. Ketiga, n e t i ze n adalah publik sebagai user ataupun re c e i ve r terhadap beragam informasi tersebut melalui akun media sosial ma- sing-masing. Pada akhirnya, demo- krasi digital menciptakan adanya imajinasi-imajinasi politik dan de- mokrasi ideal menurut warga negara yang dirumuskan melalui ruang-ruang siber (c y b e rs p a c e ) sebagai ruang publik baru.

Melekatnya fungsi media sosial de- ngan publik kelas menengah terhadap isu politik dikarenakan internet men- ciptakan adanya sensasi meruang (sense of space), sensasi menyata (sense of real), ataupun juga sensasi kebersamaan (sen - se of belonging) (hal 122). Adanya ketiga sensasi itulah yang mendorong peng- gunaan media sosial secara masif dan intens di kalangan kelas menengah ka- rena ruang virtual mampu mereflek- sikan diri dalam ruang aktual secara timbal balik, sehingga melakukan ko- munikasi di dunia maya juga berdampak pada komunikasi nyata dan sebaliknya.

Adanya aksi unfriend, unshare, ataupun unf ollow di media sosial berpengaruh pada pola interaksi di dunia nyata.

Buku ini secara garis besar menam- pilkan beragam kajian literatur demo- krasi digital, utamanya kajian dari luar untuk melihat sisi teoretik ke- mungkinan penerapannya dalam kasus Indonesia. Namun, kelemahannya, buku ini kurang mengupas secara lebih detail mengenai praktiknya demokrasi digital di Indonesia, terlebih mengenai kontestasi kuasa antara pemerintah me- lalui UU ITE dan resistensi publik terhadap keterbukaan internet sebagai ruang alternatif demokrasi baru. Mes- kipun demikian, buku ini mampu mem- berikan sumbangan literasi penting me- ngenai relasi internet dan politik di Indonesia.

WASISTO RAHARJO JATI Peneliti di Pusat Penelitian Politik- LIPI

R A G A M P U S T A K A Pilar Kelima Demokrasi Indonesia

J

atuhnya rezim otorita- rianisme telah mengantar- kan kita pada suatu era yang disebut Era Reformasi. Era yang memberikan warna baru bagi proses demokrasi, di mana segenap elemen masyarakat me- miliki hak untuk berekspresi dan menyatakan pendapat seca- ra terbuka. Pers Indonesia, mi- salnya, kini mulai menunjukkan geliatnya sebagai ”pilar keempat demokrasi” yang sempat redup pada masa pra-reformasi. Be- lakangan ini, muncul lagi sebuah kekuatan baru yang dianggap sebagai pilar kelima demokrasi, yaitu media sosial.

Kita tidak dapat mengingkari kekuatan media sosial untuk membentuk opini publik atas suatu isu atau kasus tertentu. Kasus hukum Prita Mulyasari, misalnya, dukungan terhadapnya yang digerakkan melalui media sosial Facebook terbukti mampu mengubah putusan pengadilan. Demikian pula kasus Cicak vs Buaya, dukungan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi me- lalui Twitter ternyata mampu memobilisasi massa untuk datang ke kantor KPK memberikan dukungan. Hal itu menjadi bukti nyata kekuatan media sosial bagi kehidupan demokrasi.

Peran media sosial sebagai pilar kelima demokrasi di atas merupakan salah satu topik yang dibahas dalam buku Masa Depan Komunikasi, Masa Depan Indonesia: Demokrasi dalam Ruang Virtual (Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, 2014).

Kumpulan tulisan yang tersaji dalam buku ini membahas dampak media sosial bagi kehidupan demokrasi Indonesia, di antaranya seperti topik munculnya gerakan sosial yang digagas melalui media sosial, dan media sosial sebagai fungsi pengawasan dalam praktik bernegara di Indonesia.(AEP/LITBANG ”KO M PA S ”)

Adu Wacana di Dunia Maya

K

ehadiran internet membawa perubahan mendasar dalam pola komunikasi masyarakat. Gejala itu nyata terlihat pada media sosial. Sebagai buah dari internet, media sosial (medsos) telah tumbuh menjadi ruang diskusi publik yang nyaris tanpa batasan. Karakteristik penyebaran informasi yang ber- langsung secara masif itu menjadikan medsos sebagai arena pertarungan berbagai wacana, kekuatan baru untuk membentuk opini publik, sekaligus sebagai refleksi perbincangan publik di dunia nyata.

Buku Dialog Demokrasi dalam 140 Karakter (De- wan Pers, 2015) mencoba melihat seberapa besar pe- ngaruh medsos, khususnya Twitter, dalam mendorong diskusi publik yang mence- rahkan dan memengaruhi pendapat umum. Dalam ri- setnya, Dewan Pers menja- dikan Pemilu Presiden 2014 sebagai contoh kasus untuk menemukan sejumlah reali- tas penting.

Hasil riset mengindikasi- kan partisipasi masyarakat da- lam Pilpres 2014 sangat tinggi di Twitter. Meski demikian, percakapan yang terjadi cen- derung berupa pesan reaktif yang membuat publik terpo- larisasi. Publik cenderung partisan, mereka lebih sering terlibat dalam adu argumentasi untuk memenangkan figur tertentu ketimbang memenangkan g a g a sa n .

Twitter juga rawan disalahgunakan. Dalam Pilpres 2014, akun-akun berbayar yang menyebarkan ujaran kebencian, berita hoaks, dan kampanye hitam memainkan peranan penting dalam

”perang” pesan di medsos. Buku ini mengajak pembaca untuk memahami peluang dan ancaman media sosial, serta mengajak kita untuk menerima realitas baru dalam kehidupan berde- mokrasi. (AEP/LITBANG ”KO M PA S ”)

Demokrasi digital adalah istilah baru dalam menjelaskan

persilangan relasi antara penggunaan media sosial, pemenuhan representasi dan artikulasi kepentingan, serta penguatan kelas menengah.

Ketiganya merupakan faktor penting dalam menjelaskan konstelasi sosial-politik yang berkembang di Indonesia hari ini dengan memunculkan media sosial sebagai pilar demokrasi kelima setelah pers.

OLEH WASISTO RAHARJO JATI

S

ecara harfiah pengertian demo- krasi digital dapat dipahami seba- gai implementasi demokrasi yang tidak terkungkung pada limitasi ruang, waktu, ataupun batasan fisik lainnya.

Demokrasi digital menggabungkan kon- sep demokrasi perwakilan dan demo- krasi partisipatif sehingga mampu mengeksplorasi dengan cepat interaksi antara dunia maya dan sosial (hal 149- 150).

Relasi antara dunia maya (online) dan juga dunia nyata (offline) menjadi relasi esensial dalam perkembangan demo- krasi digital hari ini. Keduanya saling memengaruhi satu sama lain dalam pro- ses politik, baik di level negara, media/

partai politik, maupun juga masyarakat politik. Adanya proses tarik ulur ke- pentingan dan proses politik itulah yang kemudian menciptakan ”nilai pertama”

demokrasi digital, yakni demokrasi se- d u kt i f .

Istilah tersebut untuk menjelaskan bahwa demokrasi kini lebih sifatnya merayu, memengaruhi, sekaligus me- nyugesti daripada nilai demokrasi sebe- lumnya yang bersifat asosiatif, yakni mengajak, berkumpul, dan mengelom- pok. Pembentukan, kepemilikan, dan redistribusi informasi secara instan, ce- pat, dan tepat menjadi kunci penting dalam menciptakan preferensi politik publik melalui beragam informasi, en- tah berita itu benar atau bohong. De- ngan kata lain, implementasi demokrasi hari ini lebih kepada membentuk ja- ringan relasi personal privat di dunia maya untuk berkembang menjadi relasi komunal publik di dunia nyata.

Nilai utama demokrasi

Adanya sentuhan teknologi telah mengakselerasi demokrasi agar lebih dekat, nyata, dan berkontribusi penting dalam menciptakan demos secara kritis.

Para n e t i ze n yang mayoritas diisi oleh kelas menengah itulah yang tampil se- bagai demos dalam situasi kekinian me- lalui aktivitas klik, posting, dan sharing di akun media sosial masing-masing.

Hal itulah yang menciptakan ”nilai ke- dua” demokrasi digital, yakni demokrasi konektif, yaitu demokrasi yang sifatnya

FOTO -FOTO: KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

PA M E R A N

Fotografi Pertunjukan, Diam tetapi Bergerak

mutunya jauh lebih baik daripada foto-foto lama yang dibuat kaum pro- fesional pun.

Foto-foto di pameran Padnecwara ini walau mayoritas dibuat oleh para amatir (artinya tidak mencari nafkah dari fotografi), secara umum sudah berhasil memotret seni pertunjukan tari dengan benar dalam segala ka- i d a h ny a .

Masalah cahaya

Dalam memotret pertunjukan, ter- utama tari, seorang pemotret akan

”mengadu” gerakan penari dan ke- mampuan kamera dalam merekam.

Tantangan terbesar dalam memotret pertunjukan adalah masalah cahaya, karena umumnya pertunjukan apa pun memakai cahaya buatan yang tentu saja jauh lebih redup diban- dingkan dengan cahaya matahari. Ca- haya yang minim akan menyebabkan kamera sulit untuk merekam gerakan dalam rekaman diam.

Di masa lalu, dengan kemampuan rekam film yang begitu terbatas, fo- tografi pertunjukan tari umumnya sa- ngat statis. Fotografer mana pun (yang sangat sedikit di masa lalu) selalu menghindari memotret saat ge- rakan cukup cepat. Alhasil, foto per-

tunjukan masa lalu sering hanya me- rekam saat-saat di mana gerakan se- dang minim, dan fotonya pun ke- sannya sangat statis.

Namun, dalam kestatisannya, fo- tografi yang merekam tari sesung- guhnya justru merekam gerakan se- cara keseluruhan kalau pemotretan dilakukan dengan baik dan benar.

Mengutip ucapan Seno Gumira di awal tulisan, fotografi pertunjukan tari kalau dilakukan dengan benar, dia justru merekam gerakan secara ke- seluruhan. Memotret sebuah rang- kaian gerakan, akan merekam ge- rakan secara keseluruhan kalau ter-

jadi pada ”momen puncak”, atau pada satu titik yang akan mewakili rang- kaian gerak secara keseluruhan.

Koleksi foto pertunjukan yang cu- kup lengkap dan beragam bisa disak- sikan di lobi Gedung Kesenian Ja- karta, terutama karya almarhum As- lam Subandi. Almarhum Kartono Ryadi saat menjabat sebagai redaktur fotografi harian Ko m p a s pernah memberi wejangan kepada yuni- or-yuniornya untuk memperhatikan karya-karya Aslam Subandi saat me- motret di Gedung Kesenian Jakarta.

”Coba pikirkan foto-foto Aslam. Kalau ada yang kamu simpulkan, mari kita

berdiskusi,” katanya. Kartono Ryadi mengajar fotografi selalu dengan mengajak berpikir, bukan dengan ru- mus yang harus ditaati.

Foto-foto karya Aslam Subandi sungguh tidak sulit untuk ditiru oleh fotografer pemula masa kini. Di za- man Aslam memotret, kemampuan rekam film begitu rendah, istilah tek- nisnya: ISO film belum terlalu tinggi.

Kartono Ryadi mengajarkan bahwa untuk bisa merekam pertunjukan tari dengan baik, seorang fotografer harus jeli memilih adegan. Di zaman digital sekarang, memotret dengan ISO 3200 pun sudah menghasilkan foto yang layak pandang.

Kembali ke pameran foto yang di- lakukan Padnecwara, ini adalah se- buah langkah yang sangat baik untuk

”mengajarkan” bahwa pertunjukan, terutama tari, adalah hal yang bisa mengisi kehidupan kita, memberi ke- seimbangan terhadap hal lain yang rutin dan membosankan. Menyak- sikan foto-foto pada pameran Padnecwara ini, siapa pun akan merasa sejenak hening dan lahir kem- bali. (ARBAIN RAMBEY)

Pengunjung m e ny a k s i k a n pameran foto ”Lakon Jawa dalam Koreografi Retno Maruti” karya 10 fotografer di Bentara Budaya Jakarta, Rabu (8/3) malam (kiri). Pentas tari Pradhapa Ngambar karya Retno Maruti memeriahkan pembukaan pameran.

R

ektor Institut Kesenian Jakarta Seno Gumira Ajidarma menga- takan kalimat ini saat meres- mikan pameran foto ”Lakon Jawa dalam Koreografi Retno Maruti”, Ra- bu (8/3) malam, di Bentara Budaya Jakarta, Palmerah Selatan, Jakarta.

”Memotret tari itu agak kontradiktif.

Tari itu bergerak, tapi fotografi, kan, membekukan,” katanya. Namun, sas- trawan ini lalu menambahkan bahwa fotografi yang memotret tari justru meneruskan gerakan tarinya lewat kediamannya itu.

Memang menarik melihat kelom- pok tari Padnecwara memakai pa- meran fotografi sebagai acara per- ayaan ulang tahun kelompok ke-41 dan ulang tahun ke-70 Retno Maruti pendirinya. Dan makin menarik se- telah menyaksikan kenyataan bahwa pergelaran Padnecwara baru banyak terpotret dalam 15 tahun terakhir.

Pameran foto yang akan berlang- sung sampai 14 Maret 2017 ini me- nampilkan 115 karya foto dari 13 fo- tografer berbagai kalangan. Sebagian besar adalah karya foto digital, alias dari 15 tahun terakhir. Dengan ke- nyataan bahwa Padnecwara sudah ak- tif berpentas sejak 1976, maka ada kesimpulan yang juga terjadi di ber- bagai hal dalam fotografi lain: fo- tografi baru menjadi mudah dan mu- rah sejak memasuki era digital.

Penelusuran di dokumentasi ha- rian Kompas pun akhirnya mene- mukan bahwa foto ”tertua” pertun - jukan yang dilakukan Retno Maruti adalah pada 31 Agustus 1978 dalam bentuk foto hitam putih. Di harian Ko m p a s , pada era sebelum 1994, pemakaian film hitam putih memang masih dominan, terutama pada pe- motretan pertunjukan yang umum- nya berlangsung di malam hari. Dan dari penelusuran foto-foto pertun- jukan lama, jelas terlihat pula bahwa foto-foto buatan 15 tahun terakhir ini

FOTO -FOTO: KOMPAS/PRIYOMBODO

Referensi

Dokumen terkait

Cerita rakyat merupaka karya sastra yang dapat dimanfaatkan oleh pembaca dalam kehidupannya, baik dari segi moral, sosial, agama, ataupun masalah pendidikan.. Hal ini